Anda di halaman 1dari 2

Penyakit Q-fever dapat menimbulkan dampak yang buruk baik pada hewan

maupun manusia. Coxiella burnetii sebagai agen penyebab Q-fever yang tahan

terhadap lingkngan, banyaknya hewan reservoir, dan beragamnya rute penularan

membuat penyakit Q-fever sulit diberantas. Untuk mencegah timbulnya penyakit

ini, diperlukan berbagai upaya pencegahan. Vaksinasi Q-fever pada hewan masih

belum dikembangkan. Sedangkan vaksinasi Q-fever pada manusia merupakan

salah satu upaya yang telah dilakukan di Australia sejak tahun 1989 (Garner et al.

1997). Vaksin Q-fever yang digunakan berasal dari C. burnetii fase I yang telah

dilemahkan (Dorko 2005).

Upaya lain yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan penerapan

biosekuriti yang baik dan berkelanjutan. Upaya biosekuriti yang dapat dilakukan

untuk mencegah penularan dari luar negeri salah satunya dengan tindakan

karantina bagi hewan impor. Untuk penggunaan alat, penggunaan outoklaf atau

desinfeksi peralatan laboratorium menggunakan 0,5% sodium hipoklorit, 5%

peroksida atau 1:100 lisol dapat membantu, karena C. burnetii peka terhadap

desinfektan tersebut (Anonimus 2004b).

Pencegahan dapat pula dilakukan dengan memberikan pengetahuan tentang

bahaya Q-fever, khususnya pada kelompok yang beresiko terhadap penyakit ini.

Berkaitan dengan hewan ternak, pencegahan dapat dilakukan dengan membuang

plasenta, sisa-sisa abortus, dan fetus yang telah mati. Pengolahan produk ternak,

seperti pasteurisasi susu dengan suhu 63 oC selama 30 menit sangat dianjurkan

agar lebih aman dikonsumsi.

Pengobatan Q-fever dapat dilakukan menggunakan antibiotik. Tetrasiklin

merupakan antibiotik spektrum luas yang dapat digunakan dalam pengobatan.

Kelebihan lain tetrasiklin adalah bekerja pada bakteri gram negatif dan rickettsia,

sehingga antibiotik golongan ini efektif dalam pengobatan Q-fever (Mutschler

1991).

Pengobatan terhadap Q-fever akut dan kronis memiliki tujuan berbeda.

Pengobatan Q-fever akut memiliki tujuan menyembuhkan pasien. Pengobatan


pada Q-fever kronis hanya bertujuan mengontrol penyakit bukan untuk

penyembuhan. Pengobatan Q-fever akut bergantung pada gejala klinis yang

tampak. Pada kasus pneumonia umumnya dapat sembuh dengan sendirinya

setelah 15 hari (Raoult 1993).

Beberapa antibiotik telah dilaporkan efektif terhadap Q-fever akut,

diantaranya chloramfenikol, co-trimoxazole, dan ceftriaxone. Ofloxacin dengan

dosis 2,5 mg/kgBB pada hewan (Tilley dan Smith 2000) dan dosis 600 mg/hari

pada manusia dilaporkan efektif terhadap pneumonia. Meskipun beberapa

antibiotik dapat digunakan, doksisiklin masih menjadi antibiotik yang sangat

dianjurkan untuk pengobatan Q-fever. Pemberian dosis doksisiklin yang

dianjurkan umumnya sejumlah 200 mg selama 15 hingga 21 hari (Raoult 1993).

Sedangkan penggunaan antibiotik kelompok makrolida sebagai alternatif

pengobatan masih belum dapat dijelaskan (Gikas et al. 2001). Untuk pengobatan

hepatitis, pemberian antibiotik dalam mengatasi gejala klinis tidak efektif. Hal ini

kemungkinan terjadi karena umumnya hepatitis dapat berkaitan dengan respon

kekebalan individu (Raoult 1993).

Q-fever kronis yang ditandai dengan endokarditis lebih sulit diobati.

Pengobatan yang dianjurkan minimal selama 3 tahun. Hal ini berkaitan dengan

fakta yang ditemukan, bahwa kultur positif dapat terjadi setelah 1 tahun

pengobatan. Oleh karena itu perlu diperhatikan bahwa tidak ada terapi atau

kombinasi antibiotik termasuk fluoroquinolone, yang dapat mengobati

endokarditis akibat Q-fever dalam waktu 2 tahun. Berdasarkan fakta yang

ditemukan, maka pengobatan untuk endokarditis akibat Q-fever dianjurkan

dengan kombinasi antara doksisiklin dan fluorokuinolon selama minimal 3 tahun

(Raoult 1993).

Anda mungkin juga menyukai