Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

KETENTUAN PIDANA DAN TINDAK PIDANA


DALAM UUPA

Kelompok 5:

Ni Made Dwikayanti 1982411026


Felix Rocky Wibhawa 1982411027
Putu Inten Andhita Dewi 1982411028
Gusti Agung Sagung Istri Dianita 1982411029
Putu Aristia Anggara Putera 1982411030
Made Pramanaditya Widiada 1982411031

MAGISTER KENOTARIATAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2019

i
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Tanah merupakan kebutuhan dasar setiap manusia. Tanah dapat memberikan
kehidupan kepada manusia dengan pengelolaan yang bermanfaat atas tanah tersebut.
Tanah sebagai social asset dan capital asset. Sebagai social asset tanah merupakan
sarana pengikat kesatuan sosial di kalangan masyarakat Indonesia untuk hidup dan
kehidupan, sedangkan sebagai capital asset, tanah merupakan faktor modal dalam
pembangungan. Oleh sebab itu tanah harus dipergunakan dan dimanfaatkan untuk
sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat, secara lahir, batin, adil dan merata serta dijaka
kelestariannya.
Pengertian tanah secara resmi diatur oleh Undang-Undang No.5 Tahun 1960
tentang Pokok-pokok Agraria (selanjutnya disingkat UUPA). Pasal 4 UUPA
menyebutkan bahwa pengertian Tanah secara yuridis mencakup permukaan bumi.
Menurut Boedi Harsono, tanah adalah permukaan bumi yang diberikan kepada dan
dipunyai oleh orang dengan hak-hak yang disediakan oleh UUPA, adalah untuk
digunakan atau dimanfaatkan.1 Diberikan dan dipunyainya tanah dengan hak-hak
tersebut tidak akan bermanfaat apabila penggunaanya terbatas dan tidak bermanfaat.
Tanah merupakan elemen terpenting bagi masyarakat untuk mewujudkan
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Hukum tanah adalah keseluruhan peraturan-peraturan hukum, baik yang tertulis
maupun tidak tertulis yang mengatur hak dan kewajiban dalam penguasaan tanah. 2
Sedangkan Politik Hukum Pertanahan adalah Kebijakan Pemerintah dibidang
pertanahan yang ditujukan untuk peruntukan dan penggunaan penguasa atau pemilik
tanah, peruntukan penggunaan tanah untuk menjamin perlindungan hukum dan

1
Boedi Harsono, 2008, Hukum Agraria Indonesia, Djambatan, Jakarta, hal.18.
2
Effendi Perangin, 1986, 401 Pertayaan Hukum Agraria, Rajawali, Jakarta, hal.29.

1
meningkatkan kesejahteraan serta mendorong kegiatan ekonomi melalui
pemberlakuan Undang-Undang Pertanahan dan peraturan pelaksanaannya.
Salah satu permasalahan yang sering terjadi dalam kehidupan bermasyarakat
dalam perspektif tindak pidana adalah permasalahan yang menyangkut dengan tanah,
yang cenderung bermetamorfosis dalam kehidupan sosial masyarakat. Tanah tidak
lagi sekedar dipandang sebagai masalah agraria semata yang selama ini diidentikkan
sebagai pertanian belaka, melainkan telah berkembang, baik manfaat maupun
kegunaannya, sehingga terjadi dampak negatif yang semakin kompleks.

Ketidakseimbangan antara jumlah dan luas tanah yang tidak selaras dengan
kebutuhan masyarakat yang terus meningkat menyebabkan tanah mempunyai arti
yang sangat penting, sehingga tidak banyak masyarakat yang saling berlomba dengan
mengupayakan segala hal untuk mendapatkan tanah. Penyimpangan-penyimpangan
terhadap hukum dirasa wajar demi mendapatkan tanah untuk kepentingan pribadi.
Kompetisi antar sesama manusia untuk memperoleh tanah seperti inilah yang
dikemudian hari menimbulkan banyak konflik agraria. Dalam hal ini campur tangan
negara melalui aparatnya dalam tatanan hukum pertanahan mutlak diperlukan
keberadaannya untuk mencegah hal-hal seperti ini terjadi.

Dalam menyikapi penyimpangan terhadap penguasaan dan kepemilikan tanah


tersebut, pemerintah mengambil sikap dengan membuat kebijakan di dalam UUPA
dalam Bab III tentang Ketentuan Pidana didalam Pasal 52. Dalam Penjelasan pada
Pasal 52 UUPA dijelaskan bahwa:

“Untuk menjamin pelaksanaan yang sebaik-baiknya daripada peraturan-


peraturan serta tindakan-tindakan yang merupakan pelaksanaan dari Undang-
undang Pokok Agraria maka diperlukan adanya sanksi pidana sebagai yang
ditentukan dalam Pasal ini.”
Pasal 52 UUPA dibuat untuk memberikan sanksi bagi masyarakat yang
melanggar sehingga tercipta nilai-nilai preventif (pencegahan) dan repesif (mendidik)
untuk dikemudian hari.”

2
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah diuraikan diatas maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana sistem penegakan hukum dalam Pasal 52 UUPA?
2. Bagaimana mekanisme proses penyelesaian tindak pidana dalam UUPA?

1.3 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui bagaimana sistem

penegakan hukum dalam Pasal 52 UUPA serta bagaimana mekanisme proses

penyelesaian kasus pidana dalam UUPA

3
BAB II
PEMBAHASAN

1. Tinjauan Pemahaman Penegakan Hukum

Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana merupakan cara

yang paling tua, setua peradaban mandiri itu sendiri. Pidana merupakan istilah yang

lebih khusus dari “hukuman”.3

Pasal 28 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

menyebutkan bahwa:

“Dalam menjalankan hak hak kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-
mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan
orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan
moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu
masyarakat demokratis”.

Hakikatnya penegakan hukum mewujudkan nilai-nilai atau kaedah-kaedah yang

memuat keadilan dan kebenaran, penegakan hukum bukan hanya menjadi tugas dari

para penegak hukum yang sudah di kenal secara konvensional, tetapi menjadi tugas

dari setiap orang. Meskipun demikian, dalam kaitannya dengan hukum publik

pemerintahlah yang bertanggung jawab. Penegakan hukum dibedakan menjadi dua,

yaitu:

a. Ditinjau dari sudut subyeknya:

Pengertian dalam arti luas, proses penegakkan hukum melibatkan

semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang

3
Muladi & Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1992,
hlm.2.

4
menjalankan aturan normative atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan

sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku,

berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Pengertian dalam

arti sempit, penegakkan hukum hanya diartikan sebagai upaya aparatur

penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu

aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya.

b. Ditinjau dari sudut obyeknya

Pengertian dalam arti luas, penegakkan hukum yang mencakup pada

nilai-nilai keadilan yang di dalamnya terkandung bunyi aturan formal

maupun nilai-nilai keadilan 17 yang ada dalam bermasyarakat. Dalam arti

sempit, penegakkan hukum itu hanya menyangkut penegakkan peraturan

yang formal dan tertulis.4

Hukum merupakan saran perlindungan hutan agar kelestarian kemampuan

yang dimiliki oleh hutan dapat tetap terjaga. Oleh karena itu, hukum harus

ditegakkan. Menurut Mertokusumo:

“Pelaksanaan hukum dapat berarti menjalankan hukum tanpa ada sengketa


atau pelanggaran. Ini meliputi pelaksanaan hukum oleh setiap warga Negara setiap
hari yang tanpa disadarinya dan juga aparatur Negara, seperti misalnya polisi yang
berdiri di perempatan jalan mengatur lalu lintas (Law Enforcement). Disamping itu
pelaksanaan hukum dapat terjadi apabila ada sengketa, yaitu yang dilaksanakan oleh
hakim. Ini sekaligus merupakan penegakan hukum”.5

4
Adami,Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I Stelsel Pidana, TIndak Pidana,Teori-Teori
Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana, PT. Raja GrafindoPersada, Jakarta, 2012, hlm. 34.
5
Ibid, hlm. 73.

5
Penegakan hukum merupakan usaha untuk mewujudkan ide-ide dan

konsepkonsep hukum yang diharapakan rakyat menjadi kenyataan. Penegakan hukum

merupakan suatu proses yang melibatkan banyak hal. Menurut Soerjono Soekanto,

penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang

terjabarkan didalam kaidah-kaidah/pandangan nilai yang mantap dan mengejewantah

dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan,

memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.

2. Tinjauan Tentang Pidana Dalam UUPA

Tanggung jawab pelanggaran ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam

Undang-Undang Pokok Agraria pada umumnya dikenakan sanksi berupa sanksi

administratif, baik itu berupa teguran tertulis hingga pada pemberhentian jabatan

tergantung daripada peraturan terkait dengan obyek yang dilanggarnya. Namun dalam

pasal 52 juga terdapat pengaturan mengenai sanksi pidana.

Pasal 52 Undang-Undang Pokok Agraria, meneyebutkan bahwa :

(1) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan dalam pasal 15 dipidana
dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan dan/atau denda setinggi-
tingginya Rp.10.000,-
(2) Peraturan Pemerintah dan peraturan perundangan yang dimaksud dalam pasal
19, 22, 24,26 ayat (1), 46, 47, 48, 49 ayat (3) dan 50 ayat (2) dapat
memberikan ancaman pidana atas pelanggaran peraturannya dengan hukuman
kurungan selama-lamanya 3 bulan dan/atau denda setinggi-tingginya Rp.
10.000,-.
(3) Tindak pidana dalam ayat (1) dan (2) pasal ini adalah pelanggaran.

6
Pelanggaran-pelanggaran terkait dengan UUPA diatur sendiri dalam pasal 52

terkait dengan ketentuan pidana. Ketentuan-ketentuan lain yang terkait dengan

kejahatan terhadap tanah diatur didalam KUHP, dimana berkaitan dengan ketentuan-

ketentuan yang terdapat didalam UUPA. Dalam KUHP terdapat pasal-pasal yang

mengatur dalam hal pertanahan pada buku II tentang kejahatan, dan buku III tentang

pelanggaran. Adapun pengaturan terkait pidana pertanahan dalam KUHP yaitu:

1. Pra perolehan, terdapat dalam pasal 385, 389, 263, 264, 266

2. Menguasai tanpa hak, terdapat dalam pasal 425

3. Mengakui tanpa hak, terdapat dalam pasal 167, 168

4. Dalam buku III juga terdapat delik-delik tentang pelanggaran terhadap

pertanahan, yang terdapat dalam pasal 548, 549, 550, dan 551.

Ketentuan-ketentuan pengaturan mengenai kejahatan pertanahan dalam KUHP

berkaitan dengan pasal 52 UUPA dimana didalam ayat (2) diatur mengenai pidana

terhadap pelanggaran hak, sehingga didalam menjatuhkan pidana terhadap pelanggar

akan mengacu pada ketentuan Pasal 52 UUPA dan KUHP.

Dalam Pasal 52 UUPA pertanggung jawaban pidana yaitu hukuman kurungan

selama-lamanya tiga bulan dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 10.000,-

Dalam KUHP pertanggung jawaban pidana terhadap pelaku kejahatan tanah,

pertanggung jawabannya berbeda pada setiap pasalnya.

Ketentuang pidana dalam pasal 52 ayat (1) UUPA menyebutkan bahwa pelanggaran

yang tercantum dalam pasal 15 UUPA diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah

7
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Pada bagian

Bab VIII yang memuat tentang ketentuan sanksi termuat dalam pasal Pasal 62 yang

menyebutkan bahwa:

“PPAT yang dalam melaksanakan tugasnya mengabaikan ketentuan-


ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Pasal 39 dan Pasal 40
serta ketentuan dan petunjuk yang diberikan oleh Menteri atau Pejabat
yang ditunjuk dikenakan tindakan administratif berupa teguran tertulis
sampai pem-berhentian dari jabatannya sebagai PPAT, dengan tidak
mengurangi kemungkinan dituntut ganti kerugian oleh pihak-pihak yang
menderita kerugian yang diakibatkan oleh diabai-kannya ketentuan-
ketentuan tersebut.”

Lalu dalam Pasal 63 yang menyebutkan bahwa:

“Kepala Kantor Pertanahan yang dalam melaksanakan tugas-nya


mengabaikan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini dan ketentuan
dalam peraturan pelaksanaannya serta ketentu-an-ketentuan lain dalam
pelaksanaan tugas kegiatan pendaf-taran tanah dikenakan sanksi
administratif sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

Ketentuang pidana dalam pasal 52 ayat (1) UUPA menyebutkan bahwa

pelanggaran yang tercantum dalam pasal 19 UUPA sama dengan pasal 15 UUPA

diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Peraturan Pemerintah Nomor 24

Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Pada bagian Bab VIII yang memuat tentang

ketentuan sanksi

Pasal 22 UUPA Kaitkan dengan Peraturan menteri Nomor 10 Tahun 2016

Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963

Pasal 24 UUPA Kaitkan dengan

8
Pasal 26 UUPA Kaitkan dengan Peraturan Menteri Nomor 14 Tahun 1961

Pasal 7

Permohonan izin pemindahan hak ditolak jaika pemindahan hak itu akan melanggar
ketentuan-ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria (Undang-Undang No. 5 tahun
1960;
Lembaran-Negara tahun 1960 No. 104), Undang-Undang No. 56 Prp tahun 1960
tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian (Lembaran-Negara tahun 1960 No. 14),
Peraturan Pemerintah No. 224 tahun 1961 tentang Pelaksanaan pembagian tanah dan
pemberian gantikerugian (Lembaran-Negara tahun 1960 No. 280) dan lain-lain
ketentuan yang diadakan oleh instansi yang berwenang.

Pasal 8

(1) Jika permohonan izin pemindahan sesuatu hak atas tanah ditolak, maka KKPT
berbuat sebagai yang ditentukan dalam pasal 28 ayat (3) dan (4) Peraturan
Pemerintah No. 10 tahun 1961.
(2) Pada akta pemindahan hak yang bersangkutan dibubuhkan catatan sebagai
berikut: ”Pendaftaran pemindahan hak ini ditolak, karena tidak diperoleh izin dari

Pasal 9

Terhadap keputusan Kepala Agraria Daerah, Kepala Pengawasan Agraria dan Kepala
Inspeksi Agraria, yang berupa penolakan permohonan izin pemindahan hak, dapat
dimintakan banding pada Menteri Agraria.

Pasal 46 UUPA kaitkan dengan pp

9
Pasal 47 UUPA Kaitkan dengan UU Nomor 7 Tahun 2004

BAB XIII

PENYELESAIAN SENGKETA

Pasal 88

(1) Penyelesaian sengketa sumber daya air pada tahap pertama diupayakan
berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat.
(2) Dalam hal penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
diperoleh kesepakatan, para pihak dapat menempuh upaya penyelesaian di luar
pengadilan atau melalui pengadilan.
(3) Upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dilakukan dengan arbitrase atau alternative penyelesaian sengketa sesuai dengan
peraturan perundangundangan.
Pasal 89

Sengketa mengenai kewenangan pengelolaan sumber daya air antara Pemerintah dan
pemerintah daerah diselesaikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB XIV

GUGATAN MASYARAKAT DAN ORGANISASI

Pasal 90

Masyarakat yang dirugikan akibat berbagai masalah pengelolaan sumber daya air

berhak mengajukan gugatan perwakilan kepengadilan.

Pasal 91

Instansi pemerintah yang membidangi sumber daya air bertindak untuk kepentingan

masyarakat apabila terdapat indikasi masyarakat menderita akibat pencemaran air

dan/atau kerusakan sumber air yang mempengaruhi kehidupan masyarakat.

10
Pasal 92

(1) Organisasi yang bergerak pada bidang sumber daya air berhak mengajukan

gugatan terhadap orang atau badan usaha yang melakukan kegiatan yang

menyebabkan kerusakan sumber daya air dan/atau prasarananya, untuk kepentingan

keberlanjutan fungsi sumber daya air.

(2) Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbatas pada gugatan untuk

melakukan tindakan tertentu yang berkaitan dengan keberlanjutan fungsi sumber daya

air dan/atau gugatan membayar biaya atas pengeluaran nyata.

(3) Organisasi yang berhak mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

harus memenuhi persyaratan:

a. berbentuk organisasi kemasyarakatan yang berstatus badan hukum dan bergerak

dalam bidang sumber daya air;

b. mencantumkan tujuan pendirian organisasi dalam anggaran dasarnya untuk

kepentingan yang berkaitan dengan keberlanjutan fungsi sumber daya air; dan

c. telah melakukan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.

BAB XVI

KETENTUAN PIDANA

Pasal 94

Ketentuan pidana terkait agrarian khususnya air dapat ditemukan pada pasal 94

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004, ketentuan pidana yang

11
terdapat pada Pasal 94 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004

adalah sebagai berikut:

(1) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan denda

paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah):

a. setiap orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan yang

mengakibatkan rusaknya sumber air dan prasarananya, mengganggu

upaya pengawetan air, dan/atau mengakibatkan

b. pencemaran air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24; atau setiap orang

yang dengan sengaja melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan

terjadinya daya rusak air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52.

(2) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling

banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):

a. setiap orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan penggunaan air

yang mengakibatkan kerugian terhadap orang atau pihak lain dan

kerusakan fungsi sumber air sebagaimana

b. dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3); atau

c. setiap orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan yang

mengakibatkan rusaknya prasarana sumber daya air sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 64 ayat (7).

(3) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling

banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah):

12
a. setiap orang yang dengan sengaja menyewakan atau memindahtangankan

sebagian atau seluruhnya hak guna air sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 7 ayat (2);

b. setiap orang yang dengan sengaja melakukan pengusahaan sumber daya

air tanpa izin dari pihak yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 45 ayat (3); atau

c. setiap orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan pelaksanaan

konstruksi prasarana sumber daya air yang tidak didasarkan pada norma,

standar, pedoman, dan manual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63

ayat (2);

d. setiap orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan pelaksanaan

konstruksi pada sumber air tanpa memperoleh izin dari Pemerintah atau

pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (3).

Undang-undang ini mengatur mengenai pidana atas kegiatan yang dapat

mengakibatkan rusaknya sumber air dan prasarananya, mengganggu upaya

pengawetan air, dan/atau mengakibatkan pencemaran air sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 24. Rumusan pasal 24 adalah sebagai berikut: “Setiap orang atau badan

usaha dilarang melakukan kegiatan yang mengakibatkan rusaknya sumber air dan

prasarananya, mengganggu upaya pengawetan air, dan/atau mengakibatkan

pencemaran air.”Rumusan ini diulang oleh pasal 94, sehingga rujukan yang diberikan

oleh pasal 94 ke pasal 24 sama sekali tidak menolong untuk memberikan kejelasan

mengenai definisi dan cakupan yang jelas tentang masing-masing perbuatan tersebut.

13
Undang-undang ini juga mengatur mengenai pelanggaran terhadap syarat-

syarat administrasi yang diatur dalam undang-undang ini. Menurut undang-undang

ini pelanggaran terhadap hukum administrasi dapat dikenai pertanggungjawaban

pidana. Hal ini dapat di jumpai di dalam Pasal 94 ayat (3) huruf b jo Pasal 95 ayat (3)

huruf a, yang mengatur mengenai tindak pidana melakukan pengusahaan sumber

daya air tanpa izin dari pihak yang berwenang. Kemudian juga ada ketentuan di

dalam Pasal 94 ayat (3) huruf d jo Pasal 95 ayat (3) huruf c, yang mengatur mengenai

tindak pidana melakukan kegiatan pelaksanaan konstruksi pada sumber air tanpa

memperoleh izin dari pemerintah atau pemerintah daerah. Jika dilakukan secara

sengaja, keduanya diancam pidana paling lama 3 tahun dan denda sebesar lima ratus

juta rupiah, tetapi jika dilakukan karena kelalaian diancam pidana pidana penjara

paling lama 6 bulan dan denda sebesar seratus juta rupiah. Subjek hukum tindak

pidana administrasi dalam undang-undang ini hanya pemegang izin. Sementara

pejabat pemberi izin tidak akan dikenai pertanggungjawaban pidana.

Undang-undang ini menganut penggolongan tindak pidana formil dan materil.

Rumusan tindak pidana materil dapat dijumpai di Pasal 94 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 95

ayat 1 dan 2. Sedangkan rumusan tindak pidana formil dapat dijumpai di Pasal 94 ayat (3)

dan Pasal 95 ayat 3. Terkait pasal 95 adalah sebagai berikut:

(1) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 18 (delapan belas) bulan dan

denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah):

a. setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan kerusakan

sumber daya air dan prasarananya, mengganggu upaya pengawetan

14
air, dan/atau mengakibatkan pencermaran air sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 24; atau

b. setiap orang yang karena kelalaiannya melakukan kegiatan yang dapat

mengakibatkan terjadinya daya rusak air sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 52.

(2) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling

banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah):

a. setiap orang yang karena kelalaiannya melakukan kegiatan

penggunaan air yang mengakibatkan kerugian terhadap orang atau

pihak lain dan kerusakan fungsi sumber air sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 32 ayat (3); atau;

b. setiap orang yang karena kelalaiannya melakukan kegiatan yang

mengakibatkan kerusakan prasarana sumber daya air sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 64 ayat (7).

(3) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan denda paling

banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah):

a. setiap orang yang karena kelalaiannya melakukan pengusahaan

sumber daya air tanpa izin dari pihak yang berwenang sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3);

b. setiap orang yang karena kelalaiannya melakukan kegiatan

pelaksanaan konstruksi prasarana sumber daya air yang tidak

15
didasarkan pada norma, standar, pedoman, dan manual sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2);

c. setiap orang yang karena kelalaiannya melakukan kegiatan

pelaksanaan konstruksi pada sumber air tanpa izin sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 63 ayat (3).

Pada pasal 96 ini diatur mengenai kejahatan terhadap pengelolaan sumber

daya air yang dilakukan oleh badan usaha. Pasal 96 menyebutkan bahwa:

(1) Dalam hal tindak pidana sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal

94 dan Pasal 95 dilakukan oleh badan usaha, pidana dikenakan terhadap badan

usaha yang bersangkutan.

(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan

terhadap badan usaha, pidana yang dijatuhkan adalah pidana denda ditambah

sepertiga denda yang dijatuhkan.

Dalam pasal ini, disebutkan bahwa penanggung-jawab pidana adalah badan

usaha dengan pidana yang dijatuhkan adalah pidana denda ditambah sepertiga denda

yang dijatuhkan. Tetapi tidak diatur secara tegas bagaimana model

pertanggungjawaban pidananya. Selain itu juga tidak dicantumkan secara tegas

apakah kejahatan yang dilakukan oleh badan usaha merupakan kategori kejahatan

korporasi ataukah bukan.

Pasal 48 UUPA Kaitkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2000

16
Pasal 49 UUPA Kaitkan dengan UU Nomor 28 Tahun 1977

KETENTUAN PIDANA

Pasal 14

Barangsiapa melakukan perbuatan yang melanggar ketentuan-ketentuan sebagaimana

dimaksud Pasal 5, Pasal 6 ayat (3) Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 9, Pasal 10 dan

Pasal 11, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau

denda sebanyak-banyaknya Rp. 10.000,-(sepuluh ribu rupiah).

Pasal 15

Apabila perbuatan yang dimaksud dalam Pasal 14 dilakukan oleh-atau atas nama

Badan Hukum maka tuntutan pidana dilakukan dan pidana serta tindakan tatatertib

dijatuhkan, baik terhadap badan hukum maupun terhadap mereka yang memberi

perintah melakukan perbuatan tersebut atau yang bertindak sebagai pemimpin atau

penanggungjawab dalam perbuatan atau kelalaian itu atau terhadap kedua-duanya

17

Anda mungkin juga menyukai