Anda di halaman 1dari 9

BAB II

HAKIKAT MANUSIA DALAM PENDIDIKAN ISLAM

A. Pengertian manusia
Manusia secara bahasa disebut juga insan yang dalam bahasa Arab, berasal dari kata
nasiya yang berarti lupa dan jika dilihat dari kata dasar al-uns yang berarti jinak. Kata insan
dipakai untuk menyebut manusia, karena manusia memiliki sifat lupa dan jinak. Manusia selalu
menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru di sekitarnya. Kemampuan berpikir tersebut yang
menentukan hakekat manusia. Manusia juga memiliki karya yang dihasilkan sehingga berbeda
dengan mahluk yang lain. Dari karya yang dibuat manusia tersebut menjadikan ia sebagai
mahluk yang menciptakan sejarah.
Manusia adalah hewan rasional (animal rational) dan pendapat ini dinyakini oleh para
filosof. Sedangkan yang lain menilai manusia sebagai animal simbolik adalah pernyatakan
tersebut dikarenakan manusia mengkomunikasikan bahasa melalui simbol-simbol dan manusia
menafsirkan simbol-simbol tersebut. Ada yang lain menilai tentang manusia adalah sebagai
homo feber dimana manusia adalah hewan yang melakukan pekerjaan dan dapat gila terhadap
kerja. Manusia memang sebagai mahluk yang aneh dikarenakan disatu pihak ia merupakan
“mahluk alami”, seperti binatang ia memerlukan alam untuk hidup. Di pihak lain ia berhadapan
dengan alam sebagai sesuatu yang asing ia harus menyesuaikan alam sesuai dengan kebutuh-
kebutuhannya. Manusia dapat disebut sebagai homo sapiens, manusia arif memiliki akal budi
dan mengungguli mahluk yang lain. Manusai juga dikatakan sebagai homo faber hal tersebut
dikarenakan manusia tukang yang menggunakan alat-alat dan menciptakannya. Salah satu bagian
yang lain manusia juga disebut sebagai homo ludens (mahluk yang senang bermain). Manusia
dalam bermaian memiliki ciri khasnya dalam suatu kebudayaan bersifat fun. Fun disini
merupakan kombinasi lucu dan menyenangkan. Permaianan dalam sejarahnya juga digunakan
untu memikat dewa-dewa dan bahkan ada suatu kebudayaan yang menganggap permainan
sebagai ritus suci.1
Manusia menurut Paulo Freire mnusia merupakan satu-satunya mahluk yang memiliki
hubungan dengan dunia. Manusia berbeda dari hewan yang tidak memiliki sejarah, dan hidup
dalam masa kini yang kekal, yang mempunyai kontak tidak kritis dengan dunia, yang hanya
berada dalam dunia. Manusi dibedakan dari hewan dikarenakan kemampuannya untuk
1
K. Bertens, Panorama Filsafat Modern, (Jakarta : Gramedia, 1987), h. 7
melakukan refleksi (termasuk operasi-operasi intensionalitas, keterarahan, temporaritas dan
trasendensi) yang menjadikan mahluk berelasi dikarenakan kapasitasnya untuk meyampaikan
hubungan dengan dunia. Tindakan dan kesadaran manusia bersifat historis manusia membuat
hubungan dengan dunianya bersifat epokal, yang menunjukan disini berhubungan disana,
sekarang berhubungan masa lalu dan berhubungan dengan masa depan. manusia menciptakan
sejarah juga sebaliknya manusia diciptakan oleh sejarah. 2

B. Fungsi dan kedudukan Manusia


Fungsi dan kedudukan manusia di dunia ini adalah sebagai khalifah di bumi. Tujuan
penciptaan manusia di atas dunia ini adalah untuk beribadah. Sedangkan tujuan hidup manusia di
dunia ini adalah untuk mendapatkan kesenangan dunia dan ketenangan akhirat. Jadi, manusia di
atas bumi ini adalah sebagai khalifah, yang diciptakan oleh Allah dalam rangka untuk beribadah
kepada-Nya, yang ibadah itu adalah untuk mencapai kesenangan di dunia dan ketenangan di
akhirat.
Apa yang harus dilakukan oleh khalifatullah itu di bumi? Dan bagaimanakah manusia
melaksanakan ibadah-ibadah tersebut? Serta bagaimanakah manusia bisa mencapai kesenangan
dunia dan ketenangan akhirat tersebut? Banyak sekali ayat yang menjelaskan mengenai tiga
pandangan ini kepada manusia. Antara lain seperti disebutkan pada Surah Al-Baqarah ayat 30:

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak
menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui“. (Q.S. Al-Baqarah: 30)
Khalifah adalah seseorang yang diberi tugas sebagai pelaksana dari tugas-tugas yang telah
ditentukan. Jika manusia sebagai khalifatullah di bumi, maka ia memiliki tugas-tugas tertentu
sesuai dengan tugas-tugas yang telah digariskan oleh Allah selama manusia itu berada di bumi
sebagai khalifatullah.

2
Denis Collin, Paulo Freire Kehidupan, Karya dan Pemikirannya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar &
Komunitas APIRU, 2002), h. 5
Jika kita menyadari diri kita sebagai khalifah Allah, sebenarnya tidak ada satu manusia pun
di atas dunia ini yang tidak mempunyai “kedudukan” ataupun “jabatan”. Jabatan-jabatan lain
yang bersifat keduniaan sebenarnya merupakan penjabaran dari jabatan pokok sebagai
khalifatullah. Jika seseorang menyadari bahwa jabatan keduniawiannya itu merupakan
penjabaran dari jabatannya sebagai khalifatullah, maka tidak ada satu manusia pun yang akan
menyelewengkan jabatannya. Sehingga tidak ada satu manusia pun yang akan melakukan
penyimpangan-penyimpangan selama dia menjabat.
Jabatan manusia sebagai khalifah adalah amanat Allah. Jabatan-jabatan duniawi, misalkan
yang diberikan oleh atasan kita, ataupun yang diberikan oleh sesama manusia, adalah merupakan
amanah Allah, karena merupakan penjabaran dari khalifatullah. Sebagai khalifatullah, manusia
harus bertindak sebagaimana Allah bertindak kepada semua makhluknya.
Pada hakikatnya, kita menjadi khalifatullah secara resmi adalah dimulai pada usia akil
baligh sampai kita dipanggil kembali oleh Allah. Manusia diciptakan oleh Allah di atas dunia ini
adalah untuk beribadah. Lantas, apakah manusia ketika berada di dalam rahim ibunya tidak
menjalankan tugasnya sebagai seorang hamba? Apakah janin yang berada di dalam rahim itu
tidak beribadah?
Pada dasarnya, semua makhluk Allah di atas bumi ini beribadah menurut kondisinya.
Paling tidak, ibadah mereka itu adalah bertasbih kepada Allah. Disebutkan dalam AlquranSurah
Al-Baqarah:
‫يسبح له ما في السماوات و ما في األرض‬
Bebatuan, pepohonan, gunung, dan sungai misalkan, semuanya beribadah kepada Allah
dengan cara bertasbih. Dalam hal ini, janin yang berada di dalam rahim ibu beribadah sesuai
dengan kondisinya, yaitu dengan cara bertasbih. Ketika Allah akan meniupkan roh ke dalam
janin, maka Allah bertanya dulu kepada janin tersebut. Allah mengatakan “Aku akan meniupkan
roh ke dalam dirimu. Tetapi jawab dahulu pertanyaan-Ku, baru Aku akan tiupkan roh itu ke
dalam dirimu. Apakah engkau mengakui Aku sebagai Tuhanmu?” Lalu dijawab oleh janin
tersebut, “Iya, aku mengakui Engkau sebagai Tuhanku.”
Dari sejak awal, ternyata manusia itu sebelum ada rohnya, atau pada saat rohnya akan
ditiupkan, maka Allah menanyakan dahulu apakah si janin mau mengakui-Nya sebagai Tuhan.
Jadi, janin tersebut beribadah menurut kondisinya, yaitu dengan bertasbih kepada Allah. Tidak
ada makhluk Allah satupun yang tidak bertasbih kepada-Nya.
Manusia mulai melakukan penyimpangan dan pembangkangan terhadap Allah yaitu pada
saat ia berusia akil baligh hingga akhir hayatnya. Tetapi, jika kita ingat fungsi kita sebagai
khalifatullah, maka takkan ada manusia yang melakukan penyimpangan.
Makna sederhana dari khalifatullah adalah “pengganti Allah di bumi”. Setiap detik dari
kehidupan kita ini harus diarahkan untuk beribadah kepada Allah, seperti ditegaskan oleh Allah
di dalam firman-Nya:

“Tidak Aku ciptakan manusia dan jin kecuali untuk menyembah kepada-Ku.”
Kalau begitu, sepanjang hayat kita sebenarnya adalah untuk beribadah kepada Allah.
Dalam pandangan Islam, ibadah itu ada dua macam, yaitu: ibadah primer (ibadah mahdhah) dan
ibadah sekunder (ibadah ghairu mahdhah). Ibadah mahdhah adalah ibadah yang langsung,
sedangkan ibadah ghairu mahdhah adalah ibadah tidak langsung. Seseorang yang meninggalkan
ibadah mahdhah, maka akan diberikan siksaan oleh Allah. Sedangkan bagi yang
melaksanakannya, maka akan langsung diberikan ganjaran oleh Allah. Ibadah mahdhah antara
lain: shalat, puasa, zakat, dan haji. Sedangkan ibadah ghairu mahdhah adalah semua aktifitas
kita yang bukan merupakan ibadah mahdhah tersebut, antara lain: bekerja, masak, makan, dan
menuntut ilmu.
Ibadah ghairu mahdhah adalah ibadah yang paling banyak dilakukan dalam keseharian
kita. Dalam kondisi tertentu, ibadah ghairu mahdhah harus didahulukan daripada ibadah
mahdhah. Nabi mengatakan, jika kita akan shalat, sedangkan di depan kita sudah tersedia
makanan, maka dahulukanlah untuk makan, kemudian barulah melakukan shalat. Hal ini dapat
kita pahami, bahwa jika makanan sudah tersedia, lalu kita mendahulukan shalat, maka
dikhawatirkan shalat yang kita lakukan tersebut menjadi tidak khusyu’, karena ketika shalat
tersebut kita selalu mengingat makanan yang sudah tersedia tersebut, apalagi perut kita memang
sedang lapar.

C. Hakikat Manusia
Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah yang banyak dipelajari para ahli dari
berbagai disiplin ilmu. Hampir semua lembaga pendidikan tinggi mengaji manusia, karya dan
dampak karyanya terhadap dirinya sendiri, masyarakat dan lingkungan hidup. Demikian juga
para ahli telah mengaji manusia menurut bidangnya masing-masing. Namun anenya walaupun
telah banyak kajian tentang manusia, namun hakikatnya belum juga terjawab oleh ilmu
pengetahuan yang merupakan hasil ciptaan manusia itu sendiri
Ungkapan hakikat manusia mengacu kepada kecendrungan tertentu dalam memahami
manusia. Kata ”hakikat” mengandung makna sesuatu yang tidak berubah-ubah, yaitu identitas
esensial yang menyebabkan sesuatu menjadi dirinya sendiri dan membedakannya dari yang
3
lainnya. Berkenaan dengan identitas esensial ini muncul berbagai konsep dan pandangan
dalam menentukan sesuatu yang menjadi ciri khas atau identitas esensial dari wujud yang
dinamakan manusia.4 Dalam pandangan ini kelihatannya esensi lebih penting daripada eksistensi.
Di sisi lain, ada juga pandangan yang menyatakan bahwa manusia tidak mempunyai
identitas tertentu yang disebut esensi. Manusia menurut golongan ini dipandang sebagai
makhluk historis, karena manusia mempunyai sejarah yang membedakannya dengan makhluk
5
lain. Manusia dapat dimengerti dengan mengamati perjalanan sejarahnya. Adapun yang
diperoleh dari pengamatan atas pengalaman sejarahnya adalah suatu rangkaian antropological
constants, yaitu dorongan-dorongan dan orientasi yang tetap ada pada manusia. 6
Sebagaimana telah dipaparkan di atas, bahwa manusia secara bahasa disebut juga insan
yang dalam bahasa Arab berasal dari kata nasiya (‫ )نسي‬yang berarti lupa dan jika dilihat dari
kata dasar al-uns (‫)األنس‬yang berarti jinak. Kata insan dipakai untuk menyebut manusia, karena
manusia memiliki sifat lupa dan jinak artinya manusia selalu menyesuaikan diri dengan keadaan
yang baru di sekitarnya.
3
Hakikat berasal dari bahasa Arab yaitu: al-haqiqah, yang berarti esensi dan kebenaran. Dalam hal ini kata
hakikat yang dimaksud oleh penulis adalah arti esensi bukan dalam arti kebenaran. Dalam arti Ibnu Sina
mendefenisikannya dengan ”kekhususan eksistensi sesuatu yang menyebabkannya ada karenanya.” Al-Jurjani
mengemukakan defenisi yang maknanya tidak jauh berbeda dengan defenisi yang dikemukakn Ibnu Sina yaitu
”yang menyebabkan sesuatu menjadi dirinya.” Kata lain dalam bahasa Arab yang juga sering digunakan untuk
menunjukkan makna esensi (hakikat) adalah al-mahiyah. Al-mahiyah, biasanya digunakan untuk sesuatu yang
abstrak (al-amr al-muta’aqqal) dari sesuatu dengan menyampingkan perhatian dari wujud lahirnya. Sesuatu yang
abstrak tersebut dari segi apa dinnya disebut al-mahiyah, dan dari segi adnaya dinamakan al-haqiqah. Lihat Murad
Wahbah, dkk., al-Mu’jam al-Falsafi, (Kairo: al-Saqafat al-Jadidat, 1971), h. 84, 99 202.
4
Hal ini terbukti dari banyaknya aliran yang muncul dalam membahas masalah yang berhubungan dengan
manusia. Ditinjau dari aspek unsur pokok yang membentuk manusia terdapat dua aliran yaitu aliran monism (serba
esa) dan dualism (serba dua). Aliran pertama terbagi kepada dua paham yaitu paham materialism (serba benda)
dan idealism (serba ruh). Sedangkan aliran kedua juga terbagi kepada dua aliran yaitu aliran idealism yang
berpendapat bahwa jiwa merupakan hakikat manusia, dan aliran materialism yang beranggapan bahwa jasadlah yang
menjadi inti. Lihat Louis Kattsoff, Pengantar Filsafat (terjemah Soejono Soemargono dari Elements of
Philosophy), (Yokyakarta: Bayu Indra Grafika, 1989), cet. Ke-6, h. 53 dan 304
5
Louis Leahy, Manusia Sebuah Misteri, (Jakarta: Gramedia, 1984), h. 6
6
M. sastrapratedja, (Ed.), Manusia Multi Dimensional, (Jakarta: Gramedia, 1983), h. ix.
Ada beberapa pendapat tentang hakikat manusia. Di antaranya seperti yang diajukan oleh
Syaibany yang menyatakan bahwa manusia memiliki tiga dimensi persis seperti ”segi tiga” yang
sama panjang sisi-sisinya; yaitu badan (jasmani), akal dan ruh (jiwa). 7 Menurut Syaibany
pendidikan harus dapat mengembangkan jasmani, akal dan ruhani manusia secara seimbang.
Pendapat Syaibany di atas, menunjukkan bahwa pada dasarnya manusia memiliki tiga
kategori, yaitu; pertama, manusia sebagai makhluk biologis (al-basyar), yang pada hakikatnya
sama dengan makhluk-makhluk yang lain, walau struktur organnya berbeda, (Q.S.15: 28) karena
manusia merupakan makkhluk yang paling sempurna (Q.S. 95:4). Kedua, manusia sebagai
makhluk psikis (al-insan) yang memiliki potensi rohani seperti fitrah (Q.S. 30:30), qalb (Q.S. 22:
46) akal ( Q.S. 3: 190-191) potensi-potensi tersebut mengangkat martabat manusia ke tempat
yang lebih tinggi dibandingkan dengan makhluk-makhluk yang lain. Ketiga, manusia sebagai
makhluk sosial yang bertugas melestarikan alam semesta. Hal ini disebabkan kerena manusia
tidak hanya befungsi sebagai abd tetapi juga sebagai khalifah.
Berbicara tentang manusia maka yang tergambar dalam pikiran adalah berbagai macam
persfektif, ada yang mengatakan manusia adalah hewan rasional (animal rational) dan pendapat
ini dinyakini oleh para filosof. Sedangkan yang lain menilai manusia sebagai animal simbolik
adalah pernyatakan tersebut dikarenakan manusia mengkomunikasikan bahasa melalui simbol-
simbol dan manusia menafsirkan simbol-simbol tersebut. Ada yang lain menilai tentang manusia
adalah sebagai homo feber dimana manusia adalah hewan yang melakukan pekerjaan dan dapat
gila terhadap kerja. Manusia memang sebagai mahluk yang aneh dikarenakan disatu pihak ia
merupakan “mahluk alami”, seperti binatang ia memerlukan alam untuk hidup. Di pihak lain ia
berhadapan dengan alam sebagai sesuatu yang asing ia harus menyesuaikan alam sesuai dengan
kebutuh-kebutuhannya. Manusia dapat disebut sebagai homo sapiens, manusia arif memiliki akal
budi dan mengungguli mahluk yang lain. Manusia juga dikatakan sebagai homo faber hal
tersebut dikarenakan manusia tukang yang menggunakan alat-alat dan menciptakannya.
Manusia merupakan mahluk yang unik yang menjadi salah satu kajian filsafat, bahkan
dengan mengkaji manusia yang merupakan mikro kosmos. Dalam filsafat pembagian dalam
melihat sesuatu materi yang terbagi menjadi dua macam esensi dan eksistensi. Begitu pula
manusia dilihat sebagai materi yang memiliki dua macam bagian esensi dan eksistensi. Manusia
dalam hadir dalam dunia merupakan bagian yang berada dalam diri manusia esensi dan
7
Omar al-Toumy al-Syaibany, Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyah,(Ttp: al-Syirkah al-‘Amah li an-Nasyr wa
al-Tauzi’ wa al-‘A’lam, 1975), h. 130.
eksistensi. Esensi dan eksistensi manusia ini yang menjadikan manusia ada dalam muka bumi.
Esensi dan eksistensi bersifat berjalan secara bersamaan dan dalam perjalananya dalam diri
manusia ada yang mendahulukan esensi dan juga eksistensi. Manusia yang menjalankan esensi
menjadikan ia bersifat tidak bergerak dan menunjau lebih dalam saja tanpa melakukan
aktualisasi. Begitu pula manusia yang menjalankan eksistensi tanpa melihat esensi maka yang
terjadi ia hanya ada tetapi tidak dapat mengada. Proses mengadanya manusia merupakan refleksi
kritis terhadap manusia dan realitas sekitar. Sebagaimana perkataan bijak yang dilontarkan oleh
socrates bahwa hidup yang tak direfleksikan tak pantas untuk dijalanani. Refleksi tersebut
menjadikan manusia dapat memahami diri sendiri, realitas alam dan Tuhan. Manusia yang
memahami tentang dirinya sendiri ma ia akan memahami Penciptanya. Proses pemahaman diri
dengan pencipta menjadikan manusia berproses menuju kesempurnaan yang berada dalam diri
manusia. Proses pemahaman diri dengan refleksi kristis diri, agama dan realitas, hal tersebut
menjadikan diri manusia menjadi insan kamil atau manusia sempurna.

Bagan Esensi dan Eksistensi Manusia


No Eksistensi Esensi Kesadaran Basic Human Kebutuhan
manusia Fitrah (Basic Human Values (Basic Dasar
Drives) Islamic (Basic
Values) Human
Needs)
1 Al Insan Rasa ingin tahu Intelektual Intelektual
2 Al Basyar Rasa lapar, haus, Biologis Biologis
dingin
3 ‘Abdullah Rasa ingin berteri- Spiritual Spiritual
makasih dan ber-
syukur kepada tuhan
4 An-Nas Rasa tahan sendiri Sosial Sosial
dan menderita dalam
kesepian
5 Khalifah fil Butuh keamanan, Estetika Estetika
ardli ketertiban,
kedamaian,
kemakmuran,
keadilan & kein-
dahan lingkungan
 
Manusia yang melakukan refleksi menyadari bahwa ia mahluk yang berdimensional dan
bersifat unik. Manusia menjadikan ia yang bertanggungjawab pada eksistensinya yang berbagai
macam dimensi tersebut. Manusia dalam eksistensinya sebagai al insan, al basyar, ‘abdullah,
annas, dan khalifah. Manusia dalam eksistensi tersebut dikarenakan potensi yang berada dalam
diri manusia seperti intelektual, bilogis, spiritual, sosial dan estetika. Sifat dari manusia tersebut
adalah mahluk yang bebas berkreatif dan mahluk bersejarah dengan diliputi oleh nilai-nilai
trasendensi yang selalu menuju kesempurnaan. Hal tersebut menjadikan manusia yang memiliki
sifat dan karaktersistik profetik. Pembebasan yang dilakukan oleh manusia adalah pembebasan
manusia dari korban penindasan sosialnya dan pembebasan dari alienasi antara eksistensi dan
esensinya sehingga manusia menjadi diri sendiri, tidak menjadi budak orang lain. Manusia yang
bereksistensi dalam kelima tersebut menjadikan ia sebagai mahluk pengganti Tuhan dan
menjalankan tugas Tuhan dalam memakmurkan bumi.
Manusia sebagai makhluk yang dapat dididik memiliki potensi-potensi rohani. Allah
SWT. menciptakan manusia lengkap dengan potensi rohani yang memiliki kecendrungan-
kecendrungan tertentu. Oleh karena itu tugas pendidikan mengembangkan dan melestarikan,
serta menyempurnakan kecendrungan-kecendrungan yang baik dan mengendalikan
kecendrungan-kecendrungan yang tidak baik. Potensi-potensi rohani tersebut adalah:
a. Ruh. Roh sebagai substansi kehidupan manusia. Dalam Alquran roh selalu
diulang-ulang, tetapi mempunyai makna yang berbeda-beda. Adakalanya sebagai
pemberian hidup dari Allah kepada manusia (Q.S. 15:29, 32:9) adakalanya roh
menunjukkan Alquran (Q.S. 42:52), roh juga menunjukkan kepada wahyu dan malaikat
yang membawanya (Q.S. 16:2). Semua pengertian roh tersebut tidak satupunh
menunjukkan makna badan atau badan roh, hingga roh dipahami sebagai sesuatu yang
berbeda dengan nafs.8
b. Akal. Akal dalam bahasa Arab berasal dari kata ’aqala yang berarti mengerti,
memahami dan berpikir. Lalu apakah pemahaman dan pemikiran dilakukan melalui akal
yang selalu disebut sebagai daya rasional yang berpusat di kepala? Alquran selalu
menyebutkan bahwa pemahaman dan pemikiran dilakukan dengan menggunakan media
hati (qalb).9 Ada juga yang menyatakan bahwa akal adalah potensi yang dapat
menghasilkan berbagai ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi kesejahteraan manusia,
dan menentukan dalam usaha manusia mencari jalan yang benar, memberikan kepuasan

8
Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, (akarta: Pustaka Al-Husna, 1998) h. 272
9
Lihat Q.S. al-A’raf: 179, al-Hajj: 46, Muhammad: 24, al-Taubah: 93.
10
dalam memecahkan persoalan hidup. Namun yang jelas bahwa dalam Alquran kata akal
tidak sekalipun disebut dalam bentuk isim (kata benda) tetapi Alquran hanya menyebutkan
kata akal dalam bentuk fiil (kata kerja) yaitu:’aqaluh (‫ )عقلوه‬dalam 1 ayat, ta’qilun (‫)تعقلون‬
11
dalam 24 ayat, na’qil (‫ )نعقل‬1 ayat, ya’qiluha (‫ )يعقلها‬1 ayat dan ya’qilun (‫ون‬e‫ )يعقل‬22 ayat.
Hal ini menunjukkan bahwa esensi akal terletak pada aktifitas akal atau kerja akal yaitu
berpikir, bukan pada wujudnya.
c. Qalb (hati). Qalb merupakan karunia Allah kepada manusia. Satu di antara
keistimewaan manusia adalah qalb, karena qalb merupakan sentral kebaikan dan kejahatan
pada manusia. Pusat aktivitas manusia tidak terletak pada tubuh jasmani, tetapi pada
qalbnya. Al-qalb memiliki nama-nama lain yang disesuaikan dengan aktifitasnya, ia
disebut fu’ad karena sebagai tumpuan tanggung jawab manusia, disebut luthfu karena
sumber perasaan halus, qalb karena suka berbolak-balik (berubah-ubah) sirr karena
berada pada tempat yang rahasia.12 Alquran menyatakan bahwa qalb merupakan daya
penalaran, pemikiran, dan pemahaman yang berpusat di dada. 13
d. Nafsu. Pengertian nafsu sulit untuk dirumuskan karena memiliki pembagian yang
beragam, dan memiliki ciri-ciri, serta kecendrungan-kecendrungan yang berbeda-beda. Al-
Ghazali misalnya menyebutkan nafsu sebagai dorongan dua kekuatan yang mempunyai
ciri berlawanan, pertama sebagai dorongan ghodlob (menjauh) dan dorongan syahwat
(mendekat).14
Uraian di atas menunjukkan bahwa Allah memberikan potensi-potensi rohani kepada
manusia. Potensi-potensi tersebut bila dipergunakan sebagaimana seharusnya, maka manusia
akan dapat mencapai kedudukan tertinggi sebagai khalifatullah fil ardh.

10
Muhaimin, Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam; Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar
Operasionalisasinya, (Bandung: Trigenda Karya, 1993), h. 42
11
Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: Universitas Indonesia (UI Press), 1986), h. 5.
12
Barmawy Umary, Materia Akhlak, (Solo: Ramadhani, 1989), h. 21
13
Lihat Q.S. al-A’raf: 179, al-Hajj: 46, Muhammad: 24, al-Taubah: 93.
14
Untuk pembagian-pembagian nafsu ini lihat Muhaimin, Abdul Mujib, ..., h. 48

Anda mungkin juga menyukai