Potensi Buah Semu Jambu Mete Sebagai Antibakteri
Potensi Buah Semu Jambu Mete Sebagai Antibakteri
PENDAHULUAN
1
Resistensi bakteri yang cenderung meningkat dapat menyebabkan
penyakit-penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri menjadi lebih sulit
untuk diobati. Oleh sebab itu diperlukan suatu alternatif pengobatan yang
dapat mengurangi resiko terjadinya resistensi antibiotik. Salah satu
sumber antibiotik baru adalah tumbuhan obat yang berasal dari alam.
Riset yang dilakukan oleh Ganapathy dan Karpagam (2016),
menunjukkan bahwa komponen aktif dalam tumbuhan obat memiliki efek
antimikroba yang berbeda mekanisme kerjanya dari antibiotik yang sudah
ada selama ini.
Penelitian-penelitian yang telah dilakukan tersebut menunjukkan
adanya potensi tumbuhan obat dalam mengatasi masalah resistensi
antibiotik. Tanaman yang dapat digunakan sebagai pengobatan herbal
salah satunya adalah jambu mete (Anacardium occidentale L.). Tanaman
A. occidentale memiliki banyak manfaat dan dapat digunakan untuk
berbagai hal mulai dari sebagai olahan makanan bergizi, dimanfaatkan
dibidang industri sampai menjadi bahan obat tradisional dengan berbagai
khasiat.
Secara empiris batang A. occidentale digunakan untuk mengobati
penyakit diare oleh masyarakat suku Dayak Kalimantan Selatan (Yuana et
al., 2016). Beberapa bagian dari tanaman ini telah banyak diteliti untuk
melihat manfaatnya sebagai alternatif pengobatan. Daun A. occidentale
telah diteliti sebagai antibakteri (Rahayu, 2013), batang A. occidentale
sebagai antibakteri (Nursanty & Yunita, 2012) dan kulit biji (pericarp)
sebagai antimikroba (Rosyadi, 2012).
Berdasarkan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Anwar (2017)
bahwa buah semu A. occidentale mengandung senyawa-senyawa
metabolit sekunder yang teridentifikasi yaitu golongan flavonoid,
tanin/polifenol, dan steroid/triterpenoid. Adanya kandungan senyawa-
senyawa tersebut memungkinkan buah semu A. occidentale dapat
memberikan efek antibakteri yang bersifat membunuh dan menghambat
pertumbuhan bakteri. Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis
2
hendak melakukan kajian pustaka mengenai manfaat buah semu A.
occidentale sebagai antibakteri yang menjadi penyebab terjadinya diare.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
Sulawesi : Jambu mente.
2.1.2. Klasifikasi
Dalam tatanama atau sistematika (taksonomi) tanaman, A.
occidentale diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisio : Arthropoda
Class : Insecta
Ordo : Sapindales
Famili : Anacardiaceae
Genus : Anacardium L
Spesies : Anacardium occidentale L
(Anacardiaceae of North
America Update, database,
2011)
5
sebenarnya, tetapi merupakan tangkai buah yang membesar (Herbie,
2012).
Bunga A. occidentale termasuk bunga majemuk yang berbentuk
panicula (ibu tangkai mengadakan percabangan monopodial) dan
bermunculan di ujung ranting. Tanaman A. occidentale mulai berbunga
umumnya pada umur 3 -5 tahun. Bunga A. occidentale ukurannya kecil,
memiliki aroma harum, dan jumlahnya sangat banyak. Buah A.
occidentale berbentuk seperti ginjal berukuran panjang 15-25 mm dengan
lebar antara 18-20 mm. Buah A. occidentale terdiri atas tiga lapisan, yaitu
lapisan kulit keras (pericarp) yang terletak di bagian paling luar, lapisan
kulit ari, dan lapisan kernel (biji mete) (Suhadi, 2009).
6
antara lipid penyusun sel bakteri dengan gugus alkohol pada
senyawa flavonoid (Mukti, 2012). Menurut penelitian yang
dilakukan oleh Adou et al., (2012) ditemukan bahwa salah satu
senyawa aktif yang terdapat pada buah semu A. occidentale
terutama kulit buah adalah quercetin.
2.1.5.2. Tanin
Menurut Aisyah (2015), tanin merupakan astrigen,
polifenol, memiliki rasa pahit, dapat mengikat dan
mengendapkan protein serta larut dalam air (terutama air panas).
Umumnya tanin digunakan untuk pengobatan penyakit kulit dan
sebagai antibakteri, tetapi tanin juga banyak diaplikasikan untuk
pengobatan diare, hemostatik (menghentikan pendarahan) dan
wasir.
Tanin pada tanaman diklasifikasikan sebagai tanin
terhidrolisis dan tanin terkondensasi. Tanin yang tergolong tanin
terkondensasi, banyak terdapat pada buah-buahan, biji-bijian
dan tanaman pangan, sementara yang tergolong tanin
terhidrolisis terdapat pada bahan non-pangan (Makkar, 1993;
Sujarnoko, 2012).
7
Gambar 4. Struktur Kimia Tanin Terkondensasi (Sujarnoko,
2012)
2.1.5.3. Steroid
Senyawa-senyawa steroid adalah turunan skualena, suatu
triterpena juga karoten dan retinol. Steroid merupakan senyawa
yang memiliki kerangka dasar triterpena asiklik. Ciri umum
steroid ialah sistem empat cincin yang tergabung. Cincin A, B
dan C beranggotakan enam atom karbon, dan cincin D
beranggotakan lima (Melati, 2009).
Steroid adalah senyawa organik bahan alam yang
dihasilkan oleh organisme melalui metabolit sekunder, senyawa
ini banyak ditemukan pada jaringan hewan dan tumbuhan.
Steroid merupakan obat ampuh dalam mengatasi peradangan
dan meredakan nyeri, selain itu steroid yang langsung bekerja
pada kimiawi otak juga bermanfaat untuk meningkatkan mood
(Melati, 2009).
2.2. Diare
8
2.2.1 Pengertian Diare
Menurut World Health Organization (WHO) (2013), diare
merupakan salah satu penyebab utama dari morbiditas dan mortalitas di
negara yang sedang berkembang dengan kondisi sanitasi lingkungan
yang buruk, persediaan air yang tidak adekuat, kemiskinan, dan
pendidikan yang terbatas. Diare adalah keadaan buang air besar lebih
dari 3 kali dalam sehari dengan konsistensi cair atau lunak (NANDA,
2015).
Banyak faktor yang secara langsung maupun tidak langsung dapat
menjadi faktor pendorong terjadinya diare. Penyebab tidak langsung atau
faktor-faktor yang mempermudah atau mempercepat terjadinya diare
seperti : status gizi, pemberian ASI eksklusif, lingkungan, perilaku hidup
bersih dan sehat (PHBS), kebiasaan mencuci tangan, perilaku makan,
imunisasi dan sosial ekonomi. Penyebab langsung antara lain infeksi
bakteri virus dan parasit, malabsorbsi, alergi, keracunan bahan kimia
maupun keracunan oleh racun yang diproduksi oleh jasad renik, ikan,
buah dan sayur-sayuran (Zaitun, 2011).
9
Diare terjadi karena adanya Infeksi (bakteri, protozoa, virus, dan
parasit) alergi, malabsorpsi, keracunan, obat dan defisiensi imun adalah
kategori besar penyebab diare. Pada balita, penyebab diare terbanyak
adalah infeksi virus terutama Rotavirus (Permatasari, 2012). Riset
menunjukkan bahwa patogen merupakan satu dari tiga penyebab dari
kasus diare akut pada anak-anak dan orang dewasa. Virus (terutama
Rotavirus) banyak menginfeksi bayi dan menyebabkan food-borne
gastroenteritis dan water-borne gastroenteritis (norovirus) di semua
kelompok umur. Protozoa kebanyakan adalah penyebab umum dari diare
akut (Narayan et al., 2010).
10
golongan antidiare: Antimotilitas dan sekresi usus, turunan opiat,
Difenoksilat, Loperamid, Kodein HCl, dan Antiemetik (Metoklopramid
dan Domperidon).
c. Terapi definitif, edukasi yang jelas sangat penting dalam upaya
pencegahan, higienitas, dan sanitasi lingkungan (Mansjoer et al.,
2009).
2.3. Bakteri
Bakteri merupakan organisme prokariot, yaitu memiliki kromosom
tunggal dan tidak memiliki nukleus. Bakteri adalah nama sekelempok
mikroorganisme yang termasuk prokariotik yang bersel satu. Istilah bakteri
dari bahasa Yunani dari kata bekterion yang berarti tongkat atau batang
dan umumnya tidak berklorofil. Berkembang biak dengan membelah diri
dan bahan-bahan genetiknya tidak terbungkus dalam membran inti
(Gillespie et al., 2007).
11
2. Enteropathogenic E. coli (EPEC)
Penyebab penting diare pada bayi, khususnya di negara
berkembang. EPEC melekat pada sel mukosa yang kecil. Faktor
yang diperantarai secara kromosom menimbulkan pelekatan yang
kuat. Akibat dari infeksi EPEC adalah diare cair yang biasanya
sembuh sendiri tetapi dapat juga kronik.
3. Enteroinvasive E. coli (EIEC)
Menyebabkan penyakit yang sangat mirip dengan shigellosis.
Penyakit terjadi sangat mirip dengan shigellosis. Penyakit sering
terjadi pada anak-anak di negara berkembang dan para wisatawan
yang menuju ke negara tersebut. Diare ini ditemukan hanya pada
manusia.
4. Enterohaemorrhagic E. coli (EHEC)
EHEC berhubungan dengan holitis hemoragik, bentuk diare yang
berat dan dengan sindroma uremia hemolitik, suatu penyakit akibat
gagal ginja akut, anemia hemolitik mikroangiopatik, dan
trombositopenia. Banyak kasus EHEC dapat dicegah dengan
memasak daging sampai matang. Diare ini ditemukan pada manusia,
sapi, dan kambing.
5. Enteroaggregative Escherichia coli (EAEC)
Menyebabkan diare akut dan kronik pada masyarakat di negara
berkembang. Bakteri ini ditandai dengan pola khas pelekatannya
pada sel manusia. EAEC memproduksi hemolisin dan ST
enterotoksin yang sama dengan ETEC. (http://www.wikipedia.com
diakses pada 13 Februari 2020)
12
2.3.2. Fase Pertumbuhan Bakteri
Menurut Pratiwi (2008), ada empat macam fase pertumbuhan
mikroorganisme yaitu fase lag, fase log (fase eksponsial), fase stasioner,
dan fase kematian.
1. Fase lag. Setelah inokulasi, terjadi peningkatan ukuran sel, mulai
pada waktu sel tidak atau sedikit mengalami pembelahan. Fase ini,
ditandai dengan peningkatan komponen makromolekul, aktivitas
metabolik, dan kerentanan terhadap zat kimia dan faktor fisik. Fase
lag merupakan suatu periode penyesuaian yang sangat penting
untuk penambahan metabolit pada kelompok sel, menuju tingkat
yang setaraf dengan sintesis sel maksimum.
2. Fase log (fase eksponensial). Pada fase eksponensial atau
logaritmik, sel berada dalam keadaan pertumbuhan yang seimbang.
Selama fase ini, masa dan volume sel meningkat oleh faktor yang
sama dalam arti rata-rata komposisi sel dan konsentrasi relatif
metabolit tetap konstan. Selama periode ini pertumbuhan seimbang,
kecepatan peningkatan dapat diekspresikan dengan fungsi
eksponensial alami. Sel membelah dengan kecepatan konstan yang
ditentukan oleh sifat intrinsik bakteri dan kondisi lingkungan. Dalam
hal ini terdapat keragaman kecepatan pertumban berbagai
mikroorganisme.
3. Fase stasioner. Pada saat digunakan kondisi biakan rutin, akumulasi
produk limbah, kekurangan nutrien, perubahan pH, dan faktor lain
yang tidak diketahui akan mendesak dan mengganggu biakan,
mengakibatkan penurunan kecepatan pertumbuhan. Selama fase ini,
jumlah sel yang hidup tetap konstan untuk periode yang berbeda,
bergantung pada bakteri, tetapi akhirnya menuju periode penurunan
populasi. Dalam beberapa kasus, sel yang terdapat dalam suatu
biakan yang populasi selnya tidak tumbuh dapat memanjang,
membengkak secara abnormal, atau mengalami penyimpangan,
suatu manifestasi pertumbuhan yang tidak seimbang.
13
4. Fase penurunan populasi atau fase kematian. Pada saat medium
kehabisan nutrien maka populasi bakteri akan menurun jumlahnya,
Pada saat ini jumlah sel yang mati lebih banyak daripada sel yang
hidup.
14
15
BAB III
PEMBAHASAN
16
jumlahnya bertambah maka dapat mengakibatkan terganggunya sistem
metabolisme tubuh terutama pada saluran pencernaan manusia
(Adyanastri, 2012). Bakteri Escherichia coli juga sering mencemari susu
maupun produk olahannya yang dapat menyebabkan diare pada manusia
yang mengonsumsinya (Barus et al. 2013). Bakteri E. coli yang dapat
menyebabkan diare pada manusia biasa disebut Entero Pathogenic
Escherichia coli (EPEC) (Saputri, 2019).
Flavonoid sebagai antibakteri memiliki mekanisme membentuk
senyawa kompleks dengan protein ekstraselular, sehingga dapat merusak
dinding sel bakteri. Flavonoid juga berperan untuk mengambat sintesis
energi, senyawa ini menghambat sistem respirasi untuk penyerapan aktif
berbagai metabolit dan untuk biosintesis makromolekul (Ngajow et al.,
2013). Menurut Isnarianti (2013), mekanisme kerja senyawa flavonoid
sebagai antibakteri adalah flavonoid mampu melepaskan energi tranduksi
terhadap membran sitoplasma bakteri serta menghambat motilitas bakteri.
Mekanisme antibakteri tanin antara lain menghambat enzim
ektraseluler bakteri, mengambil alih substrat yang dibutuhkan pada
pertumbuhan bakteri, atau bekerja langsung pada metabolisme dengan
cara menghambat fosforilasi oksidasi (Isnarianti, 2013). Sementara itu,
menurut Rijayanti (2014), tanin memiliki aktivitas antibakteri yang
berhubungan dengan kemampuannya untuk menginaktifkan adhesi sel
mikroba, menginaktifkan enzim, dan menggangu transport protein pada
lapisan dalam sel. Tanin juga mempunyai target pada polipeptida dinding
sel sehingga pembentukan dinding sel menjadi kurang sempurna.
Mekanisme steroid sebagai antibakteri berhubungan dengan
membran lipid dan sensitivitas terhadap komponen steroid yang
menyebabkan kebocoran pada liposom bakteri (Madduluri et al., 2011).
Selaras dengan itu Utami (2013), menyatakan bahwa mekanisme steroid
sebagai antibakteri yang menyebabkan kebocoran pada liposom karena
berinteraksi dengan membran fosfolipid sehingga menyebabkan integritas
membran menurun serta morfologi membran sel berubah yang
menyebabkan membran sel menjadi rapuh dan kemudian lisis.
17
Menurut Artini et al., (2012), mekanisme kerja steroid dalam
menghambat mikroba adalah dengan merusak membran plasma sel
mikroba, sehingga menyebabkan bocornya sitoplasma keluar sel yang
selanjutnya menyebabkan kematian sel. Hal tersebut disebabkan oleh
molekul steroid memiliki gugus non-polar (hidrofobik) dan polar (hidrofilik)
sehingga memiliki efek surfaktan yang dapat melarutkan komponen
fosfolipid membran plasma.
18
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa A.
occidentale dapat dimanfaatkan sebagai alternatif pengobatan pada
penyakit diare. Karena A. occidentale memiliki senyawa metabolit
sekunder yang dapat memberikan efek antibakteri yang adalah salah satu
penyebab terjadinya diare. Efek antibakteri yang diberikan oleh senyawa-
senyawa metabolit sekunder yang terkandung dalam A. occidentale yaitu
mengganggu pembentukan membran sel dengan target aksinya masing-
masing yang mengakibatkan tidak sempurnanya pembentukan dinding sel
dan mengakibatkan dinding bakteri menjadi rusak kemudian menjadi lisis.
4.2. Saran
Perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui aktivitas dan efektivitas
serta formulasi yang tepat dalam sediaan farmasi agar dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat dalam rangka mengurangi penggunaan
antobiotik yang dapat beresiko terjadinya resistensi antibiotik.
19