Refleksi Kasus Demam Tifoid
Refleksi Kasus Demam Tifoid
(LONG CASE)
DEMAM TIFOID
Diajukan untuk
Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik dan Melengkapi Salah Satu Syarat
Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Di RSUD Dr. H. Soewondo Kendal
Disusun oleh :
Arini Azkha
30101507390
Pembimbing:
dr. Firza Olivia Susan, Sp.A,M.Si.Med
1
DAFTAR I
Daftar Isi..................................................................................................................... 2
Lembar Pengesahan................................................................................................... 3
Identitas Penderita...................................................................................................... 4
I. Data Dasar: Anamnesis...................................................................................... 4
II. Pemeriksaan Fisik............................................................................................. 9
III. Pemeriksaan Penunjang................................................................................... 11
IV. Resume............................................................................................................ 13
Tinjauan Pustaka........................................................................................................ 18
2
LEMBAR PENGESAHAN
3
A. IDENTITAS PENDERITA
Nama : An. Z
Umur : 5 Tahun 5 Bulan
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Sijeruk-Kendal
No. CM : 585xxx
Bangsal : Dahlia
Tanggal masuk : 9 Agustus 2019
Tanggal keluar : 13 Agustus 2019
B. IDENTITAS ORANGTUA
Nama Ayah : Tn. H
Umur : 33 tahun
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Nama Ibu : Ny.R
Umur : 32 tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
B. DATA DASAR
I. ANAMNESIS (Alloanamnesis)
Alloanamnesis dilakukan dengan ibu pasien di Bangsal Dahlia RSUD Dr. H.
Soewondo Kendal pada tanggal 13 Agustus 2019 serta didukung catatan medis
pasien.
Keluhan utama : Demam
Keluhan tambahan : Demam
4
anak tampak lesu, tidak bersemangat sejak 4 hari sebelum masuk rs, anak mulai
panas tidak mendadak muncul perlahan dan tidak terlalu tinggi namun berangsur-
angsur meningkat setiap harinya. Demam dirasakan tinggi pada sore dan malam
hari disertai menggigil tidak berkeringat , tidak ada kejang. Oleh ibunya anak
diberi obat penurun panas, panas turun beberapa saat diberikan obat kemudian
naik lagi. Selain itu anak mengeluh perut kembung, nafsu makan turun, sakit
kepala dan batuk pilek.
Pasien pernah demam sejak 1 tahun yang lalu kemudian berobat ke puskesmas
diberikan obat penurun panas kemudian sembuh. Riwayat batuk lama, penyakit
kuning, kejang disangkal oleh ibu pasien dan riwayat alergi disangkal.
Riwayat Prenatal
5
Ibu rutin memeriksakan kandungannya ke bidan terdekat. Mulai saat
mengetahui kehamilan berusia 1 bulan hingga usia kehamilan 9 bulan dengan
interval 1 kali tiap bulan. Ibu mengaku tidak pernah menderita penyakit selama
kehamilan. Riwayat muntah berlebih ,perdarahan, hipertensi, DM dan trauma saat
hamil disangkal. Riwayat minum obat tanpa resep dokter, minum jamu, ataupun
pijat hamil disangkal.
Kesan: riwayat kesehatan prenatal baik
Duduk : 5 bulan
Merangkak : 9 bulan
6
Kesan: Pertumbuhan dan perkembangan anak sesuai umur.
Riwayat postnatal
Pemeliharaan postnatal dilakukan di posyandu dan mendapat imunisasi dasar
Kesan : riwayat pemeliharaan postnatal baik
Riwayat Imunisasi
Hepatitis B : Lahir, 2 bulan, 3 bulan, 4 bulan
Polio : 1 bulan, 2 bulan, 3 bulan, 4 bulan
BCG : 1 bulan
DPT : 2 bulan, 3 bulan, 4 bulan
Campak : 9 bulan
Kesan : Imunisasi dasar lengkap
Status Gizi
Jenis Kelamin : perempuan
Berat badan : 17 kg
Tinggi Badan :-
Usia : 5 Tahun 5 Bulan
7
II. PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan pada tanggal 13 Agustus 2019 di Bangsal Dahlia RSUD dr. H.
Soewondo Kendal
Kesan umum : Composmentis tampak rewel
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 5 Tahun 5 Bulan
Tinggi Badan :-
Berat Badan : 17 kg
Tanda Vital
Frekuensi nadi : 85 x/menit
Frekuensi napas : 23 x/ menit
Temperatur : 36,6o C per axial
Saturasi oksigen : 99%
Status Internus
a. Kepala : Normocephale.
b. Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut
c. Mata : Pupil bulat, isokor, Ø 4mm/ 4mm, refleks cahaya (+/+) normal,
konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), cekung (-/-), palpebra udem (-/-)
d. Hidung : simetris, sekret (-/-), nafas cuping hidung (-), epistaksis (-)
e. Telinga : bentuk normal, serumen (-/-), discharge (-/-), nyeri tekan
tragus (-/-)
f. Mulut: bibir kering (-), sianosis (-), lidah kotor (-), karies (-), ginggiva
bleeding (-)
8
g. Tenggorok: tonsil ukuran T1-T1, permukaan rata, kripte tonsil tidak melebar,
tidak hiperemis, faring hiperemis (-)
h. Leher : simetris, tidak ada pembesaran kelenjar limfe, kaku kuduk (-)
i. Kulit : sianosis (-). Turgor kembali cepat, akral dingin (-)
j. Kuku : Capillary Refill Time <2 detik
Thorax
Paru
Inspeksi : Hemithorax sinistra dan dextra simetris dalam statis
dan dinamis, ada retraksi suprasternal (-)
Palpasi : Sterm fremitus kanan sama dengan sterm fremitus kiri
Perkusi : Sonor seluruh lapangan paru
Auskultasi : Suara dasar vesikuler +/+. Suara tambahan wheezing
--/-, ronkhi -/-
Jantung
o Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
o Palpasi :Iktus kordis teraba di sela iga IV, linea medioclavikula
sinistra, tidak kuat angkat, tidak melebar
o Perkusi : Batas jantung sulit dinilai
o Auskultasi : Suara jantung I dan II normal, suara tambahan (-)
Abdomen
Inspeksi : datar, tidak ada gambaran usus ataupun vena
Palpasi : supel, turgor cukup
Hepar : tidak teraba membesar
Lien : tidak teraba membesar
Perkusi : timpani di seluruh kuadran
Auskultasi: Bising usus (+) 8 kali/menit
Genital : dalam batas normal
9
Anorectal : dalam batas normal
Anggota gerak
Superior Inferior
Akral dingin -/- -/-
Akral sianosis -/- -/-
Oedem -/- -/-
Capillary refill < 2 detik/< 2detik < 2 detik/< 2detik
Pergerakan motorik
Motorik Superior Inferior
Pergerakan Normoaktif/ Normoaktif Normoaktif/
Normoaktif
Tonus Normotonus/Normotonus Normotonus/
Normotonus
Trofi Eutrofi / Eutrofi Eutrofi/
Eutrofi
10
Pemeriksaan Rangsang Meningeal
Kaku kuduk : negatif
Kernig sign : negatif
Brudzinski I (Neck sign) : negatif
Brudzinski II (Chick sign) : negatif
Brudzinski III (Symphisis sign) : negatif
Brudzinski IV (leg sign) : negatif
HEMATOLOGI
DARAH RUTIN
Hemoglobin 11,6 gr/dL (11,5 – 16,5)
Leukosit 7,8x103/uL (4,0 – 10,0)
Trombosit 225x103/uL (150 – 500)
Hematokrit 34,9 % (35,0 – 49,0)
PEMERIKSAAN SEROLOGI
IgM Salmonella thyposa (+)
IV. RESUME
SMRS pasien mengalami demam sejak 7 hari sebelum masuk rumah sakit,
anak tampak lesu, tidak bersemangat sejak 4 hari sebelum masuk rs, anak mulai
panas,tidak mendadak muncul perlahan dan tidak terlalu tinggi namun berangsur-
angsur meningkat setiap harinya. Demam dirasakan tinggi pada sore dan malam
hari disertai menggigil tidak berkeringat , tidak ada kejang. Oleh ibunya anak
diberi obat penurun panas, panas turun beberapa saat diberikan obat kemudian
naik lagi. Selain itu anak mengeluh perut kembung, nafsu makan turun, sakit
11
kepala dan batuk pilek.
Kesan umum : composmentis, tampak lemah
Tanda Vital
Frekuensi nadi : 85 x/menit
Frekuensi napas : 23 x/ menit
Temperatur : 36,6o C per axial
Saturasi oksigen : 99%
Paru
Inspeksi : Hemithorax sinistra dan dextra simetris dalam statis
dan dinamis, ada retraksi suprasternal (-)
Palpasi : Stem fremitus kanan sama dengan sterm fremitus kiri
Perkusi : Sonor seluruh lapangan paru
Auskultasi : Suara dasar vesikuler +/+. Suara tambahan wheezing
--/-, ronkhi -/-
C. DIAGNOSIS BANDING
Demam Typhoid
ISK (infeksi saluran kemih)
Malaria
D. DIAGNOSIS SEMENTARA
Demam Typhoid
E. INITIAL PLAN
Initial plan diagnosis :
- Pemeriksaan darah rutin
- Pemeriksaan serologi terhadap spesimen darah (IgM/IgG
Salmonella thyposa)
12
- Tes widal
Initial plan terapi :
- Infus RL 20 tpm
- Infus paracetamol 3 x 500 mg (bila suhu >38 0c)
- Inj ranitidine 3 x 1 amp
- Inj. Ceftriaxone 1 x 1,5 gr
d. Bawa ke dokter atau rumah sakit bila demam berlangsung 7 hari atau
lebih
F. PROGNOSIS
13
Quo ad vitam : dubia ad bonam
FOLLOW UP
Tgl 10 Agustus 2019
S Demam (+), perut kembung, batuk pilek
BAK (+) BAB (+)
A Obs febris
- RL 20 tpm
P - Ambroxol
- Injeksi ranitidine 1 x 1,5 gr
- Inj Paracetamol 3 x 500 mg
A Febris thypoid
P - RL 20 tpm
- Ambroxol
- Injeksi ranitidine 1 x 1,5 gr
- Ceftriaxone 1 x 1,5 gr
- Inj Paracetamol 3 x 500 mg
14
Tgl 12 Agustus 2019
A Febris thypoid
P - RL 20 tpm
- Injeksi ranitidine 1 x 1,5 gr
- Ceftriaxone 1 x 1,5 gr
- Inj Paracetamol 3 x 500 mg
A Febris thypoid
P - BLPL
TINJAUAN PUSTAKA
DEMAM TIFOID
15
A.Demam Tifoid
Definisi
Demam tifoid adalah suatu penyakit sistemik yang bersifat akut yang disebabkan oleh
Salmonella typhi (Soedarmo et al, 2010). Selain itu menurut Kemenkes RI no. 364 tahun
2006 tentang pengendalian demam tifoid, demam tifoid adalah penyakit yang disebabkan
oleh kumam berbentuk basil yaitu Salmonella typhi yang ditularkan melalui makanan atau
minuman yang tercemar feses manusia.
Etiologi
Patogenesis
16
typhi. Bakteri mencapai folikel limfe usus halus, mengikuti aliran ke kelenjar limfe
mesenterika bahkan ada yang melewati sirkulasi sistemik sampai ke jaringan RES di
organ hati dan limpa. Salmonella typhi mengalami multiplikasi di dalam sel fagosit
mononuklear di dalam folikel limfe, kelenjar limfe mesenterika, hati dan limfe. Setelah
peride tertentu (inkubasi), yang lamanya ditentukan oleh jumlah dan virulensi kuman serta
respons imun pejamu maka Salmonella typhi akan keluar dari habitatnya dan melalui
duktus torasikus masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Dengan cara ini organisme dapat
mencapai organ manapun, akan tetapi tempat predileksinya adalah hati, limpa, sumsum
tulang, kandung empedu, dan Peyer’s patch dari ileum terminal. Ekskresi organisme di
empedu dapat menginvasi ulang dinding usus atau dikeluarkan melalui tinja (Soedarmo et
al, 2010). Peranan endotoksin dalam patogenesis demam tifoid telah dipelajari secara
mendalam. Pernah dicoba pemberian suntikan endotoksin 0.5 mcg pada sukarelawan-
sukarelawan, dalam waktu enam puluh menit mereka menjadi sakit kepala, dingin, rasa
tak enak pada perut. Bakteriolisis yang dilakukan oleh sistem retikuloendotelial
merupakan upaya pertahanan tubuh di dalam pembasmian kuman. Akibat bakteriolisis
maka dibebaskan suatu zat endotoksin, yaitu suatu lipopolisakarida (LPS), yang akan
merangsang pelepasan pirogen endogen dari leukosit, sel-sel limpa, dan sel-sel kupffer
hati, makrofag, sel polimorfonuklear dan monosit. Endotoksin dapat menempel di
reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan
neuropsikiatrik, kardiovaskuler, pernapasan, dan gangguan organik lainnya (Santoso,
2009).
Manifestasi Klinis
a. Masa inkubasi
Masa inkubasi dapat berlangsung 7-21 hari, walaupun pada umumnya adalah
10-12 hari. Pada awal penyakit keluhan dan gejala penyakit tidaklah khas, seperti gejala
influenza, berupa : anoreksia, rasa malas, sakit kepala bagian depan, nyeri otot, lidah
17
kotor, dan nyeri perut. (Parry et al, 2002)
Setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari, gejala penyakit itu pada awalnya
sama dengan penyakit infeksi akut yang lain, seperti demam tinggi yang berpanjangan
yaitu setinggi 39ºC hingga 40ºC, sakit kepala, pusing, pegal-pegal, anoreksia, mual ,
muntah, batuk, dengan nadi antara 80-100 kali permenit, denyut lemah, pernapasan
semakin cepat dengan gambaran bronkitis kataral, perut kembung dan merasa tidak enak,
sedangkan diare dan sembelit dapat terjadi bergantian. Pada akhir minggu pertama,diare
lebih sering terjadi. Khas lidah pada penderita adalah kotor di tengah, tepi dan ujung
merah serta bergetar atau tremor. Epistaksis dapat dialami oleh penderita sedangkan
tenggorokan terasa kering dan beradang. Jika penderita ke dokter pada periode tersebut,
akan menemukan demam dengan gejala-gejala di atas yang bisa saja terjadi pada
penyakit-penyakit lain juga. Ruam kulit (rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh dan
terbatas pada abdomen disalah satu sisi dan tidak merata, bercak-bercak ros (roseola)
berlangsung 3-5 hari, kemudian hilang dengan sempurna (Brusch, 2011). Roseola terjadi
terutama pada penderita golongan kulit putih yaitu berupa makula merah tua ukuran 1-5
mm, berkelompok, timbul paling sering pada kulit perut, lengan atas atau dada bagian
bawah, kelihatan memucat bila ditekan (Soedarmo et al, 2010).
c. Minggu kedua
18
pendengaran umumnya terjadi. Lidah tampak kering,merah mengkilat. Nadi semakin
cepat sedangkan tekanan darah menurun, sedangkan diare menjadi lebih sering yang
kadang-kadang berwarna gelap akibat terjadi perdarahan. Pembesaran hati dan limpa.
Perut kembung dan sering berbunyi. Gangguan kesadaran. Mengantuk terus menerus,
mulai kacau jika berkomunikasi dan lain-lain (Supriyono, 2011).
d. Minggu ketiga
Pada minggu ketiga, demam semakin memberat dan terjadi anoreksia dengan
pengurangan berat badan yang signifikan. Konjungtiva terinfeksi, dan pasien mengalami
takipnu dengan suara crakcles di basis paru. Jarang terjadi distensi abdominal. Beberapa
individu mungkin akan jatuh pada fase toksik yang ditandai dengan apatis, bingung, dan
bahkan psikosis. Nekrosis pada Peyer’s patch mungkin dapat menyebabkan perforasi
saluran cerna dan peritonitis (Brusch, 2011). Degenerasi miokardial toksik merupakan
penyebab umum dari terjadinya kematian penderita demam tifoid pada minggu ketiga
(Asdie, 2005).
e. Minggu keempat
Pada minggu ke empat demam turun perlahan secara lisis, kecuali jika fokus
infeksi terjasi seperti kolesistitis, abses jaringan lunak maka demam akan menetap
(Soedarmo et al, 2010). Pada mereka yang mendapatkan infeksi ringan dengan demikian
juga hanya menghasilkan kekebalan yang lemah,kekambuhan dapat terjadi dan
berlangsung dalam waktu yang pendek. Kekambuhan dapat lebih ringan dari serangan
primer tetapi dapat menimbulkan gejala lebih berat daripada infeksi primer
tersebut.Sepuluh persen dari demam tifoid yang tidak diobati akan mengakibatkan
timbulnya relaps (Supriyono, 2011).
Pemeriksaan Laboratorium
19
Diagnosis klinis perlu ditunjang dengan hasil pemeriksaan laboratorium.Pemeriksaan
tambahan ini dapat dilakukan dengan dan tanpa biakan kuman.
1. Darah tepi
2. Pemeriksaan Widal
Pemeriksaan Widal mengukur kadar antibodi terhadap antigen O dan H S.
typhi dan sudah digunakan lebih dari 100 tahun. Pemeriksaan Widal memiliki
sensitivitas dan spesifisitas yang rendah dan penggunaannya sebagai
satusatunya pemeriksaan penunjang di daerah endemis dapat mengakibatkan
overdiagnosis. Kadar aglutinin tersebut diukur dengan menggunakan
pengenceran serum berulang. Pada umumnya antibodi O meningkat di hari ke-
6-8 dan antibodi H hari ke 10-12 sejak awal penyakit. 5 Interpretasi
pemeriksaan Widal harus dilakukan secara hati-hati karena beberapa faktor
mempengaruhi hasilnya, antara lain stadium penyakit, pemberian antibiotik,
teknik laboratorium, endemisitas penyakit tifoid, gambaran imunologi
masyarakat setempat, dan riwayat imunisasi demam tifoid. Sensitivitas dan
spesifisitas rendah tergantung kualitas antigen yang digunakan bahkan dapat
memberikan hasil negatif pada 30% sampel biakan positif demam tifoid. 5
Pemeriksaan Widal memiliki sensitivitas 40%, spesifisitas 91,4%, dan nilai
prediksi positif 80%. Hasil pemeriksaan Widal positif palsu dapat terjadi oleh
20
karena reaksi silang dengan non-typhoidal Salmonella, enterobacteriaceae,
pemeriksaan dilakukan di daerah endemis infeksi dengue dan malaria, riwayat
imunisasi tifoid, dan preparat antigen komersial yang bervariasi serta
standardisasi yang kurang baik. Pemeriksaan Widal seharusnya dilakukan 1-2
minggu kemudian sehingga kenaikan 4 kali, terutama agglutinin O memiliki
nilai diagnostik yang penting untuk demam tifoid. Titer aglutinin O yang positif
dapat berbeda dari >1/806 sampai >1/320 antar laboratorium tergantung
endemisitas demam tifoid di masyarakat setempat dengan catatan 8 bulan
terakhir tidak mendapat vaksinasi atau baru sembuh dari demam tifoid. 5,7
Pemeriksaan Widal pada serum akut satu kali saja tidak mempunyai arti penting
dan sebaiknya dihindari oleh karena beberapa alasan, yaitu variablitas alat
pemeriksaan, kesulitan memperoleh titer dasar dengan kondisi stabil, paparan
berulang S.typhi di daerah endemis, reaksi silang terhadap nonSalmonella lain,
dan kurangnya kemampuan reprodusibilitas hasil pemeriksaan tersebut.
Pemeriksaan serologi untuk aglutinin Salmonella seperti pemeriksaan Widal
bahkan tidak dianjurkan.8
21
(Tubex)R dan IgM terhadap S.typhi (Typhidot)Rmemiliki sensitivitas dan
spesifitas berkisar 70% dan 80%.9,2, 10Tabel 2 memperlihatkan perbandingan
beberapa pemeriksaan penunjang untuk demam tifoid. Pemeriksaan serologi
tersebut dapat dibaca secara visual dalam waktu 10 menit dengan
membandingkan warna akhir reaksi terhadap skala warna dan nilai > 6
dianggap sebagai positif kuat. Namun interpretasi hasil serologi yang positif
harus dilakukan secara hati-hati pada kasus tersangka demam tifoid di daerah
endemis karena IgM dapat bertahan sampai 3 bulan, sedangkan IgG sampai 6
bulan.
4. Isolasi kuman
Diagnosis pasti demam tifoid dilakukan dengan isolasi Salmonella
Typhi.Isolasi kuman ini dapat dilakukan dengan melakukan biakan dari
berbagai tempat dalam tubuh.Diagnosis dapat ditegakkan melalui isolasi
kuman dari darah. Pada dua minggu pertama sakit , kemungkinan mengisolasi
kuman dari darah pasien lebih besar dari pada minggu berikutnya.Biakan yang
dilakukan pada urin dan feses kemungkinan keberhasilan lebih kecil, karena
positif setelah terjadi septikemia sekunder.Sedangkan biakan spesimen yang
berasal dari aspirasi sumsum tulang mempunyai sensitivitas tertinggi, tetapi
prosedur ini sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam praktek
seharihari.Selain itu dapat pula dilakukan biakan spesimen empedu yang
diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik
22
.
Tatalaksana demam tifoid pada anak dibagi atas dua bagian besar, yaitu tatalaksana
umum dan bersifat suportif dan tatalaksana khusus berupa pemberian antibiotik
sebagai pengobatan kausal. Tatalaksana demam tifoid juga bukan hanya tatalaksana
yang ditujukan kepada penderita penyakit tersebut, namun juga ditujukan kepada
penderita karier salmonella typhi, pencegahan pada anak berupa pemberian imunisasi
tifoid dan profilaksis bagi traveller dari daerah non endemik ke daerah yang endemik
demam tifoid
Tatalaksana umum
Tatalaksana suportif merupakan hal yang sangat penting dalam menangani demam
23
tifoid selain tatalaksana utama berupa pemberian antibiotik. Pemberian rehidrasi
oral ataupun parenteral, penggunaan antipiretik, pemberian nutrisi yang adekuat serta
transfusi darah bila ada indikasi, merupakan tatalaksana yang ikut memperbaiki
kualitas hidup seorang anak penderita demam tifoid. Gejala demam tifoid pada anak
lebih ringan dibanding orang dewasa, karena itu 90 % pasien demam tifoid anak
tanpa komplikasi, tidak perlu dirawat di rumah sakit dan dengan pengobatan oral
serta istirahat baring di rumah sudah cukup untuk mengembalikan kondisi anak
menjadi sehat dari penyakit tersebut.
Tatalaksana antibiotik
Pemilihan obat antibiotik lini pertama pengobatan demam tifoid pada anak di negara
berkembang didasarkan pada faktor efikasi, ketersediaan dan biaya. Berdasarkan
ketiga faktor tersebut, kloramfenikol masih menjadi obat pilihan pertama pengobatan
demam tifoid pada anak, terutama di negara berkembang. Hal ini berbeda dengan
dewasa, dimana obat antibiotik lini pertamanya adalah golongan fluorokuinolon,
seperti ofloksasin, siprofloksasin, levofloksasin atau gatifloksasin. Persoalan
pengobatan demam tifoid saat ini adalah timbulnya resistensi terhadap beberapa obat
24
antibiotik yang sering digunakan dalam pengobatan demam tifoid atau yang disebut
dengan Multi Drug Resistance (MDR). S. Typhi yang resisten terhadap
kloramfenikol , yang pertama kali timbul pada tahun 1970, kini berkembang menjadi
resisten terhadap obat ampisilin, amoksisilin, trimetoprim-sulfametoksazol dan
bahkan resisten terhadap fluorokuinolon. WHO sendiri telah memberikan
rekomendasi pengobatan antibiotik untuk demam tifoid, yang dibagi atas pengobatan
untuk demam tifoid tanpa komplikasi, baik sebagai terapi utama maupun alternatif
dan terapi untuk demam tifoid yang berat atau dengan komplikasi yang membutuhkan
pengobatan parenteral
25
Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan demam tifoid masih menganut trilogi
penatalaksanaan yang meliputi : istirahat dan perawatan, diet dan terapi
26
penunjang (baik simptomatik maupun suportif), serta pemberian antimikroba.
Selain itu diperlukan pula tatalaksana komplikasi demam tifoid yang meliputi
komplikasi intestinal maupun ekstraintestinal (Kemenkes, 2006).
Istirahat dan Perawatan
Bertujuan untuk mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan. Tirah
baring dengan perawatan dilakukan sepenuhnya di tempat seperti makan,
minum, mandi, dan BAB/BAK. Posisi pasien diawasi untuk mencegah
dukubitus dan pnemonia orthostatik serta higiene perorangan tetap perlu
diperhatikan dan dijaga.
Diet dan Terapi Penunjang
Mempertahankan asupan kalori dan cairan yang adekuat, yaitu berupa:
a. Memberikan diet bebas yang rendah serat pada penderita tanpa gejala
meteorismus, dan diet bubur saring pada penderita dengan meteorismus. Hal
ini dilakukan untuk menghindari komplikasi. perdarahan saluran cerna dan
perforasi usus. Gizi penderita juga diperhatikan agar meningkatkan keadaan
umum dan mempercepat proses penyembuhan.
b. Cairan yang adekuat untuk mencegah dehidrasi akibat muntah dan diare.
c. Primperan (metoclopramide) diberikan untuk mengurangi gejala mual
muntah dengan dosis 3 x 5 ml setiap sebelum makan dan dapat dihentikan
kapan saja penderita sudah tidak mengalami mual lagi
DAFTAR PUSTAKA
27
1. Juwono R. Penyakit tropik dan menular : Demam tifoid. Dalam: Noer MS,
Waspadji S, Rachman AM, et al, penyunting. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid
I. Edisi ke-3. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
1996. h. 435-442.
2. Kaspan MF, Soejoso DA, Soegijanto S, et al. Penyakit tropik dan menular:
Demam tifoid. Dalam: Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, penunting.
Pedoman diagnosis dan terapi lab/UPF ilmu kesehatan anak. Surabaya: Rumah
Sakit Umum Daerah Dokter Soetomo. 1994. h. 187-189.
3. Sumarno, Nathin MA, Ismael S. Tumbelaka WAFJ. Masalah Demam Tifoid pada
Anak. Medika 1980; 20.
28
9. Jonggu MCH. Demam Tifoid dengan Renjatan Septik. MKUH volume 7. 1986:
16-18.
29