Anda di halaman 1dari 7

RANGKUMAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

RULE OF LAW DAN KONSTITUSI

Nama : Angel Debyana Isdayanti Boraa

Nim : (20164520004)

Program Studi : Fisika Medis

FAKULTAS SCIENCE TECHNOLOGY ENGINEERING AND MATHEMATICS

UNIVERSITAS MATANA

TANGERANG

2020
Pengertian Rule of Law
“Rule of law” adalah doktrin dalam ilmu hukum yang muncul bersamaan dengan
paradigma demokrasi dan negara hukum. Sebagai sebuah konsep, “rule of law” mempunyai
visi melakukan koreksi terhadap konsep kedaulatan negara. Menurut Friedman, ada dua
pengertian “rule of law”, yaitu secara formal dan secara ideologis. Secara formal, “rule of
law” diartikan sebagai kekuasaan publik yang terorganisir. Maksudnya, “rule of law” adalah
norma yang bertujuan untuk mengatur hubungan-hubungan kekuasaan dalam sebuah
organisasi dengan cara memberikan pembatasan dan ketegasan pada kekuasaan-kekuasaan
tersebut. Secara ideologis, “rule of law” diartikan sebagai penjabaran konsep keadilan dalam
bentuk penegakan hukum. Jadi inti dari “rule of law” adalah adanya jaminan keadilan
terhadap kekuasaan melalui penegakan hukum.
“Rule of law” adalah legalisme, artinya seluruh aspek keadilan dapat dipenuhi lewat
sebuah sistem peraturan dan prosedur yang objektif dan otonom. “Rule of law” adalah sebuah
pemikiran bahwa seluruh sistem kekuasaan negara dibatasi oleh hukum, sehingga segenap
lapisan masyarakat, pemerintah dan negara menjunjung tinggi supremasi hukum.Dasar
argumentasi epistemologis kebenaran “rule of law” di negara-negara eropa kontinental,
seperti Belanda dan Jerman, terletak pada tegangan antara hukum dan keadilan serta konsep
kedaulatan hukum dan kedaulatan negara.
Indonesia sebagai bekas jajahan Belanda, cenderung menitikberatkan argumentasi tentang
“rule of law” secara epistemologis, jadi “rule of law” di Indonesia lebih dari sekedar
supremasi hukum, tapi pada kesesuaian antara “rasa keadilan” dan hukum sebagai alat yang
dipakai untuk mencapai keadilan itu. Hukum harus mengabdi kepada keadilan, jadi tujuan
penciptaan peraturan di Indonesia lebih menuju kepada menciptakan keadilan, bukan sekedar
pembatasan kekuasaan semata. Hal ini nampak pada Pembukaan UUD 1945 sebagai
kesepakatan tertulis pendirian negara republik Indonesia dan termaktub dalam Batang Tubuh
UUD 1945. Implementasi “rule of law” di Indonesia adalah bukan sekedar membuat peraturan
untuk membatasi kekuasaan, namun membuat peraturan yang dengan sengaja berusaha mencapai
keadilan. Selain itu, di Indonesia dibuat lembaga-lembaga yang melaksanakan penegakan hukum
supaya hukum yang berprinsip keadilan ini dapat berlaku secara efektif.
Lembaga-lembaga tersebut adalah:
 Kepolisian

 Kejaksaan

 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

 Badan Peradilan

Pengertian Konstitusi
Konstitusi adalah sebuah kata yang berasal dari bahasa Prancis constituir yang arti
harafiahnya adalah “membentuk”. Secara politis, konstitusi dimengerti sebagai kesepakatan
penyerahan kekuasaan pada kedaulatan yang lebih tinggi atau kontrak sosial. Menurut
pengertian sosiologis, konstitusi adalah kesepakatan individu-individu dalam mendirikan
organisasi sebagai payung untuk menaungi kehidupan individu dalam hidup bermasyarakat.
Dengan demikian undang-undang dasar hanyalah sebuah pengertian konstitusi dalam arti
yuridis. Menurut sudut pandang yuridis, konstitusi adalah perjanjian tertulis hasil kesepakatan
berisi tujuan dan aturan-aturan untuk mengatur para pihak yang bersepakat .

Tujuan Konstitusi
Konstitusi secara umum bertujuan untuk:
 Memisahkan kekuasaan dari penguasa

 Membatasi kekuasaan

 Mengontrol penguasa dalam menjalankan kekuasaan tersebut

Konstitusi dan Demokrasi


Konstitusi mempunyai beberapa fungsi, antara lain:
Deklarasi pendirian sebuah negara berisi visi dan misi

Hukum dasar tertulis sebagai hasil kesepakatan para pendiri negara

Membagi kekuasaan negara agar tidak memusat

Membatasi kekuasaan negara yang telah terbagi tadi

Menjamin hak asasi manusia


Sehingga dapat dikatakan bahwa konstitusi hampir selalu mengacu pada konsep demokrasi.
Sebuah konstitusi yang demokratis mengacu pada prinsip-prinsip demokratis, yaitu:
 Kedaulatan di tangan rakyat

 Hak minoritas dijamin penuh

 Pembatasan kekuasaan

Hubungan Antara Rule of Law dan Konstitusi di Indonesia


Konstitusi adalah konsekuensi logis dari konsep “rule of law”. Karena konsep “rule of
law” secara formal dan ideologis muncul dalam bentuk konstitusi yang dipakai oleh negara
manapun. Indonesia menganut “rule of law”, sehingga bangsa Indonesia mendasarkan
pendirian negara Indonesia pada konstitusi, yaitu UUD 1945. Dalam Pembukaan UUD 1945,
terdapat filsafat negara, yaitu Pancasila, terdapat pula visi dan misi negara. Sementara
pemisahan kekuasaan dan aturan yang menata hubungan kekuasaan dan wewenang terdapat
pada pasal-pasal Batang Tubuh UUD 1945. UUD 1945 sebagai konstitusi juga bersifat
demokratis, karena dalam Batang Tubuh terdapat pasal-pasal yang menjamin adanya
perlindungan hak-hak asasi manusia.
Perbedaan utama antara UUD 1945 dengan konstitusi lain yang dianut negara-negara lain
terletak pada tiga segi:
 Terdapatnya filsafat negara di dalam konstitusi

 Terdapatnya visi dan misi didirikannya negara

 Argumentasi epistemologis dan antropologis yang dipakai dalam UUD 1945


Pancasila adalah sebuah ideologi yang khas Indonesia, sehingga ia menjadi ciri yang
membedakan UUD 1945 dibanding konstitusi lainnya. Dengan adanya legitimasi ideologis di
dalam legitimasi yuridis dan politis yang termaksud dalam konstitusinya, negara Indonesia
mendapatkan legitimasi sebagai sebuah organisasi pemegang kedaulatan tertinggi. Sementara
itu, karena negara ini didirikan atas dasar Pancasila, hal ini mengakibatkan Pancasila
mendapatkan legitimasi yuridis dan politis sekaligus, sehingga Pancasila tidak dapat diubah
tanpa membubarkan negara Indonesia itu sendiri. Dengan demikian, Pancasila dan UUD
1945 tidak bisa dipisahkan. Pancasila sebagai filsafat negara adalah sebuah sistem pemikiran
yang menjadi dasar bagi tujuan didirikannya negara, yang termaktub dalam Pembukaan UUD
1945. Pancasila menjadi dasar pemikiran yang dipakai dalam pembentukan negara, sekaligus
memberikan pedoman sebagai etika politik tata aturan perundangan dan kebijakan yang
diambil pemerintah untuk mencapai tujuan negara.
Indonesia adalah negara “rule of law”. Namun, karena berdasarkan Pancasila,
mengakibatkan argumentasi epistemologis dan antropologi metafisis “rule of law” berbeda
dengan negara lain. Indonesia meletakkan argumentasi kebenaran epistemologis tentang “rule
of law” melalui sudut pandang Pancasila, yaitu negara adalah konsekuensi logis yang harus
ditempuh manusia menuju tujuan hidup manusia. Kebenaran konsep “rule of law” berdasar
pada argumentasi epistemologis bahwa konsekuensi logis dari hidup bersama-dalam-dunia
harus dalam bentuk negara yang berdasarkan hukum sebagai sarana mewujudkan keadilan.
Maka pasal-pasal dalam Batang Tubuh UUD 1945 harus mengacu pada nilai-nilai
intersubyektif Pancasila. Sementara itu, argumentasi antropologi metafisis yang diajukan oleh
Pancasila menjadi dasar tinjauan pelaksanaan konsep “rule of law” di Indonesia. Manusia
monopluralis sebagai konsep antropologi metafisis Pancasila, menjadi acuan dalam
pelaksanaan “rule of law” di Indonesia, jadi bukan hanya berdasarkan tinjauan hak-hak asasi
manusia dan tinjauan kedaulatan hukum dan negara saja.

Dinamika Pelaksanaan UUD 1945


UUD 1945 mengalami berbagai perubahan dalam menghadapi tantangan zaman, bahkan
pada periode tertentu, UUD 1945 tidak dipakai sebagai konstitusi. Hal ini merupakan dampak
dari pasang surut politik Indonesia. Perubahan-perubahan sistem politik memicu perubahan
dalam negara yang mengakibatkan konstitusi harus diubah atau bahkan diganti agar
kekuasaan dapat memperoleh legitimasi yuridis dari UUD 1945.
UUD 1945 (18 Agustus 1945 s/d 27 Desember 1949)
UUD 1945 mulai berlaku sejak negara Indonesia berdiri pada tanggal 18 Agustus 1945.
Namun, dalam perjalanannya Negara Indonesia yang baru saja merdeka menghadapi banyak
tantangan besar, baik dari luar negeri berupa campur tangan asing maupun dalam negeri
berupa usaha disintegrasi bangsa. Hal ini mengakibatkan kebijakan-kebijakan yang diambil
lebih sering dipengaruhi oleh situasi dan kondisi politik pada saat itu dan oleh sebab itu ada
di antara kebijakan-kebijakan tersebut yang melanggar pasal-pasal UUD 1945. Contoh
pelanggaran tersebut antara lain adanya lembaga Perdana Menteri dalam sebuah kabinet
presidensiil yang dijabat oleh Sutan Syahrir. Hal ini dikarenakan banyaknya tugas dan
pekerjaan yang harus dilakukan oleh Presiden Soekarno dan Wapres Moh. Hatta pada waktu
itu, sementara negara belum mampu mengangkat dan membiayai menteri-menteri, sehingga
butuh seorang lagi pejabat kekuasaan eksekutif. Selain itu kecerdasan Sutan Syahrir dalam
berdiplomasi sangat diperlukan dalam sidang-sidang perundingan.
Konstitusi RIS (27 Desember 1949 s/d 17 Agustus 1950)
Konstitusi RIS (Republik Indonesia Serikat) adalah sebuah konstitusi hasil kesepakatan
antara pemerintah Indonesia pada waktu itu dengan negara-negara bagian buatan Belanda (di
wilayah Indonesia) dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag. Persetujuan pembentukan
RIS, sebenarnya merupakan siasat Indonesia dalam usaha mendapatkan pengakuan
kemerdekaan dari dunia, terutama dari Belanda sendiri, maka diberlakukanlah konstitusi RIS
sebagai penanda terbentuknya Republik Indonesia Serikat. Setelah berjalan sekitar 7 bulan,
dan pengakuan kemerdekaan dalam bentuk negara serikat ini diperoleh, maka dimulailah
usaha-usaha mengembalikan Indonesia menjadi negara kesatuan. Dukungan dari daerah-
daerah dalam negara bagian semakin kuat dan akhirnya pada tanggal 17 Agustus 1950, RIS
dibubarkan dan NKRI berdiri kembali dengan konstitusi UUD 1945.
UUDS 1950 (17 Agustus 1950 s/d 5 Juli 1959)
UUDS 1950 (Undang-Undang Sementara 1950) adalah UUD ketiga yang dipakai dalam
sejarah negara Indonesia. Tujuan utama tuntutan mengganti UUD 1945 dengan UUDS 1950
adalah masalah pengurangan kekuasaan negara terhadap individu. UUDS 1950 ini bercorak
liberal dan pemerintahan disusun berdasarkan parlemen. Dalam UUDS 1950 tampak adanya
keinginan mengurangi wewenang Presiden dan Wakil Presiden. Namun pada kenyataannya,
yang terjadi adalah instabilitas politik karena parlemen sering jatuh, yang mengakibatkan
kemandekan ekonomi. Pada kurun waktu yang sama pula, dibentuklah Dewan Konstituante
yang bertugas menggarap sebuah UUD untuk menggantikan UUDS 1950 yang sifatnya
sementara. Namun demikian Dewan Konstituante pun mengalami kemacetan karena dalam
pembahasan di sidang-sidangnya, terutama sidang-sidang yang membahas rumusan
Pancasila, antara rumusan yang terdapat pada Pembukaan UUD 1945 dan Piagam Jakarta,
menemui jalan buntu. Pihak minoritas menolak Piagam Jakarta karena dikhawatirkan akan
membawa Indonesia menjadi negara agama. Hal ini mengakibatkan munculnya Dekrit
Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang membubarkan Dewan Konstituante dan mengembalikan
konstitusi dari UUDS 1950 ke UUD 1945.
UUD 1945 Demokrasi Terpimpin (5 Juli 1959 s/d 12 Maret 1966)
Pemimpin Besar Revolusi, Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata, Dr. (HC) Ir Soekarno
yang menjabat Presiden Indonesia pada waktu itu memutuskan untuk mengeluarkan Dekrit
Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 sebagai langkah strategis mengamankan posisi dan
kekuasaannya. UUDS 1950 bercorak liberal dan menerapkan sistem pemerintahan
parlementer dimana kedudukan Presiden hanya sebagai simbol negara, tetapi kekuasaan
secara riil dipegang oleh Perdana Menteri. Maka Presiden Soekarno membubarkan Dewan
Konstituante dan kembali memberlakukan UUD 1945 dengan alasan instabilitas politik dan
kemandekan ekonomi. Setelah mengamankan posisi dan kekuasaannya, Presiden Soekarno
mencanangkan Demokrasi Terpimpin sebagai kredo pemerintahannya. Kekuasaan Presiden
Soekarno saat itu berada di atas hukum, sehingga terjadilah penyelewengan-penyelewengan
kekuasaan tersebut pada lembaga-lembaga negara berupa:
 Pengangkatan Presiden seumur hidup oleh MPRS

 Perangkapan jabatan eksekutif, legislatif dan eksekutif

 Pembentukan lembaga-lembaga negara baru tanpa dasar hukum


Penyelewengan wewenang dan kekuasaan semakin menjadi-jadi hingga akhirnya
mengakibatkan krisis dan resesi ekonomi yang menyebabkan terjadinya peristiwa G 30
S/PKI. Setelah terjadinya kudeta oleh PKI tersebut, pemerintahan Soekarno tumbang dan
kemudian digantikan oleh Soeharto.
UUD 1945 Demokrasi Pancasila (12 Maret 1966 s/d 1999)
Pemerintahan Orde baru di bawah Soeharto kembali menggunakan UUD 1945.
Sebenarnya alasan Soeharto memberlakukan UUD 1945 sama dengan Soekarno, yaitu UUD
1945 memberikan porsi kekuasaan yang besar pada eksekutif. Orba dengan embel-embel
melaksanakan Pancasila dan UUD 45 secara murni dan konsekuen, memiliki kekuasaan
untuk menerjemahkan UUD 45 dan Pancasila secara monolitik. Sehingga yang terjadi adalah
penerjemahan tunggal konstitusi oleh penguasa. Hal ini mengakibatkan penyelewengan
penafsiran terhadap konstitusi, dimana pasal-pasal UUD 1945 diterjemahkan dengan
kebijakan-kebijakan yang sifatnya lebih cenderung kapitalistik dan korup. Namun demikian,
hal-hal yang menyangkut pelembagaan kekuasaan negara yang disebut dalam UUD 1945,
ditepati dan dipatuhi dengan cermat oleh Orde Baru.
Amandemen UUD 1945 (1999 s/d sekarang)
UUD 1945 di zaman orde reformasi mengalami empat kali amandemen. Perubahan yang
sangat signifikan justru terletak pada ideologi yang diusung oleh para penggagas amandemen
UUD 1945. Sistem pemerintahan tetap presidensial, tetapi Presiden dan Wakil Presiden
dipilih langsung oleh rakyat. Lembaga-lembaga negara baru bermunculan: Mahkamah
Konstitusi, Dewan Perwakilan Daerah dan Komisi Yudisial.

Anda mungkin juga menyukai