Anda di halaman 1dari 27

1

BAB I
PENDAHULUAN

Prediksi WHO, tahun 2020 angka kejadian PPOK akan meningkat dari
posisi 12 ke 5 sebagai penyakit terbanyak di dunia dan dari posisi 6 ke 3,
sebagai penyebab kematian terbanyak. Polusi udara terutama asap rokok
ditengarai penyebab meningkatnya prevalensi penderita penyakit paru obstruktif
kronis (PPOK).
Jika seseorang datang dengan keluhan batuk-batuk lama, kadang-
kadang susah buat bernafas dan terutama dia adalah seorang perokok maka
kemungkinan dia mengalami penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) atau di dunia
internasional dikenal sebagai Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD).
PPOK sebenarnya merupakan penyakit yang preventable dan treatable.
Pada penyakit ini terjadi kelainan paru sebagai respon inflamasi kronis terhadap
partikel gas yang menyebabkan terjadinya hambatan jalan nafas yang tidak
sepenuhnya bisa reversibel dan bersifat progresif. Selain itu kelainan ini juga
memberi dampak gangguan di luar paru secara bermakna sehingga
memperberat derajat penyakit. Hambatan jalan nafas tersebut terjadi akibat
obstruksi jalan nafas kecil (obstructive bronchiolitis) dan destruksi parenkim
(emfisema). Proses inflamasi juga menyebabkan hilangnya alveolar attachment
terhadap jalan nafas kecil dan menurunnya elastic recoil paru sehingga
kemampuan jalan nafas tetap membuka saat ekspirasi menjadi terganggu.
PPOK atau COPD ini ditandai dengan keterbatasan dalam bernafas yang
cukup lama dan terdapatnya beberapa perubahan patologi pada jalan nafas
disertai gangguan pada saluran nafas yang signifikan.
PPOK dapat dicegah dan diobati, tetapi pengobatan efektif diperlukan
agar pasien merasa nyaman (mengurangi gejala dan meningkatkan kualitas
hidup pasien) dan meningkatkan kemampuan beraktivitas dalam kegiatan sehari
-hari. Walaupun demikian keterbatasan pada saluran nafas tidak bisa
disembuhkan secara total.4 Keterbatasan aliran udara biasanya bersifat progresif
dan dihubungkan dengan respon inflamasi paru. Menurut dr.Wiwien H. Wiyono
Sp.P dari Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi, Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia “ Rokok merupakan penyebab utama dari
penyakit ini dan hampir semua negara melaporkan konstribusi rokok sebagai
penyebab PPOK”.1,3
Di Indonesia kebiasaan merokok masih merupakan perilaku yang sulit
dihentikan disamping polusi udara dan lingkungan yang belum dapat
dikendalikan. Kebiasaan merokok makin banyak terlihat pada usia muda bahkan
sudah dimulai pada anak sekolah dasar. Karena efek asap rokok yang demikian
signifikan pada angka kejadian PPOK, maka sebagai seorang dokter punya
tanggung jawab untuk ikut memberikan edukasi kepada pasien agar bisa
berhenti merokok. Proses berhenti dari kebiasaan merokok ini memang tidak
semudah membalik telapak tangan, butuh niat yang kuat dari penderita dan
kalau perlu bisa dibantu dengan farmakoterapi. Kebiasaan merokok ini bahkan
bisa masuk kategori candu karena begitu seseorang mencoba merokok maka
nikotin yang terserap dalam darah akan diteruskan ke otak dan ditangkap oleh
reseptor alfa 4 beta 2 sehingga merangsang pelepasan dopamin yang
memberikan rasa nyaman. Sehingga saat seseorang berhenti merokok, dopamin
akan berkurang dan menimbulkan hilangnya rasa nyaman selanjutnya akan
timbul keinginan kembali untuk merokok, terjadilah lingkaran setan yang akan
sangat sulit diputuskan.
Untuk itu butuh dukungan dari semua pihak untuk membantu seseorang
berhenti merokok. Saat ini sudah ada terapi farmakologi untuk membantu
seseorang yang ingin berhenti merokok. Dengan berhenti merokok diharapkan
status kesehatan masyarakat menjadi lebih baik dan prevalensi PPOK terutama
di Indonesia bisa menurun.
BAB II
PPOK
Penyakit Paru Obstruksi Kronik

1. Definisi
Penyakit Paru Obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik
yang ditandai dengan hambatan aliran udara di saluran nafas yang tidak
sepenuhnya reversibel2.(guideline GOLD terbaru)

Hambatan aliran udara pada penyakit ini seringkali disebabkan oleh


diameter saluran nafas yang menyempit berkaitan dengan beberapa faktor,
antara lain meningkatnya ketidakelastisan dinding saluran nafas, meningkatnya
produksi sputum di saluran nafas, dan lain sebagainya. Gangguan aliran udara di
dalam saluran nafas disebabkan proses inflamasi paru yang menyebabkan
terjadinya kombinasi penyakit saluran napas kecil ([[small airway disease]]) dan
destruksi parenkim (emfisema). Kerusakan pada jaringan parenkim paru, yang
juga disebabkan proses inflamasi, menyebabkan hilangnya perlekatan alveolar
pada saluran nafas kecil dan penurunan rekoil elastik paru.

Banyak definisi terdahulu menekankan emfisema dan bronkitis kronis,


yang sekarang sudah tidak termasuk dalam definisi PPOK. Emfisema atau
kerusakan permukaan pertukaran gas paru (alveoli), adalah kata patologis yang
sering digunakan dan menjelaskan, hanya satu dari beberapa abnormalitas
struktural yang terjadi pada penderita PPOK, dengan kata lain emfisema
merupakan suatu diagnosis patologik. Bronkitis kronis, atau batuk dan produksi
sputum selama setidaknya 3 bulan dalam 2 tahun, tetap merupakan konsep
definitif yang berguna secara klinis dan epidemiologi, sehingga bronkitis kronis
dianggap sebagai diagnosis klinis.

2. Gejala Klinis
Gejala PPOK sangat bervariasi dari satu penderita ke penderita lainnya,
dapat dimulai dengan tanpa gejala, gejala ringan sampai berat, mulai dari tanpa
kelainan fisik sampai kelainan fisik yang jelas dan tanda inflasi paru. Oleh karena
itu dibutuhkan diagnosa yang akurat, pemeriksaan penunjang dan diagnosa
banding untuk dapat menegakkan penyakit PPOK.2
Seseorang diduga menderita PPOK bila (i) mengalami batuk kronis yang
umumnya muncul pada siang hari, jarang pada malam hari, (ii) memproduksi
sputum kronis, (iii) -sering mengalami bronkitis akut, (iv) sesak nafas setiap hari,
memburuk pada saat melakukan aktivitas dan terkena infeksi, (v) punya riwayat
terpapar asap rokok (baik perokok aktif maupun perokok pasif), polusi udara,
debu dan bahan kimia di tempat kerja, ataupun asap hasil pembakaran alat
masak, misalnya kayu bakar, arang yang terus menerus (setiap hari sepanjang
tahun), disertai dengan pemeriksaan faal paru. Indikator diagnosis PPOK adalah
penderita di atas usia 40 tahun, dengan sesak napas yang progresif, memburuk
dengan aktivitas, persisten, batuk kronik, produksi sputum kronik, riwayat
pajanan rokok, asap atau gas berbahaya di dalam lingkungan kerja atau rumah.
Penyakit ini seringkali tidak berdiri sendiri, tapi selalu disertai komorbid
yang berkaitan dengan rokok atau ketuaan, karena memang PPOK seringkali
terjadi pada orang perokok dalam jangka lama dan usia lanjut. Penurunan berat
badan, abnormalitas nutrisi dan disfungsi otot skeletal adalah beberapa dampak
PPOK pada ekstrapulmonal. PPOK juga akan meningkatkan risiko terjadinya
infark myokard, angina, osteoporosis, infeksi pernafasan, fraktur, depresi,
diabetes, gangguan tidur, anemia , glukoma dan juga kanker paru.

3. Faktor Resiko
3.1. Genetik.
PPOK adalah penyakit yang melibatkan banyak gen dan
merupakan contoh klasik interaksi gen dan lingkungan. Faktor resiko
genetik yang telah diketahui adalah defisiensi alpha-1 antitrypsin, suatu
penghambat yang bersikulasi dari protease serine.1
3.2. Merokok.
Perokok memeliki prevalensi yang lebih tinggi menderita gejala
dan gangguan fungsi paru, penurunan FEV1 setiap tahun dan angka
mortalitas PPOK yang lebih besar. Resiko PPOK pada perokok,
bergantung pada banyaknya rokok yang dikonsumsi, usia pertama kali
mulai merokok, jumlah total rokok yang dihisap pertahun dan status
merokok saat ini.
3.3. Debu dan Bahan Kimia Okupasi.
Paparan partikel dan bahan kimia okupasi, juga merupakan faktor
resiko berkembangnya PPOK. Meliputi agen kimia dan debu organik dan
anorganik serta bau-bauan.
3.4. Polusi Udara Dalam Rumah.
Pembakaran pada tungku atau kompor yang tidak berfungsi
dengan baik, dapat menyebabkan polusi udara di dalam ruangan.
3.5. Polusi Udara Di Luar Rumah.
Peranan polusi udara luar rumah dalam menyebabkan PPOK
tidak jelas, tetapi tampaknya lebih kecil dibandingkan merokok. Polusi
udara dari pembakaran hutan, asap kendaraan bermotor dan asap-asap
pabrik.
3.6. Stress Oksidatif.
Paru-paru secara terus menerus terpapar oleh oksidan yang
dikeluarkan secara endogendari fagosit dan jenis sel lainnya, atau secara
eksogen dari polusi udara atau asap rokok. Akibat dari
ketidakseimbangan antara oksidan dan anti oksidan maka paru-paru
mengalami stress oksidatif. Selain menghasilkan perlukaan langsung,
juga mengaktivase mekanisme molekuler yang menginisiasi inflamasi
paru.
3.7. Infeksi.
Kolonisasi bakteri yang dihubungkan dengan inflamasi saluran
nafas, dapat juga berperan dalam eksaserbasi. Akibatnya akan
menyebabkan penurunan fungsi paru dan menimbulkan gejala
gangguaan pernafasan.
3.8. Status Sosioekonomi
3.9. Nutrisi.
3.10. Asma.
Pada orang dewasa dengan asma memeliki resiko 12x lipat lebih
besar menderita PPOK, dibandingkan orang dewasa tanpa menderita
asma
BAB III
Patogenesis dan Patofisologis PPOK

Asap rokok dan partikel berbahaya, menyebabkan inflamasi pada paru-


paru yang merupakan suatu respon normal, yang tampak menjadi lebih berat
pada penderita PPOK. Respon abnormal ini menyebabkan kerusakan jaringan
parenkim (menyebabkan emfisema) dan mengganggu perbaikan normal dan
mekanisme pertahanan (menyebabkan fibrosis saluran nafas kecil). Perubahan
patologis ini menyebabkan air trapping dan keterbatasan saluran nafas yang
progresif.
PERUBAHAN PATOLOGI PADA PPOK
Saluran Nafas Proksimal (Trakea, Bronki > 2mm diameter internal)
 Sel inflamasi : Makrofag, CD8+ limfosit T, beberapa neutrofil atau eosinofil.
 Perubahan struktural : Sel goblet, hipertrophi kelenjar submukosal
( keduanya menyebabkan hipersekresi mukus), squamosa metaplasia
epitelium. Saluran Nafas Periferal (Bronkiolus < 2mm)
 Sel inflamasi : Makrofag, (CD8+ > CD4+) limfosit T, limfosit B, folikel limfoid,
fibroblas, beberapa neutrofil atau eosinofil.
 Perubahan struktural : penebalan dinding saluran nafas, fibrosis peribronkial,
eksudat inflamasi luminal, penyempitan saluran nafas, peningkatan respon
inflamasi dan eksudat yang berhubungan dengan kegawatan penyakit.
Parenkim Paru (bronkioulus respirasi dan alveoli)
 Sel inflamasi : Makrofag, CD8+ limfosit T
 Perubahan struktural : kerusakan dinding alveolar, apoptosis dinding epitel
dan endotel.
 Emfisema sentrilobular : dilatasi dan kerusakan bronkiolus respirasi (paling
banyak pada perokok)
 Emfisema parasinar : kerusakan kantung alveolar dan bronkiolus respirasi
(banyak terdapat pada defisiensi alpha-1 antitrypsin)

Vaskular Pulmonal
 Sel inflamasi : Makrofag, limfosit T.
 Perubahan struktural : penebalan intima, disfungsi sel endotel
SEL-SEL INFLAMSI PADA PPOK
Neutrofil : terdapat di dalam sputum perokok normal, kemungkinan berperan
penting dalam hipersekresi mukus dan melalui pelepasan protease.
Makrofag : Sejumlah besar terlihat pada lumen saluran nafas, parenkim paru dan cairan lavage bronkoalveo
dan dapat menyebabkan fagositosis defektif.

Limfosit T : Sel CD4+ dan CD8+ meningkat poada dinding saluran nafas dan
parenkim paru. Sel T CD8+ (Tc1) dan sel Th1 mensekresikan interferon. Sel
CD8+ dapat menjadi sitotoksik terhadap sel-sel alveolar.
Limfosit B : di dalam saluran nafas perifer dan diantara folikel limfoid,
kemungkinan sebagai respon terhadap kolonisasi kronik dan infeksi saluran nafas.

Eosinofil : protein eosinofil terdapat dalam sputum dan eosinofil terdapat pada
dinding saluran nafas saat eksaserbasi.
Sel-sel Epitel : kemungkinan dipicu oleh asap rokok, untuk menghasilkan
mediator inflamasi

1. Patogenesis
Inflamasi paru pada pasien PPOK merupakan suatu respon inflamasi
normal terhadap partikel dan gas beracun seperti asap rokok yang berlangsung
lama. Selain itu faktor genetik ikut mempengaruhi. Inflamasi lebih lanjut,
diperburuk oleh stress oksidatif dan kelebihan proteinase pada paru-paru. Secara
bersamaan, mekanisme ini akan menyebabkan perubahan patologis.
PPOK ditandai oleh pola tertentu dari inflamasi yang melibatkan netrofil,
makrofag dan limfositosis. Sel-sel ini akan melepaskan mediator inflamasi dan
berinteraksi dengan sel struktural, pada saluran nafas dan parenkim paru.
Berbagai mediator inflamasi itu, akan menarik sel inflamasi dari darah ( faktor
kemotakik), memperkuat proses inflamasi (sitokin proinflamasi), dan menginduksi
perubahan struktural (faktor pertumbuhan).
Stress oksidatif mungkin merupakan mekanisme penguat dari proses
terjadinya PPOK. stress oksidatif lebih lanjut, meningkat pada eksaserbasi.
Oksidan dihasilkan oleh asap rokok dan partikulat lainnya, dan dilepaskan dari
sel inflamasi teraktifasi seperti makrofag dan neutrofil. Stress oksidatif memiliki
konsekuensi buruk pada paru paru, yang meliputi aktifasi gen inflamasi, inaktifasi
antiprotese yang menstimulasi sekresi mukus dan eksudat plasma.

PATOGENESIS

Asap rokok, Partikel dan gas beracun

Faktor penjamu

Inflamasi paru

Antioksidan Antiprotease

Stress oksidatif Protease

Mekanisme perbaikan

Patologi PPOK

Patofisiologis
Inflamasi dan air trapping adalah dasar dari PPOK. Pada pasien PPOK
penurunan FEV1 disebakan inflamasi dan penyempitan saluran nafas periferal,
sementara penurunan pertukaran gas disebabkan oleh kerusakan jaringan
parenkim paru. Besarnya inflamasi, fibrosis dan eksudat pada saluran nafas
kecil, berhubungan dengan penurunan FEV1 dan rasio FEV1/FVC. Cepatnya
penurunan FEV1, merupakan karakteristik dari PPOK. Obstruksi saluran nafas
periferal secara progresif, menyebabkan air trapping selama ekspirasi dan
mengakibatkan hiperinflasi. Hiperinflasi ini akan menurunkan kapasitas inspirasi,
sehingga kapasitas residu fungsional meningkat. Diperkirakan hiperinflasi
berkembang sejak awal penyakit dan merupakan mekanisme utama untuk
dispnea eksersional.
Abnormalitas dari pertukaran gas itu akan menyebabkan terjadinya hipoksemia
dan hiperkapnia. Akibat dari obstruksi saluran nafas periferal menyebabkan
ketidakseimbangan ventilasi – perfusi (VA/Q) disertai gangguan fungsi otot
pernafasan, terjadilah retensi CO2.
Hipersekresi mukus, penyebab batuk kronis, tidak dialami semua pasien dengan
PPOK. Hal ini disebabkan metaplasia mukus dengan peningkatan jumlah sel-sel
goblet dan pembesaran kelenjar submukosa, sebagai respon terhadap iritasi
saluran nafas kronis akibat asap rokok dan agen berbahaya lainnya.
Hipertensi ringan juga dapat terjadi pada pasien PPOK. hal ini disebabkan
vasokonstriksi hipoksik dari arteri pulmonal kecil, yang akhirnya menyebabkan
trejadinya hiperplasia intima. Pada PPOK, tejadi respon inflamasi pada pembuluh
darah serupa dengan yang terlihat pada saluran nafas dan pada disfungsi sel
endotel.
BAB IV
DIAGNOSIS PPOK

Diagnosis PPOK secara teoritis ditegakkan didasarkan atas anamnesis,


pemeriksaan fisik, pemeriksaan radiologi, dan pemeriksaan fungsi paru atau
spirometri.

I. Anamnesis
PPOK adalah suatu penyakit menahun, gangguan saluran napas secara
bertahap selama bertahun-tahun. Umumnya terjadi pada perokok, dimulai
dengan berkurangnya kemampuan untuk melakukan pekerjaan berat,
terjadinya perubahan pada saluran nafas kecil dan fungsi paru. Timbul batuk
prodiktif yang lama, mulai sering mendapat infeksi berulang saluran nafas,
kemudian secara perlahan disertai sesak nafas, dan sudah tidak mampu
untuk melakukan aktifitas sehari hari.
Diagnosis klinis PPOK seyogyanya dipertimbangkan pada setiap
penderita yang mengalami dyspneu, batuk kronis dengan produksi sputum
dan/ atau adanya faktor resiko (genetik: defisiensi alfa-1 antitripsin, paparan
rokok dan polusi udara, oksidatif stres, gender, usia, infeksi saluran nafas,
dll).
Batuk-batuk pada pagi hari sering dikatakan oleh penderita karena
merokok, dan dianggap bukan sebagai keluhan oleh penderita. Makin lama
batuk makin berat, timbul sepanjang hari. Bila disertai infeksi saluran nafas,
batuk akan bertambah hebat dan berkurang bila infeksi menghilang.
Umumnya sputum pasien PPOK berwarna putih atau mukoid, bila terdapat
infeksi akan menjadi purulen atau mukopurulen dan kental. Keluhan sesak
bertambah berat bila terdapat infeksi.

II. Pemeriksaan Fisik


Pada stadium dini tidak diketemukan kelainan. Hanya kadang – kadang
terdengar ronkhi pada waktu inspirasi dalam. Bila sudah ada keluhan sesak,
akan terdengar ronkhi pada waktu ekspirasi dan inspirasi disertai mengi.
Pasien biasanya tampak kurus, juga didapatkan tanda – tanda overinflasi
paru seperti diameter anteroosterior dada meningkat ( barrel-shaped chest ),
kifosis, jarak tulang rawan krikotiroid dengan lekukan supra sternal kurang
dari 3 jari, iga lebih horisontal dan sudut subkostal bertambah. Fremitus taktil
dada berkurang bahkan tidak ada
Pada perkusi dada terdengar hipersonor, peranjakan hati mengecil, batas
paru hati lebih rendah, dan pekak jantung berkurang. Suara nafas vesikuler
berkurang dengan ekspirasi memanjang atau kadang normal. Kadang
disertai kontraksi otot otot pernafasan tambahan. Lebih sering didapatkan
dengan hernia inguinalis.

III. Pemeriksaan Radiologis


Pada foto toraks pasien curiga PPOK bisa didapatkan normal atau tidak
ada kelainan, dapat juga ditemukan gambaran bayangan bronkus yang
menebal, corakan bronkovaskuler meningkat,bula, diapragma letak rendah
dan mendatar, paru paru lebih hiperlusen karena adanya air trapping, disertai
posisi jantung yang menggantung.

IV. Pemeriksaan Fungsi Paru


Spirometri adalah pengukuran volume dan aliran udara yang masuk dan
keluar paru-paru. Spirometer dapat mengukur volume paru, seperti volume
tidal dan kapasitas paru, seperti kapasitas total.
Bila pada hasil pemeriksaan spirometri didapatkan hasil 30%<VEP1<70%
dan VEP1 / KVP < 80% maka dipastikan menderita PPOK.
DIAGNOSIS PPOK

Faktor resiko Usia Sesak nafas


Riwayat pajanan : asap rokok, polusi udara, polusi tempat kerja Batuk kronik disertai dahak Keterbatasan aktifiti

Pemeriksaan fisik *

Curiga PPOK ** Pemeriksaan foto torak Infiltrat, massa, dll

Fasiliti spirometri (-) Fasiliti spirometri (+)

Normal 30% < VEP1 < 70 % prediksi VEP1 / KVP < 80 %

PPOK secara Beresiko PPOK PPOK Bukan PPOK


klinis derajat 0 Derajat I/II/III/IV

KETERANGAN

* Pemeriksaan fisik :
 Ekspirasi memanjang
a. Normal
 Mengi
b. Kelainan
 Bentuk dada : Barrel chest
**Foto toraks curiga PPOK
 Penggunaan otot bantu pernapasan
a. Normal
 Pelebarab sela iga
b. Kelainan
 Hipertrofi otot bantu nafas
 Hiperinflasi
 Fremitus melemah, sela iga melebar
 Hiperlusen
 Hipersonor
 Diafragma mendatar
 Suara nafas vesikuler melemah atau
 Corakan bronkovaskuler meningkat
normal
 Bullae
 Jantung pendulum

KLASIFIKASI PPOK
DERAJAT KLINIS FAAL PARU
Derajat 0 : Gejala kronik (batuk, dahak) Spirometri normal
beresiko Terpajan faktor resiko
Derajat I : Dengan atau tanpa gejala VEP1/KVP < 75%
PPOK Ringan klinik ( VEP1  80% prediksi
Derajat II A: Dengan atau tanpa gejala VEP1/KVP < 75%
PPOK Sedang klinik 50 %  VEP1  80% prediksi

Derajat II B: Dengan atau tanpa gejala VEP1/KVP < 75%


PPOK Sedang klinik 30 %  VEP1  50% prediksi

Derajat III: Gagal napas atau gagal VEP1/KVP < 75%


PPOK Berat jantung kanan VEP1  30% prediksi

Diagnosis Banding
1. PPOK
a. Onset usia pertengahan
b. Gejala progresif lambat
c. Riwayat merokok (lama dan jumlah rokok)
d. Sesak saat aktifitas
e. Hambatan aliran udara ireversibel

2. Pada Asma
a. Onset usia dini
b. Gejala bervariasi dari hari ke hari
c. Gejala pada waktu malam lebih menonjol
d. Dapat diketemukan alergi, rhinitis dan eksim
e. Riwayat asma dalam keluarga
f. Hambatan aliran udaranya reversibel

3. Pada Gagal Jantung Kongestif


a. Riwayat hipertensi
b. Rankhi basah halus di basal paru
c. Gambaran foto torak tampak pembesaran jantung dan oedema
d. Pemeriksaan faal paru restriktif. (PPOK Obstruktif)

4. Pada Tuberkulosis
a. Onset semua usia
b. Gambaran foto torak infiltrat
c. Konfirmasi pemeriksaan mikrobiologi (BTA)

5. Pada Sindrom Obstruksi Pasca TB (SOPT)


a. Riwayat terapi TB adekuat
b. Gambaran foto torak fibrosis dan kalsifikasi minimal
c. Pemeriksaan faal paru menunjukkan obstruktif yang tidak reversibel
BAB V
PENATALAKSANAAN PASIEN PPOK

Dampak PPOK pada seseorang pasien, bergantung tidak hanya pada


derajat keterbatasan saluran nafas, tetapi juga pada keparahan gejalanya.
Staging berdasarkan spirometri, adalah pendekatan pragmatik yang ditujukan
pada implementasi praktis dan harus digunakan sebagai alat edukasi dan suatu
indikasi umum untuk dilakukan pengobatan.
Terapi farmakologis digunakan untuk mencegah dan mengendalikan
gejala, mengurangi kekerapan dan keparahan eksaserbasi, meningkatkan
kondisi kesehatan dan meningkatkan toleransi olah raga.
Tujuan dari penatalaksanaan PPOK sendiri :
1. Mencegah progresivitas penyakit
2. Mengurangi gejala
3. Meningkatkan toleransi latihan
4. Mencegah dan mengobati komplikasi
5. Mencegah dan mengobati eksaserbasi berulang
6. Mencegah atau meminimalkan efek samping obat
7. Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru
8. Meningkatkan kualitas hidup penderita
9. Menurunkan angka kematian

Berdasarkan dari tujuan penatalaksanaan PPOK maka program berhenti


merokok juga menjadi perhatian utama, karena asap rokok merupakan penyebab
terpenting bagi timbulnya PPOK.
Untuk mencapai tujuan tersebut dapat dilakukan melalui 4 komponen
program tatalaksana :
1. Evaluasi dan monitor penyakit
Riwayat penyakit yang rinci pada pasien yang dicurigai atau pasien
yang telah di diagnosis PPOK digunakan untuk evaluasi dan monitoring
penyakit :
a. Pajanan faktor resiko, jenis zat dan lamanya terpajan.
b. Riwayat timbulnya gejala atau penyakit
c. Riwayat keluarga PPOK atau penyakit paru lain, misalnya Asma
dan TB paru.
d. Riwayat eksaserbasi atau perawatan di rumah sakit akibat
penyakit paru kronik lainnya.
e. Penyakit komorbid yang ada, misal penyakit jantung, rematik
atau penyakit yang menyebabkan keterbatasan aktifitas.
f. Rencana pengobatan terkini yang sesuai dengan derajat PPOK.
g. Pengaruh penyakit terhadap kehidupan pasien seperti
keterbatasan aktifitas, kehilangan waktu kerja dan pengaruh
ekonomi, dan perasaan cemas.
h. Kemungkinan untuk mengurangi faktor resiko terutama berhenti
merokok.
i. Dukungan dari keluarga.

Karakteristik gejala PPOK adalah dispnea kronik dan progresif,


artinya fungsi paru akan menurun seiring bertambahnya usia, batuk dan
produksi sputum, dapat mendahului terjadinya keterbatasan aliran nafas.
Meski PPOK didefinisikan atas dasar keterbatasan aliran nafas, pada
prakteknya keputusan untuk mendapatkan pertolongan medis umumnya
ditentukan dari dampak suatu gejala terhadap kualitas hidup pasien.
Untuk itu monitor penting yang harus dilakukan adalah memperhatikan
gejala klinis dan fungsi paru penderita.

2. Menurunkan faktor resiko


Berhenti merokok merupakan satu-satunya intervensi yang paling
efektif dalam mengurangi resiko berkembangnya PPOK dan
memperlambat progesifitas penyakit.
Proses berhenti dari kebiasaan merokok ini memang tidak
semudah membalik telapak tangan, butuh niat yang kuat dari penderita
dan kalau perlu bisa dibantu dengan farmakoterapi. Kebiasaan merokok
ini bahkan bisa masuk kategori candu karena begitu seseorang mencoba
merokok maka nikotin yang terserap dalam darah akan diteruskan ke
otak dan ditangkap oleh reseptor alfa 4 beta 2 sehingga merangsang
pelepasan dopamin yang memberikan rasa nyaman. Sehingga saat
seseorang berhenti merokok, dopamin akan berkurang dan menimbulkan
hilangnya rasa nyaman selanjutnya akan timbul keinginan kembali untuk
merokok, terjadilah lingkaran setan yang akan sangat sulit diputuskan.
Untuk itu bagi kita para dokter telah dibuatkan strategi untuk
membantu pasen berhenti merokok. Dikenal dengan istilah 5 A:
a. Ask ( Tanyakan )
Mengidentifikasi semua perokok pada setiap kunjungan.
b. Asdvise ( Nasihati )
Beri dorongan yang kuat untukberhenti merokok.
c. Assessment ( menilai )
Keinginan untuk usaha berhenti merokok.
d. Assist ( membantu )
Membantu pasien dengan rencana berhenti merokok, menyediakan
konseling dan merekomendasikan penggunaan farmakoterapi.
e. Arrange (Atur)
Buat jadwal kontak lebih lanjut.
3. Tatalaksana PPOK stabil

Tatalaksana PPOK stabil

EDUKASI FARMAKOLOGI NON FARMAKOLOGI

Berhenti merokok Rehabilitasi


Pengetahuan REGULER Terapi oksigen
dasar PPOK Bronkodilator Anti kolinergik Vaksinasi *
Obat-obatan Nutrisi
Pencegahan
2
 Agonis Ventilasi non mekanik
perburukan
Xantin Intervensi bedah
penyakit
Kombinasi SABA + Antikolinergik Kombinasi LABA + Kortikosteroid Antioksidan
Menghindari
pencetus
Penyesuaian
aktifitas

Dipertimbangkan mukolitik
Keterangan :
 Kortikosteroid hanya diberikan kepada penderita dengan uji steroid positif. Uji
steroid positif adalah bila dengan pemberian steroid oral selama 10-14 hari atau
inhalasi selama 6 minggu – 3 bulan menujukkan perbaikan gejala klinisatau fungsi
paru.
 SABA : short acting 2 Agonis

 LABA : long actng 2 Agonis

* Vaksinasi Influensa dipertimbangkan pemberiannya pada :


 Pasien usia diatas 60 tahun
 Pasien PPOK sedang dan berat

4. Tatalaksana PPOK eksaserbasi


Akut eksaserbasi adalah suatu kejadian yang terjadi secara
alamiah, dalam perjalanan penyakit PPOK hal itu ditandai dengan
perubahan dispnea, batuk, dan atau produksi sputum yang jauh dari
normal.

Gejala eksaserbasi akut :


 Batuk bertambah
 Produksi sputum bertambah
 Sputum berubah warna
 Sesak napas bertambah
 Keterbatasan aktifitas bertambah
 Penurunan kesadaran

Prinsip penatalaksanaan eksaserbasi PPOK


1. Optimalisasi penggunaan obat-obatan
a. Bronkodilator
 Agonis beta-2 kerja cepat kombinasi dengan antikolinergik
perinhalasi (nebuliser)
 Xantin intravena (bolus dan drip)
b. Kortikosteroid sistemik
c. Antibiotik
 Gol. Makrolid baru
 Gol. Kuinolon
 Sefalosporin generasi III / IV
d. Mukolitik
e. Ekspektoran
2. Terapi oksigen
3. Terapi nutrisi
4. Rehabilitasi fisik dan respirasi
5. Evaluasi progesifitas penyakit
6. Edukasi

Penatalaksanaan pasien PPOK eksaserbasi akut bisa dilakukan


dengan rawat jalan atau rawat inap bergantung pada kondisi pasien.
BAB VI
REHABILITASI pada PENDERITA PPOK

Pada penderita PPOK, terdapat gangguan mekanis dan pertukaran gas


pada sistim pernapasan dan menurunnya aktivitas fisik pada kehidupan sehari-
hari. Peningkatan volume paru dan tahanan aliran udara dalam saluran napas
akan meningkatkan kerja pernapasan. Penyakit ini bersifat kronis dan progrresif,
makin lama kemampuan penderita akan menurun bahkan penderita akan
kehilangan stamina fisiknya.
Parameter penting keberhasilan penanganan pasien PPOK adalah
meningkatnya kualitas hidup pasien. Dalam mengelola penderita PPOK, di samping
pemberian obat-obatan dan penghentian merokok juga diperlukan terapi tambahan yang ditujukan untuk mengatasi
masalah tersebut yakni rehabilitasi medis, khususnya fisioterapi pernapasan.
Fisioterapi pernapasan adalah suatu tindakan dalam rehabilitasi medis yang bertujuan mengurangi cacat
atau ketidak mampuan penderita, dan diharapkan penderita merasa terbantu untuk mengatasi ketidak mampuannya
sehingga mereka dapat mengurus diri sendiri tanpa banyak tergantung pada orang lain. Namun sayangnya upaya ini
kurang diminati oleh para dokter bahkan sering kali dilupakan orang.

TUJUAN REHABILITASI PARU


Rehabilitasi didefinisikan sebagai : memulihkan individu ke arah potensi
fisik, medik, mental, emosional, ekonomi sosial dan vokasional sepenuhnya
menurut kemampuannya. Maka jelaslah bahwa tingkat pemenuhan tujuan
program rehabilitasi paru tergantung pada derajat insufisiensi pernapasan, dan
tindakan yang ditempuh tergantung pula pada faktor-faktor yang berpengaruh
pada penderita. Meskipun demikian, tiap usaha harus dilakukan untuk membawa
penderita. ke arah perbaikan fisik yang maksimal dan pemakaian energi yang
optimal tetapi efisien, sehingga penderita dapat melakukan pekerjaannya sehari-
hari. Jika hal ini tidak mungkin, harus diusahakan latihan kerja yang lebih ringan,
dan harus ditekankan agar penderita mempunyai percaya diri dan mengurangi
ketergantungan pada keluarga dan masyarakat.

REHABILITASI PARU PADA PPOK


Dalam mengelola penderita PPOK, rehabilitasi medis pada paru
(rehabilitasi pulmonal) mempunyai 2 aspek yakni:
1) Rehabilitasi fisik, terdiri dari:
1.1. Latihan relaksasi
1.2. Terapi fisik dada
1.3. Latihan pernapasan
1.4. Latihan meningkatkan kemampuan fisik
2) Rehabilitasi psikososial dan vokasional, terdiri dari:
2.1. Pendidikan perseorangan dan keluarga
2.2. Latihan pekerjaan
2.3. Penempatan tugas
2.4. Latihan merawat diri sendiri

Kedua aspek rehabilitasi medis tersebut diterapkan dalam mengelola


semua penderita PPOK tanpa memandang etiologi dan derajat penyakitnya.
Rehabilitasi fisik dapat dilakukan pada stadium dini atau stadiun lanjut dari
penyakitnya. Penderita dilatih untuk memakai cadangan napasnya seefektif
mungkin dengan mengubah pola bernapas untuk memperoleh potensi yang
optimal bagi kegiatan fisiknya.
Rehabilitasi psikososial dan vokasional dipertimbangkan bila penderita
tidak dapat mencapai keinginan fisik-psikologis untuk melakukan kegiatan seperti
biasanya. Bila pendidikan pada tingkat tersebut tidak mungkin, rehabilitasi
ditujukan untuk memberi kesempatan pada penderita untuk dapat melakukan
kegiatan minimal termasuk mengurus diri sendiri.

I. Latihan relaksasi
Tujuan latihan relaksasi adalah:
1) Menurunkan tegangan otot pernapasan, terutama otot bantu
pernapasan.
2) Menghilangkan rasa cemas karena sesak napas.
3) Memberikan sense of well being.
Penderita PPOK yang mengalami insufisiensi pernapasan selalu merasa tegang, cemas
dan takut mati tersumbat. Untuk mengatasi keadaan ini penderita berusaha membuat posisi yang
menguntungkan terutama bagi gerakan diafragmanya. Sikap ini dicapai dengan memutar bahu ke depan
dan membungkukkan badan ke depan pula. Sikap ini selalu diambil setiap akan memulai rehabilitasi
fisik (drainase postural, latihan pernapasan). Agar penderita memahami, latihan ini harus diperagakan.
Latihan relaksasi hendaknya dilakukan di ruangan yang tenang, posisi yang nyaman yaitu telentang
dengan bantal menyangga kepala dan guling di bawah lutut atau sambil duduk.
II. Terapi fisik dada
Timbunan sekret yang sangat kental jika tidak dikeluarkan akan
menyumbat saluran napas dan merupakan media yang baik bagi
pertumbuhan kuman. Infeksi mengakibatkan radang yang menambah
obstruksi saluran napas. Bila berlangsung terus sehingga mengganggu
mekanisme batuk dan gerakan mukosilier, maka timbunan sekret
merupakan penyulit yang cukup serius.
Terapi fisik (fisioterapi) dada ditujukan untuk melepaskan dan
membantu menggerakkan sekret dan saluran napas kecil ke trakea;
dapat dilakukan dengan cara drainase postural, perkusi dinding dada,
vibrasi menggunakan tangan (manual) atau dengan bantuan alat
(mekanik). Perkusi dengan vibrasi cepat, ketukan dengan telapak tangan
(clapping), atau memakai rompi perkusi listrik serta latihan batuk akan
memperbaiki mobilisasi dan klirens sekret bronkus dan fungsi paru pada
penderita PPOK dengan produksi sputum yang meningkat (>30 ml/ hari).
Pada penderita dengan serangan asma akut, pneumonia akut, gagal
napas, penderita yang memakai ventilator, dan penderita PPOK dengan
produksi sputum yang minimal (<30 ml/hari), fisioterapi dada tidak
berefek dan bahkan membahayakan.
Dalam melakukan drainase postural harus diperhatikan posisi
penderita yang disesuaikan dengan anatomi percabangan bronkus.
Tindakan ini dilakukan 2 kali sehari selama 5 menit. Sebelum dilakukan
drainase postural sebaiknya penderita minum banyak atau diberikan
mukolitik, bronkodilator perinhalasi untuk memudahkan pengaliran sekret.

III. Latihan pernapasan


Latihan pernapasan dilakukan setelah latihan relaksasi dikuasai
penderita. Tujuan latihan pernapasan adalah untuk:
1. Mengatur frekuensi dan pola napas sehingga mengurangi air
trapping

2. Memperbaiki fungsi diafragma


3. Memperbaiki mobilitas sangkar toraks
4. Memperbaiki ventilasi alveoli untuk memperbaiki pertukaran gas
tanpa meningkatkan kerja pernapasan
5. Mengatur dan mengkoordinir kecepatan pernapasan sehingga bernapas lebih
efektif dan mengurangi kerja pernapasan.

Selain itu pada penderita PPOK tendapat hambatan aliran udara terutama pada
waktu ekspirasi. Pada umumnya letak diafragma rendah dan posisi sangkar toraks sangat tinggi sehingga
secara mekanis otot-otot pernapasan bekerja kurang efektif. Pada umumnya fungsi diafragma penderita
PPOK kurang dan 35% volume tidal, akibatnya penderita selalu menggunakan otot-otot bantu
pernapasan. Latihan otot-otot pernapasan akan meningkatkan kekuatan otot pernapasan, meningkatkan
tekanan ekspirasi (PE max) sekitar 37%.

Latihan pernapasan meliputi:


a) Latihan pernapasan diafragma
Tujuan latihan pernapasan diafragma adalah : menggunakan
diafragma sebagai usaha pernapasan, sementara otot-otot bantu
pernapasan mengalami relaksasi.
Manfaat pernapasan diafragma:
1) Mengatur pernapasan pada waktu serangan sesak napas dan waktu
melakukan pekerjaan/latihan.
2) Memperbaiki ventilasi ke arah basal paru.
3) Melepaskan sekret yang melalui saluran napas.

Dengan pernapasan diafragma maka akan terjadi peningkatan


volume tidal, penununan kapasitas residu fungsional dan peningkatan
ambilan oksigen optimal.

Latihan ini dapat dilakukan dengan prosedur berikut :


1. Sebelum melakukan latihan, bila terdapat obstruksi saluran napas yang
reversibel dapat diberi bronkodilator. Bila terdapat hipersekresi mukus dilakukan drainase postural dan
latihan batuk. Pemberian oksigen bila penderita mendapat terapi oksigen di rumah.

2. Posisi penderita bisa duduk, telentang, setengah duduk, tidur miring ke


kiri atau ke kanan, mendatar atau setengah duduk.
3. Penderita meletakkan salah satu tangannya di atas perut bagian tengah,
tangan yang lain di atas dada. Akan dirasakan perut bagian atas
mengembang dan tulang rusuk bagian bawah membuka. Penderita perlu
disadarkan bahwa diafragma memang turun pada waktu inspirasi. Saat
gerakan (ekskursi) dada minimal. Dinding dada dan otot bantu napas
relaksasi.
4. Penderita menarik napas melalui hidung dan saat ekspirasi pelan-pelan
melalui mulut (pursed lips breathing), selama inspirasi, diafragma sengaja dibuat aktif dan
memaksimalkan protrusi (pengembangan) perut. Otot perut bagian depan dibuat berkontraksi selama
inspirasi untuk memudahkan gerakan diafragma dan meningkatkan ekspansi sangkar toraks bagian
bawah.

5. Selama ekspirasi penderita dapat menggunakan kontraksi otot perut


untuk menggerakkan diafragma lebih tinggi. Beban seberat 0,5 -1 kg
dapat diletakkan di atas dinding perut untuk membantu aktivitas ini.

Latihan pernapasan pernapasan diafragma sebaiknya dilakukan


bersamaan dengan latihan berjalan atau naik tangga. Selama latihan, penderita harus
diawasi untuk mencegah kesalahan yang sering terjadi seperti :

 Ekspirasi paksa:
Hal ini akan memperberat obstruksi saluran napas, meningkatkan
tekanan intrapleura dan terjadi air trapping jika saluran napas yang rusak dan mudah kolaps
ditekan oleh tekanan intrapleura.

 Perpanjangan ekspirasi:
Menyebabkan pernapasan berikutnya tidak teratur dan tidak
efisien, pola pernapasan kembali ke pernapasan dada bagian atas yang
tidak teratur disertai dengan aktifnya otot bantu pernapasan.
 Gerakan tipuan abdomen:
Otot perut berkontraksi dan relaksasi tetapi tidak ada perbaikan
dan ventilasi.
 Penggunaan dada bagian atas secara berlebihan:
Hal ini dapat mengganggu gerakan diafragma, kebutuhan O2
meningkat karena otot bantu pernapasan bekerja lebih keras.

b) Pursed lips breathing


Pursed lips breathing (PLB) dilakukan dengan cara menarik napas
(inspirasi) secara biasa beberapa detik melalui hidung (bukan
menarik napas dalam) dengan mulut tertutup, kemudian mengeluarkan
napas (ekspirasi) pelan-pelan melalui mulut dengan posisi seperti bersiul,
lamanya ekspirasi 2-3 kali lamanya inspirasi, sekitar 4-6 detik. Penderita
tidak diperkenankan mengeluarkan napas terlalu keras.
PLB dilakukan dengan atau tanpa kontraksi otot abdomen selama ekspirasi. Selama PLB tidak
ada udara ekspirasi yang mengalir melalui hidung, karena terjadi elevasi involunter dari palatum molle
yang menutup lubang nasofaring. Dengan pursed lips breathing (PLB) akan terjadi peningkatan tekanan
pada rongga mulut, kemudian tekanan ini akan diteruskan melalui cabang-cabang bronkus sehingga
dapat mencegah air trapping dan kolaps saluran napas kecil pada waktu ekspirasi. Hal ini akan
menurunkan volume residu, kapasitas vital meningkat dan distribusi ventilasi merata pada paru sehingga
dapat memperbaiki pertukaran gas di alveol. Selain itu PLB dapat menurunkan ventilasi semenit,
frekuensi napas, meningkatkan volume tidal, PaO 2 saturasi oksigen darah, menurunkan PaCO 2 dan
memberikan keuntungan subjektif karena mengurangi rasa sesak napas pada penderita. Pursed lips
breathing akan menjadi lebih efektif bila dilakukan bersama-sama dengan pernapasan diafragma.
Ventilasi alveoler yang efektif terlihat setelah latihan berlangsung lebih dari 10 menit.

c) Latihan batuk
Batuk merupakan cara yang efektif untuk membersihkan benda
asing atau sekret dan saluran pernapasan. Batuk yang efektif harus
memenuhui kriteria:
1) Kapasitas vital yang cukup untuk mendorong sekret.
2) Mampu menimbulkan tekanan intra abdominal dan intratorakal
yang cukup untuk mendorong udara pada fase ekspulsi.

Cara melakukan batuk yang baik:


Posisi badan membungkuk sedikit ke depan sehingga memberi
kesempatan luas kepada otot dinding perut untuk berkontraksi, sehingga
menimbulkan tekanan intratorak Tungkai bawah fleksi pada paha dan
lutut, lengan menyilang di depan perut. Penderita diminta menarik napas
melalui hidung, kemudian menahan napas sejenak, disusul batuk dengan
mengkontraksikan otot-otot dinding perut serta badan sedikit
membungkuk ke depan.
Cara ini diulangi dengan satu fase inspirasi dan dua tahap fase
ekspulsi. Latihan diulang sampai penderita menguasai. Penderita yang
mengeluh sesak napas saat latihan batuk, diistirahatkan dengan
melakukan Iatihan pernapasan diantara dim latihan batuk. Bila penderita
tidak mampu batuk secara efektif, dilakukan rangsangan dengan alat
penghisap (refleks batuk akan terangsang oleh kateter yang masuk
trakea) atau menekan trakea dari satu sisi ke sisi yang lain.

IV. Latihan meningkatkan kemampuan fisik


Bertujuan meningkatkan toleransi penderita terhadap aktivitas dan
meningkatkan kemampuan fisik, sehingga penderita hidup lebih aktif dan
lebih produktif. Pengaturan tingkat latihan dimulai dengan tingkat berjalan
yang disesuaikan dengan kemampuan awal tiap penderita secara
individual, yang kemudian secara bertahap ditingkatkan ke tingkat
toleransi yang paling besar. Jarak maksimum dalam latihan berjalan yang
dicapai oleh penderita merupakan batas untuk mulai meningkatkan
latihan dengan menaiki tangga. Selama latihan penderita harus dibantu
dengan pemberian oksigen untuk menghindari penununan saturasi
oksigen secara drastis yang dapat membahayakan jantung. Penderita
harus diawasi dengan baik, secara berkala gas darah arteri diukur
tenutama pada penderita dengan hipoventilasi alveoler, untuk mencegah
retensi CO2 yang berlebihan.
Pemberian oksigen selama latihan harus diteruskan sampai
penderita mendapat manfaat yang maksimal, setelah itu lambat laun
dapat dikurangi.
Kepustakaan

1. PPOK. ETHICAL DIGEST, Semijurnal Farmasi dan Kedokteran no 37 Maret


2007
2. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) PPOK. Pedoman Praktis
Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia, Revisi Juni 2004
3. Rasional Media informasi peresepan rasional bagi tenaga kesehatan
Indonesia Volume 4, Nomor 2 September 2006 ISSN 1411 – 8742 dan
Volume 4, Nomor 3 Desember 2006 ISSN 1411 – 8742
4. Penyakit paru obstruktif kronik. Ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia
"http://id.wikipedia.org/wiki/Penyakit_paru_obstruktif_kronik"
5. Managemen Komprehensif Penyakit Paru Obstruktif Kronis, SIMPOSIA
- Majalah Farmacia Edisi Desember 2007 , Halaman: 58 (26 hits)
6. Mansjoer, Arif dkk. Kapita Selekta Kedokteran edisi ketiga, Media
Aesculapius, 2001. Hal 480 - 482
7. Buku ajar ilmu Penyakit Dalam jilid II edisi keempat, Balai Penerbit FKUI,
Jakarta 2006

Anda mungkin juga menyukai