Anda di halaman 1dari 25

Oleh Tutik Nurhidayati

Keju sebagai produk dengan bahan dasar susu, dalam


proses pengolahannya memerlukan biaya produksi yang
tinggi. Salah satu penyebab tingginya biaya produksinya
adalah mahalnya enzim rennet sebagai koagulan yang
digunakan dalam proses pembuatan keju (Sardinas, 1972
dalam Nurhidayati, 1996). Selain itu dilaporkan pula
bahwa selama dua puluh tahun terakhir ini terjadi
kekurangan rennet sehingga mendorong orang untuk
mencari pengganti rennet (Sardjoko, 1991). 

Industri keju sebenarnya dapat berpaling pada enzim


penggumpal yang lain seperti fisin dari getah pohon ficus,
papain dari papaya dan enzim bromelin dari nenas.
Penggunaan enzim papain di Indonesia masih sangat
terbatas yaitu hanya sebagai pelunak daging. Di Amerika
Serikat, papain mempunyai arti dan manfaat yang sangat
luas, selain sebagai pelunak daging dimanfaatkan sebagai
campuran dalam pembuatan bir, penyamak kulit, obat dan
bahan pembuatan tekstil dan permen karet (Anonymous,
1991). 

Enzim papain sebagai pengganti enzim rennet mempunyai


beberapa kelebihan antara lain lebih mudah di dapat,
tersedia dalam jumlah banyak, lebih tahan terhadap
kondisi asam dan kondisi basa, suhu tinggi serta harganya
murah (Sirait dalam Anonymous, 1991). Faktor yang perlu
diperhatikan dalam memanfaatkan enzim pengganti
rennet adalah adanya aktivitas proteolitik yang berlebihan
dan kemungkinan timbulnya rasa pahit (Sardjoko, 1991).
Untuk itu perlu diberikan pada konsentrasi yang sesuai.
Enzim sebagai katalisator biologis berfungsi membantu
mempercepat bermacam-macam reaksi biokimia dalam
sel-sel hidup. Secara umum aktivitas enzim dipengaruhi
oleh: suhu, konsentrasi substrat, konsentrasi enzim, pH
dan adanya inhibitor maupun aktivator. Enzim proteolitik
atau protease sebagai enzim pemecah molekul protein
bekerja dengan cara menghidrolisa ikatan peptida. Enzim
proteolitik dapat dibagi menjadi empat golongan
berdasarkan sifat-sifat kimia dan sisi aktifnya, yaitu: (1)
Golongan kesatu yaitu proteolitik serin yang mempunyai
residu serin pada sisi aktifnya. Enzim yang termasuk
golongan ini adalah tripsin, elastase dan kimotripsin; (2)
golongan kedua yaitu proteolitik sulfhidril yang
mempunyai residu sulfhidril (-SH) pada sisi aktifnya.
Enzim yang termasuk golongan ini adalah papain,
bromelin dan fisin; (3) golongan ketiga yaitu enzim
proteolitik metal yaitu enzim yang membutuhkan unsur
logam untuk aktivitasnya, misalnya karboksipeptidase A
dan beberapa amino peptidase; (4) golongan keempat
yaitu protease asam, yaitu enzim yang mempunyai gugus
karboksil pada sisi aktifnya. Enzim yang termasuk
golongan ini adalah pepsin, rennin dan protease kapang. 

Enzim papain sebagai protease sulfhidril dapat diaktifkan


oleh zat-zat pereduksi dan menjadi tidak aktif jika
terdapat zat pengoksidasi. Enzim papain stabil pada pH 5
dan menjadi tidak turun aktivitasnya pada pH kurang dari
3 atau lebih dari 11. Enzim papain mempunyai daya tahan
terhadap panas lebih tinggi daripada enzim lain. Pada
suhu 70 0C keaktifan papain akan menurun 20% selama
30 menit pada pH 7. Enzim papain memutus ikatan
peptida pada residu sparagin-glutamin, glutamate-alanin,
leusin-valin dan penilalanin-tirosin. Papain merupakan
protein sederhana dengan 212 residu asam amino.
Sehingga aplikasi papain dalam keju akan meningkatkan
nilai gizi dari keju. 

Berdasarkan tahap pematangannya dikenal keju metode


setting panjang (memerlukan tahap pematangan yang
lama dan metode setting pendek (memerlukan tahap
pematangan yang lebih singkat atau dikenal keju segar).
Keju diklasifikasikan menjadi tiga kategori yaitu: (1) Keju
keras dan sangat keras, seperti keju keju gouda Belanda,
keju chefdar Inggris, pemersan Italia dan keju kasar Turki;
(2) Keju semi lunak seperti Brie, Camembert dan banyak
bentuk lainnya dari Perancis; (3) Keju Lunak seperti keju
Cottage. Beberapa tipe keju tersebut dibuat bergantung
kualitas susu, teknik kondisi produksi, pematangan,
penyimpanan dan kesukaan konsumen (Anonymous,
1987). Komposisi gizi keju sangat bergantung pada jenis
keju. Semua keju mengandung komponen yang sama
tetapi berbeda proporsinya. Analisa proksimat komponen
dari berbagai jenis keju ditunjukkan pada Tabel 2. 

Secara umum keju dibuat dengan cara mengoagulasi susu


menggunakan koagulan pada konsentrasi 0,250 ml/l susu
dan penambahan 0,1-0,2% starter campuran
Streptococcuslactis dan Lactobacillus casei (3:1).
Penambahan Streptococcus cremoris menghasilkan aroma
yang baik, sedangkan penambahan CaCl 2 20-30 g/100 l
susu menghasilkan kekerasan yang optimum selama
pemeraman 50-60 menit. Beberapa jenis bakteri asam
laktat yang penting antara lain: (1) Streptococcus
thermopillus, S. lactis dan S. cremoris adalah bakteri gram
positif berbentuk bulat yang terdapat sebagai rantai.
Bakteri ini mempunyai nilai ekonomi penting dalam
industri susu; (2) Pediococcus cerevisiae adalah bakteri
gram positif berbentuk bulat, berpasangan atau
berempat. Jenis ini berperan penting dalam fermentasi
daging dan sayur; (3) Leuconostoc mesenteroides, L.
dextranium adalah bakteri gram positif berbentuk bulat
berpasangan atau rantai pendek. Jenis bakteri ini
berperan penting dalam permulaan fermentasi sayuran
dan dapat ditemukan dalam sari buah, anggur dan bahan
pangan lainnya; (4) Lactobacillus lactis, L. acidophilus, L.
bulgaricus, L. plantarum, L. delbrucchii adalah bakteri
gram positif , berbentuk batang berpasangan dan rantai.
Jenis ini umumnya lebih tahan terhadap keadaan asam
daripada genus Pediococcus dan Streptococcus sehingga
banyak terdapat pada tahap akhir dari fermentasi tipe
asam laktat. 

Dalam industri pengolahan keju, biasanya digunakan


starter campuran dari dua kelompok bakteri asam laktat
yaitu S. thermophillus dan L. bulgaricus. Kedua bakteri ini
termasuk dalam kelompok thermobakteria dengan cirri-
ciri sel berbentuk batang, mampu hidup pada lingkungan
yang mengandung NaCl dengan kadar 3-6%, dengan
kisaran pH antara 4-7.4, suhu optimum pertumbuhannya
berkisar antara 37 0C - 45 0C dan dapat bertahan pada
suhu 63 0C selama 30 menit. Penggunaan starter ganda
tersebut akan menghasilkan asam laktat lebih cepat
daripada ditumbuhkan secara terpisah. Nampaknya kedua
bakteri ini berinteraksi secara menguntungkan. Pada awal
fermentasi asam amino yang dihasilkan L. bulgaricus
menstimulasi pertumbuhan S.thermophillus sehingga
cepat menghasilkan asam laktat yang dapat menurunkan
pH medium sampai 4,5. Pada medium inilah L. bulgaricus
akan tumbuh cepat. 

Tutik Nurhidayati, Staf Pengajar Program Studi Biologi


FMIPA–ITS 

Referensi 

Anonymous. 1991. Pengolahan Hasil-Hasil Peternakan.


Penerbit Direktur Jendral Peternakan. Departemen
Pertanian. Jakarta 
Apriantono, A., Fardiaz, D., Puspitasari, N.L. dan
Budiyanto, S. 1989. Petunjuk Laboratorium analisis 
Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan Dan Gizi. Institut
Pertanian Bogor. Bogor 
Atlas, R.S. 1990. Mikrobiology Fundamentals and
Aplikations. Second edition. Macmillan publishing
Company. Inc New York 
Hadiwiyoyo, S. 1994. Teori dan Prosedur Pengujian Mutu
Susu Dan Hasil Olahannya. Penerbit Liberty. Yogyakarta 
Idris. 1992. Teknologi Pengolahan Susu. Fakultas
Peternakan Universitas Brawijaya Malang 
Muctadi, D., Nurheni, S.P dan Made, A. 1992. Enzim Dalam
Industri Pangan. Departemen Pendidikan dan gizi. Institut
Pertanian Bogor. Bogor 
Sardjoko. 1991. Bioteknologi. Penerbit Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta
Pembuatan Rennet dan Keju Tradisional
Secara tradisional, rennet diciptakan dengan mencuci dan
mengeringkan perut hewan dan membiarkannya kering. Pembuat
keju kemudian akan memotret sepotong kecil perut dan
menggunakan ini dengan cara yang sama seperti Anda
menggunakan tablet rennet modern atau cairan.
Pembuatan Keju
Rennet, atau beberapa sumber enzim lain yang akan
mengeringkan susu dan dadih serta whey yang terpisah,
merupakan langkah yang sangat penting dalam proses
pembuatan keju. Untuk membuat keju yang sukses, langkah
pertama adalah menyuntikkan susu dengan buttermilk atau
yogurt dengan menambahkan inoculant ke susu hangat dalam
pot yang disterilisasi, ditutupi dengan tutup yang disterilkan, dan
dibiarkan semalaman untuk duduk pada suhu kamar (lebih
disukai tentang 70 derajat F). Ini menurunkan pH susu dan
membantu rennet dalam memecah komponen susu yang dikenal
sebagai kasein. Keesokan paginya, Anda kembali menghangatkan
susu dan menambahkan rennet menggunakan pengukuran yang
sangat hati-hati, karena jumlah rennet yang salah dapat merusak
sejumlah keju. Anda membiarkan campuran untuk duduk selama
satu jam, atau sampai dadih dan whey dipisahkan sepenuhnya.
Pada titik ini, potong dadih (bagian padat yang naik ke atas) ke
dalam dadu tanpa mengeluarkannya dari panci lalu
memanaskannya. Suhu yang Anda memanaskan dadih
menentukan apakah keju yang sudah jadi akan lunak atau keras.
Dadih itu sendiri, dengan sedikit pengolahan menjadi potongan-
potongan yang lebih kecil, sering dikenal sebagai "keju cottage."
Alternatif untuk Rennet
Alternatif rennet mungkin diperlukan untuk alasan-alasan
ideologis - seperti vegetarianisme, veganisme atau gaya hidup
halal - atau bahkan bagi mereka yang tidak menyukai gagasan
"perut hewan bayi" dalam keju mereka. Penting untuk dicatat
bahwa pembuat keju komersial tidak harus mengungkapkan
apakah sumber enzim rennet mereka disintesis secara buatan,
adalah rennet nyata yang diperoleh dari perut, atau merupakan
alternatif non-rennet. Jadi, ketika berbelanja keju, carilah keju
yang ditandai "vegetarian" atau "halal" untuk memastikan Anda
menghindari rennet alami. Alternatif yang dapat mencapai hasil
yang sama seperti rennet termasuk cuka dan jus lemon. Pilihan
lain adalah untuk memperoleh "rennet sayuran" yang dibuat dari
salah satu dari beberapa tanaman (widuri, jelatang dan mallow,
untuk beberapa nama), atau "rennet mikroba" yang diperoleh dari
cetakan. Rennet yang direkayasa secara genetik, yang tidak
pernah benar-benar di dalam perut binatang tetapi diproduksi di
laboratorium, adalah pilihan lain yang mungkin (namun sedikit
menyeramkan
Chymosin atau rennin adalah enzim yang ditemukan dalam rennet. Enzim ini
dihasilkan oleh hewan ruminansia pada lapisan abomasum. Chymosin diproduksi oleh
sel chief lambung pada bayi  untuk mengentalkan susu mereka telan, sehingga tempat
tinggal lebih lama di dalam perut dan penyerapan yang lebih baik. Chymosin Bovine
sekarang diproduksi secara rekombinan pada E. coli, Aspergillus niger var awamori,
dan K. lactis sebagai sumber daya alternatif. Gen tersebut ditemukan pada manusia
(pada kromosom 1), tetapi tidak diungkapkan.

Reaksi Enzimatis

Chymosin menyebabkan pemutusan rantai tertentu—ikatan peptida antara 105 dan


106, fenilalanin dan metionin, dalam K–Casein, substrat asli enzim ini.

Prosiding pembelahan tidak merata K-Casein (kappa-kasein), muatan yang berlawanan


pada substrat dapat berinteraksi dengan enzim;. Histidin pada kappa–kasein ditarik
untuk glutamat dan aspartat pada chymosin.

Bila chymosin tidak mengikat substrat, beta-hairpin, terkadang mengacu pada “flap”
yang dapat meng-ikathidrogen dengan bagian aktif, oleh karena itu menutupinya dan
tidak memungkinkan pengikatan substrat lebih lanjut.

Jika reaksi ini berlaku untuk susu, hubungan khusus antara hidrofobik (para-kasein) dan
hidrofilik (glikopeptida asam) gugus kasein dalam susu akan rusak, karena mereka
bergabung dengan fenilalanin dan metionin.

Gugus hidrofobik akan bersatu dan akan membentuk jaringan 3D untuk menjebak fasa
air dari susu. Produk yang dihasilkan adalah kalsium fosfokaseinat. Karena reaksi ini,
rennin digunakan untuk pembentukan dadih dalam pembuatan keju.

Chymosin Rekombinan
Karena ketidaksempurnaan dan kelangkaan mikroba dan rennet hewan, produsen
mencari pengganti. Dengan perkembangan rekayasa genetika, menjadi mungkin untuk
mengekstrak rennet—memproduksi gen dari perut hewan dan memasukkan mereka ke
dalam bakteri, jamur atau ragi tertentu untuk membuat mereka
menghasilkan chymosin selama fermentasi.

Mikroorganisme yang dimodifikasi secara genetika dibunuh setelah fermentasi dan


chymosin diisolasi dari kaldu fermentasi, sehingga Fermentation-Produced Chymosin
(FPC) digunakan oleh produsen keju tidak mengandung komponen GM apa pun atau
bumbu. FPC mengandung chymosin identik seperti sumber hewani, tetapi diproduksi
dengan cara yang lebih efisien. Produk FPC telah dipasarkan sejak 1990 dan telah
dipertimbangkan dalam 20 tahun terakhir enzim pembekuan-susu yang ideal.

FPC enzim tiruan pertama diproduksi yang didaftarkan dan diizinkan oleh Food and
Drug Administration. Pada tahun 1999, sekitar 60% dari keju keras AS dibuat dengan
FPC  dan itu telah mencapai 80% dari pangsa pasar global untuk rennet.

Pada tahun 2008, sekitar 80 hingga 90% keju yang dibuat komersial di Amerika Serikat
dan Inggris dibuat menggunakan FPC. [7] Saat ini, yang paling banyak
digunakan Fermentasi–Diproduksi Chymosin (FPC) yang diproduksi baik oleh jamur
Aspergillus niger dan dikomersialisasikan di bawah merek dagang CHY-MAX ® oleh
perusahaan Denmark Chr. Hansen, atau diproduksi oleh Kluyveromyces lactis dan
dikomersialisasikan di bawah merek dagang MAXIREN ®  oleh perusahaan Belanda
DSM.

FPC hanya mengandung chymosin B, mencapai tingkat kemurnian yang tinggi


dibandingkan dengan rennet hewan. FPC dapat memberikan beberapa manfaat bagi
produsen keju dibandingkan dengan hewan atau rennet mikroba, karena hasil produksi
yang lebih tinggi, tekstur dadih yang lebih baik dan mengurangi rasa pahit. ***

 ntuk kebanyakan keju yang diproduksi di seluruh dunia, digunakan susu sapi,
akan tetapi susu dari hewan lain, terutama kambing dan domba juga banyak
digunakan. Kualitas susu yang digunakan di (semi-) industri pembuatan keju
dikontrol dengan ketat di Eropa. Mayoritas keju dibuat dari susu dengan
perlakuan panas atau susu pasteurisasi (baik penuh, rendah lemak, maupun
tanpa lemak). Jika non-pasteurisasi susu yang digunakan, keju harus
dimatangkan (dengan cara diperam) paling sedikit selama 60 hari pada suhu
tidak kurang dari 4 °C untuk memastikan keamanan melawan organisme yang
membahayakan (patogen). Persyaratan pasteurisasi susu yang digunakan untuk
membuat keju varietas khusus diatur berbeda di setiap negara.

Pembuatan keju melibatkan sejumlah tahapan yang umum untuk kebanyakan


tipe keju.
Susu keju diberi perlakuan pendahuluan, bisa berupa pematangan awal setelah
penambahan kultur bakteri yang tepat untuk setiap tipe keju, dan dicampur
dengan rennet.

Aktivitas enzim pada rennet menyebabkan susu terkoagulasi menjadi jelly padat
yang dikenal dengan koagulum. Jelly ini dipotong dengan alat pemotong khusus
menjadi kubus-kubus kecil sesuai ukuran yang diinginkan – ditempat pertama
untuk memfasilitasi pengeluaran whey. Selama periode proses pembuatan dadih
(curd), bakteri tumbuh dan membentuk asam laktat, dan butiran-butiran dadih
dikenai perlakuan mekanik dengan alat pengaduk, sementara itu pada saat yang
bersamaan dadih dipanaskan menurut seting program.

Kombinasi efek dari tiga perlakuan ini – pertumbuhan bakteri, perlakuan


mekanik, dan perlakuan panas – menghasilkan sineresis, yaitu pemisahan whey
dari butiran-butiran dadih. Dadih yang telah selesai diletakkan dalam cetakan
keju yang terbuat dari metal, kayu atau plastik, yang menentukan bentuk keju
akhir.

Keju dipres, baik oleh beratnya sendiri atau pada umumnya dengan
mempergunakan tekanan terhadap cetakan. Perlakuan selama permbuatan dadih
dan pengepresan menentukan karakteristik keju. Aroma keju yang sesungguhnya
ditentukan selama pematangan keju.

Langkah-langkah berbeda dalam pembuatan keju dibahas di bawah ini.

Pasteurisasi
Sebelum pembuatan keju yang sesungguhnya dimulai, susu biasanya menjalani
perlakuan pendahuluan yang dirancang untuk menciptakan kondisi optimum
untuk produksi.

Susu yang diperuntukkan untuk tipe keju yang memerlukan pematangan lebih
dari sebulan sebenarnya tidak perlu dipasteurisasi, tetapi biasanya tetap
dipasteurisasi.

Susu yang diperuntukkan untuk keju mentah (keju segar) harus dipasteurisasi.
Hal ini mengindikasikan bahwa susu keju untuk tipe yang membutuhkan periode
pematangan lebih dari sebulan tidak harus dipasteurisasi di kebanyakan negara.

Susu yang diperuntukkan untuk Emmenthal, Parmesan  dan Grana  asli,


beberapa tipe keju ekstra keras, tidak boleh dipanaskan melebihi 40°C, agar
tidak mempengaruhi rasa, aroma, dan pengeluaran whey. Susu yang
diperuntukkan untuk keju tipe ini biasanya berasal dari peternakan pilihan
dengan inspeksi ternak secara rutin oleh dokter hewan.
Walaupun keju terbuat dari susu yang tidak terpasteurisasi diyakini memiliki
rasa dan aroma lebih baik, kebanyakan produser (kecuali pembuat keju tipe
ekstra keras) mempasteurisasi susu, karena kualitas susu yang tidak
dipasteurisasi jarang dapat dipercaya sehingga mereka tidak mau mengambil
risiko untuk tidak mempasteurisasinya.

Pasteurisasi harus cukup untuk membunuh bakteri yang dapat mempengaruhi


kualitas keju, misalnya coliforms, yang bisa membuat “blowing” (perusakan
tekstur) lebih dini dan rasa tidak enak. Pateurisasi reguler pada 72 – 73°C selama
15 – 20 detik paling sering dilakukan.
Meskipun demikian, mikroorganisme pembentuk spora (spore-forming
microorganism) yang dalam bentuk spora, tahan terhadap pasteurisasi dan dapat
menyebabkan masalah serius selama proses pematangan. Salah satu contohnya
adalah Clostridium tyrobutyricum, yang membentuk asam butirat dan volume
gas hidrogen yang besar dengan memfermentasi asam laktat. Gas ini
menghancurkan tekstur keju sepenuhnya (“blowing”), selain itu asam butirat
juga tidak enak rasanya.
Perlakuan panas yang lebih sering akan mengurangi risiko seperti tersebut di
atas, tetapi juga akan merusak sifat-sifat umum keju yang terbuat dari susu,
sehingga digunakan cara lain untuk mengurangi bakteri tahan panas.

Secara tradisional, bahan-bahan kimia tertentu telah ditambahkan dalam susu


keju sebelum produksi. Hal ini untuk mencegah “blowing” dan perkembangan
rasa tidak enak yang disebabkan oleh bakteri tahan panas dan pembentuk spora
(terutama Clostridium tyrobutyricum). Bahan kimia yang paling sering digunakan
adalah sodium nitrat (NaNO3), tetapi pada produksi keju Emmenthal  , hidrogen
peroksida (H2O2) juga digunakan. Meskipun demikian, karena penggunaan bahan
kimia telah banyak dikritik, maka cara mekanis untuk mengurangi jumlah
mikroorganisme yang tidak diinginkan telah diadopsi, terutama di negara-negara
dimana penggunaan inhibitor kimia dilarang.
Biakan Biang
Biakan biang merupakan faktor penting dalam pembuatan keju; biakan ini
memiliki beberapa peran.

Dua tipe utama biakan yang digunakan dalam pembuatan keju:

 biakan mesophilic  dengan suhu optimum antara 20 dan 40 °C


 biakan thermophilic  yang berkembang sampai suhu 45 °C
Biakan yang paling sering digunakan adalah biakan turunan campuran ( mixed-
strain), dimana dua atau lebih turunan
bakteri mesophilic  dan thermophilic  berada dalam simbiosis mutualisme yang
saling menguntungkan. Biakan ini tidak hanya memproduksi asam laktat tetapi
juga komponen aroma dan CO2. Karbondioksida sangat penting untuk
menciptakan rongga-rongga di tipe keju butiran dan tipe “mata bundar ( round-
eyed) ”. Contohnya keju Gouda, Manchego  dan Tilsiter  dari
biakan mesophilic  dan Emmenthaldan Gruyère  dari biakan thermophilic  .
Biakan turunan tunggal (single-strain) terutama digunakan ketika obyek dipakai
untuk mengembangkan asam dan berkontribusi terhadap degradasi protein,
misalnya pada keju Cheddar  dan tipe keju yang sejenis.
Tiga sifat biakan biang yang paling penting dalam pembuatan keju yaitu:

 kemampuan memproduksi asam laktat


 kemampuan memecah protein dan, jika memungkinkan,
 kemampuan memproduksi karbondioksida
Tugas utama biakan adalah mengembangkan asam dalam dadih

Ketika susu mengental, sel-sel bakteri terkonsentrasi dalam koagulum dan


kemudian dalam keju. Perkembangan asam menurunkan pH yang penting untuk
membantu sineresis (kontraksi koagulum disertai dengan pengurangan whey).

Selanjutnya, garam kalsium dan phosphor dilepaskan, yang mempengaruhi


konsistensi keju dan membantu meningkatkan kekerasan dadih.

Fungsi penting lain yang dilakukan oleh bakteri pemroduksi asam adalah
menekan bakteri yang tahan pasteurisasi atau rekontaminasi bakteri yang
membutuhkan laktosa atau tidak bisa mentolerir asam laktat.

Produksi asam laktat berhenti ketika semua laktosa dalam keju (kecuali pada
keju tipe lembut) telah terfermentasi. Biasanya fermentasi asam laktat
merupakan proses yang relatif cepat. Pada beberapa tipe keju, seperti Cheddar,
fermentasi harus lengkap sebelum keju dipres, dan pada tipe lain dalam
seminggu.
Jika biakan juga mengandung bakteri pembentuk CO2, pengasaman dadih
disertai dengan produksi karbondioksida, melalui aksi bakteri pemfermentasi
asam sitrat. Biakan turunan campuran dengan kemampuan mengembangkan
CO2 sangat penting untuk produksi keju dengan tekstur lubang-lubang bundar
atau seperti bentuk mata yang tidak beraturan. Gas yang berkembang awalnya
terlarut dalam fase moisture keju; ketika larutan menjadi jenuh, gas dilepaskan
dan membentuk mata-mata. Proses pematangan pada keju keras dan semi-keras
merupakan efek kombinasi proteolitik dimana enzim asli dari susu dan dari
bakteri dalam biakan, bersama dengan enzim rennet, menyebabkan dekomposisi
protein.
Penambahan lain sebelum pembuatan dadih
Kalsium Klorida (CaCl2  )
Jika susu untuk pembuatan keju merupakan kualitas rendah, maka koagulum
akan halus. Hal ini menyebabkan hilangnya “ fines  ” (kasein) dan lemak, serta
sineresis yang buruk selama pembuatan keju.
5-20 gram kalsium klorida per 100 kg susu biasanya cukup untuk mencapai
waktu koagulasi yang konstan dan menghasilkan kekerasan koagulum yang
cukup. Kelebihan penambahan kalsium klorida bisa membuat koagulum begitu
keras sehingga sulit untuk dipotong.

Untuk produksi keju rendah lemak, dan jika secara sah diijinkan, disodium
fosfat(Na2PO4), biasanya 10-20 g/kg, bisa kadang-kadang ditambahkan dalam
susu sebelum kalsium klorida ditambahkan. Hal ini meningkatkan elastisitas
koagulum karena pembentukan koloid kalsium fosfat (Ca3(PO4)2), yang akan
memiliki efek hampir sama dengan tetesan lemak susu yang terperangkap dalam
dadih.
Karbondioksida (CO2)
Penambahan CO2 adalah salah satu cara untuk memperbaiki kualitas susu keju.
Karbondioksida terjadi secara alami dalam susu, tetapi kebanyakan hilang dalam
pemrosesan. Penambahan karbondioksida dengan buatan berarti menurunkan pH
susu; pH asli biasanya berkurang 0.1 sampai 0.3 unit. Hal ini kemudian akan
menghasilkan waktu koagulasi yang lebih singkat. Efek ini bisa digunakan untuk
mendapatkan waktu koagulasi yang sama dengan jumlah rennet yang lebih
sedikit.
Saltpetre (NaNO3  atau  KNO3)
Masalah fermentasi bisa dialami jika susu keju mengandung bakteri asam butirat
(Clostridia) dan/atau bakteri coliform.
Saltpetre  (sodium atau potassium nitrate) bisa digunakan untuk menghadapi
bakteri jenis ini, tetapi dosisnya harus ditentukan secara akurat dengan merujuk
pada komposisi susu, proses yang digunakan untuk keju jenis ini, dan lain-lain;
karena saltpetre  yang terlalu banyak juga akan menghambat pertumbuhan
biang. Overdosis saltpetre  bisa mempengaruhi pematangan keju atau bahkan
menghentikan proses pematangan.
Saltpetre  dengan dosis tinggi bisa merubah warna keju, menyebabkan lapisan-
lapisan kemerah-merahan dan rasa yang tidak murni. Dosis maksimum yang
diijinkan sekitar 30 gram saltpetre  per 100 kg susu. Dalam dekade terakhir ini,
penggunaan saltpetre dipertanyakan dari sudut pandang kedokteran, dan juga
dilarang di beberapa negara.
Bahan-bahan pewarna
Warna keju dalam cakupan yang luas ditentukan oleh warna lemak susu dan
melalui variasi musiman. Warna-warna seperti karoten dan orleana  ,
pewarna anatto  alami, digunakan untuk mengoreksi variasi musiman di negara-
negara dimana pewarnaan diperbolehkan.
Klorofil hijau (pewarna kontras) juga digunakan, contohnya pada
keju blueveined, untuk mendapatkan warna “pucat” yang kontras dengan
birunya biakan mikroorganisme di keju.
Rennet
Kecuali untuk tipe-tipe keju segar seperti keju cottage  dan guarg  dimana
susunya digumpalkan/dikentalkan terutama oleh asam laktat, semua pembuatan
keju tergantung pada formasi dadih oleh aksi rennet atau enzim-enzim sejenis.
Penggumpalan kasein merupakan proses dasar dalam pembuatan keju. Hal ini
umumnya dilakukan dengan rennet, tetapi enzim proteolitik yang lain juga bisa
digunakan, dan juga pengasaman kasein ke titik iso-elektrik (pH 4.6-4.7).

Prinsip aktif pada rennet adalah enzim yang disebut chymosine  , dan


penggumpalan terjadi dengan singkat setelah rennet ditambahkan ke dalam
susu. Ada beberapa teori tentang mekanisme prosesnya, dan bahkan saat ini hal
tersebut tidak dimengerti secara menyeluruh. Bagaimanapun juga, hal ini jelas
bahwa proses berjalan dalam beberapa tahapan; secara umum dibedakan
sebagai berikut:
 transformasi kasein ke parakasein di bawah pengaruh rennet
 pengendapan parakasein didalam ion-ion kalsium yang ada
Keseluruhan proses ditentukan oleh suhu, keasaman, kandungan kalsium susu,
dan juga oleh faktor-faktor lain. Suhu optimum untuk rennet sekitar 40 °C, tetapi
dalam praktik biasanya digunakan suhu yang lebih rendah untuk menghindari
kekerasan yang berlebihan pada gumpalan.

Rennet diekstrak dari perut anak sapi yang masih muda dan dipasarkan dalam
bentuk larutan dengan kekuatan 1:10000 sampai 1:15000, yang berarti bahwa
satu bagian rennet bisa mengentalkan 10000 – 15000 bagian susu dalam 40
menit pada 35 °C . Rennet dari bovine  (termasuk keluarga sapi) dan babi juga
digunakan, sering dikombinasikan dengan rennet anak sapi (50:50, 30:70, dll).
Rennet dalam bentuk bubuk biasanya 10 kali kekuatan rennet cair.
Pengganti rennet hewan
Sekitar 50 tahun yang lalu, penelitian dimulai untuk menemukan pengganti
rennet hewan. Hal ini dilakukan terutama di India dan Israel karena penolakan
para vegetarian untuk menerima keju yang dibuat dengan rennet hewan. Di dunia
Muslim, penggunaan rennet babi sudah jelas hukumnya, dimana merupakan
alasan penting yang lebih jauh untuk menemukan pengganti yang sesuai.
Ketertarikan produk pengganti telah tumbuh lebih luas pada tahun-tahun terakhir
karena keterbatasan rennet hewan yang berkualitas bagus.

Ada dua tipe utama pengganti bahan pengental:

 enzim penggumpal dari tanaman


 enzim penggumpal dari mikroorganisme
Penelitian telah menunjukkan bahwa kemampuan penggumpalan pada umumnya
baik dengan persiapan yang dibuat dari enzim tanaman. Satu kelemahan adalah
bahwa keju sering mengembangkan rasa pahit selama penyimpanan.

Berbagai macam tipe bakteri dan jamur telah diteliti, dan enzim pengentalan
yang diproduksi dikenal dalam berbagai macam nama pasaran. Teknologi DNA
telah digunakan belakangan ini, dan sebuah rennet DNA dengan karakteristik
identik dengan rennet anak sapi saat ini sedang dites secara menyeluruh dengan
satu maksud untuk menjamin persetujuan/penerimaan.
Contoh sebuah tong keju
konvensional pada tahapan-
tahapan yang berbeda :
A : selama pengadukan

B : selama pemotongan

C : selama pengeringan whey

D : selama
pengepresan/penekanan

Sumber :

Dairy Processing Handbook  ,


Tetrapak Swedia

Pemotongan gumpalan
Pe-rennet-an atau waktu penggumpalan pada umumnya sekitar 30 menit.
Sebelum gumpalan dipotong, sebuah tes sederhana biasanya dilakukan untuk
menentukan whey penghilang kualitas. Biasanya, sebuah pisau ditusukkan pada
permukaan gumpalan susu dan kemudian ditarik perlahan-lahan ke atas sampai
terjadi pecahan yang cukup. Dadih bisa dipertimbangkan siap untuk pemotongan
ketika kerusakan seperti gelas pecah/retak dapat diamati. Pemotongan dengan
hati-hati memecah dadih sampai ke dalam granule dengan ukuran 3-15 mm,
tergantung pada tipe keju. Semakin halus potongan, semakin rendah kandungan
air dalam keju yang dihasilkan.

Pra-pengadukan
Segera setelah pemotongan, granule dadih sangat sensitif terhadap perlakuan
mekanik, itulah sebabnya pengadukan harus dilakukan dengan lembut, tetapi
cukup cepat, untuk menjaga granule tercampur dalam whey. Sedimentasi dadih
di dasar tong menyebabkan pembentukan bongkahan-bongkahan. Ini membuat
kerusakan pada mekanisme pengadukkan, dimana pasti sangat kuat. Dadih keju
rendah lemak cenderung kuat untuk tenggelam di dasar tong, yang berarti
bahwa pengadukannya harus lebih sering daripada pengadukan untuk dadih keju
tinggi lemak. Bongkahan-bongkahan bisa mempengaruhi tekstur keju, juga
menyebabkan hilangnya kasein dalam whey.

Pra-pengeringan whey
Untuk beberapa tipe keju, seperti Gouda  dan Edam, diinginkan untuk
membersihkan granule dengan jumlah whey yang banyak sehingga panas bisa
disuplai dengan penambahan langsung air panas ke dalam campuran dadih dan
whey, yang juga dapat merendahkan kandungan laktosa. Beberapa produser juga
mengeringkan whey untuk mengurangi konsumsi energi yang dibutuhkan untuk
pemanasan dadih secara tidak langsung. Untuk setiap tipe keju, sangat penting
bahwa jumlah whey yang sama – biasanya 35%, kadang-kadang sebanyak 50%
volume batch – dikeringkan setiap saat.
Pemanasan/Pemasakan/Pembakaran
Perlakuan panas diperlukan selama pembuatan keju untuk mengatur ukuran dan
pengasaman dadih. Pertumbuhan bakteri pemroduksi asam dibatasi oleh panas,
sehingga digunakan untuk mengatur produksi asam laktat. Selain efek
bakteriologi, panas juga mendukung pemadatan dadih disertai dengan
pengeluaran whey (sineresis).

Tergantung pada tipe keju, pemanasan bisa dilakukan dengan cara-cara sebagai
berikut:

 Dengan steam di dalam tong/jaket tong saja.


 Dengan steam di dalam jaket dikombinasikan dengan penambahan air
panas ke dalam campuran dadih/whey.
 Dengan penambahan air panas ke dalam campuran dadih/whey saja.
Waktu dan suhu untuk pemanasan ditentukan oleh metode pemanasan dan tipe
keju. Pemanasan sampai suhu diatas 40 °C, kadang-kadang disebut pemasakan,
biasanya dilakukan dalam dua tahap. Pada 37 – 38°C aktivitas bakteri asam
laktat mesophilicterhambat, dan pemanasan terhenti untuk mengecek
keasaman, setelah itu pemanasan berlanjut sampai suhu akhir yang diinginkan.
Diatas 44 °C bakteri mesophilic  ternon-aktifkan secara keseluruhan, dan
mereka mati pada suhu 52 °C antara 10 dan 20 menit.
Pemanasan melebihi 44 °C biasanya disebut dengan scalding  (pembakaran).
Beberapa tipe keju, seperti Emmenthal, Gruyère,
Parmesan  dan Grana,  dibakar pada suhu setinggi 50 – 56 °C. Hanya bakteri
pemroduksi asam laktat yang paling tahan panas yang bertahan pada suhu ini.
Salah satunya adalah Propionibacterium freudenreichii ssp. shermanii  , yang
sangat penting dalam pembentukan karakter keju Emmenthal.
Pengadukan akhir
Sensitifitas granule dadih menurun selama proses pemanasan dan pengadukan.
Lebih banyak whey diteteskan dari granule selama periode pengadukan akhir.
Hal ini terutama karena perkembangan asam laktat yang berkesinambungan,
juga karena efek mekanis pengadukan.

Durasi pengadukan akhir tergantung pada keasaman yang diinginkan dan


kandungan air dalam keju.

Pembersihan akhir whey dan prinsip-prinsip


penanganan dadih
Segera setelah keasaman dan kekerasan dadih yang diinginkan telah tercapai –
dan dicek oleh produser – sisa whey dibersihkan dari dadih dengan berbagai
cara, tergantung pada tipe keju.

Keju dengan tekstur granular

Salah satu cara untuk mengambil whey adalah langsung dari tong keju; hal ini
digunakan terutama dengan membuka tong keju secara manual. Setelah
pengeringan whey, dadih disekop kedalam cetakan. Keju yang dihasilkan
memperoleh tekstur dengan lubang-lubang/mata tidak beraturan, juga disebut
tekstur granular, gambar 14.12. Lubang-lubang tersebut terutama terbentuk
karena gas karbondioksida yang biasanya berkembang dengan biakan biang LD
(Lactococcus lactis, Leuconostoc cremoris  dan Lactococcus diacetylactis).
Jika granule-granule dadih terkena udara sebelum dikumpulkan dan dipress,
maka mereka tidak menyatu secara lengkap; banyak kantong-kantong udara
kecil berada pada bagian dalam keju. Karbondioksida yang terbentuk dan
dikeluarkan selama periode pematangan mengisi dan memperbesar kantong-
kantong ini secara bertahap. Lubang yang terbentuk dengan cara ini berbentuk
tak beraturan.
Whey juga bisa dikeringkan dengan memompa campuran dadih/whey melewati
sebuah saringan yang bergetar atau berputar, dimana granule-granule terpisah
dari whey dan disalurkan langsung ke dalam cetakan. Keju yang dihasilkan
memiliki tekstur granular.

Keju bermata bundar

Bakteri pemroduksi gas, mirip dengan yang disebutkan di atas juga digunakan
dalam produksi keju bermata bundar, tetapi prosedurnya agak berbeda.

Menurut metode yang lebih tua, misal untuk produksi keju Emmenthal, dadih
dikumpulkan dalam kain-kain keju ketika masih dalam whey dan kemudian
ditransfer ke cetakan besar di atas kombinasi meja pengeringan dan
pengepresan. Hal ini menghindarkan kontak dadih pada udara sebelum
pengumpulan dan pengepresan, yang merupakan faktor penting untuk
mendapatkan tekstur yang tepat pada tipe keju yang dimaksud.
Penelitian tentang pembentukan lubang bundar/bermata bundar telah
menunjukkan bahwa ketika granule dadih dikumpulkan di bawah permukaan
whey, dadih mengandung rongga-rongga mikroskopis. Bakteri biang mengumpul
di rongga-rongga kecil yang terisi whey ini. Gas terbentuk ketika mereka mulai
tumbuh, awalnya larut dalam cairan, tetapi karena pertumbuhan bakteri
berlanjut, terjadi penjenuhan lokal yang menghasilkan formasi lubang-lubang
kecil. Selanjutnya, setelah produksi gas telah berhenti karena kekurangan
substrat, difusi menjadi proses yang paling penting. Hal ini memperbesar
beberapa lubang yang telah relatif besar, sementara lubang-lubang yang paling
kecil menghilang. Pembesaran lubang-lubang yang lebih besar dengan
mengorbankan yang lebih kecil merupakan salah satu konsekuensi hukum
tegangan permukaan, yang menyatakan bahwa diperlukan tekanan gas lebih
sedikit untuk memperbesar sebuah lubang besar daripada lubang kecil.

Keju bertekstur tertutup


Tipe keju bertekstur tertutup, dimana Cheddar  merupakan contohnya, biasanya
dibuat dengan biakan biang yang mengandung bakteri yang tidak menghasilkan
gas – biasanya bakteri pemroduksi asam laktat strain tunggal
seperti Lactococcus cremonis  dan Lactococcus lactis.
Teknik proses spesifik bisa juga menghasilkan pembentukan rongga-rongga yang
disebut lubang-lubang mekanik. Jika lubang-lubang dalam keju granular atau
bermata bundar memiliki penampakan yang mengkilat, lubang-lubang mekanik
memiliki permukaan bagian dalam yang kasar.

Ketika keasaman whey telah mencapai sekitar 0.2 – 0.22% asam laktat (sekitar
2 jam setelah perennetan), whey dikeringkan dan dadih dikenai suatu bentuk
penanganan khusus yang disebut chedarring.  Setelah semua whey telah
dibersihkan, dadih dibiarkan untuk pengasaman lanjutan dan penutupan. Selama
periode ini, biasanya 2 – 2.5 jam, dadih dibentuk dalam blok-blok yang dibolak-
balik dan ditumpuk.
Perlakuan akhir dadih
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, setelah semua whey bebas telah
dibersihkan, dadih bisa ditangani dengan berbagai macam cara, antara lain:

1. ditransfer langsung ke cetakan (keju granular)


2. pra-pengepresan ke dalam sebuah blok dan dipotong-potong dengan
ukuran yang sesuai untuk ditempatkan dalam cetakan (keju bermata
bundar), atau
3. dikirim ke cheddaring  , fase terakhir dimana meliputi penggilingan ke
dalam kepingan-kepingan yang bisa diasinkan kering dan digelindingkan
atau, jika ditujukan untuk keju tipe Pasta Filata  , ditransfer tanpa diasinkan
ke mesin pemasak-pengulur.
Penekanan (Pengepresan)
Setelah dicetak atau digelindingkan, dadih dikenai penekanan (pengepresan)
akhir, dengan tujuan empat sekaligus :

 untuk membantu pengeluaran whey akhir


 untuk memberikan tekstur
 untuk membentuk keju
 untuk memberikan kulit pada keju-keju dengan periode pematangan yang
panjang
Laju pengepresan dan tekanan yang dilakukan disesuaikan terhadap setiap jenis
keju. Pengepresan seharusnya perlahan-lahan pada mulanya, karena tekanan
tinggi yang awal dapat menekan lapisan permukaan dan mengunci kelembaban
dalam kantong-kantong di badan keju.

Pengasinan/Penggaraman
Pada keju, seperti pada banyak makanan, garam biasanya berfungsi sebagai
bumbu. Tetapi garam memiliki efek-efek penting yang lain, seperti
memperlambat aktifitas biang dan proses-proses bakteri yang berkaitan dengan
pematangan keju. Pemberian garam ke dalam dadih menyebabkan lebih banyak
kelembaban dikeluarkan, baik melalui efek osmotik dan efek penggaraman pada
protein. Tekanan osmotik bisa disamakan dengan pembentukan pengisap pada
permukaan dadih, menyebabkan kelembaban tertarik keluar.
Dengan beberapa pengecualian, kandungan garam keju adalah 0.5 – 2%. Blue
cheesedan varian white pickled cheese  (Feta, Domiati), pada umumnya
memiliki kandungan garam 3 – 7%.
Pertukaran kalsium dengan sodium dalam paracaseinate  yang merupakan hasil
dari penggaraman juga memiliki pengaruh positif pada konsistensi keju, yaitu
keju menjadi semakin halus/lembut. Secara umum, dadih yang dikenai garam
pada pH 5.3 – 5.6 selama 5 – 6 jam setelah penambahan biakan utama,
menyebabkan susu tidak mengandung zat-zat penghambat bakteri.
Pengasinan kering
Pengasinan kering bisa dilakukan baik secara manual maupun mekanik. Garam
dituangkan secara manual dari sebuah ember atau kontainer yang mengandung
jumlah yang cukup, disebarkan secara merata diatas dadih setelah semua whey
dibersihkan. Untuk distribusi yang lengkap, dadih diaduk selama 5 – 10 menit.

Ada berbagai macam cara untuk mendistribusikan garam pada dadih secara
mekanik. Salah satunya sama dengan yang digunakan untuk dosis garam pada
kepingan-kepingan ( chips  ) cheddar  selama tahap akhir proses melalui
mesin cheddaring  yang berkelanjutan.
Pengasinan dengan air garam
Ada berbagai macam desain sistem pengasinan dengan air garam, dari yang
cukup sederhana sampai ke yang lebih maju secara teknik. Sekalipun demikian,
sistem yang paling biasa digunakan adalah menempatkan keju di dalam sebuah
kontainer dengan air garam. Kontainer seharusnya ditempatkan dalam sebuah
ruangan dingin dengan suhu sekitar 12 – 14 °C.
Sistem pengasinan dengan air garam pada industri

Sumber : Dairy Processing Handbook, Tetrapak Swedia

Kandungan garam pada tipe keju yang berbeda


% garam

 Cottage cheese  0.25 – 1.0


 Emmenthal  0.4 – 1.2
 Gouda  1.5 – 2.2
 Cheddar  1.75 – 1.95
 Limburger  2.5 – 3.5
 Feta  3.5 – 7.0
 Gorgonzola  3.5 – 5.5
 Blue cheeses  lain 3.5 – 7.0
Pematangan dan penyimpanan keju
Pematangan
Setelah pendadihan, semua keju, terpisah dari keju segar, melalui serangkaian
proses mikrobiologi, biokimia dan karakter fisik.

Perubahan-perubahan ini mengakibatkan laktosa, protein dan lemak menjadi


suatu siklus pematangan yang sangat bervariasi antara keju keras, sedang, dan
halus/lembut. Perbedaan yang signifikan bahkan terjadi di dalam masing-masing
grup ini.

Dekomposisi laktosa
Teknik-teknik yang telah ditemukan untuk membuat jenis-jenis keju yang
berbeda selalu ditujukan kearah pengontrolan dan pengaturan pertumbuhan dan
aktifitas bakteri asam laktat. Dengan cara ini ada kemungkinan untuk
mempengaruhi secara simultan baik level maupun kecepatan fermentasi laktosa.
Telah dinyatakan sebelumnya bahwa dalam proses pembuatan Cheddar, laktosa
terfermentasi sebelum dadih digelindingkan. Pada jenis-jenis keju yang lain,
fermentasi laktosa sebaiknya dikontrol sedemikian rupa sehingga kebanyakan
dekomposisi laktosa terjadi selama pengepresan keju dan, yang terakhir, selama
minggu pertama atau mungkin pada dua minggu pertama penyimpanan.
Asam laktat yang diproduksi dinetralisir sampai dalam jumlah yang besar di keju
dengan komponen buffering  dari susu, dimana kebanyakan yang telah termasuk
dalam gumpalan. Asam laktat kemudian hadir dalam bentuk laktat pada keju
yang telah lengkap. Pada tahap selanjutnya, laktat memberi substrat yang cocok
untuk bakteri asam propionat yang merupakan bagian penting flora mikrobiologi
dari Emmenthal, Gruyère  dan tipe-tipe keju sejenis.
Disamping asam propionat dan asam asetat, terbentuk karbondioksida dengan
jumlah yang signifikan, dimana merupakan penyebab langsung pembentukan
mata bundar yang besar pada tipe keju yang disebutkan di atas.

Laktat juga bisa dipecah oleh bakteri asam butirat, jika kondisinya sebaliknya
tidak bagus untuk fermentasi ini, dimana terbentuk hidrogen sebagai tambahan
asam lemak dan karbondioksida yang volatil tertentu. Fermentasi ini timbul pada
tahap akhir, dan hidrogen dapat menyebabkan keju menjadi rusak.

Fermentasi laktosa disebabkan oleh adanya enzim laktase dalam bakteri asam
laktat.

Dekomposisi protein
Pematangan keju, terutama keju keras, dicirikan pertama dan terutama oleh
dekomposisi protein. Level dekomposisi protein mempengaruhi kualitas keju
sampai tingkat yang signifikan, kebanyakan mengenai konsistensi dan rasa.
Dekomposisi protein dihasilkan oleh sistem enzim dari

 rennet
 mikroorganisme
 plasmin, suatu enzim pengurai protein
Satu-satunya efek rennet adalah untuk memecah molekul parakasein menjadi
polipeptida. Pemecahan pertama oleh rennet membuat kemungkinan
dekomposisi kasein yang lebih cepat melalui aksi enzim-enzim bakteri daripada
jika enzym-enzym ini harus memecah molekul kasein secara langsung. Pada keju
dengan suhu masak yang tinggi, keju yang dibakar
seperti Emmenthal  dan Parmesan, aktifitas plasmin memainkan peranan pada
pemecahan pertama.
Pada keju-keju yang halus-sedang seperti Tilsiter  dan Limburger, dua proses
pematangan saling terjadi secara paralel, yaitu proses pemasakan normal pada
rennet keju keras dan proses pemasakan pada hapusan (bakteri) yang terbentuk
di permukaan. Pada proses yang disebutkan terakhir, dekomposisi protein
berproses lebih jauh sampai akhirnya ammonia diproduksi sebagai hasil aksi
proteolitik yang kuat dari hapusan bakteri.
Penyimpanan
Tujuan penyimpanan adalah untuk membentuk kondisi eksternal yang penting
untuk mengontrol siklus pematangan keju sepanjang mungkin. Untuk setiap jenis
keju, kombinasi spesifik antara suhu dan kelembaban relatif ( relative
humidity  atau RH) harus dijaga di dalam ruangan penyimpanan yang berbeda
selama masa tahapan-tahapan penyimpanan.
Tipe-tipe keju yang berbeda membutuhkan suhu dan RH yang berbeda dalam
ruang penyimpanan. Kondisi iklim merupakan hal yang sangat penting untuk laju
pematangan, berat susut, pembentukan kulit dan perkembangan
permukaan flora  (di Tilsiter, Romadurdan yang lain) – dengan kata lain untuk
karakter total keju.
Keju dengan kulit, kebanyakan biasanya tipe keras dan semi-keras, bisa diberi
pelapisan emulsi plastik atau parafin atau lapisan lilin. Keju tanpa kulit ditutup
dengan plastik film atau kantong plastik yang dapat menyusut.

 Keju-keju golongan Cheddar  sering dimatangkan pada suhu rendah, 4-8


°C, dan RH lebih rendah dari 80%, karena mereka biasanya dibungkus dalam
plastik film atau kantong dan dikemas dalam karton atau kerangka kayu
sebelum dikirim ke toko. Waktu pematangan bisa bervariasi dari beberapa
bulan sampai 8 – 10 bulan untuk memuaskan kegemaran konsumen yang
beragam.
 Keju-keju seperti Emmenthal  mungkin perlu disimpan dalan ruang keju
“hijau” pada suhu 8 – 12 °C selama 3 – 4 minggu diikuti dengan penyimpanan di
ruang “pemfermentasi” pada suhu 22 – 25 °C selama 6 – 7 minggu. Setelah itu
keju disimpan selama beberapa bulan dalam ruang pematangan pada suhu 8 –
12 °C. Kelembaban relatif untuk semua ruangan biasanya 85 – 90%.
 Tipe-tipe keju dengan perlakuan hapusan/olesan ( smear-treated  )
– Tilsiter, Havartidan yang lain – biasanya disimpan dalam ruang
pemfermentasi selama 2 minggu pada 14 – 16 °C dan RH sekitar 90%, selama
itu permukaan diolesi dengan biakan khusus campuran smear  dengan larutan
garam. Sekali lapisan smear  yang diinginkan telah terbentuk, keju biasanya
dipindah ke ruang pematangan pada suhu 10 -12 °C dan RH 90% selama 2 – 3
minggu lagi.
 Keju-keju seperti Gouda  dan yang sejenis, bisa disimpan pertama kali
untuk beberapa minggu di ruang keju “hijau” pada 10 – 12 °C dan RH sekitar
75%. Setelah itu diikuti dengan periode pematangan sekitar 3 – 4 minggu pada
12 – 18°C dan RH 75 – 80%. Akhirnya keju dipindah ke ruang penyimpanan pada
sekitar 10 – 12 °C dan RH sekitar 75%, dimana karakteristik akhir terbentuk.
Angka-angka yang diberikan untuk suhu dan kelembaban relatif, RH, merupakan
perkiraan dan bervariasi untuk macam-macam keju yang berbeda dalam grup
yang sama.

Referensi
1. Diadopsi dan diringkas dari Dairy Processing Handbook, dikeluarkan oleh
TetraPark, Swedia, http://www.tetrapak.com
2. Kosikowski, F.V., and V.V. Mistry. Cheese and Fermented Milk Foods.
Volume 1: Origins and Principles  . 3rd ed. Westport, Conn.: F.V. Kosikowski,
1997.
3. http://www.nationaldairycouncil.org

Pada industri pembuatan keju terdapat suatu proses koagulasi susu yang menggunakan asam
laktat dengan penambahan enzim rennet. Enzim rennet merupakan enzim protease yang
diperoleh dari abomasum anak sapi berumur 3-4 minggu (Geantaresa dan FM. Titin, 2010;
Putri et al., 2013). Menurut Geantaresa dan FM. Titin (2010), kelemahan dari enzim rennet
adalah jumlahnya yang terbatas dan mahalnya harga enzim rennet. Masalah ini dapat diatasi
dengan penggunaan enzim lain yaitu enzim papain. Menurut Putri et al. (2013), enzim protease
(papain) dapat dihasilkan dengan bantuan amonium sulfat dengan tahapan:
1. Persiapan bahan.
Bahan yang digunakan adalah daging buah pepaya yang telah dipotong kecil-kecil.
2. Pengambilan enzim
Buffer pH 7 dan larutan 0,1% b/v (NaHSO NaCl=1:1) ditambahkan ke potongan daging buah pepaya,
3

kemudian di blender. Filtrat buah pepaya diambil dengan menggunakan proses penyaringan. Filtrat
tersebut kemudian disentrifugasi pada kecepatan 4000 rpm selama 30 menit. Dari proses ini
diperoleh enzim kasar (crude enzyme).
Selain menggunakan daging buah pepaya, enzim kasar papain juga dapat diperoleh dengan bahan
getah buah pepaya yang berumur 2,5-3 bulan. Adapun cara produksinya menurut Geantaresa dan
FM. Titin (2010) adalah dengan mencampurkan getah pepaya dengan larutan 0,1% v/v (NaHSO  : 3

NaCl, 1:1). Kemudian getah pepaya diaduk sampai rata kemudian ditambah dengan 100 ml buffer
fosfat 7. Setelah penambahan tersebut, lalu campuran sebelumnya dibiarkan selama 1 jam pada
suhu 40 C. Untuk mendapatkan supernatant (enzim kasar), campuran akhir yang telah dibuat
o

sebelumnya disentrifugasi pada 1500 rpm selama 20 menit.


3. Pemurnian tahap awal
Setelah diperoleh enzim kasar, ke dalam enzim kasar tersebut kemudian ditambahkan ammonium
sulfat dengan variasi persen kejenuhan 40%, 60% dan 80% b/v (menurut Putri et al  (2013), optimal
pada penambahan 60% ammonium sulfat). Menurut Jumiarti (2012), tujuan dari penambahan
amonium sulfat tersebut adalah menghilangkan partikel atau molekul pengotor seperti organel sel,
karbohidrat atau lipid yang tidak diinginkan agar diperoleh isolat protein (enzim) murni. Kemudian
enzim kasar yang telah ditambah dengan amonium sulfat tersebut didiamkam selama 24 jam pada
suhu 4 C hingga terbentuk endapan. Endapan tersebut kemudian diambil melalui sentrifugasi dan
o

disimpan pada freezer  dengan suhu -20 C.


o
4. Pemurnian tahap lanjut
Endapan enzim yang telah diperoleh dari tahap pemurnian awal kemudian didialisis dengan
melarutkannya ke dalam buffer fosfat pH 7, pada kantung selofan yang diikat dan direndam dalam
buffer pH 6. Kemudian dilakukan proses pengadukan selama 8 jam pada suhu 4 C pada 4 jam o

pertama, dan setiap jam larutan dialisis diganti. Pada langkah akhir, larutan dialisis diuji dengan
BaCl untuk memastikan garam, sulfat dan pengotor-pengotor lainnya telah keluar dari larutan
2

enzim. Adapun prinsip dari dialisis menurut Jumiarti (2012) adalah memisahkan protein (enzim) dari
senyawa berbobot molekul rendah yang berada dalam ekstrak sel. Hal ini dapat terjadi karena
protein (enzim) memiliki ukuran molekul yang besar, sehingga pada akhirnya molekul protein
(enzim) akan terjebak di dalam kantong membran dialisis sementara molekul-molekul kecil akan
berdifusi dengan sendirinya keluar dari kantung membran.
Setelah diperoleh enzim papain, dapat dilanjutkan dengan pengujian terhadap enzim tersebut.
Menurut Putri et al (2013), pengujian yang tersebut antara lain,
1. Uji aktivitas enzim papain
Pengujian ini dilakukan dengan cara mencapurkan 3 mL kasein 1,5% dan 2 mL larutan enzim.
Kemudian dilakukan inkubasi pada suhu 37 C dan dishaker selama 10 menit. Lalu sebanyak 5 mL
o

larutan TCA ditambahkan, kemudian diinkubasi pada suhu 37 C dan dishaker selama 30 menit. o

Setelah dishaker, disentrifugasi dengan kecepatan 13.000 rpm selama 10 menit. Supernatant yang
diperoleh diambil 2 mL lalu ditambah dengan 5 mL Na CO  dan 0,5 mL pereaksi folin. Kemudian 2 3

larutan tersebut diinkubasi pada suhu 37 C dan dishaker selama 30 menit. Setelah proses tersebut,
o

dilakukan peneraan pada panjang gelombang 739 nm. Untuk kurva standar dibuat dengan
konsentrasi tirosin berturut-turut 0 ppm, 10 ppm, 20 ppm, 30 ppm, 40 ppm, dan 50 ppm. Sedangkan
blanko dibuat dengan cara sebelumnya, namun larutan enzim ditambahkan setelah kasein dan
larutan TCA dicampurkan. Pengukuran aktivitas enzim ini dilakukan dengan mengubah nilai
absorbansi menjadi konsentrasi tirosin (μg/mL) dengan kurva standar tirosin. Aktivitas proteolitik
enzim dapat dihitung dengan menggunakan rumus

Keterangan:
[tirosin]         : konsentrasi tirosin (μg/mL)
v                    : volume total sampel (mL)
q                    : waktu inkubasi (menit)
p                    : volume enzim (mL)
fp                  : faktor pengenceran
2. Uji kadar protein (metode Lowry)
Uji ini diawali dengan membuat 2 larutan (A dan B). Larutan A merupakan 2% Na CO  dan 0,02% 2 3
Kalium Natrium tartrat dalam larutan NaOH 0,1 N. Sedangkan larutan B merupakan 1% CuSO .5H O.
4 2

Kemudian 50 mL larutan A dicampur dengan 1 mL larutan B, sehingga terbentuk larutan C (larutan


pembentuk kompleks). Kemudian disiapkan larutan folin ciocalteu yaitu dengan melarutkan pereaksi
folin ciocalteu dalam aquades dengan perbandingan 1:1. Adapun larutan protein standar yang
digunakan adalah 1000mg/L larutan albumin. Sebelumnya kurva standar telah dibuat dengan
konsentarsi albumin berturut-turut 0, 100, 250, 400, 550 dan 700 ppm.
Sampel enzim sebanyak 1 mL ditambah dengan 5 mL larutan C dan dibiarkan pada suhu
kamar selama 10 menit. Kemudian ditambah dengan 0,5 mL reagen Folin-Ciocalteu, lalu
dikocok hingga homogen dan dibiarkan selama 30-60 menit (jangan lebih dari 60 menit).
Dan langkah yang terakhir adalah mengukur absorbansinya pada 749 nm.

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Putri et al (2013), dapat diambil informasi bahwa
hasil pengendapan enzim memiliki nilai aktivitas dan kadar protein enzim yang lebih tinggi jika
dibandingkan dengan ekstrak kasar enzim tanpa pengendapan dan penambahan 60% ammonium
sulfat menunjukkan kenaikan aktivitas enzim serta aktivitasnya mulai turun pada saat konsentrasi
ammonium sulfat mencapai 80%. Sedangkan kadar protein enzim semakin bertambah sejalan
dengan peningkatan konsentrasi amonium sulfat.
Dalam pengaplikasiannya, enzim papain dapat digunakan untuk proses pembuatan keju cottage.
Adapun langkah pembuatan keju cottage dengan menggunakan enzim papain menurut penelitian
Putri et al  (2013) diawali dengan melarutkan 250 gram susu skim dalam 500 mL aquades,
kemudian dipasteurisasi pada suhu 63 C selama 10 menit. Lalu 10% starter campuran
o

(Streptococcus thermophillus, Lactobacillus lactis dan Leuconostoc mesentroides) ditambahkan


dan kemudian disimpan dalam inkubator pada suhu 30 C. Setelah terjadi penurunan pH, larutan
o

dipindahkan kedalam 5 wadah (masing-masing 100 mL). Kemudian larutan enzim papain hasil
pengendapan optimum ditambahkan kedalam masing-masing 3 wadah dengan konsentrasi
berturut-turut 150 (A); 250 (B); dan 350 (C) ppm, wadah berikutnya ditambah dengan ekstrak
kasar tanpa pengendapan (ekstrak kasar enzim) 215 ppm (E), dan satu wadah sisanya tanpa
penambahan enzim papain digunakan sebagai kontrol (K). Setelah dilakukan penambahan enzim,
kemudian diinkubasi pada suhu 30 C sampai diperoleh pH 4,6 – 4,7 (pH isoelektris kasein) dan
o

dicatat lamanya waktu yang dibutuhkan hingga tercapai pH tersebut (waktu koagulasi). Dadih
dan whey dipisahkan dengan pemanasan bertahap dalam waterbath dengan suhu 38 C – 48 C. o o

Kemudian campuran disaring dan dibilas dengan aquades. Dadih yang diperoleh ditambah
dengan garam NaCl 4% (w/w) dari masa dadih, hingga terbentuk keju cottage. Menurut Putri et
al (2013), enzim papain hasil pengendapan ammonium sulfat dengan tingkat kejenuhan 60%
berhasil memberikan waktu pembentukan dadih yang lebih cepat dibandingkan pada keju tanpa
penambahan enzim (kontrol) dan keju dengan penambahan enzim tanpa pengendapan.
Selain dalam pembuatan keju cottage, enzim papain juga dapat digunakan untuk mengempukkan
daging. Menurut Silaban dan Panggabean (2012), enzim papain dapat melunakkan dan
memperpanjang umur simpan daging. Lebih lanjut dijelaskan bahwa enzim papain dengan
pengaktif (1 liter aquades dan 3 gram NaCl) memiliki kemampuan melunakkan dan
memperpanjang umur simpan daging lebih besar jika dibandingkan dengan enzim papain dengan
tanpa menggunakan pengaktif. Adapun pengaplikasian lain dari enzim papain menurut Amri dan
Florence (2012) antara lain; sebagai agen klarifikasi pada beberapa proses di Industri pangan,
untuk menghasilkan kunafa dan makanan manis lokal serta pastry dengan kualitas tinggi,
kemudian meningkatkan meltability  dan stretchability dari keju Nabulsi.
Referensi
Amri, E., dan Florence M. 2012.  Papain, a Plant Enzyme of Biological Importance: a Review.
American Journal of Biochemistry and Biotechnology Vol. 8, No. 2 (102).
Geantaresa, E., dan FM Titin S. 2010. Pemanfaatan Ekstrak Kasar Papain Sebagai Koagulan
Pada Pembuatan Keju Cottage Menggunakan
Bakteri Streptococcus thermophillus, Lactobacillus lactis,dan Leuconostocmesentroides. Jurnal
Sains dan Teknologi Kimia Vol. 1, No. 1 (39).
Jumiarti, P. 2012. Pemurnian dan Karakterisasi Protein Insektisidal dari Bakteri Entomopatogen
Serratia marcescens. Skripsi Departemen Biokimia, Fakultas Matematikan dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
Putri, R. A., Ali K., dan Asep S. 2013. Kajian Penggunaan Amonium Sulfat Pada Pengendapan
(Papain) dari Buah Pepaya Sebagai Koagulan dalam Produksi Keju Cottege. Jurnal Sains dan
Teknologi Kimia Vol. 4, No. 2 (159-168).
Silaban, R., dan Freddy T. M. Panggabean. 2012. Kajian Pemanfaatan Enzim Papain Getah
Buah Pepaya Untuk Melunakkan Daging. Laporan Hasil Penelitian Dosen Guru Besar dan
Doktor Sesuai Keahlian Universitas Negeri Medan (30).
Iklan
REPORT THIS AD

Anda mungkin juga menyukai