Anda di halaman 1dari 18

LUPUS

Disusun untuk memenuhi mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah II

Dosen Pembimbing : Ardian Zakaria, S. Kep, M. Imun

Disusun Oleh:
Dinda Ayu Solikhaningsih 1801100477
Margaret Teresa 1801100492
Ermingleng Mardian Sorpay 1801100480

Program Studi S1 Keperawatan

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendedes Malang


Jl. Raden Panji Suroso No. 6 Blimbing – Kota Malang
Telp (0341) 488762 Fax (0341) 488763
Kata Pengantar

Puji syukur kehadiran Allah SWT. karena atas segala limpahan Rahmat, Inayah,
Taufik, dan Hidayah-Nya makalah ini dapat tersusun. Shalawat dan salam semoga senantiasa
terlimpahkan kepada sang uswatun hasanah Nabi Muhammad SAW. Penyusunan makalah ini
dibuat guna memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah II yang dimbing oleh
Ardian Zakaria, S. Kep, M. Imun. Harapan kami semoga makalah ini dapat menambah
wawasan, pengetahuan, dan pengalaman bagi para pembaca, khususnya dapat dijadikan
sebagai acuan dan petunjuk bagi kami para mahasiswa STIKes Kendedes Malang.

Akhir kata kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah terlibat
dalam penyusunan makalah ini baik secara materi maupun non-materi. Makalah ini masih
banyak kekurangan karena pengalaman yang kami miliki sangat kurang. Oleh karena itu
kami memerlukan masukan yang bersifat membangun dari para dosen, teman mahasiswa
yang lain, dan seluruh pembaca makalah ini guna penyempurnaan.

Malang, Maret 2020


Tim Penyusun

i
Daftar Isi

Kata Pengantar.................................................................................................. i
Daftar Isi........................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang............................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................... 2
1.3 Tujuan......................................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian...................................................................................................3
2.2 Etiologi.......................................................................................................3
2.3 Patofisiologi................................................................................................3
2.4 Faktor Risiko..............................................................................................4
2.5 Klasifikasi...................................................................................................5
2.6 Manifestasi Klinis.......................................................................................5
2.7 Komplikasi..................................................................................................6
2.8 Pemeriksaan Penunjang..............................................................................6
2.9 Penatalaksanaa............................................................................................7
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian...................................................................................................9
3.2 Diagnosa.....................................................................................................10
3.3 Intervensi....................................................................................................11
3.4 Evaluasi.......................................................................................................13
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan.................................................................................................14
4.2 Saran...........................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................15

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Systemic Erithematosus Lupus (SEL) atau yang biasa dikenal dengan istilah Lupus
adalah penyakit kronik atau menahun. SLE termasuk penyakit collagen-vascular yaitu suatu
kelompok penyakit yang melibatkan sistem muskuloskeletal, kulit, dan pembuluh darah yang
mempunyai banyak manifestasi klinik sehingga diperlukan pengobatan yang kompleks.
Etiologi dari beberapa penyakit collagen-vascular sering tidak diketahui tetapi sistem imun
terlibat sebagai mediator terjadinya penyakit tersebut (Delafuente, 2002).
Penyakit LES merupakan salah satu penyakit yang masih awam ditelinga masyarakat
Indonesia. Namun, bukan berarti tidak banyak orang yang terkena penyakit ini. Kementerian
Kesehatan menyatakan lebih dari 5 juta orang di seluruh dunia terdiagnosis penyakit Lupus.
Sebagian besar penderitanya ialah perempuan di usia produktif yang ditemukan lebih dari
100.000 setiap tahun. Di Indonesia jumlah penderita penyakit Lupus secara tepat belum
diketahui tetapi diperkirakan mencapai jumlah 1,5 juta orang (Kementerian Kesehatan,
2012).
SLE dapat menyerang semua usia, namun sebagian besar pasien ditemukan pada
perempuan usia produktif.  Sembilan dari sepuluh orang penderita lupus (odapus) adalah 
wanita dan sebagian besar wanita yang mengidap SLE ini berusia 15-40 tahun. Namun,
masih belum diketahui secara pasti penyebab lebih banyaknya penyakit SLE yang menyerang
wanita.
SLE dikenal juga dengan penyakit 1000 wajah karena gejala awal penyakit ini tidak
spesifik, sehingga pada awalnya penyakit ini sangat sulit didiagnosa. Hal tersebut
menyebabkan penanganan terhadap penyakit lupus terlambat sehingga penyakit tersebut
banyak menelan korban. Penyakit ini dibagi menjadi tiga kategori yakni discoid lupus,
systemic lupus erythematosus, dan lupus yang diinduksi oleh obat. Masing-masing kategori
tersebut memiliki gejala, tingkat keparahan serta pengobatan yang berbeda-beda.
Penderita SLE membutuhkan pengobatan dan perawatan yang tepat dan benar,
pengobatan yang diberikan haruslah rasional. Perawatan pada pasien SLE juga harus
diperhatikan, seperti mengurangi paparan sinar UV terhadap tubuh pasien.

1
Oleh karena itu, perlu adanya pemahaman mengenai penyakit systemik  eritematosus
lupus, pengertian tentang systemic lupus eritematosus, etiologi dan faktor risiko, manifestasi
klinis, patofisiologi, pathway, pemeriksaan penunjang, komplikasi, dan penatalaksanaan
(medis, keperawatan, diet) serta asuhan keperawatan bagi penderita lupus.

1.2  Rumusan masalah

Dari latar belakang yang ada maka rumusan masalah yang didapat:

1. apa pengertian dari SLE?


2. Bagaimana etiologi dari SLE?
3. Bagaimana patofisiologi dari SLE?
4. Bagaimana faktor risiko dari SLE?
5. Bagaimana klasifikasi dari SLE?
6. Bagaimana manifestasi klinis dari SLE?
7. Bagaimana komplikasi dari SLE?
8. Apa pemeriksaan penunjang untuk SLE?
9. Bagaimana penatalaksanaan dari SLE?
10. Bagaimana konsep asuhan keperawatan pada klien SLE?

1.3 Tujuan

Dari rumusan masalah yang ada tujuan yang ingin didapat

1. Mengetahui pengertian dari SLE.


2. Mengetahui etiologi dari SLE.
3. Mengetahui patofisiologi dari SLE.
4. Mengetahui faktor risiko dari SLE.
5. Mengetahui klasifikasi dari SLE.
6. Mengetahui manifestasi klinis dari SLE.
7. Mengetahui kompikasi dari SLE.
8. Mengetahui pemeriksaan penunjang untuk SLE.
9. Menngetahui penatalaksanaan dari SLE.
10. Megetahui konsep asuhan keperawatan pada klien SLE.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian

Lupus Eritematosus Systemik (LES) adalah suatu penyakit autoimun kronik yang
ditandai oleh terbentuknya antibodi-antibodi terhadap beberapa antigen diri yang berlainan.
Antibodi-antibodi tersebut biasanya adalah IgG atau IgM dan dapat bekerja terhadap asam
nukleat pada DNA atau RNA, protein jenjang koagulasi, kulit, sel darah merah, sel darah
putih, dan trombosit. Komplek antigen antibodi dapat mengendap di jaringan kapiler
sehingga terjadi reaksi hipersensitivitas III, kemudian terjadi peradangan kronik (Elizabeth,
2009).
Systemic Eritematosus Lupus (SEL) atau lupus eritematosus sistemik (LES) adalah
penyakit autoimun yang melibatkan berbagai organ dengan manifestasi klinis bervariasi dari
yang ringan sampai yang berat. Pada keadaan awal, sering sekali sukar dikenal sebagai LES,
karena manifestasinya sering tidak terjadi bersamaan (Sylvia dan Lorraine, 1995).

2.2 Etiologi
Sampai saat ini penyebab LES belum diketahui. Diduga faktor genetik, infeksi dan
lingkungan ikut berperan pada patofisiologi LES.Kecenderungan terjadinya LES dapat
berhubungan dengan perubahan gen MHC spesifik dan bagaimana antigen sendiri
ditunjukkan dan dikenali. Wanita lebih cenderung mengalami LES dibandigkan pria, karena
peran hormon seks. LES dapat dicetuskan oleh stres, sering berkaitan dengan kehamilan atau
menyusui.Pada beberapa orang, pajanan radiasi ultraviolet yang berlebihan dapat
mencetuskan penyakit. Penyakit ini biasanya mengenai wanita muda selama masa subur.
Penyakit ini dapat bersifat ringan selama bertahun-tahun, atau dapat berkembang dan
menyebabkan kematian (Elizabeth, 2009).

2.3 Patofisiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan
peningkatan autoantibodi yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh

3
kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit
yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar
termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan
beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat
dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan.
Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-
supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan
jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya serangsang antibodi
tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.

2.4 Faktor Risiko


1. Faktor risiko genetik
Meliputi jenis kelamin (frekuensi pada wanita dewasa 8 kali lebih sering daripada pria
dewasa), umur (lebih sering pada usia 20-40 tahun), etnik, dan faktor keturunan
(frekuensinya 20 kali lebih sering dalam keluarga di mana terdapat anggota dengan
penyakit tersebut).
2. Faktor risiko hormon
Estrogen menambah risiko LES, sedang androgen mengurangi risiko ini.
3. Sinar ultraviolet
Sinar ultraviolet mengurangi supresi imun sehingga terapi menjadi kurang efektif,
sehingga LES kambuh atau bertambah berat. Ini disebabkan sel kulit mengeluarkan
sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut maupun secara
sistemik melalui peredaran di pemuluh darah.
4. Imunitas
Pada pasien LES terdapat hiperaktivitas sel B atau intoleransi terhadap sel T.
5. Obat
Obat tertentu dalam presentasi kecil sekali pada pasien tertentu dan diminum dalam
jangka waktu tertentu dapat mencetuskan lupus obat (Drug Induced Lupus
Erythematosus atau DILE).
Jenis obat yang dapat menyebabkan lupus obat adalah:
a. Obat yang pasti menyebabkan lupus obat: klorpromazin, metildopa, hidralasin,
prokainamid, dan isoniazid.

4
b. Obat yang mungkin dapat menyebabkan lupus obat: dilantin, peninsilamin, dan
kuinidin.
c. Hubungannya belum jelas: garam emas, beberapa jenis antibiotik, dan griseofulvin
6. Infeksi
Pasien LES cenderung mudah mendapat infeksi dan kadang-kadang penyakit ini
kambuh setelah infeksi.
7. Stres
Stres berat dapat mencetuskan LES pada pasien yang sudah memiliki kecenderungan
akan penyakit ini (Arif Mansjoer, 2000).

2.5 Klasifikasi
1. Lupus systemik
Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah gangguan autoimun kronis dimana
tubuh menghasilkan antibodi melawan jaringannya sendiri. Kompleks imun ini
bersirkulasi di dalam darah dan merangsang reaksi inflamasi di pembuluh darah
kecil, jaringan penyambung, dan membran serosa seluruh tubuh, sehingga
menimbulkan berbagai gejala.
2. Lupus discoid
Yaitu penyakit lupus yang menyerang kulit.
3. Lupus karena obat
Penyakit lupus yang muncul setelah penggunaan obat tertentu, seperti hidralazin
(Apresoline), metildopa (Aldomet), klorpromazin (Thorazine), prokainamid
(Pronestyl) (Barbara Engram, 1998).

2.6 Manifestasi Klinis


1. Poliartralgia (nyeri sendi) dan artiritis (peradangan sendi).
2. Demam akibat peradangan kronik
3. Ruam wajah dalam pola malar (seperti kupu-kupu) di pipi dan hidung, kata Lupus
berarti serigala dan mengacu kepada penampakan topeng seperti serigala.
4. Lesi dan kebiruan di ujung kaki akibat buruknya aliran darah dan hipoksia kronik
5. Sklerosis (pengencangan atau pengerasan) kulit jari tangan
6. Luka di selaput lendir mulut atau faring (sariawan)
7. Lesi berskuama di kepala, leher dan punggung

5
8. Edema mata dan kaki mungkin mencerminkan keterlibatan ginjal dan hipertensi
9. Anemia, kelelahan kronik, infeksi berulang, dan perdarahan sering terjadi karena
serangan terhadap sel darah merah dan putih serta trombosit (Elizabeth, 2009).

2.7Komplikasi SLE
1. Gagal ginjal adalah penyebab tersering kematian pada penderita LES. Gagal ginjal
dapat terjadi akibat deposit kompleks antibodi-antigen pada glomerulus disertai
pengaktifan komplemen resultan yang menyebabkan cedera sel, suatu contoh reaksi
hipersensitivitas tipe III
2. Dapat terjadi perikarditis (peradangan kantong perikadium yang mengelilingi jantung)
3. Peradangan membran pleura yang mengelilngi paru dapat membatasi perapasan.
Sering terjadi bronkhitis.
4. Dapat terjadi vaskulitis di semua pembuluh serebrum dan perifer.
5. Komplikasi susunan saraf pusat termasuk stroke dan kejang. Perubahan kepribadian,
termasuk psikosis dan depresi dapat terjadi. Perubahan kepribadian mungkin
berkaitan dengan terapi obat atau penyakitnya (Elizabeth, 2009).

2.8Pemeriksaan Penunjang
1. ANA (anti nucler antibody). Tes ANA memiliki sensitivitas yang tinggi namun
spesifisitas yang rendah.
2. Anti dsDNA (double stranded). Tes ini sangat spesifik untuk LES, biasanya titernya
akan meningkat sebelum LES kambuh.
3. Antibodi anti-S (Smith). Antibodi spesifik terdapat pada 20-30% pasien.
4. Anti-RNP (ribonukleoprotein), anti-ro/anti SS-A, antikoagulan lupus)/anti-SSB, dan
antibodi antikardiolipin. Titernya tidak terkait dengan kambuhnya LES.
5. Komplemen C3, C4, dan CH50 (komplemen hemolitik)
6. Tes sel LE. Kurang spesifik dan juga positif pada artritis reumatoid, sindrom sjogren,
skleroderna, obat, dan bahan-bahan kimia lain.
7. Anti ssDNA (single stranded)
8. Pasien dengan anti ssDNA positif cenderung menderita nefritis (Arif Mansjoer, 2000).

6
2.9 Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan medis
Terapi dengan obat bagi penderita SLE mencakup pemberian obat-obat:
a. Antiradang nonstreroid (AINS)
AINS dipakai untuk mengatasi arthritis dan artralgia. Aspirin saat ini lebih
jarang dipakai karena memiliki insiden hepatotoksik tertinggi, dan sebagian
penderita SLE juga mengalami gangguan pada hati. Penderita LES juga
memiliki risiko tinggi terhadap efek samping obat-obatan AINS pada kulit, hati,
dan ginjal sehingga pemberian harus dipantau secara seksama.
b. Kortikosteroid
c. Antimalaria
Pemberian antimalaria kadang-kadang dapat efektif apabila AINS tidak dapat
mengendalikan gejala-gejala LES. Biasanya antimalaria mula-mula diberikan
dengan dosis tinggi untuk memperoleh keadaan remisi. Bersihnya lesi kulit
merupakan parameter untuk memantau pemakaian dosis.
d. Imunosupresif
Pemberian imunosupresif (siklofosfamid atau azatioprin) dapat dilakukan untuk
menekan aktivitas autoimun LES. Obat-obatan ini biasanya dipakai ketika:
 Diagnosis pasti sudah ditegakkan
 Adanya gejala-gejala berat yang mengancam jiwa
 Kegagalan tindakan-tidakan pengobatan lainnya, misalnya bila pemberian
steroid tidak memberikan respon atau bila dosis steroid harus diturunkan
karena adanya efek samping
 Tidak adanya infeksi, kehamilan dan neoplasma (Sylvia dan Lorraine, 1995).
2. Penatalaksanaan keperawatan
Perawat menemukan pasien SLE pada berbagai area klinik karena sifat penyakit yang
homogeny. Hal ini meliputi area praktik keperawatan reumatologi, pengobatan umum,
dermatologi, ortopedik, dan neurologi. Pada setiap area asuhan pasien, terdapat tiga
komponen asuhan keperawatan yang utama.
a. Pemantauan aktivitas penyakit dilakukan dengan menggunakan instrument yang
valid, seperti hitung nyeri tekan dan bengkak sendi (Thompson & Kirwan, 1995)
dan kuesioner pengkajian kesehatan (Fries et al, 1980). Hal ini member indikasi
yang berguna mengenai pemburukan atau kekambuhan gejala.

7
b. Edukasi sangat penting pada semua penyakit jangka panjang. Pasien yang
menyadari hubungan antara stres dan serangan aktivitas penyakit akan mampu
mengoptimalkan prospek kesehatan mereka. Advice tentang keseimbangan antara
aktivitas dan periode istirahat, pentingnya latihan, dan mengetahui tanda
peringatan serangan, seperti peningkatan keletihan, nyeri, ruam, demam, sakit
kepala, atau pusing, penting dalam membantu pasien mengembangkan strategi
koping dan menjamin masalah diperhatikan dengan baik.
c. Dukungan psikologis merupakan kebutuhan utama bagi pasien SLE. Perawat
dapat memberi dukungan dan dorongan serta, setelah pelatihan, dapat
menggunakan ketrampilan konseling ahli. Pemberdayaan pasien, keluarga, dan
pemberi asuhan memungkinkan kepatuhan dan kendali personal yang lebih baik
terhadap gaya hidup dan penatalaksanaan regimen bagi mereka (Anisa Tri U.,
2012).
3. Penatalaksanaan diet
Restriksi diet ditentukan oleh terapi yang diberikan. Sebagian besar pasien
memerlukan kortikosteroid, dan saat itu diet yang diperbolehkan adalah yang
mengandung cukup kalsium, rendah lemak, dan rendah garam. Pasien disarankan
berhati-hati dengan suplemen makanan dan obat tradisional.
Pasien lupus sebaiknya tetap beraktivitas normal. Olah raga diperlukan untuk
mempertahankan densitas tulang dan berat badan normal. Tetapi tidak boleh
berlebihan karena lelah dan stress sering dihubungkan dengan kekambuhan. Pasien
disarankan untuk menghindari sinar matahari, bila terpaksa harus terpapar matahari
harus menggunakan krim pelindung matahari (waterproof sunblock) setiap 2 jam.
Lampu fluorescence juga dapat meningkatkan timbulnya lesi kulit pada pasien SLE.

8
BAB III

KONSEP KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian
Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik di fokuskan pada gejala
sekarang dan gejala yang pernah di alami. Seperti keluhan mudah lelah, lemah, nyeri, kaku,
demam / panas, anoreksia efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta citra diri pasien.
1. Kulit
Ruam eritematous, plak eritematouspada kulit kepala, muka atau leher.
2. Kardiovaskuler
Friction rup perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura, lesi eritematous
papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukan gangguan vaskuler terjadi di
ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi
lateral tangan.
3. Sistem muskuloskeletal
Pembengkakan sendi, nyeri tekan ketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari.
4. Sistem integumen
Lesi akut pada kulit yang terdiri tas ruam yang berbentuk kupu-kupu yang melintang
pangkal hidung dan pipi.
5. Sistem pernapasan
Pleuritis atau efusipleura.
6. Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritomatous dan
parpura di ujuna jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau
sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosit.
7. Sistem renal
Edema dan hematuria.
8. Sistem syaraf
Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang, korea atau
manifestasi SPP lainnya.
Riwayat atau adanya faktor risiko. Meskipun LES bukan herediter, insiden kadang-
kadang lebih tinggi diantara individu dengan riwayat keluarga positif.

9
Pemeriksaan fisik berdasarkan pada survei umum dapat menunjukkan keterlibatan
multisystem, karena SLE adalah penyakit inflamasi dari jaringan penyambung yang
mempengaruhi kulit, sendi membran pleural dan pericardial, ginjal, sumsum tulang, dan
sistem saraf pusat. Asosiasi Reumatisme Amerika telah mengidentifikasi karakteristik fisik
yang berbeda dan temuan labolatorium dari SLE. Diagnosis dari SLE dibuat dengan empat
temuan berikut secara bersama-sama (Whitney, 1989):
a. Ruam malar – berbentuk kupu-kupu melintang di hidung dan pipi, mungkin unilateral
atau bilateral
b. Pleuritis atau perikarditis
c. Paliartritis – sendi nyeri terinnflamasi yang migrasi dan jarang mengakibatkan
deformitas sendi
d. Fotosensitif – terjadi ruam bila terpajan pada sinar matahari secara terus menerus
e. Ruam discoid – bercak, merah, ruam kering pada area yang terpajan pada matahari
f. Perubahan sistem saraf pusat seperti kejang atau psikosis
g. Ulserasi membran mukosa (mulut, hidung, dan vagina)
h. Abnormalitas hematologis (anemia, trombositopenia, leukopenia)
i. Peningkatan antibodi antinuklear (ANA)
j. Proteinuria, serpihan seluler, atau pus tanpa bakteriuria ditunjukkan oleh urinalis
Gejala tambahan meliputi:
a. Pembesaran limpa dan hepar
b. Penurunan berat badan, demam, kelelahan
c. Fenomena Raynaud’s (perubahan warna pucat, sianosis, kemerahan pada jari disertai
dengan nyeri dan parestesia)
Kaji terhadap faktor yang mencetuskan eksaserbasi:
a. Kelelahan berlebihan
b. Pemajanan lama pada sinar ultraviolet (sinar matahari langsung)
c. Pembedahan

3.2 Diagnosa
1. Nyeri kronik berhubungan dengan inflamasi atau kerusakan jaringan.
2. Gangguan kerusakan integritas kulit berhubungan dengan proses penyakit dan lesi
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan komplikasi sekunder terhadap SLE

10
3.3Intervensi
1. Nyeri kronik berhubungan dengan inflamasi atau kerusakan jaringan
NO INTERVENSI RASIONAL
1 Tutup luka sesegera mungkin kecuali 1.       suhu berubah dan
perawatan luka bakar metode gerakan udara dapat
pemajanan pada udara terbuka. menyebabkan nyeri hebat pada
pemajanan ujung saraf.
pengaturan suhu dapat hilang
karena luka bakar mayor.
2 Pertahankan suhu lingkungan nyaman, Sumber panas eksternal perlu
berikan lampu penghangat, penutup untuk mencegah menggigil.
tubuh hangat.
3 Kaji keluhan nyeri. Perhatikan nyeri hampir selalu ada pada
lokasi/karakter dan intensitas (skala 0- beberapa derajat beratnya
10). keterlibatan jaringan/kerusakan
tetapi biasanya paling berat
selama penggantian balutan
dan debridemen.
4 Lakukan penggantian balutan dan menurunkan terjadinya distress
debridemen setelah pasien di beri obat fisik dan emosi sehubungan
dan/atau pada hidroterapi dengan penggantian balutan
dan debridemen.
5 Dorong ekspresi perasaan tentang pernyataan memungkinkan
nyeri. pengungkapan emosi dan dapat
meningkatkan mekanisme
koping.
6 Dorong penggunaan teknik  memfokuskan kembali
manajemen stress, contoh relaksasi perhatian, meningkatkan
progresif, napas dalam, bimbingan relaksasi dan meningkatkan
imajinasi dan visualisasi. rasa control, yang dapat
menurunkan ketergantungan
farmakologis.
7 Berikan aktivitas terapeutik tepat membantu mengurangi
untuk usia/kondisi konsentrasi nyeri yang di alami
dan memfokuskan kembali

11
perhatian.
2. Gangguan kerusakan integritas kulit berhubungan dengan proses penyakit dan
lesi
NO INTERVENSI RASIONAL
1 Kaji kulit setiap hari. Catat warna, Menentukan garis dasar
turgor, sirkulasi dan sensasi. menentukan dimana perubahan
Gambarkan lesi dan amati pada status dapat dibandingkan
perubahan dan melakukan intervensi yang
tepat.
2 Pertahankan/intruksikan dalam Mempertahankan kebersihan
hygien, misalnya, membasuh dan karena kulit yang kering dapat
kemudian mengeringkannya menjadi barier infeksi.
dengan berhati-hati dan melakukan
masase dengan menggunakan
lotion atau krim.
3 Gunting kuku secara teratur Kuku yang panjang dan kasar
meningkatkan risiko kerusakan
dermal.
4 Tutupi luka tekan yang terbuka Dapat mengurangi kontaminasi
dengan pembalut yang steril atau bakteri, meningkatkan proses
barrier protektif, misalny, duoderm, penyembuhan
sesuai petunjuk.
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan komplikasi sekunder terhadap LES
NO INTERVENSI RASIONAL
1 Evaluasi rutinitas harian pasien. Bantu Istirahat membantu
perencanaan jadwal setiap hari untuk menyeimbangkan energi
aktivitas yang meliputi periode tubuh. Keseimbangan
istirahat sering aktivitas fisik pada istirahat
membantu mengontrol
kelelahan dan peningkatan
ketahanan.
2 Anjurkan pasien untuk menggunakan Memungkinkan periode
obat yang diresepkan untuk anemia tambahan istirahat
dan dan menyimpan tanpagangguan
3 Tingkatkan aktivitas sesuai toleransi, Tirah baring lama dapat
bantu melakukan rentang rentang menurunkan kemampuan. Ini

12
gerak sendi aktif/pasif dapat terjadi karena
keterbatasan aktivitas yang
mengganggu periode istirahat
4 Dorong penggunaan teknik Meningkatkan relaksasi dan
menejemen stres, contoh relaksasi penghematan energi,
progresif, visualisasi, bimbingan memusatkan kembali
imajinasi. Berikan aktivitas hiburan perhatian, dan dapat
yang tepat contoh menonton TV, meningkatkan koping.
radio, dan membaca.

3.4 Evaluasi
1. Skala nyeri berkurng
2. Klien mendapat pola tidur yang adekuat
3. Dapat menunjukkan perilaku atau teknik untuk meningkatkan penyembuhan dan
mencegah komplikasi
4. Terjadi peningkatan terhadap toleransi aktivitas

13
BAB lV

PENUTUP

4.1 KESIMPULAN

Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa SLE (Sistemik Lupus Eritematosus)
adalah penyakit radang multi sistem yang sebabnya belum diketahui, dengan perjalanan
penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik.

Penyakit lupus adalah penyakit sistem daya tahan atau penyakit auto imun artinya tubuh
pasien luus membentuk anti bodi yang salah arah, merusak organ tubuh sendiri seperti ginjal,
hati, sendi, sel darah merah, leukosit, dan trombosit.

4.2 Saran

Dengan diberikannya tugas ini penulis dapat lebih memahami dan mengerti tentang
bagaimana penyakit thypoid dan dapat melakukan perawatan yang baik dan tepat serta
menegakkan asuhan keperawatan yang baik.Dengan adanya hasil tugas ini diharapkan dapat
dijadikan sebagai bacaan untuk menambah wawasan dari ilmu yang telah didapatkan dan
lebih baik lagi dari sebelumnya.

14
DAFTAR PUSTAKA

Brunner Suddarth: alih bahasa.Devi Yulianti, Amelia Kimin;editor edisi bahasa


indonesia,Eka Anisa Mardella.Ed12.2013. Keperawatan Medikal Bedah Brunnere
Suddarth Ed.12.Jakarta:EGC
Evi Roviati. 2013. Systemic lupus Erythematosus (SLE) : Kelainan Authoimun Bawaan yang
langka dan Mekanisme Molekulnya (Review terhadap Jurnal Systemic lupus
Erythematosus, Oleh  Rahman Isenberg, 2008. NEJM). Jakarta : Jurnal Scientiae
Educatia. Vol. 2 Edisi : 20-32
Hurst, Marlene;alih bahasa, Devi Yulianti, Sari Isneini;editor edisi Bahasa Indonesia;
Fruriolina Ariani(etal).2015.Belajar Mudah Keperawatan Medikal Bedah.Vol
2.Jakarta:EGC
Mary Digiulio,dkk:alih bahsa Dwi Prabantini;editor TH Arie Prabawati dan
meidyna.2014. Keperawatan Medikal Bedah.Yogyakarta:Rapha Publishing
Nopa Septia Anggraini. 2016. Lupus Eritematosus Sistemik. Lampung : Fakultas Kedokteran
Universitas klampung. Vol. 4, No. 4 : 124-131
Smelzer,Sutame C,& Bienda G.Bare:Alih Bahasa,Agung Waluyo(eral);editor edisi Bahasa
Indonesia,Monica Ester,Ed.8.2008.Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah.Jakarta;EGC
Soedarto.2012.Alergi dan Penyakit Sistem Imun.Jakarta:CV. Sagung Seto.

15

Anda mungkin juga menyukai