Cifebrima Suyastri
Universitas Riau
cifebrimasuyastri@yahoo.com
Abstrak
Isu politik lingkungan, khususnya hal-hal yang terkait dengan persoalan dan tantangan yang
dihadapi Convention on International Trade in Endagered of Wild Flora and Fauna (CITES)
dalam menjaga kelestarian alam dan keragaman binatang langka yang ada di dunia. Lewat
metode kualitatif dengan data sekunder, serta teori hukum internasional yang dipakai dalam
mengidentifikasi legalisasi pasal-pasal perundangan CITES, adapun ukuran yang dipakai
mengacu pada: pengidentifikasian permasalahan yang ada bersifat global dan lintas batas,
yang diterapkan dalam skala nasional. Dalam hal ini, perspektif-perspektif yang bersifat lebih
ramah pada lingkungan hidup, seperti ekologis yang banyak digunakan oleh Non-Govermental
Organization (NGO’s) seharusnya lebih banyak dikedepankan.
Abstract
Political environment issue, particularly related to problematic and the challenges of Convention
on International Trade in Endagered of Wild Flora and Fauna (CITES) in maintained biodiversity
of Flora and Fauna. Throughout qualitative method by secondary based, and International Law
Theory application into identifying the legalization of CITES Articles, measure by: global and
cross boundary problematics identification regarding to national scales. Therefore, friendly
environmental perspectives, such as ecologies need to up take more by Non-Governmental
Organizations.
kontribusi yang baik terhadap CITES. Namun Lebih dari itu, menurut penelitian Global Species
kebalikannya, bagi yang tidak menganggapnya Assessment (GSA) dalam siaran pers November
penting, maka negara tersebut akan bersikap 2004, sekitar 15.589 spesies yang terdiri dari
tidak peduli dan cenderung tetap melakukan eks- 7.266 spesies satwa dan 8.323 spe-sies tumbuhan
ploitasi tanpa harus memikirkan kelangkaan yang dan lumut kerak, diperkirakan dalam kepunahan.
mengakibatkan kepunahan satwa itu sendiri. Jadi terbukti, nyatanya, segala konvensi dan
Di sisi lain, perbedaan nilai-nilai yang peraturan yang ada tidak mengikat dalam upaya
dimiliki oleh negara-negara tersebut juga dapat menurunkan tingkat kerusakan dan kepunahan
menimbulkan persepsi yang berbeda terhadap spesies di muka bumi ini.
pemecahan masalah yang menyangkut upaya Berdasarkan kenyataan ini, maka efekti-
pencegahan perdagangan satwa yang berlebihan. vitas dari rezim ini mulai dipertanyakan. Tulisan
Bahkan, kemungkinan besar, masing-masing ne- ini akan membahas sampai sejauh mana negara-
gara juga akan berbeda dalam menafsirkan pasal negara anggota CITES memberikan komitmen
demi pasal yang dimuat dalam pasal CITES dan kontribusinya terhadap perjanjian yang telah
sesuai dengan pemahaman serta nilai-nilai yang disepakati. Dalam penulisan ini, penulis meng-
dianut oleh masyarakatnya. Sesungguhnya, inilah gunakan metode kualitatif, serta analisis teori hu-
yang menjadi fokus penulis, karena aturan yang kum internasional dalam mengkaji identifikasi
ada dalam pasal CITES masih dianggap lemah, legalisasi pasal CITES.
sehingga perdagangan satwa liar pun masih saja
terjadi. Tidak ada yang bisa menepis, betapa Evaluasi kinerja CITES
perdagangan ilegal ini telah mebuka pasar gelap Sampai dengan rentang 2003, CITES
bagi banyak satwa dan derivasinya, seperti tulang sudah 12 kali menyelenggarakan Conference of
dan kulit harimau, kandung kemih dari Rusia, cula Parties (CoP), dan dalam kurun waktu itu pula
badak, daging dan gading gajah dari Afrika, dan jumlah negara anggota CITES terus bertambah
daging ikan paus dari Jepang. Sementara, pasar hingga mencapai 150 negara. Selama 28 tahun
gelap untuk satwa-satwa yang dijual secara utuh, ini, CoP di dalam CITES telah menunjukkan
dan biasanya untuk koleksi pribadi, meliputi spe- kapabilitas dalam mengadopsi aturan-aturan,
sies seperti ular, kura-kura, burung, dan primata, resolusi dan membuat suatu kerangka solusi
dari negara-negara mega biodiversity seperti bagi permasalahan yang kompleks dari isu per-
Indonesia dan Brazil. Akibatnya, populasi satwa- dagangan satwa liar. Walau begitu, masih tetap
satwa inipun menurun secara drastis. Contohnya, dipertanyakan kecukupan dan kesiapan CITES
di Indonesia terdapat 60% dari total populasi hari- dalam memberikan kontribusinya terhadap
mau di dunia yang dalam 4 (empat) tahun terakhir konservasi dan perlindungan satwa-satwa langka
terjadi penurunan, dari 4.334 menjadi 3.750 (www. ini, khususnya dalam dua hal, pertama, mengenai
nesl.edu/intjournal/vol3/cites.htm diakses pada komitmen dari negara-negara anggota terhadap
Januari 2014). Demikian juga populasi orang utan perjanjian CITES, khususnya negara industri
Indonesia, hanya 14.000 di hutan Kalimantan dan maju, dalam memberikan bantuan finansialnya
Sumatera. terhadap negara-negara anggota yang banyak
Dengan penelitian yang intensif, para memiliki spesies tertentu yang harus dilindungi dan
ilmuwan telah menunjukkan bahwa planet bu- dilestarikan. Kedua: perlu atau tidaknya larangan
mi telah terancam. Selaras dengan itu, akibat terhadap perdagangan di dalam CITES sebagai
perubahan iklim dan kehilangan habitat dan eks- alat untuk melindungi spesies-spesies yang telah
pansi yang dilakukan oleh manusia, kepunahan masuk dalam kategori Apendiks CITES.
spesies juga semakin bertambah tinggi. Sedikitnya, Di dalam CITES, mekanisme pengendalian
15 spesies telah punah dalam waktu 20 tahun perdagangan satwa yang digunakan adalah meka-
terakhir, sedang 12 spesies masih dapat bertahan nisme regulasi apendiks, yakni.
hidup karena dipelihara dan ditangkarkan oleh 1. Apendik I merupakan yang tertinggi, ketika
manusia. Akan tetapi, sebenarnya spesies yang spesies tersebut terancam punah dan perda-
mengalami kepunahan jumlahnya jauh lebih besar. gangan spesies hanya diinginkan dalam kondi-
Internasional, perdagangan internasional ilegal (resolutions of the conference of the parties) ju-
terhadap satwa sudah menjadi suatu kejahatan ga rekomendasi dari komisi tetap CITES yaitu
terorganisasi (organized crime). Di antaranya spe- Standing Commite dan Animals Communite. Oleh
sies yang banyak masuk dalam pasar gelap adalah sebab itu, dapat dikatakan rezim yang ada sudah
kucing-kucing besar, badak, reptil, dan burung- dapat dikatakan mulai mendekati efektif, karena
burung langka. memang sudah terjadi perubahan tingkah laku.
Setelah dianalisis, impact-nya muncul Akan tetapi, jika sama sekali belum ada perubahan
perubahan tingkah laku yang kemudian men- tingkah laku, maka barulah rezim dapat dikatakan
cuatkan suatu kerangka pemikiran dari UNEP tidak efektif.
(United Nations Environmental Program) yang Sebagai institusi lingkungan hidup, untuk
secara khusus menangani isu lingkungan hi- melihat apakah aturan-aturan tertulisnya telah di-
dup yang mulai menjadi pembicaraan pada hu- implementasikan secara efektif atau tidak, maka
bungan internasional sejak dilangsungkannya menurut Juan Carlos Vaquue (dalam Sara Oldfield,
konferensi PBB, pertama, di Stocklom, Swedia 2003), CITES harus melakukan tiga tahapan yaitu.
pada 1972 yang diikuti oleh 133 negara yang 1. Implementasi (implementation).
telah menghasilkan badan khusus yang salah Dalam mengimplementasikan kewajiban-
satu di antaranya adalah CITES (Convention on kewajiban CITES, maka, suatu negara wajib
International Trade in Endagered Spesies) --- melalui tiga fase yang berbeda, pertama;
suatu perjanjian internasional untuk membantu dengan mengadopsi tindakan-tindakan im-
pengendalian perdagangan internasional. Walau plementasi nasional termasuk tindakan-
belum perfect, tetapi sudah dapat dikatakan almost tindakan legislatif dan ekonomi, sistem
perfect. Dengan kata lain, perubahan peri-laku informasi, rencana menajemen, dan unit
pun sudah mulai terjadi. pelaksana hukumnya, kedua; memastikan
Hal ini dapat dilihat pada penerapan CITES tindakan-tindakan nasional telah terpenuhi
di Indonesia. Dengan adanya kepedulian terhadap sesuai dengan yang ada di dalam wilayah
perlindungan satwa, maka pemerintah Indonesia yurisdiksi dan kendali, ketiga; memenuhi
telah meratifikasi CITES tersebut dengan kepu- kewajiban-kewajiban sekretariat CITES
tusan Pemerintah No.43 tahun 1978, sebagai pelak- seperti, melaporkan volume perdagangan
sana otoritas pengelola atau management authority dan tindakan-tindakan (measure) yang dapat
CITES di Indonesia adalah Direktur Jenderal berpengaruh terhadap kewajiban internasi-
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Tu- onalnya.
gasnya antara lain sebagai pemberi izin dalam 2. Pemenuhan kewajiban (compliance).
pemanfaatan satwa, dalam melakukan pembinaan Tahap ini memiliki dua dimensi, pada tingkat
dan mendaftarkan unit usaha penangkar satwa liar internasional berkaitan dengan apa yang telah
jenis yang tercantum dalam Apendiks 1 CITES, dilakukan negara anggota untuk memenuhi
serta melakukan pengawasan terhadap peredaran kewajibannya dengan obligasi yang ada di
satwa baik di dalam maupun ke luar negeri. konvensi, dan pada tingkat nasional mengacu
Selaku pelaksana, pengelola CITES di Indonesia ke langkah-langkah yang diambil oleh indi-
berusaha semaksimal mungkin telah melakukan vidu atau entitas legal seperti korporasi dan
kerjasama dengan pusat Penelitian Biologi LIPI, agen-agen pemerintah dalam memenuhi ke-
dan LSM yang bergerak dalam bidang konservasi wajiban undang-undang domestiknya.
serta instansi yang terkait, di antaranya Pusat 3. Pelaksanaan hukum (enforcement).
Karantina Hewan, Direktorat Jenderal Bea Cukai, Dalam konteks CITES, pelaksanaan hukum
Pusat Karantina Ikan depertemen Kelautan dan adalah tindakan-tindakan yang diambil oleh
Perikanan, Kepolisian RI dan Kementerian Perin- negara anggota untuk menghentikan atau
dustrian dan Pedagangan. menghambat perdagangan legal, termasuk
Dengan adanya ketentuan-ketentuan inspeksi untuk menentukan status dari pe-
CITES yang mengikat negara anggotanya dengan menuhan kewajiban undang-undang dan
teks konvensi, resolusi dan konferensi para pihak mendeteksi legal yang diperlukan untuk
disebabkan oleh ambiguitas tersebut. Seperti “pasal diadopsi oleh masing-masing negara anggota dibe-
1 CITES” yang mendefinisikan specimen sebagai baskan. Artinya, CITES tidak mempunyai standar
“any animal or plant or any recognizable part ketentuan tentang bagaimana tindakan yang
or derivative thereof”. Pengertian ini membuka seharusnya diambil ketika anggotanya melakukan
celah besar untuk disalah artikan. Ada dua alasan perdagangan dengan negara yang bukan anggota
kenapa terminologi ini dapat disalah artikan, CITES.
(Mahony, 1997) pertama: apabila terminologi ini Selama ini, perdagangan dengan negara
tidak dapat didefinisikan lebih detail, maka negara bukan anggota merupakan salah satu masalah
ang-gota harus menyediakan dokumen yang utama di dalam CITES. Hal ini dilakukan untuk
sangat lengkap serta dibutuhkan proses inspeksi menghindari negara-negara yang memiliki un-
yang sangat panjang. Kedua: beberapa negara dang-undang perlindungan satwa yang ketat,
anggota tidak ingin adanya intervensi dengan mengingat, banyak negara bukan angota CITES
perdagangan internasionalnya, sehingga membuat dijadikan sebagai tempat transit atau laundrying,
tetap menjadi sebuah celah. sehingga dapat memaksimalkan partisipasi se-
Celah lain yang ditemukan dalam CITES cara global sekaligus menjadi akses negatif. Hal
ada pada “pasal VII”, di sana dikatakan bahwa tersebut selaras dengan “pasal VII” dan “pasal
specimen boleh diimpor atau diekspor apabila XXII” yang merupakan jawaban ketika sua-
mereka memiliki “personal or household effect”, tu negara menandatangani perjanjian CITES,
tetapi tidak didefinisikan memperbolehkan pem- mereka mempunyai jangka waktu tertentu untuk
belian oleh individu untuk kebutuhan barang- tetap melakukan perdagangan spesies yang masuk
barang pribadi, seperti baju dan perhiasan yang dalam apendiks.
bahannya terbuat dari satwa tersebut. Apabila Dalam menghadapi penurunan jumlah
individu seperti turis membeli barang-barang yang spesies, seyogianya, CITES segera menentukan
terbuat dari satwa yang dibunuh secara legal, ma- kebijakan untuk menghentikan penurunan jum-
ka, dapat dikatakan bahwa pemburuan terhadap lah spesies. Namun, untuk menentukan suatu
satwa terus berlangsung. kebijakan bukanlah merupakan hal yang mudah
Kelemahan aturan CITES juga terletak karena ada pertimbangan atau kemungkinan
pada tidak bersifat globalnya pelaksanaan aturan hambatan bersifat nilai-nilai yang selama ini men-
tersebut, hal ini tercermin dalam “pasal VIII” yang jadi panduan di dalam konvensi ini. Salah satunya
hanya membuat upaya pelaksanaan aturan bersifat adalah penyebab penurunan spesies yang selama
umum dan mengembalikannya pada masing- ini dipegang oleh CITES. Selama 25 tahun, CITES
masing negara anggota di dalam merumuskannya. berasumsi bahwa perdagangan internasional me-
Kelemahan inilah yang membuat implementasi rupakan faktor ancaman yang terpenting. Pa-
aturan CITES tidak dapat berjalan sebagaimana dahal, kalau kita lihat, selama 25 tahun ini juga
mestinya, mengingat hanya beberapa negara ang- ada proses lain yang dapat menjadi faktor an-
gota yang memiliki undang-undang mengenai caman bagi keberlangsungan suatu spesies. Dari
perlindungan satwa yang memadai. Hasilnya, penjelasan sebelumnya, koordinasi aksi di antara
tingkat perburuan liar dan penyelundupan satwa negara-negara memang cukup terintegrasi dengan
masih tetap tinggi. koordinasi di bawah UNEP (untuk mengontrol
Tingginya tingkat perdagangan satwa, efektivitasnya). Namun demikian, implementasi
ternyata juga disebabkan karena banyaknya baru dilaksanakan pada level nasional atau belum
negara anggota yang melakukan perdagangan sat- ada perencanaan dan implementasi yang benar-be-
wa dengan negara-negara bukan anggota CITES. nar terintegrasi di antara negara-negara anggota
Sejatinya, “dalam pasal X” telah ada aturan CITES.
tentang perdagangan dengan negara yang bukan Selain itu, untuk melaksanakan lebih
anggota CITES. Akan tetapi, “pasal X” merupakan jauh ketentuan CITES, maka suatu negara harus
salah satu pasal yang bersifat ambigu dan sangat memiliki undang-undang lain yang lebih lengkap,
terbuka untuk diinterpretasikan dengan berbeda. dan didukung oleh peraturan kehutanan yang se-
Dalam pasal X ini, mekanisme aturan yang harus jalan. Secara teoritis, apabila suatu negara tidak
mempunyai perangkat hukum yang lengkap dalam dian memunculkan 3 hipotesis, yaitu.
melaksanakan CITES, maka penegakan hukum 1. Jika masalah semakin bersifat malignancy,
untuk implementasi CITES juga menjadi lemah. maka, kemungkinan untuk menciptakan kerja-
sama yang efektif jadi semakin kecil. Hal itu
2. Problem Malignancy sebagaimana telah disinggung sebelumnya,
Tingkat kesulitan dalam sebuah rezim bahwa dalam konteks permasalahan ini, tingkat
juga sangat mempengaruhi efektivitasnya. Per- malignancy-nya bergerak dari level tinggi ke
masalahan/problem akan menjadi sulit ketika level menengah. Jadi, permasalahan ini cende-
secara politis problem itu membuat negara-negara rung semakin mudah untuk diselesaikan.
anggota tidak mau bekerjasama. Sebuah masalah 2. Jika malignancy bersifat politis dan knowledge,
yang malign (bukan benign) memiliki karakter maka, akan semakin tidak efektif. Pada awalnya,
incongruity, yakni tidak semua negara merasakan permasalahan lingkungan berkait erat dengan
suatu isu sebagai sebuah masalah --- dan ranah politik sehingga cenderung kurang efek-
asymmetry; tidak adanya kesetaraan kepentingan tif di dalam membangun sebuah rezim. Hal ini
dan bargaining di antara negara-negara. Oleh se- berkait dengan tarik ulur kepentingan antara
bab itu, semakin besar intensitas kedua karakter negara Utara dan Selatan.
tersebut, maka akan semakin besar pula tingkat 3. Jika rezim itu harus menghadapi persoalan
kesulitan sebuah permasalahan. Sementara, sema- yang susah (malignancy), maka, efektivitas
kin sulit sebuah permasalahan yang dihadapi oleh akan dapat dicapai, hanya jika,
sebuah rezim, maka rezim tersebut cenderung a) ada proses incentive baru yang diciptakan
memiliki efektivitas yang rendah. dari luar dan tidak mempunyai kepentingan;
Permasalahan implementasi CITES adalah b) rezim yang menghadapi masalah sulit akan
pada ketidaksanggupan negara anggota untuk menjadi efektif jika rezim mampu meng-
menerapkan ketentuannya. Umumnya, negara- hubungkan persoalan yang sulit dengan per-
negara anggota CITES masih beranggapan bahwa soalan lain yang lebih mudah (linkage); dan
masalah lingkungan hidup bukan merupakan c) jika rezim mengembangkan sistem problem
masalah penting. Umumnya, hal ini terjadi di ne- solving yang lebih canggih, artinya rezim
gara-negara dunia ketiga, seperti Asia, Afrika, dan tersebut selalu melakukan improvement dan
Amerika Latin. Dalam perjanjian internasional inovasi.
yang sifatnya kompleks seperti CITES, maka
tidak dapat diingkari akan adanya aturan-aturan 3. Problem Solving Capacity
yang bersifat ambigu atau dapat dinterprestasikan Untuk mengatasi sebuah masalah, maka
berbeda oleh negara anggotanya. Seperti “pasal 1 kapasitas serta efektivitas dari sebuah rezim juga
CITES” yang mendefinisikan specimen sebagai: memiliki pengaruh yang kuat. Dalam menye-
“any animal or plant or any recognizable part lesaikan sebuah masalah, sebuah rezim selalu di-
or derivative thereof”, pengertian dari readily pengaruhi oleh 3 hal yaitu.
recognizable dalam pasal tersebut tidak dide- a) Institusional Setting. Institusi yang telah
finisikan secara lengkap dalam CITES. Sudah dirancang untuk mengendalikan perilaku
barang tentu, hal ini menciptakan celah yang negara-negara seperti UNEP dan kesepa-
potensial untuk disalahartikan. Ada dua alasan katan-kesepakatan yang telah dicapai sangat
kenapa terminologi ini tidak dapat didefinisikan, mempengaruhi efektivitas rezim.
pertama; apabila didefinisikan secara detail, maka b) Distribution of Power. Dalam konteks
negara anggota harus menyediakan dokumen yang masalah ini, meski ada ketimpangan
lengkap serta dibutuhkan proses inspeksi yang sa- dan ketidaksamaan kepentingan antara
ngat panjang. Kedua; beberapa negara anggota negara Utara dan Selatan, tetapi dalam per-
tidak ingin adanya intervensi dengan perdagangan kembangannya, proses kerjasama yang ber-
internasionalnya, sehingga keadaan itu tetap di- langsung tidak banyak dipengaruhi oleh
anggap sebagai celah. distribusi kekuatan yang timpang.
Tingkat kesulitan permasalahan ini kemu- c) Skill and Energy. Permasalahan skill and
energy juga tidak menjadi masalah yang memberikan kerangka hukum yang mengikat
berarti bagi negara-negara angota CITES, bagi anggota-anggotanya. Sementara itu, relative
karena, sebagian besar (negara-negara Utara) im-provement yang ditimbulkan dari medium ke
memiliki kapasitas yang cukup baik untuk high karena semua negara anggotanya mampu
memfasilitasi efektivitas rezim tersebut. meratifikasi konvensi tersebut, sehingga masing-
masing negara memiliki kerangka hukum dalam
4. Komponen Efektivitas bentuk undang-undang.
1. Output dari CITES ini telah berupa konvensi.
2. Outcome CITES, seharusnya telah mampu 6. CITES’ Level of Collaboration
melakukan perubahan perilaku, yakni Level kolaborasi CITES berada pada
negara-negara anggota memiliki dan mem- medium rendah, yakni Coordinated planning
buat perangkat hukum nasional untuk combined with national implementation only.
melaksanakan peraturan CITES. Misalnya, di Includes centralized appraisal of effectiveness.
Amerika Serikat, terdapat endangered species Alasan mengapa menempatkan pada level itu,
act. Setidaknya, aturan-aturan yang dibuat dapat dijelaskan bahwa ada beberapa indikator
CITES bisa mempengaruhi perilaku kelompok yang menunjukkan masih lemahnya komitmen
yang berkepentingan di dalam isu ini. Dengan suatu negara dalam mengimplementasikan ke-
menggunakan apendiks, CITES berupaya untuk tentuan CITES. Negara anggota yang telah
melakukan pencegahan eksploitasi terhadap meratifikasi, tetapi ketentuan yang digariskan
satwa sehingga tidak terjadi kepunahan. dalam CITES tidak ditindak lanjuti oleh negara
Walau begitu, bukti-bukti yang berkembang tersebut dengan peraturan perundang-undangan
menujukan bahwa banyak undang-undang nasional di negaranya.
nasional dan kebijakan lingkungan hidup yang • Negara angggota telah membuat peraturan
terkait dengan perdagangan satwa liar, sering nasional untuk melaksanakan ketentuan
kali, justru tidak dapat diimplementasikan. CITES, tetapi ancaman sanksi yang ditu-
Akibatnya, terjadi peningkatan lalu lintas jukan kepada pelaku pelanggaran rendah.
perdagangan illegal (inter-national illlegal Umumnya, sanksi yang dijatuhkan hanya be-
trafficking) terhadap satwa. rupa kewajiban mengembalikan satwa yang
Pada rentang 1995, secara berkala, estimasi telah diperdagangkannya.
perdagangan satwa liar yang tercatat secara legal • Negara anggota telah memiliki perangkat
oleh CITES telah mencapai kurang lebih US$ hukum nasional untuk terlaksananya CITES
10 Milyar, sedang pada 2000, secara berkala, yang lengkap, dan sanksi yang tidak hanya
penjualan satwa ilegal ditingkat global telah berupa pemberian denda, tetapi penegakan
mencapai antara US$ 10-20 Milyar ( renc\tas, www. hukum di negara tersebut masih rendah.
renctas.org.br/index.php?action=numereson&m
n=187titulo=number%20traffic&indioma=en, Tingkat kesulitan dari CITES termasuk
diakses pada Januari 2014). Menurut Interpol, benign, karena hanya terletak pada kurangnya
Organisasi Polisi Internasional, perdagangan in- sumberdaya manusia dan modal dalam pelak-
ternasional ilegal terhadap satwa sudah menjadi sanaan ketentuan-ketentuan tersebut di negaranya
suatu kejahatan terorganisasi (organized crime). masing-masing. Sehingga banyak negara anggota
Adapun, impact dari adanya CITES adalah yang tidak menjalin kerjasama internasional untuk
semakin menurunnya perdagangan gelap (penye- menerapkan konvensi ini. Padahal, untuk meng-
lundupan) satwa-satwa liar atau yang dilindungi hambat perdagangan ilegal satwa liar, jaringan
dalam negara-negara anggota CITES. kerjasama internasional ini sangat dibutuhkan.
rapkan permasalahan yang sifatnya global dan Mahony, Diane. 1996. “The Convention on
lintas batas dengan pengimplementasiannya yang International Trade in Endangered Species
bersifat nasional. Selanjutnya, kesulitan kedua of Flora and Fauna: ‘Addressing Problems
adalah pola hubungan dalam sistem internasional in Global Wildlife Enforcement’,”
ketika membahas permasalahan lingkungan dalam New England International and
hidup yang bersifat utara-selatan. Hal tersebut Comparative law annual, Volume 3.
mengingat, negara-negara utara kebanyakan
merupakan negara maju, sedangkan selatan se-
bagian besar merupakan negara berkembang yang Oldfield, Sara (ed). 2003. The Trade in Wildlife,
mempunyai kemampuan dan kapabilitas yang Regulations for Conservation. London:
berbeda dalam menangani masalah lingkung- Earthscan.
an hidup. Apalagi, negara-negara selatan masih
bergantung pada sumber daya alam sebagai Rentas. 2014. www.renctas.org.br/index.php?a
pemasukan utama devisanya. ction=numereson&mn=187titulo=numb
Selain masalah kesulitan penerapan dan er%20traffic& indioma=en, diakses pada
adanya hubungan Utara-Selatan, maka, sistem Januari.
internasional saat ini masih banyak didominasi oleh
pendekatan yang sifatnya state centric. Perspektif-
perspektif yang bersifat lebih ramah pada ling- Thompson, Dixon. 1992. “Trade, Resources, and
kungan hidup, seperti ekologis yang banyak di- the International Environment”, dalam
gunakan oleh Non-Govermental Organization International Journal, Vol.XLVII, no 4,
(NGO’s) harus banyak dikedepankan, sehingga Auntumn.
dalam diplomasi lingkungan, output yang keluar
tidak hanya untuk kepentingan ekonomis dengan
menguras sumber daya alam, tetapi tidak dapat
dinikmati oleh generasi selanjutnya. Dengan
kata lain, pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan berkelanjutan (Sustainable).
Kepustakaan