Kelompok 4 Fraud
Kelompok 4 Fraud
“FRAUD”
Disusun oleh :
Kelompok 4
Dedy M. Mujianto 21702009
Ayu E. Biantoro 21702005
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Kuasa yang telah
memberikan kami hikmat sehingga dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.
Makalah ini berjudul " FRAUD".
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik
dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun, selalu kami harapkan demi
kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas
kepada pembaca.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan
serta dalam penyusunan makalah ini dari awal hingga dapat selesai dengan baik.
Penulis
2
Daftar Isi
DAFTAR ISI...................................................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................................3
A. Latar Belakang......................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah................................................................................................................4
C. Tujuan...................................................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................................6
A. Pengertian Fraud....................................................................................................................6
B. Jenis-Jenis Fraud...................................................................................................................7
C. Bentuk-Bentuk Fraud............................................................................................................8
D. Faktor-Faktor Terjadinya Fraud...........................................................................................9
E. Perilaku Pelaku Fraud dalam Perusahaan..........................................................................13
F. Bidang Pekerjaan yang Rentan Terjadi Fraud...................................................................14
G. Fraud/Kecurangan dalam Laporan Keuangan...................................................................15
H. Pihak-Pihak yang Dapat Mencegah, Mendeteksi serta Menangani Fraud.......................17
I. Perkembangan Standar-Standar Pengauditan yang Mengatur Pendeteksian
Kecurangan oleh Auditor Eksternal.........................................................................................19
J. Faktor-Faktor Penyebab Kegagalan Pendeteksian Kecurangan.......................................21
K. Lingkungan Pekerjaan Audit yang Mengurangi Kualitas Audit......................................26
L. Metode dan Prosedur Audit yang Tidak Efektif dalam Pendeteksian Kecurangan.........29
M. Analisis Atas Upaya Perbaikan dalam Pendeteksian Kecurangan...................................31
BAB III PENUTUP.......................................................................................................................33
Daftar Pustaka................................................................................................................................34
3
BAB I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Laporan keuangan merupakan suatu penyajian terstruktur dari posisi keuangan yang
menunjukkan kinerja keuangan suatu entitas. Laporan keuangan secara umum bertujuan
untuk memberikan informasi mengenai posisi keuangan, kinerja keuangan, dan arus kas
entitas yang bermanfaat bagi sebagian besar kalangan pengguna laporan keuangan dalam
pembuatan keputusan ekonomi serta menunjukkan pertanggungjawaban manajemen atas
penggunaan sumber daya yang dipercayakan kepada mereka (IAI, 2009). Ketika terdapat
salah saji material dalam laporan keuangan, maka informasi tersebut menjadi tidak relevan
untuk dipakai sebagai dasar pengambilan keputusan karena analisis yang dilakukan tidak
berdasarkan informasi yang sebenarnya. Kecurangan sendiri dilakukan dengan berbagai
motivasi, salah satunya demi kepentingan pemilik (teori agensi).
Dalam akuntansi, dikenal ada dua jenis kesalahan yaitu kekeliruan (error) dan
kecurangan (fraud). Perbedaan antara kedua jenis kesalahan ini hanya dibedakan oleh jurang
yang sangat tipis, yaitu ada atau tidak adanya unsur kesengajaan. Standar pun mengenali
bahwa seringkali mendeteksi kecurangan lebih sulit dibandingkan dengan kekeliruan karena
pihak manajemen atau karyawan akan berusaha menyembunyikan kecurangan itu.Kekeliruan
terjadi pada tahap pengelolaan transaksi, saat terjadinya transaksi, dokumentasi, pencatatan
jurnal, pencatatan debit kredit, dan laporan keuangan. Jika kesalahan dilakukan dengan
sengaja, maka hal tersebut merupakan kecurangan. (Karyono, 2015 :13).
Tindakan pemanipulasian laporan keuangan merupakan salah satu bentuk kecurangan.
Kecurangan pelaporan keuangan didefinisikan sebagai tindakan penyimpangan secara
sengaja terhadap arsip perusahaan seperti kesalahan penerapan prinsip akuntansi, yang
menghasilkan laporan keuangan menyesatkan secara material (Komisi Treadway, dalam
Rachmawati, 2014).
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari makalah ini adalah :
4
1. Pengertian Fraud
2. Jenis-jenis Fraud
3. Bentuk-bentuk Fraud
4. Faktor-faktor terjadinya sebuah fraud dalam sebuah perusahaan
5. Perilaku pelaku fraud dalam perusahaan
6. Bidang pekerjaan yang rentan terjadi fraud
7. Fraud dalam Laporan Keuangan
8. Pihak-pihak yang dapat mencegah, mendeteksi serta menangani fraud
C. Tujuan
Adapun tujuan penulisan karya tulis ini adalah agar mahasiswa lebih memahami dan
mendalami pokok bahasan yang berjudul Fraud, khususnya tentang Pengertian Fraud, jenis-
jenis fraud, bentuk-bentuk fraud, faktor-faktor terjadinya fraud dalam sebuah perusahaan,
perilaku fraud dalam perusahaan, bidang pekerjaan yang rentan terjadi fraud, fraud dalam
laporan keuangan, dan pihak-pihak yang dapat mencegah, mendeteksi serta menangani fraud.
5
BAB II.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Fraud
Fraud secara istilah dapat diartikan sebagai kecurangan atau penipuan dengan tujuan
untuk memperoleh keuntungan secara material dan non material. Menurut Bank Indonesia
dalam surat edaran untuk Bank Umum Indonesia Nomor 13/28/DPNP, yang dimaksud
dengan fraud adalah tindakan penyimpangan atau pembiaran yang sengaja dilakukan untuk
mengelabui, menipu, atau memanipulasi bank, nasabah, atau pihak lain, yang terjadi di
lingkungan bank dan/atau menggunakan sarana bank sehingga mengakibatkan bank, nasabah
atau pihak lain menderita kerugian dan/atau pelaku fraud memperoleh keuntungan keuangan
baik secara langsung maupun tidak langsung. Ernst dan Young (2003) menemukan bahwa
lebih dari setengah pelaku fraud adalah pihak manajemen.(Tunggal, 2014:13).
Menurut Koroy (2008) bahwa diantara kasus-kasus kecurangan tersebut, jenis
kecurangan yang paling banyak tejadi adalah asset misappropriations (85%), kemudian
korupsi (13%) dan jumlah paling sedikit (5%) adalah kecurangan laporan keuangan
(Fraudulent statement). Kecurangan laporan keuangan adalah masalah sosial dan ekonomi.
Hal ini akan mengakibatkan pada menurunnya reputasi masyarakat mengenai perusahaan,
sehingga dapat mengarahkan perusahaan pada kebangkrutan. (Tunggal, 2016 : 7).
Menurut Association of Certified Fraud Examiners (ACFE), fraud adalah perbuatan
curang yang dilakukan dengan berbagai cara secara licik dan bersifat menipu dan sering
tidak disadari oleh korban yang dirugikan. (Sjahputra, 2010:4).
Menurut Webster’s New World Dictionary mendefenisikan fraud sebagai suatu
pembohongan atau penipuan (deception) yang dilakukan demi kepentingan pribadi,
sementara Menurut International Standards of Auditing seksi 240 – The Auditor’s
Responsibility to Consider Fraud in an Audit of Financial Statement paragraph 6
mendefenisikan fraud sebagai “…tindakan yang disengaja oleh anggota manajemen
perusahaan, pihak yang berperan dalam governance perusahaan, karyawan, atau pihak ketiga
6
yang melakukan pembohongan atau penipuan untuk memperoleh keuntungan yang tidak adil
atau illegal”. (Kuntanti, 2016:18).
B. Jenis-Jenis Fraud
Menurut Steve dikutip oleh Nguyen (2008), fraud diklasifikasikan menjadi lima
jenis, yaitu:
1. Embezzlement Employee atau Occupational Fraud
Merupakan jenis fraud yang dilakukan oleh bawahan kepada atasan. Jenis fraud ini
dilakukan bawahan dengan melakukan kecurangan pada atasannya secara langsung
maupun tidak langsung.
2. Management Fraud
Merupakan jenis fraud yang dilakukan oleh manajemen puncak kepada pemegang
saham, kreditor dan pihak lain sebagai pengguna laporan keuangan. Jenis fraud ini
dilakukan manajemen puncak dengan cara menyediakan penyajian yang keliru, biasanya
pada informasi keuangan.
3. Investment Scams
Merupakan jenis fraud yang dilakukan oleh individu/perorangan kepada investor. Jenis
fraud ini dilakukan individu dengan mengelabui atau menipu investor dengan cara
menanamkan uangnya dalam investasi yang salah
4. Vendor Fraud
Merupakan jenis fraud yang dilakukan oleh suatu organisasi atau perorangan yang
menjual barang atau jasa kepada organisasi atau perusahaan yang juga menjual barang
atau jasa. Jenis fraud ini dilakukan organisasi dengan memasang harga terlalu tinggi
untuk barang dan jasa atau tidak adanya pengiriman barang meskipun pembayaran telah
dilakukan.
5. Customer Fraud
Merupakan jenis fraud yang dilakukan oleh pelanggan kepada organisasi atau perusahaan
yang menjual barang atau jasa. Jenis fraud ini dilakukan pelanggan melalui cara
membohongi penjual dengan mengatakan barang yang diberikan kepada pelanggan
tersebut tidak seharusnya atau menuduh penjual memberikan lebih sedikit dari yang
sebenarnya.
7
Menurut Hall & Singleton (2007:263), auditor biasanya berhubungan dengan
kecurangan pada dua tingkat yaitu :
Kecurangan oleh karyawan (employee fraud)
Kecurangan ini biasanya didesain untuk secara langsung mengonversi kas atau aset
lainnya demi keuntungan pribadi karyawan terkait.
Kecurangan oleh pihak manajemen (management fraud)
Kecurangan ini lebih tidak tampak daripada kecurangan oleh karyawan, karena sering kali
kecurangan semacam ini lolos dari deteksi sampai terjadinya kerusakan atau kerugian
besar yang menyulitkan perusahaan.
C. Bentuk-Bentuk Fraud
Secara skematis, format klasifikasi yang diambil dari The Association of Certified
Fraud Examiners ada tiga bentuk kecurangan yaitu penyalahgunaan aset (asset
misappropriation), kecurangan laporan keuangan (fraudulent statements) dan korupsi
(corruption). Berikut penjelasan dari bentuk-bentuk fraud yaitu:
1. Penyalahgunaan Aset (Asset Misappropriation)
Penyalahgunaan aset merupakan kecurangan yang melibatkan pencurian atas aset
milik suatu entitas (Elder, et al., 2008:374). Ini merupakan bentuk fraud yang paling
mudah dideteksi karena sifatnya tangible atau dapat diukur/dihitung.
2. Kecurangan Laporan Keuangan (Fraudulent statements)
Fraudulent statements atau kecurangan dalam laporan keuangan merupakan salah saji
atau penghapusan terhadap jumlah atau pun pengungkapan yang sengaja dilakukan
dengan tujuan untuk mengelabui para penggunanya (Elder, et al., 2008:372). Dalam hal
ini perusahaan-perusahaan dengan sengaja melebihsajikan ataupun mengurangsajikan
pendapatan. Praktik semacam ini dikenal dengan income smoothing dan earnings
management.
3. Korupsi (Corruption)
Korupsi banyak terjadi di negara-negara yang memilki sistem penegakan hukum yang
lemah, serta kurangnya kesadaran akan tata kelola yang baik sehingga faktor integritasnya
masih dipertanyakan. Jenis fraud ini yang paling sulit dideteksi karena menyangkut kerja
sama dengan pihak lain seperti suap dan korupsi yang memiliki hubungan simbiosis
mutualisme. Menurut The Association of Certified Fraud Examiners (ACFE), korupsi
8
terbagi atas penyalahgunaan wewenang/konflik kepentingan (conflict of interest),
penyuapan (bribery), penerimaan yang tidak sah/illegal (illegal gratuities) dan pemerasan
secara ekonomi (economic extortion).
D. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Fraud
Menurut Donald Cressey (1953) dalam risetnya menyimpulkan bahwa ada tiga
kondisi yang menyebabkan kecurangan. Ketiga kondisi itu disebut dengan konsep fraud
triangle. Ketiga kondisi tersebut terdiri dari tekanan (pressure), kesempatan (opportunity)
dan rasionalisasi (rationalization).
1. Tekanan (Pressure)
Tekanan menyebabkan seseorang melakukan kecurangan. Tekanan dapat berupa
macam-macam termasuk gaya hidup, tuntutan ekonomi, dan lain-lain. Tekanan paling sering
datang dari adanya tekanan kebutuhan keuangan. Kebutuhan ini seringkali dianggap
kebutuhan yang tidak dapat dibagi dengan orang lain untuk bersama-sama
menyelesaikannya sehingga harus disesuaikan secara tersembunyi dan pada akhirnya
menyebabkan terjadinya kecurangan.
Menurut SAS No. 99, terdapat empat kondisi yang umum terjadi pada tekanan yang
mengakibatkan kecurangan. Kondisi tersebut adalah Stabilitas Keuangan (financial
stability), Tekanan Eksternal (external pressure), Kebutuhan Keuangan Pribadi (personal
financial need) dan Target Keuangan (financial targets).
Stabilitas Keuangan (Financial Stability)
9
Stabilitas keuangan merupakan keadaan yang menggambarkan kondisi keuangan
perusahaan dalam kondisi stabil. Penilaian mengenai kestabilan kondisi keuangan
perusahaan dapat dilihat dari keadaan asetnya. Total aset menggambarkan kekayaan
yang dimiliki oleh perusahaan. Tingginya aset yang dimiliki oleh perusahaan menjadi
daya tarik bagi investor. Oleh karena itu manajemen sering memanipulasi laporan
keuangan agar terlihat kondisi keuangan perusahaan stabil. Selain itu, adanya
perubahan presentase total aset yang tinggi mengindikasikan terjadinya manipulasi
pada laporan keuangan.
Tekanan Eksternal (External Pressure)
Tekanan yang berlebihan bagi manajemen untuk memenuhi persyaratan atau
harapan dari pihak ketiga dapat memicu terjadinya tindak kecurangan. Tekanan
tersebut dapat berbentuk dalam hal kemampuan untuk mendapatkan pinjaman dari
luar perusahaan serta kemampuan untuk membayar pinjaman. Leverage (LEV)
digunakan sebagai proksi tekanan ekternal dimana leverage yang tinggi akan
menimbulkan tekanan pada manajemen sehingga terjadi hubungan positif terhadap
kecurangan laporan keuangan. Leverage diartikan sebagai seberapa jauh perusahaan
menggunakan pendanaan melalui hutang.
Tingkat hutang yang tinggi dapat meningkatkan probabilitas kecurangan laporan
keuangan karena adanya perpindahan risiko dari pemilik modal dan manajer kepada
kreditor atau pemberi pinjaman. (Spathis, 2002). Perusahaan yang memiliki rasio
leverage yang tinggi dikarenakan terlalu banyak hutang dibanding aset yang dimiliki
perusahaan, sehingga diduga perusahaan melakukan earning management karena
terancam tidak dapat memenuhi kewajiban membayar hutang pada waktunya
(default). Maka perusahaan akan mengindari kondisi tersebut dengan kebijaksanaan
yang dapat meningkatkan pendapatan atau laba.
Kebutuhan keuangan pribadi (Personal Financial Need)
Merupakan suatu keadaan dimana keuangan perusahaan turut dipengaruhi oleh
kondisi keuangan para eksekutif perusahaan (Skousen, et a.l, 2009). Saham adalah
sertifikat yang menunjukan bukti kepemilikan suatu perusahaan dan pemegang
saham memiliki hak klaim atas penghasilan dan aktiva perusahaan. Kondisi dimana
sebagian saham dimiliki oleh manajer, direktur, maupun komisaris perusahaan secara
otomatis akan mempengaruhi kondisi financial perusahaan. Kepemilikan sebagian
10
saham oleh orang dalam ini dapat dijadikan sebagai kontrol dalam pelaporan
keuangan (Skousen et al.,2009).
Target Keuangan (Financial Targets)
Financial targets adalah kondisi dimana perusahaan menetapkan besaran tingkat
laba yang harus diperoleh atas usaha yang dikeluarkan. Salah satu pengukuran untuk
menilai tingkat laba yang diperoleh perusahaan atas usaha yang dikeluarkan adalah
ROA.(Return of Aset).
Perbandingan laba terhadap jumlah aktiva (ROA) adalah ukuran kinerja
operasional yang banyak digunakan untuk menunjukan seberapa efisien aktiva telah
bekerja (Skousen, 2009). ROA sering digunakan dalam menilai kinerja manajer,
menentukan bonus, kenaikan upah dan lain-lain.
2. Kesempatan (Opportunity)
Adanya kesempatan atau peluang memungkinkan terjadinya kecurangan. Peluang
tercipta karena adanya kelemahan pengendalian internal, ketidakefektifan pengawasan
manajemen, atau penyalahgunaan posisi atau otoritas. Kegagalan untuk menetapkan
prosedur yang memadai untuk mendeteksi aktivitas kecurangan juga meningkatkan peluang
terjadinya kecurangan.
Dari tiga faktor risiko kecurangan (pressure, opportunity dan rationalization), faktor
kesempatan ini merupakan hal dasar yang dapat terjadi kapan saja sehingga memerlukan
pengawasan dari struktur organisasi mulai dari atas. Organisasi harus membangun adanya
proses, prosedur dan pengendalian yang bermanfaat dan menempatkan karyawan dalam
posisi tertentu agar mereka tidak dapat melakukan kecurangan dan efektif dalam
mendekteksi kecurangan seperti yang dinyatakan dalam SAS No.99.
Menurut SAS No.99 terdapat tiga kondisi yang umum terjadi pada faktor kesempatan
(opportunity) ini. Ketiga kondisi tersebut adalah Kondisi ideal dari suatu perusahaan atau
industri (nature of industry), Pengendalian yang tidak efektif (ineffective monitoring) dan
Struktur Organisasi (organizational structure).
Kondisi Ideal dari Suatu Perusahaan atau Industri (Nature of Industry)
Nature of industry berkaitan dengan munculnya risiko bagi perusahaan yang
berkecimpung dalam industri yang melibatkan estimasi dan pertimbangan yang
signifikan jauh lebih besar. Peluang merupakan akibat dari keadaan yang
11
memberikan kesempatan untuk melakukan kecurangan. Transaksi pihak istimewa
yang rumit yang disertai dengan risiko inheren yang tinggi karena keterlibatan pihak
manajemen dalam pengambilan keputusan dan subjektif. Selain itu, tranksaksi
dengan pihak istimewa yang kompleks dapat menimbulkan risiko salah saji material
karena rentan terhadap manipulasi oleh manajemen.
Pengendalian yang Tidak Efektif (Ineffective Monitoring)
Pengedalian yang tidak efektif merupakan keadaan dimana perusahaan tidak
memiliki unit pengawas yang efektif memantau kinerja perusahaan. Pengendalian
yang tidak efekfit dapat terjadi karena adanya dominasi manajemen oleh satu orang
atau kelompok kecil, tidak efektifnya pengawasan dewan direksi dan komite audit
atas proses pelaporan keuangan dan pengendalian internal dan sejenisnya (SAS
No.99).
Untuk dapat mengontrol kinerja perusahaan dengan efektif, dibutuhkan
komisaris independen. Dengan terdapatnya komisaris independen, maka akifitas
pengawasan akan lebih independen. Komisaris independen adalah anggota komisaris
yang berasal luar emiten atau perusahaan publik tidak mempunyai saham baik
langsung maupun tidak langsung pada emiten atau perusahaan publik, tidak
mempunyai afiliasi dengan emiten atau perusahaan publik, komisaris, direksi, atau
pemegang saham utama emiten atau perusahaan publik, dan tidak memiliki hubungan
usaha baik langsung maupun tidak langsung yang berkaitan dengan kegiatan usaha
emiten atau perusahaan publik. (Peraturan Bapepam Nomor IX.1.5)
Struktur Organisasi (Organizational Structure)
Organizational structure merupakan struktur organisasi yang kompleks dan tidak
stabil. Struktur organisasi yang kompleks atau tidak stabil dapat ditunjukkan dengan
tingginya perputaran posisi manajer senior, konsultan, dan jajaran direksi sebuah
perusahaan (Skousen et al., 2009). Adanya pergantian struktur jajaran direksi
biasanya diikuti dengan praktik manajemen laba. Hal ini karena pada saat mendekati
masa akhir jabatannya, manajemen akan memaksimalkan bonusnya. Pergantian
jajaran direksi pada suatu perusahaan dapat menjadi faktor terjadinya kecurangan
laporan keuangan.
3. Rasionalisasi (Rationalization)
12
Rasionalisasi menjadi elemen penting dalam terjadinya kecurangan, dimana pelaku
mencari pembenaran atas perbuatannya. Rasionalisasi merupakan bagian segitiga fraud
(fraud triangle) yang paling sulit diukur. Bagi mereka yang terbiasa tidak jujur, mungkin
lebih mudah untuk merasionalisasi kecurangan. Pelaku kecurangan selalu mencari
pembenaran secara rasional untuk membenarkan perbuatannya (Diaz Priantara, 2013 : 47).
Perilaku manajemen puncak berkaitan dengan proses pelaporan keuangan merupakan
faktor kritis dalam penilaian kemungkinan terjadinya kecurangan pelaporan keuangan yang
mengandung kecurangan. Apabila CEO dan manajemen puncak lainnya bersikap acuh tak
acuh atau tidak peduli terhadap proses penyusunan laporan keuangan, maka laporan
keuangan yang mengandung kecurangan akan sangat mungkin terjadi. Karakter manajemen
yang buruk dan lemahnya budaya organisasi juga dapat menjadi faktor risiko bagi
terciptanya suatu sikap pembenaran atas tindakan kecurangan pelaporan keuangan. (Hery,
2017 : 201).
2. Manajemen Laba
Menurut Rezaee (2002) manajemen laba merupakan salah satu bentuk dari tindakan
kecurangan laporan keuangan. Secara umum manajemen laba didefinisikan sebagai upaya
manajer perusahaan untuk mengintervensi atau mempengaruhi informasi-informasi dalam
laporan keuangan dengan tujuan untuk mengelabui stakeholder yang ingin mengetahui
kinerja dan kondisi perusahaan (Sulistyanto, 2008:6).
Hal ini sejalan dengan pendapat Healy and Wahlen dalam Sulistyanto (2008:50) yang
menyatakan bahwa manajemen laba terjadi ketika manajer menggunakan judgment dalam
15
pelaporan keuangan dan melakukan manipulasi transaksi untuk mengubah laporan
keuangan, baik untuk menyesatkan beberapa stakeholders tentang kinerja perusahaan atau
untuk mempengaruhi kontrak yang bergantung pada angka-angka dalam laporan keuangan.
Sedangkan menurut Schipper dalam Sulistyanto (2008:49) manajemen laba adalah campur
tangan dalam proses penyusunan pelaporan keuangan eksternal, dengan tujuan untuk
memperoleh keuntungan pribadi.
Menurut Sulistyanto (2008:17) secara umum manajemen laba dapat dilakukan karena
dasar pencatatan transaksi yang dipakai adalah akrual, yaitu pencatatan transaksi yang
dilakukan tanpa harus disertai penerimaan kas dan atau pengeluaran kas. Laporan keuangan
yang disusun dengan menggunakan basis akrual dapat memberikan informasi yang lebih
lengkap dan komprehensif.
Pada dasarnya pemakai laporan keuangan ingin mengetahui kinerja yang telah
dicapai oleh perusahaan yang bersangkutan secara utuh, baik kinerja kas maupun non-kas.
Oleh sebab itu, perusahaan-perusahaan dan stakeholder lebih banyak menerima dan
menggunakan laporan keuangan basis akrual.
Akuntansi berbasis akrual menggunakan prosedur akrual, defferal, pengalokasian
yang bertujuan untuk menghubungkan pendapatan, biaya, keuntungan dan kerugian selama
periode tertentu, meski kas belum diterima atau dikeluarkan. Maka esensi penggunaan
akuntansi akrual terletak pada upaya untuk mempertemukan seluruh pendapatan dan biaya
untuk mengukur kinerja perusahaan (Sulistyanto, 2008:18). Melalui kebijakan akrual inilah
dapat memungkinkan terjadinya manajemen laba melalui upaya manajemen untuk
mengintervensi informasi dalam laporan keuangan (Sulistyanto, 2008:19).
Laba yang dilaporkan berpengaruh kuat terhadap kegiatan perusahaan dan keputusan
yang dibuat oleh manajemennya. Keasyikan perusahaan memenuhi harapan pasar modal
mencerminkan bahwa manajemen sangat peduli terhadap risiko nilai saham perusahaan bila
gagal. Menanggapi risiko tersebut, manajemen mungkin berpandangan bahwa tanggung
jawabnya adalah melakukan apa saja yang memungkinkan agar ramalan pasar modal oleh
para analis dapat dipenuhi atau dilebihi, atau melakukan manajemen laba. (Charles W
Mulford dan Eugene E Comiskey, 2010:80).
Standar Akuntansi Keuangan memberikan fleksibilitas bagi manajemen untuk
memilih kebijakan akuntansi dalam penyusunan laporan keuangan. Fleksibilitas inilah yang
terkadang dimanfaatkan oleh manajemen untuk memilih kebijakan yang dapat
16
menguntungkannya. Hal tersebut sesuai dengan penyataan Scott, (2000) yang menyatakan
manajemen laba adalah cara yang digunakan oleh manajer untuk mempengaruhi angka laba
secara sistematis, dengan cara memilih kebijakan akuntansi dan prosedur akuntansi tertentu
yang bertujuan untuk memaksimumkan keuntungan manajer dan atau nilai pasar dari
perusahaan. Hal serupa juga dikemukakan oleh C. Mulford dan E. Comiskey (2012) yang
menyebutkan manajemen laba adalah manipulasi akuntansi dengan tujuan menciptakan
kinerja perusahaan agar terkesan lebih baik dari yang sebenarnya.
27
menuntut agar dapat bekerja cepat. Para peneliti dan praktisi banyak berpendapat bahwa
tekanan ini dapat memperburuk kualitas pekerjaan audit.
Berkaitan dengan ini, penelitian oleh Braun (2000) mengilustrasikan salah satu efek
dari tekanan waktu atas kinerja auditor dalam pendeteksian kecurangan. Braun menunjuk
bahwa pengauditan dilaksanakan dalam suatu lingkungan multi tugas dimana di bawah
tekanan waktu, beberapa tugas akan lebih diprioritaskan dibandingkan tugas lainnya. Braun
menguji hipotesisnya yaitu bila tekanan waktu ditingkatkan dalam lingkungan multi tugas,
kinerja tugas yang lebih rendah/subsidiary (yaitu sensitivitas terhadap isyarat kecurangan)
akan menurun sedangkan kinerja tugas yang dominan (mendokumentasi bukti) akan tetap
tidak berubah. Hasil penelitian menunjukkan auditor yang berada di bawah tekanan waktu
yang lebih akan kurang sensitif terhadap isyarat kecurangan sehingga kurang mungkin
untuk dapat mendeteksi kecurangan. Walaupun begitu, tekanan waktu tidak mempengaruhi
kinerja auditor yang berkaita dengan pengumpulan bukti atas frekuensi dan jumlah salah
saji. Hasil ini konsisten dengan penelitian-penelitian dalam bidang psikologi yang
memprediksi bahwa terdapat pengurangan dalam perhatian bila seseorang diperhadapkan
dengan tekanan waktu, dan menunjukkan bahwa tekanan waktu akan menyebabkan auditor
gagal untuk menghadirkan sinyal-sinyal kecurangan dalam bukti audit.
3. Hubungan Auditor-Auditee
Beberapa pihak berpendapat bahwa komunikasi memainkan peranan penting dalam
mendeteksi kecurangan. Beberapa riset (contohnya Hooks et al. 1994) melaporkan adanya
peran komunikasi dalam pendeteksian kecurangan, yaitu (1) komunikasi dengan personel
klien penting dalam mendeteksi kecurangan (2) kemungkinan menerima komunikasi sensitif
dari personel klien sangat tergantung dari kuatnya hubungan antara auditor dengan orang
yang mengetahui adanya tindakan perbuatan salah itu, dan (3) kemauan mengkomunikasi itu
dipengaruhi oleh pemahaman orang yang mengetahui tindakan salah atas siapa yang
memperoleh keuntungan dari tindakan salah itu–apakah pelakunya atau organisasi atau
keduanya. Hal yang terakhir ini relevan dalam upaya melaporkan kecurangan manajemen,
karena kecurangan sering melibatkan (paling tidak) keuntungan jangka pendek bagi
pelakunya, perusahaan dan orang yang mengetahuinya. Hasil temuan Schultz dan Hooks
(1998) mendukung hal (2) di atas dan mereka menyimpulkan semakin kuat hubungan antara
28
karyawan klien yang mengamati tindakan kecurangan dengan auditor, maka lebih cenderung
pengamat melaporkan tindakan salah (wrongdoing).
Walaupun kedekatan hubungan antara auditor dengan auditee mempunyai implikasi
atas independensi dan obyektivitas auditor, namun Schultz dan Hooks berargumen
kedekatan ini memperkuat kepercayaan dan komunikasi sehingga komunikasi sensitif akan
diperlakukan bijaksana dan tindakan tepat dapat dilakukan dengan cara diplomatis namun
efektif. Meningkatnya komunikasi ini juga akan menambah kredibilitas terhadap laporan
keuangan. Komunikasi ini juga tampaknya lebih efektif dalam menemukan kecurangan
dibandingkan menggunakan metode dokumenter.
Namun dalam praktek di lapangan, banyak hal yang menghambat komunikasi yang
baik ini. Schultz dan Hooks menjelaskan salah satu sebabnya adalah tekanan kompetisi yang
menekankan efisiensi dan mengarahkan perhatian pada usaha mengejar pendapatan. Auditor
lebih dituntut untuk mencapai efisiensi audit yang maksimum, dan meluangkan waktu untuk
membangun hubungan dengan klien tidak dianggap sebagai aktivitas yang sesuai. Selain itu
banyaknya perputaran para partner yang pindah dan masuk tidak memungkinkan menjalin
hubungan baik dengan manajemen puncak klien. Klien juga banyak yang berpindah auditor,
dan seringkali menjalin hubungan untuk pertama kali ini juga menimbulkan masalah serius.
L. Metode dan Prosedur Audit yang Tidak Efektif dalam Pendeteksian Kecurangan.
Komisi Cohen di tahun 1978 telah menyebutkan bahwa metode dan prosedur audit
yang tradisional tidaklah selalu dapat memberikan keyakinan yang seharusnya diberikan
dalam upaya pendeteksian kecurangan (AICPA 1978). Komisi ini menyarankan agar auditor
menaruh perhatian atas efektivitas teknik pengauditan konvensional dan perlunya
pengembangan teknik yang baru. Sampai sekarang memang permasalahan satu ini masih
terus diusahakan baik oleh para praktisi maupun akademisi. Standar pengauditan tentang
pendeteksian kecurangan seperti diuraikan di depan memang tidak banyak membantu dalam
mendorong penggunaan teknik pengauditan baru ini. Salah satu penjelasan atas adanya
temuan penelitian Zimbelman (1997), tentang tidak berubahnya sifat dari rencana audit
walaupun SAS No. 82 telah membuat auditor sadar akan risiko kecurangan, adalah auditor
benar-benar tidak mengetahui bagaimana mengubah program audit mereka agar dapat
secara efektif mendeteksi kecurangan (Hoffman 1997). Zimbelman sendiri berdasarkan
29
kesimpulan ini mendukung perlu adanya pendekatan audit baru yang tidak statis dengan
adanya risiko kecurangan.
Beberapa peneliti telah memberi masukan penting tentang hal ini. Johnson et al.
(1991) yang mengambil subyek para partner audit menemukan bahwa partner yang mampu
melihat isyarat (cues) melalui suatu “fault” model dapat mengatasi framing effect dan
mampu mendeteksi kecurangan, dibanding partner yang menggunakan “functional” model.
Fault model yaitu model yang memberi perhatian pada hal-hal yang mengandung kesalahan.
Fault model ini diperoleh melalui pengalaman di bidang industri tertentu atau melalui
pengalaman atas penugasan yang pernah terjadi kekeliruan atau kecurangan yang material.
Model ini memungkinkan auditor memfokuskan diri pada di mana manipulasi terjadi,
sehingga skeptisisme yang sepantasnya dapat diterapkan. Sedangkan model fungsional
memberikan ekspektasi berdasarkan hubungan antara akun-akun seperti penjualan dan
marjin laba. Model fungsional ini adalah model yang terdapat pada metode dan prosedur
audit tradisional yang biasa dikenal.
Studi yang lain, memberikan pembedaan yang senada yaitu oleh Erickson et al.
(2000) yang mencatat perbedaan antara bukti yang berdasar transaksi (transaction-based
evidence) dan bukti yang berdasar pemahaman bisnis (business understanding-based
evidence). Dalam studi mereka yang dilakukan berdasarkan audit atas Lincoln Savings and
Loan, Mereka mengilustrasikan bahwa auditor perlu memperoleh suatu pemahaman
eksternal atas bisnis klien secara ekonomi dan mengintegrasikan pemahaman ini dengan
bukti-bukti internal. Studi ini memberikan bukti dalam kasus Lincoln Savings and Loan,
transaksi yang mengandung kecurangan dipandang telah dicatat secara benar oleh auditor
karena mereka hanya berfokus pada bentuk akuntansi transaksi-transaksi dan tidak melihat
substansi ekonomi dari perjanjian-perjanjian bisnis yang terjadi. Peneliti berargumen jika
substansi ekonomi dari transaksi itu benar-benar dipertimbangkan maka auditor dapat
waspada terhadap kemungkinan adanya pelaporan yang mengandung kecurangan. Menurut
Erickson et al., pemahaman tentang bisnis klien hanya sepintas saja disinggung dalam
standar pengauditan yang ada, dan evaluasi atas substansi transaksi yang didasarkan atas
pengetahuan mengenai bisnis klien sama sekali tidak dibicarakan. Demikian pula, SAS No.
82 kurang memberikan panduan dalam memahami bisnis klien baik berdasarkan data
internal maupun eksternal. SAS No. 82 juga tidak memuat apapun atas integrasi analisis
data-data tersebut dengan prosedur terinci yang dilaksanakan.
30
Erickson et al. merekomendasikan pendekatan baru terhadap praktek pengauditan
yang secara eksplisit menanggapi atas beberapa hal yang dikemukakan mereka. Pendekatan
yang melaksanakan audit dengan suatu sudut pandang strategis ini mempertimbangkan
strategi bisnis klien dan keterhubungannya dengan industri dan ekonomi keseluruhan.
Pendekatan yang disebut strategic-risk approach atau business risk audit model (Knechel
2000 dan Eilifsen et al. 2001) ini mempercayai evaluasi praktik akuntansi didasarkan atas
pemahaman bisnis daripada sekedar evaluasi bisnis yang hanya berdasarkan atas prosedur
akuntansi.
BAB III.
32
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam akuntansi, dikenal ada dua jenis kesalahan yaitu kekeliruan (error) dan
kecurangan (fraud). Perbedaan antara kedua jenis kesalahan ini hanya dibedakan oleh jurang
yang sangat tipis, yaitu ada atau tidak adanya unsur kesengajaan. Standar pun mengenali
bahwa seringkali mendeteksi kecurangan lebih sulit dibandingkan dengan kekeliruan karena
pihak manajemen atau karyawan akan berusaha menyembunyikan kecurangan
itu.Kekeliruan terjadi pada tahap pengelolaan transaksi, saat terjadinya transaksi,
dokumentasi, pencatatan jurnal, pencatatan debit kredit, dan laporan keuangan. Jika
kesalahan dilakukan dengan sengaja, maka hal tersebut merupakan kecurangan. (Karyono,
2015 :13)
Fraud merupakan tindakan penyimpangan atau pembiaran yang sengaja dilakukan
untuk mengelabui, menipu, atau memanipulasi bank, nasabah, atau pihak lain, yang terjadi di
lingkungan bank dan/atau menggunakan sarana bank sehingga mengakibatkan bank, nasabah
atau pihak lain menderita kerugian dan/atau pelaku fraud memperoleh keuntungan keuangan
baik secara langsung maupun tidak langsung.
Kecurangan dalam laporan keuangan menyebabkan informasi menjadi tidak valid
dan tidak sesuai dengan mekanisme pelaporan keuangan.Menurut Association of Certified
Fraud Examiners (ACFE), kecurangan adalah tindakan penipuan atau kekeliruan yang dibuat
oleh seseorang atau badan yang mengetahui bahwa kekeliruan tersebut dapat mengakibatkan
beberapa manfaat yang tidak baik kepada individu atau entitas atau pihak lain (Ernst &
Young, 2009).
33
Daftar Pustaka
1. Jurnal Analisis Pengaruh Fraud Triangle Terhadap Kecurangan Laporan Keuangan Pada
Perusahaan Makanan dan Minuman Yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Periode
2013-2015 disusun oleh Annisa Rachmania
2. Jurnal Pendeteksian Kecurangan (Fraud) Laporan Keuangan oleh Auditor Eksternal
disusun oleh Tri Ramaraya Koroy (STIE Nasional Banjarmasin, Indonesia).
3. Jurnal Pembuktian Fraud Triangle Theory Pada Financial Report Quality disusun oleh
Edi dan Elis Victoria (Program Studi Akuntansi, Universitas Internasional Batam).
4. Jurnal Fraud Triangle dalam Mendeteksi Kecurangan Laporan Keuangan disusun oleh
Luh Komang Merawati dan Yunita Mulyaningsih (Universitas Mahasaraswati
Denpasar).
5. Jurnal Kecurangan Akuntansi (Fraud Accounting) Dalam Perspektif Islam disusun oleh
Yurmaini (Dosen Akuntansi Syariah UNIVA-MEDAN).
6. Jurnal Deteksi financial statement fraud: Pengujian dengan fraud diamond disusun oleh
Merissa Yesiariani dan Isti Rahayu (Program Studi Akuntansi, Universitas Islam
Indonesia, Yogyakarta, Indonesia.
7. Jurnal Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Financial Statement
Fraud: Perspektif Diamond Fraud Theory (Studi Pada Perusahaan Perbankan Yang
Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia Periode 2014-2016) disusun oleh Nella Kartika
Nugraheni dan Hanung Triatmoko (Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sebelas
Maret).
34