Kerajaan Cirebon merupakan sebuah kerajaan bercorak Islam ternama yang berasal
dariJawa Barat. Kesultanan Cirebon berdiri pada abad ke-15 dan 16 Masehi. Kesultanan Cirebon juga merupakan pangkalan penting yang menghubungkan jalur perdagangan antar pulau. Kesultanan Cirebon berlokasi di pantai utara pulau Jawa yang menjadi perbatasan antara wilayah Jawa Tengah dan Jawa Barat, ini membuat Kesultanan Cirebon menjadi pelabuhan sekaligus “jembatan” antara 2 kebudayaan, yaitu budaya Jawa dan Sunda. Sehingga Kesultanan Cirebon memiliki suatu kebudayaan yang khas tersendiri, yaitu kebudayaan Cirebon yang tidak didominasi oleh kebudayaan Jawa maupun kebudayaan Sunda. Sejarah Kerajaan Cirebon
Keraton Kasepuhan, via: cirebonarts.com
Menurut Sulendraningrat yang mendasarkan pada naskah Babad Tanah Sunda dan Atja pada naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, Cirebon mulanya adalah sebuah dukuh kecil yang awalnya didirkan oleh Ki Gedeng Tapa, yang lama-kelamaan berkembang menjadi sebuah perkampungan ramai dan diberi nama Caruban (Bahasa Sunda: campuran). Dinamakan Caruban karena di sana ada percampuran para pendatang dari berbagai macam suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat, latar belakang dan mata pencaharian yang berbeda. Mereka datang dengan tujuan ingin menetap atau hanya berdagang.
Karena awalnya hampir sebagian besar pekerjaan masyarakat adalah sebagai nelayan, maka berkembanglah pekerjaan lainnya, seperti menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang pantai yang bisa digunakan untuk pembuatan terasi. Lalu ada juga pembuatan petis dan garam. Air bekas pembuatan terasi inilah akhirnya tercipta nama “Cirebon” yang berasal dari Cai(air) dan Rebon (udang rebon) yang berkembang menjadi Cirebon yang kita kenal sekarang ini. Karena memiliki pelabuhan yang ramai dan sumber daya alam dari pedalaman, Cirebon akhirnya menjadi sebuah kota besar yang memiliki salah satu pelabuhan penting di pesisir utara Jawa. Pelabuhan sangat berguna dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan di kepulauan seluruh Nusantara maupun dengan negara lainnya. Selain itu, Cirebon juga tumbuh menjadi salah satu pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat.
Pendirian Dan Silsilah Raja Kerajaan Cirebon
Pangeran Cakrabuana (1430 – 1479) merupakan keturunan dari kerajaan Pajajaran. Ia
adalah putera pertama dari Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dan istri pertamanya yang bernama Subanglarang (puteri Ki Gedeng Tapa). Raden Walangsungsang(pangeran Cakra Buana) meiliki dua orang saudara kandung, yaitu Nyai Rara Santang dan Raden Kian Santang. Sebagai anak laki-laki tertua, seharusnya ia berhak atas tahta kerajaan Pajajaran. Namun karena ia memeluk agama Islam yang diturunkan oleh ibunya, posisi sebagai putra mahkota akhirnya digantikan oleh adiknya, Prabu Surawisesa (anak laki-laki dari prabu Siliwangi dan Istri keduanya yang bernama Nyai Cantring Manikmayang). Ini dikarenakan pada saat itu (abad 16) ajaran agama mayoritas di Kerajaan Pajajaran adalah Sunda Wiwitan (agama leluhur orang Sunda) Hindu dan Budha. Pangeran Walangsungsang akhirnya membuat sebuah pedukuhan di daerah Kebon Pesisir, mendirikan Kuta Kosod (susunan tembok bata merah tanpa spasi) membuat Dalem Agung Pakungwati serta membentuk pemerintahan di Cirebon pada tahun 1430 M. Dengan demikian, Pangeran Walangsungsang dianggap sebagai pendiri pertama Kesultanan Cirebon.\ Pangeran Walangsungsang, yang telah selesai menunaikan ibadah haji kemudian disebut Haji Abdullah Iman. Ia lalu tampil sebagai “raja” Cirebon pertama yang memerintah kerajaan dari keraton Pakungwati dan aktif menyebarkan agama Islam kepada penduduk Cirebon. Pendirian kesultanan Cirebon memiliki hubungan sangat erat dengan keberadaan Kesultanan Demak.
Masa Kejayaan Kerajaan Cirebon
Masa Kejayaan atau Kememasan Cirebon sebagai Sebuah Kerajaan berdaulat dimulai sejak diangkatnya Syarif Hidayataullah sebagai Sultan Cirebon I sampai dengan berakhirnya pemerintahan Sultan Cirebon ke II yaitu Pangeran Agung atau Panembahan Ratu yakni dari mulai tahun 1479-1649 Masehi. Masa Syarif Hidayatullah, Cirebon banyak melakukan gebrakan-gebrakan politik dengan menjalin persahabatan dengan kesultanan-kesultanan di Nusantara terutamanya dengan Demak. Pada masa Syarif Hidayatullah tercatat Cirebon melakukan pembangunan besar-besaran, seperti Pembangunan Istana, Masjid Agung serta insfrastruktur lainnya, pada awal-awal menjadi Sultan Cirebon, urusan administrasi Pemerintahan sepertinya masih dipegang oleh uwaknya Pangeran Cakrabuana, sedangkan Syarif Hidayatullah sendiri aktif dalam mendakwahkan Islam dipelosok-pelosok Pasundan. Barulah setelah uwaknya wafat kemudian Syarif Hidayatullah mengurusi keduanya. Dalam masa Syarif Hidayatullah juga Cirebon tercatat dapat menaklukan Galuh (Pajajaran Timur) dengan dibantu oleh Demak. Sementara itu Cirebon juga kemudian berhasil menaklukan Pajajaran Barat (Pakwan) melalui Kesultanan Banten yang juga pendiriannya digagas oleh Syarif Hidayatullah. Pada masa ini juga Cirebon berhasil mengislamkan negri-negeri bawahan Pajajaran, seperti Sindangkasih, Singaphura, Surantaka, Indramayu, Talaga, dan masih banyak yang lainnya. Pada masa Syarif Hidayatullah memerintah sebenarnya ada dua Pangeran yang digadang-gadang menggantikan jabatan beliau sebagai sultan, yaitu Pangeran Pasarean dan Pangeran Carbon atau Pangeran Sedang Kemuning (1495-1552) akan tetapi keduanya wafat sebelum dinobatkan menjadi Sultan. Dalam masa sepuhnya Syarif Hidayatullah banyak menghabiskan waktu untuk mengajar Agama di Pesantrennya yang berada di Gunung Jati, dalam masa ini urusan pemerintahan kemudian diserahkan kepada Fatahillah atau Fadilah Khan yang merupakan menantunya sendiri. Pada tahun 1568 Masehi Syarif Hidayatullah wafat dalam usia yang sangat sepuh, dan setelah kewafatan Sultan Cirebon I ini kemudian, pada Tahun yang sama diangkatlah Pangeran Agung yang bergelar Panembahan Ratu menjadi Sultan Cirebon ke II, Panembahan Ratu tersebut merupakan Cicit dari Syarif Hidayatullah, yang merupakan anak Pangeran Sedang Kemuning Bin Pangeran Pasarean Bin Syarif Hidayatullah. Pada masa Panembahan Ratu memerintah, terjadi beberapa pemberontakan, diantaranya pemberontakan Arya Kuningan, Pemberontakan Datuk Pardun dan pada masa ini juga terjadi peristiwa terbakarnya Masjid Kasultanan Cirebon, namun masalah tersebut dapat ditangani oleh Sultan. Panembahan Ratu berkuasa dan menjadi Sultan Cirebon dari mulai tahun 1568-1649 Masehi. Dalam tahun 1649 Masehi Panembahan Ratu Wafat, sementara itu ternyata sebelumnya Pangeran yang digadang-gadang menggantikan beliau yaitu Pangeran Sedang Gayam (Pangeran Dipati Anom Carbon II) ternyata wafat sebelum dinobatkan, dengan demikian selanjutnya yang menjadi Sultan Cirebon ke III yaitu Pangeran Putra dengan Gelar Panembahan Girilaya yang merupakan anak Pangeran Sedang Gayam. Pangeran Sedang Gayam memerintah dari mulai Tahun 1649-1662 Masehi. Pada masa Panembahan Girilaya inilah awal mula benih-benih kemunduran Kerajaan Cirebon muncul kepermukaan Masa Kemunduran Kerajaan Cirebon Benih-benih kemuduran Kerajaan Cirebon dimulai pada Tahun 1649-1662 Masehi ketika Cirebon dipimpin oleh Panembahan Girilaya, sebab-sebab kemunduran Cirebon ini ditenggarai karena bangkitnya tiga kekuatan Politik besar di pulau Jawa yaitu Kesultanan Mataram yang terletak di Timur Cirebon, dan VOC Belanda serta Kesultanan Banten yang terletak di Barat Cirebon. Mataram, Banten dan VOC dalam tahun itu menggenjot ekonominya untuk membiyayai Militer besar-besaran, sementara Cirebon sendiri cenderung fakum dalam memperbesar kekuatan ekonomi dan militernya, hal ini wajar sebab Cirebon memang dalam waktu itu lebih banyak melakukan dakwah-dakwah Islam ke Pelosok Pasundan. Pada Tahun 1649 Sampai dengan 1662 terjadi gesekan kepentingan di Cirebon, Mataram pada waktu itu menginginkan Cirebon tetap dibawah kendalinya, pun Juga dengan Banten merasa perlu menarik Cirebon untuk bergabung dengan Banten agar membangkang dari Mataram, Dalam Istana Cirebon terpecah menjadi dua kubu, ada yang condong ke Mataram dan adapula yang Condong ke Banten. Puncaknya, pada tahun 1660-1661 Ketika Panembahan Girilaya berkunjung ke Mataram untuk seba ke Sultan Mataram yang sekaligus juga sebagai mertuanya, dimana dalam kunjungannya itu Sultan Mataram Menekan Cirebon Agar tegas menolak Banten dan tetap berada dibawah Mataram, namun demikian ternyata kemudian Panembahan Girilaya menolaknya hingga kemudian atas peristiwa penolakan tersebut Panembahan Girilaya ditawanan Kesultanan Mataram, dan tidak boleh pulang ke Cirebon hingga kewafataanya pada tahun 1662. Setelah Kewafatan Panembahan Girilaya, terjadi kegoncangan di Cirebon, di Cirebon selama 16 tahun setelah kewafatan Sultan Cirebon ke III tersebut tidak mempunyai Seorang Sultan, Urusan Pemerintahan dipegang oleh Pejabat Pengganti Sultan yang pada waktu itu terpecah menjadi dua Kubu, Kubu Pro Mataram dan Banten. Menghadapai hal tersebut Kubu Pro Mataram kemudian melantik Pangeran Merta Wijaya (Sultan Sepuh Raja Syamsudin) menjadi Sultan Cirebon atas restu Mataram dan Pernyataan Setia kepada Mataram, pelantikan tersebut kemudian ternyata memperparah perseteruan didalam Istana, karena kubu pro Banten tidak menerimanya. Perseteruan antar Pangeran ini selesai ketika di teken kesepakatan pembagian Kasultanan Cirebon menjadi II, dan selanjutnya dilantiklah Pangeran Kertawijaya (Pangeran Anom Mohamad Badarudin) menjadi Raja Cirebon yang dilantik oleh Sultan Banten. Cirebon dibawah pemerintahan Pangeran Merta Wijaya (Sultan Sepuh Raja Syamsudin) serta wilayah kekuasaannya dinamakan Kasultanan Kasepuhan Cirebon. Sedangkan Cirebon dibawah pemerintahan Pangeran Kertawijaya (Pangeran Anom Mohamad Badarudin) serta wilayah kekuasaannya dinamakan Kasultanan Kanoman Cirebon. Kasepuhan sendiri berasal dari kata Sepuh yang berarti tua, sementara Kanoman sendiri berasal dari kata Nom yang berarti muda, jadilah setelah itu kemudian Cirebon terdapat II Kerajaan, yakni kerjaan Tua dan Muda, dengan Wilayah kekuasaan masing-masing. Terpecahnya Cirebon menjadi II kerajaan tersebut terjadi pada Tahun 1678 Masehi. Penamaan Sepuh dan Nom dalam menamai kedua kesultatan tersebut karena Pangeran Merta Wijaya merupakan Pangeran yang lebih Tua dari Pangeran Kertawijaya sementara Pangeran Kertawijaya lebih muda dari Pangeran Merta Wijaya, karena kedua Sultan tersebut pada dasarnya merupakan kakak dan adik. Selanjutnya pada tahun 1807-1810 Ketika Pengaruh Belanda sudah menguasai hampir seluruh Jawa dimana Banten sudah dikalahkan Belanda dan Mataram sudah dalam tahap kemudurannya, Belanda secara pengaruh sudah menguasai Cirebon, hampir seluruh kebijakan Kasultanan Kasepuhan dan Kanoman cenderung disetir Belanda. Dalam Zaman itu ketidak adilan di Cirebon akibat kesewenang-wenangan kebijakan Kesultanan yang dipelopori Belanda membawa penderitaan rakyat Cirebon, sehingga rakyat Cirebon waktu itu sudah muak terhadap para Rajanya. Tahun 1806 meletuslah pemberontakan besar di Cirebon yang dipelopori oleh para ulama dan santri, Pemberontakan tersebut dipimpin oleh Kiyai Bagus Rangin dan Kiyai Bagus Serit Alasan pemberontakan pada umumnya didasarkan karena Para penguasa Cirebon-Indramayu dianggap antek-antek Belanda yang mengangkangi rakyat dan lebih memilih memanjakan para penguasa Cina. Perlawanan ini didukung oleh salah Satu Pangeran Kasultanan Kanoman yang bernama Pangeran Buhaeiridin. Pangeran Buhaeiridin kemudian berhasil di tangkap dan diasingkan ke Ambon. Melihat Pangeran Pro rakyatnya di Buang Belanda, Perlawanan Kiyai Bagus Rangin dan Kiyai Bagus Serit semakin didukung rakyat, Belanda kemudian kwalahan menghadpi perlawanan tersebut. Dengan taktiknya, kemudian Belanda membawa kembali Pangeran Buhaeiridin dari pengasingan ke Cirebon dan kemudian melantinya menjadi Sultan Baru, mulailah setelah itu Cirebon terpecah menjadi III Kerajaan, Pangeran Buhaeiridin kemudian dilantik menjadi Sultan dengan gelar Sultan Carbon Buhaeiridin. Adapun nama kerajaannya kemudian di beri nama Kasultanan Kacirbonan, selain Pelantikannya sebagai Sultan, Sultan Carbon Buhaeiridin juga kemudian dibangunkan Istana dan mempunyai wilayah kekuasaan sendiri. Pengukuhan dan Pelantikan tersebut terjadi pada tahun 1807 Masehi. Dengan demikian mulai tahun 1807 Cirebon terpecah menjadi Tiga kerajaan, Kasepuhan, Kanoman dan Kacirbonan. Peristiwa Pengangkatan Pangeran Pro rakyat itu kemudian berangsur-angsur memadamkan Pemberontakan yang dipimpin Kiyai Bagus Rangin dan Kiyai Bagus Serit. Selanjutnya setelah peristiwa terpecahnya Cirebon menjadi III kerajaan tersebut, selanjutnya berimbas pada kehancuran Cirebon secara perlahan-lahan, terlebih-lebih setelah itu kemudian para Sultan sudah tidak lagi punya wewenang dalam memerintah, Pemerintahan diambil alih Penjajah Belanda sementara para Sultan hanya dijadikan simbol penguasa lokal dan pendapatannya berasal dari gajih yang diberikan Belanda dalam tiap bulannya.