Anda di halaman 1dari 44

REFERAT

PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN AKIBAT


INFEKSI VIRUS

Pembimbing
dr.

Disusun oleh
Salim, Jessica Greselda
406191052

Kepanitraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 18 November – 21 Desember 2019
RSUD RAA Soewondo Pati
2019
BAB I
PENDAHULUAN

Kulit merupakan organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasinya dari
lingkungan hidup manusia. Kulit sangat kompleks, elastis dan sensitif, serta sangat bervariasi
pada keadaan iklim, umur, seks, ras, dan juga bergantung pada lokasi tubuh serta memiliki
variasi mengenai lembut, tipis, dan tebalnya. Kulit merupakan organ yang vital dan esensial
serta merupakan cermin kesehatan dan kehidupan. Kulit mempunyai berbagai fungsi sebagai
perlindung, pengantar raba, indera perasa. Pembagian kulit secara garis besar tersusun atas
tiga lapisan utama yaitu lapisan epidermis, lapisan dermis, dan lapisan subkutis. Tidak ada
garis tegas yang memisahkan dermis dan subkutis, subkutis ditandai dengan adanya jaringan
ikat longgar dan adanya sel dan jaringan lemak.
Infeksi virus pada kulit dan mukosa tubuh memberikan gambaran klinis dengan
spektrum yang sangat luas. Berbagai bentuk lesi kulit yang hampir mirip terdapat pada
beberapa jenis penyakit. Virus yang menyebabkan gejala demam dengan reaksi kulit
eksantem biasanya bersifat self-limited disease dengan infeksi primer memberikan imunitas
kekebalan seumur hidup. Manakala virus seperti human papilloma virus (HPV) dan
moluskum kontagiosum virus (MCV) berkolonisasi di bagian epidermis pada sebagian besar
individu tanpa menimbulkan gejala klinis. Sementara itu, kelainan akibat proliferasi sel epitel
jinak seperti veruka dan moluskum biasanya bersifat sementara dan bisa sembuh sendiri
tanpa di terapi.
Bagaimanapun juga pada individu dengan imunokompromais, lesi ini dapat menjadi
luas, persisten dan refrakter terhadap terapi yang diberikan. Pada kondisi tubuh seperti ini,
virus herpes dapat mengalami reaktivasi dan menimbulkan penyakit lain yang memberikan
tingkat morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Oleh sebab itu, di dalam referat ini akan
dicoba untuk membahas beberapa penyakit yang disebabkan oleh virus seperti varicella-
zoster, herpes-zoster, herpes simpleks, variola, veruka, moluskum kontagiosum dan
kondiloma akuminatum.
Pada referat ini akan dibahas mengenai penyakit akibat virus. Pentingnya pembahasan
tentang penyakit kulit agar diagnosis dan penatalaksanaan penyakit kulit dapat dilakukan
dengan baik dan meningkatkan kualitas hidup pasien.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Veruka

Definisi
Veruka ialah hiperplasi epidermis disebabkan oleh human papilloma virus tipe tertentu.

Sinonim
Kutil, common wart

Epidemiologi
Veruka dapat terjadi pada semua usia. Insiden meningkat pada masa sekolah dan
puncaknya terjadi pada saat dewasa muda. Berdasarkan penelitian, 3-20% anak sekolah
memiliki kutil (veruka), dari 1000 anak yang berusia di bawah 16 tahun yang mendatangi
rumah sakit di Cambrige, United Kingdom pada tahun 1950-an terdapat 70% anak yang
menderita veruka vulgaris, 24% plantar warts, 3,5% plane warts, 2% filiform warts dan 0,5%
menderita anogenital warts. Masa inkubasi dapat bervariasi dari beberapa minggu hingga
lebih dari satu tahun. Timbulnya veruka dapat terjadi setelah 20 bulan terinfeksi.
Veruka vulgaris juga dapat terjadi pada semua usia. Prevalensi terbanyak pada usia 5-20
tahun. Dan hanya 15% terjadi setelah usia 35 tahun. Seringnya merendam tangan ke dalam
air merupakan faktor risiko terjadinya veruka vulgaris. Insiden veruka vulgaris pada tukang
daging (butchers) tinggi.

Etiologi
Merupakan infeksi dari virus papilloma (group papova) yaitu virus DNA dengan
karakteristik replikasi terjadi intranuklear.

Patogenesis
Munculnya infeksi HPV dapat disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk lokasi lesi,
jumlah dari virus yang menginfeksi, frekuensi kontak dan status imun seseorang. Pengaruh
imun dan genetik yang rentan terhadap infeksi HPV belum dapat dimengerti sepenuhnya.
Penelitian infeksi papilloma virus pada hewan, dimana resistensi terhadap ancaman virus
berhubungan dengan adanya neutralizing anti-capsid antibodies dan serum atau
immunoglobulin G dari hewan yang resisten dapat menimbulkan proteksi melalui transfer
pasif.
Infeksi HPV terjadi melalui inokulasi virus ke dalam epidermis yang viable yaitu melalui
defek pada epitelium. Veruka dapat menyebar baik dengan kontak langsung ataupun tak
langsung. Dapat melalui kulit yang trauma, abrasi maupun maserasi kulit merupakan
predisposisi untuk inokulasi virus ini. Veruka biasanya terdapat pada pasien yang
mendapatkan tranplantasi ginjal ataupun organ tubuh solid lainnya. Bisa juga pada pasien
yang sedang mendapatkan terapi imunosuppresan, yang dapat meningkatkan risiko terjadi
keganasan kulit. Non-genital warts biasanya mengenai usia anak dan dewasa muda
sedangkan anogenital warts transmisinya dapat terjadi melalui hubungan seksual.

Klasifikasi
Penyakit ini terbagi kepada beberapa bentuk klinis:
1. veruka vulgaris dengan varian veruka filiformis
2. veruka plana juvenilis
3. veruka plantaris
4. veruka akuminatum (kondiloma akuminatum)

Gejala klinis
1. Veruka vugaris
Kutil ini terutama terdapat pada anak, tetapi juga terdapat pada dewasa dan orang tua.
Tempat predileksinya terutama di ekstremitas bagian ekstensor walaupun demikian
penyebarannya dapat ke bagian lain tubuh termasuk mukosa mulut dan hidung. Kutil ini
bentuknya bulat berwarna abu-abu, besarnya lentikular atau kalau berkonfluensi berbentuk
plakat, permukaan kasar (verukosa). Dengan goresan dapat timbul autoinokulasi sepanjang
goresan (fenomena Köbner).
Dikenal pula induk kutil yang pada suatu saat akan menimbulkan anak-anak kutil dalam
jumlah yang banyak. Ada pendapat yang menggolongkan sebagai penyakit yang sembuh
sendiri tanpa pengobatan. Varian veruka vulgaris yang terdapat di daerah muka dan kulit
kepala berbentuk sebagai penonjolan yang tegak lurus pada permukaan kulit dan
permukaannya verukosa disebut sebagai veruka filiformis.
2. Veruka plana juvenilis
Kutil ini besarnya miliar atau lentikular, permukaan licin dan rata, berwarna sama
dengan warna kulit atau agak kecoklatan. Penyebarannya terutama di daerah muka dan leher,
dorsum manus dan pedis, pergelangan tangan serta lutut. Juga terdapat fenomena Köbner dan
termasuk penyakit yang dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan. Jumlah kutil dapat sangat
banyak. Terutama terdapat pada anak dan usia muda, walaupun juga dapat ditemukan pada
orang tua.
3. Veruka plantaris
Kutil ini terdapat di kaki terutama di daerah yang mengalami tekanan. Bentuknya berupa
cincin yang keras dengan di tengah agak lunak dan berwarna kekuning-kuningan.
Permukaannya licin karena gesekan dan menimbulkan rasa nyeri pada waktu berjalan yang
disebabkan oleh penekanan oleh massa yang terdapat di daerah tengah cincin. Kalau
beberapa veruka bersatu dapat timbul gambaran seperti mosaik.
4. Veruka akuminatum
Kutil ini juga dikenal dengan nama kondiloma akuminatum atau genital wart dengan
kelainan kulit berupa vegetasi yang bertangkai dan berwarna kemerahan jika telah lama
bewarna agak kehitaman. Permukaannya berjonjot (papilomatosa) sehingga pada vegetasi
yang besar dapat dilakukan percobaan sondase. Jika timbul infeksi sekunder warna
kemerahan akan berubah menjadi keabu-abuan dan berbau busuk.

Diagnosis dan pemeriksaan penunjang


Gambaran klinis, riwayat penyakit, papul yang membesar secara perlahan biasanya
sudah sangat membantu untuk membangun diagnosis veruka.Pemeriksaan histologi dapat
digunakan untuk mengkonfirmasi diagnosis. Lesi seperti keratosis seboroik, keratosis solar,
nevi, akondron, hiperplasia kelenjar sebasea, klavi, granuloma piogenik kecil, karsinoma sel
skuamous dapat menyerupai veruka.

Diagnosis banding
Karsinoma sel skuamosa yang dimana cirinya adalah vegetasi yang seperti kembang kol,
mudah berdarah dan berbau. Selain itu diagnosis banding lainnya bisa moloskum
kontagiosum.

Terapi
Terapi pada veruka vulgaris disesuaikan dengan lokasi tubuh yang terkena, usia pasien,
status imun pasien, derajat ketidaknyamanan baik secara fisik maupun emosional dan jika ada
terapi sebelumnya. Veruka vulgaris yang muncul pada anak tidak memerlukan pengobatan
khusus karena biasanya dapat regresi sendiri. Namun, mekanismenya sampai saat ini belum
diketahui secara pasti, diduga sistem imun seluler dan humoral berperan terhadap regresi
spontan veruka vulgaris.
Penatalaksanaan untuk pasien dilakukan elektrokauterisasi. Elektrokauterisasi ini
efektivitasnya tinggi dalam menghancurkan jaringan yang terinfeksi dan HPV, namun
kontraindikasi untuk pasien dengan cardiacpacemakers. Teknik ini diawali dengan anestesi
lokal. Rasa sakit setelah operasi dapat diatasi dengan narkotik analgesik dan analgesik topikal
pada beberapa pasien sangat bermanfaat seperti lidocaine jelly.

Penatalaksanaan lainnya:
 Krioterapi merupakan pilihan utama untuk hampir semua veruka vulgaris. veruka
seharusnya dibekukan secara adekuat dimana dalam waktu 1-2 hari akan timbul lepuh
sehingga akan menjadi lebih lunak. Idealnya pengobatan dilakukan setiap 2 atau 3
pekan sampai lepuh terkelupas. Komplikasi dari krioterapi diantaranya terjadinya
hipopigmentasi dan timbul skar.
 Asam salisilat 12-26% dengan atau tanpa asam laktat efektif untuk pengobatan veruka
vulgaris dimana efikasinya sebanding dengan krioterapi. Efek keratolitik asam
salisilat mampu membantu mengurangi ketebalan veruka dan menstimulasi respon
inflamasi.
 Glutaraldehid merupakan agen virusidal yang terdiri dari 10% glutaraldehid dalam
etanol cair atau dalam formulasi bentuk gel. Pengobatan hanya terbatas pada lesi di
tangan. Efek samping yang dapat terjadi adalah dermatitis kontak. Nekrosis kutaneus
dapat terjadi walaupun sangat jarang.
 Bleomisin memiliki efikasi yang tinggi dan penting untuk pengobatan veruka vulgaris
terutama yang keras. Bleomisin yang digunakan memiliki konsentrasi 1 unit/ml yang
diinjeksikan di dekat bagian bawah veruka hingga terlihat memucat. Saat injeksi
terasa nyeri sehingga pada beberapa pasien dapat diberikan anestesi lokal. Efek
samping yang pernah dilaporkan adalah timbulnya skar dan dapat menyebabkan
nekrosis jaringan yang luas.
 Laser karbondioksida dapat digunakan untuk pengobatan beberapa variasi dari veruka
baik pada kulit maupun mukosa. Pengobatan ini efektif untuk menghilangkan
beberapa jenis veruka, seperti periungual dan subungual warts.

Prognosis
Prognosis pada pasien ini adalah bonam walaupun veruka vulgaris dapat berulang
(bersifat residif). Dicari faktor predisposisinya serta pasien harus bisa menjaga kebersihan
diri sendiri dan lingkungan.

Gambar 2.1 Verruca vulgaris. Kutil


tumbuh dalam berbagai ukuran,
permukaan verukosa dan bertangkai.

Gambar 2.2 Veruka filiformis.


Merupakan varian dari verruca
vulgaris di mana kutil tumbuh di
wajah.
2.2 Kondiloma Akuminata

Definisi
Nama lainnya ialah kutil kelamin (venereal warts) ialah lesi berbentuk papilomatosis
dengan permukaan verukosa, disebabkan oleh human papillomavirus (HPV) terutama tipe 6
dan 11. Terdapat di daerah kelamin dan atau anus. Bila banyak dissebut kondiloma
akuminata.

Epidemiologi
Penyakit ini termasuk infeksi menular seksual (IMS) karena 98% penularan melalui
hubungan seksual. Sisanya dapat ditularkan melalui barang yang tercemar partikel HPV.
Frekuensinya pada laki-laki dan perempuan sama. Tersebar kosmopolit dan transmisi
melalui kontak langsung.

Etiologi
Penyebab tersering adalah HPV tipe 6 dan 11 namun pernah ditemukan tipe 30, 42, 43,
44, 45, 51, 54, 55, 70. Tipe 16 dan 18 berpotensi onkogenik tinggi yang sering dijumpai
pada kanker serviks.

Gambaran klinis
Terdapat di daerah lipatan yang lembap seperti di daerah genitalia eksterna. Pada lelaki
dapat ditemukan di perineum, sekitar anus, glans penis, sulkus koronarius, korpus, pangkal
penis dan di dalam meatus uretra. Pada perempuan di daerah vulva, introitus vagina dan
kadang dapat ditemukan di portio uteri. Kini, semakin banyak kondiloma akuminatum yang
ditemukan di sekitar anus karena semakin banyak seks anogenital yang dilakukan.
Lesi kondilama akuminatum dapat bertambah besar pada kondisi lembap seperti pada anak
perempuan dengan fluor albus atau anak laki-laki yang tidak disirkumsisi. Selain itu, pada
kondisi imunitas menurun misalnya pada orang dengan HIV atau mengalami transplantassi
organ dapat menambah kecepatan pertumbuhannya. Dalam keadaan hamil dapat menambah
banyak lesi dan akan cepat sembuh dengan berakhirnya kehamilan.
Seringnya tidak menimbulkan sebarang keluhan kecuali gatal dan pada infeksi sekunder
dapat nyeri, berbau kurang enak dan mudah berdarah. Bentuk klinis yang paling sering
ditemukan adalah bentuk kembang kol yang berwarna seperti daging atau sama dengan
mukosa. Ukuran dapat bermula dari milimeter hingga sentimeter. Kutil dapat bergabung
menjadi massa yang besar. Bentuk lain berupa lesi keratotik dengan permukaan kasar dan
tebal biasanya ditemukan di atas permukaan yang kering seperti batang penis. Lesi timbul
sebagai papul atau plak verukosa atau keratotik, soliter atau multiple. Lesi berbentuk kubah
dengan permukaan yang rata dapat ditemukan pada tempat yang kering sama halnya dengan
lesi keratotik. Lesi dapat berkelompok dengan warna merah jambu atau merah-kecoklatan.

Pemeriksaan Penunjang
Dapat diperiksa dengan asam asetat yang bila positif disebut sebagai positif acetowhite,
terjadi warna putih akibat ekspresi sitokeratin pada sel suprabasal yang terinfeksi HPV.
Bagian sel ini mengangdung banyak protein dan warna putih terjadi sebagai akibat
denaturasi protein.

Diagnosis Banding
 Benign penile pearly papule yang merupakan keadaan normal pada 20% laki-laki
muda, muncul masa pubertas, lebih sering dijumpai pada keadaan tidak disirkumsisi.
Lesinya asimtomatik, terutama pada sulkus koronarius. Tidak perlu diobati.
 Veruka vulgaris yang merupakan vegetasi yang tidak bertangkai, kering dan berwarna
abu-abu atau sama dengan warna kulit.
 Kondiloma lata merupakan salah satu bentuk sifilis stadium II, berupa plakat yang
erosive basah ditemukan banyak spirochaeta pallidum.
 Karsinoma sel skuamosa adalah vegetasi berbentuk seperti kembang kol, mudah
berdarah dan berbau.
 Karsinoma verukosa yang dianggap sebagai lesi neoplastic yang bersifat invasive local
yang dihubungkan dengan HPV 16.

Penatalaksanaan
 Kemoterapi: Tinktura podofilin 25% yang perlu dilakukan oleh dokter. Kulit sekitar
dilindungi dengan vaselin agar tidak teriritasi dan dicuci setelah 4-6 jam. Jika tidak
sembuh dapat diulangi setelah 3 hari. Setiap klai pemberian tidak melebih 0,3 cc karena
akan diserap dan bersifat toksik. Gejala intoksikasi berupa mual, muntah, nyeri abdomen,
gangguan alat napas dan keringat yang disertai kulit dingin. Dapat terjadi supresi
sumsum tulang yang disertai trombositopenia dan leukopenia. Dapat terjadi kematian
fetus jika diberikan pada ibu hamil. Hasil pengobatan sering baik pada lesi yang baru.
 Asam triklorasetat 80-90% yang juga dioleskan oleh dokter setiap minggu. Pemberian
harus berhati-hati karena dapat menimbulkan iritasi hingga ulkus yang dalam. Boleh
diberikan pada ibu hamil.
 5-fluorourasil 1-5% dalam krim digunakan terutama pada lesi dalam meatus uretra.
Pemberiannya oleh pasien sendiri setiap hari sampai lesi hilang. Pasien dianjurkan untuk
tidak miksi 2 jam setelah pengobatan.
 Elektrokauterisasi, bedah buku, bedah scalpel dan laser karbondioksida juga dapat
dilakukan oleh dokter.
 Interferon 4-6 mU dapat diberikan intramuscular atau intralesi 3 kali seminggu selama 6
minggu atau dengan dosis 1-5 mU injeksi intramuscular selama 6 minggu. Interferon
beta 2 x 106 unit injeksi intramuscular selam 10 hari berturut-turut.
 Imunoterapi pada penderita dengan lesi yang luas dan resisten terhadap pengobatan dapat
diberikan pengobatan bersama dengan imunostimulator.

Prognosis
Walaupun sering mengalami residif, prognosinya bonam. Perbaiki faktor predisposisi
misalnya higiene.

Gambar 2.3 Kondiloma Akuminata pada vagina


2.3 Moloskum Kontangiosum

Definisi
Moluskum kontagiosum merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh Molluscum
Contagiosum Virus (MCV) yang menyerang kulit dan membran mukosa.

Epidemiologi
Angka kejadian moluskum kontagiosum di seluruh dunia diperkirakan sebesar
2-8%, dengan prevalensi 5-18% pada pasien HIV AIDS. Moluskum kontagiosum bersifat
endemis pada komunitas padat penduduk, higiene buruk dan daerah miskin. Penyakit ini terutama
menyerang anak-anak, usia dewasa dengan aktivitas seksual aktif dan status imunodefisiensi.
Penularan dapat melalui kontak langsung dengan lesi aktif atau autoinokulasi, penularan secara
tidak langsung melalui pemakaian bersama alat-alat pribadi seperti handuk, pisau cukur, alat
pemotong rambut serta penularan melalui kontak seksual.

Etiologi
Molluscum Contagiosum Virus (MCV); kelompok Pox Virus dari genus Molluscipox virus.
Molluscum Contagiosum Virus (MCV) merupakan virus double stranded DNA, berbentuk
lonjong dengan ukuran 230 x 330 nm. Terdapat 4 subtipe utama Molluscum Contagiosum Virus
(MCV), yaitu MCV I, MCV II, MCV III dan MCV IV.
Keempat subtipe tersebut menimbulkan gejala klinis serupa berupa lesi papul milier yang
terbatas pada kulit dan membran mukosa. MCV I diketahui memiliki prevalensi lebih besar
dibandingkan ketiga subtipe lain. Sekitar 96,6% infeksi moluskum kontagiosum disebabkan oleh
MCV I. Akan tetapi pada pasien dengan penurunan status imun didapatkan prevalensi MCV II
sebesar 60%. MCV merupakan imunogen yang lemah. Sekitar sepertiga pasien tidak
memproduksi antibodi terhadap MCV, sehingga seringkali didapatkan serangan berulang.

Faktor risiko meliputi:


1. Anak-anak, adanya kontak langsung kulit ke kulit dengan anak yang terkena atau
berbagi menggunakan peralatan (misalnya, peralatan di tempat olahraga).
2. Dewasa imunokompeten - terutama terjadi karena kontak seksual dengan pasangan
yang terkena.
3. Pasien imunokompresi - kontak seksual dengan pasangan yang terkena, serta non-
seksual kontak kulit-ke-kulit dengan seorang individu yang terkena.
4. Penggunaan imunosupresi – penggunaan topikal obat imunosupresan (tacrolimus)
dapat menyebabkan erupsi yang lebih hebat pada daerah yang diberi obat.

Gejala klinis
Masa inkubasi moluskum kontagiosum didapatkan satu sampai beberapa minggu hingga 6
bulan. Lesi berupa papul miliar, asimtomatis, berbentuk kubah dengan delle, bila dipijat
mengeluarkan massa putih seperti butiran nasi. Tempat predileksi adalah wajah, badan serta
ekstremitas. Lesi jarang didapatkan pada daerah telapak tangan dan telapak kaki. Pada orang
dewasa lesi dapat pula ditemui di daerah perigenital dan perianal. Hal ini berkaitan dengan
penularan virus melalui hubungan seksual. Lesi moluskum kontagiosum harus dapat dibedakan
dengan veruka vulgaris, kondiloma akuminata, varisela, herpes simpleks, papiloma, syringoma
dan tumor adneksa lain.

Diagnosis dan pemeriksaan penunjang


Diagnosis moluskum kontagiosum pada sebagian besar kasus dapat ditegakkan melalui
pemeriksaan gejala klinis yang tampak. Pemeriksaan histopatologi melalui biopsi dapat
membantu menegakkan diagnosis pada beberapa kasus dengan gejala klinis tidak khas.
Pemeriksaan histopatologi moluskum kontagiosum menunjukkan gambaran proliferasi sel-sel
stratum spinosum yang membentuk lobules disertai central cellular dan viral debris. Lobulus
intraepidermal dipisahkan oleh septa jaringan ikat dan didapatkan badan moluskum di dalam
lobulus; berupa sel berbentuk bulat atau lonjong yang mengalami degenerasi keratohialin. Pada
stratum basalis dijumpai gambaran mitosis sel dengan pembesaran nukleus basofilik.
Pada fase lanjut dapat ditemui sel yang mengalami proses vakuolisasi sitoplasmik dan
didapatkan globi eosinofilik. Beberapa kasus lesi moluskum kontagiosum dengan infeksi
sekunder, didapatkan gambaran inflamasi predominan limfosit dan neutrofil pada pemeriksaan
histopatologi.

Diagnosa banding
1. Kriptokokosis
Disebabkan oleh jamur cryptococcus neoformans. Bagian yang terutama terinfeksi
yaitu, paru, SSP dan tersebar hampir keseluruh organ, berdasarkan catatan medis pasien
dengan penyakit kriptokokus yang simptomatik. Faktor-faktor yang sangat penting adalah
adanya kondisi yang terkait faktor imunosupresi (misalnya, penggunaan steroid,
transplantasi organ, keganasan) atau infeksi HIV. Kriptokokosis merupakan infeksi yang
semakin umum timbul pada pasien transplantasi organ. Selain infeksi paru-paru dan SSP,
organ-organ yang paling sering terkena adalah kulit, prostat dan kavitas medulla tulang.
Manifestasi di tulang terjadi pada 10-15% kasus dan biasanya berbentuk papula, pustula,
nodul, ulkus. Papula Umbilicated pada pasien dengan AIDS menyerupai moluskum
kontagiosum.
2. Basal Cell Carcinoma
Terdapat lesi yang membesar perlahan sulit sembuh dan berdarah ketika mengalami
trauma. Paling sering terjadi pada wajah, pasien menerangkan lesi dari sebuah benjolan
jerawat yang kadang-kadang berdarah. Orang yang sering terpapar sinar matahari lebih
sering terkena kanker kulit dibanding mereka yang tidak. Pertimbangkan BCC pada setiap
pasien dengan riwayat anomali kulit dan sakit yang tidak sembuh dalam 3-4 minggu dan
terjadi pada kulit yang sering terpapar sinar matahari. Tumor ini mungkin memakan
waktu berbulan-bulan atau tahun untuk mencapai diameter 1 cm.

Terapi
Moluskum kontagiosum adalah penyakit infeksi virus yang dapat sembuh spontan. Pada
kelompok pasien imunokompeten jarang ditemui lesi moluskum kontagiosum bertahan lebih dari
2 bulan. Terapi untuk memperbaiki gejala yang timbul diperlukan pada beberapa pasien dengan
penurunan status imun, dimana didapatkan lesi ekstensif dan persisten. Pemberian terapi
dilakukan berdasarkan beberapa pertimbangan meliputi kebutuhan pasien, rekurensi penyakit
serta kecenderungan pengobatan yang meninggalkan lesi pigmentasi atau jaringan parut.
Sebagian besar pengobatan moluskum kontagiosum bersifat traumatis pada lesi. Pilihan terapi
terbaru mencakup pemberian antivirus dan agen imunomodulator. Berikut ini merupakan
beberapa pilihan terapi yang umum digunakan dalam penatalaksanaan moluskum kontagiosum.

1. Bedah Beku (Cryosurgery)


Merupakan salah satu terapi yang umum dan efisien digunakan dalam pengobatan moluskum
kontagiosum, terutama pada lesi predileksi perianal dan perigenital. Bahan yang digunakan
adalah nitrogen cair. Aplikasi menggunakan lidi kapas pada masing-masing lesi selama 10-15
detik. Pemberian terapi dapat diulang dengan interval 2-3 minggu. Efek samping meliputi rasa
nyeri saat pemberian terapi, erosi, ulserasi serta terbentuknya jaringan parut hipopigmentasi
maupun hiperpigmentasi.

2. Eviserasi
Merupakan metode yang mudah untuk menghilangkan lesi dengan cara mengeluarkan inti
umbilikasi sentral melalui penggunaan instrumen seperti skalpel, ekstraktor komedo dan jarum
suntik. Penggunaan metode ini mungkin tidak dapat ditoleransi oleh anak-anak.

3. Podofilin dan Podofilotoksin


Suspensi podofilin 25% dalam larutan benzoin atau alkohol dapat diaplikasikan pada lesi
dengan menggunakan lidi kapas, dibiarkan selama 1-4 jam kemudian dilakukan pembilasan
dengan menggunakan air bersih. Pemberian terapi dapat diulang sekali seminggu. Terapi ini
membutuhkan perhatian khusus karena mengandung mutagen yaitu quercetin dan kaempherol.
Efek samping lokal akibat penggunaan bahan ini meliputi erosi pada permukaan kulit normal
serta timbulnya jaringan parut. Efek samping sistemik akibat penggunaan secara luas pada
permukaan mukosa berupa neuropati saraf perifer, gangguan ginjal, ileus, leukopeni dan
trombositopenia. Podofilotoksin merupakan alternatif yang lebih aman dibandingkan podofilin.
Sebanyak 0,05 ml podofilotoksin 5% diaplikasikan pada lesi 2 kali sehari selama 3 hari.
Kontraindikasi absolut kedua bahan ini pada wanita hamil.

4. Cantharidin
Merupakan agen keratolitik berupa larutan yang mengandung 0,9% collodian dan
acetone. Telah menunjukkan hasil memuaskan pada penanganan infeksi Molluscum
Contagiosum Virus (MCV). Pemberian bahan ini terbatas pada puncak lesi serta didiamkan
selama kurang lebih 4 jam sebelum lesi dicuci. Cantharidin menginduksi lepuhan pada kulit
sehingga perlu dilakukan tes terlebih dahulu pada lesi sebelum digunakan. Bila pasien mampu
menoleransi bahan ini, terapi dapat diulang sekali seminggu sampai lesi hilang. Efek samping
pemberian terapi meliputi eritema, pruritus serta rasa nyeri dan terbakar pada daerah lesi.
Kontraindikasi penggunaan Cantharidin pada lesi moluskum kontagiosum di daerah wajah.

5. Tretinoin
Tretinoin merupakan derivat vitamin A yang berfungsi sebagai agen anti-proliferasi sel.
Krim tretinoin 0,1% digunakan pada penanganan moluskum kontagiosum. Pemberian dengan
cara dioleskan 2 kali sehari pada lesi. Penyembuhan dilaporkan terjadi dalam waktu 11 hari
setelah pemberian terapi. Efek samping terapi berupa eritema pada daerah timbulnya lesi. Pilihan
lain menggunakan krim tretinoin 0,05% menunjukkan hasil yang memuaskan dengan efek
samping berupa iritasi ringan.

6. Cimetidine
Cimetidine merupakan antagonis reseptor histamin H 2 yang menstimulasi reaksi
hipersensitifitas tipe lambat. Mekanisme kerja Cimetidine pada terapi moluskum kontagiosum
masih belun diketahui secara jelas. Sebuah studi menunjukkan keberhasilan penggunaan
cimetidine dosis 40 mg/kgBB/oral/hari dosis terbagi dua pada pengobatan moluskum
kontagiosum dengan lesi ekstensif. Cimetidine berinteraksi dengan berbagai pengobatan sistemik
lain, sehingga perlu dilakukan anamnesis riwayat pengobatan pada pasien yang akan mendapat
terapi obat ini.

7. Larutan KOH
Larutan KOH 10% diaplikasikan 2 kali sehari pada lesi dengan menggunakan lidi kapas.
Pemberian terapi dihentikan bila didapatkan respon inflamasi atau timbul ulkus pada daerah lesi.
Perbaikan lesi didapatkan setelah kurang lebih 30 hari pemberian terapi. Efek samping berupa
pembentukan jaringan parut hipertropik serta hipopigmentasi dan hiperpigmentasi pada daerah
lesi.

8. Pulsed Dye Laser


Beberapa studi menunjukkan hasil memuaskan penggunaan modalitas terapi pulsed dye
laser pada lesi moluskum kontagiosum. Perbaikan lesi dicapai dalam waktu 2 minggu setelah
pemberian terapi tanpa disertai efek samping yang berarti. Pulsed dye laser merupakan salah satu
pilihan terapi yang efisien namun memiliki kekurangan dari segi efektifitas biaya.

9. Imunomodulator
Penggunaan imunomodulator telah menjadi bagian dari pilihan terapi moluskum
kontagiosum. Pada pasien dengan gangguan fungsi imun dimana didapatkan lesi ekstensif
tersebar di seluruh tubuh, terapi lokal yang bersifat destruktif dikatakan tidak efektif. Penggunaan
imunomodulator telah memberikan hasil memuaskan. Imunomodulator topikal telah digunakan
pada bermacam kelainan kulit. Molekul imunomodulator topikal memiliki kemampuan
memodifikasi respon imun lokal pada kulit, bersifat stimulator maupun supresor terhadap respon
imun. Pemilihan preparat topikal didasarkan pada beberapa alasan antara lain hasil terapi
memuaskan, kemudahan aplikasi serta tingkat keamanan lebih baik dibandingkan preparat
sistemik. Imunomodulator topikal terbagi menjadi 2 bagian besar, yaitu imunomodulator steroid
dan imunomodulator non-steroid.

10. Antivirus
Antivirus yang umum digunakan dalam pengobatan moluskum kontagiosum adalah
Cidofovir. Cidofovir merupakan analog nukleosida deoxytidine -7-monophosphate yang memiliki
aktivitas antivirus terhadap sejumlah besar DNA virus meliputi citomegalovirus (CMV), virus
herpes simplex (HSV), Human Papiloma Virus (HPV) dan Molluscum Contagiosum Virus
(MCV). Cidofovir difosfat bekerja sebagai inhibitor kompetitif terhadap DNA polimerase virus
sehingga mampu menghambat sintesis DNA virus. Cidofovir tersedia dalam bentuk krim 3%,
solusio intravena dan intralesi.
Cidofovir memiliki potensi cukup baik dalam pengobatan moluskum kontagiosum, terutama
pada pasien dengan penurunan status imun. Efek samping lokal pemberian terapi cidofovir
mencakup reaksi inflamasi pada daerah sekitar lesi, sedangkan efek samping sistemik meliputi
nefrotoksik, neutropenia dan asidosis metabolik.

Prognosis
Penyembuhan spontan umumnya terjadi setelah 18 bulan pada orang yang sistem
kekebalannya baik, namun pernah dilaporkan adanya lesi yang bertahan selama 5 tahun.
Durasi infeksi tidak pasti pada populasi dengan infeksi HIV dan pada populasi dengan
imunokompresi (misalnya, pasien yang telah mengalami transplantasi ginjal) karena
moluskum kontagiosum tidak dapat sembuh sendiri dalam kasus ini.

Gambar 2.4 Moluskum Kontagiosum.


Papul berisi massa padat berwarna putih
seperti nasi.
Gambar 2.5 Moluskum kontagiosum.
Lekukan delle (+) di atas papul.
2.4 Morbili

Definisi
Morbili atau juga disebut dengan Campak, Measles, Rubeola merupakan penyakit akut
yang sangat menular, disebabkan oleh infeksi virus yang pada umumnya menyerang anak.
Virus campak dapat menyebabkan penyakit akut pada anak yang dimulai dari traktus
respiratorius bagian atas, selanjutnya menyebar ke organ dan jaringan sehingga
mengakibatkan pelbagai gejala klinis.

Epidemiologi
Campak merupakan penyakit endemis, terutama dinegara sedang berkembang. Di
Indonesia penyakit campak sudah dikenal sejak lama. Dari penelitian retrospektif dilaporkan
bahwa campak di Indonesia ditemukan sepanjang tahun. Studi kasus campak yang dirawat
inap dirumah sakit selama kurun waktu lima tahun, memperlihatkan peningkatan kasus pada
bulan Maret dan mencapai puncak pada bulan Mei, Agustus, September dan Oktober.

Di Indonesia, menurut survei Kesehatan Rumah Tangga, campak menduduki tempat ke-5
dalam urutan 10 penyakit utama pada bayi (0,7%) dan tempat ke-5 dalam urutan 10 macam
penyakit utama pada anak umur 1-4 tahun (0,77%)

Etiologi
Virus campak merupakan virus RNA famili paramyxoviridae dengan genus Morbili
virus. Sampai saat ini hanya diketahui 1 tipe antigenik yang mirip dengan virus Parainfluenza
dan Mumps. Virus bisa ditemukan pada sekret nasofaring, darah dan urin paling tidak selama
masa prodromal hingga beberapa saat setelah ruam muncul. Virus campak adalah organisme
yang tidak memiliki daya tahan tinggi apabila berada di luar tubuh manusia. Pada temperatur
kamar selama 3-5 hari virus kehilangan 60% sifat infektifitasnya. Virus tetap aktif minimal
34 jam pada temperatur kamar, 15 minggu di dalam pengawetan beku, minimal 4 minggu
dalam temperatur 35˚C, beberapa hari pada suhu 0˚C, dan tidak aktif pada pH rendah.

Patologi

Lesi pada campak terutama terdapat pada kulit, membran mukosa nasofaring, bronkus,
saluran pencernaan, dan konjungtiva. Di sekitar kapiler terdapat eksudat serosa dan
proliferasi dari sel mononuklear dan beberapa sel polimorfonuklear. Karakteristik patologi
dari Campak ialah terdapatnya distribusi yang luas dari sel raksasa berinti banyak yang
merupakan hasil dari penggabungan sel. Dua tipe utama dari sel raksasa yang muncul adalah
(1) sel Warthin-Findkeley yang ditemukan pada sistem retikuloendotel (adenoid, tonsil,
appendiks, limpa dan timus) dan (2) sel epitel raksasa yang muncul terutama pada epitel
saluran nafas. Lesi di daerah kulit terutama terdapat di sekitar kelenjar sebasea dan folikel
rambut. Terdapat reaksi radang umum pada daerah bukal dan mukosa faring yang meluas
hingga ke jaringan limfoid dan membran mukosa trakeibronkial. Pneumonitis intersisial
karena virus campak menyebabkan terbentuknya sel raksasa dari Hecht. Bronkopneumonia
yang terjadi mungkin disebabkan infeksi sekunder oleh bakteri.

Pada kasus ensefalomielitis terdapat demielinisasi vaskuler dari area di otak dan medula
spinalis. Terdapat degenerasi dari korteks dan substansia alba dengan inclusion body
intranuklear dan intrasitoplasmik pada subacute sclerosing panencephalitis.

Patogenesis

Campak merupakan infeksi virus yang sangat menular, dengan sedikit virus yang
infeksius sudah dapat menimbulkan infeksi pada seseorang. Lokasi utama infeksi virus
campak adalah epitel saluran nafas nasofaring. Infeksi virus pertama pada saluran nafas
sangat minimal. Kejadian yang lebih penting adalah penyebaran pertama virus campak ke
jaringan limfatik regional yang menyebabkan terjadinya viremia primer. Setelah viremia
primer, terjadi multiplikasi ekstensif dari virus campak yang terjadi pada jaringan limfatik
regional maupun jaringan limfatik yang lebih jauh. Multiplikasi virus campak juga terjadi di
lokasi pertama infeksi.

Selama lima hingga tujuh hari infeksi terjadi viremia sekunder yang ekstensif dan
menyebabkan terjadinya infeksi campak secara umum. Kulit, konjungtiva, dan saluran nafas
adalah tempat yang jelas terkena infeksi, tetapi organ lainnya dapat terinfeksi pula. Dari hari
ke-11 hingga 14 infeksi, kandungan virus dalam darah, saluran nafas, dan organ lain
mencapai puncaknya dan kemudian jumlahnya menurun secara cepat dalam waktu 2 hingga 3
hari. Selama infeksi virus campak akan bereplikasi di dalam sel endotel, sel epitel, monosit,
dan makrofag.

Daerah epitel yang nekrotik di nasofaring dan saluran pernafasan memberikan


kesempatan serangan infeksi bakteri sekunder berupa bronkopneumonia, otitis media, dan
lainnya. Dalam keadaan tertentu, adenovirus dan herpes virus pneumonia dapat terjadi pada
kasus campak.
Tabel 1. Patogenesis infeksi campak tanpa penyulit

Hari Manifestasi
0 Virus campak dalam droplet kontak dengan permukaan epitel nasofaring
atau kemungkinan konjungtiva

Infeksi pada sel epitel dan multiplikasi virus


1-2 Penyebaran infeksi ke jaringan limfatik regional
2-3 Viremia primer
3-5 Multiplikasi virus campak pada epitel saluran nafas di tempat infeksi
pertama, dan pada RES regional maupun daerah yang jauh
5-7 Viremia sekunder
7-11 Manifestasi pada kulit dan tempat lain yang bervirus, termasuk saluran
nafas
11-14 Virus pada darah, saluran nafas dan organ lain
15-17 Viremia berkurang lalu hilang, virus pada organ menghilang

Sumber :Feigin et al.2004.Textbook of Pediatric Infectious Diseases 5th edition

Manifestasi klinis

Sekitar 10 hari setelah infeksi akan muncul demam yang biasanya tinggi, diikuti dengan
koriza/pilek, batuk dan peradangan pada mata. Gejala penyakit campak dikategorikan dalam
tiga stadium:

 Stadium inkubasi

Masa inkubasi campak berlangsung kira-kira 12-14 hari. Walaupun pada masa ini terjadi
viremia dan reaksi imunologi yang ekstensif, penderita tidak menampakkan gejala sakit.

 Stadium prodromal

Manifestasi klinis campak biasanya baru mulai tampak pada stadium prodromal yang
berlangsung selama 2 hingga 5 hari. Gejala utama yang muncul adalah demam yang terus
meningkat hingga mencapai puncaknya suhu 39,4- 40,6 ^C pada hari ke 4 atau 5 yaitu pada
saat ruam muncul. Selain itu biasanya terdapat batuk, pilek dan konjungtivitis. Inflamasi
konjungtiva dan fotofobia dapat menjadi petunjuk sebelum munculnya bercak Koplik. Garis
melintang kemerahan yang terdapat pada konjungtuva dapat menjadi penunjang diagnosis
pada stadium prodromal. Garis tersebut akan menghilang bila seluruh bagian konjungtiva
telah terkena radang
Koplik spot yang merupakan tanda patognomonik untuk campak muncul pada hari ke-
10±1 infeksi. Koplik spot adalah suatu bintik putih keabuan sebesar butiran pasir dengan
areola tipis berwarna kemerahan dan biasanya bersifat hemoragik. Tersering ditemukan pada
mukosa bukal di depan gigi geraham bawah tetapi dapat juga ditemukan pada bagian lain dari
rongga mulut seperti palatum, juga di bagian tengah bibir bawah dan karunkula lakrimalis.
Muncul 1 – 2 hari sebelum timbulnya ruam dan menghilang dengan cepat yaitu sekitar 12-18
jam kemudian. Pada akhir masa prodromal, dinding posterior faring biasanya menjadi
hiperemis dan penderita akan mengeluhkan nyeri tenggorokkan.

 Stadium erupsi

Pada campak yang tipikal, ruam akan muncul sekitar hari ke-14 infeksi yaitu pada saat
stadium erupsi. Ruam muncul pada saat puncak gejala gangguan pernafasan dan saat suhu
berkisar 39,5˚C. Ruam pertama kali muncul sebagai makula yang tidak terlalu tampak jelas di
lateral atas leher, belakang telinga, dan garis batas rambut. Kemudian ruam menjadi
makulopapular dan menyebar ke seluruh wajah, leher, lengan atas dan dada bagian atas pada
24 jam pertama. Kemudian ruam akan menjalar ke punggung, abdomen, seluruh tangan, paha
dan terakhir kaki, yaitu sekitar hari ke-2 atau 3 munculnya ruam. Saat ruam muncul di kaki,
ruam pada wajah akan menghilang diikuti oleh bagian tubuh lainnya sesuai dengan urutan
munculnya.

Saat awal ruam muncul akan tampak berwarna kemerahan yang akan tampak memutih
dengan penekanan. Saat ruam mulai menghilang akan tampak berwarna kecokelatan yang
tidak memudar bila ditekan. Seiring dengan masa penyembuhan maka muncullah deskuamasi
kecokelatan pada area konfluensi. Beratnya penyakit berbanding lurus dengan gambaran
ruam yang muncul. Pada infeksi campak yang berat, ruam dapat muncul hingga menutupi
seluruh bagian kulit, termasuk telapak tangan dan kaki. Wajah penderita juga menjadi
bengkak sehingga sulit dikenali.

Diagnosis
Penyakit campak dapat didiagnosis berdasarkan gejala klinis yang klasik menurut CDC
(Centre for Disease Control and Prevention) dengan kriteria sebagai berikut:

1. Terdapat ruam papulomakuler menyeluruh yang terjadi dalam waktu 3 hari atau lebih
2. Demam 38,3 °C (101°F)
3. Terdapat salah satu dari gejala berikut, batuk, koriza/pilek atau konjungtivitis

Tetapi gejala klinis pada penyakit campak sering mengalami modifikasi misalnya
penyakit campak dapat timbul tanpa disertai demam dan tanpa timbul ruam-ruam pada kulit.
Hal seperti ini sering terjadi pada anak atau bayi yang sangat muda, penderita dengan
immunokompresi, anak dengan malnutrisi atau bisa pada anak yang sebelumnya telah
mendapat imunisasi campak. Kerana banyak penderita menunjukkan gejala yang tidak jelas,
maka untuk memastikan diagnosis perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium.

1. Pemeriksaan darah rutin


Biasanya ditemukan leukositosis dan peningkatan LED namun jarang ditemukan

2. Deteksi virus

a. Virus campak dapat ditemukan pada sel mononuclear darah tepi, sekresi
saluran nafas, usapan konjugtiva dan dalam urin. Tetapi virus campak sangat
sulit ditemukan, sehingga pemeriksaan untuk menemukan virus jarang
digunakan untuk menegakkan diagnosis penyakit campak.
b. Sel epitel yang berasal dari nasofaring, mukosa bukalis, konjugtiva atau urin
dapat digunakan untuk pemeriksaan sitologi secara langsung untuk melihat sel
raksasa dan mendeteksi antigen dengan menggunakan antibodi terhadap
protein N virus. Protein ini paling banyak ditemukan pada sel yang terinfeksi.
c. Pemeriksaan jaringan langsung pada penderita dengan immunocompromised
karena respon antibodinya tidak terbentuk.
d. RNA virus dapat dideteksi dengan reverse transcription dan diamplifikasi
memakai PCR, teknik ini belum digunakan secara luas untuk menegakkan
diagnosis.

3. Mendeteksi antibodi
Diagnosis penyakit campak paling sering ditegakkan dengan pemeriksaan serologi.
Menggunakan sampel saliva atau serum. Antibodi IgM muncul bersamaan dengan
munculnya ruam pada kulit dan sebagian besar dideteksi 3 hari sesudah munculnya ruam.
Antibodi IgM meningkat cepat dan kemudian menurun hingga tidak dapat dideteksi
setelah 4-12 minggu. IgG sebaiknya diperiksa pada sampel yang sama untuk mengetahui
apakah sudah pernah terinfeksi atau sudah pernah mendapat imunisasi.

Saat pengambilan serum yang tepat untuk dilakukan pemeriksaan laboratorium adalah:

a. Usapan tenggorokan dan saliva diambil dalam 6 minggu sesudah munculnya gejala
untuk pemeriksaan antibodi IgM spesifik campak dan mendeteksi RNA virus.
b. Sampel darah diambil dalam 6 minggu sesudah munculnya gejala untuk mendeteksi
antibodi IgM spesifik virus dan RNA virus
c. Sampel darah umumnya diambil pada fase akut (1-7 hari setelah munculnya rum pada
kulit) dan pada fase konvalesen untuk mendeteksi antibodi IgG spesifik campak.
Positif jika terjadi kenaikan titer antara fase akut dan konvalesen 4 kali lipat.

Diagnosis Banding

Diagnosis banding morbili diantaranya :

1. Roseola infantum. Pada Roseola infantum, ruam muncul saat demam telah menghilang.

2. Rubella. Ruam berwarna merah muda dan timbul lebih cepat dari campak. Gejala yang
timbul tidak seberat campak.

3. Alergi obat. Didapatkan riwayat penggunaan obat tidak lama sebelum ruam muncul dan
biasanya tidak disertai gejala prodromal.

4. Demam skarlatina. Ruam bersifat papular, difus terutama di abdomen. Tanda


patognomonik berupa lidah berwarna merah stroberi serta tonsilitis eksudativa atau
membranosa.

Penatalaksanaan
Pengobatan bersifat suportif dan simptomatis, terdiri dari istirahat, pemberian cairan
yang cukup, suplemen nutrisi, antibiotik diberikan bila terjadi infeksi sekunder, anti konvulsi
apabila terjadi kejang, antipiretik bila demam, dan vitamin A 100.000 Unit untuk anak usia 6
bulan hingga 1 tahun dan 200.000 Unit untuk anak usia >1 tahun. Vitamin A diberikan untuk
membantu pertumbuhan epitel saluran nafas yang rusak, menurunkan morbiditas campak
juga berguna untuk meningkatkan titer IgG dan jumlah limfosit total.

Indikasi rawat inap bila hiperpireksia (suhu >39,5˚C), dehidrasi, kejang, asupan oral sulit
atau adanya penyulit. Pengobatan dengan penyulit disesuaikan dengan penyulit yang timbul.

Pencegahan

1. Imunisasi aktif

Diberikan vaksin campak pada umur 9 bulan dan 6 tahun dengan dosis 1000 TCID50
atau sebanyak 0.5 ml secara subkutan.

2. Imunisasi Pasif (Imunoglobulin)

Indikasi :

 Anak usia > 12 bulan dengan immunocompromised belum mendapat imunisasi,


kontak dengan pasien campak, dan vaksin MMR merupakan kontraindikasi.
 Bayi berusia < 12 bulan yang terpapar langsung dengan pasien campak mempunyaii
resiko tinggi untuk berkembangnya komplikassi penyakit ini, maka harus diberikan
immunoglobulin sesegera mungkin dalam waktu 7 hari paparan. Setelah itu vaksin
MMR diberikan sesegera mungkin sampai usia 12 bulan, dengan interval 3 bulan
setelah pemberian immunoglobulin.

Pemberian imunisasi campak pada usia kurang dari 12 bulan memerlukan imunisasi
ulang pada usia 15 bulan karena vaksin dinetralisasi oleh antibodi maternal sedang pemberian
imunisasi campak pada usia lebih dari 12 bulan atau 15 bulan tidak perlu imunisasi ulang,
karena dapat memperlihatkan serokonversi yang maksimum dan daya proteksi vaksin
mencapai 95-100 persen jika diberikan pada usia lebih dari 12 bulan.

Prognosis
Pada penyakit campak yang tidak disertai dengan komplikasi maka prognosisnya baik.
Sedangkan pada campak yang disertai komplikasi (misal ensefalitis dan pneumonia) maka
prognosisnya buruk karena dapat menimbulkan kecacatan seumur hidup meskipun jarang
ditemukan. Penyakit campak juga merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas yang
penting pada anak-anak yang mengalami malnutrisi sehingga harus diwaspadai.

Gambar 2.6 Morbili


2.5 Variola

Definisi
Variola adalah penyakit virus yang disertai keadaan umum yang buruk dapat
menyebabkan kematian, efloresensinya bersifat monomorf terutama terdapat di perifer tubuh.

Epidemiologi
Penyebaran penyakit ini kosmopolit, tetapi pada daerah tertentu memberi insidens yang
tinggi, misalnya di Amerika Tengah dan Selatan, Hindia Barat, dan Timur Jauh. Dengan
vaksinasi yang teratur dan terorganisasi baik, maka insidens akan jauh menurun, sehingga di
daerah yang sebelumnya terdapat endemi tidak lagi dijumpai kasus variola dan daerah ini
dapat disebut sebagai bebas variola seperti di lndonesia. Sejak tahun 1984, WHO menyatakan
seluruh dunia telah bebas dari penyakit ini. Meskipun demikian kita harus waspada terhadap
munculnya kembali penyakit ini.

Etiologi
Penyebab variola ialah virus poks (pox virus variolae). Dikenal 2 tipe virus yang hampir
identik. tetapi menyebabkan 2 tipe variola, yaitu variola mayor dan variola minor (alastrim).
Perbedaan kedua tipe virus tersebut adalah bahwa virus yang menyebabkan variola mayor
bila diinokulasikan pada membran korioalantoik tumbuh pada suhu 38°-38,5°C, sedangkan
yang menyebabkan variola minor tumbuh di bawah suhu 38°C. Virus ini sangat stabil pada
suhu ruangan, sehingga dapat hidup di luar tubuh selama berbulan-bulan.

Patogenesis
Transmisi terjadi secara aerogen karena virus ini terdapat dalam jumlah yang sangat
banyak di saluran napas bagian atas dan juga terdapat atau terbawa di pakaian penderita.
Setelah masuk ke dalam tubuh, virus akan mengalami multiplikasi dalam sistem
retikuloendotelial, kemudian masuk ke dalam darah (viremia) dan melepaskan diri melalui
kapiler dermis menuju sel epidermis (epidermotropik) dan membentuk badan inklusi intra
sitoplasma yang terletak di inti sel (badan Guarneri). Tipe variola yang timbul bergantung
pada imunitas, tipe virus dan gizi penderita.

Gambaran klinis
lnkubasinya 2-3 minggu, terdapat 4 stadium:
 Stadium inkubasi erupsi (prodromal)
Terdapat nyeri kepala, nyeri tulang dan sendi disertai demam tinggi, menggigil, lemas,
dan muntah-muntah, yang berlangsung selama 3-4 hari.
 Stadium makulo-papular
Timbul banyak makula eritematosa yang cepat menjadi papul, terutama di wajah dan
ekstremitas, termasuk telapak tangan dan telapak kaki. Pada stadium ini suhu tubuh
normal kembali, penderita merasa sehat dan tidak timbul lesi baru.
 Stadium vesikulo-pustulosa
Dalam waktu 5-10 hari timbul vesikel yang kemudian menjadi pustul dan pada saat ini
suhu tubuh meningkat lagi. Pada kelainan tersebut timbul umbilikasi.
 Stadium resolusi
Stadium ini berlangsung dalam waktu 2 minggu, timbul krusta dan suhu tubuh mulai
menurun. Kemudian, krusta terlepas dan meninggalkan sikatriks yang atrofi. Kadang-
kadang timbul perdarahan yang disebabkan depresi hematopoetik dan disebut sebagai
black variola yang sering fatal. Mortalitas variola bervariasi di antara 1-50%.
Variola Minor (Alastrim)
Masa inkubasinya lebih singkat dan gejala prodromal tampak ringan, sedangkan jumlah
lesi yang timbul tidak banyak. Mortalitasnya kurang dari 1%.
Varioloid
Bentuk ini timbul pada individu yang sudah mendapat vaksinasi sehingga didapati
imunitas parsial, walaupun mendapat serangan virus yang cukup virulen. Gejala
prodormalnya sedikit sekali atau tidak ada, begitu pula gejala kulit. Biasanya lesi di
dahi, lengan atas dan tangan, demam kedua seperti pada stadium vesuko-pustulosa
tidak dijumpai.

Pemeriksaan Penunjang
Penunjang diagnosis terdiri atas inokulasi pada korioalantoik, pemeriksaan virus dengan
mikroskop elektron, dan deteksi antigen virus pada agar-sel. Kecuali itu juga pemeriksaan
histopatologik dan tes serologik (tes ikatan komplemen).

Pencegahan
Vaksinasi dengan virus vaksinia yang diberikan dengan metode multiple puncture,
merupakan teknik yang dianggap terbaik. Pada waktu pemberian vaksinasi tempat tersebut
tidak dibersihkan dengan alkohol, tetapi cukup dengan eter atau aseton agar alkohol tidak
menginaktifkan virus vaksinia tersebut.

Komplikasi
Komplikasinya ialah bronkopneumonia, infeksi kulit sekunder (furunkel, impetigo dan
sebagainya), ulkus kornea, ensefalitis, efluvium, dan telogen dalam waktu 3-4 bulan.

Gambar 2.7 Variola


2.6 Varisela

Definisi
Infeksi akut primer oleh virus varicella zoster yang menyerang kulit dan mukosa, klinis
terdapat gejala konstitusi, kelainan kulit polimorf, terutama berlokasi di bagian sentral
tubuh.

Epidemiologi
 Usia
Pada orang yang belum mendapat vaksinasi, 90% kasus terjadi pada anak-anak dibawah
10 tahun, 5% terjadi pada orang yang berusia lebih dari 15 tahun. Sementara pada pasien
yang mendapat imunisasi, insiden terjadinya varicella secara nyata menurun.
Insiden

Sejak diperkenalkan adanya vaksin varicella pada tahun 1995, insiden terjadinya
varicella terbukti menurun. Dimana sebelum tahun 1995, terbukti di Amerika terdapat 3-4
juta kasus varicella setiap tahunnya.

 Transmisi
Transmisi penyakit ini secara aerogen maupun kontak langsung. Kontak tidak langsung
jarang sekali menyebabkan varicella. Penderita yang dapat menularkan varicella yaitu
beberapa hari sebelum erupsi muncul dan sampai vesikula yang terakhir. Tetapi bentuk
erupsi kulit yang berupa krusta tidak menularkan virus.

 Musim
Di daerah metropolitan yang beriklim sedang, dimana epidemi varicella sering terjadi pada
musim musim dingin dan musim semi.

Patogenesis
Varicella disebabkan oleh VZV yang termasuk dalam famili virus herpes. Virus masuk
ke dalam tubuh manusia melalui mukosa saluran napas dan orofaring. Multiplikasi virus di
tempat tersebut diikuti oleh penyebaran virus dalam jumlah sedikit melalui darah dan limfe
(viremia primer). Virus VZV dimusnahkan oleh sel sistem retikuloendotelial, yang
merupakan tempat utama replikasi virus selama masa inkubasi. Selama masa inkubasi
infeksi virus dihambat sebagian oleh mekanisme pertahanan tubuh dan respon yang timbul.
Pada sebagian besar individu replikasi virus dapat mengatasi pertahanan tubuh yang
belum berkembang sehingga dua minggu setelah infeksi terjadi viremia sekunder dalam
jumlah yang lebih banyak. Lesi kulit muncul berturut-berturut, yang menunjukkan telah
memasuki siklus viremia, yang pada penderita yang normal dihentikan setelah sekitar 3 hari
oleh imunitas humoral dan imunitas seluler VZV. Virus beredar di leukosit mononuklear,
terutama pada limfosit. Bahkan pada varicella yang tidak disertai komplikasi, hasil viremia
sekunder menunjukkan adanya subklinis infeksi pada banyak organ selain kulit.
Respon imun penderita menghentikan viremia dan menghambat berlanjutnya lesi pada
kulit dan organ lain. Imunitas humoral terhadap VZV berfungsi protektif terhadap varicella.
Pada orang yang terdeteksi memiliki antibodi serum biasanya tidak selalu menjadi sakit
setelah terkena paparan eksogen. Sel mediasi imunitas untuk VZV juga berkembang selama
varicella, berlangsung selama bertahun-tahun, dan melindungi terhadap terjadinya resiko
infeksi yang berat.

Gambaran klinis
Masa inkubasi antara 14 sampai 16 hari setelah paparan, dengan kisaran 10 sampai 21
hari. Masa inkubasi dapat lebih lama pada pasien dengan defisiensi imun dan pada pasien
yang telah menerima pengobatan pasca paparan dengan produk yang mengandung antibodi
terhadap varicella.

 Gejala prodromal
Pada anak kecil jarang terdapat gejala prodromal. Sementara pada anak yang lebih besar
dan dewasa, ruam yang seringkali didahului oleh demam selama 2-3 hari, kedinginan,
malaise, anoreksia, nyeri punggung, dan pada beberapa pasien dapat disertai nyeri
tenggorokan dan batuk kering.

 Ruam pada varicella


Pada pasien yang belum mendapat vaksinasi, ruam dimulai dari muka dan skalp, dan
kemudian menyebar secara cepat ke badan dan sedikit ke ekstremitas. Lesi baru muncul
berturut-turut, dengan distribusi terutama di bagian sentral. Ruam cenderung padat kecil-
kecil di punggung dan antara tulang belikat daripada skapula dan bokong dan lebih banyak
terdapat pada medial daripada tungkai sebelah lateral. Tidak jarang terdapat lesi di telapak
tangan dan telapak kaki, dan vesikula sering muncul sebelumnya dan dalam jumlah yang
lebih besar di daerah peradangan, seperti daerah yang terkena sengatan matahari.
Gambaran dari lesi varicella berkembang secara cepat, yaitu lebih kurang 12 jam, dimana
mula-mula berupa makula eritematosa yang berkembang menjadi papul, vesikel, pustul, dan
krusta. Vesikel dari varicella berdiameter 2-3 mm, dan berbentuk elips, dengan aksis
panjangnya sejajar dengan lipatan kulit. Vesikel biasanya superfisial dan berdinding tipis,
dan dikelilingi daerah eritematosa sehingga tampak terlihat seperti “ embun di atas daun
mawar”. Cairan vesikel cepat menjadi keruh karena masuknya sel radang, sehingga
mengubah vesikel menjadi pustul. Lesi kemudian mengering, mula-mula di bagian tengah
sehingga menyebabkan umbilikasi dan kemudian menjadi krusta. Krusta akan lepas dalam
1-3 minggu, meninggalkan bekas bekas cekung kemerahan yang akan berangsur
menghilang. Apabila terjadi superinfeksi dari bakteri maka dapat terbentuk jaringan parut.
Lesi yang telah menyembuh dapat meninggalkan bercak hipopigmentasi yang dapat
menetap selama beberapa minggu/bulan.
Vesikel juga terdapat di mukosa mulut, hidung, faring, laring, trakea, saluran cerna,
kandung kemih, dan vagina. Vesikel di mukosa ini cepat pecah sehingga seringkali terlihat
sebagai ulkus dangkal berdiameter 2-3 mm.
Demam biasanya berlangsung selama lesi baru masih timbul, dan tingginya demam
sesuai dengan beratnya erupsi kulit. Jarang di atas 39oC, tetapi pada keadaan yang berat
dengan jumlah lesi banyak dapat mencapai 40,5oC. Demam yang berkepanjangan atau yang
kambuh kembali dapat disebabkan oleh infeksi sekunder bakterial atau komplikasi lainnya.
Gejala yang paling mengganggu adalah gatal yang biasanya timbul selama stadium
vesikuler.

Pemeriksaan Penunjang
Lesi pada varicella dan herpes zoster tidak dapat dibedakan secara histopatologi. Pada
pemeriksaan menunjukkan sel raksasa berinti banyak dan sel epitel yang mengandung
badan inklusi intranuklear yang asidofilik. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan pewarnaan
Tzanck, dimana bahan pemeriksaan dikerok dari dasar vesikel yang muncul lebih awal,
kemudian diletakkan di atas object glass, dan difiksasi dengan ethanol atau methanol, dan
diwarnai dengan pewarnaan hematoxylin-eosin, Giemsa, Papanicolaou, atau pewarnaan
Paragon.
Di samping itu Varicella zoster virus (VZV) polymerase chain reaction (PCR) adalah
metode pilihan untuk diagnosis varicella. VZV juga dapat diisolasi dari kultur jaringan,
meskipun kurang sensitif dan membutuhkan beberapa hari untuk mendapatkan hasilnya.
Bahan yang paling sering digunakan adalah isolasi dari cairan vesikuler. VZV PCR adalah
metode pilihan untuk diagnosis klinis yang cepat. Real-time PCR metode tersedia secara
luas dan merupakan metode yang paling sensitif dan spesifik dari tes yang tersedia. Hasil
tersedia dalam beberapa jam. Jika real-time PCR tidak tersedia, antibodi langsung metode
(DFA) neon dapat digunakan, meskipun kurang sensitif dibanding PCR dan membutuhkan
pengambilan spesimen yang lebih teliti.

Diagnosis Banding
 Variola
 Herpes Zoster
 Herpes Simpleks
 Hand, Foot and Mouth Disease

Penatalaksanaan

 Antivirus
Acyclovir adalah suatu analog guanosin yang secara selektif difosforilasi oleh timidin
kinase VZV sehingga terkonsentrasi pada sel yang terinfeksi. Enzim-enzim selular
kemudian mengubah acyclovir monofosfat menjadi trifosfat yang mengganggu sintesis
DNA virus dengan menghambat DNA polimerase virus. VZV kira-kira sepuluh kali lipat
kurang sensitif terhadap acyclovir dibandingkan HSV.
Valacyclovir dan famcyclovir, merupakan prodrug dari acyclovir yang mempunyai
bioavaibilitas oral lebih baik daripada acyclovir sehingga kadar dalam darah lebih tinggi
dan frekuensi pemberian obat berkurang.
 Topikal
Pada anak normal varicella biasanya ringan dan dapat sembuh sendiri. Untuk mengatasi
gatal dapat diberikan kompres dingin, atau lotion kalamin, antihistamin oral. Cream dan
lotion yang mengandung kortikosteroid dan salep yang bersifat oklusif sebaiknya tidak
digunakan. Kadang diperlukan antipiretik, tetapi pemberian olongan salisilat sebaiknya
dihindari karena sering dihubungkan dengan terjadinya sindroma Reye. Mandi rendam
dengan air hangat dapat mencegah infeksi sekunder bakterial.
 Anti virus pada anak
Pengobatan dini pemberian acyclovir (dalam 24 jam setelah timbul ruam) pada anak
imunokompeten berusia 2-12 tahun dengan dosis 4x20 mg/kgBB/hari selama 5 hari
menurunkan jumlah lesi, penghentian terbentuknya lesi yang baru, dan menurunkan
timbulnya ruam, demam, dan gejala konstitusi bila dibandingkan dengan placebo. Tetapi
apabila pengobatan dimulai lebih dari 24 jam setelah timbulnya ruam cenderung tidak
efektif lagi. Hal ini disebabkan karena varicella merupakan infeksi yang relatif ringan pada
anak-anak dan manfaat klinis dari terapi tidak terlalu bagus, sehingga tidak memerlukan
pengobatan acyclovir secara rutin.
 Pada remaja dan dewasa
Pengobatan dini dengan pemberian acyclovir dengan dosis 5x800 mg selama 5 hari
menurunkan jumlah lesi, penghentian terbentuknya lesi yang baru, dan menurunkan
timbulnya ruam, demam, dan gejala konstitusi.
Acyclovir secara oral untuk infeksi pada ibu hamil tri semester ketiga ketika
organogenesis telah sempurna, ketika mungkin ada peningkatan terjadinya resiko
pneumonia varicella, dan ketika infeksi dapat menyebar ke bayi yang baru lahir. Pemberian
acyclovir intravena sering dipertimbangkan untuk wanita hamil dengan varicella yang
disertai dengan penyakit sistemik.

Pencegahan
Vaksin varicella (Varivax, Merck) merupakan vaksin virus hidup yang dilemahkan, yang
berasal dari strain Oka VZV. Vaksin varicella dianjurkan untuk semua anak tanpa
kontraindikasi yang berusia 12 sampai 15 bulan. Vaksin ini dapat diberikan kepada semua
anak pada usia ini terlepas dari riwayat varicella. Dosis kedua vaksin varicella harus
diberikan pada 4 sampai 6 tahun kemudian. Dosis kedua dapat diberikan lebih awal dari 4
sampai 6 tahun jika setidaknya 3 bulan telah berlalu setelah dosis pertama (yaitu, interval
minimum antara dosis vaksin varicella untuk anak-anak berusia di bawah 13 tahun adalah 3
bulan). Namun, jika dosis kedua diberikan setidaknya 28 hari setelah dosis pertama, dosis
kedua tidak perlu diulang. Dosis kedua vaksin varicella ini juga dianjurkan bagi orang yang
lebih tua, dimana vaksin varicella diberikan kepada orang-orang 13 tahun atau lebih pada 4
sampai 8 minggu kemudian.
Semua vaksin varicella harus diberikan melalui secara subkutan. Vaksin varicella telah
terbukti aman dan efektif pada anak-anak yang sehat bila diberikan pada saat yang sama
sebagai vaksin MMR di lokasi terpisah dan dengan jarum suntik yang terpisah. Jika vaksin
varicella dan MMR tidak diberikan pada kunjungan yang sama, maka pemberian harus
dipisahkan setidaknya 28 hari. Vaksin varicella juga dapat diberikan simultan (tapi di lokasi
terpisah dengan jarum suntik yang terpisah) dengan semua vaksin anak lainnya.

Gambar 2.8 Varicella


2.7 Herpes Simpleks

Definisi
Herpes simpleks merupakan infeksi virus yang ditandai dengan lesi primer
terlokalisir, laten dan adanya kecendurangan untuk kambuh kembali. Ada 2 jenis virus –
yaitu virus herpes simpleks (HSV) tipe 1 dan 2 pada umumnya menimbulkan gejala klinis
yang berbeda, tergantung pada jalan masuknya. Dapat menyerang alat-alat genital atau
mukosa mulut.

Epidemiologi
Tersebar di seluruh dunia. Hampir 50%-90% orang dewasa memiliki antibodi
terhadap HSV 1. Infeksi awal HSV 1 biasanya terjadi sebelum usia 5 tahun, namun saat ini
banyak infeksi primer ditemukan terjadi pada orang dewasa. Infeksi HSV 2 biasanya dimulai
karena aktivitas seksual dan jarang terjadi sebelum menginjak dewasa, kecuali kalau terjadi
sexual abused pada anak-anak. Antibodi HSV 2 ditemukan sekitar 20%-30% pada orang
Amerika dewasa. Prevalensi antibodi HSV 2 meningkat (lebih dari 60%) pada kelompok
sosial ekonomi rendah dan pada orang-orang yang berganti-ganti pasangan.

Etiologi
Penyebab infeksi adalah virus herpes simpleks termasuk dalam famili herpesviridae,
subfamili alphaherpesvirinae. HSV tipe I dan tipe II dapat dibedakan secara imunologis
(terutama kalau digunakan antibody spesifik atau antibody monoklonal). Dan HSV tipe 1 dan
tipe 2 juga berbeda kalau dilihat dari pola pertumbuhan dari virus tersebut pada kultur sel,
embrio telur dan pada binatang percobaan.
Kontak dengan virus HSV 1 pada saliva dari carrier mungkin cara yang paling
penting dalam penyebaran penyakit ini. Infeksi dapat terjadi melalui perantaraan petugas
pelayanan kesehatan (seperti dokter gigi) yaitu dari pasien HSV mengakibatkan lesi herpes
bernanah (herpetic whitlow). Penularan HSV 2 biasanya melalui hubungan seksual. Kedua
tipe baik tipe 1 dan tipe 2 mungkin ditularkan ke berbagai lokasi dalam tubuh melalui kontak
oral-genital, oral-anal atau anal-genital. Penularan kepada neonatus biasanya terjadi melalui
jalan lahir yang terinfeksi, jarang terjadi di dalam uterus atau postpartum.

Masa Inkubasi
Masa inkubasi berlangsung dari 2 sampai dengan 12 hari.
Masa Penularan
HSV dapat diisolasi dalam 2 minggu dan kadang-kadang lebih dari 7 minggu setelah
muncul stomatitis primer atau muncul lesi genital primer. Keduanya, yaitu baik infeksi
primer maupun infeksi ulang mungkin terjadi tanpa gejala. Setelah itu, HSV mungkin
ditemukan secara intermiten pada mukosal selama bertahun-tahun dan bahkan mungkin
seumur hidup, dengan atau tanpa gejala klinis. Pada lesi yang berulang, infektivitis lebih
pendek dibandingkan infeksi primer dan biasanya virus tidak bisa ditemukan lagi setelah 5
hari.

Gejala klinis
Infeksi primer dengan HSV 1 mungkin ringan tanpa gejala, terjadi pada awal masa
kanak-kanak. Kira-kira 10% dari infeksi primer, muncul sebagai suatu penyakit dengan
spektrum gejala klinis yang beragam, ditandai dengan panas dan malaise sampai 1 minggu
atau lebih, mungkin disertai dengan gingivostomatitis yang berat diikuti dengan lesi vesikuler
pada orofaring, keratokonjungtivitis berat, dan disertai munculnya gejala dan komplikasi kulit
menyerupai eczema kronis, meningoencephalitis atau beberapa infeksi fatal yang terjadi pada
bayi baru lahir (kongenital herpes simpleks). HSV tipe 1 sebagai penyebab sekitar 2%
faringotonsilitis akut, biasanya sebagai infeksi primer.
Reaktivasi infeksi laten biasanya menyebabkan herpes labialis (demam blister atau
cold sores) ditandai dengan munculnya vesikula superfisial yang jelas dengan dasar
erythematous, biasanya pada muka atau bibir, mengelupas dan akan sembuh dalam beberapa
hari. Reaktivasi dipercepat oleh berbagai macam trauma, demam, perubahan psikologis atau
penyakit kambuhan dan mungkin juga menyerang jaringan tubuh yang lain; hal ini terjadi
karena adanya circulating antibodies, dan antibodi ini jarang sekali meningkat oleh karena
reaktivasi. Penyebaran infeksi yang luas dan mungkin terjadi pada orang-orang dengan
immunosuppressed.
HSV 1 adalah penyebab utama dari meningoencephalitis. Dapat timbul  gejala panas,
sakit kepala, leukositosis, iritasi selaput otak, drowsiness, bingung, stupor, koma dan tanda-
tanda neurologis fokal, dan sering dikaitkan dengan satu atau wilayah temporal lain. Gejala-
gejala ini mungkin dikacaukan dengan berbagai lesi intracranial lain seperti abses pada otak
dan meningitis TB. Karena terapi antiviral dapat menurunkan angka kematian yang tinggi,
maka pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) untuk DNA virus herpes atau biopsi
dari jaringan otak seharusnya segera dilakukan pada tersangka untuk menegakkan diagnosa
pasti. 
Genital herpes, biasanya disebabkan oleh HSV tipe II terjadi terutama pada orang
dewasa dan penderita penyakit menular seksual. Infeksi pertama dan infeksi ulang terjadi
dengan atau tanpa gejala. Pada wanita terjadi pada cervix dan vulva. Infeksi ulang umumnya
menyerang vulva, kulit daerah perineum, kaki dan bokong. Pada laki-laki, lesi muncul pada
glans penis atau daerah preputium, dan pada anus dan rektum pada orang yang melakukan
anal seks. Daerah lain yang terkena selain alat kelamin dan daerah perineal, antara lain adalah
mulut, terjadi pada kedua jenis kelamin, tergantung dari kebiasaan hubungan seksual yang
dilakukan oleh orang tersebut. Infeksi oleh HSV tipe II lebih sering menyebabkan meningitis
aseptik dan radikulitis daripada meningoencefalitis.
Infeksi neonatal dapat dibagi menjadi 3 jenis gejala klinis yaitu: infeksi yang
menyebar dan umumnya menyerang hati, encefalitis dan infeksi yang terbatas pada kulit,
mata dan mulut. Bentuk pertama dan kedua sering menyebabkan kematian. Infeksi umumnya
disebabkan oleh HSV 2 tetapi infeksi yang disebabkan oleh HSV 1 juga sering terjadi.
Risiko terjadinya infeksi pada anak-anak tergantung kepada 2 faktor utama pada ibu;
yaitu usia kehamilan pada saat ibu hamil tersebut mengeluarkan HSV dan tergantung juga
kepada apakah infeksi yang dialami infeksi sekunder atau infeksi primer. Hanya ekskresi
yang mengandung HSV yang dikeluarkan saat persalinan yang berbahaya bagi bayi yang
baru lahir dengan pengecualian walaupun jarang infeksi intrauterin dapat terjadi. Infeksi
primer pada ibu dapat meningkatkan risiko infeksi pada bayi dari 3% menjadi 30%
diperkirakan karena imunitas pada ibu dapat memberikan perlindungan.

Diagnosa dan pemeriksaan penunjang


Diagnosa ditegakkan berdasarkan terjadinya perubahan sitologi yang khas
(multinucleated giant cell dengan intranuclear inclusion pada kerokan jaringan atau biopsi),
tetapi harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan FA secara langsung atau dengan isolasi virus
dari lesi mulut atau lesi alat kelamin atau dari biopsi otak pada kasus-kasus encefalitis atau
dengan ditemukannya DNA HSV pada lesi atau cairan LCS dengan PCR. Diagnosis pada
infeksi primer dipastikan dengan adanya kenaikan 4 kali pada titer paired sera dengan
berbagai macam tes serologis; adanya imunoglobulin spesifik IgM untuk herpes mengarah
pada suspek tetapi antibodi konklusif terhadap infeksi primer. Teknik-teknik yang dapat
diandalkan untuk membedakan antibodi tipe 1 dan tipe 2 saat ini tersedia diberbagai
laboratorium diagnostik; isolat virus dapat dibedakan dari yang lain dengan analisis DNA.
Tes serologis yang spesifik belum tersedia secara luas.

Terapi
Gejala akut dari keratitis herpetic dan stadium awal ulkus dendritic diobati dengan
trifluridin atau adenine arabisonide dalam bentuk salep oftalmik atau solutio. Kortikosteroid
jangan digunakan untuk herpes mata kecuali dilakukan oleh seorang ahli mata yang sangat
berpengalaman. Acyclovir IV sangat bermanfaat untuk mengobati herpes simpleks encefalitis
tetapi mungkin tidak dapat mencegah terjadinya gejala sisa neurologis. Acyclovir digunakan
secara oral, intravena atau topikal untuk mengurangi menyebarnya virus, mengurangi rasa
sakit dan mempercepat waktu penyembuhan pada infeksi genital primer dan infeksi herpes
berulang, herpes rektal dan herpetic whitlow (lesi pada sudut mulut bernanah).
Preparat oral paling nyaman digunakan dan mungkin sangat bermanfaat bagi pasien
dengan infeksi ekstensif berulang. Namun, telah dilaporkan adanya mutasi strain virus herpes
yang resisten terhadap acyclovir. Valacyclovir dan famciclovir baru-baru ini diberi lisensi
untuk beredar sebagai pasangan acyclovir dengan efikasi yang sama. Pemberian profilaksis
harian obat tersebut dapat menurunkan frekuensi infeksi HSV berulang pada orang dewasa.
Infeksi neonatal seharusnya diobati dengan acyclovir intravena.

Upaya Pencegahan
1). Berikan penyuluhan kesehatan kepada masyarakat dan tentang kebersihan perorangan
yang bertujuan untuk mengurangi perpindahan bahan-bahan infeksius.
2). Mencegah kontaminasi kulit dengan penderita eksim melalui bahan-bahan infeksius.
3). Petugas kesehatan harus menggunakan sarung tangan pada saat berhubungan langsung
dengan lesi yang berpotensi untuk menular.
4). Disarankan untuk melakukan operasi caesar sebelum ketuban pecah pada ibu dengan
infeksi herpes genital primer yang terjadi pada kehamilan trimester akhir, karena risiko yang
tinggi terjadinya infeksi neonatal (30-50%). Penggunaan elektroda pada kepala merupakan
kontra indikasi. Risiko dari infeksi neonatal yang fatal setelah infeksi berulang lebih rendah
(3-5%) dan operasi ceasar disarankan hanya jika terjadi lesi aktif pada saat persalinan.
5). Menggunakan kondom lateks saat melakukan hubungan seksual mengurangi risiko
infeksi; belum ada anti virus yang dapat digunakan untuk mencegah terjadinya infeksi primer
meskipun acyclovir mungkin dapat digunakan untuk pencegahan untuk menurunkan insidensi
kekambuhan, dan untuk mencegah infeksi herpes pada pasien dengan defisiensi imunitas.

Gambar 2.9 Herpes Simpleks tipe I

Gambar 2.10 Herpes Simpleks tipe II


2.8 Herpes Zooster

Definisi
Merupakan infeksi viral kutaneus pada umumnya melibatkan kulit dengan dermatom
tunggal atau yang berdekatan. Herpes zoster atau Shingles merupakan hasil dari reaktivasi
virus varisela zoster yang memasuki saraf kutaneus selama episode awal chicken pox. Virus
ini tidak hilang sepenuhnya dari tubuh setelah infeksi primernya dalam bentuk varisela
melainkan dorman pada sel ganglion dorsalis sistem saraf sensoris yang kemudian pada saat
tertentu mengalami reaktivasi dan bermanifestasi sebagai herpes zoster.

Epidemiologi
Herpes zoster terjadi secara sporadis sepanjang tahun tanpa prevalensi musiman.
Terjadinya herpes zoster tidak tergantung pada prevalensi varisela, kejadian herpes zoster
ditentukan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi hubungan host-virus. Salah satu faktor
risiko yang kuat adalah usia lebih tua. Insiden terjadinya herpes zoster 1,5-3,0 per 1.000
orang per tahun dalam segala usia dan 7-11 per 1000 orang per tahun pada usia lebih dari 60
tahun pada penelitian di Eropa dan Amerika Utara. Pasien dengan herpes zoster kurang
menular dibandingkan pasien dengan varisela. Virus dapat diisolasi dari vesikel dan pustula
pada herpes zoster tanpa komplikasi sampai 7 hari setelah munculnya ruam, dan untuk waktu
yang lebih lama pada individu immunocompromised.

Etiopatogenesis
Varisela sangat menular dan biasanya menyebar melalui droplet respiratori. VVZ
bereplikasi dan menyebar ke seluruh tubuh selama kurang lebih 2 minggu sebelum
perkembangan kulit yang erupsi. Pasien infeksius sampai semua lesi dari kulit menjadi krusta.
Selama terjadi kulit yang erupsi, VVZ menyebar dan menyerang saraf secara retrograde
untuk melibatkan ganglion akar dorsalis di mana ia menjadi laten. Virus berjalan sepanjang
saraf sensorik ke area kulit yang dipersarafinya dan menimbulkan vesikel dengan cara yang
sama dengan cacar air. Zoster terjadi dari reaktivasi dan replikasi VVZ pada ganglion akar
dorsal saraf sensorik. Latensi adalah tanda utama virus Varisela zoster dan tidak diragukan
lagi peranannya dalam patogenitas. Sifat latensi ini menandakan virus dapat bertahan seumur
hidup hospes dan pada suatu saat masuk dalam fase reaktivasi yang mampu sebagai media
transmisi penularan kepada seseorang yang rentan. Reaktivasi mungkin karena stres, sakit
immunosupresi, atau mungkin terjadi secara spontan. Virus kemudian menyebar ke saraf
sensorik menyebabkan gejala prodormal dan erupsi kutaneus dengan karakteristik yang
dermatomal. Infeksi primer VVZ memicu imunitas humoral dan seluler, namun dalam
mempertahankan latensi, imunitas seluler lebih penting pada herpes zoster. Keadaan ini
terbukti dengan insidensi herpes zoster meningkat pada pasien HIV dengan jumlah CD4
menurun, dibandingkan dengan orang normal.
Selama proses varisela berlangsung, VZV lewat dari lesi pada kulit dan permukaan
mukosa ke ujung saraf sensorik menular dan dikirim secara sentripetal, naik ke serabut
sensoris ke ganglia sensoris. Di ganglion, virus membentuk infeksi laten yang menetap
selama kehidupan. Herpes zoster terjadi paling sering pada dermatom dimana ruam dari
varisela mencapai densitas tertinggi yang diinervasi oleh bagian (oftalmik) pertama dari saraf
trigeminal ganglion sensoris dan tulang belakang dari T1 sampai L2.

Gambaran klinis
Varisela biasanya dimulai dengan demam prodromal virus, nyeri otot, dan kelelahan
selama 1-2 hari sebelum erupsi kulit. Inisial lesi kutaneus sangat gatal, makula dan papula
eritematosa pruritus yang dimulai pada wajah dan menyebar ke bawah. Papula ini kemudian
berkembang cepat menjadi vesikel kecil yang dikelilingi oleh halo eritematosa, yang dikenal
sebagai “tetesan embun pada kelopak mawar” (“dew drop on rose petal”). Setelah vesikel
matang, pecah membentuk krusta. Lesi pada beberapa tahapan evolusi merupakan
karakteristik dari varisela. Gejala prodormal biasanya nyeri, disestesia, parestesia, nyeri tekan
intermiten atau terus menerus, nyeri dapat dangkal atau dalam terlokalisir, beberapa
dermatom atau difus. Nyeri prodormal tidak lazim terjadi pada penderita imunokompeten
kurang dari usia 30 tahun, tetapi muncul pada penderita mayoritas diatas usia 60 tahun. Nyeri
prodormal : lamanya kira-kira 2-3 hari, namun dapat lebih lama.
Gejala lain dapat berupa rasa terbakar dangkal, malaise, demam, nyeri kepala, dan
limfadenopati, gatal, tingling. Lebih dari 80% pasien biasanya diawali dengan prodormal,
gejala tersebut umumnya berlangsung beberapa hari sampai 3 minggu sebelum muncul lesi
kulit. Dermatom yang terlibat biasanya tunggal dermatom dorsolumbal merupakan lokasi
yang paling sering terlibat (50%), diikuti oleh trigeminal oftalmika, kemudian servikal dan
sakral. Ekstremitas merupakan lokasi yang paling jarang terkena.

Pemeriksaan Penunjang
Metode laboratorium untuk identifikasi adalah sama untuk herpes simpleks. Tzanck
smear, biopsi kulit, titer antibodi, cairan vesikuler antibodi immunofluorescent (direct
fluorescent antibody), mikroskop elektron, dan kultur dari cairan vesikel dari beberapa studi
patut dipertimbangkan.

Diagnosis Banding
 Herpes simpleks: karena herpes zoster dapat muncul di daerah genital mirip Herpes
zoster.
 Dermatitis kontak.
 Herpes zoster diseminata.

Penatalaksanaan
Tujuan dari pengobatan adalah menekan inflamasi, nyeri dan infeksi. Pengobatan zoster
akut mempercepat penyembuhan, mengkontrol sakit, dan mengurangi resiko komplikasi.
Obat yang biasa digunakan ialah asiklovir dan modifikasinya, misalnya valasiklovir. Obat
yang lebih baru ialah famsiklovir dan pensiklovir yang mempunyai waktu paruh eliminasi
yang lebih lama sehingga cukup diberikan 3x250 mg sehari. Obat – obat tersebut diberikan
dalam 3 hari pertama sejak lesi muncul. Untuk zoster yang menyebar luas yang timbul pada
orang – orang yang mengalami imunosupresi, asiklovir intravena mungkin dapat
menyelamatkan jiwa. Dosis asiklovir yang dianjurkan ialah 5x800 mg sehari dan biasanya
diberikan 7 hari, paling lambat dimulai 72 jam setelah lesi muncul berupa rejimen yang
dianjurkan. Valasiklovir cukup 3x1000 mg sehari karena konsentrasi dalam plasma lebih
tinggi. Valasiklovir terbukti lebih efektif dibandingkan asiklovir sedangkan famsiklovir sama
dengan asiklovir.
Kortikosteroid jangka pendek dan diberikan pada masa akut, pemberian steroid ini harus
dengan pertimbangan ketat. Indikasi pemberian kortikosteroid ialah sindrom Ramsay Hunt.
Pemberian harus sedininya untuk mencegah terjadinya paralisis. Diberikan prednison dengan
dosis 3 x 20 mg sehari, setelah seminggu dosis diturunkan bertahap. Dengan dosis prednison
setinggi itu imunitas akan tertekan sehingga lebih baik digabung dengan obat anti viral untuk
mencegah fibrosis ganglion.
Anestesi lokal misalnya krim lidokain 5% memberikan perbaikan dan Antiinflamasi
steroid juga dikatakan menolong, namun hasilnya tidak dapat disimpulkan. Untuk neuralgia
pasca herpes, pemberian awal terapi anti virus telah diberikan untuk mengurangi insidens.
Obat untuk nyeri neuropatik pada neuropati perifer diabetik dan neuralgia paska herpetic
ialah pregabalin. Obat tersebut lebih baik daripada obat gaba yang analog yaitu gabapentin,
karena efek sampingnya lebih sedikit, lebih poten (2-4 kali), kerjanya lebih cepat, serta
pengaturan dosisnya lebih sederhana. Dosis awal 2x75 mg sehari, setelah 3-7 hari bila
responnya kurang dapat dinaikkan menjadi 2x150 mg sehari. Dosis maksimum 600 g sehari.
Efek sampingnya berupa dizziness, dan somnolen yang akan menghilang sendiri, jadi obat
tidak perlu dihentikan.
Anti depresi antisiklik (misalnya nortriptilin dan aminotriptilin): amitriptilin 30-100 mg per
oral QHS. Pengobatan dengan amiptriptilin dan obat sejenisnya, blok saraf, dan / opioid
nantinya setelah perkembangan nyeri akut dapat mencegah sensitisasi SSP yang
menyebabkan nyeri persisten. Efek sampingnya ialah gangguan jantung, sedasi, dan
hipotensi. Dosis nortriptilin 50-150 mg/hari.

Pencegahan
Vaksin Zostavax℗: strain hidup yang dilemahkan dari VVZ. Berhubungan dengan
Varivax℗, tetapi diperkirakan 14 kali lebih terkonsentrasi. Bagi pasien > 60 tahun tanpa
riwayat penyakit herpes zoster sebelumnya. Zostavax telah diketahui untuk mengurangi
penyakit herpes zoster dan neuralgia paska herpes.

Gambar 2.11 Herpes Zooster


DAFTAR PUSTAKA

1. Marques AR, Straus SE, Herpes Simplex. In Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen
KF, Goldsmith ZA, Katzi, Editors. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. 8th ed.
New York: McGraw Hill Medical Publishing Divition:2012.p.2059-065.
2. Pusponegoro EHD. Herpes zoster. In: Menaldi SL. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Ed
7. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2016.121-4.
3. Habif, T.P. Viral Infection. In : Skin Disease Diagnosis and Treatment. 3rd ed.
Philadelphia : Elseiver Saunders. 2011 .p. 235 -239.
4. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5 th ed.
Jakarta: FKUI. 2007.
5. Mansjoer, Arif, dkk. Kapita Selekta Kedokteran:Jilid 2, 3 rd Ed. Jakarta. Media
Aesculapius FKUI. 2007
6. Melton CD. Herpes Zoster. eMedicine World Medical Library:
http://www.emedicine.com/EMERG/topic823.htm
7. Wolff K, Johnson RA. Editors. Fitzpatrick’s Color Atlas and Synopsis of Clinical
Dermatology. 6th ed. USA: McGraw Hill. 2009. Page: 770-850
8. Grant-Kels JM. Editor. Color Atlas of Dermatopathology. USA: Infroma Healthcare
USA. 2007.
9. Crowe, Mark A. Molluscum Contagiosum.
http://emedicine.medscape.com/article/910570 -overview.
10. Brown ST, Nalley JF, Kraus SJ. Molluscum contagiosum. Sex Transm Dis. Jul-Sep
1981;8(3):227-34

Anda mungkin juga menyukai