Anda di halaman 1dari 59

LAPORAN DISKUSI KELOMPOK

MODUL GINJAL DAN CAIRAN TUBUH

PEMICU 1

KELOMPOK DK 1 :

1. Estela Salomina Momot I1011131022


2. Trifosa Pujiningtyas Bahe I1011161050
3. Raisah Hulaimah N. I1011171053
4. Billy Aditya Andrean I1011181002
5. Namira Alifah Fahiratunnisa I1011181009
6. Milenia Nadhita I1011181012
7. Suci Athia I1011181029
8. Agatha I1011181034
9. Muhammad Akhdanu Fadhil I1011181042
10. Richo Galih Dwiputra I1011181048
11. Risa Ananta Putri I1011181049
12. Dhevio Riziody Angelo I1011181083
13. Melatiana Lestari I1011181090
14. Dery Wahyudi I1011181094

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS TANJUNGPURA

PONTIANAK

2020
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Pemicu

Danang 21 tahun, seorang mahasiswa FK Untan mendapati BAK nya berwarna


kuning bening di pagi hari setelah sarapan pagi. Selama kuliah, Danang sangat aktif
dan sering terlupa untuk minum. Di sore harinya Danang rutin olahraga jogging selama
30 menit. Setelah jogging, Danang mendapati kali ini BAK nya sedikit dan berwarna
kuning pekat. Selain itu Danang juga merasa sangat haus, lalu disarankan oleh
temannya untuk minum air mineral yang cukup.

1.2. Klarifikasi dan Definisi


-

1.3. Kata Kunci


1. Danang, 21 tahun
2. BAK kuning bening pada pagi hari
3. Sangat aktif beraktivitas
4. Sering lupa minum
5. Rutin olahraga
6. BAK sedikit dan kuning pekat pada sore hari
7. Merasa sangat haus

1.4. Rumusan Masalah


Danang (21th), sangat aktif beraktivitas dan sering lupa minum, ia mendapati urinnya
berwarna kuning bening di pagi hari dan sedikit serta berwarna kuning pekat setelah
olahraga.
1.5. Analisis Masalah
Danang, 21 th

Aktivitas Kurang Asupan Air

Olahraga Hormon ADH


Kuliah Filtrasi

Reabsorpsi
Berkeringat Absorbsi Cairan Ginjal

Augmentasi
Ginjal Sel Cerna
Ekskresi Air Air Seni
Anat Fisio Histo
Kulit
Volume Warna Kepekatan

Asupan Air Tingkat Dehidrasi


Rendah Hidrasi
Tubuh
Kehausan

1.6. Hipotesis

Perubahan warna dan kuantitas urin pada Danang (21 tahun) dipengaruhi oleh aktivitas
dan asupan cairan yang diterima.

1.7. Pertanyaan Diskusi


1. Sistem urinaria
a. Anatomi
b. Histologi
c. Fisiologi
d. Biokimia
2. Faktor yang mempengaruhi produksi urin
3. Bagaimana mekanisme pemekatan dan pengenceran urin?
4. Proses pembentukan warna urin
5. Bagaimana karakteristik urin normal?
6. Bagaimana fisiologi proses menahan BAK ?
7. Keseimbangan cairan tubuh
8. Kebutuhan air minum bagi tubuh manusia
9. Bagaimana hubungan aktifitas fisik terhadap kebutuhan cairan
10. Mekanisme haus
11. Adaptasi tubuh terhadap dehidrasi
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Sistem Urinaria
2.1.1. Anatomi1
Sistem kemih terdiri dari dua ren yang terletak pada dinding posterior
abdomen; dua ureter yang berjalan ke bawah pada dinding posterior abdomen
dan masuk ke pelvis; satu vesica urinaria yang terletak di dalam cavitas pelvis,
dan satu urethra yang berjalan melalui perineum.

Gambar 1. Dinding Posterior Abdomen, memperlihatkan ren dan


ureter

1. Ren
a. Lokasi dan deskripsi
Kedua ren berwarna coklat kemerahan dan terletak di belakang
peritoneum, pada dinding postedor abdomen di samping kanan dan kiri
columna vertebralis; dan sebagian besar tertutup oleh arcus costalis. Ren
dextra terletak sedikit lebih rendah dibandingkan ren sinistra, karena
adanya lobus hepatis dextra yang besar. Bila diaphragma berkontraksi
pada waktu respirasi, kedua ren turun dengan arah vertikal sampai
sejauh 1 inci (2,5 cm). Pada margo medialis masing-masing ren yang
cekung/ terdapat celah vertikal yang dibatasi oleh pinggir-pinggir
substansi ren yang tebal dan disebut hilus renalis. Hilus renalis meluas
ke rongga yang besar disebut sinus renalis. Hilus renalis dilalui dari
depan ke belakang oleh vena renalis, dua cabang arteria renalis, ureter,
dan cabang ketiga arteria renalis (V.A.U.A.). Pembuluh-pembuluh
limfatik dan serabut-serabut simpatik juga melalui hilus ini.
b. Selubung Ren
Ren mempunyai selubung sebagai berikut:
1) Capsula fibrosa: Meliputi ren dan melekat dengan erat pada
permukaan luar ren.
2) Capsula adiposa: Lemak ini meliputi capsula fibrosa.
3) Fascia renalis: Merupakan kondensasi dari jaringan ikat yang terletak
di luar capsula adiposa dan meliputi ren serta glandula suprarenalis.
Di lateral fascia ini melanjutkan diri sebagai fascia transversalis.
4) Corpus adiposum pararenale: Terletak di luar fascia renalis dan
sering didapatkan dalam jumlah besar. Lemak ini membentuk
sebagian iemak retroperitoneal.

c. Struktur ren
Masing-masing ren mempunyai cortex renalis di bagian 1uar, yang
berwarna coklat gelap, dan medula renalis di bagian dalam yang lebih
terang. Medula renalis terdiri atas kira-kira selusin pyramis medullae
renalis, yang masing-masing mempunyai basis menghadap ke cortex
renalis dan apex, papilla renalis yang menonjol ke media. Bagian cortex
yang menonjol ke medula di antara pyramis medullae yang berdekatan
disebut columna renalis. Bagian bergaris-garis yang membentang dari
basis pyramidis renalis menuju ke cortex disebut radii medullares.
Sinus renalis merupakan ruangan di dalam hilus renalis, berisi
pelebaran ke atas dari ureter, disebut pelvis renalis. Pelvis renalis terbagi
menjadi dua atau tiga calices renales majores, yang masing-masing akan
bercabang menjadi dua atau tiga calices renales minore . Setiap calyx
minor diinvaginasi oleh apex pyramidis renalis yang disebut papilla
renalis.

Gambar 2. A. Ren dextra, facies anterior. B. Ren dextra, potongan


coronal, memperlihatkan cortex, medulla, pyramis medullae, papilla
renalis, dan calices.

d. Perdarahan
1) Arteri
Arteria renalis berasal dari aorta setinggi vertebra lumbalis II.
Masing-masing arteria renalis biasanya bercabang menjadi lima
Arteria segmentalis yang masuk ke dalam hilus renalis, empat di
depan dan satu di belakang pelvis renalis. Arteri-arteri ini mendarahi
segmen-segmen atau area yang berbeda. Arteriae lobares berasal
dari masing-masing arteria segmentalis, masingmasing satu buah
untuk satu pyramis medullae renalis. Sebelum masuk substansia
renalis setiap arteria lobaris mencabangkan dua atau tiga arteria
interlobari. Arteriae interlobares berjalan menuju cortex di antara
pyramis medullae renalis. Pada perbatasan cortex dan medulla
renalis, arteriae interlobares mencabangkan arteriae atcuatae yang
melengkung di atas basis pyramidis medullae. Arteriae arcuatae
mencabangkan sejumlah arteriae interlobulares yang berjalan ke atas
di dalam cortex. Arteriolae aferen glomerulus merupakan cabang-
cabang arteriae interlobulares.
2) Vena
Vena renalis keluar dari hilus di depan arteria renalis dan
bermuara
ke vena cava inferior.

Gambar 3. Potongan ren yang memperlihatkan posisi nephron


dan susunan pembuluh darah di dalam ren
2. Ureter
a) Lokasi dan deskripsi
Kedua ureter merupakan saluran muskular yang terbentang dari ren ke
facies posterior vesica urinaria (Gambar 21-1). Setiap ureter mempunyai
panjang sekitar 10 inci (25 cm) dengan diameter kurang dari 0,5 inci
(1.25 cm). Ureter mempunyai tiga penyempitan sepanjang
perjalanannya:
 Di tempat pelvis renalis berhubungan dengan ureter
 Di tempat ureter melengkung pada waktu menyilang aperfura pelvis
superior
 Di tempat ureter menembus dinding vesica urinaria.
Pada ujung atasnya, ureter melebar membentuk corong disebut
pelvis renalis. Bagian ini terletak di dalam hilus renalis dan menerima
calices renales majores. Uteter keluar dari hilus renalis dan berjalan
vertikal ke bawah di belakang peritoneum parietale (melekat padanya)
pada musculus psoas, yang memisahkanlya dari ujung processus
transversus vertebrae lumbalis. Ureter masuk ke pelvis dengan
menyilang bifurcation arteria iliaca communis di depan articulatio
sacroiliaca. Kemudian ureter berjalan ke bawah pada dinding lateral
pelvis menuju ke daerah spina ishiadica dan berbelok ke depan untuk
masuk ke angulus lateralis vesica urinaria.

Gambar 4. Uretra
3. Vesica Urinaria
a) Lokasi dan deskripsi
Vesica urinaria terietak tepat dibelakang os pubis di dalam rongga
pelvis. Pada orang dewasa, kapasitas maksimum vesica urinaria sekitar
500 m1. Vesica urinaria mempunyai dinding otot yang kuat. Bentuk dan
batas-batasnya sangat bervariasi sesuai dengan jumlah urin yang
dikandungnya. Vesica urinaria yang kosong pada orang dewasa terletak
seluruhnya di dalam pelvis; waktu terisi, dinding atasnya terangkat
sampai masuk regio hypogastrica. Pada anak kecil, vesica urinaria yang
kosong menonjol di atas pintu atas panggul; kemudian bila rongga
pelvis membesar, vesica urinaria terbenam ke dalam pelvis untuk
menempati posisi seperti pada
orang dewasa.
b) Permukaan interior vesica urinaria
Tunica mucosa sebagian besar berlipat-lipat pada vesica urinaria
yang kosong dan lipatan-lipatan tersebut akan hilang bila vesica urinaria
terisi penuh. Area tunica mucosa yang meliputi permukaandalam basis
vesicae urinariae dinamakan trigonum vesicae. Di sini, funica mucosa
selalu licin, walaupun dalam keadaan kosong, karena membrana mucosa
pada trigonum ini melekat dengan erat pada lapisan otot yang ada di
bawahnya. Sudut superior trigonum ini merupakan tempat muara dari
ureter dan sudut inferiornya merupakan orificium urethrae internum.
Ureter menembus dinding vesica urinaria secara miring dan keadaan ini
yang membuat fungsinya seperti katup, yang mencegah aliran balik urin
ke ren pada waktu vesica urinaria terisi. Trigonum vesicae di atas
dibatasi oleh rigi muscular yang berjalan dari muara ureter yang satu ke
muara ureter yang lain dan disebut sebagai plica interureterica. Uvula
vesicae merupakan tonjolan kecil yang terletak tepat di belakang
orificum urethrae yang disebabkan oleh lobus medius prostatae yang
ada di bawahnya.
Gambar 5. Vesica Urinaria

4. Uretra
Urethra merupakan tabung kecil dari collum vesicae ke luar. Muara urethra
pada permukaan luar disebut ostium urethrae.
a) Urethra Masculina
Panjang urethra masculina kurang lebih 8 inci (20 cm) dan
terbentang dari collum vesicae ke meatus externus di glans penis.
Urethra terbagi atas tiga bagian: pars prostatica, pars membranacea, dan
pars spongiosa. Urethra pars prostatica panjangnya kurang lebih 7,25
inci (3 cm) dan mulai dari collum vesicae. Urethra pars prostatica
berjalan melalui prostat dari basis sampai ke apex.
Urethra pars prostatica merupakan bagian yang paling lebar dan
berdiameter paling lebar dari seluruh urethra. Pada dinding poaterior
terdapat peninggian longitudinal yang disebut crista urethralis. Pada
setiap sisi crista urethralis terdapat alur yang disebut sinus prostaticus,
glandulae prostatae bermuara pada sinus ini. Pada puncak crista pubica
terdapat cekungan, disebut utriculus prostaticus. Pada pinggir utriculus
terdapat muara kedua ductus ejaculatorius.
Urethra pars membranacea panjangnya kurang lebih 0,5 inci (1,25
cm), terletak di dalam diaphragma urogenitale, dikelilingi oleh musculus
sphincter urethrae. Bagian ini merupakan bagian urethra yang paling
pendek dan paling kurang dapat dilebarkan.
Urethra pars spongiosa panjangnya kurang lebih 6 nci (15,75 cm)
dan dikelilingi jaringan erektil di dalam bulbus dan corpus spongiosum
penis. Meatus urethrae externus merupakan bagian yang tersempit dari
seluruh urethra. Bagian urethra yang terletak di dalam glans penis
melebar membentuk fossa terminalis (fossa navicularis). Glandula
bulbourethralis bermuara ke daiam urethra pars spongiosa distalis dari
diaphragma urogenital.
Gambar 6. Uretra Masculina

b) Uretra Feminina
Urethra feminina panjangnya sekitar 1,5 inci (3,8 cm). Urethra
terbentang dari collum vesicae urinariae sampai meafus urethrae
externus, yangbermuara ke dalam vestibulum sekitar 1 inci (2,5 cm)
distal dari clitoris. Urethra menembus musculus sphincter urethrae dan
terletak tepai dr depan vagina. Di samping meatus urethrae externus
terdapat muara kecil dari ductus glandula paraurethralis. Urethra dapat
dilebarkan dengan mudah.

Gambar 7. Uretra Feminina

2.1.2. Histologi
Sistem urinaria merupakan sistem yang penting untuk membuang sisa-
sisa metabolisme makanan yang dihasilkan oleh tubuh terutama senyawa-
senyawa nitrogen seperti urea dan kreatinin, bahan asing dan produk sisa
metabolisme. Sampah metabolisme ini dikeluarkan (disekresikan) oleh ginjal
dalam bentuk urin. Urin kemudian akan turun melewati ureter menuju kandung
kemih untuk disimpan sementara dan akhirnya secara periodik akan
dikeluarkan melalui uretra. Sistem urinaria manusia terdiri dari dua ginjal, dua
ureter, vesika urinaria (urinary bladder/ kandung kemih), dan uretra.

1. Ginjal
Ginjal berbentuk seperti kacang merah dengan panjang 10-12 cm
dan tebal 3,5-5 cm, terletak retroperitoneal di sebelah atas rongga abdomen.
Ginjal kanan terletak lebih ke bawah dibandingkan ginjal kiri. Secara
histologi ginjal terbungkus dalam kapsul jaringan lemak dan jaringan ikat
kolagen. Organ ini terdiri atas bagian korteks dan medula yang satu sama
lain tidak dibatasi oleh jaringan pembatas khusus, ada bagian medula yang
masuk ke korteks (prosesus Ferreini) dan ada bagian korteks yang masuk ke
medula (kolumna renalis Bertini). Bangunan-bangunan yang terdapat pada
korteks dan medula ginjal yaitu Korteks ginjal terdiri atas beberapa
bangunan, yait Korpus Malphigi (Korpus renalis) terdiri atas kapsula
Bowman dan glomerulus dan bagian sistim tubulus yaitu tubulus kontortus
proksimalis dan tubulus kontortus distal.
Medula ginjal terdiri atas beberapa bangunan yang merupakan
bagian sistem tubulus, yaitu pars ascendens dan descendens ansa Henle,
bagian tipis ansa Henle, duktus koligens, dan duktus papilaris Bellini.

2. Tubulus Uriniferus
Tubulus uriniferus merupakan unit fungsional terkecil dalam ginjal.
Tubulus uriniferus terdiri dari nefron dan tubulus koligens. Nefron terdiri dari
dua bangunan, korpus renalis dengan tubulus renalis. Korpus renalis terdiri
atas 2 macam bangunan yaitu kapsul Bowman dan glomerulus.2 Kapsul
Bowman merupakan pelebaran ujung proksimal saluran keluar ginjal (nefron)
yang dibatasi epitel. Bagian ini diinvaginasi oleh glomerulus. Dinding sebelah
luar disebut lapis parietal (pars parietal) sedangkan dinding dalam disebut
lapis viseral (pars viseralis) yang melekat erat pada glomerulus. Ruang
diantara ke dua lapisan ini sebut ruang Bowman yang berisi cairan
ultrafiltrasi. Dari ruang ini cairan ultrafiltrasi akan masuk ke dalam tubulus
kontortus proksimal.
Glomerulus merupakan bangunan yang berbentuk khas, bundar
dengan warna yang lebih tua daripada sekitarnya karena sel-selnya tersusun
lebih padat. Glomerulus merupakan pembuluh kapiler. Glomerulus ini akan
diliputi oleh epitel pars viseralis kapsul Bowman. Di sebelah luar terdapat
ruang Bowman yang akan menampung cairan ultra filtrasi dan
meneruskannya ke tubulus kontortus proksimal.
Kapsul Bowman lapis parietal pada satu kutub bertautan dengan
tubulus kontortus proksimal yang membentuk kutub tubular (urinary pole),
sedangkan pada kutub yang berlawanan bertautan dengan arteriol yang masuk
dan keluar dari glomerulus terdapat kutub yang disebut kutub vaskular.
Arteriol glomerular aferent masuk kemudian bercabang-cabang lagi menjadi
sejumlah kapiler yang bergulung-gulung. Pembuluh kapiler ini diliputi oleh
sel-sel khusus yang disebut sel podosit. Sel podosit ini dapat dilihat dengan
mikroskop elektron. Kapiler-kapiler ini kemudian bergabung lagi membentuk
arteriol yang selanjutnya keluar dari glomerulus dan menjadi arteriol
glomerular eferen.4
3. Aparatus Juksta-Glomerular
Sel-sel otot polos dinding arteriol aferent di dekat glomerulus berubah
sifatnya menjadi sel epiteloid. Sel-sel ini tampak terang dan di dalam
sitoplasmanya terdapat granula yang mengandung enzim renin, suatu enzim
yang diperlukan dalam mengontrol tekanan darah. Sel-sel ini dikenal sebagai
sel juksta glomerular.
Sel-sel juksta glomerular di sisi luar akan berhimpitan dengan sel-sel
makula densa, yang merupakan epitel dinding tubulus kontortus distal yang
berjalan berhimpitan dengan kutub vaskular. Pada bagian ini sel dinding
tubulus tersusun lebih padat daripada bagian lain. Sel-sel makula densa ini
sensitif terhadap perubahan konsentrasi ion natrium dalam cairan di tubulus
kontortus distal. Menurunnya konsentrasi ion natrium dalam cairan tubulus
kontortus distal akan merangsang sel-sel makula densa (berfungsi sebagai
osmoreseptor) untuk memberikan sinyal kepada sel-sel juksta glomerulus
agar mengeluarkan renin. Sel makula densa dan juksta glomerular bersama-
sama membentuk aparatus juksta-glomerular.
Di antara aparatus juksta glomerular dan arteriol eferen glomerulus
terdapat sekelompok sel kecil-kecil yang terang disebut sel mesangial
ekstraglomerular atau sel polkisen (bantalan) atau sel lacis. Fungsi sel-sel
ini masih belum jelas, tetapi diduga sel-sel ini berperan dalam mekanisma
umpan balik tubuloglomerular. Perubahan konsentrasi ion natrium pada
makula densa akan memberi sinyal yang secara langsung mengontrol aliran
darah glomerular. Sel-sel mesangial ekstraglomerular diduga berperan dalam
penerusan sinyal di makula densa ke sel-sel juksta glomerular. Selain itu sel-
sel ini menghasilkan hormon eritropoetin, yaitu suatu hormon yang akan
merangsang sintesa sel-sel darah merah (eritrosit) di sumsum tulang.
4. Tubulus Ginjal
a. Tubulus Kontortus Proksimal
Tubulus kontortus proksimal berjalan berkelok-kelok dan berakhir
sebagai saluran yang lurus di medula ginjal (pars desendens Ansa Henle).
Dindingnya disusun oleh selapis sel kuboid dengan batas-batas yang sukar
dilihat. Inti sel bulat, bundar, biru dan biasanya terletak agak berjauhan
satu sama lain. Sitoplasmanya bewarna kemerahan. Permukaan sel yang
menghadap ke lumen mempunyai mikrovili (brush border). Tubulus ini
terletak di korteks ginjal.
Fungsi tubulus kontortus proksimal adalah mengurangi isi filtrat
glomerulus 80-85 persen dengan cara reabsorpsi via transport dan pompa
natrium. Glukosa, asam amino dan protein seperti bikarbonat, akan
direabsorpsi.
b. Ansa Henle
Ansa henle terbagi atas 3 bagian yaitu bagian tebal turun (pars
desendens), bagian tipis (segmen tipis) dan bagian tebal naik (pars
asendens). Segmen tebal turun mempunyai gambaran mirip dengan
tubulus kontortus proksimal, sedangkan segmen tebal naik mempunyai
gambaran mirip tubulus kontortus distal. Segmen tipis ansa henle
mempunyai tampilan mirip pembuluh kapiler darah, tetapi epitelnya
sekalipun hanya terdiri atas selapis sel gepeng, sedikit lebih tebal sehingga
sitoplasmanya lebih jelas terlihat. Selain itu lumennya tampak kosong.
Ansa henle terletak di medula ginjal..
c. Tubulus kontortus distal
Tubulus kontortus distal berjalan berkelok-kelok. Dindingnya
disusun oleh selapis sel kuboid dengan batas antar sel yang lebih jelas
dibandingkan tubulus kontortus proksimal. Inti sel bundar dan bewarna
biru. Jarak antar inti sel berdekatan. Sitoplasma sel bewarna kebiruan dan
permukaan sel yang mengahadap lumen tidak mempunyai mikrovili.
d. Tubulus koligen
Saluran ini mempunyai gambaran mirip tubulus kontortus distal
tetapi dinding sel epitelnya jauh lebih jelas, selnya lebih tinggi dan lebih
pucat. Di bagian medula yang lebih ke tengah beberapa tubulus koligen
akan bersatu membentuk duktus yang lebih besar yang bermuara ke apeks
papila. Saluran ini disebut duktus papilaris (Bellini). Muara ke permukaan
papil sangat besar, banyak dan rapat sehingga papil tampak seperti sebuah
tapisan (area kribrosa). Fungsi tubulus koligen adalah menyalurkan kemih
dari nefron ke pelvis ureter dengan sedikit absorpsi air yang dipengaruhi
oleh hormon antidiuretik (ADH).

5. Ureter
Secara histologi, ureter terdiri atas lapisan mukosa, muskularis dan
adventisia. Lapisan mukosa terdiri atas epitel transisional yang disokong oleh
lamina propria. Epitel transisional ini terdiri atas 4-5 lapis sel. Sel permukaan
bervariasi dalam hal bentuk mulai dari kuboid sampai gepeng. Sel-sel
permukaan ini mempunyai batas cekung pada lumen dan dapat berinti dua.
Sel-sel permukaan ini dikenal sebagai sel payung. Lamina propria terdiri atas
jaringan fibrosa yang relatif padat dengan banyak serat elastin
Lapisan muskularisnya terdiri atas atas serat otot polos longitudinal
disebelah dalam dan sirkular di sebelah luar (berlawan dengan susunan otot
polos di saluran cerna). Lapisan adventisia atau serosa terdiri atas lapisan
jaringan ikat fibroelsatin. Fungsi ureter adalah meneruskan urin yang
diproduksi oleh ginjal ke dalam kandung kemih.
6. Vesika Urinaria
Vesika urinaria terdiri atas lapisan mukosa, muskularis dan
serosa/adventisia. Mukosanya dilapisi oleh epitel transisional yang lebih tebal
dibandingkan ureter (terdiri atas 6-8 lapis sel) dengan jaringan ikat longgar
yang membentuk lamina propria dibawahnya. Tunika muskularisnya terdiri
atas berkas-berkas serat otot polos yang tersusun berlapis-lapis yang arahnya
tampak tak membentuk aturan tertentu. Diantara berkas-berkas ini terdapat
jaringan ikat longgar. Tunika adventisianya terdiri atas jaringan fibroelastik.
Fungsi kandung kemih adalah menampung urin yang akan dikeluarkan
kedunia luar melalui uretra.
7. Uretra
Panjang uretra pria antara 15-20 cm dan terbagi atas 3 bagian yaitu:
a. Pars Prostatika, yaitu bagian uretra mulai dari muara uretra pada kandung
kemih hingga bagian yang menembus kelenjar prostat. Pada bagian ini
bermuara 2 saluran yaitu duktus ejakulatorius dan saluran keluar kelenjar
prostat.
b. Pars membranasea yaitu bagian yang berjalan dari puncak prostat di
antara otot rangka pelvis menembus membran perineal dan berakhir pada
bulbus korpus kavernosus uretra.
c. Pars kavernosa atau spongiosa yaitu bagian uretra yang menembus korpus
kavernosum dan bermuara pada glands penis.
Epitel uretra bervariasi dari transisional di uretra pars prostatika, lalu
pada bagian lain berubah menjadi epitel berlapis atau bertingkat silindris dan
akhirnya epitel gepeng berlapis tanpa keratin pada ujung uretra pars
kavernosa yang melebar yaitu di fosa navikularis. Terdapat sedikit sel goblet
penghasil mukus. Di bawah epitel terdapat lamina propria terdiri atas jaringan
ikat fibro-elastis longgar.
Pada wanita uretra jauh lebih pendek karena hanya 4 cm panjangnya.
Epitelnya bervariasi dari transisional di dekat muara kandung kemih, lalu
berlapis silindris atau bertingkat hingga berlapis gepeng di bagian ujungnya.
Muskularisnya terdiri atas 2 lapisan otot polos tersusun serupa dengan
ureter.3,4,5,6

2.1.3. Fisiologi
Ginjal melakukan beberapa fungsi spesifik yang sebagian besar
bertujuan untuk membantu mempertahankan stabilitas lingkungan cairan
internal yaitu :7
1. Mempertahankan keseimbangan air (H2O) di tubuh.
2. Mempertahankan osmolaritas cairan tubuh yang sesuai, terutama melalui
regulasi keseimbangan H2O. Hal ini untuk mencegah fluks osmotik masuk
atau keluar sel yang dapat menyebabkan sel menjadi membesar atau
mengecil.
3. Mengatur jumlah dan konsentrasi sebagian besar ion cairan ekstraselular
(CES) seperti : Na+, Cl-, K+, Ca2+, H+, HCO3-, PO43-, SO42-, dan Mg2+.
4. Mempertahankan volume plasma yang tepat melalui peran regulatorik ginjal
dalam keseimbangan gara, (NaCl) dan H2O.
5. Membantu mempertahankan keseimbangan asam basa tubuh dengan
menyesuaikan pengeluaran H+ dan HCO3- pada urinee,
6. Mengekskresikan produk sisa metabolisme tubuh seperti : urea (dari
protein), asam urat (dari asam nukleat), kreatinin (dari kreatin otot),
bilirubin (dari hemoglobin), dan hormon metabolit yang bersifat toksik.
7. Mengekskresikan senyawa asing seperti : obat, aditif makanan, pestisida,
dan bahan eksogen non nutritif yang masuk ke tubuh.
8. Menghasilkan hormon eritropoietin untuk merangsang produksi eritrosit.
9. Menghasilkan hormon renin untuk memicu reaksi berantai dalam
konservasi garam oleh ginjal.
10. Mengubah vitamin D mnejadi bentuk aktifnya.

Dalam pembentukan urine terdapat tiga proses dasar di ginjal yaitu :


a. Filtrasi Glomerulus
Sewaktu darah mengalir melalui glomerulus, plasma bebas protein
tersaring melalui kapiler glomerulus ke dalam kapsul Bowman. Dalam
keadaan normal, 20%  plasma yang masuk ke glomerulus tersaring. Proses
ini, dikenal sebagai filtrasi glomerulus, adalah langkah pertama dalam
pembentukan urin. Secara rerata, 125 ml filtrat glomerulus (cairan yang
difiltrasi) terbentuk secara kolektif dari seluruh glomerulus setiap menit.
Jumlah ini sama dengan 180 liter (sekitar 47,5 galon) setiap hari. Dengan
mempertimbangkan bahwa volume rerara plasma pada orang dewasa adalah
2,75 liter, maka hal  ini berarti bahwa ginjal menyaring keseluruhan volume
plasma sekitar 65 kali sehari. Jika semua yang difiltrasi keluar sebagai urin,
semua plasma akan menjadi urin dalam waktu kurang dari setengah jam!
Namun, hal ini tidak terjadi karena tubulus ginjal dan kapiler peritubulus
berhubungan erat di seluruh panjangnya, sehingga bahan-bahan dapat
dipertukarkan antara cairan di dalam tubulus dan darah di dalam kapiler
peritubulus.7

Komposisi Filtrat Glomerulus. Filtrat glomerulus mempunyai


komposisi yang hampir tepat sama dengan komposisi cairan yang
merembes dari ujung arteri kapiler ke dalam cairan interstisial. Tidak
mengandung eritrosit dan hanya mengandung sekitar 0,03 persen protein,
atau sekitar 1/200 protein di dalam plasma. Elektrolit dan komposisi solut
lain dari filtrat glomelurus juga serupa dengan yang ditemukan di dalam
cairan interstisial.8

Di dalam glomerulus dihasilkan urine primer melalui filtrasi plasma.


Urine primer merupakan cairan isotonic terhadap plasma. Pori-pori yang
dilalui oleh plasma, mempunyai garis tengah efektif rata-rata sekitar 2,9 nm.
Hal ini memungkinkan seluruh komponen plasma dengan berat molekul
hingga kira-kira 5 kDa dapat melalui pori-pori tanpa hambatan. Dengan
bertambahnya berat molekul, molekul akan ditahan, tetapi pertama-tama
molekul dengan suatu M>65 kDa tidak dapat lagi masuk kedalam urine
primer. Karena protein darah secara umum mempunyai suati M>54 kDa,
maka protein-protein darah hanya terdapat dalam jumlah yang sangat
sedikit di dalam urine. 8
Gambar 9. Filtrasi glomerulus9

B.  Reabsorpsi Tubulus

Sewaktu filtrat mengalir melaiui tubulus, bahan-bahan yang


bermanfaat bagi tubuh dikembalikan ke plasma kapiler peritubulus.
Perpindahan selektif bahan-bahan dari bagian dalam tubulus (lumen
tubulus) ke dalam darah ini disebut reabsorpsi tubulus. Bahan-bahan yang
direabsorpsi tidak keluar dari tubuh melalui urin tetapi dibawa oleh kapiler
peritubulus ke sistem vena dan kemudian ke jantung untuk diresirkulasi.
Dari 180 liter plasma yang disaring per hari, sekitar 178,5 liter direabsorpsi.
Sisa 1,5 iiter di tubulus mengalir ke dalam pelvis ginjal untuk dikeluarkan
sebagai urin. Secara umum, bahan-bahan yang perlu dihemat oleh tubuh
secara selektif direabsorpsi, sementara bahan-bahan yang tidak dibutuhkan
dan harus dikeluarkan tetap berada di urin.7

Reabsorbsi memengang peranan yang jauh lebih penting daripada


sekresi dalam pembentukan urina ini. Tetapi sekresi sangat penting dalam
menentukan jumlah ion kalium, ion hydrogen, dan beberapa zat lain
didalam urina. Biasanya, lebih dari 99% air di dalam filtrat glomerulus
direabsobsi ketika mengalir melalui tubulus tersebut. Oleh karena itu, jika
suatu unsur terlarut dalam filtrat glomelurus tidak direabsorbsi sama sekali
sepanjang perjalanan tubulus. Rebsorbsi air ini tentu saja memekatkan zat
tersebut lebih dari 99 kali. Sebaliknya, beberapa unsure seperti glukosa dan
asam amino, hampir seluruhnya direabsorbsi sehingga kosentrasi mereka
menurun hampir ke nol sebelum cairan tersebut menjadi urina dengan cara
ini tubulus ginjal memisahkan zat-zat yang harus dikeluarkan didalam
urina. 8
Gambar 10. Reabsorpsi Tubulus

C.  Sekresi Tubulus

Proses ginjal ketiga, sekresi tubulus, adalah pemindahan selektif


bahan-bahan dari kapilel peritubulus ke dalam lumen tubulus. Proses ini
merupakan rute kedua bagi masuknya bahan ke dalam tubulus ginjal dari
darah, sedangkan yang pertama adalah melalui filtrasi glomerulus. Hanya
sekitar 20%  dari plasma yang mengalir melaiui kapiler glomerulus difiltrasi
ke dalam kapsul Bowman; sisa 80% mengalir melalui arteriol eferen ke
dalam kapiler peritubulus. Sekresi tubulus merupakan mekanisme untuk
mengeluarkan bahan dari plasma secara cepat dengan mengekstraksi
sejumlah tertentu bahan dari 80% plasma yang Tidak terfiltrasi di kapiler
peritubulus dan memindahkannya ke bahan yang sudah ada di tubulus
sebagai hasil filtrasi.7

Gambar 11. Sekresi Tubulus9

D.  Ekskresi Urine

Ekskresi urin adalah pengeluaran bahan-bahan dari tubuh ke dalam


urin. Ini bukan merupakan proses terpisah tetapi merupakan hasil dari tiga
proses pertama di atas. Semua konstituen plasma yang terfiltrasi atau
disekresikan tetapi tidak direabsorpsi akan tetap di tubulus dan mengalir ke
pelvis ginjal untuk diekskresikan sebagai urin dan dikeluarkan dari tubuh.
Semua yang difiltrasi dan kemudian direabsorpsi, atau tidak difiltrasi sama
sekali, masuk ke darah vena dari kapiler. 7

Tabel 1. komposisi jumlah zat dalam proses filtrasi, reabsorpsi dan


ekskresi9
              

2.1.4. Biokimia
Ginjal mengontrol tekanan darah melalui pengaturan volume cairan
ekstraseluler dan sekresi renin. Sistem renin-angiotensin aldosteron (RAAS)
merupakan sistem endokrin penting dalam pengontrolan tekanan darah. Renin
disekresi oleh juxtaglomerulus aparantus ginjal sebagai respon glomerulus
underperfusion, penurunan asupan garam, ataupun respon dari sistem saraf
simpatik. Mekanisme terjadi peningkatan darah melebihi normal atau hipertensi
melalui terbentuknya angiotensin II dari angiotensin I oleh angiotensin
converting enzyme (ACE). ACE memegang peranan fisiologis penting dalam
pengaturan tekanan darah. Darah mengandung angiotensinogen yang
diproduksi hati, kemudian oleh hormone renin yang diproduksi ginjal akan
diubah menjadi angiotensin I. Angiotensin I diubah menjadi angiotensin II oleh
ACE yang terdapat di paru-paru. Angiotensin II merupakan suatu
vasokonstriktor kuat yang utama menyebabkan vasokontriksi arteri
menyebabkan peningkatan resistensi pada aliran darah dan peningkatan tekanan
darah.
Angiotensin II bersikulasi menuju kelenjar adrenal dan menyebabkan
sel korteks adrenal membentuk hormone lain yaitu aldosteron. Aldosteron
merupakan hormone steroid yang berperan penting pada ginjal untuk mengatur
volume cairan ekstraseluler. Aldosteron mengurangi ekskresi NaCl dengan cara
reabsorpsi dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan
kembali dengan cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada
akhirnya meningkatkan volume dan tekanan darah.10

Peran Hormon ADH

Kerja ADH ginjal yang paling penting adalah meningkatkan


permeabilitas air pada tubulus distal, tubulus koligens, dan epitel duktus
koligens. Hal ini membantu tubuh untuk menyimpan air dalam keadaan seperti
dehidrasi. Bila tidak ada ADH, permeabilitas tubulus distal dan duktus koligens
terhadap air menjadi rendah, menyebabkan ginjal mengekskresi sejumlah besar
urine yang encer. Jadi, kerja ADH memegang peran penting dalam mengontrol
derajat pengenceran atau pemekatan urine.
ADH berikatan dengan reseptor V2 spesifik di bagian akhir tubulus
distal, tubulus koligens dan duktus koligens, yang meningkatkan pembentukan
AMP siklik dan mengaktivasi protein kinase. Kemudian kedua hal tersebut
merangsang pergerakan suatu protein intrasel, yang disebut aquaporin-2 (AQP-
2), ke sisi luminal membran sel. Molekul-molekul AQP-2 berkelompok dan
bergabung dengan membran sel melalui eksositosis untuk membentuk kanal air
yang menyebabkan difusi air secara cepat melalui sel. Juga terdapat aquaporin
lainnya, AQP-3 dan AQP-4, di sisi basolateral dari membran sel yang
menyediakan suatu jalur bagi air untuk keluar dari sel secara cepat, walaupun
hal ini tidak diyakini diatur oleh ADH. Peningkatan kadar ADH secara kronis
juga meningkatkan pembentukan protein AQP-2 di sel tubulus ginjal dengan
merangsang transkripsi gen AQP-2. Bila konsentrasi ADH menurun, molekul
AQP-2 berpindah kembali ke sitoplasma sel, dengan demikian memindahkan
kanal air dari membran luminal dan menurunkan permeabilitas air.11

Renin Angiostensin System

Sistem hormon terpenting dan paling terkenal yang terlibat dalam


regulasi Na+ adalah sistem renin-angiotensinaldosteron (SRAA). Sel granular
aparatus jukstaglomerulus mengeluarkan suatu hormon enzimatik, renin, ke
dalam darah sebagai respons terhadap penurunan NaC1, volume CES, dan
tekanan darah arteri. Fungsi ini adalah tambahan terhadap peran sel makula
densa apparatus jukstaglomerulus dalam autoregulasi. Secara spesifik, tiga
masukan berikut ke sel granular meningkatkan sekresi renin: arteriol aferen.
Ketika mendeteksi penurunan tekanan darah, sel granular ini mengeluarkan
lebih banyak renin. Sel makula densa di bagian tubulus aparatus
jukstaglomerulus peka terhadap NaCl yang melewatinya melalui lumen tubulus.
Sebagai respon terhadap penurunan NaCl, sel macula densa memicu sel
granular untuk mengeluarkan lebih banyak renin. Sel granular disarafi oleh
sistem saraf simpatis. Ketika tekanan darah turun di bawah normal, refleks
baroreseptor meningkatkan aktivitas simpatis. Sebagai bagian dari respons
refleks ini, peningkatan aktivitas simpatis merangsang sel granular
mengeluarkan lebih banyak renin. Sinyal-sinyal yang saling terkait untuk
meningkatkan sekresi renin ini semuanya menunjukkan perlunya meningkatkan
volume plasma untuk meningkatkan tekanan arteri ke normal dalam jangka
panjang. Melalui serangkaian proses kompleks yang melibatkan SRAA,
peningkatan sekresi renin menyebabkan peningkatan reabsorpsi Na+ oleh
tubulus distal dan koligentes (dengan klorida secara pasif mengikuti
perpindahan aktif Na+). Manfaat akhir dari retensi garam ini adalah bahwa
retensi tersebut mendorong retensi H2O secara osmosis, yang membantu
memulihkan volume plasma. Setelah disekresikan ke dalam darah, renin
bekerja sebagai enzim untuk mengaktifkan angiotensinogen menjadi
angiotensin I. Angiotensinogen adalah suatu protein plasma yang disintesis oleh
hati dan selalu terdapat di plasma dalam konsentrasi tinggi. Ketika melewati
paru melalui sirkulasi paru, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II oleh
angiotensin-converting enzyrne (ACE) yang banyak terdapat di kapiler paru.
ACE terletak di sumur kecil di permukaan luminal sel endotel kapiler paru.
Angiotensin II adalah perangsang utama sekresi hormone aldosteron dari
korteks adrenal. Korteks adrenal adalah kelenjar endokrin yang menghasilkan
beberapa hormon, masing-masing disekresikan sebagai respons terhadap
rangsangan yang berbeda.
Dua jenis sel tubular yang berbeda berlokasi di bagian tubulus distal dan
koligentes: sel prinsipal dan sel interkalasi. Semakin banyak sel prinsipal
merupakan tempat kerja aldosteron dan vasopresin dan karenanya terlibat
dalam reabsorpsi Na+ dan sekresi K+ (keduanya diatur oleh aldosteron) serta
dalam reabsorpsi H20 (diatur oleh vasopresin). Sebaliknya, sel interkalasi
berkaitan dengan keseimbangan asam basa. Di antara berbagai efeknya,
aldosteron meningkatkan reabsorpsi Na+ oleh tubulus distal dan koligentes.
Hormon ini melakukannya dengan mendorong penyisipan kanal bocor Na+
tambahan ke dalam membran luminal dan penambahan pompa Na+-K+ ke
dalam membran basolateral sel-sel ini. Hasilakhirnya adalah peningkatan
perpindahan pasif Na masuk ke dalam sel tubulus dan koligentes dari lumen
dan peningkatan pemompaan aktif Na+ keluar sel ke dalam plasma-yaitu,
peningkatan reabsorpsi Na+, disertai sistem ini menghilangkan faktor-faktor
yang memicu pelepas-an awal renin-yaitu, deplesi 00garam, penurunan volume
plasma, dan penurunan tekanan darah arteri.
Selain merangsang sekresi aldosteron, angiotensin II adalah konstriktor
poten arteriol sistemik, yang secara langsung meningkatkan tekanan darah
dengan meningkatkan resistensi perifer total . Selain itu, angiotensin II
merangsang rasa haus (meningkatkan asupan cairan) dan merangsang
vasopresin (suatu hormon yang meningkatkan retensi H20 oleh ginjal),
keduanya ikut berperan dalam menambah volume plasma dan meningkatkan
tekanan arteri.
Situasi yang berlawanan terjadi jika beban Na+, volume CES dan
plasma, dan tekanan darah arteri di atas normal. Pada keadaan-keadaan ini,
sekresi renin dihambat. Dengan demikian, karena angiotensinogen tidak
diaktifkan menjadi angiotensin I dan II, sekresi aldosteron tidak terangsang.
Tanpa aldosteron, tidak terjadi reabsorpsi kecil Na+ dependen-aldosteron di
segmen distal tubulus. Malahan, Na+ yang tidak direabsorpsi ini kemudian
keluar bersama urine. Tanpa aldosteron, pengeluaran terus-menerus sebagian
kecil Na+ yang terfiltrasi ini dapat dengan cepat mengeluarkan kelebihan Na+
dari tubuh. Meskipun hanya 8%.
Na+ yang terfiltrasi yang bergantung pada aldosteron untuk
direabsorpsi, pengeluaran sedikit-sedikit ini, yang dikalikan berlipat ganda
ketika seluruh volume plasma difiltrasi melalui ginjal berkalikali per hari, dapat
menyebabkan pengeluaran Na+ dalam jumlah bermakna, Jumlah aldosteron
yang disekresikan, dan karenanya jumlah relative garam yang dihemat versus
yang dikeluarkan, bervariasi bergantung pada kebutuhan tubuh. Sebagai contoh,
orang yang mengonsumsi garam dalam jumlah biasa umumnya
mengekskresikan sekitar 10 gr garam per hari di urine, mereka yang
mengonsumsi garam dalam jumlah besar mengeluarkan lebih banyak, dan
orang yang telah kehilangan cukup banyak garam karena mandi keringat
mengeluarkan lebih sedikit garam melalui urine. Dengan sekresi aldosteron
maksimum, seluruh Na+ yang terfiltrasi (dan tentu saja, CI- yang terfiltrasi)
direabsorpsi, sehingga ekskresi garam di urine adalah nol. Dengan mengubah-
ubah jumlah renin dan aldosteron yang disekresikan sesuai dengan jumlah
cairan (yang ditentukan oleh garam) di tubuh, ginjal dapat dengan tepat
menyesuaikan jumlah garam yang ditahan atau dikeluarkan. Dengan melakukan
hal ini, ginjal mempertahankan beban garam dan volume CES, dan tekanan
darah arteri pada tingkat yang relatif konstan meskipun konsumsi garam sangat
bervariasi dan adanya pengeluaran cairan penuh garam secara abnormal.7
2.2. Faktor Yang Mempengaruhi Produksi Urin
a. Faktor Eksternal
1. Asupan Nutrisi dari Makanan
a. Karbohidrat
Banyak sedikitnya karbohidrat yang dikonsumsi dapat
mempengaruhi urin yang dihasilkan. Urin yang mengandung keton atau
biasa disebut dengan ketonuria dialami oleh sebagian orang. Keadaan ini
bisa merujuk ke keadaan fisiologis atau patologis. Keton merupakan produk
dari pemecahan asam lemak. Keberadaan keton dalam urin merupakan
tanda bahwa tubuh menggunakan lemak sebagai energi. Hal ini dapat
merujuk pada keadaan fisiologis dimana tubuh mengalami kelaparan
dimana jumlah karbohidrat tidak mencukupi sebagai energi, asam lemak
akan diubah menjadi badan keton yang kemudian beredar di dalam darah.
Suatu keadaan dimana jumlah keton yang diproduksi melebihi jumlah
normal disebut dengan ketosis, yang kemudian beredar di dalam darah yang
disebut ketonemia atau dalam urin yang disebut ketonuria. Adapun suatu
keadaan patologis merupakan komplikasi dari diabetes melitus tipe 1 atau
tipe 2 sehingga terjadi peningkatan kadar keton yang sangat tinggi pada
urin.12,13

b. Glukosa

Glukosa merupakan zat yang direabsorpsi melalui transport aktif


sekunder. Hampir semua glukosa direabsorpsi dan bahkan jumlah glukosa
yang direabsorpsi sebanding dengan jumlah yang difiltrasi, maka dari itu
glukosa jarang ditemukan atau hanya beberapa milligram saja yang dapat
ditemui dalam urin 24 jam. Telah diketahui bahwa salah satu faktor resiko
penyakit DM adalah obesitas dan obesitas itu sendiri dapat disebabkan oleh
konsumsi glukosa yang berlebihan, glukosa tersebut dapat diperoleh dari
konsumsi tinggi karbo. Hal ini dikarenakan glukosa menjadi pondasi utama
karbohidrat. Perlu kita ketahui bahwa batas maksimum tubulus secara aktif
mereabsorpsi glukosa adalah sekitar 375 mg glukosa per menit sehingga
pada kondisi dimana kadar glukosa yang dikonsumsi melebihi batas
tersebut akan mengakibatkan terjadinya kencing manis yang biasanya kita
kenal dengan DM.7

c. Sodium (Na)

Sodium merupakan salah satu bahan yang secara aktif direabsorpsi


serta penting bagi tubuh sebagai elektrolit. Tidak seperti kebanyakan zat
terlarut yang terfiltrasi, sodium direabsorpsi hampir di sepanjang tubulus,
namun dengan presentasi yang berbeda-beda di bagian yang berbeda.
Namun, tingkat reabsorpsi terkontrol ini, berbanding terbalik dengan tingkat
beban sodium di tubuh. Jika sodium terlalu banyak, maka hanya sedikit saja
dari sodium yang terkontrol akan terabsorpsi, sodium sisanya ini akan
keluar melalui urin sehingga kelebihan sodium dapat dikeluarkan oleh
tubuh. Namun, jika terjadi kekurangan sodium maka sebagian besar atau
seluruh sodium terkontrol direabsorpsi, menghemat sodium yang
seharusnya keluar melalui urin. Normalnya sodium diregulasi oleh sistem
renin-angiotensin aldosterone (SRAA), namun karena beban sodium yang
lebih dari normal menyebabkan sekresi renin dihambat, sehingga
angiotensinogen tidak diaktifkan menjadi angiotensin I & II, dan sekresi
aldosteron yang berfungsi untuk mengreabsorpsi sodium mulanya tidak
terangsang. Tanpa aldosterone, sodium yang tidak direabsorpsi ini akan
keluar bersama urin. Contohnya, seperti orang yang mengonsumsi garam
dalam jumlah besar maka akan mengeluarkan lebih banyak garam tersebut.
Sesuai dengan teori yang menjelaskan bahwa apabila seseorang yang
mengonsumsi makanan dengan kandungan garam tinggi tanpa minum maka
akan meningkatkan konsentrasinya dalam urin sedangkan volume urinnya
normal.7

d. Protein

Diet kaya protein dapat mengasamkan darah sehingga menghasilkan


urin yang mengandung asam (asidosis/mengasamkan urin), sebaliknya
dengan banyak mengonsumsi sayuran maka urin yang dihasilkan akan
mengandung basa (alkalosis).7

e. Asupan cairan (status hidrasi tubuh)


Ginjal mengeksresikan urin dalam konsentrasi bervariasi terantung pada
status hidrasi tubuh. Pada keseimbangan cairan dan konsentrasi zat terlarut
normal, maka cairan tubuh bersifat isotonik. Jika terlalu banyak H 2O
dibandingkan zat terlarut, maka cairan tubuh bersifat hipotonik. Namun,
jika tingkat H2O lebih rendah dari zat terlarut, maka cairan tubuh menjadi
pekat atau hipertonik. Dengan adanya gradien osmotic vertical yang khas di
cairan interstitium medulla ginjal memungkinkan ginjal menghasilkan urin
yang konsentrasinya bervariasi dari 100-1200 mOsm/liter, tergantung status
hidrasi tubuh. Ketika hidrasi tubuh berlebihan (H 2O banyak), ginjal
menghasilkan urin encer dalam jumlah besar (mencapai 25 ml/mnt).
Sebaliknya, ginjal akan menghasilkan urin pekat dalam jumlah kecil
(mencapai 0,3 ml/mnt) ketika tubuh mengalami dehidrasi (kekurangan
H2O), ini dikarenakan sebagian H2O disimpan untuk memenuhi kebutuhan
tubuh.14
f. Konsumsi Obat-obatan
g. Diuretik
Penggunaan obat diuretic menyebabkan diuresis, dimana terjadi
peningkatan eksresi H2O (pengeluaran volume urin) bahkan lebih dari 20
kali lipat dalam beberapa menit setelah pemberiannya sehingga menurunkan
volume CES. Selain itu, diuretik menghambat kerja reseptor ACE
(angiotensin-converting enzyme) dan menimbulkan gangguan pada
lengkung ansa henle sehingga menghambat reabsorpsi elektrolit seperti Na +
serta kemampuan pemekatan atau pengenceran urin. Dengan masing-
masing menghambat pembentukan angiotensin II atau menghambat
pengikatan aldosteron ke reseptornya di ginjal, kedua golongan obat ini
menghentikan efek retensi garam dan air serta efek konstriksi arteriol
SRAA. Artinya, terjadi peningkatan pengeluaran air serta zat-zat terlarut
termasuk Na+ dan HCO3- sehingga menghasilkan urin yang mengandung
asam yang tinggi atau biasa disebut dengan asidosis.
Diuretik tiazid adalah salah satu contoh diuretic yang menghambat
kerja reseptor ACE yang biasanya digunakan secara luas untuk mengobati
hipertensi dan gagal jantung yang menghambat ko-transporter natrium-
klorida. Selain itu juga terdapat golongan diuretika yang menyebabkan
peningkatan cairan di sepanjang tubulus, sehingga meningkatkan aliran
dalam tubulus distal dan tubulus koligens. Keadaan ini menyebabkan
peningkatan reabsorpsi Na+ dari bagian distal nefron. Namun, karena
reabsorpsi Na+ selalu berpasangan dengan sekresi H+ serta peningkatan
reabsorpsi bikarbonat. Perubahan ini menyebabkan terjadinya alkalosis
dimana menghasilkan urin yang bersifat basa atau mengandung banyak
alkali.7
Gambar 13. Faktor Diuretik
h. Antipsikotik dan Antibiotik
Penggunaan litium serta tetrasiklin dapat merusak kemampuan segmen
nefron distal untuk merespon ADH sehingga terjadi gangguan pada
pemekatan urin.7
i. Olahraga Berat
Olahraga berat dapat menyebabkan hiperkalemia dimana ditemukannya
kalium dalam urin, akibat pelepasan kalium dari otot rangka. Selama
olahraga yang lama, terjadi pelepasan kalium dari otot rangka ke CES.7
j. Tekanan Darah
Ketika beban Na+ di atas normal maka aktivitas osmotic CES akan
meningkat dan kelebihan Na+ akan menahan tambahan H2O sehingga
meningkatkan volume CES. Hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan
tekanan darah. Sebaliknya, jika beban Na+ di bawah normal maka jumlah
H2O yang dapat ditahan di CES juga lebih rendah sehingga volume CES
berkurang. Tekanan darah tinggi juga disebabkan oleh kerja SRAA yang
akan meningkatkan reabsorpsi Na+ dimana akan menimbulkan produksi urin
yang lebih sedikit dari normal.13

b. Faktor Internal
1. Hormon
a. Norepinefrin, Epinefrin, dan Endotelin
Norepinfrin dan epinefrin yang dilepaskan dari medulla adrenal
dapat mengakibatkan kontriksi arteriol aferen dan eferen sehingga
menyebabkan penurunan LFG. Namun, pada kondisi normal
norepinefrin dan epinefrin hanya memberi sedikit pengaruh pada
hemodinamika ginjal dalam pembentukan urin. Endotelin yaitu peptide
yang dapat dilepaskan sel endotel vaskular ginjal dapat memengaruhi
proses produksi urin dengan menurunkan LFG dan memicu peningkatan
tekanan darah.11
b. Angiotensin II
Peningkatan kadar angiotensin II terjadi terutama pada diet rendah
sodium atau kehilangan volume, berfungsi mempertahankan LFG dan
eksresi produk sisa metabolic (ureum & kreatinin) yang normal, dimana
eksresi tersebut bergantung kepada glomerulus. Angiotensin II juga
dapat memicu konstriksi arteriol eferen yang menyebabkan kenaikan
reabsorpsi sodium dan air dalam tubulus, sehingga memulihkan volume
darah dan tekanan darah. Peran utama dari angiotensin II adalah
membantu autoregulasi LFG.7
c. Endothelial-Derived Nitric Oxide
Oksida nitrat dalam kadar basal penting dalam mempertahankan
vasodilatasi ginjal, sehingga memungkinkan ginjal untuk
mengeksresikan sodium dan air dalam jumlah yang normal. Pemberian
obat yang menghambat pembentukan oksida nitrat ini akan
meningkatkan tahanan vaskular ginjal dan menurunkan LFG serta
eksresi sodium urin, sehingga menimbulkan tekanan darah tinggi.11
d. Prostaglandin dan Bradikinin
Hormon yang berperan dalam vasodilatasi serta meningkatkan aliran
darah ginjal dan LFG, dengan mengurangi efek vasokonstriktor ginjal
akibat aktivasi saraf simpatis atau angiotensin II. Prostaglandin
mencegah penurunan LFG dan aliran darah ginjal yang berlebihan.
Dalam kondisi stress, pemberian OAINS (aspirin) menghambat sintesis
prostaglandin sehingga dapat menyebabkan penurunan LFG.11
e. Vasopresin (ADH)
Hormon antidiuretic (anti = melawan, diuretic = peningkatan
pengeluaran urin) dapat meningkatkan permeabilitas dari tubulus distal
serta ductus koligentes terhadap H2O. Hipotalamus meregulasi
pelepasan vasopressin dari hipofisis posterior ke dalam darah.
Menggunakan mekanisme umpan balik negative, sekresi vasopresin
distimulasi oleh defisiensi H2O ketika CES terlalu pekat (hipertonik),
keadaan dimana H2O harus dipertahankan dalam tubuh, dan ketika CES
terlalu encer sehingga kelebihan H2O harus dihambat. Di bawah
pengaruh vasopressin kadar maksimal, cairan tubulus dapat dipekatkan
hingga 1200 mOsm/l di akhir duktus koligentes. Reabsorpsi ekstensif
H2O oleh vasopresin, menyebabkan eksresi urin dengan volume sedikit
dan memiliki konsentrasi mencapai 1200 mOsm/l. Setiap menit
dihasilkan urin bervolume hanya 0,3 ml kurang dari sepertiga kecepatan
aliran urin normal yang besarnya 1 ml/mnt.
Karena konsentrasi maksimal urin adalah 1200 mOsm/l, volume
minimal urin yang diperlukan untuk mengekskresikan zat-zat sisa ialah
500 mL/hari. Di bawah pengaruh maksimal vasopresin, 99,7% dari 180
liter H2O plasma yang terfiltrasi per hari dikembalikan ke darah, dengan
pengeluaran wajib H20 sebanyak setengah liter.7
f. Sistem Renin Angiotensin-Aldosteron (SRAA)
Sistem hormone yang ikut berperan dalam regulasi Na+ terutama
untuk meningkatkan reabsorpsi Na+ oleh tubulus distal dan koligentes
(dengan clorida yang secara pasif mengikuti perpindahan aktif Na +).
Manfaat dari retensi garam ialah retensi ini akan mendorong retensi H2O
secara osmosis, guna membantu pemulihan volume plasma. Kerja dari
hormone ini ialah dengan mendorong penyisipan kanal Na+ tambahan ke
dalam membrane luminal dan penambahan pompa Na+-K+ke dalam
membrane basolateral. Hasilnya akan meningkatkan perpindahan pasif
Na ke dalam tubulus dan koligentes dari lumen serta peningkatan
reabsorpsi Na dengan menghilangan faktor pemicu pelepasan awal
renin, seperti deplesi garam, penurunan volume plasma, dsb guna untuk
menjaga keseimbangan cairan tubuh.7

2.3. Mekanisme Pemekatan dan Pengenceran Urin


Meskipun asupan cairan bervariasi, volume total cairan di tubuh tetap tidak
berubah. Hemeostatis volume cairan tubuh sebagian besar bergantung pada
kemampuan ginjal mengatur laju pengeluaran air di urin. Ginjal yang berfungsi
normal akan menghasilkan urine encer dalam jumlah besar jika asupan cairan tinggi,
namun jika urine pekat dalam jumlah sedikit maka asupan cairan kurang atau terjadi
pengeluaran cairan dalam jumlah besar. Antidiuretic Hormone (ADH) merupakan
hormon yang berfungsi untuk mengontrol pembentukan urine encer atau pekat. Jika
tidak terdapat ADH, urine menjadi sangat encer. Namun, jika kadar ADH tinggi maka
akan merangsang reabsorpsi air lebih banyak ke dalam darah, sehingga menghasilkan
urine yang pekat.14
Osmolaritas CES (konsentrasi zat terlarut) bergantung pada jumlah relatif H2O
dibandingkan dengan zat terlarut. Pada keseimbangan cairan dan konsentrasi zat
terlarut yang normal, cairan tubuh bersifat isotonik pada osmolaritas 300
miliosmol/liter (mOsm/liter). Jika terlalu banyak terdapat H2O dibandingkan dengan
zat terlarut, cairan tubuh menjadi hipotonik, yang berarti cairan tubuh terlalu encer
dengan osmolaritas kurang dari 300 mOsm/liter. Namun, jika terjadi defisit H 2O
relatif terhadap zat terlarut, cairan tubuh menjadi terlalu pekat, atau hipertonik, dengan
osmolaritas lebih besar daripada 300 mOsm/liter. Dengan mengetahui bahwa gaya
pendorong bagi reabsorpsi H2O di sepanjang tubulus adalah gradien osmotik antara
lumen tubulus dan cairan interstisium sekitar, dapat diperkirakan berdasarkan
pertimbangan osmotik, bahwa ginjal tidak dapat mengekskresikan urine yang lebih
encer atau pekat daripada cairan tubuh. Memang, hal inilah yang akan terjadi jika
cairan interstisium yang mengelilingi tubulus di ginjal identik osmolaritasnya dengan
cairan tubuh lainnya. Reabsorpsi air akan berlangsung hanya hingga ketika cairan
tubulus seimbang secara osmosis dengan cairan interstisium, dan tubuh akan tidak
memiliki cara untuk mengeluarkan kelebihan H2O ketika cairan tubuh hipotonik atau
menahan H2O ketika terjadi hipertonisitas. Untungnya, terdapat suatu gradien osmotik
vertikal besar yang khas di cairan interstisium medula ginjal. Konsentrasi cairan
interstisium secara progresif meningkat dari batas korteks hingga ke kedalaman
medula hingga konsentrasi itu pada manusia mencapai maksimal 1200 mOsm/liter di
taut erat dengan pelvis ginjal. Melalui mekanisme yang akan segera dijelaskan,
gradien ini memungkinkan ginjal menghasilkan urine yang konsentrasinya bervariasi
dari 100-1200 mOsm/liter, bergantung pada status hidrasi tubuh.
Ketika tubuh berada dalam keseimbangan ideal, terbentuk urine isotonik 1
mL/mnt. Ketika hidrasi tubuh berlebihan (terlalu banyak H2O), ginjal dapat
menghasilkan urine encer dalam jumlah besar (hingga 25 mL/mnt dan hipotonik pada
100 mOsm/ liter), membuang kelebihan H2O di urine. Sebaliknya, ginjal dapat
menghasilkan urine pekat dalam jumlah kecil (hingga 0,3 ml/mnt dan hipertonik pada
1200 mOsm/liter) ketika tubuh mengalami dehidrasi (kekurangan H2O), menahan H20
bagi tubuh. Susunan anatomik yang unik dan interaksi fungsional yang kompleks
antara berbagai komponen nefron di medula ginjal menjadi penyebab terbentuknya
dan dimanfaatkannya gradien osmotik vertikal.
Ingat kembali bahwa lengkung tajam ansa Henle hanya sedikit masuk ke dalam
medula di nefron korteks, tetapi di nefron jukstamedula lengkung masuk jauh ke
seluruh kedalaman medula sehingga ujung lengkung berada dekat dengan pelvis
ginjal. Juga, vasa rekta nefron jukstaglomerulus membentuk lengkung tajam dalam
seperti lengkung panjang Henle. Aliran di lengkung panjang Henle dan vasa rekta
dianggap countercurrent karena aliran di kedua bagian lengkung yang saling
berdekatan ini berlawanan arah. Sementara itu, duktus koligentes yang melayani
kedua jenis nefron, dalam perjalanan ke pelvis ginjal, berjalan menembus medula
hanya dalam arah desenden. Susunan ini, ditambah dengan karakteristik permeabilitas
dan transpor segmen-segmen tubulus ini, berperan kunci dalam kemampuan ginjal
menghasilkan urine dengan konsentrasi beragam, bergantung pada apakah tubuh perlu
menghemat atau mengeluarkan air.
Secara singkat, lengkung Henle panjang nefron jukstamedula membentuk
gradien osmotik vertikal, vasa rektanya mempertahankan gradien ini sembari memberi
darah ke medula ginjal, dan duktus koligentes semua nefron menggunakan gradien ini,
bersama dengan hormon vasopresin, untuk menghasilkan urine dengan beragam
konsentrasi. Secara kolektif, susunan fungsional keseluruhan ini disebut dengan
sistem countercurrent medula.7

Pembentukan Urine Encer


Filtrat glomerulus memiliki rasio air dan partikel zat terlarut sama seperti darah,
osmolaritasnya adalah sekitar 300mOsm/liter. Cairan yang meninggalkan tubulus
kontortus proksimal masih isotonik terhadap plasma. Jika yang dibentuk adalah urine
encer, osmolaritas cairan di lumen tubulus akan meningkat seiring dengan
mengalirnya cairan tersebut menuruni pars desendens ansa Henle, kemudian
menurun ketika mengalir ke pars asendens , dan terus menurun ketika mengaliri
bagian nefron sisanya dan duktus koligentes. Perubahan pada osmolaritas ini
disebabkan oleh beberapa kondisi di sepanjang perjalanan cairan tubulus :14
1. Karena osmolaritas cairan intestinal (CIS) medula ginjal meningkat secara
progresif, semakin banyak air direabsorpsi oleh osmosis sewaktu cairan tubulus
mengalir di sepanjang pars desendens ansa Henle menuju ujung lengkung.
Akibatnya, cairan di lumen menjadi semakin padat.
2. Sel – sel yang melapisi bagian tebal pars asendens ansa Henle memiliki
simporter yang secara aktif mereabsorpsi Na+, Cl-, dan K+ dari cairan tubulus.
Ion – ion mengalir dari cairan tubulus ke sel – sel bagian tebal pars asendens,
lalu ke dalam cairan interstisial, dan akhirnya sebagian berdifusi ke dalam darah
di dalam vasa rekta.
3. Meskipun zat terlarut tengah direabsorpsi di bagian tebal pars asendens,
permeabilitas air di bagian nefron selalu cukup rendah sehingga air tidak dapat
mengikuti osmosis. Karena zat terlarut (bukan molekul air) keluar dari cairan
tubulus, osmolaritas cairan tubulus merosot hingga sekitar 150 mOsm/liter.
Oleh karena itu, cairan yang masuk ke tubulus kontortus distal lebih encer
daripada plasma.
4. Ketika cairan terus mengalir di sepanjang tubulus kontortus distalis, terjadi
reabsoprsi zat – zat terlarut tambahan disertai sedikit molekul air. Sel – sel di
awal tubulus kontortus distalis tidak terlalu permeabel terhadap air dan tidak
diatur oleh ADH.
5. Pada bagian akhir tubulus kontortus distalis dan duktus koligentes terdapat sel
yang disebut principal cell yang bersifat non-permeabel terhadap air jika kadar
ADH sangat rendah. Oleh karena itu, cairan tubulus menjadi semakin encer
sewaktu mengalir maju. Saat cairan tubulus mengalir ke pelvis ginjal,
konsentrasinya dapat menjadi 65 – 70 mOsm/liter. Nilai ini empat kali lebih
encer daripada plasma darah atau filtrat glomerulus.

Pembentukan Urine Pekat


Jika asupan air rendah atau pengeluaran air tinggi (misalnya saat
berkeringat banyak), ginjal harus menghemat air selagi mengeluarkan zat sisa dan
kelebihan ion. Dibawah pengaruh ADH, ginjal menghasilkan urine yang sangat pekat
dalam jumlah kecil. Urine dapat dipekatkan empat kali lipat hingga 1200 mOsm/liter
dibandingkan plasma darah atau filtrat glomerulus yaitu 300 mOsm/liter. 14

2.4. Proses Pembentukan Warna Urin

Urin normal yang baru dikeluarkan tampak jernih sampai sedikit berkabut dan
berwarna kuning oleh pigmen urobilin. Intensitas warna sesuai dengan konsentrasi
urin. Urin encer hampir tidak berwarna, urin pekat berwarna kuning tua atau sawo
matang.15

Warna urin dapat dipengaruhi oleh bahan makanan atau bahan minuman yang
dikonsumsi oleh manusia sehingga dalam warna urin yang seharusnya berwarna jernih
atau kekuningan dapat berubah warna. Bahan makanan yang dapat mempengaruhi
warna tersebut: (1) makanan yang mempunyai kandungan vitamin B dan karoten sering
menyebabkan urin seseorang menjadi kuning cerah. Makanan ini berasal dari biji-

bijian, selain makanan suplement vitamin juga dapat mempengaruhi; (2) warna
kecoklatan dapat dipengaruhi dari minuman teh; (3) Warna oranye dapat dipengaruhi
zat makanan dari wortel dan labu dan dari suplement vitamin C dan B kompleks; dan
(4) warna merah dapat dipengaruhi dari makanan boysen beriies, dan sereal 6 buatan,
dan minuman yang mempunyai zat pewarna merah seperti sirup dan minuman sachet. 16
Warna urin juga dapat digunakan untuk menilai adanya kondisi patologis pada tubuh.
Warna urin dan indikasinya ditampilkan pada table berikut.15

Warna kuning muda pada urin berasal dari zat bilirubin dan biliverdin.
Metabolisme bilirubin dimulai oleh penghancuran eritrosit setelah usia 120 hari oleh
sistem retikuloendotel menjadi heme dan globin. Globin akan mengalami degradasi
menjadi asam amino dan digunakan sebagai pembentukan protein lain. Heme akan
mengalami oksidasi dengan melepaskan karbonmonoksida dan besi menjadi biliverdin.
Biliverdin reduktase akan mereduksi biliverdin menjadi bilirubin tidak terkonjugasi
(bilirubin indirek). Bilirubin tidak terkonjugasi yang dilepaskan ke dalam plasma
berikatan dengan albumin, kemudian berdifusi ke dalam sel hati. Bilirubin tidak
terkonjugasi dalam sel hati akan dikonjugasi oleh asam glukuromat membentuk
bilirubin terkonjugasi (bilirubin direk), kemudian dilepaskan ke saluran empedu dan
saluran cerna. Bilirubin terkonjugasi di dalam saluran cerna dihidrolisis oleh bakteri
usus β- glucuronidase, sebagian menjadi urobilinogen yang keluar dalam tinja
(sterkobilin) atau diserap kembali oleh darah kemudian dibawa ke dalam hati (siklus
enterohepatik).

Bilirubin yang tidak terkonjugasi normalnya diekskresikan. Bilirubin


diglukoronid dihidrolisis dan direduksi oleh bakteri di usus untuk menghasilkan
urobilinogen. Sebagian besar urobilinogen dioksidasi oleh bakteri usus menjadi
sterkobilin, memberi warna coklat pada feses. Namun, beberapa urobilinogen
direabsorbsi oleh usus dan masuk ke dalam sirkulasi portal. Sebagian urobilinogen ini
berperan dalam siklus urobilinogen intrahepatik yang akan di uptake oleh hepar
kemudian diekskresikan kembali ke dalam empedu. Urobilinogen dapat larut dalam air,
sehingga sisa urobilinogen akan diangkut oleh darah ke dalam ginjal, tempat
urobilinigen diubah menjadi urobilin yang berwarna kuning dan diekskresikan
sehingga memberikan warna yang khas pada urin.17

2.5. Karakteristik Urin Normal

Jumlah urin normal rata-rata 1 sampai 2 liter sehari, tetapi berbeda-beda


sesuai jumlah cairan yang dimasukkan. Banyaknya bertambah pula bila terlampau
banyak protein yang dimakan, sehingga tersedia cukup cairan yang diperlukan
untuk melarutkan urea. Urin normal berwarna bening orange pucat tanpa endapan,
Baunya tajam, reaksinya sedikit asam terhadap lakmus dengan pH rata-rata 6,
berat jenisnya berkisar dari 1.010 sampai 1.025.18
Karakteristik urine normal adalah sebagai berikut :

a. Makroskopik19
1. Berwarna kuning
2. Jernih sedikit berkabut
3. Bau tidak menyengat
4. Volume urine berkisar 1,5 L/hari
5. Ada/tidaknya buih dianggap normal
b. Mikroskopis20
1. Memiliki komposisi utama berupa air dengan persentase 90%
2. Memiliki pH berkisar 6,0 hingga 8,0
3. Memiliki berat jenis 1.005-1.035
4. Tiak mengandung glukosa
5. Tidak mengandung keton
6. Tidak ada darah
7. Tidak mengandung nitrit
8. Urobilinogen 0,1 – 1 µ/dL
9. Kadar protein normal 0,03 – 0,15 mg/ hari
2.6. Fisiologi Proses Menahan Buang Air Kecil
Miksi atau berkemih, yaitu proses pengosongan kandung kemih, melalui dua
mekanisme yaitu reflex berkemih dan control volunteer. Refleks berkemih ini dimulai
saat reseptor regang pada dinding kandung mulai terangsang. Serat-serat aferen dari
reseptor regang membawa impuls ke korda spinalis melalui antarneuron, merangsang
saraf parasimpatetis untuk kandung kemih dan menghambat neuron motoric ke sfingter
eksternum. Stimulasi dari saraf parasimpatetis kandung kemih menyebabkan sfungter
uretra eksternum ini berkontraksi. Secara bersamaan, perubahan bentuk kandung kemih
selama kontraksi akan membuka sfingter internum, sfingter eksternum akan melemas
karena neuron-neuron motoriknya terhambat. Kemudian kedua sfingter ini terbuka dan
urin terdorong melalui uretra oleh gaya akibat kontraksi kandung kemih ini. Refleks
berkemih seluruhnya adalah reflex spinal.

Pada pengisian kandung kemih, vesikel-vesikel sitoplasma terbungkus


membrane akan disiiplkan melalui proses eksositosis ke permukaan sel, yang kemudian
akan ditarik ke dalam sel melalui endositosis untuk memperkecil luas permukaan ketika
terjadi pengosongan kandung kemih. Kandung kemih memiliki ciri yaitu dinding sangat
berlipat-lipat menjadi rata sewaktu pengisian untuk meningkatkan kapasitas
penyimpanan. Oleh karena, ginjal yang memproduksi urin terus-menerus, kandung
kemih harus memiliki kapasitas penyimpanan yang cukup untuk menghindari
pembuangan urin yang terus-menerus juga. Mekanisme ini diperankan oleh uretra,
apabila saluran melalui uretra ke luar terbuka maka kontraksi kandung kemih untuk
mengosongkan urin terjadi.

Mekanisme dari menahan BAK ini sendiri diperankan oleh sfingter uretra
eksternum dan diafragma pelvis ketika neuron-neuron motorik yang mensarafinya
dihambat sehingga otot-otot ini akan terus berkontraksi secara tonik untuk mencegah
keluarnya urin dari uretra. Dalam keaadaan normal, ketika kandung kemih melemas dan
terisi, baik sfingter internum maupun eksternum menutup untuk menjaga agar urine
tidak menetes. Sfingter uretra eksternum dan diafragma pelvis ini bekerja secara
volunteer (secara sadar) dikarenakan otot penyusunnya merupakan otot rangka dan
berperan dalam menahan pengeluaran urin. Orang dapat dengan sengaja
mengontraksikan keduanya untuk mencegah pengeluaran urin meskipun kandung
kemih berkontraksi dan sfingter uretra internum terbuka.7
Gambar 16. Kontrol reflex dan volunteer berkemih

2.7. Keseimbangan Cairan Tubuh


A. Cairan Tubuh
Air merupakan komponen terbanyak yang ada di dalam tubuh manusia yaitu
sekitar 40% sampai 80% berat tubuh manusia. Kandungan cairan relatif tidak
terutama, hal ini disebabkan oleh berbagai faktor terutama karena pada keadaan
normal ginjal mengatur keseimbangan cairan secara efisien. Plasma pada tubuh
mengandung lebih dari 90% cairan. Kulit, otot, dan organ internal memiliki
kandungan cairan 70%-80%, dan tulang mengandung sekitar 10% cairan. Persentase
cairan di tubuh juga sangat berkaitan erat dengan jenis kelamin. Wanita biasanya
memiliki kadar H2O yang lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini terjadi
karena adanya hormon pada wanita yang mendorong pembentukan lemak di
payudara, bokong, dan beberapa tempat lain. Cairan tubuh menusia terdapat di dua
tempat utama yaitu cairan intra sel (CIS) dan Cairan Ekstra Sel (CES). Sekitar 2/3
cairan tubuh merupakan cairan intra seluler dan 1/3 lainnya adalah cairan ekstra
seluler. CES terdiri dari dua macam cairan yaitu cairan interstitial sebanyak 80% dan
cairan plasma darah sebanyak 20%.
Perubahan volume cairan dalam tubuh dapat menyebabkan perubuhan
fisiologis tubuh yang signifikan. Untuk menjaga keseimbangan cairan, terjadi proses
osmosis yaiitu proses perpindahan cairan dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi
rendah.7 Pengaturan keseimbangan cairan perlu memperhatikan 2 (dua) parameter
penting, yaitu: volume cairan ekstrasel dan osmolaritas cairan ekstrasel. Ginjal
mengontrol volume cairan ekstrasel dengan mempertahankan keseimbangan garam
dan mengontrol osmolaritas cairan ekstrasel dengan mempertahankan keseimbangan
cairan. Ginjal mempertahankan keseimbangan ini dengan mengatur keluaran garam
dan air dalam urin sesuai kebutuhan untuk mengkompensasi asupan dan kehilangan
abnormal dari air dan garam tersebut.

Pengaturan Volume Cairan Ekstrasel


Penurunan volume cairan ekstrasel menyebabkan penurunan tekanan darah
arteri dengan menurunkan volume plasma. Sebaliknya, peningkatan volume cairan
ekstrasel dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah arteri dengan memperbanyak
volume plasma. Pengontrolan volume cairan ekstrasel penting untuk pengaturan
tekanan darah jangka panjang.
Pengaturan volume cairan ekstrasel dapat dilakukan dengan cara sbb.:

a. Mempertahankan keseimbangan asupan dan keluaran (intake & output) air Untuk
mempertahankan volume cairan tubuh kurang lebih tetap, maka harus ada
keseimbangan antara air yang ke luar dan yang masuk ke dalam tubuh. Hal ini
terjadi karena adanya pertukaran cairan antar kompartmen dan antara tubuh
dengan lingkungan luarnya.
b. Memperhatikan keseimbangan garam Seperti halnya keseimbangan air,
keseimbangan garam juga perlu dipertahankan sehingga asupan garam sama
dengan keluarannya. Permasalahannya adalah seseorang hampir tidak pernah
memperhatikan jumlah garam yang ia konsumsi sehingga sesuai dengan
kebutuhannya. Tetapi, seseorang mengkonsumsi garam sesuai dengan seleranya
dan cenderung lebih dari kebutuhan.Kelebihan garam yang dikonsumsi harus
diekskresikan dalam urin untuk mempertahankan keseimbangan garam.

Ginjal mengontrol jumlah garam yang diekskresi dengan cara:

a. Mengontrol jumlah garam (natrium) yang difiltrasi dengan pengaturan Laju


Filtrasi Glomerulus (LFG)/ Glomerulus Filtration Rate(GFR).
b. Mengontrol jumlah yang direabsorbsi di tubulus ginjal 6 Jumlah Na+ yang
direabsorbsi juga bergantung pada sistem yang berperan mengontrol tekanan
darah. Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron mengatur reabsorbsi Na+ dan retensi
Na+ di tubulus distal dan collecting. Retensi Na+ meningkatkan retensi air
sehingga meningkatkan volume plasma dan menyebabkan peningkatan tekanan
darah arteri.
b. Selain sistem renin-angiotensin-aldosteron, Atrial Natriuretic Peptide (ANP) atau
hormon atriopeptin menurunkan reabsorbsi natrium dan air. Hormon ini disekresi
oleh sel atrium jantung jika mengalami distensi akibat peningkatan volume
plasma. Penurunan reabsorbsi natrium dan air di tubulus ginjal meningkatkan
eksresi urin sehingga mengembalikan volume darah kembali normal.

Pengaturan Osmolaritas Cairan Ekstrasel


Osmolaritas cairan adalah ukuran konsentrasi partikel solut (zat terlarut)
dalam suatu larutan. Semakin tinggi osmolaritas, semakin tinggi konsentrasi solute
atau semakin rendah konsentrasi air dalam larutan tersebut. Air akan berpindah
dengan cara osmosis dari area yang konsentrasi solutnya lebih rendah (konsentrasi air
lebih tinggi) ke area yang konsentrasi solutnya lebih tinggi (konsentrasi air lebih
rendah).
Osmosis hanya terjadi jika terjadi perbedaan konsentrasi solut yang tidak
dapat menembus membran plasma di intrasel dan ekstrasel. Ion natrium merupakan
solut yang banyak ditemukan di cairan ekstrasel, dan ion utama yang berperan penting
dalam menentukan aktivitas osmotik cairan ekstrasel. Sedangkan di dalam cairan
intrasel, ion kalium bertanggung jawab dalam menentukan aktivitas osmotik cairan
intrasel. Distribusi yang tidak merata dari ion natrium dan kalium ini menyebabkan
perubahan kadar kedua ion ini bertanggung jawab dalam menentukan aktivitas
osmotik di kedua kompartmen ini.
Pengaturan osmolaritas cairan ekstrasel oleh tubuh dilakukan melalui:

a. Perubahan osmolaritas di nefron


Di sepanjang tubulus yang membentuk nefron ginjal, terjadi perubahan
osmolaritas yang pada akhirnya akan membentuk urin yang sesuai dengan
keadaan cairan tubuh secara keseluruhan di duktus koligen. Glomerulus
menghasilkan cairan yang isosmotik di tubulus proksimal (± 300 mOsm). Dinding
tubulus ansa Henle pars desending sangat permeable terhadap air, sehingga di
bagian ini terjadi reabsorbsi cairan ke kapiler peritubular atau vasa recta. Hal ini
menyebabkan cairan di dalam lumen tubulus menjadi hiperosmotik. Dinding
tubulus ansa henle pars asenden tidak permeable terhadap air dan secara aktif
memindahkan NaCl keluar tubulus.
Hal ini menyebabkan reabsorbsi garam tanpa osmosis air. Sehingga cairan
yang sampai ke tubulus distal dan duktus koligen menjadi hipoosmotik.
Permeabilitas dinding tubulus distal dan duktus koligen bervariasi bergantung
pada ada tidaknya vasopresin (ADH). Sehingga urin yang dibentuk di duktus
koligen dan akhirnya di keluarkan ke pelvis ginjal dan ureter juga bergantung
pada ada tidaknya vasopresin/ ADH.
b. Mekanisme haus dan peranan vasopresin (anti diuretic hormone/ ADH)
Peningkatan osmolaritas cairan ekstrasel (> 280 mOsm) akan merangsang
osmoreseptor di hypothalamus. Rangsangan ini akan dihantarkan ke neuron
hypothalamus yang menyintesis vasopressin. Vasopresin akan dilepaskan oleh
hipofisis posterior ke dalam darah dan akan berikatan dengan reseptornya di
duktus koligen. Ikatan vasopressin dengan resptornya di duktus koligen memicu
terbentuknya aquaporin, yaitu kanal air di membrane bagian apeks duktus koligen.
Pembentukan aquaporin ini memungkinkan terjadinya reabsorbsi cairan ke vasa
recta. Hal ini menyebabkan urin yang terbentuk di duktus koligen menjadi sedikit
dan hiperosmotik atau pekat, sehingga cairan di dalam tubuh tetap dapat
dipertahankan. Selain itu, rangsangan pada osmoreseptor di hypothalamus akibat
peningkatan osmolaritas cairan ekstrasel juga akan dihantarkan ke pusat haus di
hypothalamus sehingga terbentuk perilaku untuk mengatasi haus, dan cairan di
dalam tubuh kembali normal. Pengaturan Neuroendokrin dalam Keseimbangan
Cairan dan Elektrolit
Sebagai kesimpulan, pengaturan keseimbangan cairan dan elektrolit
diperankan oleh system saraf dan sistem endokrin. Sistem saraf mendapat
informasi adanya perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit melali
baroreseptor di arkus aorta dan sinus karotiikus, osmoreseptor di hypothalamus,
dan volumereseptor atau reseptor regang di atrium. Sedangkan dalam sistem
endokrin, hormon-hormon yang berperan saat tubuh mengalami kekurangan
cairan adalah Angiotensin II, Aldosteron, dan Vasopresin/ ADH dengan
meningkatkan reabsorbsi natrium dan air.
Sementara, jika terjadi peningkatan volume cairan tubuh, maka hormone
atripeptin (ANP) akan meningkatkan ekskresi volume natrium dan air . Perubahan
volume dan osmolaritas cairan dapat terjadi pada beberapa keadaan. Sebagai
contoh Faktor-faktor lain yang mempengaruhi keseimbangan cairan dan elektrolit
diantaranya ialah umur, suhu lingkungan, diet, stress, dan penyakit.21
B. Elektrolit tubuh
Proses pompa Na+ K- ATPase merupakan proses penting yang menentukan
keberadaan elektrolit di dalam sel. Adanya pompa Na+ K- ATPase mengakibatkan
CIS mengandung banyak potasium, sedangkan CES mengandung banyak natrium.
Untuk mempertahankan keseimbangan natrium yang ada di dalam CES,
kelebihan natrium harus diekskresikan melalui urine. Tiga jalan pengeluaran
natrium adalah pengeluaran obligatorik natriumm melalui keringat, melalui tinja,
dan ekskresi terkontrol natrium di urine. Jumlah total keringat yang diproduksi
tidak berkaitan dengan keseimbangan natrium. Pengeluaran natrium dalam jumlah
kecil pada tinja juga tidak berada di bawah kontrol. Natrium dapat ditemukan di
tinja dan keringat dalam kondisi keringat berlebih atau diare sebanyak 0,5 g/hari.
Dengan mengatur laju eksresi NA+, ginjal secara normal akan menjaga massa Na +
total yang terdapat di CES tetap konstan.
Natrium difiltrasi secara bebas di glomerulus dan direabsorpsi secara aktif,
tetapi zat ini tidak disekresi oleh tubulus, sehingga jumlah natrium yang diekskresi
di urine mencerminkan jumlah natrium yang difiltrasi tetapi tidak di reabsorpsi.
Dengan demikian, ginjal akan menyesuaikan jumlah natrium yang diekskresikan
dengan mengontrol dua proses yaitu laju filtrasi glomerulus dan reabsorpsi Na+.
Oleh karena itu, kontrol LFG dan reabsorpsi natrium berhubungan erat dengan
regulasi jangka panjang volume CES.7
C. Keseimbangan Asam Basa
Asam adalah kelompok khusus bahan yang mengandung hidrogen yang
terdisosiasi atau terurai ketika berada dalam larutan untuk membebaskan H+ dan
anion. Sedangkan, basa adalah suatu bahan yang dapat berikatan dengan H + bebas
dan memisahkannya dari larutan. Basa kuat akan sangat mudah mengikat H +.
Keseimbangan asam basa adalah regulasi ion H + bebas dalam cairan tubuh. Pada
prosesnya, asam akan melepaskan ion hidrogen bebas yang nantinya akan
ditangkap menjadi basa.
Asam kuat memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk terurai dalam
larutan dengan persentase molekul asam kuat yang terurai menjadi H + bebas dan
anion lebih besar. Tingkat penguraian suatu asam selalu konstan yaitu ketika
dalam larutan, proporsi yang sama dari suatu molekul asam selalu terurai untuk
menghasilkan H+ bebas, dengan bagian lainnya tetap selalu utuh. Derajat tetap
disosiasi suatu asam tertentu dinyatakan oleh konstanta disosiasi yang akan
berbeda pada setiap asam.7

Keseimbangan asam-basa terkait dengan pengaturan pengaturan


konsentrasi ion H bebas dalam cairan tubuh. pH rata-rata darah adalah 7,4, pH
darah arteri 7,45 dan darah vena 7,35. Jika pH darah < 7,35 dikatakan asidosis,
dan jika pH darah > 7,45 dikatakan alkalosis. Ion H terutama diperoleh dari
aktivitas metabolik dalam tubuh. Ion H secara normal dan kontinyu akan
ditambahkan ke cairan tubuh dari 3 sumber, yaitu:

1. Pembentukan asam karbonat dan sebagian akan berdisosiasi menjadi ion


dan bikarbonat
2. Katabolisme zat organik
3. Disosiasi asam organic pada metabolisme intermedia, misalnya pada
metabolisme lemak terbentuk asam lemak dan asam laktat, sebagian asam
ini akan berdisosiasi melepaskan ion H.

Fluktuasi konsentrasi ion H+ dalam tubuh akan mempengaruhi fungsi


normal sel, antara lain:

1. Perubahan eksitabilitas saraf dan otot; pada asidosis terjadi depresi susunan
saraf pusat, sebalikny pada alkalosis terjadi hipereksitabilitas.
2. Mempengaruhi enzim-enzim dalam tubuh.
3. Mempengaruhi konsentrasi ion K
Bila terjadi perubahan konsentrasi ion H maka tubuh berusaha
mempertahankan ion H seperti nilai semula dengan cara:

1. Mengaktifkan sistem dapar kimia


2. Mekanisme pengontrolan pH oleh sistem pernapasan
3. 3. mekanisme pengontrolan pH oleh sistem perkemihan
Ada 4 sistem dapar kimia, yaitu:
1. Dapar bikarbonat; merupakan sistem dapar di cairan ekstrasel teutama
untuk perubahan yang disebabkan oleh non-bikarbonat.
2. Dapar protein; merupakan sistem dapar di cairan ekstrasel dan intrasel.
3. Dapar hemoglobin; merupakan sistem dapar di dalam eritrosit untuk
perubahan asam karbonat.
4. Dapar fosfat; merupakan sistem dapar di sistem perkemihan dan cairan
intrasel.

Sistem dapar kimia hanya mengatasi ketidakseimbangan asam-basa


sementera. Jika dengan dapar kimia tidak cukup memperbaiki
ketidakseimbangan, maka pengontrolan pH akan dilanjutkan oleh paru-paru
yang berespons secara cepat terhadap perubahan kadar ion H dalam darah
akibat rangsangan pada kemoreseptor dan pusat pernapasan, kemudian
mempertahankan kadarnya sampai ginjal menghilangkan ketidakseimbangan
tersebut. Ginjal mampu meregulasi ketidakseimbangan ion H secara lambat
dengan mensekresikan ion H dan menambahkan bikarbonat baru ke dalam
darah karena memiliki dapar fosfat dan ammonia.21

2.8. Kebutuhan Air Minum bagi Tubuh Manusia


Jumlah air yang dibutuhkan untuk mengganti pengeluaran disebut sebagai
kebutuhan mutlak. Padahal persyaratan tidak mungkin diprediksi secara tepat, kecuali
dalam kondisi yang terkendali, rekomendasi adalah standar yang akan digunakan dalam
penilaian dan perencanaan diet untuk individu dan kelompok, dan untuk menetapkan
kebijakan.

The Tropical Agriculture Association telah menerbitkan kebutuhan air untuk


manusia, hewan dan tanaman irigasi, diberikan dalam liter per tahun. Kebutuhan air
minimum untuk penggantian cairan pada manusia dengan massa tubuh 70 kg di zona
sedang setara dengan 3L per hari, atau 42,9 mL/kg. Kebutuhan minimum untuk individu
dengan ukuran yang sama tetapi berada di zona tropis setara dengan 4,1 hingga 6L/hari,
atau 58,6-85,7 mL/kg.
Adequate Intake (AI) spesifik usia dan gender untuk air adalah ditetapkan pada
tahun 2004 oleh the Food and Nutrition Board sebagai berikut:22
Usia Kebutuhan Air Minum
0-6 bulan 0,7 L/hari, diasumsikan berasal dari air susu ibu
1-12 bulan 0,8 L/hari, diasumsikan berasal dari air susu ibu dan
makanan pendamping
1-3 tahun 1,3 L/hari
4-8 tahun 1,7 L/hari
9-13 tahun
Laki-laki 2,4 L/hari
Perempuan 2,1 L/hari
14-18 tahun
Laki-laki 3,3 L/hari
Perempuan 2,3 L/hari
19-70 tahun keatas
Laki-laki 3,7 L/hari
Perempuan 2,7 L/hari

2.9. Hubungan Aktifitas Fisik terhadap Kebutuhan Cairan

Air merupakan komponen yang paling besar di dalam tubuh manusia, pada
keadaan sehat jumlahnya 60% dari berat badan. Perubahan cairan tubuh sangat
berhubungan dengan metabolisme kalori. Semakin tinggi aktivitas tubuh maka semakin
tinggi peningkatan aliran darah untuk mensuplai zat makanan dan oksigen ke jaringan
otot, sehingga jantung berkontraksi lebih cepat dan kuat yang berakibat pula pada
peningkatan panas dalam tubuh. Peningkatan panas dalam tubuh akan mengakibatkan air
yang berada pada sirkulasi darah akan menyerap panas dan mengeluarkan melalui kulit
yang disebut evaporasi keringat. Keringat 3 yang keluar ketika beraktivitas juga akan
membawa sejumlah elektrolit seperti natrium, kalium.23

Pada saat berolahraga atau melakukan aktivitas fisik/ latihan fisik seperti lari/
jogging, treadmill, renang, senam, sepakbola, futsal, dan lain-lain, akan mengakibatkan
terjadinya peningkatan kebutuhan elektrolit. Karena pada saat berolahraga elektrolit akan
semakin banyak keluar bersamaan dengan keringat yang keluar saat berolahraga.
Kehilangan keringat yang cukup banyak dapat mengurangi kinerja seseorang secara
bermakna, dan dapat menyebabkan dehidrasi, kram otot, juga mual. Kalium, natrium,
klorida merupakan tiga mineral utama yang terdapat dalam komposisi air keringat.24

Aktivitas fisik yang berlebihan mengakibatkan pengeluaran cairan tubuh yang


terlalu banyak, bila pengeluaran cairan tubuh tidak diimbangi dengan pemasukan cairan
akan mengakibatkan tubuh kekurangan cairan atau dehidrasi. 25
Remaja lebih sering mengalami dehidrasi karena banyaknya aktivitas fisik remaja
yang dapat menguras tenaga dan cairan tubuh sehingga menyebabkan kurangnya
konsumsi cairan. Menurut hasil penelitian The Indonesian Regional Hydration Study
mengenai asupan air yang dilakukan di Indonesia mengungkapkan bahwa kejadian
dehidrasi ringan pada remaja sebesar 49.5% ternyata lebih tinggi dibandingkan orang
dewasa sebesar 42,5%. Hal ini menunjukkan bahwa masih kurangnya konsumsi air pada
remaja di Indonesia.26

2.10. Mekanisme Haus


Mekanisme munculnya rasa haus merupakan proses pengaturan primer
asupan cairan. Pusat rangsangan haus berada di hipotalamus otak dekat sel penghasil
vasopresin. Hipotalamus sebagai pusat pengontrolan mengatur sekresi vasopresin
(pengeluaran urin) dan rasa haus (minum) bekerja secara berkesinambungan. Sekresi
vasoprin serta rasa haus di rangsang oleh kekurangan cairan dan dikendalikan oleh
kelebihan cairan. Itu sebabnya, kondisi yang mendorong kejadian penurunan
pengeluaran urin untuk menghemat cairan tubuh dapat menimbulkan rasa haus untuk
mengganti kehilangan cairan tubuh.
Osmoreseptor hipotalamus yang terletak dekat sel penghasil vasopresin dan
pusat haus, marangsang sinyal eksitatorik utama sekresi vasopresin dan rasa haus.
Osmoreseptor ini memantau osmolaritas cairan, selanjutnya mencerminkan
konsentrasi keseluruh cairan internal. Sepanjang peningkatan osmolaritas (air terlalu
sedikit) dan kebutuhan akan air bertambah, maka secara otomatis akan terjadi aktifasi
sekresi vasopresin dan rasa haus. Akibat proses aktifasi tersebut, terjadi peningkatan
reabsorpsi air di tubulus distal dan koligentes sehingga pengeluaran urin kurang dan
air akan dihemat, disisi lain asupan air secara bersamaan dirangsang. Proses ini
memulihkan cadangan air yang berkurang sehingga keadaan hipertonik mereda
seiring pulihnya konsentrasi zat terlarut dalam kondisi normal. Sebaliknya, air yang
berlebihan, bermanifestasi sebagai menurunnya osmolaritas CES, mendorong
kenaikan ekskresi urin (lewat penurunan sekresi vasopresin) dan menekan perasaan
haus, sehingga mengurangi jumlah air dalam tubuh.7
Sebagian stimulus merangsang pusat ini, termasuk juga tekanan osmotik
cairan tubuh, volume vaskular, dan angiotensin (hormon yang dilepaskan sebagai
respon pada penurunan aliran darah ke ginjal). Tekanan osmotik yang meningkat akan
menstimulasi pusat haus yang menyebabkan munculnya rasa haus dan mendorong
keingin untuk minum untuk menggantikan kehilangan cairan. 11

Regulasi ketat harus dilakukan pada osmolalitas cairan ekstraselular karena


perubahan osmolalitas akan menyebabkan pembengkakan atau pengerutan sel dan
mengakibatkan sel mati. Kontrol pada osmolalitas lebih dulu terjadi dari kontrol
volume cairan tubuh.7
Peningkatan osmolalitas plasma terjadi pada kondisi defisiensi air dan
menurun dengan ingesti air. Osmoreseptor dihipotalamus anterior sangat sensitif pada
perubahan kecil 1% pada osmolalitas plasma serta meregulasi hormon antidiuretik
(antidiuretic hormone, ADH). Osmolalitas yang meningkat merangsang peningkatan
pelepasan ADH dan menstimulasi munculnya rasa haus serta reabsorpsi air, dan pada
keadaan menurunnya osmolalitas menyebabkan efek yang sebaliknya. 7
Peningkatan konsentrasi plasma, penurunan volume darah, membran mukosa
dan mulut yang kering, angiotensin II, kehilangan kalium, dan faktor-faktor
psikologis. Sel reseptor osmoreseptor secara terus- menerus memantau osmolalitas,
apabila tubuh kehilangan cairan banyak osmoreseptor akan bekerja mendeteksi
kehilangan cairan dan mengaktifkan pusat rasa haus, hal ini yang mengakibatkan
seseorang merasa haus dan mencul keinginan untuk minum. 27
Munculnya rasa haus merupakan sebuah fenomena penting mekanisme dasar
yang dialami tubuh manusia sebagai sinyal atau tanda kebutuhan akan cairan (air)
dalam tubuh untuk mempertahankan kebutuhan cairan. Karena jumlah air dalam
tubuh manusia harus seimbang pada setiap saat antara yang masuk dan yang keluar
setiap hari. Jika antara jumlah air yang masuk dan keluar tidak seimbang (jumlah air
yang keluar lebih banyak dibanding yang masuk), maka akan muncul rasa haus. 28
Rasa haus akan segera hilang sesaat setelah seseorang minum dan bahkan
sebelum cairan yang diminum diabsorpsi oleh saluran gastrointestinalis. Tetapi rasa
haus hanya akan hilang sementara setelah seseorang minum dan cairan yang di
minum mendistensi saluran gastrointestinalis atas, kemudian rasa haus akan kembali
dirasakan dalam waktu sekitar 15 menit. Karena saat lambung kemasukan air, akan
terjadi peregangan lambung dan bagian lain dari traktus gastrointestinalis atas yang
dapat memberikan efek pengurangan rasa haus untuk sesaat selama 5 sampai 30
menit. Mekanisme ini mengatur kebutuhan cairan tubuh manusia agar cairan yang di
minum tidak berlebihan, karena cairan dalam tubuh butuh waktu 30 menit sampai 1
jam untuk diabsorpsi dan diedarkan ke seluruh tubuh. 11,29

2.11. Adaptasi Tubuh terhadap Dehidrasi

Sekresi vasopresin meningkat sebagai respons terhadap defisit H20 dan


permeabilitas tubulus distal dan koligentes terhadap H20 juga karenanya meningkat,
cairan tubulus yang hipotonik yang mengalir ke bagian distal nefron dapat kehilangan
lebih banyak H20 secara progresif melalui osmosis ke dalam cairan interstisium
sewaktu cairan tubulus mula-mula mengalir melalui korteks isotonik dan kemudian
terpajan ke cairan interstisium medula yang osmolaritasnya terus meningkat ketika
saluran masuk jauh menuju pelvis ginjal. Sewaktu cairan tubulus 100 mOsm/liter
masuk ke tubulus distal dan terpajan ke cairan interstisium sekitar dengan osmolaritas
300 mOsm/ liter, H20 keluar dari tubulus secara osmosis menembus sel tubulus yang
kini permeabel hingga cairan tubulus mencapai kosentrasi maksimal 300 mOsm/ liter
di akhir tubulus distal. Sewaktu terus mengalir ke duktus koligentes, cairan tubulus
300 mOsm/liter ini terpajan ke cairan interstisium medula yang osmolaritasnya
bahkan lebih tinggi lagi. Konsekuensinya, cairan tubulus kembali kehilangan H20
secara osmosis dan menjadi semakin pekat; hanya untuk mengalir maju, terpajan ke
osmolaritas cairan interstisium yang lebih tinggi, dan kembali kehilangan H20; dan
demikian seterusnya.

Di bawah pengaruh vasopresin kadar maksimal, cairan tubulus dapat


dipekatkan hingga 1200 mOsm/liter di akhir duktus koligentes. Cairan tidak
dimodifikasi lebih lanjut lagi setelah duktus koligentes sehingga apa yang tersisa di
tubulus di titik ini adalah urine. Akibat reabsorpsi ekstensif H20 yang didorong oleh
vasopresin di segmen-segmen akhir tubulus ini, dapat diekskresikan urine dengan
volume sedikit dan memiliki konsentrasi hingga 1200 mOsm/liter. Setiap menit dapat
dihasilkan urine bervolume hanya 0,3 ml, kurang daripada sepertiga kecepatan aliran
urine normal yang besarnya 1 mL/mnt. H20 yang direabsorpsi masuk ke cairan
interstisium medula diambil oleh kapiler peritubulus dan dikembalikan ke sirkulasi
umum sehingga dipertahankan di dalam tubuh.
Meskipun mendorong penghematan H20 oleh tubuh, vasopresin tidak dapa
menghentikan secara total produksi urine, meskipun yang bersangkutan sama sekali
tidak mendapat H2O, karena harus terjadi ekskresi H20 dalam jumlah minimal
bersama dengan zat sisa terlarut. Secara kolektif, produk sisa dan konstituen lain yang
dieliminasi di urine berosmolaritas rerata 600 mOsm per hari. Karena konsentrasi
maksimal urine adalah 1200 mOsm/liter, volume minimal urine yang diperlukan
untuk mengekskresikan zat zat sisa ini adalah 500 mL/hari (600 mOsm zat sisa/hari
1200 mOsm/ liter = urine 0,5 liter, atau 500 mL/hari, atau 0,3 mL/ mnt). Karena itu,
di bawah pengaruh maksimal vasopresin, 99,7% dari 180 liter H2O plasma yang
terfiltrasi per hari dikembalikan ke darah, dengan pengeluaran wajib H20 sebanyak
setengah liter.

Kemampuan ginjal memekatkan urine untuk mengurangi kehilangan H20 jika


dibutuhkan hanya dimungkinkan karena adanya gradien osmotik vertikal di medula.
Jika gradien ini tidak ada, ginjal tidak dapat menghasilkan urine yang lebih pekat
daripada cairan tubuh seberapapun jumlah vasopressin yang dikeluarkan karena satu-
satunya gaya pendorong untuk reabsorpsi H20 adalah perbedaan konsentrasi antara
cairan tubulus dan cairan interstisium.7

Dalam kondisi normal, cairan tubuh stabil dalam petaknya masing-masing.


Apabila terjadi perubahan, tubuh memiliki sistem kendali atau pengaturan yang
bekerja untuk mempertahankannya. Mekanisme pengaturan dilakukan melalui 2
cara, yaitu kendali osmolar dan kendali nonosmolar.

a. Kendali Osmolar

Mekanisme kendali ini dominan dan efektif dalam mengatur volume cairan
ekstraseluler. Terjadi melalui:
1. Sistem osmoreseptor hipothalamus-hipofisis-ADH
Osmoreseptor terletak pada hipotalamus anterior bagian dari nukleus
supra optik. Terdiri dari vesikel yang dipengaruhi osmolaritas cairan
ekstraseluler. Bila osmolaritas cairan meningkat, vesikel akan mengeriput.
Sebaliknya bila osmolaritas cairan menurun, vesikel akan mengembang
sehingga impuls yang dilepas dari reseptor akan berkurang. Impuls ini
nantinya merangsang hipofisis posterior melepaskan ADH. Jadi semakin
rendah osmolaritas suatu cairan ekstraseluler, semakin sedikit ADH yang
dilepaskan. ADH berperan untuk menghemat air dengan meningkatan
reabsorbsi30,33.
2. Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron
Mekanisme pengaturannya melalui pengaturan ekskresi Na pada urin
melalui interaksi antara aktivitas ginjal dengan hormon korteks adrenal. Lebih
dari 95% Na direabsorbsi kembali oleh tubulus ginjal. Korteks adrenal
merupakan faktor utama yang menjaga volume cairan ekstraseluler melalui
hormon Aldosteron terhadap retensi Na.
Pelepasan renin dipengaruhi oleh baroreseptor ginjal. Konsep Makula
lutea, yang tergantung pada perubahan Na di tubulus distalis. Bila Na
menurun, volume tubulus menurun, sehingga mengurangi kontak makula
dengan sel arteriol. Akibatnya terjadi pelepasan renin. Renin akan membentuk
Angiotensin I di hati yang kemudian oleh converting enzim dari paru diubah
menjadi Angiotensin II sebagai vasokonstriktor dan merangsang kelenjar
supra renal menghasilkan aldosteron. Peranan Angiotensin II adalah untuk
mempertahankan tekanan darah bila terjadi penurunan volume sirkulasi dan
Aldosteron akan meningkatkan reabsorbsi Na yang menyebabkan retensi
air30,32,33.

b. Kendali Non Osmolar


Mekanisme kendali ini meliputi beberapa cara sebagai berikut:
1. Refleks “Stretch Receptor”
Pada dinding atrium jantung terdapat reseptor stretch apabila terjadi
dilatasi atrium kiri. Bila reseptor ini terangsang, maka akan timbul impuls
aferen melalui jalur simpatis yang akan mencapai hipotalamus. Kemudian
akibat aktivitas sistem hipotalamus- hipofisis akan disekresikan ADH30,32,33.
2. Refleks Baroreseptor
Bila tekanan darah berkurang, baroreseptor karotid akan terangsang
sehingga menyebabkan impuls aferen yang melalui jalur parasimpatis
menurun. Akibatnya, terjadi hambatan efek hipotalamus terhadap hipofisis
sehingga sekresi ADH meningkat. Bila terjadi peningkatan tekanan darah,
impuls aferen akan mempengaruhi hipotalamus yang akan menginhibisi
hipofisis posterior sehingga sekresi ADH berkurang31,33.

BAB III
KESIMPULAN

Perubahan warna dan kuantitas urin pada Danang (21 tahun) dipengaruhi oleh padatnya
aktivitas dan minimnya asupan cairan yang diterima.
DAFTAR PUSTAKA

1. Snell, R.S. Anatomi Klinik. 6th ed. Jakarta: EGC; 2006.


2. Paulsen F, dan Waschke J. Sobotta Atlas Of Human Anatomy: Internal Organs. 15th
Edition. Elsevier Urban & Fischer; 2011.
3. Mescher LA.. Junqueira’s Basic Histology Text & Atlas. 12th ed. California: Lange
Medical Publications; 2010.
4. Gartner LP, Hiatt JL. Color Textbook of Histology. 3rd ed. Philadelphia: Saunders
Elsevier; 2006.
5. Wylie, L. Esensial Anatomi Fisiologi dalam Asuhan Maternitas. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC; 2010.
6. Muttaqin, AS, Kurmala. Gangguan Gastrointestinal: Aplikasi Asuhan Keperawatan
Medikal bedah. Jakarta: Salemba medika; 2011.
7. Sherwood L. Introduction To Human Physiology. 8th ed. Canada: Nelson education,
Ltd. 2013. p. 165, 204-206.
8. Guyton, A C. Fisiologi Manusia Dan Mekanisme Penyakit (Human Physiology And
Mechanism Of Disease). Ed. 33. Jakarta: EGC; 1990
9. Vander et al. Human Physiology: The Mechanism of Body Function. 8th ed. The
McGraw−Hill: Companies; 2001
10. Elizabeth J. Corwin. Buku Saku Patofisiologi Corwin. Jakarta: Aditya Media; 2009.
11. Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, edisi 12. Jakarta : EGC; 2014
12. Wibowo BSH, Rambert IG, Wowor FM. Gambaran keton urin pada pasien dewasa
dengan tuberculosis paru di RSUP Prof.Dr.R.D.Kandou Manado. Jurnal e-Biomedik
(eBm). 2016:Vol.4(2).
13. Chernecky CC, Berger BJ. Ketone, semiquantitative - urine. In: Chernecky CC,
Berger BJ, eds. Laboratory Tests and Diagnostic Procedures. 6th ed. St Louis, MO:
Elsevier Saunders; 2013:694.
14. Tortora, GJ, Derrickson, B. Principles Of Anatomy & Physiology. 13th Edition.
United States of America: John Wiley & Sons, Inc; 2012.
15. Andrizala , Hidayata A , Angrainia T , Yefriadia , Rusfandia , Chadryb R. Pembuatan
Histogram Dan Pola Data Warna Urin Berdasarkan Urinalisis Menggunakan Mini PC.
Jurnal Rekayasa Sistem dan Teknologi Informasi. Vol 22(3): 722-727; 2018.
16. Prabowo dan Pranata. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Sistem Perkemihan. edisi ke-1.
Yogyakarta: Nuha Medika.
17. Sutjahjo A. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Dalam. Surabaya: Airlangga University
Press; 2015.
18. Pearce Evelyn C. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakata: PT Gramedia
Pustaka Utama; 2009.
19. Dharma, S., Ratmika, D., dan Santa, AP. Penuntun Praktikum Kimia Klinik.
Universitas Udayana : Bali; 2016.
20. American Assosiation for Clinical Chemistry. Laboratorium Online; 2017.
21. Silverthorn, D.U. Human Physiology: An Integrated Approach. 3rd ed. San Francisco:
Pearson Educatio; 2004.
22. Grandjean, A. Water Requirements, Impinging Factors, and Recommended Intakes.
World Health Organization; 2014.
23. Kurniawan, R., dkk. Pengaruh Pemberian Minuman Isotonik Terhadap waktu
Pemulihan Pada Atlet Taekwondo Dojang Universitas Negeri Padang. Jurnal
Scientia, Vol 4 (2): 81-84; 2014.
24. Pokneangge R. J., dkk. Perbandingan Kadar Kalium Darah Sebelum Dan Sesudah
Aktivitas Fisik Intensitas Berat. Jurnal e-Biomedik (eBm), Vol 3 (3); 2015.
25. Ardhiyona, Metria Angela. Hubungan Kebiasaan Minum dan Aktivitas Fisik dengan
Kejadian Dehidrasi pada Remaja. Jurnal Ilmiah STIKES Kendal. Vol.7, No.2. ISSN :
2549-8134; 2017.
26. Ulvie, Yuliana NS, Hapsari Sulistya Kusuma, dan Rialita Agusty. Identifikasi Tingkat
Konsumsi Air dan Status Dehidrasi Atlet Pencak Silat Tapak Suci Putra
Muhammadiyah Semarang. Jurnal Media Ilmu Keolahragaan Indonesia. Vol.7, No.2.
ISSN : 2442-6830; 2017.
27. Kozier, B., ERB, G., Berman, A., & Snyder, S. J. Buku Ajar Fundamental
Keperawatan: Konsep, Proses, Dan Praktik. Alih bahasa Esty Wahyuningsih, Devi
Yulianti, Yuyun Yuningsih dan Ana Lusyana. Jakarta: EGC; 2011
28. Ward, J. P. T., Clarke, R. W., & Linden, R. W. A. At A Glance Fisiologi. Alih bahasa
Indah Retno Wardhani. Jakarta: Erlangga; 2009.
29. Potter, P. A., & Perry, A. G. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses,
Dan Praktik. Jakarta: EGC; 2006.
30. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Management of Patients with Fluid and
Electrolyte Disturbances. Dalam Morgan & Mikhail’s Clinical Anesthesiology 5th ed.
New York: Mc-Graw Hill; 2013.
31. Agro FE, Fries D, Vennari M. Body Fluid Management From Physiology to
Therapy. Verlag Italia: Springer.

32. Mangku G, Senapathi TGA. Keseimbangan Cairan dan Elektrolit. Dalam Buku Ajar
Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Jakarta: Indeks; 2010.
33. Miller RD. Miller’s Anesthesia. 8th Edition. Philadelphia, PA: Elsevier Saunders;
2015.

Anda mungkin juga menyukai