Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Terapi Komplementer ini sudah dikenal secara luas serta telah
digunakan sejak dulu dalam dunia kesehatan. Namun, dalam beberapa survei
yang telah dilakukan mengenai penggunaan terapikomplementer, cakupan
terapi komplementer sendiri masih agak terbatas. Seperti Thomas Friedman
(2005) mengatakan; saat ini, dunia kesehatan, termasuk salah satunya praktisi
keperawatan masih bingung tentang apa itu terapi komplementer.
Memperluas pengetahuan tentang perspektif obat pelengkap seperti terapi
komplementer, dilakukan oleh sebagian orang-orang dalam beberapa budaya
di dunia yaitu sangat penting untuk perawatan kesehatan yang kompeten..
Dengan demikian sangat penting bagi perawat profesional kesehatan untuk
melakukan penilaian holistik pasien mereka untuk menentukan arah yang luas
dari penyembuhan praktek-praktek yang akan mereka jalankan. Hal ini
berlaku tidak hanya bagi pasien baru, tapi untuk semua pasien.
Terapi komplementer yang dikenal juga sebagai terapi kedokteran
alternatif melesat cepat menjadi bagian dari pelayanan kesehatan termasuk
pelayanan keperawatan. Terapi moderen yang dianggap sebagai ilmu
kedokteran barat (western medicine) memang sejak lama memproklamirkan
dirinya sebagai ilmu kedokteran dengan dasar rasional. Artinya pemecahan
masalah kesehatan didasarkan atas pertimbangan yang bisa dinalar dan harus
masuk akal. Sehingga para penganut aliran ini menganggap bahwa masalah
kesehatan akan tuntas diselesaikan jika penyebabnya dihilangkan. Misalnya
orang yang mengalami keganasan (kanker) payudara akan dianggap selesai
segalanya jika kanker yang ada di payudara dihilangkan / dioperasi. 
Hal ini berbeda dengan pengobatan timur yang menganggap bahwa
there is something behind something. Artinya ketika seseorang dinyatakan
menderita penyakit tertentu, pasti ada sesuatu di balik penyakit yang sedang

1
dideritanya. Thus, tidak hanya sekedar menghilangkan kanker, namun harus
juga dipertimbangkan hal lain yang melatarbelakangi kanker tersebut.
Karenanya dalam pendekatan pemecahan masalah kesehatan, kedokteran
timur cenderung lebih alamiah dan lebih aman dari sisi efek samping yang
tidak didapatkan pada pengobatan modern (barat) karena cenderung
menggunakan bahan sintetik/kimia. Silva & Ludwick (2005) mengidentifikasi
paling tidak ada tiga isu etik sekaitan dengan terapi komplementer yaitu
terkait dengan keamanan, bidang praktik dan perbedaan budaya. 

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan di atas, maka dapat
dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut.
1. Bagaimanakah definisi terapi komplementer?
2. Bagaimanakah klasifikasi jenis terapi komplementer?
3. Bagaimanakah teknik dan aplikasi terapi komplementer?
4. Bagaimanakah aplikasi terapi komplementer pada balita?

C. Tujuan
Sejalan dengan rumusan permasalahan sebelumnya, maka dapat diuraikan
kembali tujuan penulisan makalah ini antara laian sebagai berikut.
1. Untuk menjelaskan definisi terapi komplementer
2. Untuk menjelaskan klasifikasi jenis terapi komplementer
3. Untuk menjelaskan teknik dan aplikasi terapi komplementer
4. Untuk menjelaskan aplikasi terapi komplementer pada balita

2
D. Manfaat
Beberapa manfaat dalam penyususnan makalah ini dapat dijabarkan sebgai
berikut.
1. Manfaat Teoritis
Hasil dari penyusunan makalah ini diharapkan dapat memberikan
manfaat kepada semua pihak, khususnya kepada mahasiswa keperawatan
untuk menambah pengetahuan dan wawasan mengenai Aplikasi Terapi
Komplementer Pada Balita
2. Manfaat Praktis
Hasil dari penyusunan makalah ini diharapkan dapat dijadikan
sebagai suatu pembelajaran bagi mahasiswa keperawatan yang nantinya
ilmu tersebut dapat dipahami dan diaplikasikan dalam praktik
keperawatan.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Terapi Komplementer


Terapi komplementer dikenal dengan terapi tradisional yang
digabungkan dalam pengobatan modern. Komplementer adalah penggunaan
terapi tradisional ke dalam pengobatan modern (Andrewset al., 1999).
Terminologi ini dikenal sebagai terapi modalitas atau aktivitas yang
menambahkan pendekatan ortodoks dalam pelayanan kesehatan (Crips &
Taylor, 2001).
Terapi komplementer juga ada yang menyebutnya dengan
pengobatan holistik. Pendapat ini didasari oleh bentuk terapi yang
mempengaruhi individu secara menyeluruh yaitu sebuah keharmonisan
individu untuk mengintegrasikan pikiran, badan, dan jiwa dalam kesatuan
fungsi (Smith et al., 2004). Pendapat lain menyebutkan terapi komplementer
dan alternatif sebagai sebuah domain luas dalam sumber daya pengobatan
yang meliputi sistem kesehatan, modalitas, praktik dan ditandai dengan teori
dan keyakinan, dengan cara berbeda dari sistem pelayanan kesehatan yang
umum di masyarakat atau budaya yang ada (Complementary and alternative
medicine/CAM Research Methodology Conference, 1997 dalam Snyder &
Lindquis, 2002). Selain itu, terapi komplementer meningkatkan kesempatan
perawat dalam menunjukkan caring pada klien (Snyder & Lindquis, 2002).
Menurut WHO (World Health Organization), Pengobatan
komplementer adalah pengobatan non-konvensional yang bukan berasal dari
negara yang bersangkutan. Jadi untuk Indonesia, jamu misalnya, bukan
termasuk pengobatan komplementer tetapi merupakan pengobatan tradisional.
Pengobatan tradisional yang dimaksud adalah pengobatan yang sudah dari
zaman dahulu digunakan dan diturunkan secara turun – temurun pada suatu
negara. Tapi di Philipina misalnya, jamu Indonesia bisa dikategorikan sebagai
pengobatan komplementer.

4
Terapi komplementer adalah cara Penanggulangan Penyakit yang
dilakukan sebagai pendukung kepada Pengobatan Medis Konvensional atau
sebagai Pengobatan Pilihan lain diluar Pengobatan Medis yang
Konvensional. Bagi perawat yang tertarik mendalami terapi komplementer
dapat memulai dengan tindakan – tindakan keperawatan atau terapi modalitas
yang berada pada bidang keperawatan yang dikuasai secara mahir berdasarkan
perkembangan teknologi terbaru.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) pada 2010 lalu, sebanyak 55,3% orang Indonesia mengkonsumsi
jamu untuk menjaga kesehatan(Jonosewojo, 2013).Penggunaan terapi
alternatif berupa preparat herbal, terapi komplementer, dan terapi fisik
nonmedis merupakan hal yang umum dijumpai. Penelitian di Amerika Serikat
menunjukkan bahwa penggunaan obat herbal meningkat dari 3% pada tahun
1990 menjadi 12% pada tahun 1997, dan 19% pada tahun 2002(Pinzon,
2007).Saat ini penggunaan CAMdi Amerika Serikat mencapai 40% dan di
Inggris mencapai 20% (E Ernst, M H Cohen, J Stone, 2004).
Obat herbal kini menarik perhatian serius dari pemerintah, salah satu
program unggulan Departemen Kesehatan tahun 2011 menetapkan obat herbal
atau jamu masuk pelayanan kesehatan primer. Meski obat herbal di Indonesia
telah dikenal sejak dulu, tetapi sebagian besar belum memiliki latar belakang
ilmiah yang shahih. Hal ini menjadi kendala ketika masuk dalam dunia
formal. Pasalnya, dalam dunia kedokteran modern saat ini berpegang kuat
pada Evidence Based Medicine (EBM) padasetiap mengambil keputusan
medis (Arsana & Djoerban, 2011).
Sampai saat ini, sebanyak 56 rumah sakit (RS) di 18 provinsi sudah
melayani pengobatan nonkonvensional seperti pengobatan alternatif atau
herbal tradisional di samping pengobatan medis konvensional(PERSI,
2013).Berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Bina Pelayanan Medik
telah ditetapkan 12 (dua belas) Rumah Sakit Pendidikan yang melaksanakan
pelayanan pengobatan komplementer tradisional-alternatif: RS Kanker
Dharmais Jakarta, RSUP Persahabatan Jakarta, RSUD Dr. Soetomo Surabaya,

5
RSUP Prof. Dr. Kandau Menado, RSUP Sanglah Denpasar, RSUP Dr.
Wahidin Sudiro Husodo Makassar, RS TNI AL Mintoharjo Jakarta, RSUD
Dr. Pringadi Medan, RSUD Saiful Anwar Malang, RS Orthopedi Prof. Dr. R.
Soeharso Solo, RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, RSUP Dr. Suraji Tirtonegoro
Klaten. Menteri Kesehatan telah mengarahkan bahwa RS Pendidikan Vertikal
harus melayanipengobatan komplementer tradisional -alternatif yaitu ramuan
jamu sedangkan herbal yang lain bisa setelah itu (Ditjen BUK Kemenkes RI,
2010).
Terapi komplementer yang ada menjadi salah satu pilihan pengobatan
masyarakat. Di berbagai tempat pelayanan kesehatan tidak sedikit klien
bertanya tentang terapi komplementer atau alternatif pada petugas kesehatan
seperti dokter ataupun perawat. Masyarakat mengajak dialog perawat untuk
penggunaan terapi alternatif (Smith et al., 2004). Hal ini terjadi karena klien
ingin mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan pilihannya, sehingga
apabila keinginan terpenuhi akan berdampak ada kepuasan klien. Hal ini dapat
menjadi peluang bagi perawat untuk berperan memberikan terapi
komplementer.
Peran yang dapat diberikan perawat dalam terapi komplementer atau
alternatif dapat disesuaikan dengan peran perawat yang ada, sesuai dengan
batas kemampuannya. Pada dasarnya, perkembangan perawat yang
memerhatikan hal ini sudah ada. Sebagai contoh yaitu American Holistic
Nursing Association (AHNA), Nurse Healer Profesional Associates (NHPA)
(Hitchcock et al.,1999). Ada pula National Center for
Complementary/Alternative Medicine (NCCAM) yang berdiri tahun 1998
(Snyder & Lindquis, 2002).
Kebutuhan masyarakat yang meningkat dan berkembangnya penelitian
terhadap terapi komplementer menjadi peluang perawat untuk berpartisipasi
sesuai kebutuhan masyarakat. Perawat dapat berperan sebagai konsultan untuk
klien dalam memilih alternatif yang sesuai ataupun membantu memberikan
terapi langsung. Namun, hal ini perlu dikembangkan lebih lanjut melalui

6
penelitian (evidence-based practice) agar dapat dimanfaatkan sebagai terapi
keperawatan yang lebih baik.
Berdasarkan pada uraian di atas, maka definisi dari keperawatan
komplementer dapat diartikan sebagai segala bentuk tindakan yang diberikan
yang merupakan bagian dari berbagai bentuk praktik kesehatan selain tindakan
konvensional, ditujukan untuk meningkatkan derajat kesehatan di tahap
pencegahan primer, sekunder, dan tersier dan diperoleh melalui pendidikan
khusus yang didasari oleh ilmu-ilmu kesehatan (Nies dan McEwen, 2019).

B. Jenis – Jenis Terapi Komplementer


1. Praktek-praktek penyembukan tradisional seperti ayurweda dan akupuntur.
2. Terapi fisik seperti chiropractic, pijat, dan yoga.
3. Hypnotherapy dan Hypnosirkumsisi
4. Homeopati atau jamu-jamuan.
5. Pemanfaatan energi seperti terapi polaritas, reiki, biocosmic, bio aura, dsb.
6. Teknik-teknik relaksasi, termasuk meditasi dan visualisasi.
7. Suplemen diet, seperti vitamin dan mineral, dan banyak lagi

C. Teknik dan  Aplikasi Terapi Komplementer
1. Terapi komplementer yang diintegrasikan dalam pelayanan konvensional
Di Indonesia ada 3 jenis teknik pengobatan komplementer yang
telah ditetapkan oleh Departemen Kesehatan untuk dapat diintegrasikan ke
dalam pelayanan konvensional, yaitu sebagai berikut :
a. Akupuntur
Akupuntur medik yang dilakukan oleh dokter umum berdasarkan
kompetensinya. Metode yang berasal dari Cina ini diperkirakan sangat
bermanfaat dalam mengatasi berbagai kondisi kesehatan tertentu dan
juga sebagai analgesi (pereda nyeri). Cara kerjanya adalah dengan
mengaktivasi berbagai molekul signal yang berperan sebagai
komunikasi antar sel. Salah satu pelepasan molekul tersebut adalah
pelepasan endorphin yang banyak berperan pada sistem tubuh.

7
b. Terapi hiperbarik
Terapi hiperbarik yaitu suatu metode terapi dimana pasien dimasukkan
ke dalam sebuah ruangan yang memiliki tekanan udara 2 – 3 kali lebih
besar daripada tekanan udara atmosfer normal (1 atmosfer), lalu diberi
pernapasan oksigen murni (100%). Selama terapi, pasien boleh
membaca, minum, atau makan untuk menghindari trauma pada telinga
akibat tingginya tekanan udara
c. Terapi herbal medik,
Terapi herbal medic yaitu terapi dengan menggunakan obat bahan
alam, baik berupa herbal terstandar dalam kegiatan pelayanan
penelitian maupun berupa fitofarmaka. Herbal terstandar yaitu herbal
yang telah melalui uji preklinik pada cell line atau hewan coba, baik
terhadap keamanan maupun efektivitasnya. Terapi dengan
menggunakan herbal ini akan diatur lebih lanjut oleh Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.

Dari 3 jenis teknik pengobatan komplementer yang ada, daya


efektivitasnya untuk mengatasi berbagai jenis gangguan penyakit tidak
bisa dibandingkan satu dengan lainnya karena masing-masing mempunyai
teknik serta fungsinya sendiri-sendiri. Terapi hiperbarik misalnya,
umumnya digunakan untuk pasien-pasien dengan gangren supaya tidak
perlu dilakukan pengamputasian bagian tubuh. Terapi herbal, berfungsi
dalam meningkatkan daya tahan tubuh. Sementara, terapi akupunktur
berfungsi memperbaiki keadaan umum, meningkatkan sistem imun tubuh,
mengatasi konstipasi atau diare, meningkatkan nafsu makan serta
menghilangkan atau mengurangi efek samping yang timbul akibat dari
pengobatan kanker itu sendiri, seperti mual dan muntah, fatigue
(kelelahan) dan neuropati.

2. Terapi komplementer non konvensional


a. Akupresur/pijat

8
Akupresur adalah sebuah sistem metode therapi yang banyak di
gunakan untuk mengobati berbagai macam penyakit. Menggunakan
metode yang sama dengan cara yang digunakan akupuntur, hanya
bedanya, akupresur tidak menggunakan jarum dalam proses
pengobatan nya. Akupresur adalah salah satu bentuk fisio terapi
dengan memberikan pemijatan dan stimulsi pada titik- titik tertentu
pada tubuh. Berguna untuk mengurangi bermacam-macam sakit dan
nyeri serta mengurangi ketegangan, stres kelelahan dan
penyakit.akupresur menyembuhkan sakit dan nyeri yang sukar di
sembuhkan seperti, nyeri punggung, spondilitis, kram perut, gangguan
neurologis, artritis, dll. Titik aku presur terletak pada  telapak tangan
begitu juga dengan kedua telapak kaki.  Di telapak tangan kita terdapat
titik akupresur untuk: jantung, paru, ginjal, mata, hati, kelenjad tiroid,
pankreas, sinus, dan otak.
b. Bekam/ cuping therapy
Bekam merupakan istilah yang di kenal dam bahasa melayu, hijamah
(bahasa arab) cupping (bahasa ingris) dan gua sha (bahasa
cina) sedangkan orang indoneia mengenalnya dengan catuk atau kop.
Bekam sudah di kenal sejak jaman mesir kuno. Bekam mengatur
energi dan aliran darah. Tujuan utama dari pengobatan bekam adalah
untuk menghilangkan penyebab ketidak harmonisan  dari tubuh,
memulihkan sirkulasi darah.
3. Terapi Komplementer Herbal Anti anxietas
a. Lavender
b. Valerian
c. Vanilla

9
D. Aplikasi Terapi Komplementer pada Balita
Dalam penerapannya terapi komplementer dapat dimanfaatkan sebagai
terapi untuk menurunkan demam pada anak, yaitu dengan melakukan refleksi
atau akupresur di titik tertentu.

1. Letak titik pijat refleksi demam


Berikut ini beberpa titik pijat refleksi untuk mengobati demam yang anda
derita, titik-titik refleksi ini terletak pada telapak kaki, punggung kaki, di
tangan dan sebagian titik akupresur di punggung badan, cermati titik-
titiknya dan praktekkan jika gejala demam menyerang anda.
Titik Refleksi demam di kaki

Keterangan gambar:
1. Merupakan titik refleksi kelenjar
dibawah otak kanan dan kiri
2. Adalah titik refleksi limpa yang
berada khusus di telapak kaki kiri

Keterangan gambar:
1. Adalah titik refleksi kelenjar getah
bening bagian dada
2. Merupakan titik refleksi kelenjar getah
bening bagian perut

3. Titik refleksi kelenjar getah bening yang


berada di bagian atas tubuh

10
Lakukan pemijatan pada setiap titik refleksi tersebut secara perlahan
minimal 2 menit, anda bisa mengulangi pemijatan pada titik yang sama
setelah 5 menit kemudian.

2. Titik akupresur sakit demam


Setelah melakukan pemijatan pada titik refleksi demam di telapak dan
punggung kaki, sekarang teruskan dengan melakukan pemijatan pada titik-
titik akupresur untuk demam yang bisa anda lihat pada gambar berikut ini.
Keterangan gambar:
1. Terletak di otot antara ibu jari dan jari telunjuk
2. Titik saraf berada di siku bagian atas
lipatan

Lakukan pemijatan dengan


perlahan dan jangan terlalu keras
pada titik tersebut, karena akan
menyebabkan rasa sakit yang
berlebihan, kurangi tekanan pada saat pemijatan bila pasien merasa kesakitan.

Keterangan gambar:
 1A dan 1B adalah titik akupresur yang berada di otot pundak sebelah kiri
dan kanan
 Titik 2A dan 2B berada di sebelah tulang belikat atas kiri dan kanan

Jangan lupa untuk melakukan pemijatan pada semua titik-titik yang


sudah disediakan diatas dan setelah selesai melakukan terapi refleksi dan
akupresur dianjurkan agar pasien minum air putih minimal 500 ml.

11
3. Madu Secara Efektif Menurunkan Frekuensi Batuk pada Malam
Hari dan Meningkatkan Kualitas Tidur Pada Balita dengan
Pneumonia
Penelitian ini dilakukan oleh Rokhaidah, Nani Nurhaeni, Nur
Agustini (Program Magister Keperawatan FIK UI, Depok)
Penelitian ini mengidentifikasi beberapa karak-teristik responden, yaitu
usia anak pneumonia berkisar 17,7 bulan sampai 19,4 bulan. Mayoritas
berjenis kelamin laki-laki (58,3%), status gizi sebagian besar (63,8%)
normal, mayoritas (69,5%) tidak mendapatkan Air Susu Ibu (ASI)
eksklusif dan mayoritas (63,9%) anak pneumonia menda-patkan imunisasi
Difteri, Pertusis, dan Tetanus (DPT) dan campak.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Cohen, et al., (2012)
yang menemukan skor frekuensi batuk dan skor kualitas tidur anak yang
mengalami infeksi saluran pernafasan akut pada kelompok yang diberikan
madu menunjukkan penurunan yang bermakna pada saat post test
dibandingkan dengan kelompok kontrol. Warren, Pont, Barkin, Callahan,
Caples, Carol, dan Plemmons (2007) juga menemukan bahwa terdapat
perbedaan penurunan skor batuk yang signifikan antara kelompok yang
diberikan madu dengan kelompok kontrol, penurunan skor batuk pada
kelompok intervensi lebih besar dibanding-kan dengan kelompok kontrol.
Penelitian lain dari Paul, et al., (2007) tentang efek madu, dex-
tromethorphan, dan tanpa intervensi terhadap batuk malam hari dan
kualitas tidur anak dan orang tua, didapatkan hasil terdapat perbedaan
penurunan skor frekuensi batuk yang signifikan pada kelompok yang
diberikan madu dibanding-kan dengan kelompok lainnya. Rerata
penurunan skor frekuensi batuk dan skor kualitas tidur pada kelompok
yang diberikan madu lebih tinggi di-bandingkan dengan kelompok
dextromethorphan dan kelompok tanpa intervensi. Hasil penelitian ini dan
penelitian serupa tentang efek madu terhadap batuk pada malam hari dan
kualitas tidur anak telah membuktikan bahwa madu efektif untuk
mengurangi frekuensi batuk dan memperbaiki kualitas tidur. Manfaat ini

12
terkait dengan komposisi madu yang mengandung zat-zat unik yang
sangat bermanfaat untuk kesehatan. Alquran surah An-Nahl (lebah) ayat
69 menjelaskan tentang manfaat madu, yang artinya “Kemudian makanlah
dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang
telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu keluar minuman (madu)
yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang
menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang
berpikir.”
Penurunan skor frekuensi batuk pada anak setelah diberikan madu
terjadi karena madu mempunyai kandungan antibiotik alami, antioksidan,
dan kombinasi zat-zat lain. Selain itu, madu merupakan komponen penting
yang dapat membantu meringankan batuk anak-anak. Madu berfungsi
melapisi tenggorokan dan memicu mekanisme menelan, rasa manis pada
madu akan mengubah sensitivitas serabut sensori. Ada interaksi antara
saraf sensori lokal dengan sistem saraf pusat yang terlibat dalam regulasi
mekanisme batuk sehingga mampu meredakan batuk (McCoy dan Chang,
2013).
Di Indonesia, penyebab tersering pneumonia pada anak adalah dari
jenis bakteri. Menurut Bogdanov (2011), madu mempunyai efek
antimikroba lang-sung dan tidak langsung. Efek madu sebagai antimikroba
langsung adalah dengan menghambat pertumbuhan mikroorganisme,
madu memiliki efek bakteriostatik dan bakterisida. Oksidase glukosa
madu menghasilkan agen antibakteri hidrogen peroksida, sedangkan agen
antibakteri nonhidrogen peroksida antara lain kandungan gula yang tinggi
pada madu menyebabkan efek osmotik gula, pH bersifat asam, kandungan
fenolat dan flavonoid, serta kandungan protein dan karbohidrat madu yang
semuanya bertanggung jawab atas aktivitas antibakteri sehingga madu
dapat membantu melawan agen penyebab pneumonia anak. Ajibola (2012)
menjelaskan bahwa madu dapat merangsang dan meningkatkan produksi
antibodi selama proses pembentukan imunitas primer dan sekunder.

13
Peningkatan kualitas tidur yang signifikan pada saat posttest
kelompok yang diberikan madu sebelum tidur disebabkan oleh madu dapat
merangsang pengeluaran hormon melatonin yang berfungsi memicu
pelepasan hormon pertumbuhan yang mengatur pemulihan fungsi
fisiologis tubuh, memelihara dan membangun kembali tulang, serta otot
dan jaringan tubuh lainnya. Semua itu terjadi pada waktu malam.
Melatonin berdampak pada konsolidasi memori dengan pembentukan
molekul adhesi sel saraf selama tidur rapid eye movement (REM).
Bersamaan dengan itu, fruktosa dalam madu diserap oleh hati untuk
diubah menjadi glukosa kemudian menjadi glikogen sehingga mampu
memasok kebutuhan glukosa otak dengan cepat pada waktu malam. Selain
itu, fruktosa mengatur penyerapan glukosa ke dalam hati dengan
merangsang pelepasan glukokinase. Fruktosa memastikan pasokan
glikogen hati selama semalam dan mencegah lonjakan glukosa, insulin,
dan pelepasan hormon stres (McInnis, 2008).
Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa madu terbukti efektif
menurunkan skor frekuensi batuk malam hari dan meningkatkan kualitas
tidur anak balita dengan penumonia. Hasil penelitian ini juga dapat
menjadi bahan masukan atau pertimbangan bagi perawat anak untuk
dijadikan sebagai bagian dari intervensi keperawatan dalam merawat anak
yang mengalami pneumonia. P-nelitian berikutnya perlu dikembangkan
kembali, yaitu penelitian manfaat madu terhadap batuk pada malam hari
serta kualitas tidur anak dan orang tua yang mengidap pneumonia.

14
4. Terapi Komplementer dalam Mengatasi ISPA pada Balita di Desa
Beganding Kabupaten Karo Sumatera Utara
Mayoritas penggunaan terapi komplementer pada responden adalah
pemakaian secara kombinasi. Terdapat 16 responden yang menggunakan
terapi komplementer secara kombinasi diantaranya 10 orang responden
yang menggunakan dua terapi komplementer sekaligus dan 6 orang
responden yang menggunakan tiga terapi sekaligus, kemudian 12 orang
responden yang menggunakan hanya satu terapi setiap periode sakit.
Dalam penggunaan terapi komplementer terdapat total 10 responden yang
menggunakan larutan jahe madu sebagai upaya untuk mengatasi ISPA
pada balita baik secara kombinasi ataupun tidak. Namun berdasarkan
analisa data responden tidak selalu menggunakan larutan jahe madu ketika
balita menderita batuk dan pilek. Mayoritas responden (90%) tidak setiap
hari dengan rutin memberikan terapi larutan jahe madu hingga sembuh,
dan digunakan dengan frekuensi <3x sehari (80%) dengan dosis satu
sendok makan madu dicampur dengan satu iris jahe (100 %). Menurut
asumsi peneliti mayoritas responden memberikan terapi komplementer
kepada balitanya hanya ketika keluarga ingat. Dalam penggunaan terapi
jahe madu didapati bahwa mayoritas responden menggunakan terapi
tradisional lain yang digunakan secara bersamaan (60%).
Untuk penggunaan terapi jeruk nipis dan kecap manis terdapat total
11 responden dengan 1 responden yang hanya menggunakan terapi
campuran jeruk nipis dan kecap manis serta 10 responden yang
menggunakannya secara kombinasi. Namun mayoritas responden (63,6%)
tidak selalu menggunakan campuran jeruk nipis dan kecap manis ketika
balita menderita batuk dan pilek.
Mayoritas responden (81,8%) tidak setiap hari dengan rutin
memberikan terapi campuran jeruk nipis dan kecap manis hingga sembuh,
dan digunakan dengan frekuensi < 3x sehari (54,5%) dengan dosis satu
sendok makan sekali pemberian(100 %). Dalam penggunaan terapi
campuran jeruk nipis dan kecap manis didapati bahwa mayoritas

15
responden menggunakan terapi tradisional lain yang digunakan secara
bersamaan (63,6%).
Dalam penggunaan terapi komplementer didapati 15 responden
yang menggunakan terapi sentuhan atau pemijatan sebagai upaya untuk
mengatasi ISPA pada balita dan mayoritas responden melakukan terapi
sentuhan setiap kali balita mengalami batuk pilek (66,7%). Pemberian
terapi sentuhan atau pijat pada mayoritas responden hanya diberikan
kerika batuk yang diderita balita terlihat parah saja. Dalam pemberian
terapi sentuhan atau pijat seluruh responden menggunakan minyak
esensial seperti minyak kayu putih, minyak telon, atau pun minyak
tradisional. Sebanyak 66,7 % responden yang menggunakan terapi
sentuhan atau pijat menggunakan terapi tradisional lain selama satu
periode sakit balita.
Terapi sembur sebagai hasil dari terapi lainnya yang dipilih sebagai
terapi untuk mengatasi ISPA di desa Beganding Kabupaten Karo
digunakan oleh 15 responden. Terdiri dari 5 responden yang menggunakan
hanya terapi sembur saja dan 10 responden yang menggunakan secara
kombinasi. Dalam penggunaannya responden mengatakan bahwa terapi
sembur selalu digunakan ketika balita sakit. Berdasarkan hasil wawancara,
responden mengatakan bahwa tidak takut dan tidak khawatir
menggunakan terapi komplementer. Karena terapi komplementer yang
digunakan merupakan bahan-bahan herbal, terkhusus untuk terapi sembur
yang merupakan obat tradisional mereka juga mengatakan tidak khawatir
karena sembur merupakan pengobatan dari luar yang menurut responden
bermanfaat untuk menghangatkan badan. Dalam penggunaan terapi
komplementer, menurut asumsi peneliti masyarakat desa Beganding
terlebih dahulu memberikan pengobatan medis lalu kemudian terapi
komplementer. Seluruh responden adalah keluarga yang tetap
mengandalkan terapi medis dalam penyembuhan sakit pada balita, tetapi
sesuai dengan hasil penelitian bahwa masyarakat di desa Beganding juga
tidak terlepas dalam penggunaan terapi komplementer.

16
Hasil penelitian yang telah dilakukan tentang “Terapi
Komplementer Dalam Mengatasi ISPA Pada Keluarga Yang Memiliki
Balita Di Desa Beganding Kabupaten Karo” yang dilaksanakan pada bulan
Juli 2016 dapat disimpulkan bahwa hasil penelitian ini memperlihatkan
mayoritas anggota keluarga memberikan terapi komplementer pada balita
saat mengalami ISPA yaitu dengan persentase 87,5 % dengan pemilihan
terapi yaitu terapi sembur baik digunakan secara kombinasi ataupun terapi
sembur saja. Cara penggunaan terapi tidak menggunakan aturan yang
pasti, hanya ketika balita mengalami batuk pilek keluarga akan
memberikan sesuai kebutuhan hingga balita sembuh. Walaupun responden
sudah seluruhnya menggunakan terapi medis untuk mengatasi ISPA pada
balita, terapi komplementer tetap menjadi pilihan sebagai terapi tambahan
untuk pengobatan ( Rumahorbo, 2016).

5. Potensi Biji Fenugreek (Trigonella Foenum-Graecum L.) Sebagai


Terapi Komplementer dalam Meningkatkan Produksi Air Susu Ibu
(ASI)
ASI adalah sumber makanan paling ideal untuk bayi. Menyusui
memiliki efek jangka panjang dan jangka pendek pada kesehatan bayi.
Produksi ASI dikendalikan oleh interaksi berbagai hormon, dengan
prolaktin menjadi hormon dominan yang terlibat. Anak-anak yang diberi
ASI eksklusif akan tumbuh dan berkembang secara optimal dan tidak
mudah sakit. Biji fenugreek adalah salah satu galaktagogan yang paling
sering digunakan yang merangsang sekresi ASI. Mekanisme aksi mereka
yang sebenarnya tidak diketahui. Para peneliti percaya bahwa kelenjar
payudara ditingkatkan melalui kelenjar keringat dan fenugreek
meningkatkan produksi susu melalui peningkatan produksi keringat. Tidak
ada efek samping yang dilaporkan oleh peserta berdasarkan penelitian
yang dilakukan dari Ghasemi, Damanik, Turkyilmaz. Hasil penelitian di
Turki menunjukkan bahwa teh herbal dengan kelompok fenugreek

17
memiliki hampir dua kali lipat volume rata-rata susu yang dipompa (73
mL) dibandingkan dengan plasebo (39 mL) dan kelompok kontrol (31
mL). Selain itu, karena berbagai efek fenugreek pada fisiologi manusia,
penting untuk mengkonsumsi fenugreek pada dosis optimal. Dilaporkan
bahwa sebagian besar wanita mengalami peningkatan pasokan susu dalam
24 hingga 72 jam penggunaan. Biji fenugreek memiliki diosgenin dan
fitoestrogen yang meningkatkan produksi ASI, berat badan bayi,
meningkatkan jumlah waktu menyusui. Efek samping yang ditimbulkan
dari ekstrak biji klabet lebih ringan dibandingkan dengan obat-obatan
sintesis. Efek fenugreek lebih rendah dari Coleus amboinicus Lour dan
kurma (Karima dan Pratama, 2018).

18
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Terapi komplementer dikenal dengan terapi tradisional yang
digabungkan dalam pengobatan modern. Komplementer adalah penggunaan
terapi tradisional ke dalam pengobatan modern (Andrewset al., 1999).
Terminologi ini dikenal sebagai terapi modalitas atau aktivitas yang
menambahkan pendekatan ortodoks dalam pelayanan kesehatan (Crips &
Taylor, 2001). Menurut WHO (World Health Organization), Pengobatan
komplementer adalah pengobatan non-konvensional yang bukan berasal dari
negara yang bersangkutan.

Jenis-jenis terapi komplementer dapat berupa Praktek-praktek


penyembukan tradisional seperti ayurweda dan akupuntur, Terapi fisik seperti
chiropractic, pijat, dan yoga, Hypnotherapy dan Hypnosirkumsisi, Homeopati
atau jamu-jamuan, Pemanfaatan energi seperti terapi polaritas, reiki,
biocosmic, bio aura, dsb, Teknik-teknik relaksasi, termasuk meditasi dan
visualisasi, Suplemen diet, seperti vitamin dan mineral, dan banyak lagi

Terapi komplementer yang diintegrasikan dalam pelayanan


konvensional dapat berupa Akupuntur, Terapi hiperbarik, Terapi herbal
medik. Selain itu, ada juga, Terapi komplementer non konvensional berupa
Akupresur/pijat dan Bekam/ chuping therapy.

Aplikasi Terapi Komplementer pada Balita bisa berupa titik pijat


refleksi demam dan titik akupresur sakit demam. Titik akupresur sakit demam
merupakan titik pijat refleksi untuk mengobati demam yang anda derita, titik-
titik refleksi ini terletak pada telapak kaki, punggung kaki, di tangan dan
sebagian titik akupresur di punggung badan, cermati titik-titiknya dan
praktekkan jika gejala demam, sedangkan titik akupresur sakit demam:

19
pemijatan pada titik refleksi demam di telapak dan punggung kaki, sekarang
teruskan dengan melakukan pemijatan pada titik-titik akupresur untuk demam

B. Saran
Sebagai mahasiswa keperawatan diharapkan dapat memahami aplikasi
komplementer yang dapat diberikan pada balita agar nantinya dapat
mengaplikasikannya dengan baik pada saat berada di rumah sakit ataupun di
komunitas masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Achjar, Komang Ayu Henny. 2010. Aplikasi Praktis Asuhan Keperawatan


Keluarga. Jakarta: Sagung Seto.

20
Hinchliff, Sue. 1999. Kamus Keperawatan / Sue Hinchliff; alih bahasa, Andry
Hartono; editor edisi bahasa indonesia, Yasmin Asih. Ed. 17. Jakarta: EGC.
Karima, Nisa dan Pratama, Rifki. 2018. Potensi Biji Fenugreek (Trigonella
Foenum-Graecum L.) Sebagai Terapi Komplementer dalam Meningkatkan
Produksi Air Susu Ibu (ASI) , Dalam Jurnal Majority I Volume 8 I Nomor
1 I Maret 2019, p.261-267
Rokhadiah dan Nurhaeni, Nani. 2015. Madu Menurunkan Frekuensi Batuk Pada
Malam Hari dan Meningkatkan Kualitas Tidur Balita dengan Pneumonia
Dalam Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 18 No.3, November 2015,
ISSN 1410-4490, eISSN 2354-920, p.167-170

Rumahorbo, Adventy Tersania. 2016. Terapi Komplementer dalam Mengatasi


ISPA pada Keluarga yang Memiliki Balita di Desa Beganding Kabupaten
Karo. Skripsi Sarjana Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.
http://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/17806 Diunduh 10
November 2019

Snyder, M. & Lindquist, R. 2002. Complementary / Alternative Therapies in


Nursing. 4th ed. New York: Springer.

21

Anda mungkin juga menyukai