Anda di halaman 1dari 8

MALFORMASI ANOREKTAL (MALFORMASI ANOREKTAL)

Kelainan kongenital atau bawaan adalah kelainan yang sudah ada sejak lahir yang dapat
disebabkan oleh faktor genetik maupun non genetik. Seringkali, suatu kelainan kongenital belum
dapat ditemukan atau belum terlihat pada waktu bayi lahir, namun beberapa saat setelah
kelahiran bayi (Hockenberry dan Wilson, 2015).

1. Definisi
Kelainan kongenital dari rektal dan anus lebih dikenal dengan anorektal malformasi
(MALFORMASI ANOREKTAL) (Beudeker et al., 2013; Herman & Teitelbaum, 2012).
Malformasi anorektal adalah suatu kelainan kongenital dan tidak lengkapnya perkembangan
embrionik dimana rektal tidak mempunyai lubang keluar yang disebabkan oleh gangguan
pertumbuhan dan pembentukan anus. Anus dan rektal berasal dari struktur embriologis yang
disebut kloaka dimana pertumbuhan lateral kloaka akan membentuk septum urorektal yang
memisahkan rektal dari saluran kemih pada bagian abdomen. Rektal dan saluran kemih terpisah
sepenuhnya pada minggu ketujuh kehamilan, sehingga apabila terjadi kelainan atau malformasi,
hal ini mencerminkan adanya gangguan pada tahap perkembangan proses pembentukan
(Hockenberry dan Wilson, 2015). Kasus anak dengan malformasi ini memiliki anus imperforata
karena mereka tidak memiliki lubang dimana seharusnya anus ada.
Hockenberry dan Wilson (2015) juga menjelaskan bahwa anus imperforata dapat mencakup
beberapa bentuk malformasi tanpa pembukaan anus yang jelas dimana sebagian besar kasus
ditemukan memiliki fistula dari rektal distal ke perineum atau sistem genitourinari. Selain itu,
malformasi anorektal dapat terjadi sebagai bagian dari sindrom Vacterl atau vater. Selanjutnya,
kasus kloaka persisten merupakan malformasi anorektal yang kompleks dimana rektal, vagina,
dan uretra mengalir ke saluran umum yang terbuka ke perineum melalui situs uretra yang biasa.
Exstrophy kloaka merupakan kelainan yang jarang dan berprognosis buruk karena terdapat
eksternalisasi kandung kemih dan usus melalui dinding abdomen. Hal ini menyebabkan
seringkali tidak ada batas yang jelas mengenai genitalia anak dan studi kromosom diperlukan
untuk menentukan jenis kelamin anak dimana paling banyak ditemukan pada anak perempuan.
Kandung kemih ekstrofik dipisahkan menjadi dua bagian oleh sekum termasuk omphalocele,
anus imperforata, dan neural tube defect.
2. Klasifikasi
Menurut Hockenberry dan Wilson (2015), anomali anorektal diklasifikasikan menurut jenis
kelamin dan bagian yang terdapat kelainan termasuk sistem genitourinary dan anomali panggul
yang terkait. Tingkat penurunan usus ditentukan oleh hubungan dari terminasi usus dengan sling
puborektalis otot levator ani. Malformasi anorektal diklasifikasikan menurut jenis kelamin dan
tingkat malformasi (tinggi, sedang, dan rendah) dimana sebagian besar (50%) anak dengan
anomaly anorektal memiliki problem terkait eliminasi urin.

Tingkatan Laki – Laki Perempuan


Tinggi Anorektal agenesis (dengan atau Anorektal agenesis (Dengan atau tanpa
(High) btanpa rectoprostatic-urethra fistula) rectovaginal fistula)
Atresia rektal

Sedang Recto-bulbar-urethral fistula Rectovestibular fistula


(Intermediate) Rectovaginal fistula
Rendah Agenesis tanpa fistula Agenesis tanpa fistula
(low) Anocutaneous fistula Anovestibular fistula
Anus stenosis Anocutaneous fistula
Malformasi lain yang jarang Anus stenosis
ditemukan Cloaka
Malformasi lain yang jarang ditemukan
Tabel 2.1. Klasifikasi Malformasi Anorektal menurut Pediatr Surg Int (1986)

Kelompok Klinis Utama Jenis pada Regional Tertentu (Jarang)


Perineal (cutaneous) fistula Kantong kolon
Rectourethral fistula\Bulbar Rektal atresia/stenosis
Prostatic Rectovaginal fistula
Rectovesical fistula H-type fistula
Vestibular fistula Tipe lainnya yang jarang ditemukan
Tidak terdapat fistula
Anus stenosis
Tabel 2.2. Klasifikasi Malformasi Anorektal menurut Krickenberg (2005) dalam
Gangopadhay dan Pandey (2015)

3. Etiologi
Menurut Gangopadhay dan Pandey (2015), etiologi dari malformasi anorektal ini masih belum
jelas dan kemungkinan disebabkan oleh multifactorial. Riwayat keluarga dengan malformasi
anorektal dinilai sangat rendah untuk memicu terjadinya kasus ini pada anggota keluarga yang
lain, namun pada beberapa kasus ditemukan adanya pola pewarisan autosom dominan dengan
insiden tinggi, sebanyak 1 dalam 100. Kromosom 7q39 memiliki tiga lokus penting, yang terlibat
untuk pengembangan malformasi anorectal termasuk gen: SHH, EN2, dan HLXB9. Beberapa
penelitian menunjukkan adanya mutasi HLXB9 yang terkait dengan malformasi anorektal.
Beberapa sindrom dengan mode pewarisan dominan autosomal seperti sindrom Townes-Broks,
sindrom Currarino, dan sindrom Pallister-Hall dapat dikaitkan dengan terjadinya malformasi
anorektal.

4. Manisfestasi Klinis
Menurut Pena dan Levitt (2011), manifestasi klinis yang paling sering ditemukan pada bayi baru
lahir yaitu gagalnya pengeluaran mekonium pada 24 jam pertama setelah kelahiran dan adanya
mekonium pada urin. Pada saat bayi baru lahir, pemeriksaan umum harus
mencakup perineum, dimana tidak adanya atau lokasi abnormal pada anus
pada umumnya dapat terlihat dengan jelas. Pada bayi laki-laki, apabila tidak
terdapat anus, perlu diperhatikan terkait saluran pada anus karena bentuk
fistula yang lebih kecil sehingga diperlukan waktu hingga 24 jam agar dapat
terlihat dengan jelas (Gangopadhay dan Pandey, 2015). Hal ini disebabkan karena
untk mencerna gas dibutuhkan waktu yang lebih lama dalam perjalanan
menuju usus ke rektal.
Pada bayi perempuan, diagnosis didasarkan pada tampilan perineum dimana
pada umumnya terdapat tiga lubang yang terlihat, yaitu bagian anterior
adalah uretra, diikuti oleh vagina, keduanya berada di dalam ruang depan
dan pada belakang tubuh perineum adalah anus. Adanya tiga lubang dengan
anus yang tidak berada di tempat normalnya merupakan indikasi fistula
perineum, yang sebelumnya disebut anus perineum anterior. Apabila lubang
ketiga terlihat di ruang depan, hal ini dikenal dengan fistula vestibular.
Selanjutnya apabila terdapat hanya dua lubang maka hal ini menunjukkan
dua entitas klinis yang sangat langka, yaitu fistula vagina rekto, atau rektal
ujung tanpa fistula dan terakhir, apabila hanya terdapat satu lubang
menunjukkan kloaka persisten (Hockenberry dan Wilson, 2015).

5. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Hockenberry dan Wilson (2015), memeriksa kepatenan anus dan rektal merupakan
pengkajian rutin pada bayi baru lahir harus dilaksanakan, termasuk observasi adanya
pengeluaran mekonium. Inspeksi daerah perineum menunjukkan tidak adanya pembukaan anus
yang normal; Namun, tampilan dari daerah perineum saja tidak secara akurat memprediksi
tingkat lesi, adanya anomali genitourinarius dan pelvis yang berhubungan dengan malformasi
anorektal juga harus dipertimbangkan.
Adanya pengeluaran mekonium pada bayi baru lahir di daerah perineumnya, tidak selalu
menunjukkan kepatenan anus (terutama pada anak perempuan), karena dapat keluar melalui
vagina akibat adanya fistula. Fistula mungkin tidak tampak saat lahir tetapi mungkin menjadi
jelas karena peristaltik secara bertahap memaksa mekonium keluar melalui fistula. Fistula
rectourinary harus dicurigai apabila terdapat mekonium dalam urin. Stenosis anus mungkin tidak
dapat diidentifikasi sampai anak tersebut menjadi lebih besar dan memiliki riwayat defekasi yang
sulit, distensi abdomen, dan feses berbentuk seperti pita.
Menurut Gangopadhay dan Pandey (2015), terdapat beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan
untuk mendeteksi adanya malformasi anorektal, diantaranya yaitu:
a. Invertogram
Wangensteen dan Rice pertama kali menggambarkan penggunaan
radiografi inversi pada tahun 1930 untuk menunjukkan jarak antara
gelembung gas di dalam akhir dari usus besar dan kulit perineum.
Pengukuran langsung dilakukan antara usus yang dipenuhi gas dan kulit
anus dengan menempatkan penanda radiopak pada kulit. Selanjutnya,
garis P – C dan garis I ditentukan oleh invertografi. Jika rektal berakhir di
bawah garis P – C, tetapi tidak di bawah garis I, hal ini dapat dikatakan
tingkatannya adalah "menengah". Ketika kantong rektal yang jelas
berada pada bawah garis I, dapat disebut sebagai "rendah," sedangkan
ketika kantong berakhir di atas garis P – C disebut sebagai tipe tinggi.
b. Prone cross-table lateral view
Pada pemeriksaan ini, bayi diberikan posisi genupektoral selama 3 menit dengan keadaan
memegang bayi pada posisi telungkup dengan pinggul tertekuk. Radiografi prone lateral
yang dilakukan berpusat pada bagian atas trochanter yang lebih besar seperti dalam
invertogram. Prone cross-table lateral view memiliki beberapa keuntungan seperti
bayi akan merasa nyaman, sedangkan dalam invertogram, pada pelaksanaannya
membutuhkan bidai dan pita perekat sehingga bayi akan terus menangis karena area
puborektalis yang saling terikat selama proses pemeriksaan dan adanya deceptive obliteration
pada rektal bagian bawah.

c. Pemeriksaan Ultrasonik
Pemeriksaan ultrasonografi pada abdomen dapat dilakukan untuk mengetahui adanya
malformasi lain serta mengetahui jarak kantong perineum. Pemeriksaan ini dapat dilakukan
melalui rute transperineal atau infracoccygeal. Rute infracoccygeal dapat secara langsung
menunjukkan puborectalis yang terlihat sebagai pita berbentuk U hypoechoic. Sifat non-
invasif dan tidak ada paparan radiasi merupakan salah satu keuntungan dari proses
pemeriksaan ini.

d. Computer Tomography (CT) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI)


CT – Scan dan MRI pada pelvis telah digunakan untuk mendapatkan visualisasi langsung
dari otot sphincteric. Pemeriksaan ini digunakan untuk mengevaluasi struktural otot dasar
panggul dan hubungannya dengan kantong, untuk evaluasi pra dan pasca operasi. Lokasi
yang tepat dari fistula dan hubungannya dengan otot dasar panggul memberikan informasi
penting mengenai prosedur operasi yang akan dilakukan, apakah diperlukan pendekatan
sagital atau pendekatan melalui rute abdomen. Pemindaian MRI dan CT juga digunakan
untuk menilai perkembangan struktural dari prosedur malformasi anorektal yang berbeda dan
dapat membantu dalam membandingkan hasil antara beberapa prosedur yang berbeda. MRI
dianggap lebih unggul daripada CT scan karena gambaran karakterisasi jaringan lunak yang
sangat baik, pencitraan multiplanar, dan kurangnya radiasi ion.
Selain pemeriksaan diatas, pemeriksaan melalui Pielogram intravena (IVP)
dan cystourethrogram sangat disarankan untuk bayi dengan malformasi
tingkat tinggi untuk mengidentifikasi adanya anomali pada saluran kemih.
Pemeriksaan lebih lanjut juga dapat dilakukan apabila terdapat infeksi pada
saluran kemih atau gejala lainnya. Apabila bayi diindikasikan mengalami
suatu sindrom, diperlukan pemeriksaan lebih lanjut seperti evaluasi jantung
(pada 12% – 22 % bayi dengan tetralogy of fallot dan ventricular septal
defect) dan foto area spinal dapat dilakukan (Hockenberry dan Wilson,
2015).

6. Manajemen Terapeutik
a. Pembedahan
Manajemen terhadap malformasi anorektal berkembang, dari prosedur klasik hingga menjadi
PSARP untuk meminimalisir prosedur invasif (Gangopadhay dan Pandey, 2015). Menurut
Krickenberg (2005) dalam Gangopadhay dan Pandey (2015), klasifikasi prosedur
pembedahan yang dianjurkan bagi bayi dan anak dengan kasus malformasi anus, yaitu:
1) Perianus Operation
2) Anterior Sagittal approach
3) Sacroperineal approach
4) Posterior Sagittal anorectoplasty (PSARP)
5) Abdominosacroperineal pull-through
6) Abdominoperineal pull-thorugh
7) Laparoscopic-assisted pull-through
Penatalaksanaan operasi malformasi anorektal ada 3 tahap yaitu pembuatan kolostomi,
pembuatan saluran anus atau PSARP (Posteror sagittal anorectoplasty), dan kolostomi
tertutup (Betz dan Sowden, 2009; Hockenberry dan Wilson, 2015). Lebih lanjut,
meskipun telah dilakukan prosedur PSARP, masih terdapat kemungkinan
untuk terjadinya inkontinensia fekal dan urin karena adanya malformasi
anorektal ini. Tujuan jangka panjang terhadap anak dengan malformasi
anorektal yaitu untuk mencapai proses defekasi yang lengkap dengan
kualitas hidup yang baik.

7. Peran Perawat
Menurut Hockenberry dan Wilson (2015), tanggung jawab utama bagi seorang perawat
dalam mengidentifikasi adanya malformasi yang tidak terdeteksi. Lubang anus yang tidak
berkembang dengan baik, adanya fistula genitourinarius atau kelainan pada tulang belakang
dapat menunjukkan tingginya lesi. Pada bayi baru lahir yang tidak buang air besar dalam
waktu 24 jam setelah kelahiran membutuhkan penilaian lebih lanjut. Selain itu, mekonium
yang muncul di lubang yang tidak normal wajib dilaporkan oleh perawat. Perawat juga harus
memenuhi perawatan pra operasi apabila pada bayi akan dilakukan tindakan pembedahan,
meliputi pemeriksaan diagnostik, dekompresi saluran gastrointestinal dan pemberian cairan
melalui intravena.
Pada perawatan pasca anorektoplasti diarahkan untuk penyembuhan area perlukaan akibat
bedah tanpa infeksi atau komplikasi. Perawatan berfokus pada kebersihan area anus melalui
perawatan perineum. Pemberian tampon atau balutan sementara dapat digunakan untuk
menampung kotoran baik feses maupun urin yang keluar terus menerus. Pemberian salp
pelindung seperti zinc oxide dan balutan oklusif seperti hidrokoloid dapat mengurangi iritasi
kulit akibat seringnya defekasi. Pemberian posisi yang nyaman pada bayi yaitu posisi
tengkurap sisi samping dengan pinggul terangkat atau posisi terlentang dengan kaki
ditangguhkan pada sudut 90 derajat untuk mencegah tekanan pada jahitan perineum. Perawat
juga perlu memasang selang nasogastrik untuk dekompresi abdomen dan pemberian cairan
intravena. Perawatan bayi dengan colostomy melibatkan penggantian pakaian yang sering,
perawatan kulit yang teliti, dan penerapan penggunaan kantung kolostomi yang tepat.
Perawat juga dapat mengajarkan kepada keluarga mengenai perawatan perineum dan
perawatan luka. Orangtua diberikan informasi pentingnya mengobservasi pola pengeluaran
dari feses dan kapan harus menghubungi profesi kesehatan lainnya seperti dokter apabila
terdapat komplikasi seperti penyempitan anus (anal stricture)
Referensi

Pena, A., Levitt, M. A. (2011). Pediatric Gastrointestinal and Liver Disease. (4th, ed). Missouri:
Elsevier

Hockenberry, M. J., Wilson, D. (2015). Wong’s Nursing Care of Infants and Children. (10th, ed).
St. Louis, Missouri: Elsevier

Gangopadhay, A. N., Pandey, V. (2015). Anorectal Malformations. Journal of Indian


Association of Pediatric Surgeons, 20(1), 10 – 15. Doi: 10.4103/0971-9261.145438

Anda mungkin juga menyukai