Anda di halaman 1dari 51

PANGAN DAN PERBAIKAN GIZI

BAB V

PANGAN DAN PERBAIKAN GIZI

A. PENDAHULUAN

Pembangunan pangan dan gizi dalam Repelita VI ditujukan untuk


mencukupi kebutuhan pangan secara adil dan merata baik dalam
jumlah maupun mutu gizinya sehingga terpenuhi salah satu kebutuhan
pokok untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam rangka
itu, pembangunan pangan terus dilaksanakan secara sistematis,
terpadu dan terencana dengan mengembangkan sistem pangan
nasional yang andal, yaitu mencakup peningkatan ketahanan pangan
dalam rangkaian kegiatan saling terkait mulai dari kegiatan produksi
sampai dengan konsumsi terakhir di tingkat rumah tangga; pengem-
bangan diversifikasi konsumsi pangan; peningkatan keamanan pangan;
dan penyempurnaan kelembagaan pangan yang efektif dan efisien.

Pembangunan pangan telah semakin berhasil meningkatkan keter-


sediaan pangan dalam jumlah yang cukup, aman, makin bermutu serta
beragam, dan tersebar lebih merata pada tingkat serta stabilitas harga

V/3
yang mendukung peningkatan pendapatan nyata petani dan terjangkau
oleh daya beli masyarakat. Ketersediaan rata-rata energi dan protein
per kapita per hari sejak tahun 1993 sampai dengan tahun 1996
meningkat masing-masing dengan rata-rata 3,4 persen dan 3,5 persen
setiap tahunnya. Dengan perkembangan tersebut, ketersediaan rata-
rata energi dan protein per kapita per hari pada tahun 1996 masing-
masing telah mencapai 3.208 kilokalori energi dan 73,1 gram protein.
Ketersediaan ini sudah melampaui angka kecukupan yang dianjurkan
yaitu 2.500 kilokalori energi dan 55 gram protein per kapita per hari.

Peningkatan penyediaan pangan per kapita selama tiga tahun


pertama Repelita VI didukung oleh peningkatan produksi pertanian.
Ketersediaan beras, jagung, daging, telur dan ikan terus meningkat,
terutama jagung meningkat sangat pesat yaitu dengan rata-rata sebesar
15,8 persen per tahun dalam tiga tahun terakhir. Bersamaan dengan
meningkatnya ketersediaan pangan yang siap dikonsumsi baik dalam
jumlah, kualitas, keragaman dan keseimbangan, maka skor Pola
Pangan Harapan (PPH) pada tahun ketiga Repelita VI telah mencapai
71,7. Skor PPH tersebut sudah mendekati sasaran skor mutu pangan
72,0 yang diharapkan tercapai pada akhir Repelita VI.

Di bidang perbaikan gizi, rata-rata konsumsi energi dan protein


per kapita per hari selama tiga tahun terakhir juga meningkat dengan
rata-rata kenaikan masing-masing sebesar 2,4 persen dan 6,2 persen
per tahun. Pada tahun 1996, konsumsi energi dan protein masing-
masing telah mencapai 2.019,8 kilokalori per kapita per hari dan 54,5
gram per kapita per hari. Dengan demikian konsumsi energi telah
semakin menuju pada angka yang dianjurkan yaitu sebesar 2.150
kilokalori per kapita per hari, sedangkan konsumsi protein telah
melampaui angka kecukupan konsumsi protein yang dianjurkan yaitu
46,2 gram per kapita per hari.

V/4
Secara umum pembangunan pangan dan perbaikan gizi sampai
dengan tahun ketiga Repelita VI telah memberikan hasil cukup
menggembirakan terutama dalam rangka makin memperkukuh sistem
pangan nasional yang andal sebagai landasan peningkatan kualitas
sumber daya manusia Indonesia yang berkelanjutan. Untuk menjamin
mantapnya pembangunan pangan dan perbaikan gizi pada tahap selan-
jutnya, perlu langkah-langkah terpadu serta adanya keterkaitan erat
antarsektor.

B. PANGAN

1. Sasaran, Kebijaksanaan, dan Program Repelita VI

Sasaran pembangunan pangan dalam Repelita VI adalah makin


mantapnya ketahanan pangan yang dicirikan oleh terpeliharanya
kemantapan swasembada pangan secara dinamis. Swasembada pangan
tersebut tidak hanya terbatas pada swasembada beras yang sedapat
mungkin dipenuhi dengan produksi dalam negeri, tetapi juga menca-
kup penyediaan bahan pangan lainnya yang merupakan sumber
kabohidrat, protein, lemak dan zat gizi mikro.

Sasaran tersebut berkaitan dengan sasaran diversifikasi pangan


serta peningkatan kualitas konsumsi pangan dalam rangka mewujud-
kan pola pangan yang bermutu gizi seimbang. Pada akhir Repelita VI
penyediaan pangan dalam bentuk energi sesuai dengan PPH diharap-
kan mencapai skor mutu pangan sekitar 72,0 dengan kecukupan
ketersediaan energi mencapai rata-rata 2.500 kilokalori per kapita per
hari.

Sasaran berikutnya dalam pembangunan pangan yaitu terbebas-


nya masyarakat dari jenis pangan yang berbahaya bagi kesehatan dan

V/5
tidak sesuai dengan keyakinan masyarakat. Sasaran selanjutnya adalah
makin mantapnya kelembagaan pangan yang antara lain dicerminkan
oleh adanya peraturan perundangan yang mengatur keamanan pangan,
yang juga dapat memberikan dasar hukum yang lebih mantap bagi
pelaksanaan koordinasi pembangunan pangan.

Kebijaksanaan yang ditempuh untuk mencapai sasaran tersebut


adalah mengupayakan peningkatan ketahanan pangan, yang meliputi
peningkatan produksi, daya beli masyarakat, distribusi dan kemam-
puan penyediaan pangan serta terkoordinasinya kebijaksanaan harga;
mendorong diversifikasi konsumsi pangan dengan meningkatkan
kesadaran masyarakat tentang pentingnya pola pangan yang beraneka-
ragam untuk meningkatkan gizinya; meningkatkan keamanan pangan
untuk melindungi masyarakat dari pangan yang berbahaya untuk
kesehatan dan bertentangan dengan keyakinan; dan mengembangkan
kelembagaan pangan yang efektif dan efisien dengan meningkatkan
keterpaduan, koordinasi dan kerja sama lembaga-lembaga yang terkait
dalam pembangunan pangan, antara pemerintah dan masyarakat, dan
antarkelompok masyarakat.

Atas dasar sasaran dan kebijaksanaan pembangunan pangan


seperti dikemukakan di atas, ditempuh serangkaian program pemba-
ngunan pangan yang mencakup dua kelompok program, yaitu
program pokok dan penunjang. Program pokok meliputi program
pemantapan swasembada pangan dan program diversifikasi pangan.
Sedangkan program penunjang meliputi pendidikan, pelatihan dan
penyuluhan pangan; program penelitian dan pengembangan pangan;
program pengembangan kelembagaan pangan; dan program perbaikan
gizi.

V/6
2. Pelaksanaan dan Hasil Pembangunan Tahun Ketiga
Repelita VI

Hasil pelaksanaan program-program pembangunan pangan


selama tiga tahun Repelita VI, terutama tahun 1996/97, secara terinci
adalah sebagai berikut.

a. Program Pokok

1) Program Pemantapan Swasembada Pangan

Program pemantapan swasembada pangan bertujuan untuk


memelihara kemantapan swasembada pangan melalui peningkatan
ketahanan pangan dan efisiensi sistem distribusi pangan disertai usaha
intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian pangan, serta peningkatan
nilai tambah. Untuk mencapai tujuan tersebut dilaksanakan Kebijak-
sanaan harga dasar gabah, penerapan harga batas tertinggi beras, dan
pemantapan sarana penyangga pangan yang efisien.

a) Harga Dasar

Penetapan harga dasar bertujuan untuk mendukung peningkatan


pendapatan petani sehingga tetap terdorong untuk meningkatkan
produksi. Harga dasar ini selalu disesuaikan dengan perkembangan
biaya produksi termasuk harga barang dan jasa yang dibutuhkan oleh
petani.

Pada tahun 1996 harga dasar gabah kering panen (GKP), gabah
kering simpan (GKS) dan gabah kering giling (GKG) berturut-turut
adalah sebesar Rp330,-; Rp385; dan Rp450,- per kilogram telah
meningkat sebesar 15,8 persen, 13,2 persen dan 12,5 persen
dibanding harga dasar gabah pada tahun 1995 (Tabel V-1). Penetapan

V/7
kenaikan harga dasar ini merupakan wujud nyata dari upaya untuk
terus menerus meningkatkan pendapatan petani.

Peningkatan produksi padi pada tahun 1996 yang mencapai 2,7


persen antara lain didorong oleh kebijakan harga dasar gabah serta
faktor-faktor lain seperti iklim yang menguntungkan, perbaikan iriga-
si, terutama irigasi sederhana, peningkatan teknologi pemupukan, dan
peningkatan mutu intensifikasi.

Efektivitas harga dasar dijaga dengan upaya pembelian gabah dan


beras di dalam negeri terutama saat musim panen jika harga gabah
cenderung menurun. Apabila harga gabah lebih rendah dibanding
harga dasar, petani dapat menjual gabah ke koperasi unit desa (KUD)
yang akan membeli sesuai dengan harga dasar. Namun demikian
apabila harga gabah di pasar berada di atas harga dasar, petani bebas
menjual gabahnya di pasar.

Pembelian gabah dan beras oleh Pemerintah di dalam negeri


selain dimaksudkan untuk mengamankan harga dasar pada waktu
musim panen ditujukan pula untuk menunjang cadangan penyangga
Pemerintah apabila musim paceklik tiba. Realisasi pengadaan gabah
dan beras tahun 1996/97 meningkat sebesar 71,4 persen dari tahun
sebelumnya sehingga menjadi 1.804,5 ribu ton setara beras (Tabel V-
2). Adanya peningkatan pembelian gabah dan beras tersebut
disebabkan oleh harga pembelian BULOG yang ditetapkan Pemerintah
relatif tinggi sehingga lebih kompetitif dibanding harga di pasaran
serta meningkatnya kualitas gabah yang dihasilkan. Harga pembelian
beras oleh BULOG dari KUD pada tahun yang sama tercatat Rp 856,-
per kg atau naik 16,0 persen dari tahun sebelumnya, sedangkan
pembelian dari koperasi non KUD meningkat 16,2 persen menjadi Rp
848,-. Di samping kebijaksanaan harga, meningkatnya realisasi
pengadaan beras didukung pula oleh meningkatnya produksi beras

V/8
tahun 1996 dan penyempurnaan kebijaksanaan operasional pengadaan
beras seperti peningkatan pelayanan dengan membuka gudang-gudang
Depo Logistik (Dolog) menjadi 7 hari kerja, percepatan penyelesaian
administrasi di Dolog/Sub Dolog, percepatan penyelesaian pemba-
yaran di bank dan pemberian insentif ongkos angkut.

Pengadaan gabah dan beras tahun 1996/97 pada dasarnya berasal


dari sentra utama produksi beras, yaitu Jawa Barat (10,4 persen),
Jawa Tengah (15,5 persen), Jawa Timur (40,2 persen) dan Sulawesi
Selatan (16,4 persen). Perkembangan tersebut menunjukkan bahwa
pulau Jawa masih menjadi sumber utama dalam pengadaan gabah dan
beras secara nasional, terutama Jawa Timur yang menunjukkan peran
yang semakin menonjol sampai dengan tahun 1996/97. Sementara itu
peran Sulawesi Selatan dan NTB terus meningkat dengan mantap
menjadi sumber utama pengadaan beras di luar Jawa selama Repelita
VI.

Sepanjang tahun 1996/97, termasuk pada saat musim panen,


tingkat harga rata-rata gabah di pedesaan berada di atas harga dasar
GKG di tingkat KUD, kecuali pada bulan April (Tabel V-3). Namun
perkembangan demikian tidak menimbulkan gejolak harga yang besar.
Perbedaan harga gabah rata-rata di musim panen terhadap harga rata-
rata di musim paceklik di daerah pedesaan menurun dari 13,0 persen
pada tahun 1995/96 menjadi 10,8 persen pada tahun 1996/97, yang
berarti harga gabah relatif lebih stabil (Tabel V-4).

Perkembangan harga rata-rata beras di perkotaan sepanjang tahun


1996/97 menjadi lebih stabil dibanding tahun sebelumnya. Perbedaan
harga rata-rata beras pada musim paceklik terhadap harga rata-rata di
musim panen turun dari 15,8 persen pada tahun 1995/96 menjadi 9,7
persen pada tahun 1996/97 (Tabel V-5). Meskipun harga rata-rata
beras di perkotaan pada musim panen dan musim paceklik tahun

V/9
1996/97 menunjukkan kenaikan, namun situasi harga beras tetap
stabil.

b) Harga Batas Tertinggi

Harga batas tertinggi beras ditetapkan untuk menjaga harga beras


agar tetap terjangkau oleh daya beli masyarakat. Penetapan harga
batas tertinggi beras ini dilakukan secara berkala dengan memperhi-
tungkan perkembangan harga dasar gabah dan harga kebutuhan pokok
lainnya. Selain itu, penentuan harga batas tertinggi tetap memperhati-
kan kepentingan konsumen dan memperhitungkan marjin pemasaran
yang diperlukan untuk mendukung efisiensi kinerja pasar.

Pada tahun 1996/97, perkembangan harga rata-rata beras di


beberapa kota penting relatif stabil (Tabel V-6). Meningkatnya pro-
duksi padi pada tahun 1996 memungkinkan peningkatan stok beras di
masyarakat dan mendukung stabilnya harga eceran beras pada tahun
1996/97. Untuk periode musim panen pada bulan Mei-Juli, harga
beras jenis medium di Jakarta cukup stabil yaitu Rp1.000,- per
kilogram, sedangkan dalam periode yang sama harga beras termurah
terjadi di Ujung Pandang dengan rata-rata Rp747,- per kilogram. Pada
periode musim paceklik, yaitu bulan Desember-Pebruari, harga beras
tertinggi terjadi di Jakarta yang berkisar antara Rp1.124,- sampai
Rp1.173,- per kilogram, sementara harga beras termurah pada
periode yang sama terjadi di Ujung Pandang yaitu sekitar Rp751,-
sampai Rp764,- per kilogram. Sementara itu rata-rata perbedaan
harga beras antar kota-kota penting pada tahun 1996/97 tercatat
meningkat menjadi 32 persen (Tabel V-7).

Pada tahun 1996/97 harga batas tertinggi beras di daerah surplus,


swasembada dan defisit masing-masing meningkat 27,5 persen, 31,1
persen dan 31,7 persen dibanding harga pada tahun 1995/96 (Tabel

V/10
V-8). Kenaikan ini merupakan konsekuensi dari kenaikan harga dasar
gabah sekaligus untuk mendorong pedagang melakukan perdagangan
antarpulau dan antardaerah. Daerah surplus meliputi seluruh Jawa,
Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat. Daerah swasembada
meliputi seluruh Sumatera (kecuali Riau dan Bengkulu), Kalimantan
Selatan, Bali dan Sulawesi Tengah, sedangkan daerah lainnya tergo-
long daerah defisit.

Jumlah penyaluran beras oleh BULOG pada tahun 1996/97


sebesar 2.123 ribu ton mengalami penurunan 10,2 persen dari tahun
sebelumnya (Tabel V-9). Penurunan ini terutama disebabkan berku-
rangnya penyaluran beras untuk operasi pasar sebesar 40,0 persen.
Keadaan ini terjadi akibat peningkatan produksi padi tahun 1996 yang
memungkinkan peningkatan stok di masyarakat dan mendukung sta-
bilnya harga eceran.

c) Sarana Penyangga

Pengadaan stok beras yang mencukupi sebagai sarana penyangga


tetap dilakukan pada tahun ketiga Repelita VI untuk menjamin
terpenuhinya kebutuhan pangan dalam negeri dan menunjang pelak-
sanaan kebijaksanaan harga. Apabila pengadaan gabah dan beras
dalam negeri tidak mencukupi, maka kekurangan sarana penyangga
dipenuhi melalui impor, baik yang bersumber dari bantuan pangan,
pengembalian pangan, maupun pembelian komersial.

Dalam upaya mendukung kebijaksanaan stabilisasi harga, baik di


tingkat produsen maupun konsumen, melalui mekanisme stok penyang-
ga, telah dibangun sejumlah sarana pergudangan, terutama di daerah
pusat konsumsi, produksi dan transito di pelabuhan. Di samping itu,
juga disewa beberapa gudang swasta. Pada tahun 1996/97 jumlah
gudang pangan yang dikuasai pemerintah adalah sebanyak 1.598 buah

V/11
dengan kapasitas 4,0 juta ton. Jumlah dan kapasitas gudang tersebut
mengalami penurunan masing-masing sebesar 6,1 persen dan 10,8
persen dari tahun sebelumnya (Tabel V-10).

d) Pengadaan dan Penyaluran Gandum

Pengadaan gandum melalui impor terus ditingkatkan untuk


memenuhi peningkatan permintaan gandum baik untuk konsumsi
rumah tangga maupun industri. Pada tahun 1996/97 kenaikan impor
gandum mencapai 9,0 persen dibanding tahun sebelumnya, sehingga
menjadi 3.786 ribu ton. Sementara itu penyaluran gandum me-
ningkat sebesar 12,9 persen menjadi 3.976 ribu ton pada tahun
1996/97 (Tabel V-11). Meningkatnya impor gandum antara lain
disebabkan oleh peningkatan kebutuhan industri pengolahan pangan
yang terus berkembang dan peningkatan pendapatan masyarakat yang
berpengaruh pada perubahan pola konsumsi masyarakat yang makin
mengutamakan segi kepraktisan dalam penyediaan pangan.

e) Pengadaan dan Penyaluran Gula Pasir

Seiring dengan meningkatnya pendapatan masyarakat, kebutuhan


terhadap gula pasir juga terus meningkat. Untuk memenuhinya
diutamakan penyediaan gula pasir dari produksi gula dalam negeri
melalui upaya peningkatan produktivitas dan perluasan areal pena-
naman tebu khususnya di lahan kering dan di luar Pulau Jawa. Bila
terjadi peningkatan permintaan yang tidak dapat dipenuhi oleh
produksi dalam negeri maka dilakukan pengadaan gula melalui impor.

Pengadaan gula pasir dalam negeri pada tahun 1996/97 sedikit


menurun sekitar 1,0 persen dibanding pengadaan pada tahun
sebelumnya, yaitu dari 1.956 ribu ton pada tahun 1995/96 menjadi
1.936 ribu ton pada tahun 1996/97. Penurunan tersebut disebabkan

V/12
terutama oleh penurunan produksi tebu dan beberapa pabrik gula di
Jawa masih melakukan relokasi ke luar Jawa.

Untuk mengatasi kelangkaan gula di dalam negeri akibat


penurunan produksi dan peningkatan permintaan, maka pada tahun
1996/97 sebanyak 1.219 ribu ton gula pasir diimpor. Sementara itu
penyaluran gula pasir pada tahun 1996/97 berjumlah 3.195 ribu ton
atau meningkat 12,4 persen dibandingkan dengan penyaluran pada
tahun 1995/96 yaitu 2.843 ribu ton. Peningkatan ini disebabkan
adanya peningkatan konsumsi masyarakat sebagai akibat dari semakin
meningkatnya pendapatan masyarakat serta berkembangnya industri
pangan yang menggunakan gula pasir.

2) Program Diversifikasi Pangan

Program ini bertujuan untuk menggali dan meningkatkan


penyediaan berbagai komoditas pangan sehingga terjadi penganeka-
ragaman konsumsi pangan oleh masyarakat. Pencapaian tujuan
tersebut antara lain ditempuh melalui kegiatan peningkatan usaha
diversifikasi secara horizontal dan vertikal. Diversifikasi secara
horizontal dilaksanakan melalui pemanfaatan sumber daya yang
beraneka ragam sehingga penyediaan pangan nonberas dan sumber
protein cukup tersedia. Sementara itu diversifikasi secara vertikal
dilaksanakan melalui pengembangan berbagai hasil olahan pertanian.

Perkembangan diversifikasi pangan dapat dilihat dari keterse-


diaan pangan per kapita per tahun (Tabel V-12). Ketersediaan beras
per kapita per tahun pada tahun 1996 meningkat sebesar 4,5 persen
dari tahun sebelumnya, yaitu dari 151,8 kilogram menjadi 158,6
kilogram. Demikian pula ketersediaan daging, telur, dan ikan per
kapita per tahun pada tahun yang sama mengalami peningkatan
masing-masing sebesar 6,5 persen, 5,7 persen dan 5,6 persen

V/13
dibanding tahun sebelumnya. Di samping itu ketersediaan jagung dan
ubi kayu pada tahun 1996 juga menunjukkan peningkatan masing-
masing sebesar 30,5 persen dan 14,5 persen. Hal ini menunjukkan
bahwa ketersediaan pangan selain beras terus meningkat. Namun
demikian, dalam penyediaan susu per kapita per tahun terjadi penuru-
nan sebesar 18,6 persen disebabkan antara lain oleh penurunan impor
yang cukup tajam sedangkan produksi dalam negeri tidak menunjuk-
kan kenaikan yang berarti.

Sementara itu ketersediaan pangan yang ditunjukkan oleh


ketersediaan energi dan protein per kapita per hari pada tahun 1996
juga mengalami peningkatan. Jumlah energi dan protein yang tersedia
untuk dikonsumsi pada tahun 1996 telah mencapai 3.208 kilokalori
energi dan 73,1 gram protein atau mengalami peningkatan masing-
masing sebesar 3,6 persen dan 4,7 persen dibanding tahun
sebelumnya (Tabel V-13). Ketersediaan energi dan protein tersebut
telah melebihi angka kecukupan yang dianjurkan yaitu 2.500
kilokalori energi dan 55 gram protein per kapita per hari. Apabila
dilihat dari komposisi pembentukan ketersediaan energi dan protein,
maka peran padi-padian pada ketersediaan pangan tersebut masih
merupakan yang terbesar yaitu 64,8 persen untuk ketersediaan energi.
Sumbangan buah biji berminyak dan kacang-kacangan terhadap
ketersediaan energi lebih rendah dibanding tahun sebelumnya,
demikian pula sayur-sayuran, minyak dan lemak. Sementara itu,
sumbangan padi-padian terhadap ketersediaan protein mengalami
peningkatan dibanding tahun sebelumnya menjadi 58,4 persen.
Adapun sumbangan buah biji berminyak dan kacang-kacangan serta
sayur-sayuran mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya.

V/14
Penilaian ketersediaan pangan baik dalam jumlah, mutu maupun
keragaman dan keseimbangan antarkelompok pangan diukur melalui
PPH. Dalam Repelita VI nilai skor PPH menunjukkan kecenderungan
yang mendekati sasaran skor mutu pangan 72,0 yang diharapkan
tercapai pada akhir Repelita VI. Skor PPH pada tahun ketiga Repelita
VI mencapai 71,7 yang berarti mengalami penurunan 2,6 persen bila
dibandingkan tahun sebelumnya (Tabel V-14). Sumbangan padi-
padian terhadap skor PPH pada tahun 1996 mencapai 45,2 persen atau
meningkat jika dibanding tahun 1995 yaitu 42,4 persen. Sumbangan
umbi-umbian juga menunjukkan peningkatan dari 4,5 persen pada
tahun 1995 menjadi 4,9 persen pada tahun 1996. Tampak bahwa
proporsi penyediaan pangan pada tahun 1996 semakin baik dan
mengarah pada penyediaan pangan dengan mutu gizi yang lebih
seimbang.

b. Program Penunjang

1) Program Pendidikan, Pelatihan, dan Penyuluhan Pangan

Tujuan dari program ini adalah meningkatkan kemampuan dan


keterampilan petani dan nelayan, produsen pangan olahan, pedagang
kecil dan menengah di bidang pangan. Program ini ditujukan pula
untuk mengembangkan kemampuan petugas pemerintah di bidang
analisis harga, produksi, distribusi dan perdagangan serta pengolahan
pangan. Kegiatan yang dilaksanakan antara lain meliputi pelatihan dan
penyuluhan di bidang pangan.

Pada tahun 1996/97 dilaksanakan pelatihan bagi 180 pengusaha


kecil di bidang pengolahan roti dengan bahan baku tepung, pengo-
lahan serealia serta pengolahan kedele. Tujuan dari kegiatan ini yaitu

V/15
untuk meningkatkan kemampuan industri pengolahan pangan dalam
menghasilkan produk yang berkualitas dan bergizi tinggi. Pelaksanaan
pelatihan tersebut didukung oleh Pusat Pengkajian Mutu Pangan di
Tambun dan Pusat Pengkajian Hasil Olahan Kedele di Cibitung.

Sejak tahun 1994 telah mulai dirintis pengembangan makanan


tradisional melalui Gerakan Memasyarakatkan Aku Cinta Makanan
Indonesia (GEMA ACMI). Gerakan ini mendapat dukungan luas dari
masyarakat dan dunia usaha sebagaimana tercermin dari makin
maraknya waralaba dan industri makanan tradisional, penyeleng-
garaan festival/demo/pameran makanan Indonesia, pembukaan pusat
jajanan/makanan Indonesia di area pertokoan dan perkantoran.

Pada tahun 1996/97 pengembangan tempe secara terpadu diarah-


kan untuk meningkatkan pemasyarakatan tempe sebagai makanan
bergizi tinggi yang murah. Untuk menyebarluaskan informasi menge-
nai tempe, telah disusun buku Bunga Rampai Tempe Indonesia yang
mencakup pengembangan tempe dalam aspek teknologi, sosial
budaya, ekonomi dan skala usaha. Dalam rangka meningkatkan
kualitas produksi agar dapat memenuhi standar mutu produk yang
dipersyaratkan Standar Nasional Indonesia, maka telah dilakukan
pelatihan bagi 80 pengrajin tempe di Jawa Barat.

2) Program Penelitian dan Pengembangan Pangan

Program ini bertujuan untuk mengembangkan informasi di


bidang pangan dan meningkatkan pemanfaatan, penguasaan, dan
penerapan teknologi pangan. Pada tahun 1996/97 dilaksanakan kaji
ulang Repelita VI dan identifikasi kebijaksanaan dan program pem-
bangunan pangan Repelita VII; pengkajian peraturan perundangan di
bidang keamanan pangan dan labelisasi pangan; pengkajian peman-
tapan swasembada pangan dari segi konsumsi pada lima pangan

V/16
pokok; serta penelitian dan pengembangan industri pengolahan pangan
serealia.

3) Program Pengembangan Kelembagaan Pangan

Tujuan dari program ini yaitu untuk mengembangkan sistem


koordinasi upaya penyediaan pangan dan meningkatkan efisiensi
pelayanan kelembagaan pangan untuk mendorong investasi di bidang
produksi dan industri pengolahan.

Untuk mendukung pelaksanaan program pengembangan kelem-


bagaan pangan, pada tahun 1996 telah ditetapkan Undang-Undang
No. 7/1996 tentang pangan yang memberikan landasan hukum lebih
kuat kepada konsumen dan produsen. Undang-Undang tersebut
membantu mewujudkan sistem pengaturan, pembinaan, dan penga-
wasan yang efektif di bidang pangan. UU No. 7/1996 telah dimasyara-
katkan terutama kepada produsen pangan.

Dalam rangka penjabaran Undang-Undang tersebut pada tahun


1996/97 telah diterbitkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Label
dan Iklan Pangan serta PP tentang Keamanan Pangan, sebagai
perangkat hukum yang melengkapinya. Sedangkan PP mengenai Mutu
dan Gizi Pangan serta PP tentang Ketahanan Pangan masih dalam
proses penyelesaian.

Program pengembangan kelembagaan pangan juga telah mendo-


rong terbentuknya Forum Komunikasi Pangan Indonesia (FKPI) dan
Pusat Kajian Makanan Tradisional (PKMT). FKPI dibentuk dalam
rangka meningkatkan koordinasi pembinaan industri pangan serta
sebagai media untuk saling tukar informasi antar industri pangan
menuju peningkatan kualitas industri pangan.

V/17
Sebagai hasil kerjasama dengan perguruan tinggi dalam pengem-
bangan makanan tradisional, telah dibentuk tiga PKMT, yaitu di
Institut Pertanian Bogor, Universitas Gajah Mada dan Universitas
Brawijaya. Ketiga PKMT tersebut diharapkan dapat mendorong
peningkatan kualitas penelitian makanan tradisional yang mencakup
aspek teknologi, seni kuliner, gizi dan kesehatan, sosial budaya, dan
ekonomi.

Dalam rangka memantapkan sistem ketahanan pangan nasional,


maka program pengembangan dan pembinaan Lumbung Desa dan
Hutan Cadangan Pangan (HCP) sebagai wujud dari partisipasi
masyarakat terus dilanjutkan. Pada tahun 1996/97 telah dikembangkan
20 unit Lumbung Desa di 12 propinsi. Pemilihan lokasi didasarkan
atas tingkat pendapatan masyarakat yang relatif rendah, rawan
pangan, dan termasuk desa tertinggal.

Untuk HCP, sampai dengan tahun 1996/97 telah dikembangkan


1.000 hektar di 10 propinsi. Rencana pengembangan HCP akan
diarahkan pada peningkatan peran serta masyarakat. Khusus untuk
swasta (HPH/HTI) dan BUMN, HCP akan diarahkan dengan mengin-
tegrasikannya kedalam program yang sudah ada, misalnya program
permudaan hutan.

4) Program Perbaikan Gizi

Program ini bertujuan untuk mengupayakan peningkatan peran


serta masyarakat dalam perbaikan gizi yang meliputi peningkatan
mutu dari produk-produk makanan yang dihasilkan baik oleh sektor
industri maupun olahan masyarakat, dan upaya perlindungan masya-
rakat dari bahan makanan yang membahayakan kesehatan dan
bertentangan dengan keyakinan.

V/18
TABEL V – 1
HARGA DASAR GABAH DI TINGKAT KUD 1)
1993, 1994 – 1996
(Rp/Kg)

1) Tahun perhitungan yang semula tahun fiscal menjadi tahun kalender, karena
menyesuaikan dengan masa berlakunya harga dasar yaitu mulai tanggal 1
Januari sampai dengan 31 Desember
2) Mulai berlaku sejak 7 Pebruari 1996

V/19
TABEL V – 2
HASIL PEMBELIAN GABAH DAN BERAS DALAM NEGERI
MENURUT DAERAH TINGKAT I
1993/94, 1994/95 – 1996/97
(ton setara beras)

V/20
TABEL V – 3
PERKEMBANGAN HARGA RATA-RATA GABAH
DI PERDESAAN INDONESIA 1)
1993/94, 1994/95 – 1996/97
(Rp/Kg)

1) Pencatatan dilakukan dalam bentuk Gabah Kering Panen di konversiokan


Menjadi Gabah Kering Giling dengan menggunakan koefisien berupa persentase
Harga dasar Gabah Kering Giling terhadap realisasi harga rata-rata dari Gabah
Kering Panen selama musim panen (April, Mei, Juni) dalam tahun yang
Bersangkutan
2) Tidak ada transaksi

V/21
TABEL V – 4
PERBEDAAN ANTARA HARGA RATA-RATA GABAH DIMUSIM PANEN
DAN MUSIM PACEKLIK DI DAERAH PERDESAAN 1)
1993/94, 1994/95 – 1996/97
(Rp/Kg)

1) Pencatatan dilakukan dalam bentuk Gabah Kering Panen di konversiokan Menjadi Gabah Kering
Giling dengan menggunakan koefisien berupa persentase Harga dasar Gabah Kering Giling terhadap
realisasi harga rata-rata dari Gabah Kering Panen selama musim panen (April, Mei, Juni) dalam tahun
yang Bersangkutan

V/22
TABEL V – 5
PERBEDAAN ANTARA HARGA RATA-RATA BERAS DI MUSIM PANEN
DAN MUSIM PACEKLIK DI BEBERAPA KOTA PENTING
1993/94, 1994/95 – 1996/97
(Rp/Kg)

V/23
TABEL V – 6
HARGA RATA-RATA TERTIMBANG BERAS BULANAN DI BEBERAPA KOTA PENTING
1993/94, 1994/95 – 1996/97
(Rp/Kg)

V/24
TABEL V – 7
PERBANDINGAN ANTARA HARGA BERAS TERTINGGI DAN TERENDAH
DENGAN HARGA RATA-RATA DI BEBERAPA KOTA PENTING
1993/94, 1994/95 – 1996/97
(Rp/Kg)

1) Angka diperbaiki

V/25
TABEL V – 8
HARGA BATAS TERTINGGI BERAS
1993/94, 1994/95 – 1996/97
(Rp/Kg)

V/26
TABEL V – 9
JUMLAH PENYALURAN BERAS
1993/94, 1994/95 – 1996/97
(ribu ton)

1) Angka diperbaiki

V/27
TABEL V – 10
JUMLAH GUDANG GABAH/BERAS DI JAKARTA DAN DI DAERAH-DAERAH 1)
1993/94, 1994/95 – 1996/97

1) Angka kumulatif sejak tahun 1974/1975

V/28
TABEL V – 11
IMPOR DAN PENYALURAN GANDUM
1993/94, 1994/95 – 1996/97
(ribu ton)

1) Angka diperbaiki

V/29
TABEL V – 12
PENYEDIAAN BEBERAPA
KOMODISTAS PANGAN PENTING
1993, 1994 – 1996
(Kg/kapita/tahun)
1) Angka diperbaiki

V/30
TABEL V – 13
JUMLAH ENERGI DAN PROTEIN YANG TERSEDIA
UNTUK DIKONSUMSI BERDASARKAN KELOMPOK JENIS BAHAN MAKANAN
1993, 1994 – 1996

1) Angka diperbaiki
Keterangan : Energi dalam kkal/kapita/hari
Protein dalam gram/kapita/hari

V/31
TABEL V – 14
PERKEMBANGAN PENYEDIAAN PANGAN
DIUKUR DENGAN SKOR POLA PANGAN HARAPAN (PPH)
1993, 1994 – 1996

1) Angka diperbaiki

V/32
Secara lebih terinci, pelaksanaan program perbaikan gizi ini akan
diuraikan pada sub-bab perbaikan gizi.

C. PERBAIKAN GIZI

1. Sasaran, Kebijaksanaan, Program Repelita VI

Sasaran perbaikan gizi pada Repelita VI adalah tercapainya


konsumsi rata-rata karbohidrat dan protein per orang per hari sebesar
2.150 kilokalori dan 46,2 gram protein. Untuk itu, di masyarakat
tersedia pangan yang cukup dengan mutu gizi rata-rata per orang per
hari 2.500 kilokalori dan 55 gram protein. Guna memenuhi pedoman
umum gizi seimbang, dari 55 gram protein tersebut, 15 gram berasal
dari protein hewani yang terdiri atas 9 gram protein ikan dan 6 gram
protein yang berasal dari ternak. Sasaran perbaikan gizi Repelita VI
juga meliputi meningkatnya pemahaman dan kesadaran masyarakat
tentang gizi sebagai bagian dari upaya meningkatkan kualitas hidup
manusia, serta meningkatnya peran serta aktif masyarakat terutama di
perdesaan sehingga kegiatan UPGK menjadi gerakan masyarakat yang
mantap. Selanjutnya, jumlah dan jangkauan posyandu makin meluas
dan makin bermutu kegiatannya dalam mendukung UPGK disamping
pelayanan kesehatan dasar di puskesmas serta pelayanan KB dan lain-
lain. Sasaran lain adalah menurunnya prevalensi empat masalah gizi-
kurang yakni gangguan akibat kekurangan iodium (GAKI), anemia
gizi besi (AGB), menanggulangi kurang vitamin A (KVA), dan
kurang energi protein (KEP) antara 25 persen sampai 75 persen dari
keadaan pada akhir PJP I terutama pada wanita pranikah, wanita
hamil, wanita menyusui, bayi, balita, dan anak sekolah khususnya
SD/MI.

V/33
Sehubungan dengan itu, pokok kebijaksanaan upaya perbaikan
gizi dalam Repelita Vl adalah meningkatkan penyuluhan gizi pada
masyarakat; meningkatkan kegiatan upaya penanggulangan masalah
gizi-kurang (GAKI, AGB, KVA, dan KEP); meningkatkan kualitas
dan kuantitas pengelolaan upaya perbaikan gizi melalui peningkatan
jumlah dan mutu tenaga gizi yang profesional untuk berbagai jenjang
dan tingkatan, peningkatan kegiatan penelitian unggulan, pengem-
bangan penerapan teknologi pascapanen untuk memenuhi kebutuhan
konsumsi pangan yang beraneka ragam dan bergizi, dan peningkatan
kemitraan antara dunia usaha, masyarakat, lembaga kemasyarakatan
dan pemerintah.

Atas dasar sasaran dan kebijaksanaan seperti dikemukakan di


atas, upaya perbaikan gizi dalam Repelita VI dilaksanakan melalui
satu program pokok, yaitu program perbaikan gizi yang ditunjang
oleh program pendidikan dan pelatihan gizi, program pengawasan
makanan dan minuman, program penelitian dan pengembangan
gizi, dan program diversifikasi pangan.

2. Pelaksanaan dan Hasil Pembangunan Tahun Ketiga


Repelita VI

Pelaksanaan program perbaikan gizi pada tahun 1996/97


diarahkan kepada upaya-upaya meningkatkan peran serta masyarakat
dalam perbaikan gizi serta peningkatan cakupan maupun sasaran
dalam upaya penanggulangan gizi-kurang, terutama di desa-desa
miskin dan tertinggal. Di samping itu diberikan perhatian lebih besar
pada upaya meningkatkan mutu dari produk-produk makanan yang
dihasilkan baik oleh sektor industri maupun olahan masyarakat untuk
mencukupi kebutuhan gizi serta melindungi masyarakat dari bahan
makanan yang membahayakan kesehatan.

V/34
a. Program Pokok

1) Program Perbaikan Gizi

Program perbaikan gizi yang merupakan program pokok dari upaya


perbaikan gizi bertujuan untuk meningkatkan gizi masyarakat.
Pencapaian tujuannya dilaksanakan melalui kegiatan-kegiatan (1)
penyuluhan gizi masyarakat; (2) usaha perbaikan gizi keluarga
(UPGK); (3) usaha perbaikan gizi institusi (UPGI); (4) upaya forti-
fikasi bahan pangan, dan (5) penerapan dan pengembangan sistem
kewaspadaan pangan (SKPG).

a) Penyuluhan Gizi Masyarakat

Penyuluhan gizi masyarakat bertujuan untuk memasyarakatkan


pengetahuan gizi secara luas, guna menanamkan sikap dan perilaku
yang mendukung kebiasaan hidup sehat dengan mengonsumsi
makanan yang bermutu gizi seimbang. Upaya yang dilakukan meliputi
penyuluhan mengenai penganekaragaman konsumsi pangan, pengo-
lahan dan pengawetan bahan pangan, peningkatan pelestarian berane-
karagam makanan tradisional, dan pemasyarakatan pedoman umum
gizi seimbang. Penyuluhan gizi masyarakat dilaksanakan secara
terpadu oleh berbagai sektor pembangunan dengan peran serta
masyarakat melalui berbagai metoda peyuluhan baik langsung maupun
tidak langsung melalui media cetak, elektronik, kesenian tradisional,
dan sebagainya.

Dalam rangka penyebarluasan pengetahuan gizi, pada tahun


1996/97 telah dilakukan 52 kali tayangan melalui televisi pemerintah
maupun swasta sama dengan tahun 1995/96. Sedangkan melalui siaran
RRI pada tahun 1996/97 dilakukan sebanyak 4.150 kali siaran, sedikit
menurun jika dibandingkan dengan tahun 1995/96 sebanyak 5.100 kali

V/35
tayangan. Penurunan frekwensi penayangan penyuluhan gizi melalui
RRI ini disebabkan oleh karena kegiatan ini lebih banyak diintegra-
sikan dengan kegiatan penyuluhan yang lain baik melalui penyuluhan
kesehatan masyarakat maupun melalui kegiatan penyuluhan dari
sektor yang terkait.

Khusus untuk pemasyarakatan pedoman umum gizi seimbang


(PUGS), pada tahun 1996/97 telah dilaksanakan pelatihan terhadap
2.625 petugas gizi puskesmas terutama ditekankan pada operasio-
nalisasi PUGS. Jumlah ini meningkat lebih dari 3 kali lipat jika
dibandingkan dengan tahun 1995/96. Untuk menunjang pelaksanaan
PUGS, telah diperbanyak buku PUGS sebanyak 26.000 buah yang
disebarkan kepada seluruh pelaksana program.

Dalam rangka peningkatan penyebarluasan pengetahuan kepada


masyarakat tentang pentingnya pemberian air susu ibu (ASI) secara
penuh kepada bayi selama 4 bulan, pada tahun 1996/97 telah dilak-
sanakan pelatihan pemasaran sosial ASI bagi 165 pelatih penyuluh
gizi. Jumlah ini sedikit meningkat dibandingkan dengan tahun
1995/96 sebanyak 161 pelatih penyuluh gizi.

b) Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK)

UPGK adalah gerakan sadar gizi dengan tujuan memacu upaya


masyarakat terutama di perdesaan agar mampu mencukupi kebutuhan
gizinya melalui pemanfaatan aneka ragam pangan sesuai dengan
kemampuan ekonomi keluarga dan keadaan lingkungan setempat.
Melalui UPGK diharapkan masyarakat di perdesaan makin aktif
berperan dan berprakarsa dalam menanggulangi masalah-masalah gizi
dilingkungan masing-masing. Sasaran UPGK adalah anggota-anggota
keluarga perdesaan terutama wanita pranikah, ibu hamil, ibu
menyusui, bayi, dan anak balita. Kegiatannya meliputi penyuluhan

V/36
gizi masyarakat perdesaan, pelayanan gizi posyandu, dan peningkatan
pemanfaatan lahan pekarangan.

Dalam rangka menggiatkan penyuluhan gizi masyarakat, pada


tahun 1996/97 telah dilaksanakan penyuluhan melalui tokoh-tokoh
masyarakat terutama melalui kelompok pengajian, organisasi wanita
keagamaan, dan berbagai lembaga masyarakat. Hal ini dilaksanakan
untuk lebih memantapkan wawasan mengenai pengetahuan dan
pemahaman pentingnya kesadaran gizi bagi kesehatan dan kesejahte-
raan keluarga. Jumlah kontak tani nelayan andalan (KTNA) yang
telah terlatih mengenai penyuluhan gizi meningkat dari 200 orang
KTNA pada tahun 1995/96 menjadi 300 orang KTNA pada tahun
1996/97. Untuk meningkatkan partisipasi KTNA dalam membina
kelompoknya masing-masing, telah disusun alat peraga penyuluhan
dan kegiatan-kegiatan yang dapat merangsang kinerja dalam penyebar-
luasan upaya perbaikan gizi pada keluarga tani dan nelayan.

Pelayanan gizi di posyandu dilaksanakan sebulan sekali, bertu-


juan untuk memberikan pelayanan gizi pada ibu hamil, ibu menyusui,
bayi dan anak balita. Pelayanan gizi dilakukan oleh kader PKK
khususnya kader gizi, dibantu oleh tenaga gizi/tenaga kesehatan dari
puskesmas dan bidan di desa. Posyandu yang merupakan lembaga
kemasyarakatan pada tahun 1996/97 berjumlah sekitar 250,3 ribu
buah tersebar di seluruh propinsi (Tabel V-15).

Pelayanan posyandu untuk anak balita ditingkatkan dengan


menggunakan kartu menuju sehat (KMS) yang disempurnakan.
Dengan penyempurnaan itu pelayanan terhadap anak balita diharapkan
menjadi lebih bermutu.

Pada tahun 1996/97 telah dilaksanakan penanggulangan gangguan


akibat kekurangan iodium (GAKI) yang mencakup 10,5 juta pen-

V/37
duduk, menurun dibandingkan tahun 1995/96 (sebanyak 12,5 juta
penduduk). Penurunan ini disebabkan karena belum seluruh penca-
paian target dilaporkan, mengingat sampai saat ini distribusi kapsul
iodium masih terus berlangsung. Selain dengan pemberian kapsul
iodium yang diberikan setahun sekali, pencegahan GAKI juga dilaku-
kan melalui peningkatan kualitas garam beriodium yang memenuhi
standar (kadar KI03 diatas 30 ppm).

Hasil survei konsumsi garam beriodium yang dilakukan BPS


tahun 1996, menunjukkan bahwa keluarga yang mengonsumsi garam
beriodium dengan kandungan iodium cukup, baru mencapai sekitar 58
persen. Angka ini masih jauh bila dibandingkan dengan target
universal garam beriodium sebesar 80 persen. Untuk mengatasi
masalah ini pada bulan September 1996 telah dilaksanakan negosiasi
dengan Bank Dunia untuk proyek Intensified Iodine Deficiency Disor-
der yang bertujuan untuk menurunkan prevalensi GAKI di Indonesia
melalui peningkatan produksi dan kualitas garam beriodium yang
beredar di masyarakat, peningkatan konsumsi garam beriodium,
peningkatan distribusi kapsul iodium, dan pemantapan koordinasi
lintas sektor dalam penanggulangan GAKI.

Untuk meningkatkan penggunaan garam beriodium di masyarakat


luas, pada tahun 1996/97 terus ditingkatkan kegiatan penyuluhan
tentang garam beriodium melalui kerjasama dengan persatuan guru
Republik Indonesia (PGRI) terhadap anak didik di sekolah. Atas dasar
hasil penelitian yang dilakukan pada tahun 1994/95 tentang perekono-
mian dan perdagangan garam beriodium di Indonesia, pada tahun
1996/97 terus ditingkatkan pengembangan produksi garam beriodium
dan pemasarannya. Di samping itu dilaksanakan pula pembinaan
usaha petani garam yang tersebar di sentra-sentra produksi garam
melalui kerjasama dengan Departemen Perindustrian dan Perda-
gangan.

V/38
Upaya penanggulangan masalah anemia gizi besi (AGB) dengan
cara pemberian tablet besi bagi ibu hamil resiko tinggi di desa-desa
tertinggal terus dilanjutkan. Pada tahun 1996/97 jumlah pemberian
tablet besi mencapai 2,6 juta ibu hamil jika dibandingkan dengan
tahun 1995/96 sekitar 2,9 juta ibu hamil (Tabel V-16). Penurunan ini
karena belum semua target tercapai dan distribusi tablet besi masih
berlangsung. Untuk meningkatkan kemandirian masyarakat dalam
penanggulangan AGB pada ibu hamil, telah dilakukan penyuluhan
tentang manfaat tablet besi dan sumber pangan yang kaya akan zat
besi melalui media cetak dan elektronika. Selain itu penyediaan tablet
besi dilaksanakan di pusat-pusat pelayanan kesehatan dan pos obat
desa (POD) di perdesaan. Dengan demikian masyarakat akan semakin
mudah memperoleh tablet besi.

Suplementasi zat besi pada balita diberikan dalam bentuk sirop


besi. Pada tahun 1995/96 telah dilakukan uji coba pemberian sirop
besi pada anak balita, yang terbukti dapat meningkatkan kadar Hb
dalam darah. Pada tahun 1996/97 pemberian sirop besi terus dilanjut-
kan dan dioperasionalkan terutama di desa tertinggal di propinsi
kawasan timur Indonesia dan mencakup sekitar 8.750 desa.

Dalam upaya Penanggulangan anemia gizi pada kelompok


pekerja wanita telah dimantapkan kerjasama lintas sektor dan perusa-
haan yang ditetapkan melalui SKB antara Menteri Kesehatan dan
Menteri Tenaga Kerja tentang penanggulangan anemia gizi, dalam
upaya meningkatkan produktivitas kerja. Pada tanggal 14 November
1996 telah dicanangkan gerakan pekerja wanita yang sehat dan ber-
produktivitas tinggi. Pencanangan ini selain menekankan pada perlu-
nya tenaga kerja wanita untuk mendapatkan tablet besi seminggu
sekali selama 16 minggu setiap tahun, juga selama waktu haid dian-
jurkan diberikan setiap hari satu tablet berturut-turut. Selain itu

V/39
pemberian paket pertolongan gizi seperti kapsul iodium, vitamin A,
dan obat cacing terus ditingkatkan.

Pada tahun 1992, Indonesia telah berhasil menanggulangi


masalah kekurangan vitamin A (KVA) yang menyebabkan kebutaan,
sehingga bukan lagi merupakan masalah kesehatan masyarakat. Untuk
mempertahankan keberhasilan tersebut pemberikan kapsul vitamin A
dosis tinggi kepada anak balita dua kali setahun (bulan Pebruari dan
Agustus) tetap dilaksanakan. Pada tahun 1996/97 penyediaan kapsul
vitamin A untuk anak balita meningkat menjadi 12,6 juta anak,
meningkat jika dibandingkan dengan tahun 1995/96 sebesar 12,5 juta
anak. Penyuluhan gizi untuk meningkatkan konsumsi vitamin A dari
bahan makanan alami berupa sayuran dan buah-buahan terus digiat-
kan. Kapsul vitamin A selain diberikan kepada anak balita diberikan
pula pada ibu nifas untuk mencegah secara dini kekurangan vitamin A
pada bayi yang dilahirkan.

Dalam upaya menurunkan kekurangan energi dan protein (KEP)


terutama pada anak balita, maka kegiatan pelayanan dan penyuluhan
gizi di posyandu terus ditingkatkan melalui partisipasi aktif masya-
rakat perdesaan. Kegiatan ini ditunjang oleh makin meluas dan
meningkatnya pelayanan kesehatan dasar terutama imunisasi, penga-
daan air bersih, pemanfaatan pekarangan sebagai bahan makanan
tambahan anak balita, dan peningkatan ASI. Pada tahun 1996/97
keterpaduan kegiatan penyuluhan antara petugas gizi, petugas kese-
hatan, penyuluh pertanian lapangan, dan tokoh masyarakat perdesaan
terus ditingkatkan.

Upaya lainnya dalam perbaikan gizi keluarga adalah kegiatan


pemanfaatan pekarangan di perdesaan. Tujuan dari kegiatan ini adalah
untuk mendorong keluarga petani terutama yang miskin dan rawan
gizi untuk lebih produktif memanfaatkan lahan pekarangannya guna

V/40
memperbaiki gizi keluarga dan meningkatkan pendapatan keluarga.
Pendekatan pengembangannya dilakukan melalui partisipasi masya-
rakat secara berkelompok. Pembinaan dilakukan melalui penyuluhan
lapangan secara langsung terhadap KTNA yang dilengkapi dengan
pemberian sarana produksi sebagai bagian dari paket penyuluhan.

Pada tahun 1996/97 sasaran penyuluhan ini terutama adalah


keluarga-keluarga di pedesaan dan anak sekolah SD/MI di desa-desa
tertinggal. Bantuan sarana produksi yang diberikan pada tahun
1996/97 jumlahnya 25.160 paket, meningkat dari 25.000 paket pada
tahun 1995/96. Setiap keluarga sasaran mendapat satu paket yang
berisikan benih sayuran, bibit buah-buahan, unggas, ikan dan sarana
produksi.

Mulai tahun 1996/97 dirintis kegiatan konsultasi gizi di


puskesmas melalui pojok gizi. Kegiatan ini ditujukan untuk lebih
meningkatkan pelayanan gizi kepada masyarakat oleh petugas gizi
puskesmas. Dengan adanya kegiatan ini diharapkan agar pengetahuan
gizi masyarakat lebih meningkat, terutama pentingnya gizi terhadap
kesehatan tubuh.

c) Usaha Perbaikan Gizi Institusi (UPGI)

UPGI adalah upaya pembinaan dan peningkatan keadaan gizi


sekelompok masyarakat di suatu lembaga atau institusi seperti
sekolah, pusat latihan olahraga, rumah sakit, pabrik, perusahaan,
lembaga pemasyarakatan, rumah tahanan, pondok pesantren, dan
panti asuhan, serta panti perawatan. Dalam Repelita VI UPGI bertu-
juan untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja, prestasi belajar
anak didik sejak dini, daya saing dan prestasi olahragawan, dan
mempercepat masa penyembuhan penyakit, serta meningkatkan
kesehatan dan kesejahteraan kelompok di lembaga terkait.

V/41
Pada tahun 1996/97 sasaran UPGI adalah lembaga-lembaga
pendidikan terutama sekolah-sekolah, asrama haji, panti sosial, dan
pabrik. Kegiatannya meliputi pembinaan teknis, pelatihan, penyu-
luhan, dan intervensi langsung.

Pada tahun 1996/97 program makanan tambahan anak sekolah


(PMT-AS) yang merupakan salah satu kegiatan UPGI bukan merupa-
kan uji coba lagi tetapi mulai dikembangkan menjadi program
nasional. Sasaran pelaksanaan PMT-AS adalah seluruh SD/MI di desa
IDT di luar Jawa dan Bali, mencakup 175 kabupaten, 14.445 desa
IDT, 18.518 SD/MI, dan mencakup sekitar 2,3 juta orang murid.
Cakupan tersebut jika dibandingkan dengan tahun 1995/96 meningkat
lebih 85 kali lipat untuk jumlah SD/MI, dan 100 kali lipat untuk
jumlah murid.

Pada tahun 1996/97 jumlah dana untuk kegiatan PMT-AS


dialokasikan dana Rp. 67,4 milyar. Dana tersebut digunakan untuk
pengadaan bahan makanan, peralatan masak, obat cacing, buku juklak
dan juknis, bahan-bahan penyuluhan, dan biaya pelatihan bagi para
pengelola/petugas PMT-AS. Biaya untuk pengadaan makanan jajanan
per anak disediakan biaya sebesar Rp 250,- untuk Kawasan Barat
Indonesia (KBI) dan Rp 350,- untuk Kawasan Timur Indonesia (KTI)
yang diberikan 3 kali seminggu selama 108 hari dalam satu tahun
belajar efektif. Untuk menunjang keberhasilan pelaksanaan PMT-AS
diberikan bantuan peralatan masak sebesar Rp. 200 ribu per SD/MI.
Selanjutnya untuk meningkatkan efektivitas pemberian makanan
jajanan, diberikan pula obat cacing dua kali setahun masing-masing
satu tablet. Disamping itu juga dilakukan penyuluhan secara aktif
kepada anak didik mengenai kebersihan diri dan lingkungan.
Berdasarkan laporan dari daerah, pelaksanaaan PMT-AS berhasil
meningkatkan kehadiran siswa (menurunkan absensi) sehingga
diharapkan pada gilirannya jumlah anak yang putus sekolah menurun.

V/42
Dalam rangka peningkatan pengelolaan gizi di institusi, pada
tahun 1996/97 telah dilaksanakan pelatihan kepada 80 orang pengelola
gizi asrama haji di 6 embarkasi (DKI Jakarta, Sumatera Utara, Jawa
Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Barat). Hal
ini meningkat jika dibandingkan dengan tahun 1995/96 yang baru
mencakup asrama haji di 2 embarkasi (Sumatera Utara dan Kaliman-
tan Timur).

Bagi panti sosial, pada tahun 1996/97 telah dilaksanakan


pelatihan bagi 130 pengelola gizi panti sosial, jumlah ini meningkat
jika dibandingkan dengan tahun 1995/96 (110 pengelola gizi). Untuk
pengelola gizi di perusahaan, telah dilaksanakan pelatihan bagi 450
orang, meningkat jika dibanding tahun 1995/96 (413 orang). Selain
itu, telah pula dilaksanakan pelatihan pengelola gizi di pesantren yang
jumlahnya sama dengan tahun 1995/96 yaitu 150 orang.

d) Upaya Fortifikasi Bahan Pangan

Fortifikasi bahan pangan adalah upaya meningkatkan mutu gizi


bahan makanan dengan memperkaya kandungan zat gizi melalui
penambahan zat gizi tertentu untuk menanggulangi masalah gizi
masyarakat.

Pada tahun 1996/97 telah dilakukan rintisan fortifikasi zat besi


pada mie instant dan jamu sehat wanita, dan rintisan fortifikasi
vitamin A pada mie instant. Rintisan ini diharapkan dapat dioperasio-
nalkan pada tahun 1997/98. Khusus mengenai pentingnya garam
beriodium, telah dilaksanakan lebih intensif kegiatan KIE, pening-
katan pengawasan produksi dan distribusi, dan penindakan pada
produsen yang melanggar.

V/43
e) Penerapan dan Pengembangan Sistem Kewaspadaan
Pangan dan Gizi

Sistem kewaspadaan pangan dan gizi (SKPG) adalah suatu


kegiatan pemantauan keadaan pangan dan keadaan gizi masyarakat,
yang bertujuan untuk; (a) memberikan isyarat dini tentang kemung-
kinan timbulnya kekurangan pangan yang terjadi di suatu wilayah atau
daerah tertentu; (b) menyediakan informasi tentang perkembangan
penyediaan beranekaragam konsumsi pangan serta keadaan gizi
masyarakat yang berguna bagi perencanaan, pengelolaan dan evaluasi
program penganekaragaman pangan dan gizi daerah; dan (c) mening-
katkan kemampuan daerah dalam memecahkan masalah pangan dan
gizi berdasarkan keadaaan setempat.

Sejak tahun 1994/95 SKPG dibagi atas tiga sub sistem yaitu sistem
kewaspadaan produksi dan penyediaan pangan (SKPP) yang
dilaksanakan oleh Departemen Pertanian, sistem kewaspadaan
distribusi dan harga pangan (SKDP) dilaksanakan oleh BULOG, dan
sistem kewaspadaan konsumsi dan status gizi masyarakat (SKKG)
yang dilaksanakan oleh Departemen Kesehatan. Ketiga sub sistem ini
dikoordinasikan oleh Kantor Menteri Negara Urusan Pangan dan
digunakan sebagai dasar bagi perencanaan, pengelolaan dan evaluasi
program pangan dan perbaikan gizi.

Khusus untuk SKKG telah dilaksanakan pemantauan status gizi di


seluruh kecamatan dan survei konsumsi gizi di seluruh kabupaten.
Ketersediaan data tersebut diharapkan dapat membantu menentukan
prioritas sasaran program perbaikan gizi sehingga hasilnya akan lebih
efektif dan efisien. Selain itu telah ditingkatkan pula pelaksanaan
jaringan informasi pangan dan gizi (JIPG) dengan memperluas anggo-
ta jaringan dan diseminasi informasi.

V/44
Pemantauan konsumsi gizi masyarakat menunjukkan rata-rata
konsumsi energi dan protein per kapita per hari selama tiga tahun
terakhir meningkat dengan rata-rata kenaikan masing-masing sebesar
2,4 persen dan 6,2 persen per tahun. Pada tahun 1996, konsumsi
energi dan protein masing-masing telah mencapai 2.019,8 kilokalori
per kapita per hari dan 54,5 gram per kapita per hari. Dengan
demikian konsumsi energi telah semakin menuju pada angka yang
dianjurkan yaitu sebesar 2.150 kilokalori per kapita per hari,
sedangkan konsumsi protein telah melampaui angka kecukupan
konsumsi protein yang dianjurkan yaitu 46,2 gram per kapita per hari.

Pada tahun 1996/97 telah dilakukan survei indeks massa tubuh


(IMT) yang bertujuan untuk memantau prevalensi, distribusi dan
beberapa faktor yang mempengaruhi prevalensi gizi-lebih dan obesitas
pada orang dewasa. Kegiatan ini telah dilakukan di 12 kota (Medan,
Padang, Pekan Baru, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya,
Denpasar, Banjarmasin, Manado, Ujung Pandang, dan Ambon).
Hasilnya antara lain menunjukkan bahwa berdasarkan jenis kelamin,
prevalensi obesitas pada kelompok perempuan hampir dua kali lipat
dibandingkan kelompok laki-laki, dan kelompok umur 41-55 tahun
merupakan kelompok yang paling rawan. Keadaan ini erat kaitannya
dengan berubahnya pola makan diperkotaan yang cenderung berlebih
dalam kandungan energinya.

Kegiatan jaringan informasi pangan dan gizi (JIPG) bertujuan


menerbitkan informasi tentang hasil penelitian dan kegiatan program
dan proyek pangan dan gizi di beberapa daerah. Kegiatan JIPG
merupakan kerjasama antara Departemen Kesehatan, Departemen
Pertanian, Kantor Menteri Negara Urusan Pangan, BULOG, Lemba-
ga Penelitian, BPS, LIPI dan Universitas berisikan informasi pangan
dan gizi di tingkat nasional dan propinsi. Pada tahun 1996/97 kegiatan
JIPG sama dengan kegiatan tahun 1995/96 berupa penerbitan buku

V/45
Info Pangan dan Gizi volume 1 - 4, lembar berita JIPG volume 1 - 4,
dan buku pedoman JIPG. Buku-buku ini disebarluaskan ke 27 propinsi
pada berbagai tingkat pemerintahan, perguruan tinggi dan lembaga
penelitian.

b. Program Penunjang

1) Program Pendidikan dan Pelatihan Gizi

Pendidikan dan pelatihan gizi bertujuan memenuhi kebutuhan


tenaga gizi yang bermutu melalui penyelenggaraan pendidikan dan
pelatihan tenaga profesional gizi pada jenjang D-1 dan D-3 Akademi
Gizi; serta pendidikan sarjana dan pascasarjana pada universitas di
dalam dan luar negeri.

Pada tahun 1996/97 jumlah lembaga pendidikan D-3 (Akademi


Gizi) bertambah satu yang berasal dari peningkatan pendidikan D-1 di
Sekolah Pendidikan Ahli Gizi (SPAG) di Kalimantan Selatan. Dengan
demikian, pada tahun 1996/1997 jumlah Akademi Gizi tercatat
sebanyak 26 akademi dengan peserta didik sekitar 3.900 orang.

2) Program Pengawasan Makanan dan Minuman

Program pengawasan makanan dan minuman bertujuan untuk


melindungi masyarakat terhadap produksi dan peredaran makanan
minuman yang tidak memenuhi syarat terutama dari segi keamanan
akibat pencemaran bahan berbahaya dan mikroba yang mengganggu
kesehatan, mutu dan nilai gizi yang tidak memenuhi syarat, kada-
luwarsa, dan kehalalannya. Kegiatan pengawasan antara lain
dilakukan melalui 3 pendekatan yaitu pengawasan dalam rangka
penerapan peraturan perundang-undangan, pengawasan mutu yang
dilakukan oleh produsen sendiri, dan pendidikan masyarakat.

V/46
Pelaksanaan pengawasan makanan dan minuman telah mempu-
nyai landasan hukum yang kuat, yaitu Undang-undang Nomor 23
Tahun 1992 tentang Kesehatan dan Undang-Undang Nomor 7 tahun
1996 tentang Pangan. Undang-undang tersebut merupakan pedoman
bagi produsen untuk menghasilkan produk-produk yang aman bagi
masyarakat. Selain itu pada tahun 1996/97 Rancangan Peraturan
Pemerintah (RPP) tentang Label dan Iklan Pangan, dan RPP tentang
Keamanan Pangan sedang dalam proses pembahasan.

Dalam rangka pengawasan mutu makanan dan minuman, pada


tahun 1996/97 telah diperiksa sebanyak 2.897 sarana produksi terdiri
dari 334 sarana produksi industri menengah-besar dan 2.563 sarana
industri rumah tangga. Selain itu, telah diperiksa pula 4.540 sarana
distribusi dengan hasil sebagai berikut: 1.873 sarana distribusi tidak
memenuhi syarat, 226 sarana menjual produk yang rusak, 874 sarana
menjual produk kadaluarsa, dan 486 sarana tidak memenuhi ketentuan
label. Kegiatan lain berupa pengujian sampel makanan terhadap
21.835 sampel, 16,28 persen diantaranya memenuhi persyaratan.

Melalui kegiatan pendaftaran/registrasi makanan dan minuman


telah dilakukan penilaian mutu, keamanan, dan nilai gizi produk
makanan dan minuman. Pada tahun 1996/97 jumlah produk makanan
dan minuman yang terdaftar sekitar 21.000 produk dalam negeri dan
8.000 produk luar negeri. Jumlah industri rumah tangga yang sudah
memperoleh Sertifikat Penyuluhan menjadi sekitar 12.200 unit,
meningkat jika dibandingkan tahun 1995/96 (11.700 unit).

Untuk memenuhi standar yang sesuai ketentuan badan dunia


WHO dan FAO tentang perlindungan konsumen, seluruh produk
makanan dan minuman harus memenuhi standar Codex Allimentarius
dan harus menerapkan cara produksi makanan dan minuman yang
baik. Untuk itu Pemerintah secara bertahap terus memberikan bim-

V/47
bingan dan dorongan agar produsen makanan dan minuman menerap-
kan sistem jaminan mutu misalnya Hazard Analysis Critical Control
Points (HACCP). Dalam mengantisipasi pemenuhan standar-standar
tersebut pada tahun 1996/97 telah disusun berbagai materi pelatihan
terutama untuk meningkatkan kemampuan tenaga pengawas makanan
dan dunia usaha.

3) Program Penelitian dan Pengembangan Gizi

Dalam Repelita VI kegiatan penelitian dan pengembangan gizi


diarahkan untuk meningkatkan mutu dan jenis penelitian menjadi
penelitian unggulan di bidang gizi. Penelitian gizi bertujuan untuk
melihat adanya (a) perubahan pola pangan dan dampaknya pada
perubahan pola penyakit dan keadaan gizi masyarakat, (b) dampak
lingkungan, toksin alami, dan timbulnya zat anti gizi dalam pangan
terhadap kesehatan, dan (c) keamanan pemakaian bahan tambahan
makanan (BTM) dan kemasan produk industri pangan, jasaboga, dan
makanan jajanan. Pada tahun 1996/97 telah dilaksanakan 15 penelitian
di bidang gizi dan 4 diantaranya merupakan bagian dari Riset
Unggulan Terpadu (RUT) yang telah mendapat rekomendasi dari
Dewan Riset Nasional (DRN).

4) Program Diversifikasi Pangan

Pada tahun 1996/97 program diversifikasi pangan ditingkatkan


antara lain melalui kegiatan pameran berbagai jenis makanan
tradisional baik di tingkat nasional maupun daerah. Di samping itu
dilaksanakan peninjauan ulang terhadap pelaksanaan program diver-
sifikasi pangan dan gizi dari sektor pertanian agar kaitannya dengan
kegiatan posyandu dan perbaikan ekonomi petani miskin makin nyata.
Selain itu diintensifkan pemanfaatan kebun sekolah yang merupakan
sarana pendidikan bagi anak sekolah untuk mengenal dan menyukai
makanan yang beraneka ragam.

V/48
TABEL V – 15
KEGIATAN USAHA PERBAIKAN GIZI KELUARGA
1993/94, 1994/95 – 1996/97

1) Angka kumulatif sejak Repelita I


2) Angka diperbaiki

V/49
TABEL V – 16
PELAKSANAAN PENCEGAHAN GONDOK ENDEMIK ANEMIA GIZI , DAN 1)
KEKURANGAN VITAMIN A
1993/94, 1994/95 – 1996/97

1) Angka tahunan
2) Angka sementara

V/50

Anda mungkin juga menyukai