Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
BAB I
PENDAHULUAN
Prediksi WHO, tahun 2020 angka kejadian PPOK akan meningkat dari
posisi 12 ke 5 sebagai penyakit terbanyak di dunia dan dari posisi 6 ke 3,
sebagai penyebab kematian terbanyak. Polusi udara terutama asap rokok
ditengarai penyebab meningkatnya prevalensi penderita penyakit paru obstruktif
kronis (PPOK).
Jika seseorang datang dengan keluhan batuk-batuk lama, kadang-
kadang susah buat bernafas dan terutama dia adalah seorang perokok maka
kemungkinan dia mengalami penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) atau di dunia
internasional dikenal sebagai Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD).
PPOK sebenarnya merupakan penyakit yang preventable dan treatable.
Pada penyakit ini terjadi kelainan paru sebagai respon inflamasi kronis terhadap
partikel gas yang menyebabkan terjadinya hambatan jalan nafas yang tidak
sepenuhnya bisa reversibel dan bersifat progresif. Selain itu kelainan ini juga
memberi dampak gangguan di luar paru secara bermakna sehingga
memperberat derajat penyakit. Hambatan jalan nafas tersebut terjadi akibat
obstruksi jalan nafas kecil (obstructive bronchiolitis) dan destruksi parenkim
(emfisema). Proses inflamasi juga menyebabkan hilangnya alveolar attachment
terhadap jalan nafas kecil dan menurunnya elastic recoil paru sehingga
kemampuan jalan nafas tetap membuka saat ekspirasi menjadi terganggu.
PPOK atau COPD ini ditandai dengan keterbatasan dalam bernafas yang
cukup lama dan terdapatnya beberapa perubahan patologi pada jalan nafas
disertai gangguan pada saluran nafas yang signifikan.
PPOK dapat dicegah dan diobati, tetapi pengobatan efektif diperlukan
agar pasien merasa nyaman (mengurangi gejala dan meningkatkan kualitas
hidup pasien) dan meningkatkan kemampuan beraktivitas dalam kegiatan sehari
-hari. Walaupun demikian keterbatasan pada saluran nafas tidak bisa
disembuhkan secara total.4 Keterbatasan aliran udara biasanya bersifat progresif
dan dihubungkan dengan respon inflamasi paru. Menurut dr.Wiwien H. Wiyono
Sp.P dari Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi, Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia “ Rokok merupakan penyebab utama dari
penyakit ini dan hampir semua negara melaporkan konstribusi rokok sebagai
penyebab PPOK”.1,3
Di Indonesia kebiasaan merokok masih merupakan perilaku yang sulit
dihentikan disamping polusi udara dan lingkungan yang belum dapat
dikendalikan. Kebiasaan merokok makin banyak terlihat pada usia muda bahkan
sudah dimulai pada anak sekolah dasar. Karena efek asap rokok yang demikian
signifikan pada angka kejadian PPOK, maka sebagai seorang dokter punya
tanggung jawab untuk ikut memberikan edukasi kepada pasien agar bisa
berhenti merokok. Proses berhenti dari kebiasaan merokok ini memang tidak
semudah membalik telapak tangan, butuh niat yang kuat dari penderita dan
kalau perlu bisa dibantu dengan farmakoterapi. Kebiasaan merokok ini bahkan
bisa masuk kategori candu karena begitu seseorang mencoba merokok maka
nikotin yang terserap dalam darah akan diteruskan ke otak dan ditangkap oleh
reseptor alfa 4 beta 2 sehingga merangsang pelepasan dopamin yang
memberikan rasa nyaman. Sehingga saat seseorang berhenti merokok, dopamin
akan berkurang dan menimbulkan hilangnya rasa nyaman selanjutnya akan
timbul keinginan kembali untuk merokok, terjadilah lingkaran setan yang akan
sangat sulit diputuskan.
Untuk itu butuh dukungan dari semua pihak untuk membantu seseorang
berhenti merokok. Saat ini sudah ada terapi farmakologi untuk membantu
seseorang yang ingin berhenti merokok. Dengan berhenti merokok diharapkan
status kesehatan masyarakat menjadi lebih baik dan prevalensi PPOK terutama
di Indonesia bisa menurun.
BAB II
PPOK
Penyakit Paru Obstruksi Kronik
1. Definisi
Penyakit Paru Obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik
yang ditandai dengan hambatan aliran udara di saluran nafas yang tidak
sepenuhnya reversibel2.(guideline GOLD terbaru)
2. Gejala Klinis
Gejala PPOK sangat bervariasi dari satu penderita ke penderita lainnya,
dapat dimulai dengan tanpa gejala, gejala ringan sampai berat, mulai dari tanpa
kelainan fisik sampai kelainan fisik yang jelas dan tanda inflasi paru. Oleh karena
itu dibutuhkan diagnosa yang akurat, pemeriksaan penunjang dan diagnosa
banding untuk dapat menegakkan penyakit PPOK.2
Seseorang diduga menderita PPOK bila (i) mengalami batuk kronis yang
umumnya muncul pada siang hari, jarang pada malam hari, (ii) memproduksi
sputum kronis, (iii) -sering mengalami bronkitis akut, (iv) sesak nafas setiap hari,
memburuk pada saat melakukan aktivitas dan terkena infeksi, (v) punya riwayat
terpapar asap rokok (baik perokok aktif maupun perokok pasif), polusi udara,
debu dan bahan kimia di tempat kerja, ataupun asap hasil pembakaran alat
masak, misalnya kayu bakar, arang yang terus menerus (setiap hari sepanjang
tahun), disertai dengan pemeriksaan faal paru. Indikator diagnosis PPOK adalah
penderita di atas usia 40 tahun, dengan sesak napas yang progresif, memburuk
dengan aktivitas, persisten, batuk kronik, produksi sputum kronik, riwayat
pajanan rokok, asap atau gas berbahaya di dalam lingkungan kerja atau rumah.
Penyakit ini seringkali tidak berdiri sendiri, tapi selalu disertai komorbid
yang berkaitan dengan rokok atau ketuaan, karena memang PPOK seringkali
terjadi pada orang perokok dalam jangka lama dan usia lanjut. Penurunan berat
badan, abnormalitas nutrisi dan disfungsi otot skeletal adalah beberapa dampak
PPOK pada ekstrapulmonal. PPOK juga akan meningkatkan risiko terjadinya
infark myokard, angina, osteoporosis, infeksi pernafasan, fraktur, depresi,
diabetes, gangguan tidur, anemia , glukoma dan juga kanker paru.
3. Faktor Resiko
3.1. Genetik.
PPOK adalah penyakit yang melibatkan banyak gen dan
merupakan contoh klasik interaksi gen dan lingkungan. Faktor resiko
genetik yang telah diketahui adalah defisiensi alpha-1 antitrypsin, suatu
penghambat yang bersikulasi dari protease serine.1
3.2. Merokok.
Perokok memeliki prevalensi yang lebih tinggi menderita gejala
dan gangguan fungsi paru, penurunan FEV1 setiap tahun dan angka
mortalitas PPOK yang lebih besar. Resiko PPOK pada perokok,
bergantung pada banyaknya rokok yang dikonsumsi, usia pertama kali
mulai merokok, jumlah total rokok yang dihisap pertahun dan status
merokok saat ini.
3.3. Debu dan Bahan Kimia Okupasi.
Paparan partikel dan bahan kimia okupasi, juga merupakan faktor
resiko berkembangnya PPOK. Meliputi agen kimia dan debu organik dan
anorganik serta bau-bauan.
3.4. Polusi Udara Dalam Rumah.
Pembakaran pada tungku atau kompor yang tidak berfungsi
dengan baik, dapat menyebabkan polusi udara di dalam ruangan.
3.5. Polusi Udara Di Luar Rumah.
Peranan polusi udara luar rumah dalam menyebabkan PPOK
tidak jelas, tetapi tampaknya lebih kecil dibandingkan merokok. Polusi
udara dari pembakaran hutan, asap kendaraan bermotor dan asap-asap
pabrik.
3.6. Stress Oksidatif.
Paru-paru secara terus menerus terpapar oleh oksidan yang
dikeluarkan secara endogendari fagosit dan jenis sel lainnya, atau secara
eksogen dari polusi udara atau asap rokok. Akibat dari
ketidakseimbangan antara oksidan dan anti oksidan maka paru-paru
mengalami stress oksidatif. Selain menghasilkan perlukaan langsung,
juga mengaktivase mekanisme molekuler yang menginisiasi inflamasi
paru.
3.7. Infeksi.
Kolonisasi bakteri yang dihubungkan dengan inflamasi saluran
nafas, dapat juga berperan dalam eksaserbasi. Akibatnya akan
menyebabkan penurunan fungsi paru dan menimbulkan gejala
gangguaan pernafasan.
3.8. Status Sosioekonomi
3.9. Nutrisi.
3.10. Asma.
Pada orang dewasa dengan asma memeliki resiko 12x lipat lebih
besar menderita PPOK, dibandingkan orang dewasa tanpa menderita
asma
BAB III
Patogenesis dan Patofisologis PPOK
Vaskular Pulmonal
Sel inflamasi : Makrofag, limfosit T.
Perubahan struktural : penebalan intima, disfungsi sel endotel
SEL-SEL INFLAMSI PADA PPOK
Neutrofil : terdapat di dalam sputum perokok normal, kemungkinan berperan
penting dalam hipersekresi mukus dan melalui pelepasan protease.
Makrofag : Sejumlah besar terlihat pada lumen saluran nafas, parenkim paru dan cairan lavage bronkoalveo
dan dapat menyebabkan fagositosis defektif.
Limfosit T : Sel CD4+ dan CD8+ meningkat poada dinding saluran nafas dan
parenkim paru. Sel T CD8+ (Tc1) dan sel Th1 mensekresikan interferon. Sel
CD8+ dapat menjadi sitotoksik terhadap sel-sel alveolar.
Limfosit B : di dalam saluran nafas perifer dan diantara folikel limfoid,
kemungkinan sebagai respon terhadap kolonisasi kronik dan infeksi saluran nafas.
Eosinofil : protein eosinofil terdapat dalam sputum dan eosinofil terdapat pada
dinding saluran nafas saat eksaserbasi.
Sel-sel Epitel : kemungkinan dipicu oleh asap rokok, untuk menghasilkan
mediator inflamasi
1. Patogenesis
Inflamasi paru pada pasien PPOK merupakan suatu respon inflamasi
normal terhadap partikel dan gas beracun seperti asap rokok yang berlangsung
lama. Selain itu faktor genetik ikut mempengaruhi. Inflamasi lebih lanjut,
diperburuk oleh stress oksidatif dan kelebihan proteinase pada paru-paru. Secara
bersamaan, mekanisme ini akan menyebabkan perubahan patologis.
PPOK ditandai oleh pola tertentu dari inflamasi yang melibatkan netrofil,
makrofag dan limfositosis. Sel-sel ini akan melepaskan mediator inflamasi dan
berinteraksi dengan sel struktural, pada saluran nafas dan parenkim paru.
Berbagai mediator inflamasi itu, akan menarik sel inflamasi dari darah ( faktor
kemotakik), memperkuat proses inflamasi (sitokin proinflamasi), dan menginduksi
perubahan struktural (faktor pertumbuhan).
Stress oksidatif mungkin merupakan mekanisme penguat dari proses
terjadinya PPOK. stress oksidatif lebih lanjut, meningkat pada eksaserbasi.
Oksidan dihasilkan oleh asap rokok dan partikulat lainnya, dan dilepaskan dari
sel inflamasi teraktifasi seperti makrofag dan neutrofil. Stress oksidatif memiliki
konsekuensi buruk pada paru paru, yang meliputi aktifasi gen inflamasi, inaktifasi
antiprotese yang menstimulasi sekresi mukus dan eksudat plasma.
PATOGENESIS
Faktor penjamu
Inflamasi paru
Antioksidan Antiprotease
Mekanisme perbaikan
Patologi PPOK
Patofisiologis
Inflamasi dan air trapping adalah dasar dari PPOK. Pada pasien PPOK
penurunan FEV1 disebakan inflamasi dan penyempitan saluran nafas periferal,
sementara penurunan pertukaran gas disebabkan oleh kerusakan jaringan
parenkim paru. Besarnya inflamasi, fibrosis dan eksudat pada saluran nafas
kecil, berhubungan dengan penurunan FEV1 dan rasio FEV1/FVC. Cepatnya
penurunan FEV1, merupakan karakteristik dari PPOK. Obstruksi saluran nafas
periferal secara progresif, menyebabkan air trapping selama ekspirasi dan
mengakibatkan hiperinflasi. Hiperinflasi ini akan menurunkan kapasitas inspirasi,
sehingga kapasitas residu fungsional meningkat. Diperkirakan hiperinflasi
berkembang sejak awal penyakit dan merupakan mekanisme utama untuk
dispnea eksersional.
Abnormalitas dari pertukaran gas itu akan menyebabkan terjadinya hipoksemia
dan hiperkapnia. Akibat dari obstruksi saluran nafas periferal menyebabkan
ketidakseimbangan ventilasi – perfusi (VA/Q) disertai gangguan fungsi otot
pernafasan, terjadilah retensi CO2.
Hipersekresi mukus, penyebab batuk kronis, tidak dialami semua pasien dengan
PPOK. Hal ini disebabkan metaplasia mukus dengan peningkatan jumlah sel-sel
goblet dan pembesaran kelenjar submukosa, sebagai respon terhadap iritasi
saluran nafas kronis akibat asap rokok dan agen berbahaya lainnya.
Hipertensi ringan juga dapat terjadi pada pasien PPOK. hal ini disebabkan
vasokonstriksi hipoksik dari arteri pulmonal kecil, yang akhirnya menyebabkan
trejadinya hiperplasia intima. Pada PPOK, tejadi respon inflamasi pada pembuluh
darah serupa dengan yang terlihat pada saluran nafas dan pada disfungsi sel
endotel.
BAB IV
DIAGNOSIS PPOK
I. Anamnesis
PPOK adalah suatu penyakit menahun, gangguan saluran napas secara
bertahap selama bertahun-tahun. Umumnya terjadi pada perokok, dimulai
dengan berkurangnya kemampuan untuk melakukan pekerjaan berat,
terjadinya perubahan pada saluran nafas kecil dan fungsi paru. Timbul batuk
prodiktif yang lama, mulai sering mendapat infeksi berulang saluran nafas,
kemudian secara perlahan disertai sesak nafas, dan sudah tidak mampu
untuk melakukan aktifitas sehari hari.
Diagnosis klinis PPOK seyogyanya dipertimbangkan pada setiap
penderita yang mengalami dyspneu, batuk kronis dengan produksi sputum
dan/ atau adanya faktor resiko (genetik: defisiensi alfa-1 antitripsin, paparan
rokok dan polusi udara, oksidatif stres, gender, usia, infeksi saluran nafas,
dll).
Batuk-batuk pada pagi hari sering dikatakan oleh penderita karena
merokok, dan dianggap bukan sebagai keluhan oleh penderita. Makin lama
batuk makin berat, timbul sepanjang hari. Bila disertai infeksi saluran nafas,
batuk akan bertambah hebat dan berkurang bila infeksi menghilang.
Umumnya sputum pasien PPOK berwarna putih atau mukoid, bila terdapat
infeksi akan menjadi purulen atau mukopurulen dan kental. Keluhan sesak
bertambah berat bila terdapat infeksi.
Pemeriksaan fisik *
KETERANGAN
* Pemeriksaan fisik :
Ekspirasi memanjang
a. Normal
Mengi
b. Kelainan
Bentuk dada : Barrel chest
**Foto toraks curiga PPOK
Penggunaan otot bantu pernapasan
a. Normal
Pelebarab sela iga
b. Kelainan
Hipertrofi otot bantu nafas
Hiperinflasi
Fremitus melemah, sela iga melebar
Hiperlusen
Hipersonor
Diafragma mendatar
Suara nafas vesikuler melemah atau
Corakan bronkovaskuler meningkat
normal
Bullae
Jantung pendulum
KLASIFIKASI PPOK
DERAJAT KLINIS FAAL PARU
Derajat 0 : Gejala kronik (batuk, dahak) Spirometri normal
beresiko Terpajan faktor resiko
Derajat I : Dengan atau tanpa gejala VEP1/KVP < 75%
PPOK Ringan klinik ( VEP1 80% prediksi
Derajat II A: Dengan atau tanpa gejala VEP1/KVP < 75%
PPOK Sedang klinik 50 % VEP1 80% prediksi
Diagnosis Banding
1. PPOK
a. Onset usia pertengahan
b. Gejala progresif lambat
c. Riwayat merokok (lama dan jumlah rokok)
d. Sesak saat aktifitas
e. Hambatan aliran udara ireversibel
2. Pada Asma
a. Onset usia dini
b. Gejala bervariasi dari hari ke hari
c. Gejala pada waktu malam lebih menonjol
d. Dapat diketemukan alergi, rhinitis dan eksim
e. Riwayat asma dalam keluarga
f. Hambatan aliran udaranya reversibel
4. Pada Tuberkulosis
a. Onset semua usia
b. Gambaran foto torak infiltrat
c. Konfirmasi pemeriksaan mikrobiologi (BTA)
Dipertimbangkan mukolitik
Keterangan :
Kortikosteroid hanya diberikan kepada penderita dengan uji steroid positif. Uji
steroid positif adalah bila dengan pemberian steroid oral selama 10-14 hari atau
inhalasi selama 6 minggu – 3 bulan menujukkan perbaikan gejala klinisatau fungsi
paru.
SABA : short acting 2 Agonis
I. Latihan relaksasi
Tujuan latihan relaksasi adalah:
1) Menurunkan tegangan otot pernapasan, terutama otot bantu
pernapasan.
2) Menghilangkan rasa cemas karena sesak napas.
3) Memberikan sense of well being.
Penderita PPOK yang mengalami insufisiensi pernapasan selalu merasa tegang, cemas
dan takut mati tersumbat. Untuk mengatasi keadaan ini penderita berusaha membuat posisi yang
menguntungkan terutama bagi gerakan diafragmanya. Sikap ini dicapai dengan memutar bahu ke depan
dan membungkukkan badan ke depan pula. Sikap ini selalu diambil setiap akan memulai rehabilitasi
fisik (drainase postural, latihan pernapasan). Agar penderita memahami, latihan ini harus diperagakan.
Latihan relaksasi hendaknya dilakukan di ruangan yang tenang, posisi yang nyaman yaitu telentang
dengan bantal menyangga kepala dan guling di bawah lutut atau sambil duduk.
II. Terapi fisik dada
Timbunan sekret yang sangat kental jika tidak dikeluarkan akan
menyumbat saluran napas dan merupakan media yang baik bagi
pertumbuhan kuman. Infeksi mengakibatkan radang yang menambah
obstruksi saluran napas. Bila berlangsung terus sehingga mengganggu
mekanisme batuk dan gerakan mukosilier, maka timbunan sekret
merupakan penyulit yang cukup serius.
Terapi fisik (fisioterapi) dada ditujukan untuk melepaskan dan
membantu menggerakkan sekret dan saluran napas kecil ke trakea;
dapat dilakukan dengan cara drainase postural, perkusi dinding dada,
vibrasi menggunakan tangan (manual) atau dengan bantuan alat
(mekanik). Perkusi dengan vibrasi cepat, ketukan dengan telapak tangan
(clapping), atau memakai rompi perkusi listrik serta latihan batuk akan
memperbaiki mobilisasi dan klirens sekret bronkus dan fungsi paru pada
penderita PPOK dengan produksi sputum yang meningkat (>30 ml/ hari).
Pada penderita dengan serangan asma akut, pneumonia akut, gagal
napas, penderita yang memakai ventilator, dan penderita PPOK dengan
produksi sputum yang minimal (<30 ml/hari), fisioterapi dada tidak
berefek dan bahkan membahayakan.
Dalam melakukan drainase postural harus diperhatikan posisi
penderita yang disesuaikan dengan anatomi percabangan bronkus.
Tindakan ini dilakukan 2 kali sehari selama 5 menit. Sebelum dilakukan
drainase postural sebaiknya penderita minum banyak atau diberikan
mukolitik, bronkodilator perinhalasi untuk memudahkan pengaliran sekret.
Selain itu pada penderita PPOK tendapat hambatan aliran udara terutama pada
waktu ekspirasi. Pada umumnya letak diafragma rendah dan posisi sangkar toraks sangat tinggi sehingga
secara mekanis otot-otot pernapasan bekerja kurang efektif. Pada umumnya fungsi diafragma penderita
PPOK kurang dan 35% volume tidal, akibatnya penderita selalu menggunakan otot-otot bantu
pernapasan. Latihan otot-otot pernapasan akan meningkatkan kekuatan otot pernapasan, meningkatkan
tekanan ekspirasi (PE max) sekitar 37%.
Ekspirasi paksa:
Hal ini akan memperberat obstruksi saluran napas, meningkatkan
tekanan intrapleura dan terjadi air trapping jika saluran napas yang rusak dan mudah kolaps
ditekan oleh tekanan intrapleura.
Perpanjangan ekspirasi:
Menyebabkan pernapasan berikutnya tidak teratur dan tidak
efisien, pola pernapasan kembali ke pernapasan dada bagian atas yang
tidak teratur disertai dengan aktifnya otot bantu pernapasan.
Gerakan tipuan abdomen:
Otot perut berkontraksi dan relaksasi tetapi tidak ada perbaikan
dan ventilasi.
Penggunaan dada bagian atas secara berlebihan:
Hal ini dapat mengganggu gerakan diafragma, kebutuhan O2
meningkat karena otot bantu pernapasan bekerja lebih keras.
c) Latihan batuk
Batuk merupakan cara yang efektif untuk membersihkan benda
asing atau sekret dan saluran pernapasan. Batuk yang efektif harus
memenuhui kriteria:
1) Kapasitas vital yang cukup untuk mendorong sekret.
2) Mampu menimbulkan tekanan intra abdominal dan intratorakal
yang cukup untuk mendorong udara pada fase ekspulsi.