Secara sederhana pengertian akuntansi syariah dapat dijelaskan melalui akar kata
yang dimilikinya yaitu akuntansi dan syariah. Definisi bebas dari akuntansi adalah
identifikasi transaksi yang kemudian diikuti dengan kegiatan pencatatan, penggo- longan,
serta pengikhtisaran transaksi tersebut sehingga menghasilkan laporan keuangan yang dapat
digunakan untuk pengambilan keputusan. Sedangkan definisi bebas dari syariah adalah
aturan yang telah ditetapkan oleh Allah swt untuk dipatuhi oleh manusia dalam menjalani
segala aktivitas hidupnya di dunia.
Akuntansi dalam bahasa Arabnya disebut “Muhasabah” yang berasal dari kata
hasaba, hasiba, muhasabah, atau wazan yang lain adalah hasaba, hasban, hisabah, artinya
menimbang, memperhitungkan mengkalkulasikan, mendata, atau menghisab, yakni
menghitung dengan seksama atau teliti yang harus dicatat dalam pembukuan tertentu. Kata
“hisab” banyak ditemukan dalam Al-Qur’an dengan pengertian yang hampir sama, yaitu
berujung pada jumlah atau angka, seperti Firman Allah swt:
1. QS.Al-Isra’(17):12
“….bilangan tahun-tahun dan perhitungan….”
2. QS.Al-Thalaq(65):8
“…. maka kami hisab penduduk negeri itu dengan hisab yang keras…”
3. QS.Al-Insyiqah(84):8
“…. maka dia akan diperiksa dengan pemerikasaan yang mudah…”
Kata hisab dalam ayat-ayat tersebut menunjukkan pada bilangan atau perhitungan
yang ketat, teliti, akurat, dan accountable. Oleh karena itu, akuntasi adalah mengetahui
sesuatu dalam keadaan cukup, tidak kurang dan tidak pula lebih. Berdasarkan pengertian
diatas maka dapat disimpulkan bahwa Akuntansi Syariah adalah suatu kegiatan identifikasi,
klarifikasi, dan pelaporan melalui dalam mengambil keputusan ekonomi berdasarkan prinsip
akad-akad syariah yaitu tidak mengandung zhulum (kezaliman), riba, maysir (judi), gharar
(penipuan), barang yang haram, dan membahayakan.
Menurut Muhammad (2002:11), dalam Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 282 ada tiga
nilai yang menjadi prinsip dasar dalam operasional akuntansi syari’ah yaitu nilai
pertanggungjawaban, keadilan dan kebenaran :
1. Prinsip pertanggungjawaban
Dalam kebudayaan kita, umumnya “tanggung jawab” diartikan sebagai keharusan
untuk “menanggung” dan “menjawab” dalam pengertian lain yaitu suatu keharusan untuk
menanggung akibat yang ditimbulkan oleh perilaku seseorang dalam rangka menjawab
suatu persoalan.
Pertanggungjawaban berkaitan langsung dengan konsep amanah. Dimana
implikasinya dalam bisnis dan akuntansi adalah bahwa individu yang terlibat dalam
praktik bisnis harus selalu melakukan pertanggungjawaban apa yang telah diamanatkan
dan diperbuat kepada pihak-pihak yang terkait. Pertanggungjawabannya diwujudkan
dalam bentuk laporan keuangan.
2. Prinsip keadilan
Keadilan adalah pengakuan dan prelakuan yang seimbang antara hak-hak dan
kewajiban. Keadilan terletak pada keharmonisan menuntuk hak dan menjalankan
kewajiban. Atau dengan kata lain, keadilan adalah keadaan bila setiap orang memperoleh
apa yang menjadi hak nya dan setiap orang memperoleh bagian yang sama dari kekayaan
bersama.
Prinsip keadilan ini tidak saja merupakan nilai yang sangat penting dalam etika
kehidupan sosial dan bisnis, tetapi juga merupakan nilai yang secara inheren melekat
dalam fitrah manusia. Dalam konteks akuntansi keadilan mengandung pengertian yang
bersifat fundamental dan tetap berpijak pada nilai-nilai etika/syariah dan moral, secara
sederhana adil dalam akuntansi adalah pencatatan dengan benar setiap transaksi yang
dilakukan oleh perusahaan.
Dalam Al Quran disampaikan bahwa kita harus mengukur secara adil, jangan
dilebihkan dan jangan dikurangi. Kita dilarang untuk menuntut keadilan ukuran dan
timbangan bagi kita, sedangkan bagi orang lain kita menguranginya. Dalam hal ini, Al
Quran menyatakan dalam berbagai ayat, antara lain dalam surah Asy-Syura ayat 181-184
yang berbunyi:
”Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang
merugikan dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu
merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi
dengan membuat kerusakan dan bertakwalah kepada Allah yang telah menciptakan kamu
dan umat-umat yang dahulu.”
3. Prinsip kebenaran
Dalam kamus umum Bahasa Indonesia (oleh Purwadarminta), ditemukan arti kebenaran,
yaitu :
a) Keadaan yang benar (cocok dengan hal atau keadaan sesungguhnya);
b) Sesuatu yang benar (sungguh-sungguh ada, betul demikian halnya);
c) Kejujuran, ketulusan hati;
d) Selalu izin, perkenanan;
e) Jalan kebetulan.
Sedangkan menurut Aristoteles mendefinisikan kebenaran adalah soal kesesuaian
antara apa yang diklaim sebagai diketahui dengan kenyataan yang sebenarnya. Benar dan
salah adalah soal sesuai tidaknya apa yang dikatakan dengan kenyataan sebagaimana
adanya. Kebenaran terletak pada kesesuaian antara subyek dan obyek yaitu apa yang
diketahui subyek dan realitas sebagaimana adanya.
Berdasarkan defenisi-defenisi diatas, jika dikaitkan dengan akuntansi syari’ah maka
kebenaran yang dimaksud adalah kesesuaian antara apa yang dicatat dan dilaporkan
dengan apa yang terjadi sebenarnya dilapangan.
Jika kita kaitkan dengan profesi Akuntan, maka prinsip kebenaran menyangkut
pengukuran kekayaan, utang, modal pendapatan, biaya, dan laba perusahaan, sehingga
seorang Akuntan wajib mengukur kekayaan secara benar dan adil. Seorang Akuntan akan
menyajikan sebuah laporan keuangan yang disusun dari bukti-bukti yang ada dalam
sebuah organisasi yang dijalankan oleh sebuah manajemen yang diangkat atau ditunjuk
sebelumnya.
3) Haram ialah perbuatan yang apabila ditinggalkan akan mendapatkan pahala namun
apabila dikerjakan akan mendapat dosa.
4) Makruh ialah perbuatan apabila ditinggalkan akan mendapat pahala namun apabila
dikerjakan tidak mendapat dosa.
5) Mubah ialah suatu perbuatan yang bila dikerjakan tidak mendapatkan pahala dan bila
ditinggalkan tidak mendapat dosa.
Hukum Islam tidak hanya mengatur pelaksanaan dalam ibadah mahdhah saja seperti
kewajiban shalat, puasa, zakat, haji. Tetapi juga mengatur pelaksana- an amalan-amalan
lain yang bersifat "duniawi" seperti melakukan jual beli, sewa- menyewa, belajar,
menikah, mendidik anak, bersikap dengan orang tua dan lain sebagainya karena Islam
tidak memisahkan agama dengan urusan dunia, semua urusan telah diatur dalam Islam.
Pada dasarnya, tujuan dari hukum Islam adalah untuk menjadi rahmat bagi semesta alam
(QS 21:107).
2. Ruang Lingkup Hukum Islam
Ruang lingkup hukum Islam ada dua, yaitu hubungan manusia dengan Tuhan (hablun
minallah) dan hubungan manusia dengan sesamanya (hablun minannas). Bentuk
hubungan yang pertama disebut ibadah dan bentuk hubungan yang kedua disebut
muamalah.
1) Hakikat ibadah menurut para ahli adalah ketundukan jiwa yang timbul karena hati
merasakan cinta akan yang disembah (Tuhan) dan merasakan keagu – ngan – Nya,
karena meyakini bahwa dalam alam ini ada kekuasaan yang hakikatnya tidak
diketahui oleh akal (Ash Shiddieqy, 1985: 8). Karena ibadah merupakan perintah
Allah dan sekaligus hak – Nya, maka ibadah yang dilakukan oleh manusia harus
mengikuti aturan-aturan yang dibuat oleh Allah. Allah mensyaratkan ibadah harus
dilakukan dengan ikhlas (QS. al-Zumar [39]: 11) dan harus dilakukan secara sah
sesuai dengan petunjuk syara’ (QS. al-Kahfi [18]: 110). Dalam masalah ibadah
berlaku ketentuan, tidak boleh ditambah – tambah atau dikurangi. Allah telah
mengatur ibadah dan diperjelas oleh Rasul-Nya. Karena ibadah bersifat tertutup
(dalam arti terbatas), maka dalam ibadah berlaku asas umum, yakni pada dasarnya
semua perbuatan ibadah dilarang untuk dilakukan kecuali perbuatan- perbuatan itu
dengan tegas diperintahkan (Ali, 1996: 49).
2) Berbeda dengan masalah ibadah, ketetapan – ketetapan Allah dalam masalah
muamalah terbatas pada yang pokok-pokok saja. Penjelasan Nabi Saw., kalaupun
KAIDAH HUKUM ISLAM
3) Ada tidak terperinci seperti halnya dalam bidang ibadah. Oleh karena itu, bidang
muamalah terbuka sifatnya untuk dikembangkan melalui ijtihad. Karena sifatnya
yang terbuka tersebut, dalam bidang muamalah berlaku asas umum, yakni pada
dasarnya semua akad dan muamalah boleh dilakukan, kecuali ada dalil yang
membatalkan dan melarangnya (Ash Shiddieqy, 1985: 91). Dari prinsip dasar ini
dapat dipahami bahwa semua perbuatan yang termasuk dalam kategori muama- lah
boleh saja dilakukan selama tidak ada ketentuan atau nash yang melarangnya. Oleh
karena itu, kaidah-kaidah dalam bidang muamalah dapat saja berubah seiring dengan
perubahan zaman, asal tidak bertentangan dengan ruh Islam. Dilihat dari segi bagian-
bagiannya, ruang lingkup hukum Islam dalam bidang muamalah, menurut ‘Abd al-
Wahhab Khallaf (1978: 32-33), meliputi:
a) Hukum-hukum masalah perorangan/keluarga;
b) Hukum-hukum perdata;
c) Hukum-hukum pidana;
d) Hukum-hukum acara peradilan;
e) Hukum-hukum perundang-undangan;
f) Hukum-hukum kenegaraan; dan
g) Hukum-hukum ekonomi dan harta.
3. Sasaran Hukum Islam
Hukum Islam memiliki 3 (tiga) sasaran, yaitu: penyucian jiwa, penegakan keadilan
dalam masyarakat, dan perwujudan kemaslahatan manusia (Zahroh dan Muham- mad,
1999).
1) Penyucian Jiwa
Penyucian jiwa dimaksudkan agar manusia mampu berperan sebagai sumber
kebaikan, bukan sumber keburukan bagi masyarakat dan lingkungannya. Hal ini
dapat tercapai apabila manusia dapat beribadah dengan benar yaitu dengan hanya
mengabdi kepada Tuhan yang benar-benar merupakan Pencipta, Pemilik, Pemelihara,
dan Penguasa Alam Semesta, bukan kepada yang mengaku Tuhan serta dengan cara
yang benar pula. Allah swt memerintahkan manusia yang beriman kepada-Nya untuk
shalat, zakat, puasa, dan haji, yang dijamin oleh Allah akan memberikan dampak
yang positif bagi kehidupan manusia apabila dilakukan dengan benar dan dengan niat
yang benar pula.
PRINSIP UMUM AKUNTANSI SYARIAH
(kesepakatan bersama) dari masa ke masa tentang masalah yang sedang dicari
hukumnya itu. Kalau ada, penetapan hukum merujuk kepada ijmak tersebut. Sekiranya
tidak ditemukan rujukan ijmak dalam masalah tersebut, maka ditempuh Qiyas, yaitu
usaha sungguh-sungguh dengan jalan membuat analogi kepada peristiwa sejenis yang
telah ada ketentuan hukum (nash)-nya, sesuai dengan hadis Rasulullah SAW:
"Bagaimana caranya kamu memutuskan perkara yang dikemukakan kepadamu?"
"Kuhukumi dengan kitab Allah", jawabnya, "Jika kamu tidak men- dapatkannya di dalam
kitab Allah, lantas bagaimana?" sambung Rasulullah, "Dengan sunah Rasulullah"
ujarnya. "Jika tidak kamu temukan dalam sunah Rasulullah, lalu bagaimana?" tanya
Rasul lebih lanjut. "Aku akan menggunakan ijtihad pikiranku dan aku tidak akan
meninggalkannya," jawabnya dengan tegas. Rasulullah SAW lalu menepuk dadanya
seraya memuji, katanya: Alhamdulillah, Allah telah memberikan taufik kepada utusan
Rasulullah sesuai dengan yang di ridhai Allah dan Rasul-Nya." (HR Ahmad, Abu
Dawud, dan At- Turmudzi).
a. AL-QURAN
Al-Quran ialah kalam Allah (kalaamullah – QS 53:4) dalam bahasa arab sebagai
sebuah mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw melalui utusan Allah
Malaikat Jibril a.s untuk digunakan sebagai pedoman hidup bagi manusia dalam
menggapai kebahagian hidup di dunia dan di akhirat. Kalam adalah sarana untuk
menerangkan sesuatu berupa ilmu pengetahuan, nasihat, atau berbagai kehendak, lalu
memberitahukan perkara itu kepada orang lain. Ayat-ayat yang turun di Madinah,
mengandung hukum-hukum fikih, aturan pemerintahan, aturan keluarga, serta aturan
tentang hubungan antara orang-orang muslim dan non muslim yang menyangkut
perjanjian dan perdamaian. Saat itu, Daulah Isalamiyah telah terbentuk lengkap
dengan aparat pemerintahannya, sehingga masyarakat siap dan mampu untuk
memfungsikan hukum-hukum tersebut.Berdasarkan keterangan diatas, maka kita
ketahui bahwa Al-Quran tidak turun secara lengkap melainkan secara berangsur-
angsur. Ada dua alasan mengapa Al-Quran diturunkan secara berangsur-angsur, yaitu
:
1) Untuk meguatkan hati, berupa kesenangan rohani agar Nabi selalu tetap merasa
senang dalam berkomunikasi dengan Allah, dan menghujamkan Al-Quran serta
hukum-hukumnya di dalam jiwa Nabi dan jiwa manusia umumnya, sekaligus
menjelaskan jalan untuk memahaminya. Disebut menguatkan hukum, karena Al-
KAIDAH HUKUM ISLAM
6) Al-Quran sebagai pelajaran (QS 10:57 dan QS 69:48). Al-Quran diturunkan agar
dapat digunakan sebagai pelajaran bagi manusia, karena manusia senantiasa
memerlukannya agar tetap beraddadalam jalur yang benar terkait dengan tujuan
penciptaannya.
7) Al-Quran sebagai sumber ilmu (QS 96:1-5)
8) Al-Quran sebahai hukum (QS 13:37). Al-Quran menjelaskan hukum-hukum
syariah untuk kemaslahatan hidup manusia berupa hal-hal yang dihalalkan dan
diharamkan oleh Allah SWT.
9) Al-Quran sebagai obat penyakit jiwa (QS 10:57). Al-Quran dapat berfungsi
sebagai obat untuk menyembuhkan penyakit-penyakit yang ada dalam hati
manusia, seperti syirik, sombong,congkak, ragu, malas, dan sebagainya.
10) Al-Quran sebagai pemberi kabar gembira (QS 16:102). Al-Quran banyak
menceritakan kabargembira kepada orang yang beriman kepadan dan menjalani
kehidupan sesuai ketentuan AllahSWT.
11) Al-Quran sebagai pedoman melakukan pencatatan (QS 2:282-283). Al-Quran
memerintahkan manusia untuk mencatat transaksi bukan tunai dan menghadirkan
saksi-saksi yang jujur padatransaksi seperti itu.
Mukjizat Al-Quran
Al-Quran sebagai mukjizat yang hebat, tetap dan kekal sepanjang masa, telah diakui
oleh para cendekiawan pada masa lalu dan sekarang.
1) Keindahan seni bahasa Al-Quran tidak hanya diakui oleh kalangan sastrawan Arab
saja, tetapi diakui pula oleh Ahli yang pernah mendalami dan mengkaji ilmu bayan
dalam bahasa Arab. Allah menantang manusia dan jin untuk membuat sesuatu yang
serupa dengan Al-Quran. Al-Quran kemudian menjawab sendiri bahwa sekalipun
manusia dan jin berkumpul dan berkolaborasi, mereka tidak akan pernah mampu
membuat yang serupa dengan Al-Quran (QS 17:88).
2) Kebenaran pemberitahuan Al-Quran tentang keadaan yang terjadi pada abad-abad
yang silam-kisah kaum ‘Ad dan Tsamud, kaum Luth, dan Kaum Nuh, kaum Nabi
Ibrahim, tentang Musabeserta kaumnya, kasus Fir’aun, tentang Maryam dan
kelahirannya, kelahiran Yahya, kelahiran Isa Al-Masih dan sebagainya, yang
semuanya benar, sesuai dengan kebenaran rasional (QS14:9).
3) Pemberitaan Al-Quran tentang hal-hal yang akan terjadi pada masa datang juga
merupakan kebenaran yang tidak terbantahkan. Misalnya, pemberitaan Al-Quran
KAIDAH HUKUM ISLAM
mengenai kekalahan bangsa Persia setelah lebih dulu bangsa Romawi kalah (QS
30:1-5).
4) Kandungan Al-Quran banyak memuat informasi tentang ilmu pengetahuannya yang
tidak mungkin diketahui oleh seorang ummiy yang tidak pandai membaca dan
menulis, dan tidak ada suatu perguruan atau lembaga pendidikan yang
mengajarkannya saat /al-Quran diturunkan. Misalnya, Al-Quran menjelaskan realitas
ilmiah tentang kejadian langit dan bumi, seperti dinyatakan bahwa langit dan bumi
itu dulunya berasal dari satu gumpalan, kemudia terjadi ledakan yang membuatnya
terpecah-pecah menjadi beberapa planet (QS 21:30)
Al-Quran sebagai sumber hokum
Al-Quran dijadikan sebagai sumber hukum yang utama, karena Al-Quran berasal dari
Allah SWT yang Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi manusia dalam menata
kehidupannya sehingga selamat didunia dan akhirat. Al-Quran memuat seluruh aspek
hukum terkait dengan akidah, syariah dan akhlak serta terjaga keaslian dan
keotentikannya.
Al-Quran menyuruh untuk menghadirkan saksi yang jujur pada akad transaksi (QS
2:282) dan jika akad tersebut ditangguhkan pembayarannya maka hendaklah ditulis untuk
menghindarkan perselisihan dikemudian hari.
Al-Quran juga mengatur mengenai hukum keluarga antara lain berupa penjelasan
tentang pernikahan, mahram, perceraian, macam-macam ‘iddah dan tempatnya,
pembagian harta pusaka dan sebagainya. Pengaturan mengenai hukum pidana juga diatur
dalam Al-Quran. Hukum pidana atas kejahatan yang menimpa seseorang adalah dalam
bentuk qishash yang didasarkan atas persamaan antara kejahatandan hukuman. Diantara
jenis hukum qishash pembunuh, qishash anggota bidan dan qishash dari luka.Dalam
menetapkan hukum pidana. Al-Quran senantiasa memerhatikan empat hal, yaitu: (Abu
Zahroh,1909)
a) Melindungi jiwa, akal, harta benda dan keturunan;
b) Meredam kemarahan orang yang terluka, lantaran ia dilukai;
c) Memberikan ganti rugi kepada orang yang terlukan atau keluarganya;d)
d) Menyesuaikan hukuman denga pelaku kejahatan, yakni bila pelaku kejahatan
tersebut orangyang terhormat, maka hukumannya menjadi berat, dan jika pelaku
kejahatan tersebut orangrendahan, maka hukumannya menjadi ringan.
Bahkan pengaturan dalam melakukan muamalah dengan nonmuslin juga diatur
KAIDAH HUKUM ISLAM
dalam Al-Quran. Al-Quran membagi orang kafir menjdai tiga bagian (Abu Zahroh,
1999), yaitu
a) Kafir dzimmy dan mu’ahad yaitu kafir yang telah mengikat perjanjian, sehingga
Allah SWT memerintahkan untuk bergaul dengan mereka sebagai sesama muslim;
b) Kafir musta’mam yaitu kafir yang dianggap aman/tidak membahayakan, sehingga
darah dan harta benda mereka haram sepanjang mereka masih tetap memegang teguh
perjanjian;
c) Kafir harby(musuh), dimana Allah SWT tetap memberikan hak-hak yang harus
dihormati atasharkat dan martabat kemanusiaan, hak persaudaraan kemanusiaan
(ukhuwah insaniyah), hakkeadilan, hak perlakuan sepadan dengan memerhatikan
keutamaan/kemasalahan.
Dari tuntunan tersebut diketahui bahwa Islam memperlakukan nonmuslim sangatlah
adil. Sekaligus jugamembuktikan Al-Quran memang seuatu bentuk pedoman yang sangat
lengkap dan bersifat universal.
b. AS-SUNAH
As-Sunah ialah ucapan, perbuatan serta ketetapan-ketetapan Nabi
Muhammad saw yang merupakan sumber hukum islam kedua setelah Al-Quran.
Dalam banyak hal, Al-Quran baru menjelaskan prinsip-prinsip umum bersifat global
dan universal. Oleh karena itu, salah satu fungsi As-Sunah adalah untuk menjelaskan
dan menguraikan secara lebih terinci prinsip-prinsip yang telah disebutkan dalam Al-
Quran dengan contoh-contoh aplikatif. Selain itu As-Sunah bisa juga membatasi
ketentuan Al-Quran yang bersifat umum dan bahkan bisamenetapkan hukum yang
tidak ada dalam Al-Quran. Berita tentang ucapan, perbuatan serta ketetapan-
ketetapan Nabi Muhammad saw disebut hadist.
Sebuah hadist mengandung 3 (tiga) elemen yaitu rawi, sanad, matan. Rawi
adalah orang yangmenyampaikan atau menuliskan hadis yang didengarnya dari
seorang atau dari gurunya. Sanad adalah urutan para rawi yang menyampaikan hadis,
mereka yang mengantarkan kita sampai kepada matan atau teks hadis. Berbeda
dengan Al-Quran yang telah ditulis pada masa Nabi, hadis lebih banyak dihafal
daripada ditulis.
Bahkan pada awalnya, rasul melarang para sahabat untuk mencatat hadis,
karena khawatir tercampur dengan Al-Quran. Izin penulisan hadis hanya diberikan
kepada sahabat tertentu seperti Abdullah binAmr, Rasul juga meminta orang yang
KAIDAH HUKUM ISLAM
mendengarkan hadis untuk menyampaikan dengan teliti dan jujur kepada orang lain.
Kendati sudah ada catatan-catatan hadis yang ditulis beberapa sahabat, penulisan
hadis secara khususbaru dimulai pada awal abad ke 2 H. Untuk menjaga hadis dari
kebohongan dan pemalsuan dalam periwayatannya para ulama merumuskan syarat-
syarat penerimaaan hadis, baik yang berhubungan dengan riwayatnya maupun isi
hadis itu sendiri.
Periwayatan Hadis
Dalam segi jumlah perawinya yang bersambung mata rantainya, ulama
mengelompokkan hadis menjadi tiga, yaitu:
1) Hadis Mutawatir, ialah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah orang yang tidak
terhitung jumlahnya dan mereka tidak mungkin bersepakat berbohong dengan
perawi yang sama banyaknya hingga sanadnya bersambung kepada Nabi
Muhammad SAW.
2) Hadis Masyhur, ialah hadis yang diriwayatkan dari Nabi, oleh seorang, dua orang
atau lebih sedikit dari kalangan sahabat, atau diriwayatkan dari sahabat, oleh
seorang atau dua orang perawi kemudian setelah itu tersebar luas hingga
diriwayatkan oleh orang banyak yang tidak mungkin bersepakat bohong.
3) Hadis Ahad atau khabar Khasshah menurut Imam Syafi’i ialah setiap hadis yang
diriwayatkan dari Rasulullah saw oleh seorang, dua orang atau sedikit lebih
banyak dan belum mencapai syarat hadis Mashur. Sunah ahad ini dibagi menjadi
tiga bagian, yaitu:
a. Hadis shahih ialah hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang adil dan
sempurna ketelitiannya, sanadnya bersambung sampai kepada Rasulullah,
tidak mempunyai cacat.
b. Hadis hasan ialah hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang adil tetapi
kurang ketelitiannya, sanadnya bersambung sampai kepada Rasulullah, tidak
mempunyai cacat dan tidak berlawanan dengan orang yang lebih terpecaya.
c. Hadis dha’if ialah hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat Hadis shahih dan
Hadis hasan.
Dengan beragamnya tingkatan hadis seperti di atas, seorang muslim ketika hendak
berpedoman pada Hadis harus memerhatikan kesalihannya dan tidak bertentangan
dengan Al-Quran. Di Indonesia, komplasi hadis shahih yang sering dijadikan rujukan
adalah hadis shahih riwayat Bukhari dan Muslim
KAIDAH HUKUM ISLAM
Fungsi As-Sunah
As-Sunah berfungsi sebagai penopang dan penyempurna Al-Quran dalam
menjelaskan hukum-hukum syar’. Oleh karena itu, Imam Syafi’i dalam menerangkan Al-
Quran dan As-Sunah tidak menguraikan secara terpisah. Keduanya merupakan satu
kesatuan dalam kaitannya dengan kepentingan istidlal dan dipandang sebagai sumber
pokok yang satu, yakni nash. Keduanya saling menopang secara sempurna dalam
menjelaskan hukum. Fungsi As-Sunah, antara lain:
1) Menguatkan hukum yang telah ditetapkan dalam Al-Quran
2) Memberikan keterangna ayat-ayat Al-Quran dan menjelaskan rincian ayat-ayat
yang masih bersifat umum.
3) Membatasi kemutlakannya
4) Menakhsiskan/mengkhususkan keumumannya
5) Menciptakan hukum baru yang tidak ada di dalam Al-Quran
As-Sunah sebagai sumber hokum
Ketaatan kepada Allah SWT harus diikuti dengan ketaatan kepada Rasul. Sebaliknya,
ketaatan kepada Rasul harus diikuti pula dengan ketaatan kepada Allah SWT, sehingga
keduanya merupakan dua hal yangtidak dapat dipisahkan. Rasulullah saw telah
memberikan contoh dan teladan, bagaimana cara shalat yang benar, bagaimana masuk
kamar mandi, bagaimana keluar kamar mandi, bagaimana bergadang, bagaimana makan,
bagaimana memimpin perang, bagaimana menjadi kepala negara yang baik bahkan juga
bagaimana menjadi suami dan kepala rumah tangga yang baik. Konsekuensi ketaatan
kepada Rasul adalah dengan mengimani dan membenarkan apa yangdikabarkannya,
mengagungkan dan membelanya, memperbanyak shalawat, serta menghidupkan
sunahnya. Oleh karena itu, seorang muslim perlu melengkapi rujukan sumber hukum Al-
Quran sebagai rujukan utama dengan As-Sunah.
c. IJMAK
Ijmak adalah kesempatan para mujtahid dalam suatu masa setalah wafatnya
Rasulullah saw, terhadap hukum syara’ yang bersifat praktis, dan merupakan sumbee
hukum isalam ketiga setelah Al-Quran dan As-Sunah. Dalil yang menjadi dasar
Ijmak adalah sabda Rasulullah saw yang berbunyi:
“apa yang dipandang oleh kaum muslimin baik, maka menurut pandangan Alllah
SWT juga baik”.
“umatku tidak akan bersepakat atas perbuatan yang sesat”
KAIDAH HUKUM ISLAM
dapat terjadi pada ijmak para sahabat dan ijmak dari bukan para sahabat. Untuk
menyikapi perbedaan tersebut, yang perlu diketahui bahwa ijmak adalah hujjah yang
bersifat qath’i (tegas dan jelas). Oleh karena itu, ijmak dari bukan para sahabat harus
didasarkan atas hadis yang diriwayatkan secara mutawattir agar sanadnya menjadi qath’i.
Hal ini agar sejalan dengan hukum yangakan disepakati dan juga bersifat qath’i.
Faktor-faktor yang harus terpenuhi sehingga ijmak dapat dijadikan sebagai sumber
hukum adalahsebagai berikut.
1) Pada amasa terjadinya peristiwa itu harus ada beberapa orang mujtahid.
2) Kesepakatan itu haruslah kesepakatan yang bulat.
3) Seluruh mujtahid menyetujui hukum syara’ yang telah mereka putuskan itu
dengan tidak memandang negara, kebangsaan dan golongan mereka.
4) Kesepakatan itu diterapkan secara tegas terhadap peristiwa tersebut baik lewat
perkataan maupun perbuatan.
Sedangkan untuk menjadi mujtahid harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut.
(Yahya & Fatchurrahman, 1997):
Menguasai ilmu bahasa arab dengan segala cabangnya.
Mengetahui nash-nash Al-Quran perihal hukum-hukum syariat yang
dikandungnya, ayat-ayat hukum, cara mengeluarkan hukum dari Al-Quran.
Mengetahui nas-nash Al-Quran yaitu mengetahui hukum syariat yang
didatangkan oleh Al-Hadisdan mampu mengeluarkan hukum perbuatan orang
mukalaf dari padanya.
Mengetahui maqashidus syar’iah (tujuan syar’iah), tingkah laku dan adat
kebiasaan manusia yang mangandung maslahat dan kemudaratan.
Ijmak adalah salah satu sumber hukum dalam islam setelah Al-Quran dan As-Sunah,
cara penetapan hukumnya bukanlah hal yang mudah karena ada kriteria yang harus
dipenuhi agar hasil dari Ijmak dapat dijadikan sebagai pedoman.
d. QIYAS
Qiyas menurut bahasa ialah pengukuran seseuatu dengan yang lainnya atau
penyamaan sesuatu dengan sejenisnya. Sedangkan menurut terminologi , definisi
qiyas secara umum adalah suatu proses penyingkapan kesamaan hukum suatu kasus
yang tidak disebutkan dalam suatu nash baik di Al-Quran dan As-Sunah dengan
suatu hukum yang disebutkan dalam nash karena ada kesamaan dalam alasannya.
KAIDAH HUKUM ISLAM
Hal ini sesuai dengan (QS 59:2) “maka ambillah pelajaran wahai orang-
orang yang mempunyai wawasan”. "pelajara” adalah qiyaslah keadaanmu dengan
apa yang telah terjadi. Proses qiyas untuk suatu kasus yang akan dicari hukumnya
adalah dengan mencari nash hukum yang jelas untuk kasus tertentu, setelah itu para
mujtahid akan mencari ‘illat untuk kasus yang akaan dicari hukumnya. Jika
ditemukan adanya ‘illat maka mujtahid dapat menggunakan ketentuan hukum
yangsama untuk kedua kasus tersebut, sedangkan jika tiddak ditemukana ‘illat nya
maka akan dicari kehukum pokok (ashl).
Qiyas dapat dianggap sebagai sumber hukum, jika memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
1. Sepanjang mengacu dan tidak bertentangan dengan Al-Quran dan As-Sunah,
qiyas diperlukan karena nash-nash dalam Al-Quran dan As-Sunah itu universal
dan global. Sedangkan kejadian-kejadian pada manusia itu terus berkembang
terus. Oleh karena itu, tidak mungkin nash-nash yang universal itu dijadikan
sebagai satu-satunya sumber hukum terhadap kejadian-kejadian yang
berkembang mengikuti zaman.
2. Qiyas juga sesuai dengan logika yang sehat. Misalnya, orang islam meminum
minuman yang memabukkan. Sangatlah masuk akal, bila ssetiap minuman atau
makana memabukkan yang diqiyaskan dengan minuman tersebut, menjadi
haram hukumnya.
Argumentasi (kehujjahan) qiyas
Tidak perlu diragukan, bahwa argumentasi jumhue ulama didasarkan pada prinsip
berpikir logis, yaituayat Al-Quran dan As-Sunah.
JENIS TRANSAKSI SYARIAH
Secara umum, dalam sistem ekonomi syariah akad dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu :
a. Akad tabarru’ (kontrak transaksi untuk kebajikan)
Akad tabarru’ adalah perjanjian atau kontrak yang tidak mencari keuntungan
materiil. Akad ini digunakan untuk transaksi yang sifatnya tolong menolong tanpa
mengharapkan adanya keuntungan materiil dari pihak-pihak yang melakukan perikatan.
Akan tetapi dalam transaksi ini diperbolehkan untuk memungut biaya transaksi yang
akan habis digunakan dalam pengelolaan transaksi tabarru’tersebut.
Objek dari akad ini biasanya adalah sesuatu yang diberikan atau dipinjamkan, yakni
sebagai berikut.
Akad Qardh,
Qardh adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih kembali
atau dengan kata lain meminjamkan tanpa mengharap imbalan. Rukun Al-Qardh :
1. Pihak peminjam (muqtaridh)
2. Pihak pemberi pinjaman (muqridh)
3. Dana (qardh)
4. Ijab qabul (sighat)
Akad Rahn
Rahn adalah menahan salah satu harta milik sipeminjam sebagai jaminan
atas pinjaman yang diterimanya. Rukun Ar-Rahn :
1. Pihak penggadai (raahin)
2. Pihak penerima gadai (murtahin)
3. Objek gadai (marhun)
4. Hutang (marhun bih)
5. Ijab qabul (sighat)
Akad Hawalah,
Hawalah adalah pengalihan utang dari orang yang berhutang kepada orang
lain yang wajib menanggungnya. Rukun Hawalah :
1. Pihak yang berutang (muhil)
2. Pihak yang berpiutang (muhal)
3. Pihak yang berutang dan berkewajiban membayar utang kepada muhal
(muhal’alaih)
4. Hutang muhil kepada muhal (muhal bih)
JENIS TRANSAKSI SYARIAH
5. Hutang muhal alaih kepada muhil
6. Ijab qabul (sighat)
Akad Wakalah
Wakalah adalah penyerahan atau pemberian mandat. Orang yang diberikan
amanat oleh orang lain maka orang tersebut akan melakukan apa yang diamanatkan
(dikuasakan) kepadanya. Rukun Wakalah :
1. Pihak pemberi kuasa (muwakkil)
2. Pihak penerima kuasa (wakil)
3. Objek yang dikuasakan (taukil)
4. Ijab qabul (sighat)
Akad Wadi’ah
Wadi’ah adalah titipan murni dari satu pihak ke pihak lainnya baik individu
maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si pemberi
titipan menghendaki.
Jenis wadi’ah dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu :
a) Wadi’ah yad adh-dhamanah, adalah akad penitipan barang atau uang dimana
pihak penerima titipan dengan atau tanpa izin pemilik barang atau uang, dapat
memanfaatkan titipan tersebut dan bertanggung jawab atas semua yang terjadi
atas terhadap titipan tersebut. Semua manfaat yang diperoleh menjadi hak
penerima titipan. Rukun Wadi’ah :
1. barang atau uang yang dititipkan (wadi’ah)
2. pemilik barang atau uang (muwaddi’)
3. pihak yang menyimpan atau menerima titipan (mustawda’)
4. ijab qabul (sighat)
b) al-amanah, adalah akad penitipan barang atau uang dimana pihak penerima
titipan tidak diperkenankan menggunakan barang atau uang yang dititipkan
dan tidak bertanggung jawab atas kerusakan atau kehilangan barang titipan
yang bukan disebabkan oleh kelalaian si penerima titipan.
Akad Kafalah
Kafalah adalah jaminan yang diberikan oleh penanggung kepada pihak
ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung.
Rukun Kafalah :
JENIS TRANSAKSI SYARIAH