Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Peritonium merupakan mesoderm lamina lateralis yang tetap bersifat
epithelial. Pada permulaan, mesoderm merupakan dinding dari sepasang
rongga yaitu coelom. Dari kedua rongga terdapat entoderm yang merupakan
dinding enteron. Enteron didaerah abdomen menjadi usus. Kedua rongga
mesoderm, dorsal dan ventral usus saling mendekat, sehingga mesoderm
tersebut kemudian menjadi peritoneum. Peritonium merupakan rongga tempat
melekatnya organ-organ dalam khususnya organ-organ pencernaan.
Berdasarkan sifat (vaskularisasi) dan fungsi dari peritonium, maka dengan
adanya kelainan pada organ-organ yang terdapat pada rongga peritonium,
akan mempengaruhi dinding atau rongga peritonium itu sendiri, seperti pada
apendisitis perforasi, perdarahan intraabdomen, obstruksi dan strangulasi
jalan cerna. Pada keadaan atau penyakit tersebut, sering menampakkan
adanya gejala akut yang sering disebut gawat abdomen, keadaan ini
memerlukan penaggulangan segera yang sering berupa tindakan pembedahan.
Peritonitis merupakan peradangan peritonium, selaput tipis yang
melapisi dinding abdomen dan meliputi organ-organ dalam, peradangan
sering disebabkan oleh bakteri atau infeksi jamur membran ini. Peritonium
primer disebabkan oleh penyebaran infeksi dari darah atau kelenjar getah
bening ke peritonium, pada kasus primer ini, 90% kasus infeksi disebabkan
oleh mikroba, 40% oleh bakteri gram negative, E.Coli 7%, Klebsiela,
pneumonia, spesies pseudomonas, proteus dan gram negatif lain sebanyak
20%, sementara bakteri gram positif yakni 15%, jenis steptococus, dan
golongan stapylococus 3%. Jenis yang lebih umum dari peritonitis, yang
disebut peritonitis sekunder, disebabkan oleh infeksi gastrointestinal
(apendisitis perforasi, perforasi ulkus peptikum, dan duodenum, perforasi
kolon) atau saluran bilier, kedua kasus peritonitis sangat serius dan dapat
mengancam kehidupan jika tidak dirawat dengan cepat.

1
Pada keadaan normal, peritonium resisten terhadap infeksi bakteri,
tetapi adanya keadaan seperti kontaminasi yang terus menerus, bakteri yang
virulen, resistensi yang menurun dan adanya benda asing atau enzim pecerna
aktif, merupakan faktor yang mempermudah terjadinya peritonitis. Keputusan
untuk melakukan tindakan bedah harus segera diambil karena setiap
keterlambatan akan menimbulkan penyakit yang berakibat meningkatnya
morbiditas dan mortalitas. Ketepatan diagnosis dan penaggulangan
tergantung dari kemampuan melakukan analisis pada data anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Definisi Peritonitis?
2. Apa Etiologi Peritonitis?
3. Bagaimana Patofisiologi Peritonitis?
4. Apa Manisfestasi Klinis Peritonitis?
5. Apa Saja Evaluasi Diagnostik Peritonitis?
6. Seperti Apa Penatalaksanaan Peritonitis?
7. Apa Saja Komplikasi Peritonitis?
8. Apa Tanda Dan Gejala Peritonitis?
9. Seperti Apa Obstruksi Usus Peritonitis?
10. Bagaimana Asuhan Keperawatan Pasa Klien Peritonitis?

C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Definisi Peritonitis
2. Untuk Mengetahui Etiologi Peritonitis
3. Untuk Mengetahui Patofisiologi Peritonitis
4. Untuk Mengetahui Manisfestasi Klinis Peritonitis
5. Untuk Mengetahui Evaluasi Diagnostik Peritonitis
6. Untuk Mengetahui Penatalaksanaan Peritonitis
7. Untuk Mengetahui Komplikasi Peritonitis
8. Untuk Mengetahui Tanda Dan Gejala Peritonitis
9. Untuk Mengetahui Obstruksi Usus Peritonitis

2
10. Untuk Mengetahui Asuhan Keperawatan Pasa Klien Peritonitis

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Penyakit Peritonitis


2.1 Definisi Peritonitis

Peritonitis adalah peradangan peritoneum yang


merupakan komplikasi berbahaya akibat penyebaran
infeksi dari organ-organ abdomen (apendiksitis,
pankreatitis, dan lain-lain) rupture saluran cerna dan luka
tembus abdomen. (Padila, 2012).
Peritonitis adalah inflamasi peritoneum dan mungkin
disebabkan oleh bakteri (misalnya dari perforasi usus)
atau akibat pelepasan iritan kimiawi, misalnya empedu,
asam lambung, atau enzim pancreas.(Brooker,
2009).Peritonitis adalah suatu keadaan yang mengancam
jiwa yang sering bersamaan dengan kondisi bacteremia
dan sindroma sepsis.(Dahlan.M, 2010).

2.2 Klasifikasi Peritonitis


a. Peritonitis primer
Terjadi biasanya pada anak-anak dengan syndrom
nefritis atau sirosi hati lebih banyak terdapat pada
anak-anak perempuan daripada laki-laki. Pertonitis

4
terjadi tanpa adanya sumber infeksi di rongga
peritonium melalui aliran darah atau pada pasien
perempuan melalui saluran alat genital.

b. Pertonitis sekunder
Peritonitis terjadi bila kuman masuk ke rongga
peritonium dalam jumlah yang cukup banyak. Biasanya
dari lumen saluran cerna. Peritonium biasanya dapat
masuknya bakteri melalui saluran getah bening
diafragma tetapi bila banyak kuman masuk secara
terus-menerus akan terjadi peritonitis, apabila ada
rangsangan kimiawi karena masuknya asam lambung,
makanan, tinja, hb dan jaringan nekrotik atau bila
imunitas menurun. Biasanya terdapatcampuran jenis
kuman yang menyebabkan peritonitis seperti kuman
anaerob dan aerob, peritonitis juga sering terjadi bila
ada sumber intra peritoneal seperti appendixitis,
divertikulitis, salpingitis, kolesistitis, pankreatitis dan
sebagainya.
c. Peritonitis terjadi karena pemasangan benda asing ke
dalam rongga peritoneon yang menimbulkan peritonitis
adalah :
1) Kateter ventrikulo : peritoneal yang dipasang pada
pengobatan hidrosefalus.
2) Kateter peritoneal : jugular untuk mengurangi asites
3) Continous ambulatory peritoneal dialysis.

2.3 Etiologi
a. Infeksi bakteri
1) Mikroorganisme berasal dari penyakit saluran
gastrointestinal.
2) Appendistis yang meradang dan perforasi.

5
3) Tukak peptik.
4) Tukak thypoid.
5) Tukak disentri amuba / colitis.
6) Tukak pada tumor.
7) Salpingitis.
8) Divertikulitis.
b. Secara langsung dari luar
1) Operasi tidak steril
2) Terkontaminasi talcum venetum, lycopodium,
sulfonamida, terjadi peritonitis yang disertai
pembentukan jaringan granulomatosa sebagai
respon terhadap benda asing, disebut juga
peritonitis granulomatosa serta merupakan
peritonitis lokal.
3) Secara hematogen sebagai komplikasi beberapa
penyakit akut seperti radang saluran pernapasan
bagian atas, otitis media, mastoiditis,
glomerulonepritis. Penyebab utama adalah
streptokokus atau pneumokokus.
Infeksi pada abdomen dikelompokkan menjadi peritonitis
infeksi (umum) dan abses abdomen.Penyebab peritonitis
adalah spontaneous bacterial peritonitis (SBP) akibat
penyakit hati yang kronik.SBP terjadi bukan karena
infeksi intra abdomen, tetapi biasanya terjadi pada
pasien yang asites terjadi kontaminasi hingga ke rongga
peritoneal sehingga menjadi translokasi bakteri mneuju
dinding perut atau pembuluh limfe mesenterium, kadang
terjadi penyebaran hematogen jika terjadi bakterimia
dan penyebab penyakit hati kronik. Semakin rendah
kadar protein cairan asites semakin tinggi resiiko
terjadinya peritonitis dan abses, ini terjadi karena ikatan
opsonisasi yang rendah antar molekul. Komponen asites

6
pathogen yang sering menyebabkan infeksi adalah
bakteri gram negative E.coli 40%, klebsiella pneumonia
7%, spesies pseudomonas, proteus dan gram lainnya
20% dan abkteri positif yaitu strepkokus 3%. Selain itu
juga terdapat anaerob dan infeksi campur bakteri.

2.4 Tanda gejala Peritonitis


Tanda gejala yang sering muncul pada pasien
peritonitis adalah :
a. Distensi abdomen
b. Rigiditas abdomen
c. Nyeri tekan pada abdomen
d. Bising usus menurun bahkan hilang
e. Demam
f. Mual bahkan muntah
g. Takikaridia
h. Takipnea

2.5 Patofisiologi
Peritonitis disebabkan oleh kebocoran isi rongga
abdomen kedalam rongga abdomen, biasanya
diakibatkan dari inflamasi, infeksi, iskemia, trauma atau
perforasi tumor.(Dahlan, 2004). Awalnya
mikroorganisme masuk kedalam rongga abdomen
adalah steril tetapi dalam beberapa jam terjadi
kontaminasi bakteri.Akibatnya timbul edema jaringan
dan pertahanan eksudat.Cairan dalam rongga abdomen
menjadi keruh dengan bertambahnya sejumlah protein,
sel-sel darah putih, sel-sel yang rusak dan darah.Respon
yang segera dari saluran intestinal adalah hipermotilitas,
di ikuti oleh ileus paralitik dengan penimbunan udara
dan cairan didalam usus besar.

7
Timbulnya peritonitis peradangan menimbulkan
akumulasi cairan karena kapiler dan membrane
mengalami kebocoran. Jika deficit cairan tidak dikoreksi
secara cepat dan agresif, maka dapat menimbulkan
kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti
misalnya interleukin, dapat memulai respon
hiperinflamatorius, sehingga membawa ke
perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak
organ. Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi
dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal,
produk Bungan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya
meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal begitu
terjadi hipovolemia.
Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk
dinding abdomen mengalami oedem.Oedem disebabkan
oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ
tersebut meninggi.Pengumpulan cairan didalam rongga
peritoneum dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh
organ intraperitoneal dan oedem dinding abdomen
termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan
hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan suhu,
masukan yang tidak ada, serta muntah.Terjebaknya
cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut
meningkatkan tekanan intra abdomen, membuat usaha
pernapasan penuh menjadi sulit dan menimbulkan
penurunan perfusi.Bila bahan yang menginfeksi tersebar
luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi
menyebar, dapat timbul peritonitis umum.Dengan
perkembangan peritonitis umum, aktifitas peristaltic
berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian
menjadi atoni dan meregang.Cairang dan elektrolit
hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi,

8
syok, gangguan sirkulasi dan oliguria.Perlekatan dapat
terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang
meregang dan dapatmengganggu pulihnya pergerakan
usus dan mengakibatkan obstruksi usus.
Peritonitis adalah komplikasi berbahaya yang sering
terjadi akibat penyebaran infeksi.Reaksi awal peritoneum
terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat
fibrinosa.Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk
diantara perlekatan fibrinosa yang menempel menjadi
satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi
infeksi.(Padila, 2012).

2.6 Tata Laksana


Tatalaksana utama pada peritonitis antara lain
pemberian cairan danelektrolit, kontrol operatif terhadap
sepsis dan pemberian antibiotik sistemik
a. Penanganan Preoperatif Resusitasi Cairan
Peradangan yang menyeluruh pada membran
peritoneum

9
menyebabkan perpindahan cairan ekstraseluler ke
dalam cavum peritoneum dan ruang intersisial.
Pengembalian volume dalam jumlah yang cukup
besar melalui intravaskular sangat diperlukan untuk
menjaga produksi urin tetapbaik dan status
hemodinamik tubuh. Jika terdapat anemia danterdapat
penurunan dari hematokrit dapat diberikan transfusi
PRC(Packed Red Cells) atau WB (Whole Blood).
Larutan kristaloid dan koloid harus diberikan untuk
mengganti cairan yang hilang.
Secara teori, cairan koloid lebih efektif untuk
mengatasi kehilangan cairan intravaskuler, tapi cairan
ini lebih mahal. Sedangkan cairankristaloid lebih
murah, mudah didapat tetapi membutuhkan
jumlahyang lebih besar karena kemudian akan
dikeluarkan lewat ginjal. Suplemen kalium sebaiknya
tidak diberikan hingga perfusi darijaringan dan ginjal
telah adekuat dan urin telah diproduksi.
b. Antibiotik
Bakteri penyebab tersering dari peritonitis dapat
dibedakan menjadibakteri aerob yaitu E. Coli,
golongan Enterobacteriaceae dan Streptococcus,
sedangkan bakteri anaerob yang tersering adalah
Bacteriodes spp, Clostridium, Peptostreptococci.
Antibiotik berperanpenting dalam terpai peritonitis,
pemberian antibiotik secara empirisharus dapat
melawan kuman aerob atau anaerob yang menginfeksi
peritoneum. Pemberian antibiotik secara empiris
dilakukan sebelum didapatkanhasil kultur dan dapat
diubah sesuai dengan hasil kultur dan uji sensitivitas
jika masih terdapat tanda infeksi. Jika penderita
baiksecara klinis yang ditandai dengan penurunan

10
demam dan menurunnya hitung sel darah putih,
perubahan antibiotik harusdilakukan dengan hati-hati
meskipun sudah didapatkan hasil dari ujisensitivitas
Efek pemberian antibiotik pada peritonitis tergantung
kondisikondisi seperti:
(1) besar kecilnya kontaminasi bakteri,
(2) penyebabdari peritonitis trauma atau nontrauma
(3) ada tidaknya kuman oportunistik seperti candida.
Agar terapi menjadi lebih efektif, terpai antibiotik
harus diberikan lebih dulu, selama dan setelah
operasi. Pada umumnya Penicillin G 1.000.000 IU
dan streptomycin 1 gramharus segera diberikan.
Kedua obat ini merupakan bakterisidal jika
dipertahankan dalam dosis tinggi dalam plasma.
Kombinasi daripenicillin dan streptomycin juga
memberikan cakupan dari bakteri gramnegatif.
Penggunaan beberapa juta unit dari peniillin dan
2 gramstreptomycin sehari sampai didapatkan
hasil kultur merupakan regimenterpai yang logis.
Pada penderita yang sensitif terhadap penicillin,
tetracycline dosis tinggi yang diberikan secara
parenteral lebih baikdaripada chloramphenicol
pada stadium awal infeksi. Pemberian
clindamycin atau metronidazole yang dikombinasi
dengan aminoglikosida sama baiknya jika
memberikan cephalosporin generasi kedua.
Antibiotik awal yang digunakan cephalosporin
generasi ketiga untukgram negatif, metronidazole
dan clindamycin untuk organismeanaerob.Daya
cakupan dari mikroorganisme aerob dan anerob
lebih pentingdaripada pemilihan terapi tunggal
atau kombinasi. Pemberian dosisantibiotikal awal

11
yang kurang adekuat berperan dalam
kegagalanterapi. Penggunaan aminoglikosida
harus diberikan dengan hati-hati,karena
gangguan ginjal merupakan salah satu gambaran
klinis dariperitonitis dan penurunan pH
intraperitoneum dapat menggangguaktivitas obat
dalam sel. Pemberian antibiotik diberikan
sampaipenderita tidak didapatkan demam,
dengan hitung sel darah putih yang
normal.

2.7 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi dari peritonitis adalah :
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, sesak
napas akibat desakan distensi abdomen ke paru,
pembentukan luka dan pembentukan abses. (Haryono,
2012).

2.8 Pemeriksaan Penunjang


a. Pemeriksaan Laboratorium
1) Complete Blood Count (CBC), umumnya pasien
dengan infeksi intra abdomen menunjukan
adanya leukosittosis
2) Cairan peritoneal
3) Urinalisis untuk mengetahui adanya penyakit pada
saluran kemih
b. Pemeriksaan Radiologi
1) Foto polos abdomen memperlihatkan distensi
disertai edema dan pembentukan gas dalam usus
2) USG
3) Foto rontgen abdomen memperlihatkan distensi
disertai edema dan pembentukan gas dalam usus

12
halus dan usus besar atau pada kasus perforasi
organ visceral. Foto tersebut menunjukan udara
bebas dibawah diafragma
4) Foto rontgen toraks dapat memperlihatkan
diafragma.

2.9 Penatalaksanaan
Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan
elektrolit yang hilang yang dilakukan secara intravena,
pemberian antibiotika yang sesuai, dekompresi saluran
cerna dengan penghisapan nasogastrik dan intestinal,
pembuangan fokus septik (apendiks, dsb) atau penyebab
radang lainnya, bila mungkin mengalirkan nanah keluar
dan tindakan-tindakan menghilangkan nyeri.
a) Konservatif
Indikasi terapi konservatif, antara lain:
1. Infeksi terlokalisisr, mis: massa appendiks
2. Penyebab peritonitis tidak memerlukan
pembedahan (pankreatitis akut)
3. Penderita tidak cukup baik untuk dilakukan
general anestesi; pada orang tua dan komorbid
4. Fasilitas tidak memungkinkan dilakukannya terapi
pembedahan.

Prinsip terapinya meliputi rehidrasi dan pemberian


antibiotik broad spectrum. Terapi suportif harus
diberikan termasuk pemberian nutrisi parenteral pada
penderita dengan sepsis abdomen di ICU.
Terapi konservatif meliputi:
- Cairan intravena
Pada peritonitis  terjadi pindahnya CIS ke dalam rongga
peritoneum, jumlah cairan ini harus diganti dengan

13
jumlah yan sesuai. Jika ditemukan toksisitas sistemik
atau pada penderita dengan usia tua dan keadaan
umum yang buruk, CVP (central venous pressure) dan
kateter perlu dilakukan, balans cairan harus
diperhatikan, pengukuran berat badan serial diperlukan
untuk memonitoring kebutuhan cairan. Cairan yang
dipakai biasanya Ringer Laktat dan harus diinfuskan
dengan cepat untuk mengoreksi hipovolemia
mengembalikan tekanan darah dan urin output yang
memuaskan.
- Antibiotik
Terapi antibiotika harus diberikan sesegera diagnosis
peritonitis bakteri dibuat. Antibiotik berspektrum luas
diberikan secara empirik, dan kemudian diubah jenisnya
setelah hasil kultur keluar. Pilihan antibiotika didasarkan
pada organisme mana yang dicurigai menjadi penyebab.
Antibiotika berspektrum luas juga merupakan tambahan
drainase bedah. Harus tersedia dosis yang cukup pada
saat pembedahan, karena bakteremia akan berkembang
selama operasi.
- Oksigenasi
Sangat diperlukan pada penderita dengan syok. Hipoksia
dapat dimonitor dengan pulse oximetry atau dengan
pemeriksaan BGA.
- Pemasangan NGT
Akan mengurangi muntah dan mengurangi resiko
terjadinya pneumonia aspirasi
- Nutrisi Parenteral
- Pemberian analgetik, biasanya golongan opiat (i.v.)
dan juga anti muntah.
b) Definitif / Pembedahan
1) Tindakan Preoperatif 

14
Apabila pasien memerlukan tindakan pembedahan
maka kita harus mempersiapkan pasien
untuktindakan bedah antara lain :
- Mempuasakan pasien untuk mengistirahatkan
saluran cerna.
- Pemasangan NGT untuk dekompresi lambung.
- Pemasangan kateter untuk diagnostic maupun
monitoring urin.
- Pemberian terapi cairan melalui I.V
- Pemberian antibiotic
2) Tindakan Operatif
Terapi bedah pada peritonitis antara lain:
- Kontrol sumber infeksi, dilakukan sesuai dengan
sumber infeksi. Tipe dan luas dari pembedahan
tergantung dari proses dasar penyakit dan
keparahan infeksinya.
- Pencucian ronga peritoneum: dilakukan dengan
debridement, suctioning, kain kassa, lavase, irigasi
intra operatif. Pencucian dilakukan untuk
menghilangkan pus, darah, dan jaringan yang
nekrosis
- Debridemen : mengambil jaringan yang nekrosis,
pus dan fibrin
- Irigasi kontinyu pasca operasi
-
c) Laparotomi
Pembuangan fokus septik atau penyebab radang
lain dilakukan dengan operasi laparotomi. Insisi yang
dipilih adalah insisi vertikal digaris tengah yang
menghasilkan jalan masuk ke seluruh abdomen dan
mudah dibuka serta ditutup. Jika peritonitis
terlokalisasi, insisi ditujukan diatas tempat inflamasi.

15
Tehnik operasi yang digunakan untuk mengendalikan
kontaminasi tergantung pada lokasi dan sifat patologis
dari saluran gastrointestinal. Pada umumnya,
kontaminasi peritoneum yang terus menerus dapat
dicegah dengan menutup, mengeksklusi, atau
mereseksi viskus yang perforasi. Pemberian antibiotik
diteruskan samapai dengan 5 hari post operasi
terutama pada peritonitis generalisata.
Re-laparotomi sangat penting terutama pada
penderita dengan SP yang parah yang dengan
dilakukan laparotomi pertama  terus mengalami
perburukan atau jatuh ke dalam keadaan sepsis.
d) Laparoskopi
Laparoskopi terbukti efektif dalam manajemen
appendisitis akut dan perforasi ulkus duodenal. Dan
dapat juga dilakukan pada kasus perforasi kolon, tetapi
lebih sering dilakukan laparotomi. Kontraindikasi pada
penderita dengan syok dan ileus.
e) Lavase peritoneum dan Drainase
Lavase peritoneum dilakukan pada peritonitis yang
difus, yaitu dengan menggunakan larutan kristaloid
(saline). Pemberian antiseptik maupun antibiotik
(tetrasiklin, povidone iodine) tidak dianjurkan karena
akan menyebabkan terjadinya adesi. Antibioyik
diberikan secara parenteral akan mencapai level
bakterisidal dalam cairan peritoneum.  Setelah lavase
selsai dilakukan dilakukan aspirasi seluruh cairan dalam
rongga abdomen karena akan menghambat mekanisme
defens lokal. Bila peritonitisnya terlokalisasi, sebaiknya
tidak dilakukan lavase peritoneum, karena tindakan ini
akan dapat menyebabkan bakteria menyebar ketempat
lain.

16
Drainase (pengaliran) pada peritonitis umum tidak
dianjurkan, karena pipa drain itu dengan segera akan
terisolasi/terpisah dari cavum peritoneum, dan dapat
menjadi tempat masuk bagi kontaminan eksogen.
Drainase berguna pada keadaan dimana terjadi
kontaminasi yang terus-menerus (misal fistula) dan
diindikasikan untuk peritonitis terlokalisasi yang tidak
dapat direseksi.
f) Terapi post-operatif
Tercapainya stabilitas hemodinamik dan perfusi
organ yang baik dalam hal ini perlu diperhatikan
pemberian cairan dan suplai darah. Pemberian
antibiotik dilanjutkan 10 – 14 hari post operasi,
tergantung pada tingkat keparahan peritonitis.
(LNG) Oral-feeding, diberikan bila sudah flatus, produk
ngt minimal, peristaltic usus pulih, dan tidak ada
distensi abdomen.

17
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN KASUS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN.S DENGAN DIAGNOSA MEDIS


PERITONITIS GENERALISATA E.C INTERNAL BLEDING (RUPTUR
ILEUM) POST OP.LAPAROTOMY HARI KE-4 DI RUANG ICU
CENTRAL RSUD KABUPATEN JOMBANG
PADA TANGGAL 20-21 JANUARI 2020

A. Pengkajian
I. Identitas pasien
 Nama : Tn.S
 Umur : 27 tahun
 Tanggal lahir : 20 Juli 1993
 Jenis kelamin : Laki-laki
 Alamat : Mojoagung
 Tgl MRS : 6 Februari 2020 / 00.47
 Tgl pengakjian : 10-2-2020 pukul 10:00 WIB
 Diagnosa medis Peritonitis Generalisata E.C Internal
Bleeding (Ruptur Ileum) Post
Op.Laparotomy Hari Ke-4

II. Riwayat Kesehatan


a. Keluhan utama
-
b. Riwayat kesehatan sekarang
Tn.S datang ke IGD RSUD Jombang pada 6-2-2020 (00.47) rujukan
dari RSK Mojowarno dengan keluhan nyeri perut sebelah kanan
setelah mengalami KLL pada tanggal 1-2-2020 saat mengendarai
mobil lalu menabrak pohon karena mengantuk dan perut terkena setir
mobil. Pada pemeriksaan GCS 456, TD: 120/80 mmHg, N: 160x/m,
RR: 52x/m, S: 39,4oC, SpO2 90%. Kemudian dilakukan pemberian
O2 nasal, infuse NaCl, injeksi paracetamol 1gr, pantoprazole 40mg,
tramadol 100mg, pemeriksaan Lab, CT Scan, USG Abdomen, lalu
pasien dikirim ke HCU Asoka untuk observasi lebih lanjut (13.30).
Hasil USG ditemukan adanya perdarahan pada abdomen dan langsung

18
dilakukan tindakan pembedahan laparotomy jam 21.00. Setelah
operasi selesai, pasien dikirim ke ICU untuk perawatan lebih intensif.
Pada saat pengkajian pada 10-2-2020 jam 09.00 pasien terpasang
ventilator.

c. Riwayat Kesehatan dahulu


Keluarga mengatakan Tn.S tidak pernah mengalami kecelakaan
sebelumnya dan tidak pernah operasi

d. Riwayat kesehatan keluarga


Tidak ada yang menderita penyakit DM, HT, TBC, HIV/AIDS,
maupun Hepatitis.

III. Pemeriksaan B1-B6


a. B1 (Breathing)
Pernapasan pasien menggunakan ventilator ETT mode CPAP PS 12
PEEP 10 fiO2 30%, saturasi oksigen 98%, gerakan dada simetris,
terdapat ronkhi +/+, wheezing -/-, reflek batuk ada, sputum kental.
Masalah yang muncul : Bersihan jalan nafas tidak efektif

b. B2 (Blood)
Pasien post operasi laparotomy hari ke-4, akral hangat, CRT <3detik,
tidak sianosis, tidak anemis, TD: 140/80 mmHg, teraba lemah, S:
38,8oC, EKG monitor irama sinus dengan HR 92x/menit.
Masalah yang muncul : Hipertermia

c. B3 (Brain)
Kesadaran pasien composmentis, GCS E4 V1 M6, pupil isokor 2/2,
reflek cahaya +, tidak ada kelainan pada nervus I-XII.
Masalah yang muncul : Tidak ada

d. B4 (Bladder)
Pasien menggunakan DC terpasang dari tanggal 6 februari 2020,
produksi urine 400cc/3 jam warna kuning kecoklatan (09.00), dan
300cc/3 jam pukul 12.00.
Masalah yang muncul : Tidak ada

e. B5 (Bowl)
Pasien terpasang NGT, sebelumnya pasien dipuaskan, diit sonde D5
6x200cc, mukosa bibir lembab, mual dan muntah (+), terdapat luka
post op laparotomy ±15cm dan terpasang drain 1 selang pada
abdomen kanan produksi drain ±30cc, luka tampak bersih dan tidak

19
ada rembesan, peristaltic usus 2x/m, BAB lembek warna coklat
kehitaman.
Masalah yang muncul : Risiko perfusi gastrointestinal tidak efektif

f. B6 (Bone)
Pasien terpasang infuse NaCl di lengan kiri, pasien bedrest mobilisasi
aktif mika/miki dibantu, terdapat luka post op laparotomy ±15cm,
tidak ada oedem, tidak ada dekubitus.
Kekuatan otot :
5 5
5 5
Keterangan
5: kekuatan penuh
Masalah yang muncul : Kerusakan integritas kulit

IV. Assesment status fungsional (Indeks Bartel)


No Fungsi Sko
r
1 MAKAN
0= tidak mampu 0
5= memerlukan bantuan
10= mandiri tanpa bantuan
 
2 MANDI
0= tergantung 0
5= mandiri
 
3 KERAPIAN DAN PENAMPILAN
0= memerlukan bantuan untuk menata diri 0
5= mandiri  
4 BERPAKAIAN
0= tergantung / tidak mampu 0
5= perlu dibantu tapi dapat melakukan sebagian
10= mandiri
 
5 BUANG AIR BESAR
0= inkontinensia atau tergantung pada enema 10
5= kadang mengalami kesulitan
10= normal
 
6 PENGGUNAAN KAMAR MANDI DAN TOILET
0= tergantung 0
5= perlu dibantu tetapi tidak tergantung penuh
10= mandiri
 

20
7 BUANG AIR KECIL
0= dipasang kateter 0
5= kadang mengalami kesulitan
10= normal
 
8 BERPINDAH TEMPAT
0= tidak mampu 5
5= memerlukan banyak bantuan
10= memerlukan sedikit bantuan
 
15= mandiri

9 MOBILISASI
0= tidak mampu berjalan 10
5= hanya bisa bergerak di kursi roda
10= berjalan dengan bantuan
 
15= mandiri meskipun menggunakan alat bantu

10 MENAIKI / MENURUNI TANGGA


0= tidak mampu 0
5= memerlukan bantuan  
10= mandiri

TOTAL SKOR  25

Kategori indeks barthel


0-20 = ketergantungan penuh
21-61 = ketergantungan berat
62-90 = ketergantungan rendah
91-99 = ketergantungan ringan
Kesimpulan : total skor 25 berarti pasien mengalami
ketergantungan berat.
Masalah yang muncul : Defisit perawatan diri

21
V. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
Tanggal 7-2-20
No. Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai
Normal
Hematologi
Darah lengkap
1. Hemoglobin 13.5 gr/dl 13.4-17.7
2. Hitung leukosit 19.55 103/µl 4.3-10.3
3. Trombosit 177 103/µl 142-424
4. Hematokrit 43.8 % 40-47
5. Hitung eritrosit 4.97 103/µl 4.0-5.0
6. MCV 88.1 Fl 80-93
7. MCH 30.4 Pg 27-31
8. MCHC 34.5 gr/dl 32-36
9. Hitung jenis leukosit
- Eosinofil 0 % 0-3
- Basophil 0 % 0-1
- Segmen 83 % 50-70
10 % 25-42
- Limfosit
9 % 3.7
- Monosit

Kimia Klinik
1. Kreatinin 0.81 mg/dl 0.6-1.1
2. Gula darah sewaktu 105 mg/dl 144
3. Natrium darah 139 mmol/l 136-145
4. Kalium darah 4.49 mmol/l 3.5-5.3
5. Cloric/ Cl darah 109 mmol/l 97-105
1. SGOT 45 µl 5-40
2. SGPT 58 µl 7-56
Analisa Gas Darah
1. pH 7.44 7.37-7.45
2. pCO2 25.5 mmHg 33-44
3. pO2 198.88 mmHg 71-104
4. HCO3 17.4 mmol/I 22-29
5. Base Excess -6.9 mmol/I (-2)-(+3)
6. O2 sat 99.8 % 94-98
7. CO2 18.2 mmol/I 23-27
8. Anion Gap 31.9 mmol/I 12.0-16.0
9. Natrium 142.0 mmol/I 135.0-148.0
10. Kalium 3.52 mmol/I 3.50-4.50

b. USG

22
Pada tanggal 6-2-2020
Hasil :
- terdapat trauma / rupture di ileum mesocolon sigmoid
- cairan bebas di cavum abdomen
- internal bleeding hemodinamik
c. EKG
Pada tanggal 6-2-2020
Hasil : irama sinus. HR: 92x/menit

VI. Terapi
Tanggal 10-2-2020
- Ceftriaxone 2 x 1 gr / IV
- Metronidazole 3 x 500gr
- Paracetamol 3 x 1 gr
- Omeprazole 2 x 40 gr
- Transamin 3 x 500 gr
- Vitamin K 3 x 1 amp
- Diit sonde D5 6x100 cc
- Nebulizer combivent 3x1

B. Diagnosa Keperawatan
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif
2. Risiko perfusi gastrointestinal tidak efektif
3. Hipertermia
4. Kerusakan integritas kulit
5. Deficit perawatan diri

23
Analisa Data I
Ns. Diagnosa Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif
(SDKI) Kategori : Fisiologis
(D.0019) Subkategori : Respirasi
Definsi Ketidak mampuan membersihkan secret atau obstruksi jalan
napas untuk mempertahankan jalan napas tetap paten
Penyebab Penumpukan secret

Assesment Data Subyektif Data Obyektif


-  Terpasang ETT
ventilator mode CPAP
PS 12 PEEP 10 fiO2
30%
 Batuk tidak efektif
 Sputum berlebih
 Ronchi
 Pola napas berubah
 Frekuensi napas
berubah
 TTV: TD: 140/80
mmHg, N: 92x/m,EKG
monitor irama sinus
rithem dengan HR
92x/mnt S: 38,8C
 Kesadaran :
Composmentis
 GCS E4 V1 M6

Kondisi Klinis Adanya benda asing (ventilator ETT)


terkait
Diagnosa Pasien Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d adanya benda asing d.d
penumpukan secret

24
Analisa Data II
Ns. Diagnosa Risiko Perfusi Gastrointestinal Tidak Efektif
(SDKI) Kategori : Fisiologis
(D.0013) Subkategori : Sirkulasi
Definsi Berisiko mengalami penurunan sirkulasi gastrointestinal
Penyebab Adanya pembedahan

Assesment Data Subyektif Data Obyektif


Pasien mengeluh mual dan  Mual dan beberapa kali
muntah muntah
 Bising usus menurun :
2x/menit
 Post op laparotomy a.i
peritonitis generalisata
e.c internal bleeding
(rupture ileum) hari ke-
4
 Terdapat luka operasi
±15 cm
 NGT mulai sonde
vuding 6x100 cairan
D5% setiap 4 jam
retensi berwarna
kuning kecoklatan
sejumlah 50cc
 Produksi drain
(abdomen)30cc/3 jam

Diagnosa Pasien Risiko perfusi gastrointestinal tidak efektif d.d adanya


pembedahan

25
C. Intervensi Keperawatan
SLKI Indikator SIKI Aktivitas
DX.I Setelah dilakukan Manajemen Jalan napas a. Observasi
Bersihan jalan napas (L.01001) perawatan 2x24 jam (I. 01011)  Monitor Pola napas, Frekuensi, Kedalaman,
Definisi : diharapkan: Definisi: Usaha napas
Kemampuan membersihkan  Ronchi (3) mengidentifikasi dan  Monitor bunyi napas
secret atau obstruksi jalan  Dispnea (3) mengelola kepatenan  Monitor sputum
napas untuk mempertahankan  Frekuensi napas (3) jalan napas  Monitor TTV
jalan napas tetap paten  Pola napas (3) b. Terapiutik
 Produksi sputum (3)  Posisikan semi fowler
 Batuk efektif (3)  Pertahankan kepatenan jalan napas
 Lakukan Fisioterapi dada jika perlu
 Berikan alat bantu pernapasan
 Lakukan nebulizer
 Lakukan Suction < 15 detik
c. Edukasi
 Ajarkan batuk efektif
d. Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian bronkodilator
DX.II Setelah dilakukan Manajemen Nutrisi a. Observasi
Perfusi gastrointestinal perawatan 2x24 jam (I. 03119)  Monitor asupan makanan
(L.02010) diharapkan: Definisi:  Monitor NGT retensi
Definisi :  Mual (3) mengidentifikasi dan b. Terapiutik
Keadekuatan aliran darah pada  Muntah (3) mengelola asupan  Lakukan oral hygine
gastrointestinal untuk  Nyeri abdomen (3) nutrisi yang seimbang  Fasilitasi menentukan program diit
mempertahankan fungsi organ.  Bising usus (3)  Berikan nutrisi sesuai diit
c. Edukasi
 Ajarkan diit yang telah diprogramkan

26
d. Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian obat antiemetic

27
D. Implementasi Keperawatan
Tanggal/ Paraf
Diagnosa Implementasi
Jam
Senin, 10-
Observasi: Nn
02-20
Jam 09.00 o Memonitor TTV
R/
TD: 140/80 mmHg, N:
92x/m, S: 38,8oC
o Memonitor bunyi napas
tambahan
R/
Terdapat ronchi
o Memonitor pola napas
R/
ireguler
Terapeutik:
Bersihan jalan o Memposisikan semi fowler
naoas tidak R/
Posisi pasien setengah duduk
efektif b.d 30-45o
adanya benda o Memberikan alat bantu
pernapasan
asing d.d R/
penumpukan Terpasang ETT ventilator
mode CPAP PS 12 PEEP 10
sekret fiO2 30% SpO2 96%
o Melakukan penguapan /
nebulizer
o Melakukan suction
R/
Sputum keluar berwarna
kuning kental
o Melakuakn fisioterapi dada
Kolaborasi:
o Kolaborasi dalam pemberian
obat combivent
R/
Combivent aquabidest 1:1
(3x1)
Risiko perfusi Observasi:
gastrointestinal o Memonitor asupan makanan
R/
tidak efektif d.d

28
Hanya asupan sesuai dengan
program diit
o Memonitor bising usus
R/
2x/menit
o Memonitor NGT retensi
R/
Kuning kecoklatan
Terapeutik:
o Melakukan oral hygine
R/
Pasien oral hygine dengan
menggunakan obat kumur
o Memfasilitasi menentukan
program diet
R/
pembedahan Air madu / D5
o Memberikan nutrisi sesuai
diet
R/
D5 2x200cc
Edukasi:
o Menjelaskan diet yang telah
diprogramkan
R/
Pasien dan keluarga
kooperatif
Kolaborasi:
o Kolaborasi dalam pemberian
obat antiemetik
R/
Omeprazole 1x40mg
Selasa,
Bersihan jalan Observasi:
11-02-20
Jam 08.00 naoas tidak o Memonitor TTV
R/
efektif b.d
TD: 120/80 mmHg, N:
adanya benda 89x/m, S: 37,4oC
o Memonitor bunyi napas
asing d.d
tambahan
penumpukan R/
sekret Terdapat ronchi
o Memonitor pola napas
R/

29
RR: 23x/menit dangkal
Terapeutik:
o Memposisikan semi fowler
R/
Posisi pasien setengah duduk
30-45o
o Memberikan alat bantu
pernapasan
R/
Terpasang O2 NRBM 10 lpm
o Melakukan penguapan /
nebulizer
o Melakukan fisioterapi dada
Edukasi:
o Mengajarkan batuk efektik
Kolaborasi:
o Kolaborasi dalam pemberian
obat combivent
R/
Combivent aquabidest 1:1
(3x1)
Risiko perfusi Observasi:
gastrointestinal o Memonitor asupan makanan
R/
tidak efektif d.d
Hanya asupan sesuai dengan
pembedahan program diit
o Memonitor bising usus
R/
4x/menit
o Memonitor NGT retensi
R/
Kuning jernih
Terapeutik:
o Melakukan oral hygine
R/
Pasien oral hygine dengan
menggunakan obat kumur
o Memfasilitasi menentukan
program diet
R/
Air madu / D5
o Memberikan nutrisi sesuai

30
diet
R/
D5 2x200cc
Edukasi:
o Menjelaskan diet yang telah
diprogramkan
R/
Pasien dan keluarga
kooperatif
Kolaborasi:
o Kolaborasi dalam pemberian
obat antiemetik
R/
Omeprazole 1x40mg

31
E. Evaluasi Keperawatan
No Diagnose Tanggal /
Evaluasi Paraf
Jam
1 Bersihan Senin, 10- S : Terpasang ventilator ETT nn
jalan 02-20 O:
napas Jam 13.30  Pola napas dan frekuensi napas diatur
tidak
oleh mesin
efektif bd
adanya  Terpasang ETT ventilator mode CPAP
benda
asing dd PS 12 PEEP 10 fiO2 30%, SpO2 98%
penumpuk  Terdapat suara napas tambahan ronchi
an sekret
+/+
 Produksi sputum ±10cc
 TD: 130/80 mmHg, N: 88x/m, S:
37,8oC
 Kesadaran Composmentis
 GCS E4 V1 M6

A : Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif belum


teratasi
P : Lanjutkan intervensi
1. Patenkan jalan nafas sesuai dengan
mode ventilator
2. Observasi suara napas tambahan
3. Berikan O2 masker 8 lpm (jam 12:00
Aff ventilator) sesuai advice dokter
4. Lakukan penguapan / nebul tiap 8 jam
5. Lakukan suction jika ada secret
6. Lakukan fisioterapi dada
7. Ajarkan batuk efektif
8. Observasi TTV
9. Posisikan semi fowler 30-45o
10. Kolaborasi obat nebul
2 Risiko Senin, 10- S: Terpasang ventilator ETT
perfusi 02-20
O:
gastrointes Jam 13.30

32
tinal tidak  Masih mual
efektif d.d  Muntah
trauma /  Terpasang NGT
pembedah  Retensi NGT kuning kecoklatan
an  Bising usus 3x/menit

A : Risiko perfusi gastrointestinal tidak efektif


belum teratasi
P : Lanjutkan intervensi
1. Monitor asupan makanan
2. Monitor bising usus
3. Monitor retensi NGT
4. Lakukan oral hygine
5. Tentukan program diet : D5% 6x200cc
6. Berikan nutrisi sesuai program : D5%
6x200cc
7. Kolaborasi dalam pemberian obat
antiemetic

1 Bersihan Selasa, S : Pasien mengatakan sudah tidak sesak dan nn


jalan 11-02-20 bisa batuk dengan mengeluarkan dahak
naoas Jam 13.00 O :
tidak  RR 20x/m, SpO2 99%
efektif b.d
adanya  suara napas tambahan ronchi
benda berkurang
asing d.d
penumpu  Produksi sputum ±8cc
kan  TD : 120/70 mmHg, N: 90x/m, S:
sekret
37,5oC
 Kesadaran Composmentis
 GCS E4V5M6
A : Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif teratasi
sebagian
P : Lanjutkan intervensi
1. Patenkan jalan nafas
2. Observasi suara napas tambahan
3. Berikan O2 masker 8 lpm
4. Lakukan penguapan / nebul
5. Lakukan suction jika ada secret
6. Lakukan fisioterapi dada
7. Ajarkan batuk efektif
8. Observasi TTV
9. Posisikan semi fowler 30-45o
10. Kolaborasi obat nebul

33
(Pasien pindah ruangan HCU Asoka
pada pukul 13.30)
Lanjutkan intervensi di ruangan
2 Risiko Selasa, S: Pasien mengatakan mual berkurang nn
perfusi 11-02-20
O:
gastrointes Jam 13.00
tinal tidak  Terpasang NGT
efektif d.d  Retensi NGT kuning jernih
trauma /  Bising usus 6x/menit
pembedah  mual
an
A : Risiko perfusi gastrointestinal tidak efektif
teratasi sebagian
P : Lanjutkan intervensi
1. Monitor asupan makanan
2. Monitor bising usus
3. Monitor retensi NGT
4. Lakukan oral hygine
5. Tentukan program diet ; susu 6x100cc
6. Berikan nutrisi sesuai program
7. Kolaborasi dalam pemberian obat
antiemetic

(Pasien pindah ruangan HCU Asoka


pada pukul 13.30)
Lanjutkan intervensi di ruangan

34
BAB IV
JURNAL

Terapi nebul combivent, menurut siti (2018) dalam jurnal keefektifkan


pemberian nebulizer terapi combivent terhadap patensi jalan nafas pada
pasien asma di ruang IGD BBKPM makasar bahwa terapi nebul dengan obat
yang digunakan adalah combivent yang kandunganya salbutamol dan
ipatropium bromide dimana obat ini berfungsi melonggarkan saluran nafas
dengan cara merelaksasi bronkus dan terapi nebul dapat menurunkan
frekuensi nafas lebih besar pada kelompok combivent,yakni rata rata skor
15,601 sedangkan pada kelompok bisolvon hanya 7,071. Pada Tn.S telah
dilakukan nebul 3x1 sehingga evaluasi bunyi ronchi masih ada pada hari
ke 1 dan 2 namun sudah berkurang. RR 20x/m, SpO2 99%, suara napas
tambahan ronchi berkurang. Hal ini sesuai dengan teori bahwa
penambahan ipratropium bromida umumnya menghasilkan perbaikan pada
fungsi paru 10-15% lebih tinggi dibandingkan hanya menggunkanan agonis
beta 2 andreergik saja (Ikawati.2011). Menurut alexander (2017) dalam jurnal
mdula unila dengan judul tatalaksana terkini di RS Bdul Moelok, bahwa
terapi nebulisasi bertujuan untuk mengurangi sesak akibat penyempitan jalan
nafas atau bronkopspasme akibat hipersekresi mukus. namun terapi nebulisasi
bukan menjadi gold standart pengobatan.
Fisioterapi dada merupakan intervensi dalam bersihan jalan nafas tidak
efektif dapat diterapkan. Menurut jurnal Akhmad (2018) dalam jurnal
fisioterapi dan rehabilitasi dengan judul pengaruh chest terapy dan infra red,
bahwa fisioterapi dada dapat merubah frekuensi pernafasan per menit dan
diikuti penurunan yang signifikan untuk nilai skala borg. dimana fisioterapi
dada meliputi postural drainage yakni dengan mempoisisikan pasien untuk
mendapatkan gravitasi maksimal yang akan mempermudah dalam
pengeluaran sekret, yang kedua dengan clapping merupakan tehnik massage
tapotement yang digunakan pada terapi fisik fisioterapi pulmonar untuk
menepuk dinding dada untuk menggerakan sekresi paru (Irimia,2017).

35
Pada Tn.S dilakukan Fisioterapi dada saat setelah dilakukan nebul hal
ini dapat mempercepat pengeluaran secret dalam jalan nafas maupun paru.
pada Tn.S dilakukan terapi nebul 3x 1 dan juga fisioterapi dada setelah nebul.
Endotracheal Tube (ETT) merupakan konektor yang digunakan untuk
ventilasi mekanik. Ventilasi yang digunakan adalah ventilasi mekanik
intensif. ETT perlu perhatian khusus karena berpotensi akan adanya
penumpukan mucus sehingga tindakan yang dilakukan adalah penghisapan
lendir (suctioning). Menurut jurnal Tati (2019) dengan judul The Effect of
endotracheal tube (ETT) suction measures on our saturation levels in failed
patients in ICU Grandmed Hospital, bahwa terdapat pengaruh tindakan
penghisapan lendir (suction) Endotracheal Tube (ETT) terhadap kadar
saturasi oksigen. Pada Tn.S dilakukan suction ETT dan terdapat perubahan
SpO2 dari 96% menjadi 99% setelah dilakukan suction.

36
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Ahmad alfajri., dkk. 2018. Chest Therapy And Infra Red Effect In
Bronchopneumonia. Jurnal Fisioterapi dan Rehabilitasi (JFR) Vol. 2, No. 1,
Tahun 2018, ISSN 2548-8716
Brooker, C. 2009. Ensiclopedia Keperawatan. Jakarta: EGC
Dahlan.M.,Jusi.D.,Sjamsuhidajat, R. 2010. Gawat Abdomen dalam
Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi. Jakarta: EGC
Hayati, Teti.,dkk. 2019. Perbandingan Pemberian Hiperoksigenasi Satu Menit Dab
Dua Menit Pada Proses Suction Terhadap Saturasi Oksigen Pasien
Terpasang Ventilator. Journal of Telenursing (JOTING). Vol. 1 No.1 Juni
Huda Amin. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosis Medis & NANDA NIC-NOC Jilid.1. Yogyakarta : Med
Action
Karokaro, Tati Murni., Lia Hasrawi. 2019. The Effect Of Endotracheal Tube (Ett)
Suction Measures On Our Saturation Levels In Failed Patients In Icu
Grandmed Hospital. Jurnal Keperawatan dan Fisioterapi (JKF), e-ISSN
2655-0830
Lumbantobing, Valentina B.M. 2017. Efektivitas Terapi Nebulizer Dengan
Ipratropium Dan Fenoterol Terhadap Saturasi Oksigen. Jurnal Keperawatan BSI,
Vol.5 No.1 April. ISSN: 2338-7246, e-ISSN: 2528-2239
Padila. 2012. Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Nuha
Medika
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standart Diagnosis Keperawatan Indonesia.
Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Indonesia
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2016. Standart Intervensi Keperawatan Indonesia.
Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Indonesia
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2016. Standart Luaran Keperawatan Indonesia.
Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Indonesia

37

Anda mungkin juga menyukai