Anda di halaman 1dari 7

KERAJAAN ISLAM CIREBON

Nama kelompok: 1.Muamarkhadafi


2.Muhammad Aldi
3.M.Rafly Pratama
4.Agung Santoso

Kerajaan Cirebon merupakan sebuah kerajaan bercorak Islam ternama yang berasal


dariJawa
Barat. Kesultanan Cirebon berdiri pada abad ke-15 dan 16 Masehi. Kesultanan Cirebon juga
merupakan pangkalan penting yang menghubungkan jalur perdagangan antar pulau.
Kesultanan Cirebon berlokasi di pantai utara pulau Jawa yang menjadi perbatasan antara wilayah
Jawa Tengah dan Jawa Barat, ini membuat Kesultanan Cirebon menjadi pelabuhan sekaligus
“jembatan” antara 2 kebudayaan, yaitu budaya Jawa dan Sunda.
Sehingga Kesultanan Cirebon memiliki suatu kebudayaan yang khas tersendiri, yaitu
kebudayaan Cirebon yang tidak didominasi oleh kebudayaan Jawa maupun kebudayaan Sunda.
Sejarah Kerajaan Cirebon

Keraton Kasepuhan, via: cirebonarts.com


Menurut Sulendraningrat yang mendasarkan pada
naskah Babad Tanah Sunda dan Atja pada naskah
Carita Purwaka Caruban Nagari, Cirebon mulanya
adalah sebuah dukuh kecil yang awalnya didirkan
oleh Ki Gedeng Tapa, yang lama-kelamaan
berkembang menjadi sebuah perkampungan ramai
dan diberi nama Caruban (Bahasa Sunda: campuran).
Dinamakan Caruban karena di sana ada percampuran para pendatang dari berbagai macam suku
bangsa, agama, bahasa, adat istiadat, latar belakang dan mata pencaharian yang berbeda. Mereka
datang dengan tujuan ingin menetap atau hanya berdagang.
 
Karena awalnya hampir sebagian besar pekerjaan masyarakat adalah sebagai nelayan, maka
berkembanglah pekerjaan lainnya, seperti menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang
pantai yang bisa digunakan untuk pembuatan terasi. Lalu ada juga pembuatan petis dan garam.
Air bekas pembuatan terasi inilah akhirnya tercipta nama “Cirebon” yang berasal dari Cai(air)
dan Rebon (udang rebon) yang berkembang menjadi Cirebon yang kita kenal sekarang ini.
Karena memiliki pelabuhan yang ramai dan sumber daya alam dari pedalaman, Cirebon akhirnya
menjadi sebuah kota besar yang memiliki salah satu pelabuhan penting di pesisir utara Jawa.
Pelabuhan sangat berguna dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan di kepulauan seluruh
Nusantara maupun dengan negara lainnya. Selain itu, Cirebon juga tumbuh menjadi salah satu
pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat.

Pendirian Dan Silsilah Raja Kerajaan Cirebon

Pangeran Cakrabuana (1430 – 1479) merupakan keturunan dari kerajaan Pajajaran. Ia


adalah putera pertama dari Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dan istri pertamanya yang
bernama Subanglarang (puteri Ki Gedeng Tapa). Raden Walangsungsang(pangeran Cakra
Buana) meiliki dua orang saudara kandung, yaitu Nyai Rara Santang dan Raden Kian Santang.
Sebagai anak laki-laki tertua, seharusnya ia berhak atas tahta kerajaan Pajajaran. Namun karena
ia memeluk agama Islam yang diturunkan oleh ibunya, posisi sebagai putra mahkota akhirnya
digantikan oleh adiknya, Prabu Surawisesa (anak laki-laki dari prabu Siliwangi dan Istri
keduanya yang bernama Nyai Cantring Manikmayang).
Ini dikarenakan pada saat itu (abad 16) ajaran agama mayoritas di Kerajaan Pajajaran adalah
Sunda Wiwitan (agama leluhur orang Sunda) Hindu dan Budha.
Pangeran Walangsungsang akhirnya membuat sebuah pedukuhan di daerah Kebon Pesisir,
mendirikan Kuta Kosod (susunan tembok bata merah tanpa spasi) membuat Dalem Agung
Pakungwati serta membentuk pemerintahan di Cirebon pada tahun 1430 M.
Dengan demikian, Pangeran Walangsungsang dianggap sebagai pendiri pertama Kesultanan
Cirebon.\
Pangeran Walangsungsang, yang telah selesai menunaikan ibadah haji kemudian disebut
Haji Abdullah Iman. Ia lalu tampil sebagai “raja” Cirebon pertama yang memerintah kerajaan
dari keraton Pakungwati dan aktif menyebarkan agama Islam kepada penduduk Cirebon.
Pendirian kesultanan Cirebon memiliki hubungan sangat erat dengan keberadaan Kesultanan
Demak.

Masa Kejayaan Kerajaan Cirebon


Masa Kejayaan atau Kememasan Cirebon sebagai Sebuah Kerajaan berdaulat dimulai
sejak diangkatnya Syarif Hidayataullah sebagai Sultan Cirebon I sampai dengan berakhirnya
pemerintahan Sultan Cirebon ke II yaitu Pangeran Agung atau Panembahan Ratu yakni dari
mulai tahun 1479-1649 Masehi. 
Masa Syarif Hidayatullah, Cirebon banyak melakukan gebrakan-gebrakan politik dengan
menjalin persahabatan dengan kesultanan-kesultanan di Nusantara terutamanya dengan Demak.
Pada masa Syarif Hidayatullah tercatat Cirebon melakukan pembangunan besar-besaran,
seperti Pembangunan Istana, Masjid Agung serta insfrastruktur lainnya, pada awal-awal menjadi
Sultan Cirebon, urusan administrasi Pemerintahan sepertinya masih dipegang oleh uwaknya
Pangeran Cakrabuana, sedangkan Syarif Hidayatullah sendiri aktif dalam mendakwahkan Islam
dipelosok-pelosok Pasundan. Barulah setelah uwaknya wafat kemudian Syarif Hidayatullah
mengurusi keduanya. 
Dalam masa Syarif Hidayatullah juga Cirebon tercatat dapat menaklukan Galuh
(Pajajaran Timur) dengan dibantu oleh Demak. Sementara itu Cirebon juga kemudian berhasil
menaklukan Pajajaran Barat (Pakwan) melalui Kesultanan Banten yang juga pendiriannya
digagas oleh Syarif Hidayatullah. 
Pada masa ini juga Cirebon berhasil mengislamkan negri-negeri bawahan Pajajaran,
seperti Sindangkasih, Singaphura, Surantaka, Indramayu, Talaga, dan masih banyak yang
lainnya.
Pada masa Syarif Hidayatullah memerintah sebenarnya ada dua Pangeran yang digadang-gadang
menggantikan jabatan beliau sebagai sultan, yaitu Pangeran Pasarean dan Pangeran Carbon atau
Pangeran Sedang Kemuning (1495-1552) akan tetapi keduanya wafat sebelum dinobatkan
menjadi Sultan. 
Dalam masa sepuhnya Syarif Hidayatullah banyak menghabiskan waktu untuk mengajar
Agama di Pesantrennya yang berada di Gunung Jati, dalam masa ini urusan pemerintahan
kemudian diserahkan kepada Fatahillah atau Fadilah Khan yang merupakan menantunya sendiri. 
Pada tahun 1568 Masehi Syarif Hidayatullah wafat dalam usia yang sangat sepuh, dan
setelah kewafatan Sultan Cirebon I ini kemudian, pada Tahun yang sama diangkatlah Pangeran
Agung yang bergelar Panembahan Ratu menjadi Sultan Cirebon ke II, Panembahan Ratu tersebut
merupakan Cicit dari Syarif Hidayatullah, yang merupakan anak Pangeran Sedang Kemuning
Bin Pangeran Pasarean Bin Syarif Hidayatullah.
Pada masa Panembahan Ratu memerintah, terjadi beberapa pemberontakan, diantaranya
pemberontakan Arya Kuningan, Pemberontakan Datuk Pardun dan pada masa ini juga terjadi
peristiwa terbakarnya Masjid Kasultanan Cirebon, namun masalah tersebut dapat ditangani oleh
Sultan. Panembahan Ratu berkuasa dan menjadi Sultan Cirebon dari mulai tahun 1568-1649
Masehi.
Dalam tahun 1649 Masehi Panembahan Ratu Wafat, sementara itu ternyata sebelumnya
Pangeran yang digadang-gadang menggantikan beliau yaitu Pangeran Sedang Gayam (Pangeran
Dipati Anom Carbon II) ternyata wafat sebelum dinobatkan, dengan demikian selanjutnya yang
menjadi Sultan Cirebon ke III yaitu Pangeran Putra dengan Gelar Panembahan Girilaya yang
merupakan anak Pangeran Sedang Gayam. Pangeran Sedang Gayam memerintah dari mulai
Tahun 1649-1662 Masehi. 
Pada masa Panembahan Girilaya inilah awal mula benih-benih kemunduran Kerajaan
Cirebon muncul kepermukaan
Masa Kemunduran Kerajaan Cirebon
Benih-benih kemuduran Kerajaan Cirebon dimulai pada Tahun 1649-1662 Masehi ketika
Cirebon dipimpin oleh Panembahan Girilaya, sebab-sebab kemunduran Cirebon ini ditenggarai
karena bangkitnya tiga kekuatan Politik besar di pulau Jawa yaitu Kesultanan Mataram yang
terletak di Timur Cirebon, dan VOC Belanda serta Kesultanan Banten yang terletak di Barat
Cirebon. 
Mataram, Banten dan VOC dalam tahun itu menggenjot ekonominya untuk membiyayai
Militer besar-besaran, sementara Cirebon sendiri  cenderung fakum  dalam memperbesar
kekuatan ekonomi dan militernya, hal ini wajar sebab Cirebon memang dalam waktu itu lebih
banyak melakukan dakwah-dakwah Islam ke Pelosok Pasundan.
Pada Tahun 1649 Sampai dengan 1662 terjadi gesekan kepentingan di Cirebon, Mataram
pada waktu itu menginginkan Cirebon tetap dibawah kendalinya, pun Juga dengan Banten
merasa perlu menarik Cirebon untuk bergabung dengan Banten agar membangkang dari
Mataram, Dalam Istana Cirebon terpecah menjadi dua kubu, ada yang condong ke Mataram dan
adapula yang Condong ke Banten.
Puncaknya, pada tahun 1660-1661 Ketika Panembahan Girilaya berkunjung ke Mataram
untuk seba ke Sultan Mataram yang sekaligus juga sebagai mertuanya, dimana dalam
kunjungannya itu Sultan Mataram Menekan Cirebon Agar tegas menolak Banten dan tetap
berada dibawah Mataram, namun demikian ternyata kemudian Panembahan Girilaya
menolaknya hingga kemudian atas peristiwa penolakan tersebut Panembahan Girilaya ditawanan
Kesultanan Mataram, dan tidak boleh pulang ke Cirebon hingga kewafataanya pada tahun 1662. 
Setelah Kewafatan Panembahan Girilaya, terjadi kegoncangan di Cirebon, di Cirebon
selama 16 tahun setelah kewafatan Sultan Cirebon ke III tersebut tidak mempunyai Seorang
Sultan, Urusan Pemerintahan dipegang oleh Pejabat Pengganti Sultan yang pada waktu itu
terpecah menjadi dua Kubu, Kubu Pro Mataram dan Banten.
Menghadapai hal tersebut Kubu Pro Mataram kemudian melantik Pangeran Merta Wijaya
(Sultan Sepuh Raja Syamsudin) menjadi Sultan Cirebon atas restu Mataram dan Pernyataan Setia
kepada Mataram, pelantikan tersebut  kemudian ternyata memperparah perseteruan didalam
Istana, karena kubu pro Banten tidak menerimanya. 
Perseteruan antar Pangeran ini selesai ketika di teken kesepakatan pembagian Kasultanan
Cirebon menjadi II, dan selanjutnya dilantiklah Pangeran Kertawijaya (Pangeran Anom
Mohamad Badarudin) menjadi Raja Cirebon yang dilantik oleh Sultan Banten.
Cirebon dibawah pemerintahan Pangeran Merta Wijaya (Sultan Sepuh Raja Syamsudin)
serta wilayah kekuasaannya dinamakan Kasultanan Kasepuhan Cirebon. Sedangkan Cirebon
dibawah pemerintahan Pangeran Kertawijaya (Pangeran Anom Mohamad Badarudin) serta
wilayah kekuasaannya dinamakan Kasultanan Kanoman Cirebon. Kasepuhan sendiri berasal dari
kata Sepuh yang berarti tua, sementara Kanoman sendiri berasal dari kata Nom yang berarti
muda, jadilah setelah itu kemudian Cirebon terdapat II Kerajaan, yakni kerjaan Tua dan Muda,
dengan Wilayah kekuasaan masing-masing. 
Terpecahnya Cirebon menjadi II kerajaan tersebut terjadi pada Tahun 1678 Masehi.
Penamaan Sepuh dan Nom dalam menamai kedua kesultatan tersebut karena Pangeran Merta
Wijaya merupakan Pangeran yang lebih Tua dari Pangeran Kertawijaya sementara Pangeran
Kertawijaya lebih muda dari Pangeran Merta Wijaya, karena kedua Sultan tersebut pada
dasarnya merupakan kakak dan adik. 
Selanjutnya pada tahun 1807-1810 Ketika Pengaruh Belanda sudah menguasai hampir
seluruh Jawa dimana Banten sudah dikalahkan Belanda dan Mataram sudah dalam tahap
kemudurannya, Belanda secara pengaruh sudah menguasai Cirebon, hampir seluruh kebijakan
Kasultanan Kasepuhan dan Kanoman cenderung disetir Belanda.   Dalam Zaman itu ketidak
adilan di Cirebon akibat kesewenang-wenangan kebijakan Kesultanan yang dipelopori Belanda
membawa penderitaan rakyat Cirebon, sehingga rakyat Cirebon waktu itu sudah muak terhadap
para Rajanya. 
Tahun 1806 meletuslah pemberontakan besar di Cirebon yang dipelopori oleh para ulama
dan santri, Pemberontakan tersebut dipimpin oleh Kiyai Bagus Rangin dan Kiyai Bagus Serit 
Alasan pemberontakan pada umumnya didasarkan karena Para penguasa  Cirebon-Indramayu
dianggap antek-antek Belanda yang mengangkangi rakyat dan lebih memilih memanjakan para
penguasa Cina.
Perlawanan ini didukung oleh salah Satu Pangeran Kasultanan Kanoman yang bernama
Pangeran Buhaeiridin. Pangeran Buhaeiridin kemudian berhasil di tangkap dan diasingkan ke
Ambon. Melihat Pangeran Pro rakyatnya di Buang Belanda, Perlawanan Kiyai Bagus Rangin
dan Kiyai Bagus Serit semakin didukung rakyat, Belanda kemudian kwalahan menghadpi
perlawanan tersebut.
Dengan taktiknya, kemudian Belanda membawa kembali Pangeran Buhaeiridin dari
pengasingan ke Cirebon dan kemudian melantinya menjadi Sultan Baru, mulailah setelah itu
Cirebon terpecah menjadi III Kerajaan, Pangeran Buhaeiridin kemudian dilantik menjadi Sultan
dengan gelar Sultan Carbon Buhaeiridin. 
Adapun nama kerajaannya kemudian di beri nama Kasultanan Kacirbonan, selain
Pelantikannya sebagai Sultan, Sultan Carbon Buhaeiridin juga kemudian dibangunkan Istana dan
mempunyai wilayah kekuasaan sendiri. Pengukuhan dan Pelantikan tersebut terjadi pada tahun
1807 Masehi. 
Dengan demikian mulai tahun 1807 Cirebon terpecah menjadi Tiga kerajaan, Kasepuhan,
Kanoman dan Kacirbonan.  Peristiwa Pengangkatan Pangeran Pro rakyat itu kemudian
berangsur-angsur memadamkan Pemberontakan yang dipimpin Kiyai Bagus Rangin dan Kiyai
Bagus Serit.  Selanjutnya setelah peristiwa terpecahnya Cirebon menjadi III kerajaan tersebut,
selanjutnya berimbas pada kehancuran Cirebon secara perlahan-lahan, terlebih-lebih setelah itu
kemudian para Sultan sudah tidak lagi punya wewenang dalam memerintah, Pemerintahan
diambil alih Penjajah Belanda sementara para Sultan hanya dijadikan simbol penguasa lokal dan
pendapatannya berasal dari gajih yang diberikan Belanda dalam tiap bulannya.

Anda mungkin juga menyukai