Anda di halaman 1dari 13

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya,
penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah yang berjudul “Zakat Profesi” ini dengan tepat
waktunya. Kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini yang tidak kami sebutkan satu per satu. Di antaranya adalah Bapak Sakirman
Shi, Mhi. yang telah bersedia membantu kami dalam menyelesaikan penyusunan makalah ini.

Di dalam makalah ini akan disampaikan masalah mengenai “Zakat Profesi” yang sudah kami susun
dan diselesaikan dengan baik sehingga dapat dengan mudah di pahami oleh mahasiswa STAIN jurai siwo
Metro.

Penulis menyadari dalam penulisan makalah ini masih banyak kesalahan dan kekurangan, oleh
karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran guna membangun demi kesempurnaan penulisan
makalah kami selanjutnya.

Metro, November 2013

Pemakalah

DAFTAR ISI

Halaman Sampul ....................................................................................... i

Kata Pengantar ......................................................................................... ii

Daftar Isi ................................................................................................... iii

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang .............................................................................. 1

B. Rumusan Masalah ........................................................................ 1


C. Tujuan Masalah ............................................................................ 2

D. Metode Penulisan ....................................................................... 2

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Zakat Profesi ............................................................... 3

B. Landasan Hukum Zakat Profesi ...................................................... 6

C. Profesi Yang Dizakati .................................................................... 7

D. Nishab, Waktu, Ukuran dan Cara Menghitung Zakat Profasi ........... 10

BAB III

PENUTUP

A. Simpulan ..................................................................................... 16

DAFTAR PUSTAKA

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap muslim diwajibkan memberikan sedekah dari rezeki yang dikaruniakan Allah. Kewajiban ini
tertulis di dalam Al-Qur’an. Pada awalnya, Al-Qur’an hanya memerintahkan untuk memberikan sedekah
(pemberian yang sifatnya bebas, tidak wajib). Namun, pada kemudian hari, umat Islam diperintahkan
untuk membayar zakat. Zakat menjadi wajib hukumnya sejak tahun 662 M. Nabi Muhammad
melembagakan perintah zakat ini dengan menetapkan pajak bertingkat bagi mereka yang kaya untuk
meringankan beban kehidupan mereka yang miskin. Sejak saat ini, zakat diterapkan dalam negara-
negara Islam. Hal ini menunjukan bahwa pada kemudian hari ada pengaturan pemberian zakat,
khususnya mengenai jumlah zakat tersebut.

Pada zaman khalifah, zakat dikumpulkan oleh pegawai sipil dan didistribusikan kepada kelompok
tertentu dari masyarakat. Kelompok itu adalah orang miskin, janda, budak yang ingin membeli
kebebasan mereka, orang yang terlilit hutang dan tidak mampu membayar. Syari'ah mengatur dengan
lebih detail mengenai zakat dan bagaimana zakat itu harus dibayarkan. Kejatuhan para khalifah dan
negara-negara Islam menyebabkan zakat tidak dapat diselenggarakan dengan berdasarkan hukum lagi.

Zakat merupakan salah satu rukun Islam, dan menjadi salah satu unsur pokok bagi tegaknya syariat
Islam. Oleh sebab itu hukum zakat adalah wajib (fardhu) atas setiap muslim yang telah memenuhi
syarat-syarat tertentu. Zakat termasuk dalam kategori ibadah seperti salat, haji, dan puasa yang telah
diatur secara rinci berdasarkan Al-Qur'an dan As Sunnah. Zakat juga merupakan amal sosial
kemasyarakatan dan kemanusiaan yang dapat berkembang sesuai dengan perkembangan ummat
manusia.

B. Rumusan Masalah

1. Jelaskan pengertian mengenai zakat profesi?

2. Apa sajakah profesi yang di zakati?

3. Bagaimana Nisab, waktu dan cara engeluarkan zakat profesi?

C. Tujuan Masalah

Mengenai rumusan masalah yang di atas dapat disimpulkan mengenai tujuannya sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pengertian dari Zakat profesi.

2. Untuk mengetahui profesi apa yang wajib di zakati.

3. Agar dapat mengetahui Nisab, Ukuran dan cara menghitung Zakat profesi.

D. Metode

Metode yang digunakan penulis untuk menyusun makalah ini adalah study pustaka yaitu usaha untuk
menghimpun informasi-informasi yang relavan dari buku-buku dan sumber-sumber baik tercetak
ataupun elektronik lain.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Zakat Profesi

Zakat profesi adalah zakat yang di keluarkan dari hasil apa yang di peroleh dari pekerjaan dan
profesinya. Misalnya pekerjaan yang menghasilkan uang baik itu pekerjaan yang dikerjakan sendiri
tampa tergantung dengan orang lain, berkat kecekatan tangan ataupun otak (professional). Maupun
pekerjaan yang dikerjakan seseorang buat pihak lain baik pemerintah, perusahaan, maupun perorangan
dengan memperoleh upah yang diberikan, dengan tangan, otak, ataupun keduanya. Penghasilan dari
pekerjaan seperti itu berupa gaji, upah, ataupun honorarium. yang demikian itu apabila sudah
mencapai nisabnya dan haulnya pendapatan yang ia hasilkan harus di keluarkan zakatnya.[1]

Oleh karena itu pembahasan mengenai tipe zakat profesi tidak dapat dijumpai dengan tingkat kedetilan
yang setara dengan tipe zakat yang lain. Namun bukan berarti pendapatan dari hasil profesi terbebas
dari zakat, karena zakat secara hakikatnya adalah pungutan terhadap kekayaan golongan yang memiliki
kelebihan harta untuk diberikan kepada golongan yang membutuhkan.

Setiap penghasilan, apapun jenis pekerjaan yang menyebabkan timbulnya penghasilan tersebut
diharuskan membayar zakat bila telah mencapai nisab. Hal tersebut didasarkan pada firman Allah SWT
Q.S Al-Baqarah ayat 267:

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang
baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu
memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau
mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha
Kaya lagi Maha Terpuji.

Disamping itu berdasarkan tujuan disyari’atkannya zakat, seperti untuk membersihkan dan
mengembangkan harta serat menolong para mustahik, zakat profesi juga mencerminkan rasa keadilan
yang merupakan cirri utama ajaran islam, yaitu kewajiban zakat pada semua penghasilan dan
pendapatan.

Zakat profesi memang tidak dikenal dalam khasanah keilmuan Islam, sedangkan hasil profesi yang
berupa harta dapat dikategorikan ke dalam zakat harta (simpanan/kekayaan). Dengan demikian hasil
profesi seseorang apabila telah memenuhi ketentuan wajib zakat maka wajib baginya untuk
menunaikan zakat.

Di dalam Islam, pada harta yang dimiliki seseorang terdapat hak Allah disana. Hak ini dikenal dengan
istilah zakat yang diperuntukkan bagi delapan golongan sebagaimana dijelaskan di dalam Al-Qur'an surat
At-Taubah ayat 60:

Artinya : Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,
pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-
orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai
suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Zakat sejatinya bukan merupakan hak mustahik tetapi merupakan hak Allah sehingga menjadi kewajiban
mutlak bagi manusia yang telah melampaui batas minimal kekayaan wajib zakat (nisab) untuk
menunaikannya. Seseorang yang tidak menunaikan kewajiban zakat berarti tidak menunaikan hak Allah
sehingga Allah SWT berhak memberi mereka balasan.[2]
Di lihat dari dimensinya, ibadah zakat merupakan ibadah yang sangat unik. Selain berdimensi vertical,
yakni bentuk pengabdian kepada Allah (hablun minalLah), zakat juga memiliki dimensi horizontal
(hablun minannas) untuk meringankan beban kaum dhuafa. Zakat pernah mengangkat kemuliaan kaum
muslimin dengan mengentaskan kemiskinan seperti pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz di mana
tidak ditemukan seorang pun yang mau menerima zakat.

Wacana yang tengah hangat dalam dunia zakat selama beberapa dekade terakhir ini adalah
diperkenalkannya instrument zakat profesi di samping zakat fitrah dan zakat maal (zakat harta).
Sebagian kecil masyarakat masih mempertanyakan legalitas zakat profesi tersebut. Mereka yang
menentang penerapan syariat zakat profesi ini beranggapan bahwa zakat profesi tidak pernah dikenal
sebelumnya di dalam syariat Islam dan merupakan hal baru yang diada-adakan. Sedangkan mayoritas
ulama kontemporer telah sepakat akan legalitas zakat profesi tersebut. Bahkan, zakat profesi telah
ditetapkan berdasarkan fatwa Majelis Ulama Indonesia dengan Keputusan Nomor 3 tahun 2003.

Disamping itu, zakat profesi sangat sesuai dengan prinsip keadilan Islam.Jika seorang petani yang
bekerja sangat keras untuk mewujudkan hasil pertaniannya, setiap panen tiba harus mengeluarkan
zakat pertanian sebesar 5 hingga 10 % sementara kaum professional yang memiliki penghasilan lebih
besar dari petani tersebut tidak dikenai zakat.[3]

Dari aspek social, zakat profesi sejatinya sangat berperan bagi perwujudan keadilan sosial. Menurut
Ahmad Gozali, Perencana Keuangan Safir Senduk dan Rekan, di dalam majalah Sharing zakat adalah
investasi social. Selain pahalanya disebutkan secara tegas di dalam Al Qur'an bahwa setiap harta yang
kita keluarkan akan mendapat balasan sebesar 700 kali lipat,entah dengan harta yang sama maupun
dalam bentuk yang berbeda yang tidak kita sadari, dengan berzakat kita telah berperan secara aktif
dalam memerangi kemiskinan. Keuntungan lain bagi orang yang berzakat, sejalan dengan menurunnya
tingkat kemiskinan tingkat kriminalitas juga semakin menurun sehingga lingkungan kerja dan usaha
semakin kondusif.

B. Landasan Hukum Kewajiban Zakat Profesi

Semua penghasilan melalui kegiatan professional tersebut, apabila telah mencapai nisab maka wajib
dikeluarkan zakatnya. Hal ini berdasarkan nash-nash yang bersifat umum, misalya firman Allah dalam
surat adz-dzaariyaat : 19

Artinya : Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang
tidak mendapat bagian.

Sayyid Quthub dalam tafsirnya Fi Zhilalil Qur’an ketika menafsirkan firman Allah dalam surat al-Baqarah
ayat 267 menyatakan, bahwa nash ini mencakup seluruh hasil usaha manusia yang baik dan halal dan
mencakup pula seluruh yang dikeluarkan Allah SWT dari dalam dan atas bumi, seperti hasil-hasil
pertanian dan sebagainya. Karena itu nash ini mencakup semua harta, baik yang terdapat di zaman
rasulullah maupun di zaman sesudahnya. Semuanya wajib dikeluarkan zakatnya dengan ketentuan dan
kadar sebagaimana diterangkan dalam sunah rasulullah baik yang sudah diketahui secara langsung
maupun yang di Qiyaskan kepadanya.

Dari sudut keadilan penetapan kewajiban zakat pada setiap harta yang dimiliki akan terasa sangat jelas,
dibandingkan dengan hanya menetapkan kewajiban zakat pada komoditas-komoditas tertentu saja yang
konvonsional. Petani yang saat ini kondisinya secara umum kurang beruntung, tetap harus berzakat,
apabila hasil pertaniannya telah mencapai nishab. Karena itu sangat adil pula, apabila zakat inipun
bersifat wajib pada penghasilan yang didapatkan para dokter, para ahli hukum, konsultan dalam
berbagai bidang, para dosen, para pegawai dan karyawan yang memiliki gaji tinggi dan profesi lainnya.

Sejalan dengan perkembangan kehidupan umat manusia, khususnya dalam bidang ekonomi, kegiatan
penghasilan melalui keahlian dan profesi ini akan semakin berkembang dari waktu ke waktu. Bahkan
akan menjadi kegiatan ekonomi yang utama, seperti terjadi di Negara-negara industry sekarang ini.
Penetapan kewajiban zakat kepadanya, menunjukkan betapa hukum Islam sangat aspiratif dan
responsive terhadap perkembangan zaman. Afif Abdul Fatah Thabar menyatakan bahwa aturan dalam
Islam itu bukan saja sekedar berdasarkan pada keadilan bagi seluruh umat manusia, akan tetapi sejalan
dengan kemashlahatan dan kebutuhan hidup manusia, sepanjang zaman dan keadaan, walaupun zaman
itu berbeda dan berkembang dari waktu ke waktu.[4]

C. Profesi Yang Dizakati

Barangkali bentuk penghasilan yang paling menyolok pada zaman sekarang ini adalah apa yang
diperoleh dari pekerjaan dan profesinya. Pekerjaan yang menghasilkan uang ada dua macam.

Yang pertama adalah pekerjaan yang dikerjakan sendiri tanpa tergantung kepada orang lain, berkat
kecekatan tangan ataupun otak. Penghasilan yang diperoleh dengan cara ini merupakan penghasilan
profesional, seperti penghasilan seorang doktor, insinyur, advokat seniman, penjahit, tukang kayu dan
lain-lainnya.[5]

Yang kedua, adalah pekerjaan yang dikerjakan seseorang buat pihak lain-baik pemerintah, perusahaan,
maupun perorangan dengan memperoleh upah, yang diberikan, dengan tangan, otak, ataupun kedua-
duanya. Penghasilan dari pekerjaan seperti itu berupa gaji, upah, ataupun honorarium.

Penghasilan dan profesi dapat diambil zakatnya bila sudah setahun dan cukup senisab. Jika kita
berpegang kepada pendapat Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan Muhammad bahwa nisab tidak perlu harus
tercapai sepanjang tahun, tapi cukup tercapai penuh antara dua ujung tahun tanpa kurang di tengah-
tengah kita dapat menyimpulkan bahwa dengan penafsiran tersebut memungkinkan untuk mewajibkan
zakat atas hasil penghasilan setiap tahun, karena hasil itu jarang terhenti sepanjang tahun bahkan
kebanyakan mencapai kedua sisi ujung tahun tersebut. Berdasar hal itu, kita dapat menetapkan hasil
penghasilan sebagai sumber zakat, karena terdapatnya illat (penyebab), yang menurut ulama-ulama
fikih sah, dan nisab, yang merupakan landasan wajib zakat.
Dan karena Islam mempunyai ukuran bagi seseorang – untuk bisa dianggap kaya - yaitu 12 Junaih emas
menurut ukuran Junaih Mesir lama maka ukuran itu harus terpenuhi pula buat seseorang untuk terkena
kewajiban zakat, sehingga jelas perbedaan antara orang kaya yang wajib zakat dan orang miskin
penerima zakat.

Dalam hal ini, mazhab Hanafi lebih jelas, yaitu bahwa jumlah senisab itu cukup terdapat pada awal dan
akhir tahun saja tanpa harus terdapat di pertengahan tahun. Ketentuan itu harus diperhatikan dalam
mewajibkan zakat atas hasil penghasilan dan profesi ini, supaya dapat jelas siapa yang tergolong kaya
dan siapa yang tergolong miskin, seorang pekerja profesi jarang tidak memenuhi ketentuan tersebut.[6]

Mengenai besar zakat, Penghasilan dan profesi dalam fikih masalah khusus mengenai penyewaan.
Seseorang yang menyewakan rumahnya dan mendapatkan uang sewaan yang cukup nisab, bahwa orang
tersebut wajib mengeluarkan zakatnya ketika menerimanya tanpa persyaratan setahun. Hal itu pada
hakikatnya menyerupai mata penghasilan, dan wajib dikeluarkan zakatnya bila sudah mencapai satu
nisab.

Hal itu sesuai dengan apa yang telah kita tegaskan lebih dahulu, bahwa jarang seseorang pekerja yang
penghasilannya tidak mencapai nisab seperti yang telah kita tetapkan, meskipun tidak cukup di
pertengahan tahun tetapi cukup pada akhir tahun. Ia wajib mengeluarkan zakat sesuai dengan nisab
yang telah berumur setahun.

Akibat dari tafsiran itu, kecuali yang menentang, adalah bahwa zakat wajib dipungut dari gaji atau
semacamnya sebulan dari dua belas bulan. Karena ketentuan wajib zakat adalah cukup nisab penuh
pada awal tahun atau akhir tahun.

Pendapat guru-guru besar tentang hasil penghasilan dan profesi dan pendapatan dari gaji atau lain-
lainnya yaitu kekayaan yang diperoleh seseorang Muslim melalui bentuk usaha baru yang sesuai dengan
syariat agama. Jadi pandangan fikih tentang bentuk penghasilan itu adalah, bahwa ia adalah "harta
penghasilan." Sekelompok sahabat berpendapat bahwa kewajiban zakat kekayaan tersebut langsung,
tanpa menunggu batas waktu setahun.[7]

Yang diperlukan zaman sekarang ini adalah menemukan hukum pasti "harta penghasilan" itu, oleh
karena terdapat hal-hal penting yang perlu diperhatikan, yaitu bahwa hasil penghasilan, profesi, dan
kekayaan non-dagang dapat digolongkan kepada "harta penghasilan" tersebut. Bila kekayaan dari satu
kekayaan, yang sudah dikeluarkan zakatnya, yang di dalamnya terdapat "harta penghasilan" itu,
mengalami perkembangan, misalnya laba perdagangan dan produksi binatang ternak maka perhitungan
tahunnya disamakan dengan perhitungan tahun induknya. Hal itu karena hubungan keuntungan dengan
induknya itu sangat erat.

Berdasarkan hal itu, bila seseorang sudah memiliki satu nisab binatang ternak atau harta perdagangan,
maka dasar dan labanya bersama-sama dikeluarkan zakatnya pada akhir tahun. Ini jelas. Berbeda
dengan hal itu, "harta penghasilan" dalam bentuk uang dari kekayaan wajib zakat yang belum cukup
masanya setahun, misalnya seseorang yang menjual hasil tanamannya yang sudah dikeluarkan zakatnya
1/10 atau 1/20, begitu juga seseorang menjual produksi ternak yang sudah dikeluarkan zakatnya, maka
uang yang didapat dari harga barang tersebut tidak dikeluarkan zakatnya waktu itu juga. Hal itu untuk
menghindari adanya zakat ganda, yang dalam perpajakan dinamakan "Tumpang Tindih Pajak."

Yang jelas pendapat tersebut diatas adalah pendapat ulama- ulama fikih meskipun yang terkenal banyak
di kalangan para ulama fikih itu adalah bahwa masa setahun merupakan syarat mutlak setiap harta
benda wajib zakat, harta benda perolehan maupun bukan. Hal itu berdasarkan hadis-hadis mengenai
ketentuan masa setahun tersebut dan penilaian bahwa hadis-hadis tersebut berlaku bagi semua
kekayaan termasuk harta hasil usaha.

D. Nishab, Waktu, Ukuran dan Cara Mengeluarkan Zakat Profesi

Nisab merupakan batas minimal atau jumlah minimal harta yang dikenai kewajiban zakat. Karena zakat
profesi ini tergolong baru, nisabnya pun mesti dikembalikan (dikiaskan) kepada nishab zakat-zakat yang
lain, yang sudah ada ketentuan hukumnya.

Ada dua kemungkinan yang dapat dikemukakan untuk ukuran nishab zakat profesi ini:

1. Disamakan dengan nishab zakat emas dan perak, yaitu dengan mengkiaskannya kepada emas dan
perak sebagai standar nilai uang yang wajib dikeluarkan zakatnya, yakni 20 dinar atau 93,6 gram emas.
Berdasarkan Hadis Riwayat Daud: (Tidak ada suatu kewajiban bagimu dari emas(yang engkau miliki)
hingga mencapai jumlah 20 dinar).

2. Disamakan dengan zakat hasil pertanian yaitu 5 wasq ( sekitar 750 kg beras). Zakatnya dikeluarkan
pada saat diterimanya penghasilan dari profesi tersebut sejumlah 5 atau 10 %, sesuai dengan biaya yang
dikeluarkan.

Karena profesi itu sendiri bermacam-macam bentuk, jenis dan perolehan uangnya, penulis cenderung
untuk tetap memakai kedua macam standar nisab zakat tersebut dalam menentukan nishab zakat
profesi, dengan perimbangan sebagai berikut:

Pertama, Untuk jenis-jenis profesi berupa bayaran atas keahlian, seperti dokter spesialis, akuntan,
advokat, kontraktor, arsitek, dan profesi-profesi yang sejenis dengan itu, termasuk juga pejabat tinggi
negara, guru besar, dan yang sejajar dengannya, nishab zakatnya disamakan dengan zakat hasil
pertanian, yakni senilai kurang lebih 750 kg beras (5 wasaq). Meskipun kelihatannya pekerjaan tersebut
bukan usaha yang memakai modal, namun ia sebenarnya tetap memakai modal, yaitu untuk peralatan
kerja, transportasi, sarana kominikasi seperti telephon, rekening listrik, dan lain-lain, zakatnya dikiaskan
atau disamakan dengan zakat hasil pertanian yang memakai modal, yakni 5 %, dan dikeluarkan ketika
menerima bayaran tersebut. Ini sama dengan zakat pertanian yang yang menggunakan biaya irigasi
(bukan tadah hujan).[8]

Dengan demikian, jika harga beras 1 kg Rp. 3200, sedangkan nisab (batas minimal wajib zakat) tanaman
adalah 750 kg, maka untuk penghasilan yang mencapai Rp. 3.200 x 750 = Rp. 2.400.000., wajib
mengeluarkan zakatnya sebanyak 5% nya yakni Rp. 120.000.-
Pendapat semacam ini sesuai dengan pendapat Muhammad Ghazali, sebagaimana yang dikutip Yusuf
Qardawi, bahwa dasar dan ukuran zakat penghasilan tanpa melihat modalnya, dapat disamakan dengan
zakat pertanian yaitu 5 atau 10 persen. Kata Ghazali, siapa yang memiliki pendapatan tidak kurang dari
pendapatan seorang petani, terkena kewajiban zakat. Maka gologan profesionalis wajib mengeluarkan
zakatnya sebesar zakat petani tersebut, tanpa mempertimbangkan keadaan modal dan persyaratan
lainnya.

Seperti ini pula yang ditetapkan oleh Kamar Dagang dan Industri kerajaan Arab Saudi, bahwa
penghasilan profesi yang bukan bersifat perdagangan, dikiaskan nisab zakatnya kepada zakat hasil
tanam-tanaman dan buah-buahan dengan kadar zakat ssebesar 5%.

Tawaran seperti ini lebih kecil dari yang diusulkan oleh M. Amin Rais, dalam bukunya Cakrawala Islam
Antara Cita dan Fakta. Menurutnya profesi yang mendatangkan rizki dengan gampang dan cukup
melimpah, setidaknya jika dibandingkan dengan penghasilan rata-rata penduduk, sebaiknya zakatnya
ditingkatkan menjadi 10 persen (?usyur) atau 20 persen (khumus). Lebih jauh Amin mempersoalkan
masih layakkah, profesi-profesi moderen seperti dokter spesialis, komisaris perusahaan, bankir,
konsultan, analis, broker, pemborong berbagai konstruksi, eksportir, inportir, notaris, artis, dan berbagai
penjual jasa serta macam-macam profesi kantoran (white collar)lainnya, hanya mengeluarkan zakat
sebesar 2,5 persen, dan lebih kecil dari petani kecil yang zakat penghasilannya berkisar sekitar 5 sampai
10 persen. Padahal kerja tani jelas merupakan pekerjaan yang setidak-tidaknya secara fisik. Cukupkah
atau sesuaikan dengan spirit keadilan Islam jika zakat terhadap berbagai profesi moderen yang bersifat
making-money tetap 2,5 persen? Layakkah presentasi sekecil itu dikenakan terhadap profesi-profesi
yang pada zaman Nabi memang belum ada.

Hemat penulis, pendapat Amin Rais di atas sebenarnya cukup logis dan cukup argumentatif, namun
membandingkan profesi dengan rikaz (barang temuan) agaknya kurang tepat. Rikaz diperoleh dengan
tanpa usaha sama sekali, sementara profesi membutuhkan usaha dan keahlian serta biaya yang kadang-
kadang cukup tinggi. Karena itu penulis cenderung untuk menyamakanya dengan zakat pertanian yang
memakai biaya irigasi, yakni 5 persen.

Kedua, Bagi kalangan profesional yang bekerja untuk pemerintah misalnya, atau badan-badan swasta
yang gajinya tidak mencapai nishab pertanian sebagaimana yang dikemukakan di atas, sebutlah guru
misalnya, atau dokter yang bekerja di rumah sakit, atau orang-orang yang bekerja untuk suatu
perusahaan angkutan. Zakatnya disamakan dengan zakat emas dan perak yakni 93,6 gram ( sekitar Rp.
8.424.000 , jika diperkirakan harga pergram emas sekarang 90.000,) maka nilai nishab emas adalah Rp.
Rp. 8.424.000, dengan kadar zakat 2,5 %. Jika pada akhir tahun jumlah mencapai satu nisab, dikeluarkan
zakatnya 2,5 persen, setelah dikeluarkan biaya pokok dari yang bersangkutan dan keluarganya.

Misalnya seorang dosen golongan III/c dengan masa kerja 6 tahun yang keluarganya terdiri dari seorang
isteri dan tiga orang anak,

a. Menerima gaji Rp. 1.500.000,-

b. Honorium dari beberapa PTS, Rp. 500.000,-


Jumlah Rp. 2.000.000,-

dengan pengeluaran:

a. Keperluan hidup pokok Rp. 500.000,-

b. Angsuran kredit perumahan Rp. 500.000,-

Jumlah Rp. 1.000.000.-

Jadi, penerimaan : Rp. 2.000.000,-

Pengeluaran : Rp. 1.000.000,-

Sisa : Rp. 1.000.000-setiap bulan;

setahun = Rp. 1000.000, x 12 = 12.000.000,-,

Maka perhitungan zakatnya 2,5% x 12.000.000, = 480.000,-

Dengan perincian seperti itu, berarti ia mesti mengeluarkan zakatnya Rp.480.000 pertahun.[9]

Agar pembayaran zakat ini tidak memberatkan kepada muzakki (si wajib zakat), baik dari segi
penghitungannya, maupun dari beban yang harus dikeluarkan pertahun sebagai zakat, hemat penulis
lebih baik dibayarkan setiap bulan, ketika menerima gaji. Jadi si muzakki ini dapat mengeluarkan
zakatnya Rp. 480.000 : 12 = Rp. 40.000 perbulan.

Nisab dan cara mengeluarkan zakat profesi ada beberapa perbedaan pendapatdari para Ulama ahli fiqih
dalam menentukan nisab dan cara mengeluarkan zakat profesi. Dari pendapat-pendapat mereka
adalah :

1. Ulama dari Empat Mazhab berpendapat bahwa tidak ada zakat pada harta kecuali sudah mencapai
nishab dan sudah memiliki tenggang waktu satu tahun. Adapun nishabnya adalah senilai 85 gram emas
dengan kadar zakat sebesar 2,5% (Al-Fiqh Islamy Wa Adillatuhu, juz II : 866, 1989)

2. Pendapat yang penulis ambil dari Syeikh Muhammad Ghazali yang menganalogikan zakat profesi
dengan zakat hasil pertanian, baik dalam nishab maupun persentase zakat yang wajib dikeluarkan, yaitu
10%.

3. Pendapat yang menganalogikan zakat profesi ini pada dua hal, yaitu dalam hal nishab pada zakat
pertanian, sehingga dikeluarkan pada saat diterimanya, dan pada zakat uang dalam hal kadar zakatnya
yaitu sebesar 2,5% (Al-Fiqh Islamy Wa Adillatuhu, juz II : hal. 866). Pendapat yang menganalogikan zakat
profesi dengan zakat pertanian, antara lain diambil dari pendapat sebagian sahabat seperti Ibnu Abbas,
Ibn Mas’ud, dan Mu’awwiyah, dan juga dari sebagian seperti Imam Zuhri, Hasan Bashri, Umar bin Abdul
Aziz, Baqir, Shadiq, Nashir, dan Daud Dzahiri (Al-Fiqh Islamy Wa Adillatuhu, juz II : hal. 866).
4. Pendapat Madzhab Imamiyyah yang menetapkan zakat profesi sebesar 20% dari hasil pendapatan
bersih. Hal ini berdasarkan pemahaman mereka terhadap firman Allah SWT dalam QS. Al-Anfaal ayat 41,
yaitu

Artinya : “Ketahuilah, Sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan
perang[613], Maka Sesungguhnya seperlima untuk Allah, rasul, Kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-
orang miskin dan ibnussabil[614], jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa[615] yang Kami
turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan[616], Yaitu di hari bertemunya dua
pasukan. dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”

Menurut mereka berdasarkan ayat di atas adalah kata-kata ghanintum dalam ayat tersebut bermakna
seluruh penghasilan, termasuk gaji, honorarium, dan pendapatan lainnya.

Namun, bagi ulama yang memnyamakan dan menetapkan prosentasi zakat profesi sama dengan zakat
perdagangan yakni 2,5%, maka yang bersangkutan harus mengeluarkan zakat dari hasil yang
diterimanhya dari profesi yang ia jalani setelah dikeluarkannya segala biaya kebutuhan hidup yang wajar
dan selama adanya sisa tersebut dalam masa setahun, telah mencapai batas minimal yakni senilai 85
gram emas murni. Sedangkan bagi ulama yang yang menganalogikan hasil-hasil dari profesi tersebut
dengan zakat pertanian, maka apabila dalam arti seperti itu ia menerima penghasilan senilai 653 kg hasil
pertanian yang harganya paling murah, dan seketika itu juga ia harus menyisihkan 5% atau 10% dari
penghasilannya (tergantung kadar keletihan yang bersangkutan) dan tidak perlu menunggu batas waktu
setahun.[10]

BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

Zakat profesi adalah zakat yang di keluarkan dari hasil apa yang di peroleh dari pekerjaan dan
profesinya. Misalnya pekerjaan yang menghasilkan uang baik itu pekerjaan yang dikerjakan sendiri
tampa tergantung dengan orang lain, berkat kecekatan tangan ataupun otak (professional). Maupun
pekerjaan yang dikerjakan seseorang buat pihak lain baik pemerintah, perusahaan, maupun perorangan
dengan memperoleh upah yang diberikan, dengan tangan, otak, ataupun keduanya.
Berikut adalah beberapa pendapat ulama mengenai waktu pengeluaran dari zakat profesi, Waktu
pengeluarannya ada beberapa pendapat ulama sebagai berikut:

1. Pendapat As-Syafi'i dan Ahmad mensyaratkan haul (sudah cukup setahun) terhitung dari kekayaan
itu didapat

2. Pendapat Abu Hanifah, Malik dan ulama modern, seperti Muh Abu Zahrah dan Abdul Wahab Khalaf
mensyaratkah haul tetapi terhitung dari awal dan akhir harta itu diperoleh, kemudian pada masa
setahun tersebut harta dijumlahkan dan kalau sudah sampai nisabnya maka wajib mengeluarkan zakat.

3. Pendapat Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud, Umar bin Abdul Aziz dan ulama modern seperti Yusuf
Qardhawi tidak mensyaratkan haul, tetapi zakat dikeluarkan langsung ketika mendapatkan harta
tersebut. Mereka mengqiyaskan dengan Zakat Pertanian yang dibayar pada setiap waktu panen.
(haul:lama pengendapan harta).

Nisab zakat pendapatan/profesi mengambil rujukan kepada nisab zakat tanaman dan buah-buahan
sebesar 5 wasaq atau 652,8 kg gabah setara dengan 520 kg beras. Hal ini berarti bila harga beras adalah
Rp 4.000/kg maka nisab zakat profesi adalah 520 dikalikan 4000 menjadi sebesar Rp 2.080.000. Namun
mesti diperhatikan bahwa karena rujukannya pada zakat hasil pertanian yang dengan frekuensi panen
sekali dalam setahun, maka pendapatan yang dibandingkan dengan nisab tersebut adalah pendapatan
selama setahun.

Di lihat dari kadarnya, Penghasilan profesi dari segi wujudnya berupa uang. Dari sisi ini, ia berbeda
dengan tanaman, dan lebih dekat dengan emas dan perak. Oleh karena itu kadar zakat profesi yang
diqiyaskan dengan zakat emas dan perak, yaitu 2,5% dari seluruh penghasilan kotor. Hadits yang
menyatakan kadar zakat emas dan perak adalah:

“Bila engkau memiliki 20 dinar emas, dan sudah mencapai satu tahun, maka zakatnya setengah dinar
(2,5%)” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Al-Baihaqi).

Menurut Yusuf Qardhawi perhitungan zakat profesi dibedakan menurut dua cara:

1. Secara langsung, zakat dihitung dari 2,5% dari penghasilan kotor seara langsung, baik dibayarkan
bulanan atau tahunan. Metode ini lebih tepat dan adil bagi mereka yang diluaskan rezekinya oleh Allah.
Contoh: Seseorang dengan penghasilan Rp 3.000.000 tiap bulannya, maka wajib membayar zakat
sebesar: 2,5% X 3.000.000=Rp 75.000 per bulan atau Rp 900.000 per tahun.

2. Setelah dipotong dengan kebutuhan pokok, zakat dihitung 2,5% dari gaji setelah dipotong dengan
kebutuhan pokok. Metode ini lebih adil diterapkan oleh mereka yang penghasilannya pas-pasan.
Contoh: Seseorang dengan penghasilan Rp 1.500.000,- dengan pengeluaran untuk kebutuhan pokok Rp
1.000.000 tiap bulannya, maka wajib membayar zakat sebesar : 2,5% X (1.500.000-1.000.000)=Rp 12.500
per bulan atau Rp 150.000,- per tahun.
DAFTAR PUSTAKA

Al Juhairi, Wahab, Zakat Kajian Berbagai Madzhab, Pt. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1995.

Daradjat, Zakiah, Zakat Pembersih Harta Dan Jiwa, Cv. Puhama, Jakarta, 1996

Hafiduddin, Didin, Zakat Dalam Perekonomian Modern, Jakarta : Gema Insani Press,2002

Hasan, M. Ali, Zakat Dan Infaq, Jakarta: Kencana, 2006

Kurnia, Hikmat, Panduan PintarZakat, Jakarta : Qultum Media, 2008

Muhammad Rifa’I,1998, Mutiara Fiqih Jilid 1,Semarag: PT Wicaksana.

Pasha Kamal Mustafa, dkk, Fikih Islam, Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri, 2002

Permono, Sjechul hadi, Sumber-Sumber Penggalian Zakat, Jakarta : Pustaka Firdaus, 1992

Qardawi, Yusuf, Hukum Zakat, Bogor : Litera Antar Nusa, 2007

Rais, M. Amin, Cakrawala Islam Antara Cita dan Fakta, Bandung : Mizan, 1999

[1] Yusuf Qardawi, Hukum Zakat, (Bogor : Litera Antar Nusa, 2007), hal 459

[2] Drs. K.H Didin Hafiuddin MSc, Zakat Infaq, Sedekah, (Jakarta :Gema Insani Press, 1999), hal. 23.

[3] Ibid.,

[4] Pasha Kamal Mustafa, dkk, Fikih Islam, (Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri, 2002), hal. 98.

[5] Zakiah Daradjat, Zakat Pembersih Harta Dan Jiwa, ( Cv. Puhama: Jakarta, 1996) , hal. 56.

[6] Wahab Al Juhairi, Zakat Kajian Berbagai Madzhab, ( PT. Remaja Rosdakarya: Bandung, 1995 ), hal. 45.

[7] M.Amin Rais, Cakrawala Islam Antara Cita dan Fakta, (Bandung : Mizan, 1999), hal. 68.

[8] M. Ali Hasan, zakat dan infaq, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 73-77

[9] Drs. K.H Didin Hafiuddin MSc, Zakat Infaq, Sedekah, (Jakarta : Gema Insani Press, 1999). hal 67.

[10] Yusuf al-Qardhawi, Fiqh al-Zakah, Juz I , (Beirut : Muassasah al-Risalah, 1994), hal. 74.

Anda mungkin juga menyukai