Anda di halaman 1dari 67

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN OKTOBER 2019


UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

OSTEOPOROSIS

Oleh:
Agung Sukriadi Harli
111 2018 2089

Dokter Pembimbing Klinik:


dr. Muhammadong, Sp.PD

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2019

i
LEMBAR PENGESAHAN
Dengan ini, saya yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa :
Nama : Agung Sukriadi Harli
Stambuk : 111 2018 2089
Judul : Osteoporosis

Telah menyelesaikan dan mempresentasikan tugas Referat dalam rangka


tugas kepaniteraan klinik pada Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran, Universitas Muslim Indonesia.

Makassar, Oktober 2019


Pembimbing,

(dr. Muhammadong, Sp.PD)

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN..............................................................................ii
DAFTAR ISI...................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR.......................................................................................
iv
DAFTAR TABEL............................................................................................
v
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................
1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................
3
2.1 Definisi Osteoporosis...............................................................................
3
2.2 Etiologi Osteoporosis...............................................................................
3
2.3 Patogenesis Osteoporosis.......................................................................
10
2.4 Klasifikasi Osteoporosis...........................................................................
30
2.5 Manifestasi Klinis Osteoporosis...............................................................
31
2.6 Diagnosis Osteoporosis...........................................................................
32
2.7 Penatalaksanaan Osteoporosis...............................................................
38
2.8 Prognosis Osteoporosis...........................................................................
54
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................
56

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar .1. Proses Proliferasi dan Diferensiasi Sel Osteoblas Menjadi


Osteosit.......................................................................................15

Gambar .2. Tahap Remodelling Tulang Selama Proses Pembentukan


Tulang.........................................................................................16

Gambar .3. Struktur Mikrografi Tulang Normal dan Osteoporosis................18

Gambar .4. Patogenesis Osteoporosis Pasca Menopause..........................22

Gambar .5. Efek Estrogen Dan Sitokin Terhadap Pengaturan


Pembentukan Osteoklas, Aktivitas, Dan Proses Apoptosisnya.
Efek Estrogen Sebagai Stimulasi Ditandai Dengan E(+),
Sedangkan Efek Inhibisi Dengan Tanda E(-).............................24

Gambar .6. Peranan RANK Dan RANK-Ligand Dalam Aktivasi Sel


Osteoklas Dan Peran OPG Menghambat Proses Tersebut.......26

Gambar .7. Proses Pembentukan Dan Aktivasi Sel Osteoklas, Atas


Pengaruh RANK-L Beserta Faktor-Faktor Yang Berpengaruh
Terhadap Ekspresi RANKL.........................................................27

Gambar .8. Mekanisme Terjadinya Osteoporosis Akibat Glukokortikoid......30

iv
Gambar .9. Patogenesis Osteoporosis Tipe II..............................................31

v
DAFTAR TABEL

Tabel .1. Karakteristik osteoporosis Tipe I dan II..........................................17

Tabel .2. Efek estrogen terhadap berbagai sel tulang.........................................18

Tabel .3. Penanda Biokimia Tulang...............................................................35

Tabel .4. Generasi Bisfosfonat......................................................................44

Tabel .5. Kebutuhan asupan kalsium............................................................50

Tabel .6. Efikasi anti fraktur dari beberapa agen terapeutik..........................53

vi
BAB I

PENDAHULUAN

Osteoporosis merupakan satu penyakit metabolik tulang sistemik yang

ditandai oleh menurunnya densitas massa tulang, oleh karena berkurangnya

matriks dan mineral tulang disertai dengan kerusakan mikro arsitektur dari

jaringan tulang, dengan akibat menurunnya kekuatan tulang, sehingga terjadi

kecenderungan tulang mudah patah. Pada tahun 2001, National Institute of

Health (NIH) mengajukan definisi baru osteoporosis sebagai penyakit tulang

sistemik yang ditandai oleh compromised bone strength sehingga tulang

mudah patah. Menurunnya massa tulang dan memburuknya arsitektur

jaringan tulang ini, berhubungan erat dengan proses remodeling tulang yaitu

terjadi abnormalitas bone turnover. Pada osteoporosis akan terjadi

abnormalitas bone turnover, yaitu terjadinya proses penyerapan atau resorpsi

tulang (bone resorption) lebih banyak dari pada proses pembentukan atau
1,3
formasi tulang (bone formation).

Pembentukan dan penyerapan tulang berada dalam keseimbangan

pada individu berusia sekitar 30 - 40 tahun. Keseimbangan ini mulai

terganggu dan lebih berat ke arah penyerapan tulang ketika wanita mencapai

menopause dan pria mencapai usia 60 tahun. Penelitian Roeshadi di Jawa

Timur mendapatkan bahwa puncak massa tulang dicapai pada usia 30-34

1
tahun dan rata-rata kehilangan massa tulang pasca menopause adalah 1,4%

per tahun. Berbagai fraktur yang berhubungan dengan osteoporosis adalah

kompresi vertebral, fraktur colles dan fraktur kolum femoris. Prevalensi fraktur

kompresi vertebral adalah 20% pada wanita kaukasus pasca menopause,

sedangkan fraktur kolum femoris meningkat secara bermakna pada wanita


2,3
diatas 50 tahun atau laki-laki di atas 60 tahun.

Osteoporosis menyebabkan lebih dari 8,9 juta kasus fraktur setiap

tahun di dunia, dimana 4,5 juta kasus terjadi di Amerika dan Eropa. Saat ini

diperkirakan ada sekitar 0,3 juta fraktur panggul pertahun di Amerika Serikat

dan 1,7 juta di Eropa. Hampir semua peristiwa ini dikaitkan dengan

osteoporosis, baik primer atau 2 sekunder. Rasio perempuan dan laki-laki

pada fraktur pinggul 2:1. Insiden fraktur pergelangan tangan di Inggris dan

Amerika berkisar 400-800 per 100.000 perempuan. Fraktur kompresi tulang

belakang jauh lebih sulit untuk diperkirakan karena sering tanpa gejala.

Diperkirakan lebih dari satu juta wanita postmenopause Amerika akan

mengalami patah tulang tulang belakang dalam perjalanan satu tahun. 4

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Osteoporosis adalah suatu kondisi berkurangnya masa tulang secara

nyata yang berakibat pada rendahnya kepadatan tulang. Akibatnya tulang

menjadi rapuh dan mudah patah. Penyakit osteoporosis paling umum diderita

oleh orang yang telah berumur, dan paling banyak menyerang wanita yang

telah menopause.1

Osteoporosis merupakan penyakit metabolik tulang atau disebut juga

penyakit tulang rapuh atau tulang keropos. Osteoporosis diistilahkan juga

dengan penyakit silent epidemic karena sering tidak memberikan gejala

hingga akhirnya terjadi fraktur (patah).2

2.2 ETIOLOGI

Penyebab atau etiologi osteoporosis bersumber dari faktor-faktor risiko

yang dapat dikendalikan dan tidak dapat dikendalikan yang dimiliki oleh

seorang individu.3

3
1. Faktor Risiko Yang Tidak Dapat Dikendalikan

a) Jenis Kelamin

Osteoporosis dapat terjadi pada laki-laki maupun perempuan. Akan

tetapi, perempuan lebih berisiko terkena penyakit ini. Penyebab

perempuan lebih berisiko terkena osteoporosis adalah mulai menurunnya

kadar esterogen dalam tubuh perempuan sejak usia 35 tahun, adanya

keterlambatan pubertas (dapat pula terjadi pada laki-laki) dan terhentinya

siklus menstruasi selama tiga bulan atau lebih (amenorrhea) pada wanita,

baik yang disebabkan oleh gangguan makan, olahraga berlebihan, dan

lain sebagainya. Fase tidak mengalami menstruasi (amenorrhea) juga

dialami oleh perempuan yang pada masa mengandung dan menyusui.

Walaupun keropos yang dialami pada masa mengandung hanya

sementara, tetapi apabila tidak diimbangi dengan konsumsi kalsium yang

cukup juga akan berisiko menyebabkan osteoporosis. 3

b) Usia

Faktor penuaan berkaitan erat dengan risiko oeteoporosis. Tiap

peningkatan satu dekade, risiko osteoporosis meningkat 1,4-1,8. Hal

tersebut dipicu oleh menurunnya massa tulang seiring penuaan. Laki-laki

dan perempuan biasanya akan mencapai puncak massa tulang pada usia

25 tahun. Penurunan massa tulang akan sedikit menurun pada usia 30

tahun hingga 40 tahun dan jauh berkurang menjelang osteoporosis.

Selain itu, pada usia lanjut juga terjadi penurunan kadar kalsitriol (bentuk

4
vitamin D yang aktif dalam tubuh) yang disebabkan berkurangnya intake

vitamin D baik dalam diet, karena gangguan absorpsi, maupun

berkurangnya vitamin D dalam kulit karena penuaan. 4

c) Ras

Orang berkulit putih lebih berisiko mengalami osteoporosis

dibanding orang berkulit hitam. Orang berkulit putih, khusunya keturunan

Eropa bagian utara atau bangsa Asia berisiko tinggi terhadap

osteoporosis dibanding orang Hispanik atau berkulit hitam. 3

d) Riwayat Keluarga

Riwayat keluarga juga memiliki peran terhadap terjadinya

osteoporosis. Jika seseorang memiliki keluarga kandung (ibu, ayah,

saudara laki-laki, saudara perempuan, anak laki-laki, anak perempuan)

yang memiliki riwayat osteoporosis, maka orang tersebut berisiko

mengalami osteoporosis.4

e) Tipe Tubuh

Tipe tubuh mempengaruhi risiko osteoporosis. Semakin kecil

rangka tubuh, semakin besar risiko seseorang mengalami osteoporosis.

Pada perempuan, berat badan dapat mempengaruhi massa terutama

melalui efeknya terhadap rangka tubuh. Perempuan yang kelebihan berat

badan menempatkan tekanan yang lebih besar pada tulangnya.

Peningkatan meningkatnya tekanan merangsang pembentukan tulang

baru untuk mengatasi hal tersebut, sehingga massa tulang dapat

5
ditingkatkan. Hal tersebut juga dapat berlaku pada laki-laki. Selain itu

pada jaringan lemak atau adipose, hormon androgen dapat diubah

menjadi esterogen yang dapat mempengaruhi pembentukan massa

tulang Akan tetapi, tubuh yang terlalu gemuk tidak baik karena rentan

penyakitpenyakit lain, seperti diabetes, jantung koroner, dan sebagainya. 3

f) Peranan esterogen pada tulang

Esterogen merupakan regulator pertumbuhan pada tulang dan

homeostasis tulang yang penting. Esterogen memiliki efek langsung dan

tak langsung pada tulang. Efek tak langsung meliputi esterogen terhadap

tulang berhubungan dengan homeostasis kalsium yang meliputi regulasi

absorbsi kalsium diusus, ekskresi Ca di ginjal dan sekresi hormon

paratiroid (PTH). Terhadap sel-sel tulang, esterogen memiliki beberapa

efek seperti meningkatkan formasi tulang dan juga menghambat resorbsi

tulang oleh osteoklas. Terapi esterogen menyebabkan penurunan

sebesar 50% pada angka fraktur tulang paha pada wanita

pascamenopause.5

g) Menopause

Menopause merupakan faktor paling signifikan sehubungan

dengan risiko terhadap osteoporosis. Hilangnya esterogen saat

menopause merupakan alasan yang paling umum wanita terkena

osteoporosis. Menopause adalah suatu masa dimana siklus menstruasi

seorang wanita telah berakhir (tidak mengalami menstruasi lagi). Siklus

6
remodelling tulang berubah dan pengurangan jaringan dimulai ketika

tingkat esterogen turun. Salah satu fungsi esterogen adalah

mempertahankan tingkat remodelling tulang yang normal. Ketika tingkat

esterogen turun, tingkat pengikisan tulang (resorbsi) menjadi lebih tinggi

daripada pembentukan tulang (formasi), yang mengakibatkan

berkurangnya massa tulang.3

Perempuan yang mengalami menopause dini atau defisiensi

esterogen akibat sebab lain, misalnya penyakit jantung, memiliki risiko

lebih tinggi terkena osteoporosis. Perempuan yang tidak mendapatkan

haid (amonerrhea) sebelum menopause karena beberapa hal, seperti

anoreksia nervosa, perempuan kurus yang melakukan olahraga berat,

penyakit kronis (penyakit hati atau radang usus), dan penyakit sistem

reproduksi yang mengakibatkan tidak terbentuknya hormon seks pada

masa pubertas, juga menjadi faktor risiko penting terjadinya osteoporosis.

Amenorrhea dikaitkan dengan rendahnya produksi hormon esterogen.

Sebanyak 80% pasien osteoporosis di Inggris merupakan perempuan

yang kehilangan hingga 20% massa tulang selama 5-7 tahun setelah

menopause.6

2. Faktor Risiko Yang Dapat Dikendalikan

a) Kurang Aktivitas atau Olahraga

7
Kurang aktivitas atau olahraga juga dapat berisiko menyebabkan

osteoporosis walaupun seseorang tidak memiliki faktor lainnya. Karena

dengan banyaknya aktivitas akan menyebabkan peningkatan massa

tulang, hal ini diakibatkan oleh otot yang berkontraksi sehingga

merangsang pembentukan tulang. Aktivitas atau olahraga, khususnya

olahraga dengan beban dapat meningkatkan massa tulang. Olahraga

dengan beban akan menekan rangka tulang dan menyebabkan tulang

berkontraksi sehingga merangsang pembentukan tulang. 3

b) Pola Makan Kurang

Baik Banyak faktor dalam pola makan yang dapat mempengaruhi

tulang. Kekurangan gizi atau malnutrisi pada waktu anak-anak, yang

mempengaruhi pemasukan protein, dapat memperlambat pubertas.

Pubertas yang tertunda atau terlambat merupakan faktor risiko dari

osteoporosis. Malnutrisi dan kecilnya asupan kalsium semasa kecil dan

remaja bisa menyebabkan rendahnya puncak massa tulang. Puncak

massa tulang yang rendah dapat meningkatkan risiko osteoporosis pada

perempuan. Akan tetapi, asupan protein yang berlebih dapat

menyebabkan risiko osteoporosis karena akan meningkatkan

pengeluaran kalsium melalui urin.6

Kekurangan vitamin D dapat menyebabkan tulang lunak

(osteomalasia), meningkatkan penurunan massa tulang, dan risiko patah

tulang. Hal ini disebabkan karena vitamin D berperan untuk penyerapan

8
kalsium dan fosfor dari saluran usus. Jika tubuh tidah memiliki cukup

vitamin D, maka kalsium dan fosfor tidak dapat diserap dari usus

sehingga tubuh akan mengambil dari tulang untuk mencukupi

kebutuhannya. Padahal kalsium dalam tulang sangat penting untuk

meningkatkan massa tulang dan mencapai puncak massa tulang.

Sedangkan fosfor bersama magnesium berperan penting bagi

pengerasan tulang dalam proses remodelling. Vitamin D juga penting

untuk kekuatan tulang, karena akan diubah menjadi hormon kalsitriol oleh

enzim-enzim hati dan ginjal untuk membantu menyeimbangkan aktivitas

osteoblas dan osteoklas.3

c) Merokok

Tembakau dapat meracuni tulang dan menurunkan kadar

esterogen. Merokok juga dapat mempengaruhi berat badan. Biasanya,

berat badan perokok lebih ringan dibanding bukan perokok. Berat badan

yang ringan dan kadar esterogen yang rendah pada perempuan dapat

berisiko mengalami menopause dini sehingga berisiko pula mengalami

osteoporosis. Rokok juga berpengaruh buruk pada sel pembentuk tulang

atau osteoblast.4

d) Minum Alkohol

9
Konsumsi alkohol yang berlebihan selama bertahun-tahun

mengakibatkan berkurangnya massa tulang dan pada wanita pasca

menopause, jumlah massa tulang yang berkurang akan semakin besar.

Alkohol juga dapat secara langsung meracuni jaringan tulang atau

mengurangi massa tulang melalui nutrisi yang buruk sebab peminum

berat biasanya tidak mengonsumsi makanan sehat dan mendapatkan

hampir seluruh kalori dari alkohol. Selain itu, penyakit liver karena

konsumsi alkohol yang berlebihan dapat mengganggu penyerapan

kalsium. Oleh karena itu, alkohol yang berlebihan juga meningkatkan

risiko jatuh yang mengakibatkan patah tulang.3

e) Penggunaan Obat-obatan

Penggunaan obat-obatan juga dapat menyebabkan osteoporosis.

Beberapa obatobatan jika digunakan dalam waktu lama ternyata dapat

mengubah pergantian tulang dan meningkatkan osteoporosis. Obat-

obatan tersebut mencakup steroid, obat-obatan tiroid, GNRH agonit,

diuretik, dan antacid.4

2.3 PATOGENESIS

A. Patogenesis Pembentukan Tulang

Tulang merupakan jaringan ikat khusus yang mengalami

mineralisasi, sebagai menopang tubuh untuk berdiri yang bersama tulang

rawan membentuk sistem kerangka, yang mempunyai tiga fungsi utama,

10
yaitu fungsi mekanis sebagai dukungan dan lokasi insersi otot untuk

bergerak, fungsi pelindung bagi organ-organ vital dan sumsum tulang, dan

terakhir fungsi metabolisme sebagai cadangan kalsium dan fosfat yang

digunakan untuk pemeliharaan homeostasis serum, yang penting untuk

kehidupan.7

Tulang manusia terdiri atas 80% tulang kortikular dan 20 % tulang

trabekular. Tulang kortikal dan tulang trabekular terbuat dari sel-sel yang

sama dan elemen matriks yang sama, tetapi ada perbedaan struktural dan

fungsional. Perbedaan struktural utama secara kuantitatif adalah 80%

sampai 90% dari volume tulang kortikular adalah kalsifikasi, sedangkan

hanya 15% sampai 25% dari volume trabekular adalah kalsifikasi (sisanya

adalah sumsum tulang, pembuluh darah, dan jaringan ikat). Fungsi utama

tulang kortikal berfungsi sebagai mekanik (alat gerak) dan pelindung,

sedangkan tulang trabekular sebagai fungsi metabolik dan juga berperan

dalam proses biomekanik tulang, terutama tulang belakang. 7.8

Remodeling adalah proses dimana terjadi turn-over dari tulang yang

memungkinkan pemeliharaan bentuk, kualitas dan jumlah kerangka.

Proses ini ditandai oleh aktivasi yang terkoordinasi dari osteoklas dan

osteoblas, yang terjadi dalam unit multiseluler tulang (bone multicellular

units/BMUs) dimana terjadi peristiwa aktivasi proses resorpsi dan formasi

yang berurutan dan terus menerus.8

Osteoblas adalah sel yang bertanggung jawab terhadap proses

11
formasi tulang, yaitu berfungsi dalam sintesis matriks tulang yang disebut

osteoid, yaitu komponen protein dari jaringan tulang. Osteoklas adalah sel

tulang yang bertanggung jawab terhadap proses resorbsi tulang. Osteoklas

merupakan sel raksasa yang berinti banyak dan berasal dari sel

hemopoetik mononuklear. 8,9,10,11

Pada proses pembentukan tulang, osteoblast mulai bekerja. Untuk

diferensiasi dan maturasi osteoblas membutuhan faktor pertumbuhan lokal,

seperti fibroblast grow factor (FGF), bone morphogenetic proteins (BMPs)

dan Wnt protein. Selain itu, juga dibutuhkan faktor trankripsi, yaitu core

binding factor-1 atau Runx2 atau Osterix (Osx). Prekursor osteoblas ini

akan berproliferasi dan berdiferensisi membentuk preosteoblas dan

kemudian akan menjadi osteoblas matur. Osteoblas selalu tampak melapisi

matrik tulang (osteoid) yang diproduksinya sebelum dikalsifikasi, proses

kalsifikasi ini membutuhkan waktu 10 hari. Membran osteoblas kaya akan

alkali fosfatase dan memiliki reseptor untuk hormon paratiroid dan

prostaglandin tetapi tidak memiliki reseptor untuk kalsitonin. Selain itu

osteoblas juga mengekspresikan reseptor estrogen, vitamin D3 dan

berbagai sitokin, seperti colony stimulating factor 1 (CSF1), receptor

activator nuclear of factor β ligand (RANKL) dan osteoprotegerin (OPG).

RANKL berperan pada maturasi prekursor osteoklas karena precursor

osteoklas memiliki reseptor RANK pada permukaannya. Sedangkan efek

RANKL akan dihambat oleh OPG.8,9,10,11

12
Osteosit merupakan sel berbentuk stelat yang mempunyai juluran

sitoplasma (prosesus) yang sangat panjang yang akan berhubungan

dengan prosesus osteosit yang lain dan juga dengan bone linning cells.

Didalam matriks, osteosit terletak di dalam rongga yang disebut lakuna,

sedangkan prosesusnya terletak dalam di dalam terowongan yang disebut

kanalikuli. 8,9,10,11

Gambar 1. Proses proliferasi dan diferensiasi sel osteoblas menjadi osteosit.

Setelah pertumbuhan terhenti dan puncak massa tulang sudah

tercapai, maka proses pembentukan tulang akan dilanjutkan pada

permukaan endosteal. Tulang mengalami proses resorpsi dan formasi

secara terus menerus yang disebut sebagai remodelling tulang. Proses

remodeling tulang merupakan proses mengganti tulang yang sudah tua

13
atau rusak, diawali dengan resorpsi tulang oleh osteoklas dan diikuti oleh

formasi tulang oleh osteoblas. Proses remodeling diawali dengan

pengaktifan osteoklas oleh sitokin tertentu. Osteoklas akan meninggalkan

rongga yang disebut lakuna howship pada tulang trabekular atau rongga

kerucut (cutting cone) pada tulang kortikal. Setelah resorpsi selesai, maka

osteoblas akan melakukan formasi tulang pada rongga yang ditinggalkan

osteoklas dengan membentuk matriks tulang yang di sebut osteoid, yang

dilanjutkan dengan mineralisasi primer dalam waktu singkat kemudian

dilanjutkan dengan mineralisasi sekunder dalam waktu yang lebih lama dan
8,9,10,11
proses yang lebih lambat sehingga tulang menjadi keras.

Gambar 2. Tahapan remodelling tulang selama proses pembentukan tulang. 8

Pada dewasa muda yang normal, sekitar 30% dari total massa

kerangka diperbaharui setiap tahun (half life = 20 bulan). Dalam setiap unit

remodeling, resorpsi tulang oleh osteoklas berlangsung sekitar 3 hari,

dengan masa pemulihan 14 hari dan pembentukan tulang 70 hari (total =

87 hari). Tingkat pembentukan tulang linier adalah 0.5 mm/day. Selama

proses ini, sekitar 0.01 mm tulang diperbaharui dalam satu unit

remodeling. Secara teoritis, dengan deposisi matriks dan kalsifikasi

seimbang, serta keseimbangan antara aktivitas osteoklas dan osteoblas,

jumlah tulang yang dibentuk di tiap unit remodeling sama dengan jumlah

tulang yang sebelumnya diresorpsi. Dengan demikian, total massa

14
kerangka tetap konstan. Homeostasis kerangka ini bergantung pada

aktifitas remodeling normal. Tingkat aktivasi unit remodeling baru, hanya

akan menentukan tingkat turnover.7

B. Patogenesis Osteoporosis

Dalam proses pembentukan tulang, hal yang sangat penting adalah

koordinasi yang baik antara osteoklas, osteoblas, dan sel-sel endotel.

Selama sistem ini berada dalam keseimbangan, formasi dan resorpsi

tulang akan selalu seimbang. Pada usia reproduksi, di mana fungsi ovarium

masih baik, terdapat keseimbangan antara proses formasi tulang

(osteoblas) dan laju proses resorpsi tulang (osteoklas) sehingga tidak

timbul pengeroposan tulang.7

Osteoporosis terjadi akibat adanya gangguan keseimbangan antara

proses resorpsi tulang dan formasi tulang, dimana secara seluler

disebabkan oleh karena jumlah dan aktivitas sel osteoklas (sel resorpsi

tulang) melebihi dari jumlah dan aktivitas sel osteoblas (sel formasi tulang).

Keadaan ini mengakibatkan penurunan massa tulang. 7

15
Normal bone Osteoporotic bone

Gambar. 3. Stuktur mikrografi tulang normal dan osteoporosis. 12

Osteoporosis dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu osteoporosis primer

(involusional) dan osteoporosis sekunder. Osteoporosis primer adalah

osteoporosis yang tidak diketahui penyebabnya. Osteoporosis sekunder

adalah osteoporosis yang diketahui penyebabnya. Osteoporosis primer

dibagi 2, yaitu osteoporosis tipe I (dahulu disebut osteoporosis pasca

menopause) dan osteoporosis tipe II (dahulu disebut osteoporosis senilis).

Pada tahun 1990-an, Riggs dan Melton mengemukakan bahwa estrogen

menjadi faktor yang sangat berperan pada timbulnya osteoporosis primer

baik pada pasca menopause maupun senilis.13,14


13,14
Tabel. 1. Karakteristik osteoporosis Tipe I dan II

Karakteristik Tipe I Tipe II


Umur (tahun) 50-75 >70
Wanita : pria 6:1 2:1
Tipe kerusakan tulang Terutama trabekular Trabekular dan kortikal
Bone turnover Tinggi Rendah
Lokasi fraktur terbanyak Vertebra, radius Vertebra, kolum femoris

16
distal
Fungsi paratiroid Menurun Meningkat
Efek estrogen Terutama skeletal Ekstra skeletal
Etiologi utama Defisiensi estrogen Penuaan, defisiensi
estrogen

A. Peran Estrogen

Estrogen manusia dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu estron

(E1), 17 estradiol (E2) dan Estriol (E3). Saat ini terdapat struktur lain

yang dikenal sebagai anti estrogen, tetapi pada organ non reproduksi

bersifat estrogenik, struktur ini disebut selective estrogen receptor

modulators (SERMs). Estrogen utama yang dihasilkan oleh ovarium

adalah estradiol. Saat ini telah ditemukan 2 macam reseptor estrogen

(ER), yaitu reseptor estrogen alfa (ER) dan reseptor estrogen beta

(ER). Pada tulang reseptor estrogen ini didstribusikan di berbagai sel,

termasuk osteoblas, osteosit, osteoklas dan kondrosit. Ekspresi ER

dan ER meningkat bersamaan dengan diferensiasi dan maturasi

osteoblas.9

Estrogen merupakan regulator pertumbuhan dan homeostasis

tulang yang penting. Estrogen memegang peran yang sangat penting

dalam metabolisme tulang, mempengaruhi aktivitas sel osteoblas

maupun osteoklas, termasuk menjaga keseimbangan kerja dari kedua

sel tersebut. Efek tak langsung estrogen terhadap tulang berhubungan

17
dengan homeostasis kalsium yang meliputi absorpsi kalsium di usus,

modulasi 1,25(OH)2 vitamin D, eksresi kalsium di ginjal dan sekresi

hormonparatiroid.9
9
Tabel .2. Efek estrogen terhadap berbagai sel tulang.

Osteoblas Osteosit Osteoklas Kondrosit


 Proliferasi  Apoptosis osteosit c-fos, c- Pertumbuhan
osteoblas  Ekspresi ER jun, TGF- endokondral
 Sintesis DNA  selama
 Alkaki fosfatase TRAP, pubertas,
 Kolagen tipe 1 cathepsin B, D Mempercepat
 Mineralisasi tulang Apoptosi penutupan
 Sintesis IGF-1 s lempeng
 Sintesis TGF- osteokla epifisis
 Sintesis BMP-6 s
 Sintesis TNF- formasi
 Sintesis OPG osteokla
 Aksi PTH s
 Ekspresi ER
 Apoptosis osteoblas

B. Osteoporosis Tipe I

Setelah menopause, terjadi penurunan produksi estrogen oleh

ovarium, maka resorpsi tulang akan meningkat, terutama dekade awal

pasca menopause, sehingga insiden fraktur meningkat, terutama fraktur

vertebra dan fraktur radius distal. Penurunan densitas tulang, terutama

tulang trabekular dapat dicegah dengan terapi sulih estrogen. Estrogen

juga berperan dalam menurunkan produksi berbagai sitokin oleh bone

18
marraw stromal cells dan sel-sel mononuklear seperti interleukin-1 (IL-

1), interleukin-6 (IL-6) dan tumor necrosis factor-alpha (TNF-) yang

berperan meningkatkan kerja osteoklas. Dengan demikian penurunan

kadar estrogen akibat menopause akan meningkatkan produksi

berbagai sitokin tersebut, sehingga aktifitas osteoklas meningkat. 9

19
Gambar 4. Patogenesis osteoporosis pasca menopause.9

Dalam keadaan normal estrogen dalam sirkulasi mencapai sel

osteoblas, dan beraktivitas melalui reseptor yang terdapat di dalam sitosol

sel tersebut, mengakibatkan menurunnya sekresi sitokin seperti : IL-1, IL-6

dan TNF-, merupakan sitokin yang berfungsi dalam penyerapan tulang. Di

lain pihak estrogen meningkatkan sekresi transforming growth factor 

(TGF-), yang merupakan satu- satunya faktor pertumbuhan (growth factor)

yang merupakan mediator untuk menarik sel osteoblas ke tempat lubang

20
tulang yang telah diserap oleh sel osteoklas. Sel osteoblas merupakan sel

target utama dari estrogen, untuk melepaskan beberapa faktor

pertumbuhan dan sitokin seperti tersebut diatas, walaupun secara tidak

langsung maupun secara langsung juga berpengaruh pada sel osteoklas.15

Seperti dikemukakan diatas bahwa sel osteoblas memiliki reseptor

estrogen alfa dan beta di dalam sitosol. Dalam diferensiasinya sel

osteoblas mengekspresikan reseptor beta (ER) 10 kali lipat dari reseptor

estrogen alfa (ER).16

Didalam percobaan binatang defisiensi estrogen menyebabkan

terjadinya osteoklastogenesis dan terjadi kehilangan tulang. Dengan

defisiensi estrogen ini akan terjadi meningkatnya produksi dari IL-1, IL-6,

dan TNF- yang lebih lanjut akan diproduksi M-CSF dan RANK-L.

Selanjutnya RANK-L menginduksi aktivitas JNK1 dan osteoclastogenic

activator protein-1, faktor transkripsi c-Fos dan c-Jun. Akan tetapi dengan

pemberian estrogen terjadi pembentukan tulang kembali, dan didapatkan

penurunan produksi dari IL-1, IL-6, dan TNF-, begitu juga selanjutnya

akan terjadi penurunan produksi M-CSF dan RANK-Ligand (RANK-L). Di

sisi lain estrogen akan merangsang ekspresi dari OPG dan TGF- pada sel

osteoblas dan sel stroma, yang lebih lanjut akan menghambat resorpsi

tulang dan meningkatkan apoptosis dari sel osteoklas (lihat gambar 5).11,17,18

21
TGF-

Gambar 5. Efek estrogen dan sitokin terhadap pengaturan pembentukan osteoklas,

aktivitas, dan proses apoptosisnya. Efek estrogen sebagai stimulasi ditandai dengan

E(+), sedangkan efek inhibisi dengan tanda E(-)17

Jadi estrogen mempunyai efek terhadap sel osteoklas, bisa

memberikan pengaruh secara langsung maupun tidak langsung. Secara

tidak langsung estrogen mempengaruhi proses deferensiasi, aktivasi,

maupun apoptosi dari osteoklas. Dalam deferensiasi dan aktivasinya

estrogen menekan ekspresi RANK-L, M-CSF dari sel stroma osteoblas,

dan mencegah terjadinya ikatan kompleks antara RANK-L dan RANK,

dengan memproduksi reseptor OPG, yang berkompetisi dengan RANK. 17,18

RANK-L yang merupakan salah satu famili dari TNF disebut juga:

22
OPG-L, TNF-related activation induced cytokine (TRANCE), ODF dan

memiliki reseptor RANK yang merupakan kunci pengaturan remodeling

tulang dan sangat esensial dalam perkembangan dan aktivasi dari

osteoklas. Selanjutnya RANK-L berikatan dengan RANK pada permukaan

sel osteoklas progenitor untuk merangsang diferensiasi sel tersebut. Selain

itu sel stroma osteoblas juga mensekresi suatu substansi yang larut dan

mengambang, yang berfungsi sebagai reseptor dan dapat juga mengikat

RANK-L yang disebut OPG. OPG dapat beraksi sangat poten sebagai

penghambat pembentukan osteoklas dengan cara berikatan dengan

RANK-L, sehingga mencegah interaksi antara RANK-L dengan RANK pada

progenitor osteoklas (gambar 6).19,20

23
Gam

bar 6. Peranan RANK dan RANK-Ligand dalam aktivasi sel osteoklas dan peran OPG

menghambat proses tersebut.22

Ketiganya yaitu RANK-L, RANK, dan OPG merupakan molekul

esensial yang merupakan protein superfamili dari TNF-TNFR. RANK dan

RANK-L merupakan protein yang menyerupai molekul sitokin yang

berikatan pada membran (membrane-bound cytokine-like molecules).

Sedangkan OPG yang sangat poten sebagai penghambat proses

osteoklastogenesis dan resorpsi tulang baik in vitro maupun in vivo, melalui

kemampuannya sebagai reseptor umpan (decoy receptor) yang dapat

berikatan dengan RANK-L, sehingga dihambat terjadinya interaksi antara

RANKL dan RANK.21

24
Dalam implikasinya RANK-L merangsang terjadinya fusi dari sel

prekursor yang mononukler menjadi sel multinuklear, kemudian memacu

untuk berdiferensiasi menjadi sel osteoklas dewasa, perlengketannya pada

permukaan tulang, dan aktivitasnya menyerap tulang, dan bahkan lebih

lanjut mempertahankan kehidupan osteoklas dengan cara memperlambat

terjadinya apoptosis. RANK-L diekspresi paling banyak oleh osteoblas dan

sel lapisan mesenkim. Selain itu diekspresi juga oleh sel periosteal,

kondrosit, sel endotelial, dan juga oleh sel T aktif. (gambar 7). RANKL

diekspresi oleh osteoblas/sel stroma, sel primitif mesenkim yang

mengelilingi tulang rawan anlagen dan hipertrofik kondrosit. Ekspresi

RANKL bisa diregulasi oleh faktor-faktor resorpsi tulang seperti

Glukokortikoid, vitamin D3, IL1, IL6, IL11, IL17, TNF-alfa, PGE2, atau

PTH.22

25
Gambar 7. Proses pembentukan dan aktivasi sel osteoklas, atas pengaruh RANK-L

beserta faktor-faktor yang berpengaruh terhadap ekspresi RANKL .

C. Osteoporosis Tipe II

Sampai saat ini belum diketahui secara pasti penyebab penurunan

fungsi osteoblas pada orang tua, diduga akibat penurunan kadar estrogen

dan IGF-1. Defisiensi kalsium dan vitamin D sering didapatkan pada orang

tua, hal ini dapat disebabkan oleh asupan kalsium dan vitamin D yang

kurang, anoreksia, malabsorpsi dan paparan sinar matahari yang rendah.

Akibat defisiensi kalsium dapat menyebabkan timbulnya hiperparatiroidime

sekunder yang persisten sehingga akan meningkatkan proses resorpsi

tulang dan kehilangan massa tulang. Aspek nutrisi yang lain adalah

defisiensi protein yang akan menyebabkan penurunan sintesis IGF-1.

Defisiensi vitamin K juga akan menyebabkan osteoporosis karena akan

26
meningkatkan karboksilasi protein tulang, misalnya osteokalsin.9

Aktivitas osteoklas ditandai dengan terjadinya pengeluaran

hidroksiprolin dan piridinolincrosslink melalui kencing, serta asam fosfat

dalam plasma. Hormon paratiroid dan 1,25 (OH) 2 vitamin D3 mengaktifkan

osteoklas sedangkan kalsitonin dan estradiol menghambat kerja osteoklas.

Resopsi tulang menyebabkan mobilisasi kalsium dan hal ini menyebabkan

berkurangnya sekresi hormon paratiroid akibatnya pembentukkan 1,25

(OH)2 vitamin D3 serta absorpsi kalsium oleh usus berkurang. 21

Defisiensi estrogen juga merupakan masalah yang penting sebagai

salah satu penyebab osteoporosis pada orang tua, baik pria maupun

wanita. Begitu juga dengan kadar testosteron pada pria. Penurunan kadar

estradiol di bawah 40 pMol/L pada pria akan menyebabkan osteoporosis.

Dengan bertambahnya usia, kadar testosteron akan menurun sedangkan

kadar sex hormone binding globulin (SHBG) akan meningkat. Peningkatan

SHBG ini akan meningkatkan pengikatan estrogen dan progesteron

membentuk komplek yang inaktif. Penurunan hormon pertumbuhan (GH)


9
dan IGF-1, juga berperan terhadap peningkatan resopsi tulang.

Osteoporosis dapat terjadi pada penggunaan glukokortikoid dalam

jangka yang lama. Sekitar 30-50% pasien dengan terapi glukokortikoid

yang berlebihan akan terjadi keropos tulang. Meskipun dosis harian

glukokortikoid telah digunakan untuk menilai risiko kehilangan massa

tulang, kumulatif dosis kumulatif (dalam gram/ tahun) lebih prediktif untuk

27
tujuan ini. Pasien dengan dosis kumulatif tinggi ( > 30 g prednison per

tahun), memiliki insiden osteoporosis yang sangat tinggi (78%) dan patah

tulang (53%). Mekanisme terjadinya osteoporosis akibat glukokortikoid

dapat di lihat pada gambar 8 di bawah ini.23

Gambar 8. Mekanisme terjadinya osteoporosis akibat glukokortikoid.

Osteoporosis hasil dari ketidakseimbangan antara aktivitas osteoblas

dan osteoklas. BMP-2: bone morphogenic protein-2; Cbfa1: core binding

factor a1; Bcl-2: B-cell leukemia/ lymphoma-2 apoptosis regulator; Bax: BCL-

2-associated X protein; IGF-I: insulin-like growth factor-I; IGFBP: IGF binding

protein; IGFBP-rPs: IGFBP-related proteins; HGF: hepatocyte growth factor;

RANKL: receptor activator of the nuclear factor-κB ligand ; CSF- 1: colony-

28
stimulating factor-1; OPG: osteoprotegerin; PGE2: Prostaglandin E 2; PGHS-

2:prostaglandin synthase-2.23

Faktor lain yang ikut berperan terhadap kehilangan massa tulang

pada oarang tua adalah faktor genetik dan lingkungan (merokok, alkohol,

obat-obatan, imobilisasi lama). Risiko fraktur yang juga harus diperhatikan

adalah risiko terjatuh lebih tinggi pada orang tua lebih dibandingkan pada

orang muda.9

29
Gambar 9. Patogenesis osteoporosis tipe II dan fraktur. 9

30
2.4 KLASIFIKASI OSTEOPOROSIS

1. Osteoporosis Primer

a) Osteoporosis primer tipe 1 adalah osteoporosis pasca menopause.

Pada masa menopause, fungsi ovarium menurun sehingga

produksi hormon estrogen dan progesteron juga menurun.

Estrogen berperan dalam proses mineralisasi tulang dan

menghambat resorbsi tulang serta pembentukan osteoklas melalui

produksi sitokin. Ketika kadar hormon estrogen darah menurun,

proses pengeroposan tulang dan pembentukan mengalami

ketidakseimbangan. Pengeroposan tulang menjadilebihdominan. 3

b) Osteoporosis primer tipe II adalah osteoporosis senilis yang

biasanya terjadi lebih dari usia 50 tahun. Osteopososis terjadi

akibat dari kekurangan kalsium berhubungan dengan makin

bertambahnya usia.1

c) Tipe III adalah osteoporosis idiopatik merupakan osteoporosis yang

penyebabnya tidak diketahui.Osteoporosis ini sering menyerang

wanita dan pria yang masih dalam usia muda yang relative jauh

lebih muda.1

2. Osteoporosis sekunder

Osteoporosis sekunder terjadi kerana adanya penyakit tertentu

yang dapat mempengaruhi kepadatan massa tulang dan gaya hidup

31
yang tidak sehat. Faktor pencetus dominan osteoporosis sekunder

adalah sepeti di bawah 3:

a) Penyakit endokrin : tiroid, hiperparatiriod, hipogonadisme

b) Penyakit saluran cerna yang memyebabkan absorsi gizi

kalsium.fosfor. vitamin D) terganggu.

c) Penyakit keganasan ( kanker)

d) Konsumsi obat –obatan seprti kortikosteriod

e) Gaya hidup yang tidak sehat seperti merokok, kurang olahraga.

2.5 MANIFESTASI KLINIS

Osteoporosis merupakan silent disease, dimana kehilangan massa

tulang tidak disertai gejala dan keluhan. Seseorang tidak akan menyadari

bahwa mereka mengalami osteoporosis hingga mereka jatuh, menabrak

sesuatu, atau terpeleset dan mengalami patah tulang. Akan tetapi, ada

beberapa tanda yang harus diwaspadai, antara lain seperti: 4

a) Deformitas

b) Nyeri dan memar yang terjadi setelah jatuh, dimana proses jatuh tanpa

terjadi banyak tekanan atau trauma.

c) Sakit punggung yang datang tiba-tiba pada tulang punggung yang

dirasakan walaupun hanya membungkuk untuk meraih sesuatu atau

tergelincir di dalam bak mandi.

32
2.6 DIAGNOSIS

A. Anamnesis

Seorang dokter harus waspada terhadap kemungkinan osteoporosis

bila didapatkan: 1) patah tulang akibat trauma yang ringan, 2) tubuh

makin pendek, kifosis dorsal bertambah, nyeri tulang, 3) secara

kebetulan ditemukan gambaran radiologik yang khas. Evaluasi klinis

terhadap penderita osteoporosis diarahkan pada identifikasi faktor

risiko.13,24

Beberapa hal yang harus diperhatikan pada anamnesis faktor risiko

osteoporosis :13

1. Riwayat fraktur akibat trauma minimal, penurunan tinggi badan atau

peningkatan kifosis torakal.

2. Penyakit-penyakit yang dapat menjadi predisposisi osteoporosis :

a) Penyakit endokrin, misalnya sindroma cushing, diabetes melitus,

penyakit tiroid, penyakit Adison, hiperparatiroidisme,

hipogonadisme, menopause dini atau operasi ovarium yang

menyebabkan menopause dini.

b) Penyakit ginjal, misalnya gagal ginjal, riwayat transplantasi ginjal,

riwayat urolithiasis (hiperkalsiuria).

c) Penyakit hati, misalnya sirosis bilier primer, transplantasi hati.

d) Kemungkinan defisiensi vitamin D, terutama pada orang-orang

yang jarang terpajan dengan sinar matahari.

33
e) Penyakit hematologik, misalnya multiple myeloma, anemia

sideroblastik, talasemia.

f) Penyakit syaraf, dalam hal ini berbagai obat anti epileptik, seperti

dilantin dan fenobarbital, ternyata dalam menurunkan densitas

massa tulang.

g) Penyakit gastrointestinal, misalnya sindroma malabsorpsi, penyakit

kolon inflamatif, reseksi usus.

h) Penyakit rematik, misalnya reumatoid arthritis, spondilosis

ankilosis, penyakit Reiter.

3. Riwayat penggunaan obat-obatan yang dapat menebabkan

osteoporosis, seperti kortikosteroid jangka panjang > 3 bulan, obat anti

epilepsi, siklosporin, litium.

4. Riwayat menopause dan riwayat kehamilan.

5. Anamnesis asupan gizi, terutama asupan kalsium.

6. Kebiasaan-kebiasaan buruk yang dapat menjadi faktor risiko

osteoporosis, seperti merokok, minum alkohol, kurang olahraga.

7. Riwayat terjatuh dan bagaimana penderita berusaha mengurangi

faktor risiko ini.

8. Riwayat kelainan payudara, genitalia dan penyakit vaskules yang

mungkin akan mempengaruhi keputusan pemberian terapi pengganti

hormonal.

34
B. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik, tinggi badan dan berat badan harus

diukur pada setiap pasien osteoporosis. Demikian juga dengan gaya

berjalan pasien, deformitas tulang, leg-length inequality, nyeri spinal

dan jaringan parut pada leher (bekas operasi tiroid). 14

Hipokalsemia ditandai oleh iritasi muskuloskeletal, yang berupa

tetani. Biasanya didapatkan aduksi jempol tangan, fleksi sendi

metakarpalpalangeal dan ekstensi sendi-sendi interpalangeal. 14

C. Pemeriksaan penunjang

1. Pemeriksaan laboratorium

Penentuan massa tulang secara radiologis penting untuk

menentukan diagnosis osteoporosis, akan tetapi tidak memberikan

gambaran tentang proses dinamis penyerapan dan pembentukan

tulang, yang dapat menunjukkan derajat kecepatan kehilangan tulang.

Biopsi tulang dan parameter biokimiawi dapat memberikan gambaran

ini dengan jelas, tetapi biopsi tulang merupakan prosedur yang invasif,

sehingga sulit untuk dilaksanakan secara rutin, baik untuk uji saring

maupun untuk pemantauan pengobatan. Sehingga satu satunya

pilihan untuk menentukan bone turnover adalah parameter atau

penanda biokimiawi.14

Penanda biokimia tulang untuk proses pergantian tulang

(biochemical bone marker) dibedakan untuk proses formasi dan

35
resorpsi tulang (tabel 1). Indikasi analisis penanda tulang yang utama

adalah wanita berusia dengan risiko osteoporosis, masa

perimenopause sampai senilis, mendampingi pengukuran BMD. Juga

dianjurkan pada semua orang dengan sangkaan osteoporosis karena

pengobatan kortikosteroid yang lama, merokok, konsumsi alkohol,

kecenderungan fraktur karena trauma ringan, riwayat keluarga dan

artritis reumatoid.14

Tabel. 3. Penanda Biokimia Tulang

36
The Expert Committee of the Committee of Scientific Advisors

of the International Osteoporosis Foundation, merekomendasikan

pada osteoporosis pasca menopause dengan terapi sulih hormon atau

bisfosfonat, dengan mengukur 1 atau 2 parameter, masing-masing

proses formasi dan resorpsi tulang, yaitu osteocalsin, BSAP, P1NP

untuk formasi tulang, serta -Cross Laps (CTx) dan U-DPD untuk

resorpsi tulang. Pengambilan spesimen darah sebaiknya dilakukan

pagi hari setelah puasa semalam dan sebaiknya disertai koreksi

kreatinin. Dianjurkan pemeriksaan dilakukan sebelum memulai terapi,

lalu pemeriksaan penanda resorpsi tulang dilakukan 3/6 bulan dan

penanda formasi 6 bulan kemudian. 13

2. Pemeriksaan radiologi

Pemeriksaan radiologi untuk menilai densitas tulang sangat

tidak sensitif. Nilai diagnostik pemeriksaan radiologi biasa untuk

menilai osteoporosis dini, kurang memuaskan, karena pemeriksaan ini

baru dapat mendeteksi osteoporosis setelah penurunan densitas

massa tulang lebih dari 30%. Gambaran radiologi yang khas pada

osteoporosis adalah penipisan kortek dan daerah trabekular yang lebih

lusen. Hal ini akan terlihat akan tampak terlihat pada tulang-tulang

vertebra yang memberikan gambaran picture-frame vertebra. Pada

tulang-tulang vertebra, pemeriksaan radiologi anteoposterio dan lateral

37
sangat baik untuk mencari adanya fraktur kompresi, fraktur baji atau

fraktur bikonkaf.13,14,24

3. Pemeriksaan densitas tulang

Dual X-Ray absorptiometry/bone densitometry (DXA) dianggap

sebagai gold standard untuk diagnosis osteoporosis. Diagnosis

osteoporosis ditegakkan ketika kepadatan mineral tulang kurang dari

atau sama dengan 2,5 standar deviasi di bawah wanita dewasa muda

yang sehat. Hal ini dartikan sebagai T-score. WHO telah membentuk

pedoman diagnostik berikut:25

a) Normal bila densitas massa tulang di atas -1 SD rata-rata nilai

densitas massa tulang orang dewasa muda (T-score)

b) Osteopenia bila densitas massa tulang diantara -1 SD dan -2,5 SD

dari T-score.

c) Osteoporosis bila densitas massa tulang -2,5 SD T-score atau

kurang.

d) Osteoporosis berat yaitu osteoporosis yang disertai adanya fraktur.

38
2.7 PENATALAKSANAAN

A) Non Farmakologi

1. Edukasi dan Pencegahan

Osteoporosis dapat menyerang siapa saja, termasuk individu-

individu yang yang sangat hati-hati dengan gaya hidupnya, mereka

makan dengan benar, berolahraga secara teratur, tidak merokok, tidak

mengkonsumsi alkohol atau hanya dengan jumlah yang sedikit dan

tidak memiliki penyakit, kondisi atau menggunakan obat yang mungkin

merupakan predisposisi osteoporosis. Pasien osteoporosis yang gaya

hidup mereka tidak menentu harus konseling tentang semua kegiatan

mereka dalam kehidupan sehari-hari agar memungkinkan untuk


25
memperlambat perkembangan keropos tulang.

Pasien dengan patah tulang belakang sangat membutuhkan

petunjuk khusus mengenai perubahan dalam aktivitas hidup sehari-

hari, seperti belajar membungkuk, mengangkat dan sebagainya

sehingga tidak menambah stres dan ketegangan pada tulang

belakang. Saran serupa juga harus diberikan kepada mereka dengan

massa tulang yang sangat rendah tetapi belum retak. 25

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam edukasi dan pencegahan,

sebagai berikut :13

a) Anjurkan penderita untuk melakukan aktifitas fisik yang teratur

39
untuk memelihara kekuatan, kelenturan dan keseimbangan sistem

neuromuskular serta kebugaran, sehingga dapat mencegah risiko

terjatuh. Berbagai latihan yang dapat dilakukan meliputi berjalan

30-60 menit per hari, bersepeda maupun berenang.

b) Jaga asupan kalsium 1000-1500 mg/hari, baik melalui makanan

sehari-hari maupun suplementasi.

c) Hindari merokok dan minum alkohol.

d) Diagnosis dini dan terapi yang tepat terhadap defisiensi

testesteron pada laki-laki dan menopause awal pada perempuan.

e) Kenali berbagai penyakit dan obat-obatan yang dapat menimbulkan

osteoporosis.

f) Hindari mengangkat barang yang berat pada penderita yang

sudah pasti osteoporosis.

g) Hindari berbagai hal yang dapat membuat penderita terjatuh,

seperti lantai licin, obat-obat sedatif atau obat anti hipertensi yang

dapat menimbulkan hipotensi orthostatik.

h) Hindari defisiensi vitamin D, terutama pada orang yang kurang

terpajan sinar matahari atau penderita dengan fotosensitifitas,

misalnya SLE (Systemic Lupus Erythematosus). Bila di duga ada

defisiensi vitamin D, maka kadar 25(OH)D serum harus diperiksa.

Bila kadar 25(OH)D serum menurun, maka suplementasi vitamin

40
D 400 IU/hari atau 800 IU/hari pada orang tua harus diberikan.

Pada penderita dengan gagal ginjal, suplementasi 12,5(OH) 2D

harus dipertimbangkan.

i) Hindari peningkatan ekskresi kalsium lewat ginjal dengan

membatasi asupan natrium sampai 3 gram/hari untuk

meningkatkan resorpsi kalsium di tubulus ginjal. Bila ekskresi

kalsium > 300 mg/hari, berikan diuretik tiazid dosis rendah (HCT

25 mg/hari).

j) Pada penderita yang memerlukan glukokortikoid dosis tinggi dan

jangka panjang, usahakan pemberian glokokortikoid pada dosis

serendah mungkin dan sesingkat mungkin.

k) Pada penderita artritis reumatoid dan artritis inflamasi lainnya,

sangat penting mengatasi aktifitas penyakitnya, karena hal ini

akan mengurangi nyeri dan penurunan densitas massa tulang

akibat artritis inflamasi yang aktif.

2. Latihan dan Program Rehabilitasi

Latihan dan program rehabilitasi sangat penting bagi penderita

osteoporosis karena dengan latihan teratur penderita akan lebih lincah,

tangkas dan kuat otot- ototnya sehingga tidak mudah jatuh. Selain itu

latihan juga akan mencegah perburukan osteoporosis karena terdapat

rangsangan biofisikoelektrokimikal yang akan meningkatkan

41
remodelling tulang.26

Pada penderita yang belum mengalami osteoporosis, maka sifat

latihan adalah pembebanan terhadap tulang, sedangkan pada penderita

yang sudah osteoporosis, maka latihan dimulai dengan tanpa beban,

kemudian ditingkatkan secara bertahap sehingga mencapai latihan

dengan pembebanan yang adekuat.13,14

Latihan (olahraga) merupakan bagian yang sangat penting pada

pencegahan maupun pengobatan osteoporosis. Program olahraga bagi

penderita osteoporosis sangat berbeda dengan olahraga untuk

pencegahan osteoporosis. Gerakan-gerakan tertentu yang dapat

meningkatkan risiko patah tulang harus dihindari. Jenis olahraga yang

baik adalah dengan pembebanan dan ditambah latihan kekuatan otot

yang disesuaikan dengan usia dan keadaan individu masing-masing.

Dosis olahraga harus tepat karena terlalu ringan kurang bermanfaat,

sedangkan terlalu berat pada wanita dapat menimbulkan gangguan pola

haid yang justru akan menurunkan densitas tulang. Jadi olahraga

sebagai bagian dari pola hidup sehat dapat menghambat kehilangan

mineral tulang, membantu mempertahankan postur tubuh dan

meningkatkan kebugaran secara umum untuk mengurangi risiko jatuh.


13,14

42
B) Farmakologi

Secara teoritis osteoporosis dapat diobati dengan cara

menghambat kerja osteoklas dan atau meningkatkan kerja osteoblas.

Akan tetapi saat ini obat-obat yang beredar pada umumnya bersifat anti

resorpsi. Yang termasuk obat anti resorpsi misalnya: estrogen,

kalsitonin, bisfosfonat. Sedangkan Kalsium dan Vitamin D tidak

mempunyai efek anti resorpsi maupun stimulator tulang, tetapi

diperlukan untuk optimalisasi meneralisasi osteoid setelah proses


13,14
pembentukan tulang oleh sel osteoblas.

1. Bifosfonat

Bisfosfonat merupakan obat yang digunakan untuk pengobatan

osteoporosis. Bisfosfonat merupakan analog pirofosfat yang terdiri dari

2 asam fosfonat yang diikat satu sama lain oleh atom karbon.

Bisfosfonat dapat mengurangi resorpsi tulang oleh sel osteoklas

dengan cara berikatan dengan permukaan tulang dan menghambat

kerja osteoklas dengan cara mengurangi produksi proton dan enzim

lisosomal di bawah osteoklas. 13,14

Pemberian bisfosfonat secara oral akan diabsorpsi di usus halus

dan absorpsinya sangat buruk (kurang dari 55 dari dosis yang

diminum). Absorpsi juga akan terhambat bila diberikan bersama-sama

dengan kalsium, kation divalen lainnya, dan berbagai minuman lain

43
kecuali air. Idealnya diminum pada pagi hari dalam keadaan perut

kosong. Setelah itu penderita tidak diperkenankan makan apapun

minimal selama 30 menit, dan selama itu penderita harus dalam posisi

tegak, tidak boleh berbaring. Sekitar 20-50% bisfosfonat yang

diabsorpsi, akan melekat pada permukaan tulang setelah 12-24 jam.

Setelah berikatan dengan tulang dan beraksi terhadap osteoklas,

bisfosfonat akan tetap berada di dalam tulang selama berbulan- bulan

bahkan bertahun-tahun, tetapi tidak aktif lagi. Bisfosfonat yang tidak

melekat pada tulang, tidak akan mengalami metabolism di dalam tubuh

dan akan diekresikan dalam bentuk utuh melalui ginjal, sehingga harus

hati-hati pemberiannya pada penderita gagal ginjal. Efek samping

bisfosfonat adalah refluks esofagitis, osteonekrosis jaw, hipokalsemia

dan atrial fibrilasi. Oleh sebab itu, penderita yang memperoleh


13,14,27,28
bisfosfonat harus diperhatikan asupan kalsiumnya.

Tabel . 4. Generasi Bisfosfonat 13,14

Potensi
Modifikasi kimia Contoh R1 R anti
2 resorpsi
relative

44
Generasi I Etidronat OH CH3 1
Alkil pendek Klodronat Cl Cl 10
atau rantai
samping halida

Tiludronat H CH2-S- 10
Generasi II 100
Pamidronat OH fenil-Cl
Grup amino 100-1.000
terminal Alendronat OH CH2-
CH2NH
2
(CH2)3
NH2
Generasi III Risedronat OH CH2-S-piridin 1.000-
Rantai Ibandronat OH CH2CH2N(CH3 10.000
samping Zoledronat OH )(pentil) CH2- 1.000-
siklik imidazol 10.000
> 10.000

Jenis bisfosfosnat yang dapat digunakan untuk terapi osteoporosis:


13,14,27

a) Risedronat, merupakan aminobisfosfonat generasi ketiga yang sangat

poten. Untuk mengatasi penyakit paget diperlukan dosis 30 mg/hari

selama 2 bulan, sedangkan untuk osteoporosis diperlukan dosis 35

mg/minggu atau 5 mg/hari secara kontinyu atau 75 mg 2 hari berturut-

turut sebulan sekali atau 150 mg sebulan sekali. Kontra indikasi

pemberian risedronat adalah hipokalsemia, ibu hamil, menyusui dan

gangguan ginjal (creatinine clearance < 30 ml/menit).

b) Alendronat, merupakan aminobisfosfonat yang poten. Untuk terapi

osteoporosis dapat diberikan dosis 10 mg/hari setiap hari secara

45
kontinyu, karena tidak mengganggu mineralisasi tulang. Saat ini

dikembangkan dosis 70 mg seminggu sekali. Untuk pencegahan

osteoporosis pada wanita pasca menopause dan osteoporosis induce

glukkortikoid diberikan dosis 5 mg/dl. Untuk penyakit paget diberikan

dosis 40 mg/hari selama 6 bulan. Alendronat tidak direkomendasikan

pada penderita gangguan ginjal (creatinine clearance < 35 ml/menit).

c) Ibandronat, juga merupakan bisfosfonat generasi ketiga. Pemberian

peroral untuk terapi osteoporosis dapat diberikan 2,5 mg/hari atau 150

mg sebulan sekali. Ibandronat juga dapat diberikan intravena dengan

dosis 3 mg, 3 bulan sekali. Kontra indikasi pemberian ibandronat adalah

hipokalsemia.

d) Zoledronat, bisfosfonst terkuat yang ada saat ini. Sediaan yang ada

adalah sediaan intravena yang harus diberikan per drip selama 15 menit

untuk dosis 5mg. Untuk pengobatan osteoporosis cukup diberikan 5 mg

setahun sekali, sedangkan untuk pengobatan hiperkalsemia akibat

keganasan dapat diberikan 4 mg per drip setiap 3-4 minggu sekali

tergantung responnya. Kontra indikasi pemberian zoledronat adalah

hipokalsemia, ibu hamil dan menyusui.

2. Raloksifen

Raloksifen golongan preparat anti estrogen yang mempunyai

46
efek seperti estrogen di tulang dan lipid, tetapi tidak menyebabkan

perangsangan terhadap endometrium dan payudara. Golongan

Raloksifen yang disebut juga selective estrogen receptor modulators

(SERM). Golongan ini bekerja pada reseptor estrogen-β sehingga

tidak menyebabkan perdarahan dan kejadian keganasan payudara.

Mekanisme kerja Raloksifen terhadap tulang diduga melibatkan TGFβ 3

yang dihasilkan oleh osteoblas yang berfungsi menghambat

diferensiasi sel osteoklas. 9,13,14,29

Dosis yang direkomendasikan untuk pengobatan osteoporosis

adalah 60 mg/hari. Pemberian raloksifen peroral akan diabsorpsi

dengan baik dan akan di metabolisme di hati. Raloksifen dapat

menyebabkan kecacatan janin, sehingga tidak boleh diberikan pada

wanita hamil atau berencana untuk hamil. Efek samping raloksifen

dapat meningkatkan kejadian deep venous thrombosis (DVT), rasa

panas dan kram pada kaki.9,13,14,29

3. Estrogen

Mekanisme estrogen sebagai anti resorpsi, mempengaruhi

aktivitas sel osteoblas maupun sel osteoklas, telah dibicarakan diatas.

Pemberian terapi estrogen dalam pencegahan dan pengobatan

osteoporosis dikenal sebagai Terapi Sulih Hormon (TSH). Estrogen

sangat baik diabsorbsi melalui kulit, mukosa vagina, dan saluran cerna.

47
Efek samping estrogen meliputi nyeri payudara (mastalgia), retensi

cairan, peningkatan berat badan, tromboemboli, dan pada pemakaian

jangka panjang dapat meningkatkan risiko kanker payudara.

Kontraindikasi absolut penggunaan estrogen adalah : kanker payudara,

kanker endometrium, hiperplasi endometrium, perdarahan uterus

disfungsional, hipertensi, penyakit tromboemboli, karsinoma ovarium,

dan penyakit hati yang berat. Di beberapa negara, saat ini TSH hanya

direkomendasikan untuk gejala klimakterium dengan dosis sekecilnya

dan waktu sesingkatnya. TSH tidak direkomendasikan lagi sebagai


13,14,27
terapi pilihan pertama untuk osteoporosis.

Beberapa preparat estrogen yang dapat dipakai dengan dosis

untuk anti resorpsi, adalah estrogen terkonyugasi 0,625 mg/hari, 17β-

estradiol oral 1-2 mg/hari, 17β-estradiol perkutan 1,5 mg/hari, dan 17-

estradiol subkutan 25-50 mg setiap 6 bulan. Kombinasi estrogen

dengan progesteron akan menurunkan risiko kanker endometrium dan

harus diberikan pada setiap wanita yang mendapatkan TSH, kecuali

yang telah menjalani histerektomi.14

Pada wanita pasca menopause, dosis estrogen terkonyugasi

0,3125 – 1,25 mg/hari, dikombinasi dengan medroksiprogesteron asetat

2,5 – 10 mg/hari, setiap hari secara kontinyu. Pada wanita pra

menopause, estrogen terkonyugasi diberikan pada hari 1 s/d 25 siklus

48
haid sedangkan medroksiprogesteron asetat diberikan hari 15 – 25

siklus haid, kemudian kedua obat tersebut dihentikan pada hari 26 s/d

28 siklus haid, sehingga penderita mengalami haid. Hari 29 dianggap

sebagai 1 siklus berikutnya dan pemberian obat dapat diulang

pemberiannya seperti semula. 13,14

4. Kalsitonin

Kalsitonin obat yang telah direkomendasikan oleh FDA untuk

pengobatan penyakit-penyakit yang meningkatkan resorpsi tulang.

Dosis yang dianjurkan untuk pemberian intra nasal adalah 200 IU pre

hari. Kadar puncak dalam plasma akan tercapai dalam waktu 20-30

menit dan akan dimetabolisme dengan cepat di ginjal. Efek samping

kalsitonin berupa kemerahan dan nyeri pada tempat injeksi serta

rhinorrhea (dengan kalsitonin nasal spray).13,14,29

5. Strontium Renelat

Strontium ranelat merupakan obat osteoporosis kerja ganda,

yaitu meningkatkan kerja osteoblas dan menghambat kerja osteoklas.

Dosis strontium ranelat adalah 2 mg/hari yang dilarutkan dalam air dan

diberikan pada malam hari sebelum tidur atau 2 jam sebelum makan

atau 2 jam setelah makan. Efek samping strontium ranelat adalah

dispepsia dan diare. Strontium ranelate harus diberikan secara hati-hati


13,14,27
pada pasien dengan riwayat tromboemboli vena.

49
6. Vitamin D

Vitamin D berperan untuk meningkatkan absorpsi kalsium di

usus. Lebih dari 90% vitamin D disintesis dalam tubuh, prekursornya

ada di bawah kulit oleh paparan sinar ultraviolet. Vitamin D dapat

berupa alfacalcidol (25 OH vitamin D3) dan calcitriol (1,25 (OH) 2 Vitamin

D3), kedua dapat digunakan untuk pengobatan osteoporosis. 8 Kadar

vitamin D dalam darah diukur dengan cara mengukur kadar 25 OH

vitamin D3. Pada penelitian didapatkan suplementasi 500 IU kalsiferol

dan 500 mg kalsium peroral selama 18 bulan ternyata mampu

menurunkan fraktur non spinal sampai 50% (Dawson-Hughes, 1997).

Pada pemberian vitamin D dosis tinggi (50.000 IU) dapat berkembang


13,14,29
menjadi hiperkalsiuria dan hiperkalsemia.

7. Kalsitriol

Saat ini kalsitriol tidak diindikasikan sebagai pilihan pertama

pengobatan osteoporosis pasca menopause. Kalsitriol diindikasikan bila

terdapat hipokalsemia yang tidak menunjukkan perbaikan dengan

pemberian kalsium peroral. Kalsitriol juga diindikasikan untuk mencegah

hiperparatiroidisme sekunder, baik akibat hipokalsemia maupun gagal

ginjal terminal. Dosis kalsitriol untuk pengobatan osteoporosis adalah

0,25µg, 1-2 kali per hari. 13,14

8. Kalsium

50
Kalsium sebagai mono terapi ternyata tidak cukup untuk

mencegah fraktur pada penderita osteoporosis. Preparat kalsium terbaik

adalah kalsium karbonat, karena mengandung kalsium elemental 400

mg/gram, disusul kalsium fosfat yang mengandung kalsium elemental

230 mg/gram, kalsium sitrat yang mengandung kalsium elemental 211

mg/gram, kalsium laktat yang mengandung kalsium elemental 130

mg/gram dan kalsium glukonat yang mengandung kalsium elemental 90

mg/gram. Pemberian kalsium dapat meningkatkan risiko hiperkalsiuria

dan batu ginjal. 13,14,29

Tabel . 5. Kebutuhan asupan kalsium.29

Umur Jumlah
Calsium*
9 – 18 tahun
1.300 mg
Wanita
menyusui
9 – 50 tahun 1.000 mg
>50 tahun 1.200 mg
*calsium dapat dinaikkan sampai 2.500 mg per hari

9. Fitoestrogen

Fitoestrogen adalah fitokimia yang memiliki aktifitas estrogenik.

Ada banyak senyawa fitoestrogen, tetapi yang telah diteliti adalah

isoflavin dan lignans. Isoflavon yang berefek estrogenik antara lain

genistein, daidzein dan glikosidanya yang banyak ditemukan pada

51
golongan kacang-kacangan (Leguminosae) seperti soy bean dan red

clover. Fitoestrogen terdapat banyak dalam kacang kedelai, daun

semanggi. Sampai saat ini belum ada uji klinis bahwa fitoestrogen dapat

mencegah maupun mengobati osteoporosis (Alekel, 2000; Potter

1998).22 Dosis efektif isoflavon 20-60 mg/hari, dengan lama terapi 6

sampai 24 bulan. Seperti obat osteoporosis yang lain dianjurkan

pemberiannya bersama kalsium dan vitamin D.13

10. Hormon Paratiroid

Pemberian hormon paratiroid (PTH) secara intermitten dapat

menyebabkan peningkatan jumlah dan aktivitas osteoblas, sehingga

terjadi peningkatan massa tulang dan perbaikan mikroarsitektur tulang.

Teriparatide terbukti menurunkan risiko fraktur vertebra dan non

vertebra. Dosis yang direkomendasikan adalah 20g/hari subkutan

selama 18-24 bulan. Kontra indikasi teriparatide adalah hiperkalsemia,

penyakit tulang metabolik selain osteoporosis primer, misalnya

hiperparatiroid dan penyakit paget, peningkatan alkali fosfatase yang

tidak diketahui penyebabnya atau pasien yang mendapat terapi

radiasi.28

11. Monoklonal Antibodi RANK-Ligand

52
Seperti diketahui terjadinya osteoporosis akibat dari jumlah dan

aktivitas sel osteoklas menyerap tulang. Dalam hal ini secara

biomolekuler RANK-L sangat berperan. RANK-L akan bereaksi dengan

reseptor RANK pada osteoklas dan membentuk RANK-RANKL

kompleks, yang lebih lanjut akan mengakibatkan meningkatnya

deferensiasi dan aktivitas osteoklas. Untuk mencegah terjadinya reaksi

tersebut digunakanlah monoklonal antibodi (MAbs) dari RANK-L yang

dikenal dengan : denosumab. Besarnya dosis yang digunakan untuk

pengobatan osteoporosis pada wanita pascamenopause adalah 60 mg

subkutan setiap 6 bulan sekali. Kontra indikasi denosumab adalah pada

wanita dengan hipokalemia atau hipersensitif terhadap formula

denosumab. Obat ini tidak direkomendasikan untuk wanita hamil dan

anak usia >18 tahun. Efek samping, termasuk infeksi kulit, sellulitis dan

hipokalsemia.13,27

Tabel . 6. Efikasi anti fraktur dari beberapa agen terapeutik. 30

Peningkatan BMD dalam Efikasi anti


No. Agen terapeutik Dosis per persen fraktur
hari dalam persen
Vertebr Non Total Verteb Non
vertebra tubuh Verteb

53
a ra ra
1. Latihan fisik > 5 jam/mgg 2,3 (P) 5,3 (P) 1- TS TS
1-3 (D) 3
2. Calsium dan 1-1,5 g 1-5 1-5 1- TS 30
vitamin D 800 IU 5
3. Estrogen (TSH) 0,625 mg 2-4 - - 75 50
4. Kalsitonin 100-200 IU 1,2 - - 36 TS
5. Kalsitriol 0,25 µg 1-2 - - TS TS
6. Etidronat 400 mg 4,8 2 - 30-40 30-40
7. Alendronat 10mg/hari 10 5 - 50-59 27-63
70mg/minggu
8. Residronat 2,5 mg /5 mg 10 5 - 60 30
9. Raloksifen 60 mg 2,4 2,4 2 50 40
10. PTH 20-40µg 13 3 8 65-69 54
11. Flouride 50-75mg 10,8 - 8 TE TE
P : pre pubertas atau pubertas, D : Dewasa, TS : tidak signifikan, TE : Tidak

efektif

C) Pembedahan

Pembedahan pada pasien osteoporosis dilakukan bila terjadi

fraktur, terutama fraktur panggul. Beberapa prinsip yang harus


13,14
diperhatikan pada terapi bedah penderita osteoporosis adalah:

a) Penderita osteoporosis usia lanjut dengan fraktur, bila diperlukan

tindakan bedah, sebaiknya segera dlakukan. Sehingga dapat

menghindari imobilisasi lama dan komplikasi fraktur yang lebih lanjut.

b) Tujuan terapi bedah adalah untuk mendapatkan fiksasi yang stabil,

sehingga mobilisasi penderita dapat dilakukan sedini mungkin.

54
c) Asupan kalsium harus tetap diperhatikan pada penderita yang

menjalani tindakan bedah, sehingga mineralisasi kalus menjadi

sempurna.

d) Walaupun telah dilakukan tindakan bedah, pengobatan

medikamentosa osteoporosis dengan bisfosfonst atau raloksifen atau

terapi pengganti hormonal, maupun kalsitonin tetap harus diberikan.

Pada fraktur korpus vertebra, dapat dilakukan vertebroplasti atau

kifoplasti. Verteboplasti adalah tindakan penyuntikan semen tulang ke

dalam korpus vertebra yang mengalami fraktur, sedangkan kifoplasti

adalah tindakan penyuntikan semen tulang ke dalam balon yang

sebelumnya sudah dikembangkan di dalam korpus vertebra yang

kolaps akibat fraktur. 13,14

2.8 PROGNOSIS

Prognosis untuk osteoporosis baik jika kehilangan tulang terdeteksi di

tahap awal dan intervensi yang tepat dilakukan. Pasien dapat meningkatkan

BMD dan mengurangi risiko patah tulang dengan obat anti-osteoporosis yang

tepat. Selain itu, pasien dapat mengurangi risiko jatuh dengan berpartisipasi

dalam rehabilitasi dan juga modifikasi lingkungan. Memburuknya keadaan

dapat dicegah dengan memberikan manajemen nyeri yang tepat dan, jika

diindikasikan, perangkat orthotic.9

55
Meskipun pasien osteoporosis memiliki tingkat kematian meningkat

karena komplikasinya yaitu patah tulang, tetapi dengan sendirinya

osteoporosis jarang mematikan. Terlepas dari risiko kematian dan komplikasi

lainnya, fraktur osteoporosis berhubungan dengan kualitas kesehatan yang

berhubungan berkurang quality of life.9

DAFTAR PUSTAKA

1. Hortono, M . Mencegah dan Mengatasi Osteoporosis. Puspa Swara.

Jakarta.2000.

56
2. Dalimartha, S. Resep Tumbuhan Obat Untuk Penderita Osteoporosis.

Jakarta : Penebar Swadaya.2002.

3. Alexander, I.M. & Knight, K.A. 100 tanya jawab mengenai osteoporosis

dan osteopenia (ed. ke-2). Jakarta: Indeks. 2010

4. Lane, N.E. Lebih lengkap tentang: osteoporosis (ed. ke-2). (Eri D.

Nasution, Penerjemah.). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2003.

5. Marya, RK. Buku Ajar Patofisiologi Mekanisme terjadinya penyakit.

Tangerang Selatan: Binarupa Aksara. 2008.

6. Field, L. Osteoporosis: the silent epidemic. Proquest nursing and

alliend health source, 24-28. 2011.

7. Roland Baron R. Chapter 1: Anatomy and ultrasturcture of bone

histologenesis, growth and remodelling. In: Arnold A. editor. Disease

of bone and mineral metabolisme. Updated May 2008. Available

from:http://www.endotext.org/parathyroid/parathyroid1/parathyroidfra

me1.htm

8. Stevenson JC and Marsh MS. An atlas of osteoporosis. Third

Edition. Informa UK Ltd, 2007.

9. Setiyohadi B. Osteoporosis. Dalam: Buku ajar ilmu penyakit dalam,

Jilid II, Edisi IV, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2006; 1259-73.

10. Rosen C. Chapter 11: The epidemiology and pathogenesis of

57
osteoporosis. In: Arnold A. editor. Disease of bone and mineral

metabolisme. Updated January 2011. Available from:

http://www.endotext.org/parathyroid/parathyroid11/ parathyroidframe

11.htm

11. Setiyohadi B. Peran osteoblas pada remodeling tulang. Dalam:

Kumpulan makalah temu ilmiah reumatologi 2010; 32-7.

12. National Osteoporosis Foundation. Clinician’s guide to prevention

and treatment of osteoporosis. Washington, DC: National

Osteoporosis Foundation; 2010.

13. PEROSI. Panduan diagnosis dan penatalaksanaan osteoporosis.

Pengurus Besar Perhimpunan Osteoporosis Indonesia. 2010.

14. Setiyohadi B. Diagnosis dan penatalaksanaan osteoporosis. Dalam:

Kumpulan makalah temu ilmiah reumatologi 2009; 117-24.

15. Waters KM, Rickard DJ, Gebhart JB, et al. Potential roles of

estrogen reseptor-α and -β in the regulation of human oteoblast

functions and gene expression. The menopause at the millenium.

The Proceding of the 9th International Menopause Society World

Congress on Menopause. 1999 October 17-21; Yokohama, Japan.

16. Monroe DG, Secreto FJ, Spelsberg TC. Overview of estrogen action

58
in osteoblasts: Role of the ligand the receptor and the co-regulators.

J Musculoskel Neuron Interact 2003; 3(4):357-62.

17. Bell, Norman H. RANK ligand and the regulation of skletal

remodeling. J Clin Invest 2003;(111):1120-22.

18. Hofbauer LC, Khosla S, Dunstan CR, et al. Estrogen stimulate gene

expression and protein production of osteoprotegerin in human

osteoblastic cell. Endocrinology 1999;140 (9) : 4367-8.

19. Jilka L. Cell biology of osteoclast and osteoblast and the hormones

and cytokines that control their development and activity. The 1st

Joint Meeting of the International Bone and Mineral Society and the

European Calcified Tissue Society; 2001 June 1-5; Madrid, Spain.

20. Aubin JE, Bonnelye E. Osteoprotegerin and its ligand a new

paradigm for regulation of osteogenesis and bone resorption.

Availablefrom:http://www.medscape.com/viewarticle/408911.com/co

ntent/8/1/201.

21. Manolagas SC. Birth and death of bone cells basic regulatory

mechanisms and implications for the pathogenesis and treatment of

osteoporosis. Endocrine Reviews 2000;21(2):115-37.

22. Jones DH, Kong YY, Penninger JM. Role of RANKL and RANK in

bone loss and arthritis. Ann Rheum Dis 2002;2:1132-9.

59
23. Alesci S and Ilias I. Chapter 7: Glucocorticoid-induced osteoporosis.

In: Arnold.A.editor. Disease of bone and mineral metabolisme.

Updated October 2007. Available from:

http://www.endotext.org/adrenal/adrenal7/adrenalframe7.htm

24. Sudoyo, A.W., et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II. (Ed. Ke-4)

Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas

Kedoteran Indonesia. 2007.

25. WHO. Scientific group the assesssment of osteoporosis at primary

healht care level. Summary Meeting Report, Brussels, Belgium, 5-7

May 2004.

26. Syahrir M. Mieloma multipel dan penyakit gamopati lain. Dalam:

Buku ajar ilmu penyakit dalam, Jilid II, Edisi IV, Pusat Penerbitan

Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia, Jakarta, 2006; 739-44.

27. National Osteoporosis Guideline Group. Osteoporosis clinical

guideline for prevention and treatment. Executive summary. Updated

July 2010.

28. Suryana BPP. Strategi dan panduan penatalaksanaan osteoporosis.

Dalam: Hot topic’s on rheumatology. Himpunan makalah reumatologi

klinik Bandung. 2010: 137-46.

60
29. Ackerman KE, and Meryl S. LeBoff MS. Chapter 13: Osteoporosis:

Prevention and treatment. In: Arnold A. editor. Disease of bone and

mineral metabolisme. Updated November 2008. Available from:

http://www.endotext.org/parathyroid/parathyroid13/parathyroidframe

13.htm

30. Kansra U. Osteoporosis, medical management. Journal Indian

Academy of Clinical Medicine 2002; 3(2): 128-40.

61

Anda mungkin juga menyukai