Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya merupakan singkatan dari

NAPZA yaitu zat kimia yang apabila masuk kedalam tubuh manusia baik dengan

berbagai cara, baik dihisap, dihirup, diminum atau disuntikkan dapat berpengaruh
1
pada pikiran, emosi, dan tindakan Hampir semua jenis NAPZA akan

mengaktifkan satu sistem di otak yang mengatur rasa senang atau biasa disebut

reward system dengan meningkatkan ketersediaan dopamin di otak, di mana

dopamin merupakan suatu jenis neurotrasmitter yang bekerja mengontrol rasa

senang. Jika penyalahguna terus menerus menggunakan NAPZA maka otak akan

beradaptasi dengan keberadaan dopamine yang tinggi. Hal tersebut menyebabkan

penggunaan NAPZA berusaha untuk menjaga agar fungsi dopamin dalam

keadaan stabil atau berusaha menambah dosis NAPZA untuk mencapai dopamin

yang tinggi, dan disertai dengan penggunaan yang dilakukan secara terus menerus

atau kecanduan 2

Perkembangan jaman yang semakin maju, tentu kejahatanya pun lebih

berkembang dan terorganisir Salah satu persoalan yang sering muncul ke

permukaan dalam kehidupan masyarakat ialah tentang kejahatan pada umumnya,

seperti pada saat ini sering kita jumpai kenakalan berupa penyalahgunaan

narkotika. Di dalam Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

1
Lumbantobing. 2007. Serba-Serbi Narkotika, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia: Jakarta
2
Ikawati, Z. 2016. Mengapa Orang Bisa Kecanduan NAPZA. Tribun Jogja pp.13
Tersedia di http://farmasi.ugm.ac.id/fi les/ piotribun/2016-5-22-527805Mengapaorang-bisa-
kecanduan-NAPZA.pdf , 24 Januari 2019
Tentang Narkotika, disebutkan pengertian narkotika, yaitu zat atau obat yang

berasal dari tanaman, baik sintesis maupun semisintesis,yang dapat menyebabkan

penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai

menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang

dibedakan kedalam golongan–golongan sebagaimana terlampir dalam Undang–

undang

Narkotika sering digunakan di luar kepentingan medis dan ilmu

pengetahuan, yang pada akhirnya akan menjadi suatu bahaya bagi si pemakai,

yang pada akhirnya juga dapat menjadi pengaruh pada tatanan kehidupan sosial

masyarakat, bangsa dan Negara. Penanggulangan penyalahgunaan narkotika

bukanlah hal yang mudah untuk dilaksanakan tetapi negara telah bertekad untuk

memberantasnya. penyalahgunaan narkotika melingkupi semua lapisan

masyarakat baik miskin, kaya, tua, muda, dan bahkan anak-anak. Penyalahgunaan

narkotika dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang akhirnya merugikan

kader-kader penerus bangsa. Salah satu usaha yang dilakukan pemerintah untuk

menanggulangi masalah narkotika adalah melalui penyempurnaan dalam

pengaturan dibidang hukumnya. Penyempurnaan tersebut sangat perlu dilakukan

karena pengaruh narkotika sangat besar terhadap kelangsungan hidup suatu

bangsa. Demi penyempurnaan dibidang hukum yang khusus mengatur mengenai

narkotika, pemerintah mengundangkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

tentang Narkotika untuk menggantikan peraturan perundang-undangan yang

sebelumnya telah ada yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang

Narkotika. Sebenarnya jauh sebelum penyempurnaan didalam peraturan


hukumnya, pemerintah telah menunjukkan keseriusan dalam mencegah dan

memberantas penyalahgunaan narkotika yaitu dengan membentuk Badan

Narkotika Nasional (BNN). Badan Narkotika Nasional merupakan lembaga

pemerintah nonkementerian yang berkedudukan dibawah dan bertanggungjawab

pada Presiden yang ada disetiap provinsi dan kabupaten/kota. Berlakunya

Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, jenis Psikotropika

Golongan I dan Golongan II sebagaimana tercantum dalam Lampiran Undang-

Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika telah dipindahkan menjadi

Narkotika Golongan I menurut Undang-Undang Narkotika No. 35 Tahun 2009

dan Lampiran mengenai jenis Psikotropika Golongan I dan Golongan II dalam

Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dicabut dan dinyatakan

tidak berlaku. Kemudian yang tidak kalah menarik adalah ditemukannya beberapa

rumusan pasal yang secara tidak langsung mencoba melekatkan status korban

kepada pelaku tindak pidana narkotika tertentu seperti pecandu narkotika.

Pecandu narkotika yang tergolong dalam penyalahguna narkotika golongan 1

pada dasarnya memenuhi kualifikasi sebagai pelaku tindak pidana narkotika,

namun dalam keadaan tertentu pecandu narkotika akan lebih berkedudukan kearah

korban. Hal ini sesuai dengan pendapat Iswanto yang menyatakan bahwa :

“korban merupakan akibat perbuatan disengaja atau kelalaian, kemauan


suka rela, atau dipaksa atau ditipu, bencana alam, dan semuanya
benarbenar berisi sifat penderitaan jiwa, raga, harta dan morel serta sifat
ketidakadilan”.3

3
Iswanto, Viktimologi, Purwokerto, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman,
2009, hlm. 8.
Pecandu narkotika merupakan korban dari tindak pidana yang

dilakukannya sendiri yang dipengaruhi kemauan suka rela untuk

menyalahgunakan narkotika

Undang-Undang tersebut juga menetapkan perbuatan-perbuatan yang

berhubungan dengan narkotika dan diklasifikasikan sebagai tindak pidana, antara

lain :

1. Tindak pidana yang berkaitan dengan Prekursor Narkotika;


2. Tindak pidana yang berkaitan dengan Narkotika Golongan I;
3. Tindak pidana yang berkaitan dengan Narkotika Golongan II;
4. Tindak pidana yang berkaitan dengan Narkotika Golongan III;
5. Tindak pidana narkotika yang berkaitan dengan produksi;
6. Tindak pidana narkotika yang berkaitan dengan ekspor dan impor;
7. Tindak pidana narkotika yang berkaitan dengan penyaluran dan
peredaran;
8. Tindak pidana yang berkaitan dengan penggunaan narkotika dan
rehabilitasi.

Setiap tindak pidana akan menimbulkan pertanggungjawaban secara

pidana bagi pelakunya. Untuk sampai pada suatu kesimpulan bahwa pelaku

dikatakan bertanggungjawab atas perbuatannya, penegak hukum harus

berpedoman pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai

hukum pidana formil yang mengatur tata beracaranya. Tujuan dari hukum acara

pidana dalam Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan oleh Menteri

Kehakiman adalah sebagai berikut

Tujuan dari hukum acara pidana adalah mencari dan mendapatkan atau
setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang
selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan
ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk
mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu
pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta memeriksa dan 5 putusan
dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak
pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwakan itu dapat
dipersalahkan.
Van Bemmelen mengemukakan, tiga fungsi pokok acara pidana adalah: 4

a. Mencari dan menemukan kebenaran;


b. Pengambilan putusan oleh hakim;
c. Pelaksanaan daripada putusan.

Tahapan pengambilan putusan merupakan salah satu tahap yang menarik

perhatian, didalam tahap inilah hakim melakukan pertimbangan untuk memberi

putusan setelah sebelumnya memahami fakta-fakta yang terungkap dalam

persidangan. Putusan merupakan sebuah penentuan nasib dari seseorang yang

diduga melakukan tindak pidana. Jika pelaku terbukti secara sah dan meyakinkan

maka didalam putusan akan memuat sebuah hukuman yang sebelumnya telah

dipetimbangkan oleh majelis hakim. Berkaitan dengan tindak pidana narkotika

Mahkamah Agung pada tanggal 7 April 2010 telah mengeluarkan Surat Edaran

Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 tahun 2010 tentang Penempatan

Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Korban Pecandu Narkotika

Kedalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial. Diterbitkannya

SEMA tersebut memungkinan bagi pengadilan dalam memutus perkara tindak

pidana narkotika berupa putusan hukuman rehabilitasi, dimana tempat-tempat

yang menjadi tempat untuk rehabilitasi dimaksud telah pula ditentukan, tetapi

untuk dapat seseorang terdakwa dijatuhi hukum ini harus memenuhi beberapa

persyaratan yang terdapat dalam SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) Nomor

4 Tahun 2010 Setiap penelitian dalam penulisan karya ilmiah pasti mempunyai

beberapa alasan dalam pemilihan judul. Atas dasar uraian diatas, penulis merasa

tertarik untuk meneliti secara yuridis normatif mengenai suatu putusan di

4
Van Bemmelen dalam Andy Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta, Sinar
Grafika, 2008, hlm. 8.
Pengadilan Negeri Surabaya No. 93/Pid.Sus/2018/PN Blt. Terdapat suatu kasus

mengenai Penyalahgunaan Narkotika golongan 1 bagi diri sendiri, dimana Hakim

memutus terdakwa dengan pidana penjara selama satu tahun tanpa rehabilitasi

medis karena terdakwa tidak memenuhi syarat-syarat yang tercantum dalam Surat

Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2010.

Berdasarkan uraian tersebut mendorong penulis untuk melakukan

penelitian yang berjudul Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Golongan I

Bagi Diri Sendiri (Tinjauan Yuridis Terhadap Penerapan Undang-Undang Nomor

35 Tahun 2009 Pada Putusan Perkara Nomor : 93/Pid.Sus/2018/PN.Blt.)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka penulis

mengambil pokok permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana pertimbangan hakim dalam menerapkan unsur-unsur

tindak pidana penyalahgunaan narkotika golongan I bagi diri sendiri?

2. Bagaimana pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana dalam

perkara Nomor: 93/Pid.Sus/2018/PN. Blt?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam menerapkan unsur-

unsur tindak pidana penyalahgunaan narkotika golongan 1 bagi diri

sendiri.
2. Tujuan Khusus

Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana

dalam perkara Nomor: 93/Pid.Sus/2018/PN.Blt.

D. Kegunaan Penelitian

1. Kegunaan Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan akan dapat menambah wacana dan

pengetahuan hukum dalam bidang hukum pidana, khususnya yang

menyangkut tentang tindak pidana narkotika dalam kaitannya proses

penjatuhan putusan pidana pada kasus penyalahgunaan narkotika

golongan I bagi diri sendiri/pecandu narkotika. Berkaitan dengan

pertimbangan hukum hakim untuk menjatuhkan putusan pidana,

syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menjatuhkan putusan tersebut

dan bagaimana kedudukannya dalam sistem pemidanaan di Indonesia.

2. Kegunaan Praktis

Hasil penelitiaan ini diharapkan dapat digunakan sebagai wacana bagi

pembaca untuk menulis judul skripsi ataupun memberikan

pengetahuan baru tentang hukum pidana dan juga berguna bagi

masyarakat pada umumnya.

E. Kajian Pustaka

1. Istilah dan Pengertian Tindak Pidana

Pembentuk undang-undang telah menggunakan istilah “ strafbaar feit”

untuk menyebut apa yang disebut sebagai “tindak pidana” di dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana tanpa memberikan suatu penjelasan tentang apa


yang disebut sebagai “strafbaar feit” tersebut. Oleh karena itu timbullah beberapa

doktrin mengenai pendapat tentang makna dari istilah “strafbaar feit”tersebut.

Mengenai isi pengertian tindak pidana tidak ada kesatuan pendapat para sarjana,

berikut ini adalah beberapa pendapat para sarjana mengenai penjelasan dari istilah

“strafbaar feit” tersebut 5

Berikut ini adalah beberapa pendapat ahli hukum pidana yang juga

mengemukakan pendapatnya mengenai istilah “strafbaar feit”, antara lain:

a. Moeljatno, menggunakan istilah perbuatan pidana, yaitu :

Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana


disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi
barang siapa melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa
tindak pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang
dan diancam pidana. Asal saja dalam perbuatan itu diingat bahwa
larangan yang ditujukan pada perbuatan yaitu suatu keadaan atau suatu
kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang yang menimbulkan
kejadian itu. kejadian tidak dapat dilarang jika yang menimbulkan
bukan orang.6

b. Wirjono Prodjodikoro menggunakan istilah tindak pidana, yaitu

suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukum pidana,7

c. Utrecht menggunakan istilah peristiwa pidana, dengan alasan bahwa

istilah “peristiwa pidana” meliputi suatu perbuatan (positif) atau suatu

melalaikan (negatif) maupun akibatnya yaitu keadaan yang

ditimbulkan karena perbuatan atau melalaikan itu,8

5
P.A.F. Lamintang. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti
hlm. 24-26
6
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta, Rineka Cipta, 1982, hlm. 155.
7
Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Pidana Indonesia, Bandung, PT Refika
Aditama, 2008, hlm. 59
8
Utrecht, Hukum Pidana I, Surabaya, Pustaka Tindak Mas, 1986, hlm. 251
2. Unsur-unsur Tindak Pidana

Seseorang dapat dijatuhi pidana adalah apabila orang tersebut telah

memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang telah dirumuskan didalam suatu

peraturan perundang-undangan baik itu didalam KUHP maupun peraturan

perundang-undangan pidana lain diluar KUHP. Mengenai unsurunsur tindak

pidana Lamintang berpendapat bahwa unsur-unsur tindak pidana pada umumnya

dapat djabarkan kedalam unsur-unsur dasar yang terdiri dari unsur subyektif dan

unsur obyektif.9 Kemudian Lamintang juga menjelaskan tentang unsur-unsur

subyektif dan unsur-unsur obyektif sebagai berikut :

a. Unsur-unsur subyektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si


pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk ke
dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya;
b. Unsur-unsur obyektif yaitu unsur-unsur yang ada hubungannya dengan
keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan dari
si pelaku itu harus dilakukan.10

Rumusan unsur-unsur tindak pidana sebagaimana disebutkan di atas

dirasakan terlalu sederhana. Selain hal tersebut di atas, masih terdapat beberapa

pendapat para ahli hukum pidana mengenai unsur-unsur tindak pidana. Sama

halnya dengan istilah tindak pidana, mengenai unsur-unsur tindak pidana pun

belum terdapat kesatuan pendapat diantara para ahli hukum pidana. Setidaknya

tentang unsur-unsur tindak pidana menurut pendapat para ahli hukum pidana pada

dasarnya dapat dibedakan menjadi 2 (dua) golongan, yaitu :

9
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung, PT Citra Aditya
Bakti, 1997, hlm. 193.
10
Loc.Cit
1. Pandangan dualistis

Pandangan dualistis mengadakan pemisahan antara dilarangnya suatu

perbuatan dengan sanksi ancaman pidana (criminal act atau actus

reus) dan dapat dipertanggungjawabkan si pembuat (adanya mens rea).

Pengikut aliran dualistis, antara lain :

1) H.B. Vos

“een sraf baar feit is een menselijke gedraging waarop door de


wet (genome in de ruime zin van ”wettelijke bapaling”) straf is
gesteld, een gedraging dus, die in het algemeen (tenzij er een
uitsluitingsgrond bestaat) op straffe verboden is.

Jadi menurut Vos strafbaar feit hanya berunsurkan :

a. kelakuan manusia;

b. diancam pidana dalam undang-undang.11

2) W.P.J. Pompe berpendapat bahwa

”menurut hukum positif strafbaar feit adalah tidak lain dari feit,

yang diancam pidana dalam ketentuan undang-undang

”. (volgens ons positieve recht is het strafbaar feit niets anders een
feit, dat in oen wettelijke srafbepaling als strafbaar in
omschreven).

Memang beliau mengatakan, bahwa menurut teori, strafbaar feit


itu adalah perbuatan, yang bersifat melawan hukum, dilakukan
dengan kesalahan, dan diancam pidana. Dalam hukum positif,
demikian Pompe, sifat melawan hukum (wederrechtelijkheid) dan
kesalahan (schuld) bukanlah sifat mutlak untuk adanya tindak
pidana (strafbaar feit). Untuk penjatuhan pidana tidak cukup
dengan adanya tindak pidana, akan tetapi disamping itu harus ada
orang yang dapat dipidana. Orang ini tidak ada, jika tidak ada sifat
melawan hukum atau kesalahan.12

11
Vos dalam Sudarto, Loc. Cit.
12
Pompe dalam Sudarto, Ibid, hlm. 43.
3) Moeljatno

Dalam pidato dies natalis tersebut di atas beliau memberi arti

kepada ”perbuatan pidana” sebagai ”perbuatan yang diancam

dengan pidana, barang siapa melanggar larangan tersebut”. Untuk

adanya perbuatan pidana harus ada unsur-unsur :

a. perbuatan (manusia);

b. yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (ini

merupakan syarat formil); dan

c. bersifat melawan hukum (ini merupakan syarat materiil).13

2. Pandangan Monistis

Pandangan monistis melihat bahwa keseluruhan adanya syarat pemidanaan

merupakan sifat dari perbuatan. Pengikut aliran monistis, antara lain :

1) Simons

Stafbaar feit adalah “een straafbaar gestelde, onrechmatige, met


schuld verband staande handeling van een toerekeningssvatbaar
persoon”

Jadi unsur-unsur Stafbaar feit adalah :


a. perbuatan manusia (positief atau negatief, berbuat atau tidak
berbuat atau membiarkan);
b. diancam dengan pidana (strafbaar gesteld);
c. melawan hukum (onrechtmatig);
d. dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand);
e. oleh orang yang mampu bertanggung jawab (teorekeningsvatbaar
persoon). 14

1) Simons menyebut adanya unsur obyektif dan unsur subyektif dari

Strafbaar feit. yang disebut sebagai unsur obyektif ialah :

Moeljatno dalam Sudarto, Loc. Cit.


13

Sudarto, Hukum Pidana I (cetakan ke II), Semarang :Yayasan Sudarto d/a Fakultas
14

Hukum Undip Semarang, 1990, hlm. 41.


a. perbuatan orang;
b. akibat yang kelihatan dari perbuatan itu;
c. mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu seperti
dalam Pasal 281 KUHP sifat-sifat “openbaar” atau “dimuka umum”.

Segi subyektif dari Strafbaar feit :

a. orang yang mampu bertanggung jawab;


b. adanya kesalahan (dolus atau culpa).

Perbuatan ini harus dilakukan dengan kesalahan. Kesalahan ini

dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan atau dengan keadaan-

keadaan mana perbuatan itu dilakukan.15

2) Van Hamel Definisinya : Strafbaar feit adalah :

“een wettelijk omschreven menschelijke gedraging, onrechtmatig,

strafwaardig en aan schuld te wijten” Jadi unsur-unsurnya :

a. perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undangundang;


b. melawan hukum;
c. dilakukan dengan kesalahan dan;
d. patut dipidana. 16

3) Mezger

Die Straftat ist der Inbegriff der Voraussetzungen der Strafe (Tindak

pidana adalah keseluruhan syarat untuk adanya pidana). Selanjutnya

dikatakan : Die Straftat ist demnach tatbestandlich- rechtwidrige,

personlicht-zurechenbare strafbedrohte Hanlung. Dengan demikian

unsur-unsur tindak pidana ialah :

a. perbuatan dalam arti yang luas dari manusia (aktif atau


membiarkan);
b. sifat melawan hukum (baik bersifat obyektif maupun yang
subyektif);
c. dapat dipertanggung jawabkan kepada seseorang;
15
Simons dalam Sudarto, Loc. Cit
16
Van Hamel dalam Sudarto, Loc.Cit
d. diancam dengan pidana.17

3. Jenis-Jenis Tindak Pidana

Pembagian jenis-jenis tindak pidana dalam teori dan praktek peraturan

perundang-undangan ialah sebagai berikut :

a. Kejahatan dan Pelanggaran;


b. Delik formil dan delik materiil;
c. Delik dolus dan delik culpa;
d. Delik Commisissionis, delik Ommissionis, dan delik Commisissionis
perommisionis commisso;
e. Delik tunggal dan delik berganda;
f. Delik yang berlangsung terus dan delik yang tidak berlangsung terus;
g. Delik aduan dan delik biasa atau bukan aduan;
h. Delik ekonomi dan bukan delik ekonomi;
i. Delik sederhana dan delik yang ada pemberatannya;
j. Kejahatan ringan.

Disamping tindak pidana yang tercantum dalam KUHP ada beberapa

macam tindak pidana yang pengaturannya berada diluar KUHP atau disebut

“tindak pidana khusus”.

Adapun jenis-jenis tindak pidana di luar KUHP antara lain :

a. Tindak Pidana Imigrasi;


b. Tindak Pidana Ekonomi;
c. Tindak Pidana Narkotika.

Menurut Sudarto, yang dimaksud dengan hukum pidana khusus adalah :


“hukum pidana yang ditetapkan untuk golongan orang khusus atau yang
berhubungan dengan perbuatan-perbuatan khusus, termasuk di dalamnya
hukum pidana militer, hukum pidana ekonomi sehingga dapat disimpulkan
“undang-undang pidana khusus” itu adalah undang-undang pidana selain
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang merupakan kedudukan sentral
dari KUHP ini terutama karena di dalamnya termuat ketentuan-ketentuan
umum dari hukum pidana dalam Buku I yang berlaku juga terhadap
tindak-tindak pidana yang terdapat di luar KUHP kecuali apabila undang-
undang menentukan lain.18

17
Mezger dalam Sudarto, Ibid. hlm. 41-42.
18
Sudarto, Hukum Pidana I, Jakarta, PT. Sinar Grafika, 2007, hlm. 21
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah

merupakan salah satu bentuk Undang-undang yang mengatur tindak pidana di luar

KUHP. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika merupakan

ketentuan khusus dari ketentuan umum (KUHP) sebagai perwujudan dari asas lex

specialis derogat lex generalis. Oleh karena itu terhadap kejadian yang

menyangkut tindak pidana narkotika harus diterapkan ketentuan-ketentuan tindak

pidana dalam undang-undang tersebut, kecuali hal-hal yang belum diatur di

dalamnya.

Tinjauan Umum Tentang Narkotika

1. Pengertian Narkotika

Narkoba pada dasarnya merupakan suatu singkatan kata dari Narkotika,

Psikotropika, dan zat (bahan adiktif) lainnya. Secara terminologi dalam Kamus

Besar Bahasa Indonesia, narkoba adalah obat yang dapat menenangkan syaraf,

menghilangkan rasa sakit, menimbulkan rasa mengantuk atau rasa merangsang.

Narkotika memiliki arti yang sama dengan narcosis yang berarti membius. Ada

yang mengatakan bahwa kata narkotika berasal dari bahasa Yunani “narke” yang

berarti terbius sehingga tidak merasakan apa-apa.19

Selain itu juga ada yang berpendapat bahwa kata narkotika berasal dari

kata narcissus, sejenis tumbuh-tumbuhan yang mempunyai bunga yang dapat

membuat orang menjadi tidak sadar.20

Soedarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung : PT. Alumni, 1981, hlm. 36
19

20
Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana, Bandung, PT.
Mandar Maju, 2003, hlm. 35.
Rachman Hermawan, mendefinisikan narkotika yaitu :

“Zat yang dimakan, diminum, atau dimasukkan (disuntikkan) ke dalam


tubuh manusia, dapat mengubah satu atau lebih fungsi badan manusia.21

Pengertian narkotika secara yuridis diatur dalam Pasal 1 butir 1 Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika yang menyebutkan bahwa :

“Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilang rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan yang
dibedakan kedalam golongangolongan sebagaimana terlampir dalam
Undang-undang ini”

Jenis-Jenis Narkotika M. Ridha Ma’roef membagi jenis-jenis narkotika

menjadi dua macam, yaitu :

a. Narkotika alam : narkotika dalam penegertian sempit, termasu


didalamnya adalah berbagai jenis candu, morphine, heroin, ganja,
hashish, codein dan cocaine.
b. Narkotika sintesis : narkotika dalam pengertia yang luas, termasuk
didalamnya adalah zat-zat (obat) yang tergolong dalam tiga jenis obat
yaitu hallucinogen, depressant, dan stimulant. 22

Penggolongan jenis narkotika yang lebih terperinci diatur dalam ketentuan Pasal 6
ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika

2. Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika

1. Tindak Pidana Narkotika Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika menyatakan bahwa setiap perbuatan yang tanpa hak

berhubungan secara langsung maupun tidak langsung dengan narkotika

adalah bagian dari tindak pidana narkotika. Pada dasarnya penggunaan

narkotika hanya boleh digunakan untuk kepentingan pengobatan serta ilmu

pengetahuan dan teknologi. Apabila diketahui terdapat perbuatan diluar


21
Rachman Hermawan S., Penyalahgunaan Narkotika Oleh Para Remaja, Bandung :
Eresco, 1987, hlm. 10-11
22
Ibid, hlm.34
kepentingankepentingan sebagaiman disebutkan di atas, maka perbuatan

tersebut dikualifikasikan sebagai tindak pidana narkotika. Hal tersebut

ditegaskan oleh ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

tentang Narkotika menyatakan bahwa :

“Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan


dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.”

Tindak pidana narkotika diatur dalam Pasal 111 sampai Pasal 148

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika. Dalam segi

perbuatannya ketentuan pidana yang diatur oleh undang-undang tersebut dapat

dikelompokkan menjadi 9 (sembilan) antara lain:

a. Kejahatan yang menyangkut produksi narkotika;


b. Kejahatan yang menyangkut jual beli narkotika;
c. Kejahatan yang menyangkut pengangkutan dan trasito narkotika;
d. Kejahatan yang mengangkut penguasaan narkotika;
e. Kejahatan yang menyangkut penyalahgunaan narkotika;
f. Kejahatan yang menyangkut tidak melapor pecandu narkotika ;
g. Kejahatan yang menyangkut label dan publikasi narkotika ;
h. Kejahatan yang menyangkut jalannya peradilan narkotika;
i. Kejahatan yang menyangkut penyitaan dan pemusnahan narkotika.23

3. Penyalahgunaan Narkotika

Secara harfiah, kata penyalahgunaan berasal dari kata “salah guna” yang

artinya tidak sebagaimana mestinya atau berbuat keliru. Jadi, penyalahgunaan

narkotika dapat diartikan sebagai proses, cara, perbuatan yang menyeleweng

terhadap narkotika.

Djoko Prakoso, Bambang R. L., dan Amir M. menjelaskan yang

dimaksud dengan penyalahgunaan narkotika adalah :

23
Gatot Supramono, Hukum Narkoba Indonesia, Jakarta : Djambatan, 2001, hlm. 154.
a. Secara terus-menerus/ berkesinambungan,
b. Sekali-kali (kadang-kadang),
c. Secara berlebihan,
d. Tidak menurut petunjuk dokter (non medik).24

Secara yuridis pengertian dari penyalah guna narkotika diatur dalam Pasal

1 butir 15 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah :

“Penyalah Guna adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak


atau melawan hukum.”

Bentuk perbuatan penyalahgunaan narkotika yang paling sering dijumpai

adalah perbuatan yang mengarah kepada pecandu narkotika. Adapun pengertian

pecandu narkotika adalah seperti yang termuat didalam Pasal 1 butir 13 Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yaitu :

“Pecandu Narkotika adalah orang yang menggunakan atau


menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada
Narkotika, baik secara fisik maupun psikis.”

Sedangkan yang dimaksud dengan keadaan ketergantungan pada diri

pecandu narkotika sebagaiman diatur didalam Pasal 1 butir 14 Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yaitu :

“Ketergantungan Narkotika adalah kondisi yang ditandai oleh dorongan


untuk menggunakan Narkotika secara terus-menerus dengan takaran yang
meningkat agar menghasilkan efek yang sama dan apabila penggunaannya
dikurangi dan/atau dihentikan secara tiba-tiba, menimbulkan gejala fisik
dan psikis yang khas”.

Menurut Rachman Hermawan, menyatakan bahwa :

“Pemakaian narkotika secara terus-menerus akan mengakibatkan orang itu


bergantung pada narkotika, secara mental maupun fisik, yang dikenal
dengan istilah kebergantungan fisik dan mental. Seseorang bisa disebut
mengalami kebergantungan mental bila ia selalu terdorong oleh hasrat dan
nafsu ynag besar untuk menggunakan narkotika, karena terpikat oleh
kenikmatannya. Kebergantungan mental ini dapat mengakibatkan
perubahan perangai dan tingkah laku. Seseorang bisa disebut mengalami
24
Djoko Prakoso, Bambang R. L., Amir M., Op.Cit, hal. 489
kebergantungan fisik bila ia tidak dapat melepaskan diri dari cengkeraman
narkotika tersebut karena, apabila tidak memakai narkotika, akan
merasakan siksaan badaniah, seakan-akan dianiaya. Kebergantungan fisik
ini dapat mendorong seseorang untuk melakukan kejahatan-kejahatan,
untuk memeperoleh uang guna membeli narkotika. Kebergantungan fisik
dan mental lambat-laun dapat menimbulkan gangguan pada kesehatan.25

Perbuatan seorang pecandu narkotika merupakan suatu perbuatan

menggunakan narkotika untuk dirinya sendiri secara tanpa hak, dalam artian

dilakukan oleh seseorang tanpa melalui pengawasan dokter. Erat kaitannya

hubungan antara penyalahgunaan narkotika dengan pecandu narkotika.

Penggunaan narkotika secara tanpa hak digolongkan kedalam kelompok

penyalahguna narkotika, sedangkan telah kita ketahui bahwa penyalahgunaan

narkotika merupakan salah satu bagian tindak pidana narkotika. Sehingga secara

langsung dapat dikatakan bahwa pecandu narkotika tidak lain adalah pelaku

tindak pidana narkotika. Kedudukan pecandu narkotika sebagai pelaku tindak

pidana narkotika diperkuat dengan adanya ketentuan didalam Pasal 127 Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang mengatur mengenai

penyalahgunaan narkotika, yaitu :

(1) Setiap Penyalah Guna:

a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara


paling lama 4 (empat) tahun;
b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana
penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan
c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun.

(2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim

wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

54, Pasal 55, dan Pasal 103.


25
Rachman Hermawan S, Op. cit, hlm. 11.
(3) Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat

dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika,

Penyalah Guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan

rehabilitasi sosial “. Meskipun pecandu narkotika memiliki kualifikasi

sebagai pelaku tindak pidana narkotika, namun didalam keadaan

tertentu pecandu narkotika dapat berkedudukan lebih kearah korban.

Iswanto menyatakan bahwa korban merupakan akibat perbuatan disengaja

atau kelalaian, kemauan suka rela, atau dipaksa atau ditipu, bencana alam, dan

semuanya benar-benar berisi sifat penderitaan jiwa, raga, harta dan morel serta
26
sifat ketidakadilan”. Pecandu narkotika dapat dikatakan sebagai korban dari

tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang dilakuknnya sendiri, sehingga tidak

berlebihan jika sanksi terhadap pelaku tindak pidana ini sedikit lebih ringan

daripada pelaku tindak pidana narkotika yang lain.

Sesuai dengan hal tersebut adalah ketentuan Pasal 103 Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yaitu :

(1) Hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika dapat:

a. memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani


pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu
Narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana
Narkotika; atau
b. menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani
pengobatan dan/ atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu
Narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana
Narkotika.

26
Iswanto, Op. Cit, hlm. 8.
(2) Masa menjalani pengobatan dan/ atau perawatan bagi Pecandu

Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diperhitungkan

sebagai masa menjalani hukuman “.

Sejalan dengan ide pemikiran rehabilitasi terhadap pecandu narkotika di

atas, Mahkamah Agung pada tanggal 7 April 2010 mengeluarkan Surat Edaran

Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penempatan

Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke dalam

Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial. Diterbitkannya SEMA

tersebut memungkinan bagi pengadilan dalam memutus perkara tindak pidana

narkotika khususnya yang berkaitan dengan pecandu narkotika berupa putusan

dalam bentuk hukuman rehabilitasi.

4. Tinjauan Umum Tentang Putusan Hakim

1. Pengertian Putusan Hakim

Putusan adalah hasil atau kesimpulan dari sesuatu yang telah

dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya yang dapat berbentuk

tertulis maupun lisan. Demikian dimuat dalam buku Peristilahan dalam Praktik

yang dikeluarkan Kejaksaan Agung RI 1985 Halaman 221.27 Sedangkan

pengertian putusan sebagaimana dimaksud didalam Pasal 1 angka 11 KUHAP,

yaitu :

“Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam


sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas, atau
lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur
dalam undang-undang ini.”

Leiden Marpaung, Proses Penanganan Perkaara Pidana (Di Kejaksaan & Pengadilan
27

Negeri, Upaya Hukum & Upaya Eksekusi), Jakarta, Sinar Grafika, 2010, hlm. 129
Ada juga yang mengartikan Putusan (vonnis) sebagai Vonnis tetap

(definitief) (Kamus istilah Hukum Fockema Andreae). Rumusan-rumusan yang

kurang tepat terjadi sebagai akibat penerjemahan ahli bahasa yang bukan ahli

hukum. Sebaliknya, dalam pembangunan hukum yang sedang berlangsung

diiperlukan kecermatan dalam penggunaan istilah-istilah.

Mengenai kata Putusan yang diterjemahkan dari vonis adalah hasil akhir

dari pemeriksaan perkara di sidang pengadilan. Ada juga yang disebut

interlocutoire yang diterjemahkan dengan Keputusan antara atau keputusan sela

dan preparatoire yang diterjemahkan dengan keputusan pendahuluan/ keputusan

persiapan serta keputusan provisionele yang diterjemahkan dengan keputusan

untuk sementara. 28

2. Proses Penjatuhan Putusan Hakim

Penjatuhan putusan merupakan salah satu tahap didalam proses penegakan

hukum yang paling menarik perhatian publik. Mengenai putusan apa yang akan

dijatuhkan majelis hakim, tergantung dari hasil musyawarah yang bertitik tolak

dari surat dakwaan yang dikaitkan dengan bukti-bukti dan segala sesuatu yang

terungkap selama proses persidangan. Berkaitan dengan proses penjatuhan

putusan oleh majelis hakim maka berlaku ketentuan didalam Pasal 182 ayat (6)

KUHAP yang menyatakan bahwa:

“Pada asasnya putusan dalam musyawarah majelis hakim merupakan hasil

permufakatan bulat kecuali jika hal itu setelah diusahakan dengan sungguh-

sungguh tidak dapat dicapai, maka berlaku ketentuan sebagai berikut:

a. Putusan diambil dengan suara terbanyak;


28
Ibid, hlm. 129-130.
b. Jika ketentuan tersebut huruf a tidak juga dapat diperoleh putusan yang

dipilih adalah pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi

Terdakwa”.

Secara khusus ketentuan sebagaimana disebutkan di atas juga diatur

didalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan

Kehakiman yang menyatakan bahwa :

(1) Putusan diambil berdasarkan sidang permusyawaratan hakim yang


bersifat rahasia.
(2) Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan
pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang
diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.
(3) Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapaimufakat bulat,
pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai sidang permusyawaratan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dalam
Peraturan Mahkamah Agung”.

Sebelum majelis hakim menjatuhkan putusan, majelis hakim harus terlebih

dahulu dapat memahami secara mantap semua unsur tindak pidana yang

didakwakan, memahami unsur-unsur dari kesalahan beserta kemampuan

pertanggungjawaban pidana yang melekat pada diri pelaku.

M. H. Tirtaamidjaja, mengutarakan sebagai berikut :

“Sebagai hakim, ia harus berusaha untuk menetapkan suatu hukuman,

yang dirasakan oleh masyarakat dan si tersakwa sebagai suatu hukuman yang

setimpal dan adil.

Untuk mencapai usaha ini, ia harus memperhatikan :

a. Sifat pelanggaran pidana itu (apakah itu suatu pelanggaran pidana


yang berat atau ringan);
b. Ancaman hukuman terhadap tindak pidana itu;
c. Keadaan dan suasana waktu melakukan pelanggaran pidana itu (yang
memberatkan dan meringankan);
d. Pribadi Terdakwa apakah ia seorang penajahat tulen atau seorang
penajahat yang telah berulang-ulang dihukum (recidivist) atau seorang
penjahat untuk satu kali ini saja;
e. Sebab-sebab untuk melakukan pelanggaran pidana itu;
f. Sikap Terdakwa dalam pemeriksaan perkara itu (apakah ia menyesal
tentang kesalahannya ataukah dengan keras menyangkal meskipun
telah ada bukti yang cukup akan kesalahannya);
g. Kepentingan umum. (hukum pidana diadakan untuk melindungi
kepentingan umum, yang dalam keadaan-keadaan tertentu menurut
suatu penghukuman berat pelanggaran pidana, misalnya
penyelundupan, membuat uang palsu pada waktu negara dalam
keadaan ekonomi yang buruk, merampok pada waktu banyak
terjadinya perampokan).29

Andy Hamzah mengatakan, setiap keputusan hakim adalah salah satu dari

tiga kemungkinan :

a. Pemidanaan atau penjatuhan pidana dan/ atau tata tertib;


b. Putusan bebas;
c. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum.30

F. Metode Penelitian

1) Jenis Penelitian

Metode penelitian hukum dapat dilakukan melalui pendekatan yuridis

normatif. Metode pendekatan yuridis normatif digunakan untuk mengkaji /

menganalisis data skunder yang berupa bahan-bahan hukum, terutama

bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder. Untuk

lebih mempertajam, penelitian tidak hanya berhenti pada hukum positif,

tetapi diperkaya dengan metode yuridis komparatif. 31

2) Tipe Penelitian

29
Ibid, hlm. 139-140
30
Andy Hamzah, Op.cit, hlm. 285
31
Lihat klasifikasi bahan hukum primer dan skunder pada : Ronny Hanitijo Soemitro,
Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri,Ghalia Indonesia, 1988, hal. 11 – 12.
Bertitik tolak dari judul dan permasalahan yang mendasari penelitian ini,

maka penelitian ini termasuk jenis penelitian deskriptif analitis. Menurut

Burhan Bungin, penelitian sosial yang menggunakan format deskriptif

bertujuan untuk menggambarkan, meringkaskan berbagai kondisi,

berbagai situasi atau berbagai variabel yang timbul di masyarakat yang

menjadi obyek penelitian itu. Kemudian menarik ke permukaan sebagai

suatu ciri atau gambaran tentang kondisi, situasi tertentu. 32


Di samping

itu, penelitian ini juga merupakan penelitian preskriptif yaitu suatu

penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan saran-saran mengenai apa

yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah tertentu.

3) Pendekatan Masalah

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

pendekatan yuridis normatif, yaitu pendekatan yang menggunakan

konsepsi legis positivis . Konsep ini memandang hukum itu identik dengan

norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh pejabat atau

lembaga yang berwenang. Selain itu konsepsi tersebut melihat hukum dari

suatu sistem normatif yang bersifat otonom, terlepas dari kehidupan

masyarakat. Penelitian hukum normatif merupakan penelitian

kepustakaan, yaitu penelitian terhadap data sekunder. Dengan mengadakan

penelitian kepustakaan akan diperoleh data awal untuk dipergunakan

dalam penelitian lapangan. Yang perlu diperhatikan dalam melakukan

kepustakaan adalah:

32
Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Sosial : Format-Format Kantitatif dan
Kualitatif, Airlangga University press, 2001, hal. 48
1. Adakalanya data sekunder dianggap sebagai data tuntas.
2. Authentisaitas (keaslian) data sekunder harus diperiksa secara kritis
sebelum dipergunakan pada penelitian yang dilakukan sendiri
3. Apabila tidak ada penjelasan, sukar untuk mengetahui metode apa
yang dipergunakan dalam pengumpulan dan pengolahan data sekunder
tersebut
4. Kerapkali sukar untuk mengetahui secara pasti lokasi terkumpulnya
data sekunder tersebut.33.

Oleh karena itu perlu inventaris buku sebagai penunjang data

sekunder tersebut untuk menganalisis terhadap permasalahan yang

dihadapi. Pengujian terhadap penelitian ini adalah dengan peraturan-

peraturan yang ada apakah sudah sesuai dengan aturan atau

belum.Oleh karena itu perlu inventaris buku sebagai penunjang data

sekunder tersebut untuk menganalisis terhadap permasalahan yang

dihadapi. Pengujian terhadap penelitian ini adalah dengan peraturan-

peraturan yang ada apakah sudah sesuai dengan aturan atau belum.

Penelitian kali ini mengenai studi putusan tentang tindak pidana

narkotika yang berkaitan dengan sistem pemidanaan di Indonesia,

selain itu juga untuk memperoleh kepastian terhadap penjatuhan

putusan pidana di dalam tindak pidana narkotika golongan I bagi diri

sendiri yang berhubungan langsung dengan pertimbangan hukum

hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa berdasarkan

Putusan Nomor : 93/Pid.Sus/2018/PN.Blt.

5. Sumber Bahan Hukum/Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder.

Peneliti dalam hal ini akan melakukan penelitian hukum normatif,


33
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum , Jakarta : Ghalia Indonesia,
1983, hlm. 11-12.
maka dalam penelitiannya lebih ditekankan pada pencarian data

sekunder sedangkan data yang lainnya dijadikan sebagai data

penunjang. Data sekunder di bidang hukum antara lain :

1) Bahan-bahan hukum primer

Data yang bersumber bahan-bahan hukum primer berupa norma

dasar Pancasila, batang tubuh UUD 1945, peraturan perundang-

undangan, putusan pengadilan yang sudah tetap, dan sebagainya

yang mempunyai kekuatan mengikat. Kemudian bahan hukum

sekunder yang berhubungan erat dengan bahan hukum primer dan

dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum

primer seperti rancangan peraturan perundangundangan, hasil

karya ilmiah para sarjana (buku-buku kepustakaan) dan hasil-hasil

penelitian dan yang terakhir bahan hukum tersier yaitu bahanbahan

yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan

bahan hukum sekunder seperti bibliografi dan indeks kumulatif.

Bahan hukum yang digunakan peneliti ini diperoleh dari salah satu

putusan hakim mengenai perkara tindak pidana penyalahgunaan

narkotika golongan I di Pengadilan Negeri Blitar dengan nomor :

93/Pid.Sus/2018/PN.Blt.

2) Bahan-bahan hukum sekunder

Bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum

sekunder yang digunakan oleh peneliti dan dapat membantu

menganalisis dan memahami bahan hukum sekunder, seperti :


a. Buku-buku hasil karya ilmiah para sarjana

b. Hasil-hasil penelitian

c. Rancangan peraturan perundang undang-undangan

3) Bahan hukum tersier

Bahan-bahan yang memberikan petunjuk, informasi maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder, contohnya adalah Kamus Besar Ilmiah Populer dan

Kamus Hukum.

6. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum

Untuk memperoleh data di lapangan, penulis menggunakan beberapa

teknik pengumpulan data diantaranya, yaitu :

1) Wawancara dilakukan untuk melengkapi kajian yuridis-normatif,

baik terhadap para pakar hukum (pidana), maupun perorangan /

lembaga pemerhati / pakar / terlibat guna mengetahui, menggali

dan mencari upaya-upaya yang telah, sedang dan akan dilakukan

dalam penegakan hukum

2) Dokumentasi, yaitu dengan jalan melakukan pencatatan-pencatatan

atau mengcopy terhadap data yang sudah ada.

3) Studi kepustakaan, yaitu studi yang dilakukan dengan cara

mempergunakan bahan-bahan yang digali dari kepustakaan,

misalnya dengan membaca buku-buku, majalah maupun dokumen-

dokumen lainnya. 34
perbandingan dengan penelitian lapangan

34
Ronny Hanitidjo Soemitro, Metodologi Penelitian Ilmu Hukum dan Jurimetri,Ghalia
Indonesia, Semarang,1988
yang nantinya dapat dipakai sebagai dasar untuk menarik suatu

kesimpulan.

7. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

Metode analisis dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan

analitis normative kualitative yaitu data yang diperoleh akan dianalisis

dan dijabarkan dengan pembahasan dan penjabaran hasil-hasil

penelitian dengan mendasarkan pada norma-norma dan doktrin-doktrin

yang berkaitan dengan materi yang diteliti untuk menjawab

permasalahan. Penelitian yang dilakukan penulis adalah menganalisis

terhadap putusan pengadilan yang kemudian sandarkan dengan

peraturan hukum yang terkait dengan putusan tersebut yaitu Undang-

undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab UndangUndang Hukum Pidana

(KUHP), Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP dan

Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 tahun 2010 tentang

Penempatan Penyalahgunaan. Analisis tersebut nantinya akan

memberikan argumentasi yuridis terhadap pertimbangan-pertimbangan

hukum hakim yang memutus perkara tersebut.

G. Sistimatika Penulisan

Sistem penulisan skripsi ini oleh penulis dimaksudkan untuk memberi

perincian secara garis besar isi dari skripsi ini. Dalam penyusunannya

skripsi ini akan dibagi menjadi 4 (empat) bab dengan susunan sebagai

berikut :
BAB I : Bab ini merupakan pendahuluan. Dalam bab ini diuraikan tentang

latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan,

kajian pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II :Dalam bab ini akan diuraikan tentang Bagaimana pertimbangan

hakim dalam menerapkan unsur-unsur tindak pidana penyalahgunaan

narkotika golongan I bagi diri sendiri

BAB III : Bab ini membahas mengenai Bagaimana pertimbangan hakim

dalam menjatuhkan pidana dalam perkara Nomor: 93/Pid.Sus/2019/PN.

Blt

BAB IV : Bab terakhir ini merupakan kesimpulan dan saran.

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Bassar, M. Sudrajat. 1983. Hukum Pidana (Pelengkap KUHP). Bandung: Armico.
Farid, Zainal Abidin. 2002. Hukum Pidana I. Jakarta: Sinar Grafika
M. Sholehuddin. 2003. Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana Ide Dasar Double
Track System & Implementasinya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Hermawan S., Rachman. 1987. Penyalahgunaan Narkotika Oleh Para Remaja.
Bandung: Eresco.
Iswanto. 2009. Viktimologi. Purwokerto: Fakultas Hukum Universitas Jenderal
Soedirman.
Lamintang, P.A.F.. 1997. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Citra
Aditya Bakti
Lumbantobing. 2007. Serba-Serbi Narkotika, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia: Jakarta

Hamzah, Andi. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Marpaung, Leiden. 2010. Proses Penanganan Perkaara Pidana (Di Kejaksaan &
Pengadilan Negeri, Upaya Hukum & Upaya Eksekusi). Jakarta: Sinar
Grafika.
Moeljatno. 1982. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.
_________. 1983. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: PT Bina Aksara
Poernomo, Bambang. 1986. Asas Hukum Pidana. Jakarta: PT. Ghalia Indonesia.
Prodjodikoro, Wirjono. 2008. Azas-Azas Hukum Pidana Indonesia. Bandung: PT
Refika Aditama.
Saleh, Roeslan. 1983. Perubahan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Jakarta:
Aksara Baru.
Sasangka, Hari. 2003. Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana.
Bandung: PT. Mandar Maju.
Soedarto. 1981. Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: PT. Alumni.
_______. 1986. Kapita Selekta Hukum Pidana (Cetakan II). Bandung: Alumni
_______. 1990. Hukum pidana I. Semarang: Yayasan Sudarto
_______. 2001. Hukum Pidana Jilid I A-B. Purwokerto: Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman.
Soemitro, Ronny Hanitijo. 1983. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Sudarsono. 1995. Kenakalan Remaja, Prevensi, Rehabilitasi, dan Rasionalisasi.
Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Sudarto . 2007. Hukum Pidana I. Jakarta: PT. Sinar Grafika.
Supramono, Gatot. 2001. Hukum Narkoba Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Utrecht. 1986. Hukum Pidana I. Surabaya: Pustaka Tindak Mas.
Keterangan Presiden Republik Indonesia Mengenai Rancangan Undang-Undang
Republik Indonesia Tentang Narkotika, http://www.legalitas.org, diakses pada
tanggal 24 Januari 2019.
B. Peraturan Perundang-undangan Indonesia,
Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 Tentang Menyatakan Berlakunya
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk
Seluruh Wilayah Republik Indonesia, dan Mengubah Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 127). Indonesia,
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang pengadilan Anak Indonesia,
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran
Negara Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3204).
Indonesia,
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Lembaran Negara
Tahun 2009 Nomor 143). Indonesia,
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
(Tambahan Lembaran Negara Nomor 5076).
C. Sumber Yuridis
Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2010 tentang
Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke
dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial.

PROPOSAL

TINDAK PIDANAPENYALAHGUNAAN NARKOTIKA

GOLONGAN I UNTUK DIRI SENDIRI

(Studi kasus putusan No.93/Pid.Sus/2018/PN.Blt)


Oleh

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS BHAYANGKARA

2019

Anda mungkin juga menyukai