Anda di halaman 1dari 15

SEJARAH KETATANEGARAAN

Nama : Fadhila Putri Salsabila


Kelas : D4
Dosen : Dr. Chandra Perbawati, S.H,M.H.
Mata Kuliah : Hukum Tata Negara

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG
Kata Pengantar

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat rahmat
dan hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini. Dalam makalah ini saya
menjelaskan mengenai Sejarah Ketatanegaraan di Indonesia. Makalah ini saya buat dalam rangka
memperdalam mata kuliah tentang Hukum Tata Negara. Saya menyadari, dalam makalah ini
masih banyak kesalahan dan kekurangan. Hal ini disebabkan terbatasnya kemampuan,
pengetahuan, dan pengalaman yang saya miliki. Oleh karena itu, saya mengharap kritik dan
saran. Deni perbaikan dan kesempurnaan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua.

Bandar Lampung, 24 Februari 2020

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……………………………………………………………………... i

DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………….. ii

BAB I : PENDAHULUAN ……………………..………………………………………….. 1

A. Latar Belakang …………………………………………………………………. 1

B. Rumusan ……………………..…………………………………………………. 1

C. Tujuan ………………………………...………………………………………… 1

BAB II : PEMBAHASAN …………………………………………………………………. 2

A. Sistem Pra Kemerdekaan ……………………………………………………….. 2

B. Sistem Pasca Kemerdekaan Indonesia ………………………………………….. 5

C. Sistem Era Reformasi …………………………………………………………… 9

BAB III : PENUTUP……………………………………………………………………….. 11

A. Simpulan …………………………………………………………………………. 11

B. Sistem Pra Kemerdekaan ……………………………………………………….... 11

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………………. 12


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Untuk mempelajari Hukum Tata Negara suatu Negara, kiranya akan lebih mudah
memperoleh kejelasannya apabila terlebih dahulu dipelajari sejarah ketatanegaraan daripada
Negaranya yang bersangkutan. Demikian pula dengan Hukum Tata Negara kita, akan mudah
diperoleh kejelasannya apabila kita mempelajari terlebih dahulu sejarah ketatanegaraannya
sebelum mulai dengan mempelajari aturan-aturan ketatanegaraannya. Apalagi kalua
mengingat bahwa dari perjalanan ketatanegaraan kita, yang masih menyelesaikan
revolusinya, ternyata penuh mengalami pasang surut sesuai dengan dinamikanya revolusi
Bangsa Indonesia, sehingga mempelajari srejarah ketatanegaraannya. Setiap negara tentunya
memiliki sejarah ketatanegaraan dalam negaranya. Perkembangan ketatanegaraan di
Indonesia dapat di bagi menjadi beberapa periode, sejak masa Proklamasi Kemerdekaan 17
Agustus 1945 sampai sekarang. Walaupun sebenarnya tonggak ketatanegaraan Indonesia
telah ada jauh sebelum proklamasi

B. Rumusan
1. Bagaimana sejarah perkembangan ketatanegaraan?
2. Apa saja yang dialami pada masa dulu sampai sekarang?
C. Tujuan
1. Mengetahui sejarah perkembangan ketatanegaraan
2. Mengetahui perkembangan dari masa dulu hingga sekarang
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sistem Pra Kemerdekaan

1. Masa Penjajahan Belanda

Pada masa ini Indonesia (yang selanjutnya disebut Hindia Belanda) dikonsturksikan
merupakan bagian dari Kerajaan Belanda. Hal ini nampak jelas tertuang dalam Pasal 1 UUD
Kerajaan Belanda ( IS 1926 ). Dengan demikian kekuasaan tertinggi di Hindia Belanda ada di
tangan Raja. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya Raja/Ratu tidak melaksanakan kekuasaannya
sendiri di Hindia Belanda, melainkan dibantu oleh Gubernur Jenderal sebagai pelaksana. Ratu
Belanda sebagai pelaksana pemerintahan kerajaan Belanda harus bertanggung jawab kepada
parlemen. Ini menunjukkan sistem pemerintahan yang dipergunakan di Negeri Belanda dalam
sistem Parlementer Kabinet.

Adapun peraturan perundang-undangan dan lembaga negara yang ada pada masa Hindia
Belanda adalah :

a. Undang Undang Dasar Kerajaan Belanda 1938

Pasal 1 : Indonesia merupakan bagian dari Kerajaan Belanda.

Pasal 62 : Ratu Belanda memegang kekuasaan pemerintahan tertinggi atas pemerintah Indonesia,
dan Gubernur Jenderal atas nama Ratu Belanda menjalankan pemerintahan Umum.

Pasal 63 : Ketatanegaraan Indonesia ditetapkan dengan undang-undang, soal-soal intern


Indonesia diserahkan pengaturannya kepada badan-badan di Indonesia, kecuali ditentukan lain
dengan Undang-Undang.

b. Indische Staatsregeling (IS) pada hakekatnya adalah Undang-undang, tetapi karena


substansinya mengatur tentang pokok-pokok dari Hukum Tata Negara yang berlaku di Hindia
Belanda (Indonesia), maka secara riil IS dapat dianggap sebagai Undang-Undang Dasar Hindia
Belanda.

Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut di atas, dapat ditarik


pemahaman bahwa sistem ketatanegaraan dan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah
Kerajaan Belanda adalah dengan menggunakan asas dekonsentrasi. Dengan demikian secara
umum, kedudukan dari Gubernur Jenderal dapat disetarakan sebagai Kepala wilayah atau alat
perlengkapan Pusat (Pemerintah Kerajaan Belanda). Adapun bentuk-bentuk peraturan
perundang-undangan yang dikenal pada masa berlakunya IS adalah :

a. WET

Yang dimaksud dengan WET adalah peraturan yang dibuat oleh Mahkota Belanda dalam
hal ini adalah Ratu/Raja Kerajaan Belanda bersama-sama dengan Parlemen (DPR di Belanda).
Dengan kata lain WET di dalam pemerintah Indonesia disebut Undang-Undang.

b. AMVB (Algemene Maatregedling Van Bestuur)

Yang dimaksud dengan Algemene Maatregedling Van Bestuur adalah peraturan yang
dibuat oleh Mahkota Belanda dalam hal ini adalah Ratu / Raja Kerajaan Belanda saja, tanpa
adanya campur tangan dari Parlemen. Dengan kata lain Algemene Maatregedling Van Bestuur di
Indonesia disebut Peraturan Pemerintah (PP).

c. Ordonantie

Yang dimaksud dengan Ordonantie adalah semua peraturan yang dibuat oleh Gubernur
Hindia Belanda bersama-sama dengan Voolksraad (Dewan Rakyat Hindia Belanda). Ordonantie
sejajar dengan Peraturan daerah (Perda) di dalam pemerintahan Indonesia saat ini.

d. RV (Regering Verardening)

Regering Verardening adalah semua peraturan yang dibuat oleh Gubernur Hindia
Belanda tanpa adanya campur tangan Volksraad. Regering Verardening setara dengan Keputusan
Gubernur .

Keempat peraturan perundang-undangan ini disebut Algemene Verordeningen (peraturan


umum). Disamping itu juga dikenal adanya Local Verordeningen (peraturan lokal) yang dibentuk
oleh pejabat berwenang di tingkat lokal seperti Gubernur, Bupati, Wedana dan Camat.

Pada masa Hindia Belanda ini sistem pemerintahan yang dilaksanakan adalah
Sentralistik. Akan tetapi agar corak sentralistik tidak terlalu mencolok, maka asas yang
dipergunakan adalah dekonsentrasi yang dilaksanakan dengan seluas-luasnya. Hal ini
menjadikan Hindia Belanda (Indonesia) tidak memiliki kewenangan otonom sama sekali,
khususnya dalam mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya sendiri. Sistem
ketatanegaraan seperti ini nampak dari hal-hal sebagai berikut :

a. Kekuasaan eksekutif di Hindia Belanda ada pada Gubernur Jenderal dengan kewenangan
yang sangat luas dengan dibantu oleh Raad Van Indie (Badan penasehat)

b. Kekuasaan kehakiman ada pada Hoge Rechshof (Mahkamah Agung)

c. Pengawas keuangan dilakukan oleh Algemene Reken Kamer.


Struktur ketatanegaraan seperti ini berlangsung sampai pada masa pendudukan Jepang
dan berakhir pada masa proklamasi kemerdekaan.

Memperhatikan susunan ketatanegaraan tersebut di atas, maka dari segi hukum tata
negara, Hindia Belanda belum dapat disebut sebagai negara. Hal ini mengingat tidak
dipenuhinya unsur-unsur untuk disebut negara, seperti mempunyai wilayah, mempunyai rakyat,
dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat.

Memang realitasnya ketiga unsur tersebut dapat dikatakan sudah terpenuhi. Wilayahnya
ada, rakyatnya ada, bahkan pemerintahan yang berdaulat terpenuhi. Akan tetapi hakekat
keberadaan ketiga unsur tersebut tidak muncul karena dibangun oleh bangsa Indonesia sendiri,
melainkan didasarkan pada kondisi kolonialisme yang berlangsung pada saat itu.

Ditinjau dari unsur pemerintahan yang berdaulat, sebenarnya Hindia Belanda tidak dapat
dikatakan sebagai sebuah permintaan yang berdaulat, karena kedaulatan Hindia Belanda ada
pada Kerajaan Belanda, sedangkan Gubernur Jenderal hanya berfungsi sebagai penyelanggara
pemerintahan umum di wilayah Hindia Belanda sebagai daerah jajahan Kerajaan Belanda.

2. Masa Penjajahan Jepang

Sejarah menunjukkan bahwa dengan adanya Perang Asia Timur Raya atau terkenal
dengan sebutan Peran Dunia Ke II muncullah kekuatan angkatan perang yang cukup dominan
yaitu bala tentara Jepang. Dengan kekuatan inilah hampir seluruh kawasan asia mampu diduduki
oleh bala tentara Jepang, tidak terkecuali Indonesia yang pada saat itu masih berada di bawah
kolonialisme Belanda.

Dalam sejarah perang asia timur raya, dapat digambarkan bahwa kedudukan Jepang di
Indonesia adalah :

a. Sebagai penguasa pendudukan, maka Jepang tidak dibenarkan untuk mengubah susunan
ketatanegaraan / hukum di Hindia Belanda. Hal ini disebabkan wilayah pendudukan Jepang
adalah merupakan wilayah konflik yang menjadi medan perebutan antara bala tentara Jepang
dengan Belanda. Oleh karena itu, Jepang hanya meneruskan kekuasaan Belanda atas Hindia
Belanda. Namun dalam hal ini kekuasaan tertinggi tidak lagi ada di tangan pemerintah Belanda,
melainkan diganti oleh kekuasaan bala tentara Jepang.

Jepang berusaha mengambil simpati dari bangsa-bangsa yang ada di kawasan asia timur
raya termasuk Indonesia denga menybut dirinya sebagai Saudara tua. Dalam sejarah Indonesia,
sebutan seperti ini dilanjutkan dengan pemberian Janji kemerdekaan kepada Indonesia dikelak
kemudian hari. Janji tersebut direalisir dengan membentuk BPUPK (Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan) yang kemudian melaksanakan persidangan sebanyak dua kali.

Sebelum PPKI berhasil melaksanakan sidang-sidang untuk melanjutkan upaya-upaya


yang telah dilakukan oleh BPUPKI, Jepang menyerah pada sekutu pada tanggal 14 Agustus
1945. Pada saat itu pula sekutu belum masuk ke wilayah Indonesia. Menurut hukum
internasional, penguasa pendudukan yang menyerah harus tetap menjaga agar wilayah
pendudukan tetap dipertahankan seperti sedia kala atau dalam konsidi status quo.

Perlu diketahui pula pada masa pendudukan bala tentara Jepang, wilayah Indonesia
dibagi menjadi tiga wilayah besar yaitu :[2]

a. Daerah yang meliputi Pulau Sumatera dibawah kekuasaan Pembesar Angkatan darat Jepang
dengan pusat kedudukan di Bukittinggi.

b. Daerah yang meliptui pulau Jawa berada di bawah kekuasaan Angkatan darat yang
berkedudukan di Jakarta.

c. Daerah-daerah selebihnya berada di bawah kekuasaan Angkatan Laut yang berkedudukan di


Makasar.

Dari pembagian wilayah ini membuktikan bahwa pada masa pendudukan Jepang paham
militeristik menjadi model bagi pengaturan sistem ketatanegaraan di Indonesia.

Paham militeristik seperti ini dipandang lebih efektif karena mampu lebih
mengedepankan jalur komando dan mampu menghimpun kekuatan yang cukup siknifikan guna
menghadap serangan musuh.

Salah satu peraturan yang menjadi salah satu sumber hukum tata negara Republik
Indonesia sebelum Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah Undang-Undang No.40
Osamu Seirei tahun 1942. Osamu Seirei adalah peraturan atau Undang-Undang yang cenderung
berbau otoriter/pemaksaan. Pengundangan atau pengumuman mengenai undang-undang Osamu
Seirei ini dilakukan dengan cara ditempelkan pada papan-papan pengumuman di Kantor-kantor
pemerintahan Jepang setempat.

B. Sistem Pasca Kemerdekaan Indonesia

Adapun pelaksanaan Undang-Undang Dasar yang pernah berlaku di Indonesia adalah


sebagai berikut :

1. UUD 1945 (17 Agustus – 27 Desember 1949)


Sehari setelah proklamasi 17 Agustus 1945, UUD 1945 disahkan pertama kali oleh
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia), pada saat itu dimulailah babak baru penyelenggaraan
ketatanegaraan berdasarkan UUD 1945 bersamaan dengan itu telah dipilih dan ditetapkan pula
Presiden dan Wakil Presiden yaitu masing-masing Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta.

Sebagai kelengkapan pelaksanaan ketatanegaraan dan pelaksanaan pemerintahan maka


dibentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). KNIP berfungsi sebagai pembantu presiden
dalam tugas-tugas melaksanakan kedaulatan rakyat dan tugas lembaga tinggi negara lainnya
(MPR, DPR, dan DPA) sebelum badan itu dibentuk. Keanggotaan KNIP sebanyak 135 orang
yang mencerminkan dari tokoh-tokoh perjuangan, tokoh agama, pemimpin partai,pemimpin
masyarakat, pemimpin ekonomi yang terkemuka. Kemudian tanggal 2 September dibentuk dan
dilantik oleh Ir. Soekarno kabinet pertama yang dipimpin langsung oleh Ir. Soekarno.[3]

Tanggal 16 Oktober 1945 wakil presiden mengeluarkan maklumat No. X Tahun 1945,
yang menetapkan bahwa : “Bahwa KNIP, sebelum terbentuknya MPR dan DPR diserahi
kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan garis-garis besar dari pada haluan negara”.

Perubahan kedua terjadi pada tanggal 11 Nopember 1945, ketika KNIP mengusulkan
kepada presiden adanya sistem pertanggungjawaban menteri-menteri kepada parlemen (KNIP),
menanggapi usul tersebut maka pada tanggal 14 Nopember 1945 kabinet presidensiil dibawah
pimpinan Ir. Soekarno meletakkan jabaan dan diganti oleh kabinet baru, dengan Sutan Syahrir
sebagai Perdana Menteri, dan mulai saat itu kekuasaan eksekutif telah bergeser dari presiden
kepada perdana menteri.

Pada periode ini pemerintahan Indonesia juga mengalami tragedi luar biasa, karena
Belanda melakukan agresi pertama tanggal 27 Juli 1947 dan disusul dengan agresi kedua pada
tanggal 19 Desember 1948, dan Ibu Kota Negara terpaksa harus pindah ke Yogyakarta, di
samping itu PKI juga melakukan pemberontakan di Madiun pada tanggal 18 September 1948.[4]

2. Konstitusi RIS (27 Desember – 17 Agustus 1950)

Sebelumnya pada tanggal 18 Desember 1948 Belanda secara sepihak membatalkan


perjanjian Renville di Tanjung Priok, dan disinilah Belanda melancarkan agresi ke dua, Ir.
Soekarno, Sutan Syahrir, H.A Salim pada tanggal 27 Desember 1948 diasingkan ke Brastagi.
Sedangkan Moh. Hatta, Mr. Pringgodogdo, M. Assat,Suryadarma, Moh. Room, Mr. Ali Sastro
Amidjojo diasingkan ke pulau Bangka. Sedangkan Jenderal Sudirman terus melakukan gerilya di
hutan-hutan seputar Yogyakarta dan Jawa Timur.

Pada tanggal 1 Maret 1949 rakyat bersama TNI dibawah pimpinan Soeharto melancarkan
serangan besar- besar untuk merebut kembali negara RI di Yogyakarta dan terjadi pertempuran
selama 6 jam dan Yogyakarta dapat direbut kembali, peristiwa ini telah membuka mata dunia
bahwa Indonesia masih eksis sebagai negara yang selama ini di informasikan oleh Belanda
bahwa TNI tidak ada lagi dan RI sudah bubar. Dengan peristiwa 1 Maret 1949 tersebut maka
PBB memperhatikan indonesia untuk mengadakan perundingan kembali yang isinya Belanda
menyetujui RI kembali ke yogyakarta. Setelah para tokoh RI kembali dari persaingan, maka pada
tanggal 16 Desember 1949 diadakan pemilihan Presiden yang pertama RIS oleh negara bagian
dan Soekarno terpilih sebagai Presiden RIS, kemudian tanggal 19 Desember 1949 terbentuk
kabinet RIS ke 1 dengan perdana mentrinya Moh. Hatta merangkap Menteri Luar Negeri. Maka
pada tanggal 27 Desember 1949 terbentuklah negara RIS dengan dikembalikanya kedaulatan
oleh Belanda kepada Indonesia. [5]

Peristiwa terbentuknya negara RIS diawali dari Konferensi Meja Bundar anatara Belanda
dan Indonesia di Den Haag dari tanggal 23 Agustus- 2 Novenber 1949 ialah kerajaan Belanda
harus memulihkan kedaulatan atas wilayah Indonesia kepada Pemerintahan Republik Indonesia
Serikat. Dan pada hari yang sama pula Republik Indonesia menyerahkan kedaulatan kapada
Republik Indonesia Serikat dan menjadi salah satu dari enam belas negara bagian dari Republik
Indonesia serikat.

Negara Serikat yang berbentuk federal merupakan baentukan dari Belanda seperti Negara
Indonesia Timur, Negara Sumatra Timur, Negara Pasundan, Negara Sumatra Selatan , Negara
Jawa Timur, Negara Madura, dan lain-lain. Akan tetapi walaupun berbentuk Negara Serikat yang
terpisah-pisah rakyat tetap merasakan sebagai Negara kesatuan yang tujuan utamanya
mempertahan Negara Republik Indonesia yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945.

3. UUDS 1950 (17 Agustus 1950- 5 juli 1959)

Seperti telah diketahui bahwa negara RIS adala hasil kompromi antara Indonesia dengan
Belanda dalam posisi terdesak Indonesia menerima RIS, namun Negara RIS hasil dari KMB
tidak sejalan dengan cita-cita dan perjuangan bangsa Indonesia, maka pada tanggal 27 Desember
1949 dirintis untuk kembali kepada Negara kesatuan dengan proses pemulihan kedaulatan
sebagai berikut:[6]

a. Negara-negara bagian yang menggabungkan diri kepada Negara dengan bagian yang lain
(dalam hal ini kepada Negara RIS pemerintahan).

b. Penyerahan kekuasaan kepada pemerintah federal oleh negara bagian.

c. Persetujuan antara Negara federal dengan Negara bagian.

Dengan cara ini ternyata belum berhasil untuk melaksanakan pembentukan kesatuan
Negara kesatuan kembali, maka harus dicari jalan lain yaitu harus merubah Konstitusi RIS
dengan Konstitusi baru dengan berbagai catatan antara lain:
a. Pasal-pasal yang federalisme dalam Konstitusi RIS harus dicabut.

b. Negara kesatuan dibentuk dengan cara semua negara bagian yang ada masuk RI, dengan
sendirinya RIS bubar.

Maka pada tanggal 18 Agustus 1950, UUDS 1950 dinyatakan berlaku, UUDS 1950 ini
sangat berbeda dengan UUDS 1945 hasil proklamasi terutama sistem pemerintahan yang
parlementer, kepada pemerintahan di pimpin oleh Perdana Menteri. Pada periode ini
Pemerintahan ini tidak stabil sering terjadi pergantian pemerintahan, untuk itu diadakanlah
Pemilihan Umum untuk Konstituante bulan Desember 1955 yang diikuti oleh banyak partai
politik, pada tanggal 10 November 1956 Presiden Soekarno membuka dengan resmi sidang
pertama Konstituante di Bandung. Presiden Soekarno meminta agar Konstituante agar tidak
terlalu lama bersidang untuk menghasilkan UUD. Tetapi setelah itu Konstituante telah menjadi
medan perdebatan yang tidak berkesudahan, medan pertarungan bagi partai politik dan
pemimpin-pemimpin politik mengenai persoalan-persoalan prinsipil.

Disamping itu terjadi pergolakana pada masa kabinet Ali Satro Amidjojo terjadi
pemberontakan di daerah oleh PRRI/ Permesta pada akhir 1956, kemudian disusul dengan
pengunduran diri wakil Presiden Moh. Hatta. Konstituante yang bersidang untuk membentuk
UUD yang permanen telah gagal.

4. Orde Lama (5 Juli 1959-11 Maret 1966)

Konstiuante telah menyelanggarakan sidang-sidang membahas rencana penggantian


UUDS 1950, akan tetapi kentyataanya Konstituante tidak berhasil membuat rumusan tentang
undang-undang dasar yang dapat dijadikan pengganti UUDS 1950. Karena kemacetan kerja
Konstituante maka pada tanggal 22 April tahun 1959 Presiden menyampaikan amanat kepada
Konstituante yang memuat anjuran kepala negara dan pemerintahan untuk kembali kepapda
UUD 1945. Amanat Presiden diperdebatkan dalam suatu pemandangan umum sidang
Konstituante tanggal 29 April sampai 13 mei 1959 serta tanggal 16 sampai 26 Mei 1959.[7]

Maka dengan pertimbangan keselamatan negara dan bangsa pada tanggal 5 Juli 1959
Presiden Soekarno mengumumkan ”Dekrit” yang berisi: pembubaran Konstituante, penetapan
berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950.[8]

5. Orde Baru (11 Maret 1966- 21 Mei 1998)

Dengan Dekrit presiden 5 Juli 1959 berlakulah kembali UUD 1945. Dasar hukum Dekrit
ini ialah Staatsnoodrecht. Dibawah UUD 1945 ini untuk pertama kali dilaksanakan pemilihan
umum pada tanaggal 3 juli 1971, sebagai pelaksanaan dari Undang-undang No. 15 tahun 1969,
undang-undang mana adalah pelaksanaan dari Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara No. XL/MPRS/1966 jo. No. XL II/MPRS/1968.[9]

Sebagai hasil dari pemilihan umum tersebut maka pada tanggal 28 Oktober 1971
dilantiklah Dewan Perwakilan Rakyat, dan pada tanggal 1 Oktober 1972 Majelis
Permusyawaratan Rakyat dilantik pula. Dalam sidangnya tahun 1973 Majelis Permusyawaratan
rakyat telah menetapkan bahwa Pemilihan Umum berikutnya akan diadakan pada akhir tahun
1977 dala Ketetapanya No. VIII/MPRS/1973.

Sandaran teoritis yang dikemukakan ialah, bahwa perubahan dengan Dekrit Presiden itu
dapat dianggap sah, karena keadaan darurat maka negara dapat memberlakukan hukum tata
negara darurat (objective staatsnoodrecht).

Dikaitkan dengan lembaga pemilu, ketiga Konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia
(UUD 1945, UUD RIS, UUDS 1950) juga menuntut adanya lembaga pemilu meskipun
ketiganya tidak secara eksplisit menyebutkanya kecuali UUD 1945 pasca amandemen. Tapi
dapat dikatakan UUD itu secara implisit memuat adanya pemilu sebab aparatur negara yang
demokratis yang harus dilembagakan menurut UUD tersebut secara Konsitusuonal memang
menuntut adanya lembaga pemilu.

C. Sistem Era Reformasi (21 Mei 1998-20 Oktober 2009)

Reformasi Indonesia jika dipandang secara umum diakibatkan karena krisis ekonomi
dunia pada akhir abad 20, Indonesia salah satu negara yang terkena dampak krisis ini. Dimulai
pada tanggal 22 Januari 1998 angka rupiah tembus 17.000,- per dolar AS dan IMF (Dana
Moneter Internasional) tidak menunjukkan rencana bantuannya untuk Indonesia. Kemudian awal
Maret terdapat dua puluh mahasiswa Universitas Indonesia mendatangi Gedung DPR/MPR
untuk menyatakan penolakan terhadap pidato pertanggungjawaban presiden yang disampaikan
pada Sidang Umum MPR dan menyerahkan agenda reformasi nasional.[10]

Dengan lengsernya Presiden Soeharto pad tanggal 21 Mei 1998 maka terjadi perubahan
besar dibidang ketatanegaraan khususnya dalam konteks demokrasi, hukum dan hak asasi
manusia. Pada masa pemerintahan Habibie menggantikan Presiden soeharto, ia
menyelenggarakan pemilu tahun 1999 yang diikuti oleh 48 partai politik. Hasil pemilu tersebut
dimana anggota MPR/DPR kemudian memilih H. Abdulrrahman Wahid menjadi presiden dan
Megawati Soekarnoputri menjadi wakil presiden. Sebelum berakhir kepemimpinan Gusdur
terjadi pergolakan ketatanegaraan dimana MPR/DPR mengajukan mosi tidak percaya kepada
presiden Abdurrahman Wahid yang mana kala itu MPR dipimpin oleh H. Amin Rais. Implikasi
politik dari mosi tersebut presiden dilengserkan dan digantikan oleh Megawati Soekarnoputri.
[11]
Pada tahun 2004 diselenggarakan pemilu kedua era reformasi dimana Susilo Bambang
Yudhoyino dan H. Yusuf Kalla dipilih langsung oleh rakyat menjadi presiden dan wakil
presiden. Selanjutnya tahun 2009 pemilu ketiga era reformasi diselenggarakan, hasilnya
dimenangkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono.

Pada era reformasi usaha untuk menjadikan UUD 1945 mendorong terbentuknya negara
hukum yang demokratis, oleh karena itu salah satu dari berkah era reformasi adalah perubahan
terhadap UUD 1945, karena sejak dekrit 5 Juli 1959 sampai berakhirnya kekuasaan Presiden
Soeharto praktis UUD 1945 belum pernah diubah.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Sejarah ketatanegaraan di Indonesia dapat dibagi menjadi beberapa periode, yaitu periode
pra kemerdekaan dan periode pasca kemerdekaan dan reformasi. Sistem ketatanegaraan dan
pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kerajaan Belanda adalah menggunakan asas
dekonsentrasi. Dan pada masa pendudukan Jepang paham militeristik menjadi model bagi
pengaturan sistem ketatanegaraan di Indonesia.

Pada tanggal 18 Agustus 1950, UUDS 1950 dinyatakan berlaku, UUDS 1950 ini sangat
berbeda dengan UUDS 1945 hasil proklamasi terutama sistem pemerintahan yang parlementer,
kepada pemerintahan di pimpin oleh Perdana Menteri. Dengan Dekrit presiden 5 Juli 1959
berlakulah kembali UUD 1945. Dasar hukum Dekrit ini ialah Saatsnoodrecht. Dibawah UUD
1945 ini untuk pertama kali dilaksanakan pemilihan umum

Pada era reformasi usaha untuk menjadikan UUD 1945 mendorong terbentuknya negara
hukum yang demokratis dan UUD 1945 belum pernah diubah.

B. Saran

Besar harapan, makalah ini dapat menjadi tambahan sumber bacaan bagi teman-teman.
Makalah ini kami buat menggunakan bahasa yang mudah dipahami. Tak luput dari itu, makalah
ini tak terhindar dari kesalahan dan kekurangan. Untuk itu, kritik dan saran sangat diharapkan
untuk perbaikan dan penyempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

http://rafialqomakalah.blogspot.com/2017/03/sejarah-ketatanegaraan-indonesia.html

Anda mungkin juga menyukai