Anda di halaman 1dari 15

TAX PLANNING ( PPN )

• Levina Layanti 130314163


• Aprilia Wita 130314259
• Ester Novita 130314077
• Giovanni Ellen 130314142
• Kevin Kurniawan 130314004
• Maya Prisca 130314405
• Tadeo Benita 130314064
• Vonny Anggelina 130314072
Pajak Pertambahan Nilai pertama kali diperkenalkan oleh Carl Friedriech von Siemens.
Indonesia baru mengadopsi sistem PPN pada tanggal 1 April 1985.
1.1. Karakteristik PPN
PPN yaitu pajak tidak lansung yang dikenakan atas konsumsi barang/jasa kena pajak di dalam
daerah pabean. PPN memiliki sifat yaitu non-kumulatif sehingga tidak diperbolehkan adanya
pajak berganda dan konsumen terakhirlah yang harus menanggung PPN ini. Karakteristik PPN:
“multi stage levy” sehingga apabila terjadi perpindahan barang maka timbulah PPN. Tetapi, PPN
bersifat non-kumulatif sehingga apabila perpindahan barang terjadi di satu perusahaan maka
tidak terjadinya pertambahan PPN. Hal tersebut yang dimanfaatkan oleh beberapa perusahaan
untuk melakukan penghindaran pajak.
PPN memiliki karakteristik sebagai pajak objektif, sehingga PPN tidak mempertimbangkan
kondisi subjektif dari subjek pajak.
1.2. Objek Pajak
Objek PPN pada UU PPN No. 42 tahun adalah sebagai berikut:
a. Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) di daerah Pabean (Pasal 4 ayat 1).
b. Impor Barang Kena Pajak (Pasal 4 ayat 1).
c. Ekspor Barang Kena Pajak (Pajak 4 ayat 1).
d. Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean (Pasal 4 ayat 1).
e. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar daerah Pabean (Pasal 4 ayat 1).
f. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean (Pasal 4 ayat 1).
Mekanisme pemungutan PPN :Indirect Subtraction Method/Invoice Method dan metode inilah
yang terbaik dengan alasan:
1. kewajiban membuat faktur pajak setiap transaksi, mengingat faktur pajak merupakan bukti
terpenting.
2. Memudahkan melakukan pemeriksaan, baik internal maupun fiskus.
3. Tidak perlu menentukan besarnya keuntungan untuk setiap barang yang dijual.
4. Kewajiban perpajakannya dapat dihitung setia saat.
2.1. Mekanisme Pengkreditan dan Pelaporan PPN
Pengenaan PPN didasarkan Sistem Faktur dengan begitu setiap penyerahan BKP/JKP yang
dilakukan PKP harus terdapat Faktur Pajak. Mekanisme yang sering dipakai disebut indirect
substraction method (PK-PM).
- Jika PK > PM maka selisihnya adalah PPN yang harus dibayar
- Jika PK < PM maka selisihnya merupakan PPN lebih bayar
Mekanisme Pajak Masukan diatur dalam Pasal 9 UU Nomor 42 Tahun 2009.
Pajak Masukan dapat dikreditkan apabila:
a. Memenuhi ketentuan formal, yaitu
1. harus berbentuk Faktur Pajak atau dokumen yang diperlakukan sebagai Faktur Pajak, diisi
selengkapnya dan tidak cacat
2. Harus memperhatikan ketentuan Pasal 9 ayat (8) UU PPN, yang menentukan bahwa Pajak
Masukan tidak dapat dikreditkan bagi pengeluaran untuk:
- Perolehan BKP / JKP sebelum PKP dikukuhkan sebagai PKP
- Perolehan BKP / JKP yang tidak mempunyai hubungab langsusng dengan kegiatan usaha
- Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermontor edan, jeep, station wagon, van, dan combi
kecuali merupakkan barang dagangan atau disewakan
- Pemanfaatan BKP tidak berwujud atau pemanfaatan JKO dari luar Daerah Pabean sebelum
Pengusaha dikukuhkan sebagai PKP
- Perolehan BKP atau JKP yang bukti pungutannya berupa Faktur Pajak Sederhana
- Perolehan BKP atau JKP yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 13 ayat (6)
- Perolehan BKP atau JKP tidak berwujuda atau pemanfaatannya JKP dari luar Daerah Pabean
yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (6)
- Perolehan BKP atau JKP yang Pajak Masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak
- Perolehan BKP atau JKP yang Pajak Masukannya tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan
Masa PPN, yang diketemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan.
b. Memenuhi ketentuan material
Pajak Masukan yang dibayarkan atas Perolehan BKP atau JKP yang berhubungan langsung
dengan kegiatan usaha,.
Mesti didukung bukti pengeluaran berupa invoice dan kuitansi pembayaran yang menyatakan
bahwa transaksi sudah dipungut PPN.
3. Saat Terutangnya PPN
Saat terutangnya PPN diatur dalam Menkeu no. 240/PMK.03/2009 yaitu
• Pemungutan PPN dan Pajak Penjualan barang mewah menerapkan sistem akrual yaitu pajak
terjadi saat penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak meski pembayaran belum
diterima/ sepenuhnya belum diteruma/ pada saat impor Barang Kena Pajak. Untuk transaksi
electronic commerce juga menerapkan sistem ini.
• Dalam hal pembayaran diterima sebelum Barang Kena Pajak atau sebelum penyerahan Jasa
Kena Pajak, atau dalam hal pembayaran dilakukan sebelum pemanfaatan Barang Kena Pajak
Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, saat terutangnya adalah saat
pembayaran.
4. Batas Waktu Penyetoran PPN dan Pelaporan SPT Masa PPN
Batas waktu penyetoran PPN dan pelaporan SPT Masa PPN diatut PER Dirjen Pajak No. 14/PJ. /
2010 yaitu:
• PPN dan PPn BM yang terutang dalam satu Masa Pajak, harus disetor paling lama akhir bulan
berikutnya setelah berakhirnya Masa pajak dan sebelum SPT Masa PPN disampaikan.
• SPT Masa PPN harus disampaikan paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya
Masa Pajak.
Dalam hal tanggal jatuh tempo penyetoran atau hal akhir bulan penyampaian SPT Masa PPN
adalah hari libur, maka dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Keterlambatan pelaporan
SPT masa PPN akan dikenai denda Rp 500.000, untuk keterlambatan penyetoran PPN dikenai
denda bunga 2% perbulan dari PPN yang terutang.
5. Memaksimalkan Fasilitas di Bidang PPN
Memaksimalkan pemanfaatan fasilitas di bidang PPN akan memberi dampak pada berkurangnya
jumlah yang harus dibayar oleh pembeli terhadap barang yang dibeli dari penjual minimal 10%
dari harga jua. Hal ini dapat menyebabkan omset penjualan akan meningkat serta perolehan
profit dan setoran pajak juga akan lebih besar.
Menurut UU Nomor 36 Tahun 2008, fasilitas di bidang PPN yang dikenal dalam ketentuan PPN
adalah:
1. Fasilitas PPN tidak dipungut
2. Fasilitas PPN dibebaskan
3. Fasilitas PPN ditanggung pemerintah
6. Sentralisasi Tempat PPN Terutang
Perusahaan sebaiknya melakukan penelitian dan pertimbangan dalam memilih sistem sentralisasi
atau desentralisasi dalam pelaporan pajaknya. Wajib pajak dengan criteria tertentu yang memiliki
lebih dari satu tempat untuk melakukan penyerahan BKP/JKP dapat mengajukan permohonan
Pemusatan/Sentralisasi Tempat PPN Terutang kepada Kanwil DPJ setempat dengan ketentuan
sebagai berikut:
a) Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang terdaftar di KPP Wajib Pajak besar dapat melakukan
setralisasi otomatis sesuai dengan KEP-335/PJ./2002.
b) PKP yang memiliki lebih dari satu tempat PPN terutang (selain butir a) dapat memilih 1
tempat atau lebih sebagai Tempat Pemusatan PPN Terutang.
Syarat-syarat penhgajuan sentralisasi bagi Pengusaha Kena Pajak yang memiliki lebih sari satu
tempat Pajak Pertambahan Nilai (PER-19/PJ. /2010) :
1. harus menyampaikan pemeberitahuan secara tertulis kepada Kepala Kantor Wilayah dengan
tembusan kepada Kepala KPP
2. Tempat tinggal, tempat ledudukan, atau tempat kegiatan usaha Pengusaha Kena Pajak yang
berada di Kawasan Berikat; berada di Kawasan Ekonomi Khusus; mendapat fasilitas Kemudahan
Impor Tujuan Ekspor, tidak dapat dipilih sebagai Tempat Pemusatan PPN Terutang atau tempat
PPN Terutang yang akan dipusatkan.
3. Pemberitahuan secara tertulis harus memenuhi persyaratan:
a. Memuat nama, alamat, dan NPWP tempat PPN terutang yang dipilih sebagai Tempat
Pemusatan PPN Terutang.
b. Memuat nama, alamat, dan NPWP temoat PPN terutang yang akan dipusatkan.
c. Surat pernyataan bahwa administrasi penjualan diselenggarakan secara terpusat pada tempat
PPN terutang
Sentralrisasi tempat terutangnya PPN tersebut pada dasarnya merupakan fasilitas yang bisa
dimanfaatkan oleh PKP.
7. Memaksimalkan Restitusi PPN
Salah satu hak bagi PKP adalah mengkreditkan Pajak Masukan sesuai dengan ketentuan. Dalam
mekanisme indirect substractionmethod, PKP hanya membayarkan PPN ke Kas Negara sebesar
selisih antara Pajak Keluaran (PK) dikurangi dengan Pajak Masukan (PM).
Apabila dalam suatu Masa Pajak terdapat kelebihan pajak maka atas kelebihan pajak tersebut
dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya dan dapat direstitusi pada akhir tahun buku.
Dengan pertimbangan untuk membantu likuiditas perusahaan, untuk Waib Pajak yang memiliki
resiko rendah dapat diberikan restitusi dengan pengembalian pendahuluan melalui pemeriksaan
terlebih dahulu. Sanksi yang dikenalan lebih rendah dari Undang-Undang KUP yaitu 2% per
bulan.
Pemilihan restitusi atau kompensasi bergantung pada kondisi masing-masing WP. Pertimbangan
utama berkaitan dengan biaya pemeriksaan dan opportunity cost yang timbul dari kelebihan
pajak yang ada di negara (time value of money)..
Kriteria adalah, jika opportunity cost lebih besar dibandingkn dengan biaya pemeriksaannya,
maka Wajib Pajak akan cenderung meminta restitusi.
Pengusaha yang belum berproduksi tetap dapat mengkreditkan PPN yang telah dibayar atas
pembelian barang modal.
Kriteria umum bagi manajemen dalam memutuskan perlu tidaknya mengajuakn permohonan
restitusi PPN:
1. Bila besarnya PPN yang lebih bayar tersebut cukup signifikan/material jumlahnya
2. Bila kondisi keuangan perusahaan mengalami gangguan cash flow.
3. Bila sudah diyakini kesiapan perusahaan untuk diperiksa oleh fiskus.
4. Bila prediksi masa depan pembayaran PPN menunjukkan lebih bayar PPN
Dalam kondisi tertentu perusahaan mungkin memiliki pertimbangan khusus utuk meminta
meminta pengembalian kelebihan bayar PPN. Misalnya, baghi wajib pajak yang melakukan
kegitan tertentu yaitu ekspor BKP atau yang melakukan peneyerahan BKP atau JKP kepada
terpungut PPN, maka restitusi merupakan hal yang tidak terhindarkan, hanya masalah waktuya
yang perlu ada perencanaan yang masak.
8. Membangun Sendiri Tidak dalam Kegiatan Usaha
Membangun sendiri untuk tempat tinggal atau tempat usaha oleh pribadi atau badab dikenai
PPN, dengan kondisi:
1. Luas bangunan 200 m persegi atau lebih.
2. Bangunan permanen
3. Tarif 10% x 40% x biaya bangunan (tanpa harga tanah)
4. Disetor tiap bulan, pada tanggal 15 bulan berikutnya sejak pembangunan dimulai.
9. PPN Atas Barang Gratis untuk Kepentingan Promosi
Hal ini sebagai bagian implementasi marketing strategy perusahaan dalam melakukan kegiatan
promosi untuk meningkatkan omzet penjualan. Contoh, perusahaan PT ABC bergerak di bidang
surat kabar. Dalam rangka penetrasi pasar, karena perusahaan ini masih baru, manajemen
mengambil kebijakan sales promotion yaitu memberikan surat kabar secara gratis kepada
pelangan dan calon pelanggan selama satu bulan. Kebijakan ini diharapkan akan memberikan
feedback, bahwa bulan berikutnya akan mendapat tanggapan positif dari pelanggan dan calon
pelanggan berupa order dan repeat order untuk bulan-bulan berikutnya. Dalam Undang-Undang
Pajak Penghasilan No. 36 Tahun 2008 Pasal 9(1) e, pemberian ini dikatagorikan sebagai
pemberian dalam natura dan oleh sebab itu tidak bisa dibiayakan.
Sebagai ilustrasi, PT ABC menjual surat kabar ke pelanggannya dalam bulan Oktober 2008:
Cara-I
Penjualan 2.000 Eksemplar @ Rp 4.000 = Rp 8.000.000
PPN 10% = Rp 800.000 +
Harga yang di faktur: harga jual + PPN = Rp 8.800.000
Bila dalam bulan tersebut terdapat pemberian cuma-cuma 200 eksemplar, maka akan dikenakan
PPN 10% dari harga pokoknya (misalkan harga pokoknya @Rp 2.500/eks).
Tambahan beban PPN atas pemberian cuma-cuma:
10% x 200 eks x Rp 2.500 = Rp 50.000
Bila cara-I ini ditempuh, maka dalam bulan Oktober 2008 perusahaan PT ABC harus
menyetorkan pembayaran PPN ke Kas Negara sebesar Rp 850.000.
Tax Planning-nya:
Bila PT ABC mau menghemat pajak atas pemeberian cuma-cuma tersebut, maka hal ini dapat
dilakaukan denbgan cara mengubah invoiceing atau pemakturan dalam faktur pajaknya sebagi
berikut:
Cara-II
Penjualan 2.200 Eksemplar @ Rp 4.000 = Rp 8.800.000
Diskon = Rp 800.000 -
Dasar Pengenaan Pajak = Rp 8.000.000
PPN 10% = Rp 800.000 +
Harga yang di faktur: harga jual + PPN = Rp 8.800.000
Keuntungan cara-II:
• Bagi PT ABC atau penjual, tidak perlu membayar PPn tambahan sebesar Rp 50.000 atas
pemberian cuma-cuma itu. Cara ini menghemat cash flow perusahaan karena mengurangi PPn
terutangb yang harus dibayar pada bulan berikutnya.
• Bagi pembeli atau distributor, tidak ada dampaknya terhadap harga yang harus dibayar karena
dengan pembayaran yang sama (Rp 8.800.000) mereka memperoleh jumlah eksemplar yang
sama (2.200 eksemplar).
Namun secara administrative, cara-II ini lebih memenuhi aspek sistem internal control bagi
kedua belah pihak, khususnya bagi pembeli atau distributor karena harga pokok pembelian
barang cuma-cuma tersebut terdokumentasikan secara inter-komtabel dalam faktur pembelian
barang.
10. Penjagaan Terhadap Cash Flow Perusahaan
Cara yang aman dalam perencanaan pajak yang perlu diagendakan oleh manajemen perusahaan
untuk diaplikasikan dalam kerangka peningkatan efisiensi pajak dan keuangan perusahaan, yaitu:
a. Menyegerakan pengajuan Nomor Pokok Pengusaha Kena Pajak (NPPKP) pada perusahaan
yang baru berdiri.
b. Memilih mendirikan perusahaan di lokasi yang mendapat fasilitas perpajakan PPN.
Contoh: untuk perusahaan berorientasi ekspor mendirikan perusahaan di Pulau batam (kawasan
berikat), yang fasilitasnya:
• PPN masukan atas bahan baku impor (ditanggung pemerintah)
• PPN keluaran untuk ekspor sebesar 0%
c. Mengusahakan membeli bahan baku pada saat akan menjalankan proses produksi (just in
time).
d. Mengajukan permohonan sentralisasi PPN bagi perusahaan yang mempunyai kantor cabang.
e. Penanganan faktur pajak dengan baik.
11. Pengendalian Pajak Melalui Tax Review
Pengendalian pajak perlu dilakukan untuk mengetahui apakah semua perencanaan pajak telah
dilaksanakan sesuai rencana. Pengendalian pajak dapat dilakukan dengan tax review (penelaahan
pajak).
Tax review adalah pelayanan yang bertujuan untuk meneliti tingkat kepatuhan wajib pajak secara
umum dan memberi rekomendasi untuk meminimalkan pajak yang belum diketahui perusahaan.
Tax review meliputi seluruh kewajiban wajib pajak termasuk PPN dan PPnBM.
Tujuan tax review:
1. Untuk tahu apakah terdapat salah implementasi kewajiban pajak. Jika ada, dilakukan
perbaikan dan penyesuaian sesuai ketentuan.
2. Hasilnya digunakan untuk bahan acuan dasar menyusun SPT tahunan PPh Badan.
3. Hasilnya dimanfaatkan sebagai upaya antisipasi apabila ada pemeriksaan pajak.
Tax review untuk menangangi masalah kepatuhan:
1. Review waktu penerbitan pajak.
2. Periksa apakah PPN Masukan atas pembelian berhubungan dengan kegiatan usaha dan
dikreditkna dengan PPN Keluaran.
3. Review penyiapan SPT dan PPN.
4. Pastikan punya sistem penyimpanan dokumen PPN yang cukup untuk menghadapi
pemeriksaan pajak.
5. Hasil ekualisasi, dapat menjelaskan kaitannya dengan perbedaan antar penjualan yang dilapor
pada SPT PPh Badan dengan pada laporan SPT masa PPN.
11.1 Analisis Tax Review
Tujuan Tax Review PPN adalah
1. Untuk mengetahui sejauh mana unit bisnis memenuhi kewajiban pajak PPNnya.
2. Meminimalisasi terjadi transaksi berkaitan dengan PPN yang dapat menimbulkan resiko
permasalahan perpajakan.
3. Meminimalisasi sanksi PPN akibat salah pencatatan.
4. Agar unit bisnis tidak melakukan kesalahan lagi.
5. Mempersiapkan bisnis untuk diperiksa oleh pihak fiskus.
Prosedur tax review adalah
1. Monitoring berupa penelitian data yang sudah dikirim oleh unit bisnis yaitu SPT masa PPN
dan SPT Tahunan Badan, ledger, laporan kauangan, hal teknis pengisian dan perhitungannya.
2. Meminta bukti/dokumen pendukung untuk di cross check terhadap objek PPN.
3. Merekonsiliasi data objek pajak berupa pendapatan di ledger dan di SPT Masa PPN.
Perbedaannya harus segera ditelusuri sebelum disampaikan SPT Tahunan badan ke kantor
pelaynan pajak.
Dalam peemriksaan, apabila terdapat selisih jumlah omzet antara SPT PPh dan SPT PPN, harus
dibuat rincian perbedaan, apabila tidak dibuat akan dilakukan ekualisasi, jumlah yang besar dan
benar.
Penyebab terjadinya perbedaan antara ledger dan SPT Masa PPN:
1. Penyusunan PST Masa PPN didasarkan pada dokumen yang diterima oleh bagian pajak,
sedangkan bagian accounting mencatat seusai dengan standart PSAK yakni akrual basis.
2. Uang muka. Bagian pajak akan memperhitungkan PPN atas pembayaran yang diterima
dimuka sebagai pajak keluaran, sedangkan accounting melakukannya pada saat penyesuaian di
akhir periode.
3. Kesalahan dalam pembukuan (kelebihan atau kekurangan mencatat).
4. Adanya retur penjualan atau pembelian yang belum dicatat.
5. Potongan penjualan.
6. Adanya faktur pajak /masukan yang cacat, tidak benar dan tidak lengkap.
7. Penjualan dalam valuta asing.
8. Adanya barang konsinyasi yang belum dibuatkan faktur pajak.
9. Pemakaian sendiri BKP/JKP.
10. Cabang yang belum masuk sentralisasi PPN.
11. Tidak menutup kemungkian ada fraud dalam internal sehingga sejumlah transasksi tidak
dimasukkan dalam pelaporan pajak.
12. Rekayasa oleh pihak perusahaan untuk mengecilkan setoran PPN.
12. Tanggung Jawab Renteng
Awalnya diatur dalam Pasal 33 UU KUP No.16 Tahun 2000, kemudian ketentuan ini dihapus
dalam UU KUP No.28 Tahun 2007, yang dihidupkan kembali melalui penambahan Pasal 16 F
kedalam UU PPN NO.42 Tahun 2009, yang berisi:
“Pembeli barang kena pajak atau penerima jasa kena pajak bertanggung jawab secara renteng
atas pembayaran pajak, sepanjang tidak dapat menunjukkan bukti bahwa pajak telah dibayar.”
Dalam melakukan tax review, seorang tax manager perusahaan (PKP) harus melakukan
pengawasan secara lebih cermat dengan memastikan:
• Jangan pernah ada satupun faktur penjualan (commercial invoice) yang diterbitkan perusahaan
tanpa disertai faktur pajak
• Setiap transaksi penjualan harus ada kontrak atau sales agreement-nya dan atau purchase order
(PO), sehingga dispute tentang syarat bisa dihindari dikemudian hari.
Contoh Kasus Tanggung Jawab Renteng: (di halaman brp aja, gk usa contoh)
PT Megacom telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak yang bergerak dalam bidang
perdagangan besar komputer, pada tanggal 20 April 2010 menyerahkan 10 unit komputer kepada
PT Nusantara dengan total Harga Jual Rp70.000.000,00. Atas penyerahan ini terutang PPN
sebesar 10% x Rp70.000.000= Rp7.000.000. Mekanisme umum yang diatur dalam UU PPN
1984 atas transaksi tersebut adalah:
1. PT Megacom menerbitkan Faktur Pajak untuk memungut PPN sebesar Rp7.000.000.
2. Faktur Pajak terdiri dari dua lembar, yaitu:
- Lembar pertama diberikan kepada PT Nusantara sebagai bukti beban pajak yang seharusnya
dibayar;
- Lembar kedua menjadi arsip PT Megacom sebagai bukti pemungutan pajak.
3. PT Megacom wajib menyetor pajak yang dipungut untuk setiap Masa Pajak ke Kas Negara.
4. PT Nusantara wajib membayar pajak terutang tersebut kepada PT Megacom.
5. Bagi PT Nusantara, Faktur Pajak tersebut merupakan bukti formil/sah bagi pengreditan pajak
dalam suatu Masa Pajak.
Kemudian bagaimana jika PT. Nusantara tidak dapat menunjukkan bukti sah bahwa dia sudah
melunasi PPN atas pembelian komputer tersebut? maka PT Nusantara dibebani tanggung jawab
secara renteng atas pajak dimaksud. Yang artinya si pembeli (PT Nusantara) harus membayar
Rp.7.000.000 lagi.
Kajian Perpajakan dalam Penyerahan Barang di Luar Daerah Pabean
Pendahuluan
Prinsip destinasi pemungutan PPN mencerminkan keselarasan sistem pemajakan suatu negara
yang ditentukan oleh tiadanya hambatan memajaki impor dan mengkreditkan beban pajak
sebelum ekspor terhadap pajak dengan tarif PPN 0% atas ekspor.
ada 3 elemen pokok yang mengandung netralitas yakni :
a. Netral dalam peersaingan dalam negeri yang menjamin sifat netral pemungutan pajak dalam
system pedagangan dalam negeri,
b. Netral dalam perdagangan International, yang menajmin bahwa dalam hal ekspor diberikan
pengembalian beban pajak yang melekat pada waktu perolehan harga barang yang di ekspor.
Barang yang diekspor pajak 0%, barang impor dikenakan PPN 10%
c. Netral bagi pola konsumsi ,PPN yang telah dikenakan atas bahanbaku dan barang modal yang
diapaki selama proses produksi bukan merupakan unsur harga pokok yang dijual
Permasalahan dalam Perlakuan PPN
PPN 10% akan dikenakan pada setiap mata rantai distribusi, mulai dari pabrik sampai ke
konsumen. Metode nya: multi stage dari indirect method. bertujuan agar subjek pajak yang lolos
dari pajak maka masih ada subjek pajak selanjutnya yang akan dikenakan pajak.
Penyerahan barang bergerak (sesuai ketentuan hukum) terjadi saat fisik atas barang tersebut dari
pihak yang menyerahkan kepada pihak yang menerima penyerahan barang. Penyerahan barang
ddiluardaerah Pabean Indonesia, maka perlu kesepakatan untuk menentukan tempat penyerahan.
Tempat ini akan menentukan tanggung jawab penyerahan termasuk harga dan impor duties.
Seorang agen yang merangkap sebagai importer dengan API akan dikenakan PPh pasal 22
sesabar 2,5% sedangkan nonAPI dikenakan 7,5%. Ranking penunjukan agen tergantung pada
kapsitas, kapabilitas, dan otorisasi yang dimiliki. Keekslusifitasan menandakan hak-hak prioritas
dan penugasan dalam pendistribusian barng dalam wilayah cakupan pabean.
Kompleksitas dalam penyerahan barang yang menyangkut watu dan tempat, dalam kenyataannya
sangat memerlukan regulasi hukum yang pasti. Contoh dalam kasus nyata adalah PT User
Indonesia yang berkedudukan di Kalimantan. User mengeluarkan Purchase Order kepada PT
Trader ke Jakarta sebagai perjanjian pembelian BKP. Namun, Trader bekerja sama dengan PT
AGen Jakarta. PT AGen Jakarta ini berindak sebaga Exclusive Sale Agent dari principalnya di
luar negeri yang merupakan produsenBKP. PT User memiliki regional logistic base di Singapura
dan bekerja sama dengan PT W sebagai International Freight Forwarder. Dalam instruksi di PO,
BKP yang ada dapat langsung dikirim PT W ke Kalimantan (daerah pabean Indonesia).
Penyerahan barang ke User dapat dilakukan apabila sudah melunasi semua kewajiban impor
duties yang terutang.
Bagaimana fikus menyikapi transaksi penyerahan barang tersebut ditas?
Pertama, Pasal 4A UU PPN th 1983/1994/2000 menyebutkan bahwa PPN dikenakan atas
penyerahan BKP dalam daerah pabean yang dilakukan pengusaha, dan atas impor BKP; dan
dalam penjelasan 4A, tentang penyerahan barang yang dikenai pajak harus memenuhi syarat
berikut
1. Barang berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak
2. Barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
3. Penyerahan dilakukan dalam daerah pabean
4. Penyerahan dilakukan dalam rangka usaha
Kedua, dalam satu ruling yang dikeluarkan oleh DJP dengan Surat Direktur Jendera; Pajak
Nomor S-267PJ.52/2004 yang ditujukan kepada suatu perusahaan, sebut saja PT “ABC”,
menegaskan bahwa:
a. Atas kontrak jual beli di dalam negeri yang penyerahannya dilakukan di luar Pabean, tidak
terutang PPN karena tidak memenuhi syarat yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat 1 huruf a UU No
8 th 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengab UU No 18 th 2000 tentang PPN.
b. Suatu perusahaan tidak diwajibkan untuk memungut PPN atau menerbitkan Faktur Pajak atas
penyerahan Barang Kena Pajak yang terjadi di luar Daerah Pabean.
c. Suatu perusahaan wajib melaporkan seluruh penyerahan yang dilakukan, baik penyerahan
yang terutang maupun penyerahan yang tidak terutang PPN, dalam SPT Masa PPN
d. Pada saat barang yang diserahkan di luar Daerah Pabean dimasukkan ke dalam Daerah Pabean
(diimpor), maka terutang PPN disetor dan dilaporkan oleh pihak yang melakukan impor
Tidak ada ruling yang memberikan kepastian hukum tentang kriteria perlakuan perpajakan dalam
penyerahan Barang Kena Pajak di luar Daerah Pabean yang tidak dikenakan PPN. Ruling yang
ada sekarang hanya melihat lokasi penyerahan barang ada di luar Daerah Pabean, dan
pembuktiannya harus dilengkapi dengan dokumen bukti pembayaran lewat bank langsung
kepada pabrikan di luar negeri.
Kebenaran materiil transaksi melalui pembayaran PT Agen atau PT Trader via transfer bank
langsungn ke pabrikan dari luar negeri diuji dari tiga factor, yaitu:
1. Flow of document, yakni adanya PO dan delivery order
2. Flow of good, yakni adanya penyerahan barang di luar negeri
3. Flow of money (payment), yakni adanya pembayaran dari PT Agen atau PT Trader ke
pabrikan di luar negeri
Selama penyerahan barang dilakukan sesuai syarat pranko gudang penjual atau loco gudang
pembeli di Singapura, maka atas penyerahan barang tidak dikenai PPn oleh PT Agen terhadap
PT User, dengan catatan:
1. PT Agen harus bisa membuktikan terdapat transaksi pembayaran langsung atau lewat transfer
langsung oleh PT Agen kepada pabrikan atau principal-nya di Singapura
2. Kontrak perjanjian jual beli mensyaratkan dibuat atau dilengkapinya bukti penyerahan barang
dari pabrikan luar negeri kepada user
Arus lalu lintas perdagangan dimana PT Trader (Indonesia) membeli barang dari pabrikan (luar
negeri) melalui agennya di Indonesia yakni PT Agen (Indonesia0, dan selanjutnya menjual
barang tersebut ke PT User (Indonesia) sesuai harga yang disepakati seperti yang tercantum
dalam PO. Sehingga PT Trader (Indonesia) tidak memiliki akses langsung dengan pabrikan
karena sebelumnya sudah ada perjanjian yang mengikat antara pabrikan dengan PT Agen.
Selama penyerahan barangnya dilakukan sesuai syarat prangko gudang penjual di Singapura atau
loco gudang pembelian di Singapura, maka atas penyerahan barang tersebbut tidak dikenakan
PPN oleh PT Trader (Indonesia) terhadap PT User (Indonesia), dengan catatan:
1. PT Trader harus bisa membuktikan adanya transaksi pembayaran transfer langsung oleh PT
Trader kepada pabrikannya di Singapura.
2. Kontrak perjanjian jual beli mensyaratkan dibuat atau dilengkapinya bukti penyerahan barang
dari pabrikan luar negeri kepada PT User untuk penyerahan barang di Singapura.
Dalam hal ini PT Agen hanya bekerja sebagai perpanjangan tangan dari principlenya di luar
negeri sehingga dengan demikian PT Agen tidak perlu membuat invoice atau Faktur Pajak
kepada PT Trader karena tida ada keterlibatan langsung mereka dalam penyerahan barang
tersebut.
Di pengadilan pajak, hakim cenderung mengambil keputusan yang mengedepankan kebenaran
materil berdasarkan tiga faktor dengan hasil yang tentu akan memenangkan fiskus. Aturan formil
(prosedur) mengalahkan kebenaran materilnya (substansinya), padahal harusnya kebenaran
materil-lah yang harus mengalahkan aturan formilnya. Alhasil, PT Agen harus mengenakan PPN
10% dalam invoice-nya kepada PT Trader.
Risiko terjadi penolakan pembayaran PPN ini oleh PT User diakomodasi karena mengacu
kepada ketentuan Pasal 4A, yang berakibat pada PPN itu harus dibayar sendiri oleh PT Trader ke
kas negara dan menjadi tanggungan sendiri. Hal ini tentu saja merugikan pihak PT Trader.
3. Kepastian Hukum dan Tax Management
Wajib pajak, dalam kedudukan sebagai PT Trader (Indonesia) dalam contoh di atas, perlu
membuat tax planning untuk menghindari beban pajak yang tidak perlu, baik karena PPN yang
menjadi tanggungan sendiri maupun karena retritusi PPN-nya tidak diterima oleh fiskus, yang
ujungnya akan menggerus profit perusahaan.
• Kasus serupa pada Diagram II, pernah terjadi yaitu kasus banding Pajak Pertambahan Nilai dari
PT “X” di Pengadilan Pajak (Putusan Banding Pengadilan Pajak No. 11061/PP/M.V/16/2007
tertangal 28 Juni 2007), yang dimenangkan oleh wajib pajak yang dalam contoh adalah PT
Trender (Indonesia). Kunci kemengangan terletak pada adanya pembayaran lewat transfer bank
untuk pembelian barang dari luar negeri yang dilakukan langsung oleh PT Trader ke pabrikan,
bukan kepada PT Agen di Indonesia. Perbedaan kasusnya hanya pada Keangenan. Kalau PT “X”
(sebagai trader) bertransaksi langsung ke principal, sedangkan PT Trader bertransaksi melalui PT
Agen (Indonesia) sebagai Agen Principal di Jakarta.
• Tapi substansi sebenarnya adalah bahwa transaksi penyerahan langsung di luar daerah pabean
tersebut tidak dikenakan PPN dapat dibuktikan secara materiil/tertulis dengan adanya:
A. Bukti penyerahan barang dari principal ke pembeli ayu user (delivery order) yang dilakukan
diluar daerah pabean.
B. Adanya tagihan/invoice dari principal ke PT Trader (Indonesia)
C. Adanya bukti transfer bank untuk penyerahan langsung oleh PT Trader ke principal luar
negeri.
Potensi bagi subjek pajak untuk “bisa lolos” dari pengenaan PPN dikemungkinkan bilamana
barang yang diserahkan merupakan barang “hand carry” yang ukurannya kecil (tapi mungkin
harganya mahal), yang bisa lolos dari pelacakan custom clearance di Bea Cukai, sehingga secara
otomatis semua impor duties yang seharusnya dibayar PT User selaku user akan luput dari
penerimaan negara.
KELOMPOK 5
Dalam pajak ada yang disebut sebagai pajak masukan dan pajak keluaran. Pajak Masukan adalah
pajak pertambahan nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena
perolehan Barang Kena Pajak atau perolehan Jasa Kena Pajak dan atau pemanfaatan Barang
Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean dan atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari
luar Daerah Pabean dan atau impor Barang Kena Pajak. Pajak Masukan sifatnya dapat
dikreditkan dengan Pajak Keluaran. Pajak Keluaran adalah PPN terutang yang wajib dipunggut
oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa
Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, kspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud,
dan atau ekspor Jasa Kena Pajak.
Oleh karena Pajak Masukan dapat dikreditkan, maka perusahaan seharusnya memperoleh Barang
Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dari Pengusaha Kena Pajak. Tujuannya agar Pajak Masukan
dapat mengurangi Pajak Keluaran yang harus dibayarkan. Pajak masukan yang belum
dikreditkan pada masa pajak yang sama dapat dikreditkan pada masa pajak berikutnya selambat-
lambatnya tiga bulan setelah berakhirnya tahun buku yang bersangkutan.
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah:
- yang berhubungan langsung dengan produksi, distribusi pemasaran dan manajemen atas
BKP/JKP dan faktur pajaknya adalah faktur standar atau dokumen yang disamakan dengan
faktur pajak standar.
Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan:
1. Sebelum dikukuhkan menjadi PKP
2. Faktur Pajak Sederhana
3. Faktur Pajak cacat (tidak diisi lengkap, ada coretan/hapusan)
4. Pajakan masukan atas pembelian mobil sedan, jeep, station wagon, van, dan combi
5. Pajak masukan berkaitan dengan produksi BKP/JKP
6. Pajak masukan yang tidak ada kaitannya secara langsung dengan kegiatan usaha atas BKP
7. Pajak masukan yang dilaporkan pada SPT masa PPN, yang ditemukan pada saat pemeriksaan
atau yang ditagih melalui SKP.
CONCLUSION
1. Pendahuluan PPN
" Sebelum membuat kebijakan bisnis, Perusahaan harus senantiasa mengintegrasikan kebijakan
dengan peraturan perpajakan. Setiap keputusan bisnis biasanya menimbulkan transaksi, dan
setiap transaksi melibatkan aliran dana yang mungkin terekspos pajak. Karena itu pengusaha
harus selalu waspada terhadap dampak PPN, PPh, maupun jenis pajak lain. Pemerintah dan DPR
harus mengkaji dan memastikan perangkat hokum berkenaan dengan menjaga netralitas pajak,
serta memastikan bahwa loopholes yang memungkinkan subjek pajak lolos dari perpajakan bisa
ditutupi dengan penguatan kepastian hukum. "
ANY QUESTIONS ???
2. Memaksimalkan mekanisme pengkreditan Pajak PPN
THANK YOU

Anda mungkin juga menyukai