Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Setelah agama islam tersebar luas di masyarakat, dipeluk dan dianut oleh penduduk yang
diluar jazirah arab, dan para sahabat yang tidak sedikitnya yang telah meninggal,
menggerakkan hati Umar bin Abdul Aziz seorang khalifah Bani Umayyah yang menjabat
khalifah selama anatara tahun 99 - 101 H untuk menulis dan membukukan hadits.

Untuk mengetahui lebih dalam tentang kondifikasi hadits pada masa mutaakhkhirin, akan
dijelaskan dalam makalah ini mulai dari kondifikasi hadits, periode-periode yang termasuk
dalam masa mutaakhirin dan pada masa Dinasti Abbasiyah.

Pada masa  Al-Qur’an masih diturunkan, Nabi Muhammad SAW melarang menulis hadits
karena dikhawatirkan akan bercampur dengan penulisan Al-Qu’ran. Pada masa itu, di
samping menyuruh menulis Al-Qur’an, Nabi Muhammuad SAW juga menyuruh
menghafalkan ayat-ayat Al-Qur’an.

Menurut pendapat para ulama hadits, yang pertama-tama menghimpun hadits serta
membukukannya adalah Ibnu Syihab az-Zuhri, kemudian diikuti oleh ulama-ulama diberbagai
kota-kota besar lainnya.

Penulisan dan pembukuan hadits Nabi SAW ini dilanjutkan dan serta disempurnakan oleh
para ulama-ulama hadits pada abad berikutnya, sehingga menghasilkan kitab-kitab yang besar
seperti kitab al-Muwaththa’, Kutubus Sittah dan lain sebagainya.

Al Qur’an adalah sumber hukum Islam yang pokok, yang mengandung banyak ayat yang
bersifat mujmal (global), mutlak, dan ‘am (umum). Oleh karena itu, kita
memerlukan  hadits yang berperan sebagai sumber hukum Islam yang kedua. Hadits berfungsi
untuk menguatkan dan menjelaskan hukum yang terkandung dalam al Qur’an secara
terperinci dan mendalam.
Hadis memiliki kedudukan yang sangat penting dalam literature sumber hokum islam. Seiring
berkembangnya ilmu hadis terdapat orang/kelompok tertentu yang menyalahgunaakan hadis
untuk kepentingannya sendiri, sehingga muncul kesempatan terhadap pemalsuan hadis.
Karena Al Qur’an yang secara resmi dijaga dan dipelihara keasliannya oleh Allah SWT.  dan
juga al Qur’an telah ditulis sejak zaman Nabi dan dibukukan pada masa khalifah Abu Bakar
Al-Shidiq. Sedangkan Hadits baru ditulis dan dibukukan hampir 1 abad (100 tahun)

[ Ailah, Lena Karlina, Husnul ] 1


sepeninggalnya Rasulullah SAW. sehingga sulit untuk menjaga kevalidan hadits tersebut,
karena ada orang-orang atau kelompok tertentu yang mulai membuat dan mengatakan sesuatu
yang dinisbatkan kepada Rasulullah Saw. dengan alasan yang dibuat-buat. Sehingga terdapaat
kesempatan munculnya hadits palsu atau hadits Maudhu’.[1]
Seiring berkembangnya peneliti hadist semakin banyak ditemukan hadits-hadits yang palsu.
Maka kami membahas mengenai berbagi macam pemalsuan hadist dan cara mengatasinya.
Semoga dapat bermanfaat.

B. RUMUSAN MASALAH
Makalah ini telah disusun dengan berbagai rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apa yang menjadi latar belakang adanya Kodifikasi Hadits ?
2. Bagaimana sejarah penulisan dan pembukuan hadits ?
3. Bagaimana cara mengatasi adanya hadits palsu ?
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui latar belakang adanya kodifikasi hadits.
2. Untuk  mengetahui sejarah penulisan dan pembukuan hadits
3. Untuk mengetahui bagaimana cara mengatasi adanya hadits palsu

[ Ailah, Lena Karlina, Husnul ] 2


BAB II
PEMBAHASAN
1. Kodifikasi Hadits
Pada tahun 100 H khalifah Umar Bin Abdul Aziz memerintahkan kepada gubernur madinah,
Abu Bakar bin Muhammad bin Ames bin Hazm untuk membukukan hadits-hadits nabi dari
para penghafal. Khalifah juga menulis surat kepada gubernur-gubernur lainnya. Khalifah juga
menulis surat secara khusus kepada Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin
Syihab Az-Zuhri. (w.124 H).

Beliau adalah orang yang pertama kali menaruh perhatian untuk membukukan hadits nabi.
Dan Az-Zuhri beliau dinilai sebagai orang yang lebih banyak mengetahui hadits nabi.
Kebijaksanaan khalifah Umar bin Abdul Aziz ini oleh sejarah dicatat sebagai kodifikasi hadits
yang pertama secara resmi. Selain pembukuan hadits sekaligus dilakukan usaha penyeleksian
hadits-hadits yang magbul dan mardud dengan menggunakan metode sanad dan isnad, yaitu
metode yang digunakan untuk menguji sumber pembawa berita hadits (perawi) dengan
mengetahui keadaan para perawi, riwayat hidupnya, kapan dan dimana hidupnya, kawan
semasanya, daya tangkap dan ingatannya, dsb. Ilmu tersebut dibahas dalam ilmu
hadits Dirayah, yang kemudian dikenal dengan ilmu Mustahalul Hadits.

Selanjutnya, kondifikasi dilakukan pada masa Dinasti Abbasiyah yang melahirkan ulama-
ulama hadits seperti :

1. Ibnu Juraij (w.150 H) di Makkah


2. Abu Ishaq (w.151 H) dan Imam Malik (w.179 H) di Madinah
3. Al-Rabi bin Sabih (w.160 H) dan Hammad bin Salamah (w.176 H) di Basra
4. Sufyan Al Sauri (w.161 H) di Khufah
5. Abdurrahman Al-Auza’i (w.156 H) di Syam (Suriah)
6. Husyain Al-Wasithi (w.188 H) di Wasith
7. Ma’mar Al-Azdi (w.153 H) di Yaman
8. Jarir Al-Dhabbi (w.188 H) di Rei
9. Ibnu Mubarak (w.181 H) di Khurasan dan Al-Laits ibn Sa’ad (w.171 H) di Mesir

Pada pertengahan abad ke II H, dilakukan upaya penyempurnaan. Sejak saat itu, tampak
gerakan secara aktif untuk membukukan ilmu pengetahuan, termasuk pembukuan dan
penulisan hadits-hadits Rasul SAW. Kitab-kitab yang terkenal pada waktu itu antara lain :
1. Al-Muwatha’ oleh Imam Malik
2. Al-Musnad oleh Imam Asy-Syafi’i[1]

[ Ailah, Lena Karlina, Husnul ] 3


2. Pembukuan Hadist
Setelah abad ketiga berlalu bangkitlah  pujangga-pujangga abad keempat. Ahli abad keempat
ini dan seterusnya digelari “Mutaakhkhirin”. Kebanyakan hadits yang mereka kumpulkan,
adalah petikan dari kitab-kitab mutaqaddimin, sedikit saja dari padanya yang dikumpulkan
dari usaha mencari sendiri kepada para penghafalnya. Ahli hadits sesudah abad ketiga tidak
banyak lagi yang mentakhrihkan hadits. Mereka hanya berusaha mentahdzibkan kitab-kitab
yan telah ada, menghafalnya dan memeriksa sanad yang ada di dalam kitab-kitab yang telah
ada. Dalam abad keempat ini lahirlah fikiran mencakupi dalam meriwayatkan hadits dengan
berpegang kepada kitab saja. Para ulama hadits berderajat-derajat kedudukannya. Ada
diantara mereka yang dapat menghafal 100.000 hadits, yang karena itu mereka
dinamai “hafidh”. Ada yang menghafal 300.000 hadits, dan mendapat nama “hujjah”,
sedangkan yang lebih dari jumlah itu digelari “hakim”.
Adapun Al Bukhary, Muslim, Ahmad, Sufyan Ats Tsaury dan Ishaq Ibnu Rahawaih
dikalangan mutaqaddimin dan Ad Daraquthny dikalangan mutaakhkhirin digelari “Amiru’l-
Mu’minin fi’l-Hadits”. Dengan usaha-usaha Al Bukhair, Muslim dan iman-iman yang lain itu,
seluruh ahli abad ketiga, terkumpullah jumlah yang sangat besar dari hadits-hadits yang
shahih. Sedikit sekali hadits-hadits shahih yang tak terkumpul dalam kitab-kitab ahli hadits
abad ketiga, yang diusahakan mengumpulkan oleh ahli-ahli hadits abad keempat.[2]
Periode ke-enam : dari abad IV hingga tahun 656 H. periode ini dimulai dari abad ke-IV
hingga tahun 656 H, yaitu pada masa Abasiyyah angakatan kedua. Periode ini dinamakan
Ashru At-Tahdib wa At-Tartibi wa Al-Istidragi wa Al-Jami’. Pada abad ke-IV dan seterusnya
digelari Mutaakhirin. Kebanyakan hadits yang mereka kumpulkan adalah petikan dari kitab-
kitab mutaqaddimin, hanya sedikit yang dikumpulkan dari usaha mencari sendiri kepada para
penghafalnya. Pada periode ini muncul kitab-kitab shahih yang tidak terdapat dalam kitab
shahih pada abad ke-III, antara lain :
1. Ash-Shahih, susunan Ibnu Khuzaimah
2. At-Taqsim wa Anwa’. Susunan Ibnu Hibban
3. Al-Mustadr’ak, susunan Al-Hakim
4. Ash-Shalih, susunan Abu ‘Awanah
5. Al-Mustaqa, susunan Ibnu Jar’ud
6. Al-Mukhtarah, susunan Muhammad Ibn Abdul Wahid Al-Maqdisy

Pada periode ini muncul usaha-usaha, istikhraj : umpamanya mengambil suatu hadits dari Al-
Bukhari Muslim, lalu meriwayatkannya dengan sanad sendiri yang lain dari sanad Al-Bukhari

[ Ailah, Lena Karlina, Husnul ] 4


atau muslim. Misalnya : Mustakhraj Shahih Al-Bukhari oleh Hafidz Al-Jurjany, Mustakhraj
shahih Al-Bukhari oleh Al-Hafidz Abu Bakr Al-Bargani (42 H) dst. Periode ini muncul pula
usaha istidr’ak, yakni mengumpulkan hadits-hadits yang memiliki syarat-syarat Bukhari dan
Muslim atau salah satunya yang kebetulan tidak diriwayatkan atau dishohihkan oleh Bukhari
dan Muslim. Kitab ini dinamai kitab mustadrak. Diantaranya Al-Mustadrak oleh Abu Dzar
Al-Har’awy.
Di atas telah diterangkan bahwa Az Zuhry telah mulai membina perbendaharaan hadits dalam
permulaan abad kedua, yang kemudian secara berangsur-angsur disempurnakan oleh ahli-ahli
abad kedua, ketiga dan keempat.

Pada akhir abad yang keempat itu, selasailah pembinaan hadits, cukuplah terkumpul seluruh
hadits yang diterima dari Nabi dengan berbagai-bagai jalan dalam buku-bukunya yang sudah
diterangkan, dan terhentilah kesungguhan yang telah diberikan  Iman-imam hadits abad
ketiga, keempat, sebagaimana telah padam cahaya ijtihad.

Maka ulama-ulama abad kelima Hijrah menitik beratkan usaha untuk memperbaiki susunan
kitab, mengumpulkan yang berserak-serak dan memudahkan jalan-jalan pengambilan dan
sebagainya, seperti : “mengumpulkan hadits-hadits hukum daalam satu kitab daan hadits-
hadits targhib dalam sebuah kitab, serta menyerahkannya”.

Diantara usaha ulama-ulama abad kelima ialah : mengumpulkan hadits-hadits yang terdapat
dalam kitabb enam dan lain-lainnya dalam sebuah kitab besar. Ringkasnya. Mulai abad
kelima, masuklah hadits  ke zaman membaguskan susunan kitab-kitabnya, mengumpulkan 
hadits-hadits dalam sebuah kitab besar, memisahkan hadits-hadits hukum dalam sebuah kitab
dan hadits taghrib-taghrib dalam sebuah kitab, dan masuklah kitab-kitab hadits itu ke dalam
masa mensyarahkan dan masa mengikhtisarkannya.[4]

1. Kitab-kitab istikhraj

Diantara usaha-usaha yang lahir dalam masa ini, ialah : usaha-usaha istikhraj.

Istikhraj, ialah : mengambil sesuatu hadits dari Al Bukhary Muslim umpamanya, lalu
meriwayatkannya dengan sanad sendiri, yang lain dari sanad Al Bukhary atau Muslim
itu. Dan terkadang para mustakhrij meninggalkan hadits-hadits yang terdapat dalam Al
Bukhary atau Muslim karena tidak memperoleh sanad sendiri.

Kitab-kitab itu dinamai kitab-kitab mustakhrij. Banyak ulama telah menyusun istikhraj
terhadap Shahih Bukhary dan Shahih Muslim dan lain-lain. Di antaranya, ialah :

[ Ailah, Lena Karlina, Husnul ] 5


a. Mustakhraj Shahih Al Bukhary oleh Al Hafidh Al Jurjany
b. Mustakhraj Shahih Al Bukhary, oleh Al Hafidh Abu Bakr Al Barqany (425 H)
c. Mustakhraj Shahih Al Bukhary, oleh Al Hafidh Ibnu Mardawih (416 H)
d. Mustakhraj Shahih Al Bukhary, oleh Al Ghatrify (377 H)
e. Mustakhraj Al Harawy (378 H)[5]

2. Kitab-kitab sunnah termasyhur


a. Al Mu’jamal Kabir[6] susunan           Ath Thabarany
b. Al Mu’jamal Ausath     susunan           Ath Thabarany
c. Al Mu’jamu ‘sh-Shaghir susunan           Ath Thabarany
d. Al Mustadrak          susunan           Al Hakim
e. Al Shahih                      susunan           Ibnu Khuzaimah
f. Al Taqsim wal Anwa’    susunan           Abu Hatim Ibnu Hibban
g. Al Shahih                        susunan           Abu ‘Awanah
h. Al Muntaqa susunan           Ibnu s’-Sakan
i. Al Sunan              susunan           Ad Daraquthny
j. Al Mushannaf            susunan           Ath Thahawy
k. Al Musnad                 susunan     Ibnu Nasher Al Razy.Ibnu Mundzir
l.  Al Muntaqa             susunan           Qasim ibn Ashbagh
m. Al Musnad         susunan           Ibnu Jami’ Muhammad ibn Ahmad
n. Al Musnad         susunan           Muhammad ibn Ishaq
o. Al Musnad             susunan           Al Khuwarizmy
p. Al Jam’u baini ‘as-Shahihain susunan           Muhammad ibn Abdillah Al Jauzaqy

3. Kitab-kitab abad kelima

As Sunanu l’-Kubra, merupakan kitab yang paling terkenal dalam abad kelima. Kitab-
kitab ini disusun oleh Al Imam Al Baihaqy (458 H). sebuah kitab hadits hukum yang luas
dan baik serta mendapat perhatian yang besar dari para ulama.
Kata Ibnu sh’-Shalah : “Tak ada sebuah kitab hadits yang lebih lengkap dan mengandung
hadits-hadits hukum dari pada sunan ini.”
Kitab-kitab enam antara lain ialah :
a. Al Jami’baina ‘sh-Shahihain, susunan Ismail ibn Ahmad yang terkenal dengan nama
Ibnu Furat (414 H)

[ Ailah, Lena Karlina, Husnul ] 6


b. Al Jami’ baina ‘sh-Shahihain, susunan Muhammad ibn Abi Nashr Al Humaidy Al
Andalusy (448 H)
c. Bahrul Asanid,  susunan Al Hafidh Al Hasan Ibn Ahmad Al Samarqandy (419 H)
d. ‘Umdatul Ahkam, susunan Al Hafidh Abdul Ghany Abu Abdil Wahid Al-Maqdisy
(600 H)
e. Al Alkamu ‘sh-Shughra,  susunan Abu Muhammad Abdul Haq yang terkenal dengan
nama Ibnul Kharrat

4. Kitab-kitab abad keenam


a. Al Jami’i bani ‘sh-Shahihain, susunan Muhammad ibn Ishaq Al Asyabily (583 H)
b. Tadriju ‘sh-Shihah, susunan Abul Hasan Muhammad ibn Razim ibn Mu’awiyah Al
Sarqasthy (535 H). kitab ini disempurnakan dengan diberi syarah ringkas, istimewa
mengenai lafal-lafal hadits oleh Al Imam Ibnu Atsir Al Jazairy Asy Syafi’y. Kitab
syarah ini dinamai Jami’ul Ushul,
c. Al Jami’u Baina sh-Shahihain susunan Muhammad ibn Ishaq Al Asybily (582 H)
d. Al Jami’u Baina sh-Shahihain susunan Abdul Haq ibn Abdir Rahman Al Asybili (Ibnu
Kharrat)
e. Mashabihu ‘sh-Sunnah susunan Al Imam Husain ibn Mas’ud Al Baghawy (516 H). Di
dalamnya terkumpul 4484 buah hadits yang shahih, dan hasan serta diterangkan
haditts-hadits yang tidak dapat dijadikan hujjah. Kitab Al Mashabih ini mendapat
perhatian besar. Kitab ini disempurnakan oleh Muhammad ibn Abdullah Al Khatib At
Tabrizy dalam tahun 737 H. dan dinamai Mishkatul Mashabih yang telah disyarahkan
oleh beberapa ulama.[7]

3. Masa-masa Hadits di Bukukan


Masa pembentukan hadits.

Masa pembentukan hadits tiada lain masa kerasulan Nabi Muhammad SAW  itu sendiri, ialah lebih kurang
23 tahun. Pada masa ini hadits belum ditulis, dan hanya berada dalam benak atau hafalan para sahabat saja.
Periode ini disebut al wahyu wa at takwin, yaitu hadits yang penyampaiannya belum ditulis/masih lisan,
hanya masih dalam benak mereka. Periode ini dimulai sejak Nabi Muhammad diangkat sebagai Nabi dan
Rasul hingga wafatnya ( 610 M – 632 ).

a. Masa penggalian.

[ Ailah, Lena Karlina, Husnul ] 7


     Masa ini adalah masa pada sahabat besar dan tabi’in, dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW
pada tahun 11 H atau 632 M. Pada masa ini kitab hadits belum ditulis ataupun dibukukan. Seiring dengan
perkembangan dakwah, mulailah bermunculan persoalan baru umat Islam yang mendorong para sahabat
saling bertukar hadits dan menggali dari sumber-sumber utamanya.

b. Masa penghimpunan

     Masa ini ditandai dengan sikap para sahabat dan tabi’in yang mulai menolak menerima hadits baru,
seiring terjadinya tragedi perebutan kedudukan kekhalifahan yang bergeser ke bidang syari’at dan aqidah
dengan munculnya hadits palsu. Para sahabat  dan tabi’in ini sangat mengenal betul pihak-pihak yang
melibatkan diri dan yang terlibat dalam permusuhan tersebut, sehingga jika ada hadits baru yang belum 
pernah dimiliki sebelumnya, diteliti secermat-cermatnya, siapaa-siapa yang menjadi sumber dan pembawa
hadits itu. Maka pada masa pemerintahan khalifah  ‘Umar bin ‘Abdul  ‘Aziz sekaligus sebagai salah
seorang tabi’in memerintahkan penghimpunan hadits. Masa ini terjadi pada abad 2 H, dan hadits yang
terhimpun belum dipisahkan mana yang merupahan hadits marfu’, mana yang mauquf, dan mana yang
maqthu’.

c. Masa penyusunan

     Abad 3 H merupakan masa pentadwinan ( pembukuan ) dan penyusunan hadits. Guna menghindari
salah pengertian bagi umat Islam dalam memahami hadits sebagai perilaku Nabi Muhammad SAW, maka
para ulama mulai mengelompokkan hadits dan memisahkan kumpulan hadits yang termasuk marfu’ ( yang
berisi perilaku Nabi Muhammad ), mana yang mauquf ( berisi perilaku sahabat ) dan mana yamg maqthu’
(berisi perilaku tabi’in ). Usaha  pembukuan hadits pada masa ini selain telah dikelompokkan juga
dilakukan penelitian Sanad dan Rawi-rawi pembawa beritanya sebagai wujud tash-hih  (koreksi/verifikasi )
atas hadits yang ada maupun yang dihafal. Selanjutnya pada abad 4 H, usaha pembukuan hadits terus
dilanjutkan hingga dinyatakan bahwa pada masa ini telah selesai melakukan pembinaan mahligai hadits.
Sedangkan abad 5 H dan seterusnya adalah masa memperbaiki susunan kitab hadits seperti menghimpun
untuk memudahkan mempelajari dengan sumber utamanya kitab-kitab hadits abad 4 H. 

d. Masa pembukuan hadits  ( dari abad ke-2 H – abad ke-3 H )

     Usaha penulisan hadits yang dirintis oleh Abu Bakar bin Hazm dan Ibnu Syihab az Zuhri pada sekitar
tahun 100 H, diteruskan oleh ulama’ hadits pada pertengahan abad II H. Perintah kewarganegaraan  
mengenai pengumpulan hadits di atas dari khalifah II Abasyiah di Baghdad, yaitu Abu Ja’far al-Mansur
yang memerintah selama 22 tahun (136 – 158 H ). Perintah ini ditujukan kepada Malik bin Anas sewaktu
berkunjung ke Madinah dalam rangka ibadah haji.
     Banyak ulama’ hadits yang menghimpun bersamaan dengan kegiatan  ulama’ dalam bidang lain untuk
menghimpun ilmu-ilmu agama seperti fiqih, kalam dan sebagainya. Karena itu masa ini dikenal  dengan

[ Ailah, Lena Karlina, Husnul ] 8


“Ashrulal-Tadwin” ( masa pembukuan ). Karya ulama’ pada masa ini masih bercampur antara hadits rasul
dan fatwa sahabat serta tabi’in, bahkan mereka belum mengklasifikasikan antara hadits sahih, hasan dan
dlo'if.
     Sistem pembukuan pada masa ini adalah dengan menghimpun hadits mengenai masalah yang sama
dalam satu bab, kemudian dikumpulkan dengan bab yang berisi masalah lain dalam satu karangan.
Pada masa ini, terdapat 3 golongan yang memalsukan hadits, yaitu :

a. Golongan politik : permulaan abad II H, dari golongan Abbasiyah, syiah dan lain-lain yang
bertujuan merebut kekuasan dari dinasti Umayah.
b. Golongan tukang cerita : mereka mengarang hadits palsu untuk menambah hebat ceritanya dan
untuk mendapat kepercayaan dari orang-orang.
c. Golongan zindik : mereka mengarang hadits palsu untuk membuat fitnah dan kekacauan di
golongan umat Islam.

     Untuk menjaga kemurnian dan keaslian hadits Nabi SAW, ulama’ pada masa ini mengadakan perjalanan
ke daerah-daerah untuk mengecek kebenaran hadits dan meneliti sumber-sumbernya. Sehingga pada masa
ini muncul kritikus hadits yang terkenal seperti Yahya bin said bin al-Qaththan dan Abdurrahman bin
Mahdi.

e. Kendala pembukuan hadits

Terdapat beberapa kendala dalam pembukuan hadits, antara lain :


1. Karena adanya orang-orang yang membuat hadits palsu
2. Ulama’ tidak/belum memperhatikan dhoif, shahih/hasan, yang penting itu sumbernya dari
Rasulullah SAW
3. Memisahkan hadits maudu’ saja, yang lain tidak
4. Untuk memverifikasi kebenaran orangnya, ketika hal ini sudah, ya sudah, yang lain tidak diurus.

4. Upaya Mengatasi Pemalsuan Hadist


Pemalsuan hadist dalam pentas sejarah perkembangan Islam merupakan kenyataan yang
tak dapat di bantah. Hal ini memiliki implikasi yang sangat besar bagi pengalaman umat islam
terhadap hadist. Oleh karena itu, upaya pemberantasan pemalsuan hadist di pandang
merupakan suatu keniscayaan, di samping pemeliharaan terhadap otentisitasnya. Dalam
rangka memberikan solusi terhadap persoalan pemalsuan hadist yang muncul, ulama telah
menalarkan konsep-konsep dasar yang bersifat metodologis yang memungkinkan siapa pun
secara aakurat mampu mendeteksi pemalsuan hadist. Artinya, prosedur yang di tempuh dalam
menerima hadist adalah berupa pengujian dalam penemuan ilmiah yang mentap yaang dapaat

[ Ailah, Lena Karlina, Husnul ] 9


dipertanggungjawabkan. Mustaafa as- sibai memberikan rincian tentang langkah-langkaah
penelitian hadist sebagai upaya mengatasi pemalsuan hadist sebagai berikut:

1. Meneliti sanad hadist. Penelitian sanad mempunyai arti penting dalam mendeteksi
kepalsuan hadist. Yaitu tentang kualifiksi keabsahan keriwayatan seorang yang termasuk
mata rantai kelangsungan hadist ketangan seorang perawi sebagai seorang peneliti atau
kritikus hadist.
2. Mengukuhkan hadist. Pengukuhan ini dilakukan dengan jalaan meneliti dan
mencocokkan kembali kepada para sahabat, tabi’in, daan ulama ahli hadist, pengukuhan
hadist sebagai salah satu aktifitas mengatasi persoalan pemalsuan hadist menggambarkan
adanya upaya melestarikan tradisi intelektual. Hal ini di maksud untuk mendukung
keutuhan ajaran islam dalam segala bentuk pencemaran melalui pemalsuan hadist. Seperti
sa’id al Mussayab yang harus berjalan siang dan malam demi untuk mendapatkan satu
hadist saja. Hal ini dilakukan semata mata untuk mengukuhkan hadist.
3. Meneliti rawi hadist dalam rangka menetapkan status kejujurannya. Ibnu Daqiq al– d
memandang baha keberadaan perawi hadist sangat menentukan kesahihan dan kepalsuan
hadist. Sebab dalam hal ini, perai, sebagai peneliti terhadap sanad dan matan hadist,
dianggap sebagai mutakharij hadist dan bahkan dianggap sebagai seseorang yang
melembagakannya dalam karyanya.

Validitas hasil penelitian sanad dan matan hadist yang dilakukan oleh seorang perawi
hadist mungkin dipandang sebagai persoalan tersendiri dalam upaya mengatasi kemunculan
hadist palsu. Persoalan ini perlu ditanyakan kembali karna dalam kenyataannya hasil
penelitian itu sangat berpengaruh pada corak pandang seorang perawi sebagai peneliti hadist
nabi. Namun, peneliti atau kritikus berwenang untuk meneliti atau mengkritik hadist apabila
telah memnuhi persyaratan persyaratan yang telah ditentukan ulama pakar hadist. Di samping
itu, dalam meneliti snad hadist pakar pakar hadist telah merumuskan ketentuan karakteristik
hadis palsu ditinju dari segi sanad dan matannya serta ketentuan lain untuk dijadikan acuan
untuk meriwayatkan hadist.

Dalam kaitannya dengan adanya pemalsuan hadist, sebagai langkah konkrit, para pakar
hadist membahas perawi yang tidak memiliki kredibilitas dan di klam sebagai pendusta ulung
dalam kitab kitab jahr wa tadil. Dengan demikian seorang perawi akan mendapat pengakuan
tentang hadist yang diriwayatkannya jika ia telah lolos dalam seleksi yang mengaacu pada
ketentuan ketentuan yang di maksud.

[ Ailah, Lena Karlina, Husnul ] 10


Ulama hadist sebagaiman yang dikemukakan Syuhudi Ismail, berpendapat baha ada dua
hal yang harus diteliti pada diri periwayat hadist untuk dapat diketahui apakah hadist yang
dikemukakannya dapat diterima sebagi hujjah atau di tolak. Kedua itu adalah keadilan dan
kedabitannya. Keadilan berhubungan dengan kualitas pribadi sedangkan kedabitan
berhiobungan dengan kapasitas intelektual peraiwi. Apabila kedua hal itu dimiliki seorang
periwayat maka hadist maka periwayat tersebut dibamakan tsiqoh dan hadist yang
diriayatkan dapat diterima.

Mustafa as – Sibai secara tegas menjelaskan tentang perawi hadist yang harus
disingkirkan periwatannya, diantaranya (1) orang yang berdusta dan mengaku telah menerima
hadist nabi; (2) orang yang suka berdusta, kendatipun tidak pernah membuat hadist palsu;
(3) ahli bid’ah dan pengikut hawa nafsu; (4) orang zindik, orang fasik, dan orang orang yang
lalai yang tidak menyadari apa yang mereka katakan serta orang yang tidak memiliki sifat
teliti, cekatan, adil, cerdas.[13].

[ Ailah, Lena Karlina, Husnul ] 11


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Al Qur’an adalah sumber hukum Islam yang pokok, yang mengandung banyak ayat yang
bersifat mujmal (global), mutlak, dan ‘am (umum). Oleh karena itu, kita
memerlukan  hadits yang berperan sebagai sumber hukum Islam yang kedua. Hadits
berfungsi untuk menguatkan dan menjelaskan hukum yang terkandung dalam al Qur’an
secara terperinci dan mendalam.
Hadis memiliki kedudukan yang sangat penting dalam literature sumber hokum islam.
Seiring berkembangnya ilmu hadis terdapat orang/kelompok tertentu yang
menyalahgunaakan hadis untuk kepentingannya sendiri, sehingga muncul kesempatan
terhadap pemalsuan hadis. Karena Al Qur’an yang secara resmi dijaga dan dipelihara
keasliannya oleh Allah SWT.  dan juga al Qur’an telah ditulis sejak zaman Nabi dan
dibukukan pada masa khalifah Abu Bakar Al-Shidiq. Sedangkan Hadits baru ditulis dan
dibukukan hampir 1 abad (100 tahun) sepeninggalnya Rasulullah SAW. sehingga sulit
untuk menjaga kevalidan hadits tersebut, karena ada orang-orang atau kelompok tertentu
yang mulai membuat dan mengatakan sesuatu yang dinisbatkan kepada Rasulullah Saw.
dengan alasan yang dibuat-buat. Sehingga terdapaat kesempatan munculnya hadits palsu
atau hadits Maudhu’.[1]
Seiring berkembangnya peneliti hadist semakin banyak ditemukan hadits-hadits yang
palsu. Maka kami membahas mengenai berbagi macam pemalsuan hadist dan cara
mengatasinya. Semoga dapat bermanfaat.
B. Saran
Alhamdulillah, penulisan makalah ini terselesaikan dan tersusun secara sistematik. Tetapi
penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari sempurna, karena
mengingat keterbatasan pengetahuan dari penulis. Maka dari itu penulis mohon kritik dan
saran dari berbagai pihak guna perbaikan kearah yang lebih baik lagi kedepannya.

[ Ailah, Lena Karlina, Husnul ] 12

Anda mungkin juga menyukai