Anda di halaman 1dari 10

ACTINOMYCOSIS

Pembimbing M. Endang Daud, drg, SpBM

PENDAHULUAN
Actinomycosis adalah infeksi bakteri anaerob gram positif yang berfilamen
dan bercabang. Secara normal Actinomyces merupakan komponen saprofit di rongga
mulut. Pada orang sehat ditemukan di kripta tonsil, dental plaque, kalkulus, karies
dentin, sulkus gingiva dan poket periodontal (Neville, 2002).
Genus Actynomyces terdiri dari organisme yang dianggap transisi antara
bakteri dan fungi, yang mempunyai ciri-ciri dari dua mikroorganisme ini.
Karakteristik dasar mengindikasikan bahwa organisme ini adalah bakteri. Sel
kehilangan nuclear membran , bersifat anaerob atau mikroaerofil, padahal fungi yang
patogen bersifat aerob. Anggota genus ini sensitif terhadap bahan-bahan anti bakteri
yang tidak mempunyai efek terhadap fungi tetapi tidak sensitif terhadap antibiotik
antifungi. Komposisi kimianya menunjukkan bakteri dan tidak membentuk spora
sebenarnya. Karena itu spesies Actinomyces dianggap lebih bakteri daripada fungi
(Samarayanake, 2002) .
Actinomyces israelli penyebab paling utama dari penyakit ini diikuti oleh
Actinomyces viscosus , Actinomyces naeslundii, Actinomyces odonlyticus,
Actinomyces meyeri dan Actinomyces bovis. Pada sebagian besar kasus organisme
primernya berkombinasi sinergis dengan streptokokus dan stafilokokus (Neville,
2002).
Spesies Actinomyces tersebar diseluruh dunia. Meskipun spesies yang tidak
patogen ada dilingkungan, yang patogen hanya bersifat patogen oportunistik pada
binatang dan manusia. Organisme ini pertama kali dikemukakan tahun 1875 oleh
Cohn (A. Israelli) pada infeksi canalis lacrimalis manusia dan tahun 1877 oleh Harz
(A. bovis) pada penyakit lumpy jaw di ternak (Samaranayake, 2002).
99

PERJALANAN PENYAKIT
Actinomyces merupakan flora normal rongga mulut, ditemukan pada kalkulus,
kripta tonsil dan gingiva. Masuk ke jaringan mulut lewat luka pembedahan, ekstraksi
gigi, trauma, perawatan syaraf gigi dan prosedur endodontik. Walaupun hanya
sedikit Actinomyces pada jaringan lunak, tetapi sering menyebabkan infeksi
(Samaranayake, 2002).

GEJALA KLINIS
Actinomyces bisa menyerang secara akut, infeksi progresif maupun kronis
yang menyebar secara lambat dan berhubungan dengan fibrosis. Kira-kira 55% kasus
actinomycosis didiagnosa di daerah cervicofacial, 25% terjadi di daerah abdominal
dan pelvis, 15% di paru-paru dan sekitar 5% sisanya terjadi di daerah kulit atau pada
daerah genitourinaria (berhubungan dengan alat kontrasepsi IUD) (Neville, 2002).
Meskipun human actinomyces bisa melibatkan seluruh area tubuh, lesi primer
paling sering terjadi pada mulut, muka atau leher. Primary cervicofacial
actinomycosis terjadi pada jaringan lunak atau sinus maxilaris, dan infeksi
sekundernya meliputi keterlibatan tulang. Lesi awal biasanya terjadi pada daerah
parotis atau mandibula. Organisme juga bisa diisolasi dari pulpa dan jaringan
periapikal, poket periodontal dan daerah tonsil. Onset dari penyakit ini tersembunyi
dan biasanya ditandai dengan pembengkakan yang persisten, seringnya didaerah
mandibular dan parotis. Awalnya pembengkakan ini tidak menimbulkan sakit kecuali
terdapat infeksi sekunder. Jika actinomycosis berkembang setelah prosedur bedah,
penyembuhan luka lambat dan pembengkakan tidak hilang, gejala lainnya adalah
pembengkakan kronis, derajat sakit yang berbeda-beda dan demam.
Pembengkakannya sangat keras seperti papan dan warna kulit pada bagian yang
bengkak berwarna merah tua atau ungu. Bila infeksi berlanjut abses dapat terlihat
secara ekstra oral. Kemudian dapat memperforasi kulit dan membentuk satu atau
lebih fistula ekstra oral. Pus yang didapat dari drain abses biasanya mengandung
granula kuning, yang disebut sulfur granules, yang sebenarnya merupakan
mikrokoloni bakteri (gambar 1) (Samaranayake, 2002).
100

Daerah tulang yang sering terkena infeksi actinomycosis adalah maxilla dan
mandibula. Infeksi tulang ini dapat diikuti dengan sinusitis, trauma, oral surgery dan
infeksi periapikal bisa secara primer atau menyebar dari jaringan lunak. Infeksi tulang
actinomyces yang diikuti fraktur biasanya tidak lazim meskipun sering terjadi infeksi
campuran bila terjadi infeksi. Beberapa infeksi dapat terjadi berhari-hari sampai
berminggu-minggu setelah terjadinya fraktur. Karakteristik onsetnya adalah sakit
pada daerah wajah, parestesi dan demam ringan diikuti oleh adanya pus setelah 7
sampai dengan 14 hari kemudian. Pada infeksi tulang perubahan dapat dideteksi oleh
rontgen panoramik. Pada kasus dimana infeksi yang menyebar dari jaringan lunak,
reaksi periosteal biasanya perubahan pertama yang terlihat diikuti oleh perubahan
litik. Pada infeksi tulang yang diikuti cervico facial actinomycosis, lesi terlihat
sebagai destruksi, rarefaksi dengan sklerosis, hanya sklerosis atau periostitis. Ketika
rarefraksi yang utama, lesi bisa memproduksi bunyi krepitasi ketika ada tekanan
eksternal (Neville, 2002).

Gambar 1: Gambaran klinis cervicofacial actinomycosis adanya drainase fistula (Neville;2002)

Infeksi kulit biasanya adalah hasil traumatik implementasi organisme,


awalnya terlihat pembengkakkan pada subcutan yang membesar secara perlahan dan
menjadi lunak. Lesi ruptur kearah permukaan, dan terbentuk fistula ekstra oral.
Normalnya infeksi menyebar kearah yang lebih dalam ke jaringan, menginvasi dan
101

menghancurkan tulang. Infeksi genital telah dilaporkan pada wanita yang memakai
IUD (Samaranayake, 2002).

GAMBARAN RADIOLOGIS
Pemeriksaan radiologis perlu dilakukan pada actinomycosis untuk
menentukan perluasan dari penyakit. Pada gambaran radiologis tampak gambaran
radiolusen yang bervariasi dari granuloma apical sampai keterlibatan tulang yang
luas. Proses osteolisis ditandai dengan penebalan serta gambaran sklerosis dari
rahang. Jika ada gigi yang berdekatan dengan daerah terjadinya destruksi tulang
maka akan tampak gambaran lamina dura yang menipis di daerah apikal atau akan
terlihat adanya resorbsi akar (Shafer, 1983). Pada penyakit ini tidak ada gambaran
radiologis yang spesifik dan lesi tidak dapat dibedakan dari gambaran osteitis yang
lainnya (Gambar 2) (Topazian, 2002).

Gambar 2: Gambaran radiologis actinomycosis (Topazian, 2002)

GAMBARAN HISTOPATOLOGIS
Diagnosa actinomycosis hampir keseluruhan bergantung pada pemeriksaan
mikroskopik pus, pemeriksaan sulfur granul yang diwarnai dengan pewarnaan gram.
Sulfur granules dapat diinokulasi di media agar darah dan diikubasikan secara
anaerob (Shafer, 1983).
102

Secara mikroskopis daerah infeksi aktif memberikan gambaran tepi yang


fibrosis yang membungkus jaringan radang kronis dan koloni organisme, yang
dikelilingi leukosit polymorphonuclear. Secara mikroskopis daerah infeksi aktif
memberikan gambaran tepi yang fibrosis yang membungkus jaringan radang kronis
dan koloni organisme, yang dikelilingi leukosit polymorphonuclear. (Gambar 3)
(Neville, 2002).

Gambar 3. Gambaran mirip bunga bloomkol (Neville, 2002)

Pada pembesaran sekitar 100 kali dengan pewarnaan stain eosin, warna
basofilik pada bagian tengah dari inti, dan eosinofilik pada dipinggirnya (Gambar 4).
Dengan pewarnaan methenamine silver menunjukkan organisma yang keluar dari
eksudat, terdapat rim of neutrophils yang melekat pada tepi organisma ini
menunjukkan filamen bercabang, gram positif, yang disertai adanya bakteri cocci dan
batang gram negatif (Neville, 2002).

Gambar 4. Gambaran warna basofilik di bagian tengah dari inti, dan eosinofilik pada
dipinggirnya (Neville, 2002).
103

DIFFERENTIAL DIAGNOSA
Differential diagnosa Actinomycosis sering sulit karena onsetnya tersembunyi
dan simptomnya bisa sama dengan selulitis generalis, infeksi lainnya, bahkan
neoplasma. Ketika penyakit bertambah parah ada inflamasi kronis dan
perkembangan granuloma, fistel dan sinus. Jika terjadi infeksi sekunder, respon
inflamasi akut akan terlihat dan exudat menjadi lebih purulen. Invasi tulang terjadi
perlahan-lahan tetapi terjadi kerusakan yang ekstensif. Kerusakan tulang diganti
dengan jaringan granulasi. Perkembangan lesi granula sulfur dapat dideteksi pada
pus yang keluar. Granula kuning ini yang merupakan koloni actinomyces dapat
dilihat secara visual (Samaranayake, 2002).
Selain itu perlu dipertimbangkan diferential diagnosa dengan flegmon, infeksi
piogenik, osteomielitis, kista terinfeksi atau tumor ganas pada daerah submandibular
(Gorlin, 1970).

DIAGNOSA
Diagnosa terdiri dari deteksi sulfur granula pada eksudat lesi yang dicurigai,
ukurannya 1 s/d 4 mm, didapatkan dari kumpulan pus dan cairan dari lesi drain pada
aspirasi cairan dengan jarum suntik. Granula dapat juga dideteksi dari pus pada
coverglass dengan pewarnaan gram dan dilihat dibawah mikroskop untuk gram +.
Filamen dari granul dari daerah yang terinfeksi memperlihatkan gambaran club like
(Neville , 2002).
Kultur eksudat dari lesi dan sinus juga berguna untuk diagnosa actinomycosis
dan differensiasi species actinomyces. Spesimen dari lesi harus diinkubasi secara
aerobik dan anaerob hal ini membantu differensiasi actinomyces apakah anaerob atau
mikroaerophil.
Organisme dapat diisolasi pada berbagai macam media, thyioglycolate broth
atau brain heart infusion agar. Setelah ini dapat diidentifikasi pada media agar oleh
morfologi koloni dan karakteristik fisiologi yang berbeda-beda (Samaranayake,
2002).
104

PENATALAKSANAAN
Banyak bahan bahan dan tehnik yang telah digunakan untuk penatalaksanaan
actinomycosis, termasuk pemberian iodide, insisi dan drainase, eksisi jaringan lunak
dan tulang dan penggunaan bermacam-macam antibiotik (Topazian, 2002).
Penggunaan antibiotik pada actinomycosis harus diberikan dalam dosis yang
tinggi dan dalam waktu yang lama. Pemberian antibiotik secara intra vena diberikan
selama 4 sampai 6 minggu dan dilanjutkan dengan pemberian secara oral selama 6
sampai 12 bulan. Awalnya perawatan dirumah sakit untuk pemberian antibiotic
secara intra vena dan prosedur operasi. Obat yang digunakan adalah penisilin dan
makrolida, doxycycline dan ceftriaxone dan clindamycin. Pemberian penisilin G,
sebanyak 10 sampai 20 juta unit perhari secara intra vena selama 4 sampai 6 minggu
diikuti oleh penisilin V 1 gram 4 kali sehari selama 6 sampai 12 bulan peroral.
Pilihan lain adalah ampicilin 50 mg/kg berat badan perhari intra vena selama 4
sampai 6 minggu dilanjutkan amoksisilin 500 mg 3 kali sehri selama 6 sampai 12
bulan (Topazian, 2002).
Pemeriksaan rontgenologis perlu dilakukan intuk melihat penyembuhan
tulang dan kemungkinan untuk perlunya dilakukan prosedur operasi seperti
sequeterektomi. Scar yang tersisa dapat diperbaiki untuk tujuan kosmetik (Gambar 5)
(Topazian, 2002).

Gambar 5: Gambaran radiologis setelah terapi antibiotik (Topazian, 2002)


105

Tindakan bedah yang dilakukan insisi dan drain dari abses, pembuangan
fistula ekstra oral lesi yang fibrosis (Gambar 6), dekompresi dari ruang yang
terinfeksi. Bila terjadi osteomyelitis dapat dilakukan sekusterektomi

a b c
Gambar 6: Eksisi dari sinus tract
a. Multiple fistula ekstra oral
b. Pembuangan fistula ekstra oral
c. Penutupan luka

PROGNOSA
Actinomycosis yang dilakukan penatalaksanaan lebih awal akan merespon
pengobatan dengan penicillin 5 sampai 6 minggu, bila infeksinya lebih berah atau
lebih dalam memerlukan pengobatan sampai 12 bulan. Beberapa peneliti
mengemukakan bahwa infeksi akut yang terlokalisasi sering berhubungan dengan
kotaminasi dari gigi dapat diobati lebih konservatif dibandingkan kasus
actinomycosis yang kronis dan lebih dalam (Neville, 2002).

KESIMPULAN
Actinomycosis adalah infeksi bakteri anerob gram negatif yang berfilamen
dan bercabang. Secara normal Actinomyces merupakan komponen safrofit di rongga
mulut. Pada orang sehat ditemukan di kripta tonsil, dental plaque, kalkulus, karies
dentin, sulkus gingiva dan poket periodontal.
Kira-kira 55% kasus actinomycosis didiagnosa di daerah cervicofacial, 25%
terjadi di daerah abdominal dan pelvis, 15% di paru-paru dan sekitar 5% sisanya
106

terjadi di daerah kulit atau pada daerah genitourinaria (berhubungan dengan alat
kontrasepsi IUD).
Penggunaan antibiotik pada actinomycosis harus diberikan dalam dosis yang
tinggi dan dalam waktu yang lama. Pemberian antibiotik secara intra vena diberikan
selama 4 sampai 6 minggu dan dilanjutkan dengan pemberian secara oral selama 6
sampai 12 bulan.
107

Daftar Pustaka

Gorlin, J.R., 1970. Oral Pathology. Volume two, St. Louis. The C.V. Mosby
Company.

Neville, B.W. et all. 2002. Oral and Maxillofacial Pathology. 2nd. Ed. Philadelphia.
W.B. Saunders Company

Samaranayake, L.P.2002. Essential Microbiology for Dentistry. 2nd, ed, Churchil


Livingstone.

Shafer, G.W. et all. 1987. A Text Book of Oral Pathology. 4th. Ed. Philadelphia. W.B.
Saunders Company

Topazian, R.G and Morton H.G.2002. Oral And Maxillofacial Infections. 4th .ed.
Philadelpia. W.B. Saunders Company.

Anda mungkin juga menyukai