Anda di halaman 1dari 13

Upaya Peningkatan Mutu Guru

Oleh : Marijan
Guru di SMPN 5 Wates Kulon Progo
Yogyakarta dan Anggota KGI Kulon
Progo DIY

Perubahan kurikulum pendidikan yang


berganti-ganti diarahkan untuk
meningkatkan mutu pendidikan kita.
Namun apa yang dapat kita saksikan?
Perubahan kurikulum belum mampu
menunjukkan hasil yang memuaskan.
Apabila kita mau jujur, kondisi objektif
yang dapat kita saksikan malahan
bertambah parah.

Upaya pemerintah maupun masyarakat


dalam meningkatkan mutu pendidikan
belum mencapai apa yang diharapkan.
Indikator yang digunakan untuk melihat keberhasilan pendidikan tersebut sebenarnya
tidak tepat.

Pertama, rendahnya hasil perolehan rata-rata nem. Hasil tersebut masih jauh di bawah
standard yang diharapkan. Pemerintah terus berusaha menaikkan angka standard
kelulusan. Akan tetapi setiap angka standard kelulusan dinaikkan dibarengi dengan
penambahan jumlah peserta didik yang tidak lulus. Nilai siswa yang lulus pun rata-
ratanya hanya berada sedikit di atas standard minimal kelulusan.

Kedua, menurunnya nilai aspek nonakademis. Banyak kritik dilontarkan berkaitan


dengan masalah moral, kreativitas, kemandirian, sikap demokratis dan kedisiplinan yang
dilakukan masyarakat pelajar maupun orang-orang mantan pelajar. Hal ini sebagai akibat
pembelajaran yang terjadi hanya mengejar berkembangnya IQ dan mengesampingkan EQ
dan SQ. Padahal dalam kehidupan di masyarakat justru EQ dan SQ lebih penting
daripada IQ. Ditegaskan oleh Goleman (1996) dalam penelitiannya bahwa IQ hanya
berperan 20 % dan EQ justru berperan 80% untuk menopang kesuksesan hidupnya.

Ketiga, rendahnya kompetensi guru. Rendahnya kompetensi guru ini disebabkan oleh
kompleksitas kondisi yang mengelilingi guru. Adapun kondisi yang dimaksud adalah :
a) masih banyak guru mengajar bukan pada bidang tugasnya. Hal demikian berakibat
pada penguasaan dan penyampaian materi tidak dapat berlangsung secara optimal.
Alasannya pun sangat bervariasi yakni, di sekolah tidak ada guru lulusan bidang studi
tertentu dan demi pemerataan jam mengajar.
b) Guru tidak konsen pada tugasnya. Guru masih mencari uang melalui pekerjaan lain.
Hal ini disebabkan gaji yang diterima tidak mencukupi untuk menopang kebutuhan
hidupnya. Konsentrasi kesibukannya justru lebih tinggi untuk pekerjaan lain, bukan
pekerjaan yang berkaitan dengan persiapan proses pembelajaran.
c) Masih banyak guru gagap teknologi, wawasan kependidikannya picik, keterampilan
mengajar kurang optimal, tidak terampil mengoperasikan komputer, cakrawala pandang
wawasan kependidikan yang dapat diakses melalui internet tak dapat tercapai oleh karena
belum mengenal internet
d) Motivasi kerja guru yang rendah. Motivasi kerja yang rendah ini dapat disimak melalui
sikapnya dalam mempersiapkan RPP, silabus, perangkat penilaian dan perangkat
pembelajaran lainnya. Pengadaan perangkat pada umumnya hanya berupa foto kopi
teman sekolah lain. Hal lain sebagai indikator motivasi kerja rendah adalah belum
terciptanya budaya membaca bagi kalangan guru. Artinya, membaca untuk menambah
pengetahuan yang berkaitan dengan materi pelajaran dari berbagai referensi ataupun
membaca rang berkaitan dengan wawasan kependidikan belum banyak dilakukan oleh
sebagian besar guru. Padahal membaca mempunvai kontribusi yang sangat besar bagi
pengembangan profesi guru. Berdasarkan kondisi di atas perlu adanya gerakan serentak
memperbaiki mutu guru Indonesia. Gerakan ini menyangkut pihak pemerintah, lembaga
pencetak guru, kemauan guru itu sendiri dan masyarakat sebagai agen pemasok calon
guru maupun pengguna guru. Upaya apa yang seharusnya dilakukan ?

Pertama, rekrutmen calon guru hendaknya bersifat profesional. Rekrutmen dilakukan


dengan cara tes baik tertulis, lisan maupun mikroteaching di hadapan penguji. Calon guru
yang diiuluskan hendaknya yang benar-benar memenuhi syarat dalam tugas mengajar.
Baik kedalaman pengetahuan materi bidang tugasnya maupun strategi dan metodologi
mengajar hendaknya bernilai tinggi. Performance sebagai calon guru juga tidak
meragukan. Sebagai data pendukung secara administrasi adalah Indeks Prestasi (1P) yang
dimiliki dalam transkip nilai. Indeks Prestasi mestinya menjadi bagian dari proses
penilaian bagi calon guru. Selama ini indeks prestasi calon guru tidak pernah
diperhitungkan dalam penilaian.

Kedua, guru hendaknya diberi motivasi untuk terus belajar. Kepala sekolah diharapkan
sangat peduli dengan peningkatan mutu guru melalui peningkatan belajarnya. Guru yang
termotivasi untuk terus belajar akan bertambah semangat dalam melaksanakan tugasnya
sebagai pemandu proses pembelajaran yang baik. Ketiga, guru hendaknya diikutkan
penataran atau diklat yang berhubungan dengan profesi keguruannya. Penataran atau
diklat bagi guru sangat penting dalam upaya peningkatan mutu kaitannya dengan proses
pembelajaran, pengetahuan baru dan berbagai strategi dan metode pembelajaran.

Keempat, guru hendaknya diberdayakan menulis. Menulis dimaksud adalah membuat


karya ilmiah baik berupa, buku, diktat, laporan penelitian, ilmiah populer maupun ulasan
terhadap berbagai buku baik tentaing pendidikan dan kebijakan- kebijakannya yang
sering terasa kontroversial. Guru diharapkan mempunyai target menulis dalam jangka
waktu tertentu di berbagai wadah karya guru misalnya buletin pendidikan yang
diterbitkan oleh dinas pendidikan kabupaten, dinas pendidikan propinsi, dinas pendidikan
pusat, majalah-majalah pendidikan , koran harian serta jurnal pendidikan. Di setiap
sekolah hendaknya perlu diterbitkan majalah sekolah guna merangsang guru dan murid
bisa menulis. Guru yang sering menulis akan termotivasi untuk maju. Motivasi inilah
embrio dari terciptanya guru profesional. Sikap ingin mencari pengetahuan lewat
tnembaca akan terbentuk dengan sendirinya. Menghargai tulisan orarng lain menjadi
bagian dari sikap penulis. Sikap tidak loyo terpantul dari kegigihan menulis yang tak
henti-hentinya. Inilah sikap-sikap yang perlu dikembankan dan dibudayakan melalui
pembiasaan dan pemberdayaan untuk menulis karya. ilmiah.

Kelima, guru hendaknya dirangsang untuk meningkatkan mutu mengajar dengan


berbagai metode. Pengembangan proses pembelajaran memang patut segera.
direalisasikan. Oleh karenanya pihak pemerintah melalui sekolah hendaknya mendukung
dengan menyediakan media dan alat pembelajaran yang memadai. Tanpa adanya
dukungan media dan alat , pembelajaran belum bisa menarik dan menyenangkan
sebagaimana digembor-gemborkan, yakni pembelajaran bernuansa PAIKEM (Produktif,
Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan). Berbagai metode perlu dicoba untuk
mendukung tercapainya pembelajaran yang PAIKEM seperti disebut di atas. Guru yang
bagus dalam penyampaian materi melalui berbagai metode perlu mendapatkan reward
yang bermakna. Kepala sekolah tidak perlu pelit memberikan pujian terhadap guru rang
berhasil. Agar tidak terlena dalam nikmatnya pujian, pemantauan terhadap proses
pembelajaran di kelas terns diupayakan. Dengan pemantauan yang sering dilakukan akan
mendorong semangat guru dalam melakukan proses yang baik .
http://www.klubguru.com/2-view.php?
subaction=showfull&id=1262029576&archive=&start_from=&ucat=2&

• Forum Diskusi
• Tampilan Topik

Topik: Memingkatkan Kualitas Guru Bahasa Indonesia


Ddengan Mengembangkan Kecerdasan Ganda
(bagian1)
Menampilkan satu-satunya kiriman.

Dony Hindratmo Memingkatkan Kualitas Guru Bahasa Indonesia Ddengan


Mengembangkan Kecerdasan Ganda

Oleh: Yani Paryono

Pendahuluan

Berbagai sinyalemen, dugaan, dan fakta menyatakan bahwa mutu pendidikan dan
pembelajaran di Indonesia rendah, bahkan sangat rendah. Data Human
Development Index (HDI) tahun 1999 s.d. 2001 menempatkan Indonesia pada
posisi 105 s.d. 109 di antara 175 negara jauh di bawah tiga negara tetangga
Indonesia.

Hasil survai Political and Economic Rick Consultancy (PERC) yang berpusat di
Hongkong menunjukkan bahwa di antara 12 negara yang disurvai, sistem dan
mutu pendidikan Indonesia menempati urutan 12 di bawah Vietnam (Tim BBE,
2001).

Salah satu indikasi dapat dilihat dari nilai rata-rata UAN selama sepuluh tahun
terakhir juga menunjukkan bahwa prestasi belajar siswa-siswa Indonesia
tergolong rendah. Berbagai sinyalemen dan dugaan banyak kalangan juga relatif
senada. Jika semua dugaan dan data tersebut cermat dan benar, hal ini merupakan
isyarat keterpurukan mutu pendidikan khususnya mutu pembelajaran Indonesia;
isyarat rendahnya mutu dan prestasi pembelajaran di Indonesia. Rendahnya
kualitas pendidikan khususnya pembelajaran di Indonesia merupakan cerminan
rendahnya atau kurangnya kualitas profesionalnya guru dalam melaksanakan dan
mempertanggungjawabkan pembelajaran, di samping banyak faktor lain. Secara
langsung banyak kalangan

Secara langsung banyak kalangan menyatakan bahwa profesionalitas guru-guru


Indonesia secara umum termasuk guru bahasa Indonesia masih memprihatinkan
dan mengidap penyakit kronis, bahkan sangat memprihatinkan dibandingkan
dengan profesionalitas guru-guru di negara lain. Kondisi objektif di lapangan
memang menunjukkan tanda-tanda masih kurang atau rendahnya profesional,
antara lain:

(1) Masih banyak guru bahasa Indonesia yang bertugas di SD/MI maupun di
SMP/MTs dan SMA/MA yang tidak berlatar pendidikan sesuai dengan ketentuan
dan bidang studi yang dibinanya. Contoh di sebagian besar Madura masih banyak
guru bahasa Indonesia MI yang berlatar belakang lulusan pondok pesantren.
Demikian juga, di sebagian besar Jawa Timur juga masih banyak guru MI yang
berlatar belakang pondok pesantren;

(2) Masih banyak guru yang memiliki kompetensi keilmuan dan profesionalitas
rendah dan memprihatinkan;

(3) Masih banyak guru yang kurang terpacu dan termotivasi untuk
memberdayakan diri, mengembangkan profesionalitas diri dan memuthakirkan
pengetahuan mereka secara terus menerus- menerus dan berkelanjutan meskipun
cukup banyak guru Indonesia yang sangat rajin mengikuti program pendidikan.

(4) Masih banyak guru yang kurang terpacu, terdorong dan tergerak secara pribadi
untuk mengembangkan profesi mereka sebagai guru. Para guru umumnya masih
kurang mampu menulis karya ilmiah bidang pembelajaran, menemukan teknologi
sederhana dan tepat guna bidang, membuat alat peraga pembelajaran, dan atau
menciptakan karya seni.

(5) Hanya sedikit guru Indonesia yang secara sungguh-sungguh, penuh kesadaran
diri dan kontinu menjalin kesejawatan dan mengikuti pertemuan–pertemuan untuk
mengembangkan profesi .

Kelima hal di atas setidak-tidaknya merupakan bukti pendukung bahwa mutu


profesionalitas guru di Indonesia masih rendah. Kurang memuaskan, bahkan
memprihatinkan meskipun berbagai upaya pengembangan dan peningkatan mutu
profesionalitas sudah dilakukan oleh pemerintah. Hal itu terjadi karena terdapat
berbagai kendala pengembangan dan peningkatan mutu profesionalitas guru di
Indonesia, di antaranya adalah;

(a) Kendala personal berupa rendahnya kesadaran guru untuk mengutamakan


mutu dalam pengembangan diri, kurang termotivasinya guru untuk memiliki
program terbaik bagi pemberdayaan diri, tertanamnya rasa tidak berdaya dan
tidak mampu untuk mengembangkan profesi.

(b) Kendala ekonomis berupa terbatasnya kemampuan financial guru untuk


swecara berkelanjutan mengembangkan diri, amat rendahnya penghasilan sebagai
guru sehingga memaksa mereka bekerja macam-macam, dan banyaknya pungutan
dan pembiayaan kepada mereka sehingga mengurangi kemampuan ekonomis
untuk mengembangkan profesi.

(c) Kendala struktural berupa banyaknya pihak yang mengatur dan mengawasi
guru sehingga mereka tak bisa bekerja dengan tenang, rumitnya jenjang dan jalur
pengembangan profesi dan karier sehingga mereka merasa tidak berdaya dan
terlalu ketat dan kakunya berbagai birokrasi yang mengikat para guru sehinngga
tidak mampu mengembangkan kreativitas.

(d) Kendala sosial berupa rendahnya penghargaan masyarakat terhadap profesi


guru, kurangnya partisipasi masyarakat dalam upaya pengembangan profesi guru,
dan kurangnya fasilitas sosial bagi pengembangan profesi guru.

(e) Kendala budaya berupa rendahnya budaya kerja berorientasi mutu hingga para
guru bekerja seadanya.

Berbagai kendala tersebut berkorelasi dengan faktor-faktor lain di luar bidang


pendidikan dan pembelajaran sehingga membuat para guru tidak berdaya, tidak
otonomi dan berdaulat. Kendala-kendala tersebut selain dapat diatasi dengan
strategi personal, ekonomis, struktural, social, dan kultural juga dapat diatasi
dengan mengembangkan kecerdasan ganda (multiple intelligences).

Kecerdasan Ganda (Multiple Intelligences)


Salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas guru bahasa
Indonesia adalah dengan cara mengembangkan kecerdasan ganda yang telah
dicetuskan Howard Gardner. Gardner mendefinisikan intelegensi sebagai
kemampuan memecahkan persoalan dan menghasilkan produk baru dalam suatu
latar yang bermacam-macam dan dalam situasi yang nyata (1983;1993). Suatu
kemampuan dapat disebut intelegensi bila menunjukkan suatu kemahiran dan
keterampilan seseorang untuk memecahkan persoalan dan kesulitan yang
ditemukan dalam hidupnya. Selanjutnya, dapat pula menciptakan suatu produk
baru, dan bahkan dapat menciptakan persoalan berikutnya yang memungkinkan
pengembangan pengetahuan baru. Dengan demikian ada unsur pengetahuan dan
keahlian. Syarat kemampuan itu bersifat universal. Kemampuan pada dasarnya
merupakan unsur biologis karena otak seseorang bukan sesuatu yang terjadi
karena latihan. Kemampuan sudah ada sejak orang lahir meskipun dalam
pendidikan dapat dikembangkan.

Kemampuan manusia memunyai delapan kriteria yang sering digunakan untuk


menentukan apakah kemampuan itu merupakan intelegensi. (Gardner dalam
Suparno, 22--25) Kriteria tersebut adalah sebagai berikut.

(1) Terisolasi dalam bagian otak tertentu. Kemampuan itu bersifat otonom, lepas
dari kemampuan yang lain, terisolasi dari yang lain. Bila kemampuan itu hilang
karena kerusakan otak, tidak akan mempengaruhi kerusakan kemampuan lainnya.

(2) Kemampuan itu independen. Kemampuan pada diri seseorang saling


independen, tidak terkait secara ketat sehingga dapat dianggap sebagai intelegensi
yang berdiri sendiri.

(3) Memuat satuan operasi khusus. Intelegensi mengandung unsur satuan operasi
khusus untuk bereaksi terhadap input yang datang. Setiap intelegensi mengandung
keterampikan operasi tertentu yang berbeda satu sama dan dengan keterampilan
operasi tertentu itu seseorang dapat mengekspresikan kemampuannya dalam
menghadapi persoalan.

(4) Memunyai sejarah perkembangan sendiri. Setiap intelegensi memunyai waktu


sendiri dalam berkembang, menuju puncak lalu akan turun.

(5) Berkaitan dengan sejarah evolusi zaman dulu. Setiap intelegensi dapat dilihat
sejarah evolusinya pada kejadian dulu.

(6) Dukungan psikologi eksperimental. Dari tugas-tugas psikologi yang diberikan


tampak bahwa intelegensi bekerja saling terisolasi. Misalnya, yang kuat membaca
belum tentu kuat dalam matematika.

(7) Dukungan dari penemuan psikometrik. Hasil dari beberapa tes psikologi
standar meyakini bahwa intelegensi yang ditemukan Gardner benar.
(8) Dapat disimbolkan. Salah satu tanda tingkah laku intelegensi manusia adalah
kemampuan untuk menggunakan simbol dalam hidup Misalnya intelegensi
linguistik dengan bahasa fonetik, intelegensi matematis-logis dengan bahasa
komputer, intelegensi visual dengan bahasa ideografik, intelegensi kinestik-
badani dengan bahasa tanda, intelegensi musikal dengan sistem notasi musik,
intelegensi interpersonal dengan bahasa wajah dan isyarat, dan intelegensi
intrapersonal dengan simbol diri.

Howard Gardner dari Manchester Instituite of Technology (MIT) ahli psikologi


menemukan bahwa dalam diri manusia terdapat berbagai kecerdasan yang dikenal
dengan nama kecerdasan ganda (multiple intelligences, MI). Hasil penelitian
Gardner

(dalam Lazier, 1991; Armstrong, 2002) menunjukkan bahwa MI terdiri atas


sekurang-kurangnya sembilan macam kecerdasan. Kesembilan macam kecerdasan
itu adalah sebagai berikut.

(1) Kecerdasan verbal/bahasa (verbal/linguistic intelligence, yaitu kecerdasan


yang berkaitan dengan penguasaan kosakata atau bahasa lisan maupun tulis, dan
secara luas, komunikasi. Kecerdasan ini menggambarkan kemampuan memakai
bahasa secara jelas melalui membaca, menulis, mendengar, dan berbicara.

(2) Kecerdasan logika/matematika (logical/mathematical intelligence), yaitu


kecerdasan yang berkaitan erat dengan berpikir deduktif-induktif/beralasan,
numerasi, dan pola-pola berpikir abstrak. Ciri ragam kecerdasan ini adalah pada
kemampuan memecahkan berbagai masalah abstrak dan memahami hubungan
sebab akibat.

(3) Kecerdasan visual/keruangan (visual/spatial intelligence), yaitu kecerdasan


yang berkenaan dengan gambar-gambar. Kecerdasan ini berupa kemampuan
merasakan dunia visual secara akurat, membentuk kemampuan menggunakan
indera penglihatan dan kesanggupan untuk memvisualisasikan objek, termasuk
kemampuan untuk mengkreasi imaji-mental/merlukis.

(4) Kecerdasan tubuh/indera peraba (body/kinesthetic intelligence), yaitu


kecerdasan yang berkaitan dengan gerak fisik (gerak tubuh dan anggota tubuh) ;
termasuk syaraf otak motorik yang mengontrol gerak tubuh dan anggota tubuh;

(5) Kecerdasan musik/ritmis (musical/rhythmic intelligence), yaitu kecerdasan


yang yang berkaitan dengan nada, irama, pola titi nada, dan warna nada.
Kecerdasan ini berupa tingkatan sensitivitas pada pola-pola suara dan kemampuan
untuk merespon musik secara emosional.

(6) Kecerdasan interpersonal (interpersonal intelligence) adalah kecerdasan yang


terkait dengan pemahaman social. Kecerdasan ini berupa kemampuan untuk
berhubungan dengan orang lain melalui membaca berbagai suasana hati,
temperamen, motivasi, dan tujuan orang lain.

(7) Kecerdasan Intrapersonal (intrapersonal intelligence) adalah kecerdasan yang


berkenaan dengan pengetahuan-diri. Ciri kecerdasan ini adalah kemampuan untuk
memahami diri sendiri dan kemampuan untuk bertanggung jawab atas konsep-
diri, sikap perilaku, perasaan, dan tindakan yang dilakukan.

(8) Kecerdasan naturalis (naturalist Intelligence) adalah kecerdasan yang terkait


dengan kemahiran dalam mengenali dan mengklasifikasi banyak spesies-flora dan
fauna dalam lingkungan seseorang.

(9) Kecerdasan eksistensial (existensial intelligence), yaitu kecerdasan yang


berkenaan dengan kemampuan menempatkan diri dalam jangkauan wilayah
kosmos yang terjauh—yang tak terbatas dan menempatkan diri sendiri dalam cirri
manusiawi yang paling eksistensial.

Mengembangkan Kecerdasan Ganda bagi Guru Bahasa Indonesia

Kualitas guru dapat ditinjau dari dua segi, dari segi proses dan dari segi hasil. Dari
segi proses guru dikatakan berhasil apabila mampu melibatkan sebagian besar
peserta didik secara aktif, baik fisik, mental, maupun sosial dalam proses
pembelajaran. Di samping itu, dapat dilihat dari gairah dan semangat
mengajarnya, serta adanya percaya diri. Adapun dari segi hasil, guru dikatakan
berhasil apabila pembelajaran yang diberikannya mampu mengubah perilaku
sebagian besar peserta didik ke arah penguasaan kompetensi dasar yang lebih baik
(Usman, 2006). Hal itu sesuai dengan UU Guru dan Dosen Bab IV Pasal 8 yang
menyatakan bahwa “Guru wajib memiliki kualifikasi akadmik, kompetensi,
sertifikat pendidikan, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk
mewujudkan tujuan pendidikan nasional”.

Usaha meningkatkan kualitas guru merupakan suatu proses yang kompleks, dan
melibatkan berbagai faktor yang saling terkait. Oleh karena itu, dalam
pelaksanaannya tidak hanya menuntut keterampilan teknis dari para ahli terhadap
pengembangan kompetensi guru, tetapi harus pula dipahami berbagai faktor yang
mempengaruhinya. Salah satunya adalah faktor kecerdasan ganda pada anak yang
beragam. Kecerdasan ganda berperan penting dalam keberhasilan pembelajaran di
sekolah. Guru sebagai orang yang paling bertanggung jawab dalam dunia
pembelajaran dituntut dapat memahami dan mengembangkan kecerdasan ganda
sebagai bekal untuk meningkatkan kualitas dalam pembelajaran.

Kualitas guru bahasa Indonesia dalam dunia pendidikan dirasakan masih banyak
yang belum memenuhi standar. Parameter profesi bagi seorang guru yang sesuai
dengan Undang-Undang Guru dan Dosen Nomor 14 Tahun 2005 adalah guru
wajib memiliki loyalitas dan dedikasi, kualifikasi akademik, kompetensi,
sertifikat pendidik, tanggung jawab, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki
kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Untuk dapat menjadi
pendidik yang profesional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, guru
perlu mengembangkan kecerdasan ganda sebagai bekal untuk mengabdikan diri
dalam dunia pendidikan

Secara ideal guru bahasa Indonesia adalah orang yang memiliki kecerdasan
linguistik, yaitu kecerdasan yang berkaitan dengan kemampuan berbahasa baik
secara lisan maupun secara tulis. Namun, tidak semua guru bahasa Indonesia
memiliki kecerdasan linguistik. Guru bahasa Indonesia berasal dari latar belakang
kecerdasan yang berbeda, bahkan ada dari disiplin ilmu yang berbeda (bukan
sarjana pendidikan bahasa dan sastra Indonesia). Oleh karena itu, salah satu
alternatif untuk meningkatkan kualitas keprofesionalitasnya dengan
mengembangkan kecerdasan ganda.

Salah satu teknik yang paling efektif agar dalam menjalankan tugas sebagai guru
dapat berhasil. Seorang guru disarankan harus dapat mengetahui semua latar
belakang kecerdasan yang dimiliki anak didik, mengembangkan model mengajar
dengan berbagai kecerdasan (bukan hanya dengan kecerdasan yang menonjol
pada diri guru), dalam mengevaluasi kemajuan siswa, guru perlu menggunakan
berbagai model yang cocok dengan kecerdasan ganda.

A. BERBAGAI ORGANISASI PROFESI GURU/KEPENDIDIKAN


Didalam perkembangannya organisasi guru teah banyak mengalami diferensinya dan di
versifikasi. Sebagaiaman telah dinyatakan dalam UU No. 20 tahun 2003 Pasal 1 ayat (6)
bahwa “ Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen,
konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator dan sebutan lain yang
sesuai dengan kekhususnya seta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan”.
Akan tetapi yang perlu di ingat bahwasannya setiap organisasi kependidikan
guru/kependidikan dapatnya memberi manfaat bagi anggotanya, baik melindungi
anggotanya dan melindungi masyarakat.

B. MAFAAT ORGANISASI PROFESI BAGI GURU


Suatu profesi muncl berawal dari adanya public trust kepercayaan masyarakat (Bigs dan
Blocher, 1986: 7). Kepercayaan masyarakat yang menjadi penopang suatu profesi
didasari oleh ketiga perangkat keyakinan.
1. Kepercayaan terjadi dengan adanya suatu persepsi tentang kompetensi.
2. Adanya persepsi masyarakat bahwa kelompok-kelompok profeional mengatur dirinya
dan lebih lanjut diatur oleh masyarakat berdasarkan minat dan kepentingan masyarakat .
3. Persepsi yang melahirkan kepercayaan masyarakat itu ialah anggota-anggota suatu
profesi miliki motivasi untuk memberikan layanan kepada orang-orang dengan siapa
mereka bekerja.
Konsepsi profesi, seperti diatas merupakan refleksi nurani pihak professional yang
pernyataannya tersurat dan tersirat dalam standart difikasi, yang selanjutnya disebut kode
etik. Bahwasannya hakikat profesi adalah suatu pernyataan atau suatu janji yang terbuka.
Oleh karena itu, seorang profeional yang melanggat standart etis profesinya akan
berhadapan dengan sanksi tertentu.
1. Ciri-ciri Profesi
Menurut Erick Hoyle (1969 : 80-85) mengemukakan enam cirri profesi, yakni :
a. a profession perform on essential social service (suatu profesi menunjukan suatu
pelayanan sosial)
b. a profession is founded upon a systematic body of academicof knowledge (suatu
profesi didasari oelh tubuh keilmuan yang sistematis)
c. a profession requires a lengthy period of academic and praticel training (suatu profesi
memerlukan suatu pendidikan dan latihan dalam periode waktu cukup lama)
d. a profession has a light degree of autonomy (suatu profesi memiliki otonomi yang
tinggi)
e. a profession has a code of ethies (suatu profesi memiliki kode etik)
f. a profession generate in service growth (suatu profesi berkembang dalam proses
pemberian layanan)
2. Organisasi Profesi Pendidikan
Seberapa banyak cirri-ciri suatu profesi sudah ada dalam pekerjaan sebagai
pendidik/guru. Perlu diketahui bahwa pekerjaan itu menuntut keterampilan tertentu yang
dipersiapkan melalui proses pendidikan dan latihan yang relatif lama.

C. FUNGSI ORGANISASI PROFESI KEPENDIDIKAN


Organisasi kependidikan selain sebagai cirri suatu profesi kependidikan, sekaligus juga
memiliki fungsi sebagai pemersatu seluruh anggota dalam kiprahnya menjalankan
tugasnya, dan memiliki fungsi peningkatan kemampuan professional, kedua fungsi
tersebut dapat dipaparkan sebagai berikut :
1. Fungsi pemersatu
Kdorongan yag menggerakkan pada professional untuk membentuk suatu organisasi
keprofessian. Secara intrinstik, para professional terdorong oleh keinginanya
mendapatkan kehidupan yang layak, sesuai dengan profesi yang diembannya. Kedua
motif tersebut sekaligus merupakan tantangan bagi pengembangan suatu profesi yang
secara teoritas sangat sulit dihadapi dan diselesaikan.
2. Fungsi Peningkatan Kemampuan Profesional
Fungsi ini telah tertuang dalam PP No. 38 tahun 1992, pasal 61 yang berbunyi ; “ Tenaga
kependidikan dapat membentuk ikatan profesi sebagai wadah untuk peningkatkan dan
mengembangkan karier, kemampuan, kewenangan professional, martabat, dan
kesejahteraan tenaga kependidikan.
Menurut Johnson (Abin Syamsuddin, 1999 :72), kompetensi kependidikan dibangun oleh
enam perangkat kompetensi berikut ini :
a. Performance component, yaitu unsur kemampuan penampilankinerja yang sesuai
dengan profesi kependidikan
b. Subject component, yaitu unsur kemampuan penguasaan bahan/substansi pengetahuan
yang relevan.
c. Profesional component, yaitu unsur kemampuan penguasaan subtansi pengetahuan dan
ketarampilan teknis profesi kependidikan.
d. Process component, yaitu unsur kemampuan penguasaan proses-proses mental
mencakup berpikir logis dalam pemecahan masalah.
e. Adjustment component, yaitu unsur kemampuan penyerasian dan penyesuaian diri
berdasarkan karakteristik pribadi pendidik.
f. Attitudes component, yaitu unsur komponen sikap, nilai, kepribadian pendidik/guru.

D. TUJUAN ORGANISASI PROFESI KEPENDIDIKAN


Menurut visinya secara umum ialah terwujudnya tenaga kependidikan yang professional
1. Meningkatkan dan mengembangkan karier anggota, hal itu merupakan upaya
organisasi dalam bidang mengembangkan karir anggota sesuai bidang pekerjannya.
2. Meningkatkan dan mengembangkan kemampuan anggota, merupakan upaya
terwujudnya kompetensi kependidikan yang handal pada diri tenaga kependidikan
3. Meningkatkan dan mengembangkan kewenangan profeional anggota merupakan upaya
para professional untuk menempatkan anggota suatu profesi sesuai kemampuan.
4. Meningkatkan dan mengembangkan martabat anggota, merupakan upaya organisasi
profesi kependidikan agar anggotanya terhindar dari perlakuan tidak manusiawi.
5. Meningkatkan dan mengembangkan kesejahteraan merupakan upaya organisasi profesi
kependidikan untuk meningkatkan kesejahteraan lahir batin anggotanya.

E. RAGAM BENTUK PARTISIPASU GURU


Bentuk partisipasi anggota profesi tidak sebatas terdaftar menjadi anggota dengan
memberikan sejumlah iuran rutin, namun lebih dalam bentuk nyata yang bersifat
professional. Beberapa bentuk partisipasi dalam organisasi profesi guru bias berupa :
1. Aktif mengomunikasikan berbagai pikiran dan pengalaman yang mengarah kepada
pembaharuan dan perbaikan mutu pendidikan.
2. secara aktif melakukan evaluasi diri, baik secara perorangan mapun kelompok dalam
hal praktek professional dengan mengacu kepada standart profesi yang telah ditetapkan
oleh organisasi
3. Bentuk partisipasi mewujudkan perilaku dan sikap professional dalam kehidupan dan
lingkungan kerja guru

Diterbitkan di: Januari 29, 2010


http://id.shvoong.com/books/dictionary/1968825-organisasi-profesi-guru/

Mengangkat Citra dan Martabat Guru

Ditulis oleh rastodio pada August 9th, 2009 No Comments »

AGAKNYA semua orang sepakat bahwa the children of today are the leaders of
tomorrow, dan salah satu cara terbaik untuk mewujudkannya adalah melalui pendidikan.
Berkaitan dengan hal ini, guru merupakan salah satu kunci keberhasilan pendidikan,
sebab inti kegiatan pendidikan di sekolah adalah belajar mengajar yang memerlukan
peran guru di dalamnya. Sidi (2000) dalam Mustafa (2005) mengemukakan berdasarkan
hasil studi di negara-negara berkembang, guru memberikan sumbangan dalam prestasi
belajar siswa (36%), selanjutnya manajemen (23%), waktu belajar (22%), dan sarana
fisik (19%).

Memang harus diakui maraknya arus informasi dewasa ini, guru bukan lagi satu-satunya
sumber informasi tetapi merupakan salah satu sumber informasi. Meskipun demikian
perannya dalam proses pendidikan masih tetap diperlukan, khususnya yang berkenaan
dengan sentuhan-sentuhan psikologis dan edukatif terhadap anak didik.

Slogan pahlawan tanpa tanda jasa senantiasa melekat pada profesi guru. Hal ini
didasarkan pada pengabdiannya yang begitu tinggi dan tulus dalam dunia pendidikan.
Tidak hanya itu, sikap kearifan, kedisiplinan, kejujuran, ketulusan, kesopanan serta
sebagai sosok panutan menjadikan profesi satu ini berbeda dengan yang lain. Lantaran
tanggung jawab dari profesi guru tidak berhenti pada selesai ia mengajar, melainkan
keberhasilan siswa dalam menangkap, memahami, mempraktekkan serta mengamalkan
ilmu yang diterima dalam kehidupan sehari-hari baik langsung maupun tak langsung. Hal
ini membuat citra seorang guru di mata masyarakat selalu berada di tempat yang lebih
baik dan mulia. Djamin (1999) mengemukakan citra guru mempunyai arti sebagai suatu
penilaian yang baik dan terhormat terhadap keseluruhan penampilan yang merupakan
sosok pengembang profesi ideal dalam lingkup fungsi, peran dan kinerja. Citra guru ini
tercermin melalui keunggulan mengajar, memiliki hubungan yang harmonis dengan
peserta didik, serta memiliki hubungan yang harmonis pula terhadap sesama teman
seprofesi dan pihak lain baik dalam sikap maupun kemampuan profesional. Dari sudut
pandang peserta didik, citra guru ideal adalah seseorang yang senantiasa memberi
motivasi belajar yang mempunyai sifat-sifat keteladanan, penuh kasih sayang, serta
mampu mengajar di dalam suasana yang menyenangkan

Dewasa ini citra guru semakin hangat diperbincangkan. Masyarakat sering mengeluh dan
menuding guru tidak mampu mengajar manakala putra-putrinya memperoleh nilai
rendah, rangkingnya merosot, atau NEM-nya anjlok. Akhirnya sebagian orang tua
mengikutsertakan putra-putrinya untuk kursus, privat atau bimbingan belajar. Pihak dunia
kerja ikut memprotes guru karena kualitas lulusan yang diterimanya tidak sesuai
keinginan dunia kerja. Belum lagi mengenai kenakalan dan dekadensi moral para pelajar
yang belakangan semakin marak saja, hal ini sering dipersepsikan bahwa guru gagal
dalam mendidik anak bangsa.

Sudjana dalam Mustafa (2005) menjelaskan rendahnya pengakuan masyarakat terhadap


profesi guru yang mengakibatkan rendahnya citra guru disebabkan oleh faktor berikut:
(1) adanya pandangan sebagian masyarakat, bahwa siapapun dapat menjadi guru asalkan
ia berpengetahuan; (2) kekurangan guru di daerah terpencil, memberikan peluang untuk
mengangkat seseorang yang tidak mempunyai keahlian untuk menjadi guru; (3) banyak
guru yang belum menghargai profesinya, apalagi berusaha mengembangkan profesinya
itu. Perasaan rendah diri karena menjadi guru, penyalahgunaan profesi untuk kepuasan
dan kepentingan pribadinya. Syah (2000) menyorot rendahnya tingkat kompetensi
profesionalisme guru, penguasaan guru terhadap materi dan metode pengajaran yang
masih berada di bawah standar, sebagai penyebab rendahnya mutu guru yang bermuara
pada rendahnya citra guru. Secara rinci dari aspek guru rendahnya mutu guru menurut
Sudarminta dalam Mujiran (2005) antara lain tampak dari gejala-gejala berikut: (1)
lemahnya penguasaan bahan yang diajarkan; (2) ketidaksesuaian antara bidang studi yang
dipelajari guru dan yang dalam kenyataan lapangan yang diajarkan; (3) kurang efektifnya
cara pengajaran; (4) kurangnya wibawa guru di hadapan murid; (4) lemahnya motivasi
dan dedikasi untuk menjadi pendidik yang sungguh-sungguh; semakin banyak yang
kebetulan menjadi guru dan tidak betul-betul menjadi guru; (6) kurangnya kematangan
emosional, kemandirian berpikir, dan keteguhan sikap dalam cukup banyak guru
sehingga dari kepribadian mereka sebenarnya tidak siap sebagai pendidik; kebanyakan
guru dalam hubungan dengan murid masih hanya berfungsi sebagai pengajar dan belum
sebagai pendidik; (7) relatif rendahnya tingkat intelektual para mahasiswa calon guru
yang masuk LPTK (Lembaga Pengadaan Tenaga Kependidikan) dibandingkan dengan
yang masuk Universitas.

Uraian di atas memberikan penekanan bahwa profesionalisme merupakan salah satu


garansi bagi peningkatan citra guru. Hal ini sejalan dengan pesan penting yang muncul
dalam Undang-undang No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen. Pengakuan guru
dan dosen sebagai profesi diharapkan dapat memacu tumbuhnya kesadaran terhadap
mutu dan gilirannya akan meningkatkan citra guru di tengah masyarakat. Sebagaimana
ditegaskan dalam pasal 7 (1) bahwa profesi guru dan dosen merupakan bidang pekerjaan
khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip tertentu. Sanusi (1991) menunjuk
ciri-ciri profesi, mencakup fungsi dan signifikansi sosial dari profesi tersebut,
keterampilan para anggota profesi yang diperoleh melalui pendidikan dan atau latihan
yang akuntabel, adanya disiplin ilmu yang kokoh, kode etik, dan adanya imbalan
finansial dan material yang sepadan. Kemudian, secara teknis penguatan profesionalisme
itu dikaitkan dengan pentingnya perhatian terhadap kualifikasi, kompetensi, dan
sertifikasi. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa salah satu upaya untuk
meningkatkan citra guru adalah dengan menguasai kompetensi guru dengan baik.

Daftar Rujukan
Djamin, Awaloedin (1999). Peningkatan Profesionalisme Guru Indonesia Pada Abad 21.
[Online] Tersedia: http://bppndik.tripod.com/guru21.htm [15 April 2006]
Mujiran, Paulus. (2005). Prioritaskan Kesejahteraan Guru. [Online] Tersedia:
http://www.suarapembaruan.com/News. [15 April 2006]
Mustafa, Falah Y. (2005). Tantangan Guru di Era Global dan Otonomi Daerah. [Online]
Tersedia: http://www.jbsward.com/modules.php. [15 April 2006]

Sanusi. A. (1991). Studi Pengembangan Model Pendidikan Profesional Tenaga


Kependidikan. Bandung: IKIP
Syah, Muhibbin. (2000). Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.

Anda mungkin juga menyukai