Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Diare masih merupakan masalah kesehatan utama di berbagai
negara, tidak hanya di negara berkembang tetapi juga di beberapa negara
maju. Penyakit ini tidak dapat dianggap sepele karena sering
menimbulkan kematian khususnya pada bayi dan balita, serta sering
menimbulkan kejadian luar biasa (KLB) (Rahman, 2016). Di Indonesia
penyakit ini merupakan salah satu penyakit yang sering dijumpai
menyerang anak-anak. Menurut data Kementrian Kesehatan (2018)
diperkirakan ada lebih dari 7 juta penderita diare di sarana kesehatan
Indonesia dan 4 juta diantaranya adalah balita.
Dilaporkan ada 20.982 penderita diare yang dilayani di sarana-
sarana kesehatan di Sulawesi Utara dan lebih dari 60% dari total
penderitanya adalah balita (KEMENKES, 2018). Diare adalah suatu
kondisi dimana seseorang buang air besar dengan konsistensi lembek
atau cair, bahkan dapat berupa air saja dan frekuensinya lebih sering
(biasanya tiga kali atau lebih) dalam satu hari (DEPKES RI, 2011).
Pendapat lain menyatakan bahwa diare adalah gangguan buang air besar
(BAB) ditandai dengan BAB lebih dari 3 kali sehari dengan konsistensi
tinja cair, dapat disertai dengan darah dan atau lendir (Tandirogang et al.,
2017).
Diare dapat disebabkan oleh infeksi maupun non infeksi. Diare yang
terbanyak adalah diare yang disebabkan oleh infeksi kuman patogen baik
dari jenis virus, bakteri maupun parasit. Penyakit diare infeksi yang
disebabkan oleh bakteri umumnya diatasi dengan penggunaan antibiotik.
Namun tingginya harga antibiotik menjadi kendala utama bagi masyarakat
yang berekonomi lemah untuk mengobati penyakit infeksi ini, disamping
itu penggunaan antibiotik yang tidak benar dapat menyebabkan resistensi
(Herwandi et al., 2019).

1
Resistensi bakteri yang cenderung meningkat dapat menyebabkan
penyakit-penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri menjadi lebih sulit
untuk diobati. Oleh sebab itu diperlukan suatu alternatif pengobatan yang
dapat mengurangi resiko terjadinya resistensi antibiotik. Salah satu
sumber antibiotik baru adalah tumbuhan obat yang berasal dari alam.
Riset yang dilakukan oleh Ganapathy dan Karpagam (2016),
menunjukkan bahwa komponen aktif dalam tumbuhan obat memiliki efek
antimikroba yang berbeda mekanisme kerjanya dari antibiotik yang sudah
ada selama ini.
Penelitian-penelitian yang telah dilakukan tersebut menunjukkan
adanya potensi tumbuhan obat dalam mengatasi masalah resistensi
antibiotik. Tanaman yang dapat digunakan sebagai pengobatan herbal
salah satunya adalah jambu mete (Anacardium occidentale L.). Tanaman
A. occidentale memiliki banyak manfaat dan dapat digunakan untuk
berbagai hal mulai dari sebagai olahan makanan bergizi, dimanfaatkan
dibidang industri sampai menjadi bahan obat tradisional dengan berbagai
khasiat.
Secara empiris batang A. occidentale digunakan untuk mengobati
penyakit diare oleh masyarakat suku Dayak Kalimantan Selatan (Yuana et
al., 2016). Beberapa bagian dari tanaman ini telah banyak diteliti untuk
melihat manfaatnya sebagai alternatif pengobatan. Daun A. occidentale
telah diteliti sebagai antibakteri (Rahayu, 2013), batang A. occidentale
sebagai antibakteri (Nursanty & Yunita, 2012) dan kulit biji (pericarp)
sebagai antimikroba (Rosyadi, 2012).
Berdasarkan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Anwar (2017)
bahwa buah semu A. occidentale mengandung senyawa-senyawa
metabolit sekunder yang teridentifikasi yaitu golongan flavonoid,
tanin/polifenol, dan steroid/triterpenoid. Adanya kandungan senyawa-
senyawa tersebut memungkinkan buah semu A. occidentale dapat
memberikan efek antibakteri yang bersifat membunuh dan menghambat
pertumbuhan bakteri. Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis

2
hendak melakukan kajian pustaka mengenai manfaat buah semu A.
occidentale sebagai antibakteri yang menjadi penyebab terjadinya diare.

1.2 Tujuan Penulisan


Untuk mengetahui manfaat buah semu A. occidentale sebagai
antibakteri penyebab diare.

1.3 Manfaat Penulisan


1.3.1. Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis yaitu dengan adanya makalah ini, kita dapat
mengetahui manfaat buah semu A. occidentale sebagai Antibakteri
penyebab diare.

1.3.2. Manfaat Praktis


Manfaat praktis yaitu semoga makalah ini bermanfaat bagi
pihak-pihak yang membaca dan setiap orang yang memerlukan
referensi untuk pengobatan diare yang disebabkan oleh bakteri.

1.4 Metode Penulisan


Metode penulisan yang digunakan dalam makalah ini adalah metode
penulusuran literatur.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Deskripsi Jambu Mete (Anacardium occidentale L.)


Tanaman A. occidentale biasa tumbuh di hutan-hutan dan ladang-
ladang (di daerah kering atau panas) pada ketinggian 1200 mdpl (Haryati,
2010). A. occidentale merupakan salah satu komoditas perkebunan yang
sudah berkembang di wilayah Indonesia timur. Tanaman A. occidentale
banyak dikembangkan di lahan marginal yang beriklim panas dan kering,
seperti di NTB, Bali, NTT, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara
(Darwati et al., 2013).

Gambar 1. Tanaman A. occidentale

2.1.1. Nama Daerah


A. occidentale mempunyai nama yang berbeda-beda di beberapa
daerah. Berikut ini adalah nama A. occidentale yang dikenal di beberapa
daerah di Indonesia:
Sumatera : Jambu erang, jambu monyet, gaju.
Jawa : Jambu mede, jambu siki, jambu mete.
Kalimantan : Jambu dipa, jambu gajus, jambu parang, jambu
sempal, jambu seran, janggus, gajus.
Nusatenggara : Buah monyet, jambu jipang, jambu dwipa, nyambu
monyet,nyambu nyebet.
Maluku : Kanoke, masapana, buah yakis, buah jaki
(Pamungkas, 2009).

4
Sulawesi : Jambu mente.

2.1.2. Klasifikasi
Dalam tatanama atau sistematika (taksonomi) tanaman, A.
occidentale diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisio : Arthropoda
Class : Insecta
Ordo : Sapindales
Famili : Anacardiaceae
Genus : Anacardium L
Spesies :  Anacardium occidentale L
(Anacardiaceae of North
America Update, database,
2011)

Gambar 2. Buah semu A. occidentale (Dokumentasi Pribadi, 2019)

2.1.3. Morfologi Tanaman


A. occidentale termasuk tanaman yang berkeping biji dua atau juga
disebut tanaman berbiji belah atau disebut juga dikotil. A. occidentale
mempunyai batang pohon yang tidak rata dan berwarna coklat tua (Herbie
, 2012).
Daunnya bertangkai pendek dan berbentuk lonjong (bulat telur)
dengan tepian berlekuk-lekuk, dan guratan rangka daunnya terlihat jelas.
Bagian buahnya yang membesar, berdaging lunak, berair dan berwarna
kuning kemerah-merahan adalah buah semu. Bagian itu bukan buah

5
sebenarnya, tetapi merupakan tangkai buah yang membesar (Herbie,
2012).
Bunga A. occidentale termasuk bunga majemuk yang berbentuk
panicula (ibu tangkai mengadakan percabangan monopodial) dan
bermunculan di ujung ranting. Tanaman A. occidentale mulai berbunga
umumnya pada umur 3 -5 tahun. Bunga A. occidentale ukurannya kecil,
memiliki aroma harum, dan jumlahnya sangat banyak. Buah A.
occidentale berbentuk seperti ginjal berukuran panjang 15-25 mm dengan
lebar antara 18-20 mm. Buah A. occidentale terdiri atas tiga lapisan, yaitu
lapisan kulit keras (pericarp) yang terletak di bagian paling luar, lapisan
kulit ari, dan lapisan kernel (biji mete) (Suhadi, 2009).

2.1.4. Kandungan Kimia


Kandungan kimia yang terdapat pada tanaman A. occidentale
cukup bervariasi. Kulit kayu tanaman A. occidentale mengandung cukup
banyak tanin, zat samak, asam galat, dan gingkol katekin. Buah semu A.
occidentale juga mengandung berbagai macam vitamin (A, B, dan C),
protein, lemak, kalsium, fosfor, besi dan belerang (Yuliarti, 2010).
Kulit biji diduga mengandung minyak sekitar 50% yang terdiri dari
senyawa fenolat, berupa 90% asam anakardat dan 10% berupa kardol
dan kardanol (Astuti, Suyati & Nuryanto, 2012). Daun A. occidentale juga
mengandung alkaloid, flavonoid dan tannin (Hasibuan, Yuniwarti & Suedy,
2015).

2.1.5. Senyawa Yang Bermanfaat Sebagai Antibakteri


2.1.5.1. Flavonid
Falvonoid adalah senyawa metabolit sekunder yang
memiliki struktur inti C6-C3-C6 yaitu dua cincin aromatik yang
berhubungan dengan 3 atom C (Hanani, 2016). Flavonoid
merupakan turunan fenol yang dapat menyebabkan denaturasi
dan koagulasi protein sel bakteri dimana senyawa flavonoid
dalam merusak sel bakteri memanfaatkan perbedaan kepolaran

6
antara lipid penyusun sel bakteri dengan gugus alkohol pada
senyawa flavonoid (Mukti, 2012). Menurut penelitian yang
dilakukan oleh Adou et al., (2012) ditemukan bahwa salah satu
senyawa aktif yang terdapat pada buah semu A. occidentale
terutama kulit buah adalah quercetin.

Gambar 3. Struktur Kimia Quercetin (Schmalhausen et al., 2007)

2.1.5.2. Tanin
Menurut Aisyah (2015), tanin merupakan astrigen,
polifenol, memiliki rasa pahit, dapat mengikat dan
mengendapkan protein serta larut dalam air (terutama air panas).
Umumnya tanin digunakan untuk pengobatan penyakit kulit dan
sebagai antibakteri, tetapi tanin juga banyak diaplikasikan untuk
pengobatan diare, hemostatik (menghentikan pendarahan) dan
wasir.
Tanin pada tanaman diklasifikasikan sebagai tanin
terhidrolisis dan tanin terkondensasi. Tanin yang tergolong tanin
terkondensasi, banyak terdapat pada buah-buahan, biji-bijian
dan tanaman pangan, sementara yang tergolong tanin
terhidrolisis terdapat pada bahan non-pangan (Makkar, 1993;
Sujarnoko, 2012).

7
Gambar 4. Struktur Kimia Tanin Terkondensasi (Sujarnoko,
2012)
2.1.5.3. Steroid
Senyawa-senyawa steroid adalah turunan skualena, suatu
triterpena juga karoten dan retinol. Steroid merupakan senyawa
yang memiliki kerangka dasar triterpena asiklik. Ciri umum
steroid ialah sistem empat cincin yang tergabung. Cincin A, B
dan C beranggotakan enam atom karbon, dan cincin D
beranggotakan lima (Melati, 2009).
Steroid adalah senyawa organik bahan alam yang
dihasilkan oleh organisme melalui metabolit sekunder, senyawa
ini banyak ditemukan pada jaringan hewan dan tumbuhan.
Steroid merupakan obat ampuh dalam mengatasi peradangan
dan meredakan nyeri, selain itu steroid yang langsung bekerja
pada kimiawi otak juga bermanfaat untuk meningkatkan mood
(Melati, 2009).

Gambar 5. Struktur Kimia Steroid (Melati, 2009)

2.2. Diare

8
2.2.1 Pengertian Diare
Menurut World Health Organization (WHO) (2013), diare
merupakan salah satu penyebab utama dari morbiditas dan mortalitas di
negara yang sedang berkembang dengan kondisi sanitasi lingkungan
yang buruk, persediaan air yang tidak adekuat, kemiskinan, dan
pendidikan yang terbatas. Diare adalah keadaan buang air besar lebih
dari 3 kali dalam sehari dengan konsistensi cair atau lunak (NANDA,
2015).
Banyak faktor yang secara langsung maupun tidak langsung dapat
menjadi faktor pendorong terjadinya diare. Penyebab tidak langsung atau
faktor-faktor yang mempermudah atau mempercepat terjadinya diare
seperti : status gizi, pemberian ASI eksklusif, lingkungan, perilaku hidup
bersih dan sehat (PHBS), kebiasaan mencuci tangan, perilaku makan,
imunisasi dan sosial ekonomi. Penyebab langsung antara lain infeksi
bakteri virus dan parasit, malabsorbsi, alergi, keracunan bahan kimia
maupun keracunan oleh racun yang diproduksi oleh jasad renik, ikan,
buah dan sayur-sayuran (Zaitun, 2011).

2.2.2. Klasifikasi Diare


Menurut Iskandar (2015), diare dapat dibedakan menjadi 3 jenis
berdasarkan gejala klinisnya, yaitu:
1. Diare Cair Akut. Dimana balita akan kehilangan cairan tubuh dalam
jumlah yang besar sehingga mampu menyebabkan dehidrasi dalam
waktu yang cepat.
2. Disentri. Diare ini ditandai dengan adanya darah dalam tinja yang
disebabkan akibat kerusakan usus. Balita yang menderita diare
berdarah akan menyebabkan kehilangan zat gizi yang dapat
berdampak pada penurunan status gizi.
3. Diare Persisten. Yaitu suatu kejadian diare yang dapat berlangsung
≥14 hari. Diare jenis ini sering terjadi pada anak dengan status gizi
rendah, AIDS, dan anak dalam kondisi infeksi (Iskandar, 2015).
2.2.3. Etiologi Diare

9
Diare terjadi karena adanya Infeksi (bakteri, protozoa, virus, dan
parasit) alergi, malabsorpsi, keracunan, obat dan defisiensi imun adalah
kategori besar penyebab diare. Pada balita, penyebab diare terbanyak
adalah infeksi virus terutama Rotavirus (Permatasari, 2012). Riset
menunjukkan bahwa patogen merupakan satu dari tiga penyebab dari
kasus diare akut pada anak-anak dan orang dewasa. Virus (terutama
Rotavirus) banyak menginfeksi bayi dan menyebabkan food-borne
gastroenteritis dan water-borne gastroenteritis (norovirus) di semua
kelompok umur. Protozoa kebanyakan adalah penyebab umum dari diare
akut (Narayan et al., 2010).

2.2.4. Terapi Pengobatan Diare


Prinsip tatalaksana diare di Indonesia telah ditetapkan oleh
Kementerian Kesehatan yaitu Lima Langkah Tuntaskan Diare (Lintas
Diare) yaitu: rehidrasi menggunakan oralit osmolaritas rendah, pemberian
Zinc selama 10 hari berturut-turut, teruskan pemberian ASI dan makanan,
antibiotik selektif, nasihat kepada orangtua/pengasuh (KEMENKES RI,
2011). Penatalaksanaan diare akut pada orang dewasa antara lain
meliputi:
a. Rehidrasi sebagai perioritas utama pengobatan, empat hal yang
perlu diperhatikan adalah:
1) Jenis cairan, pada diare akut yang ringan dapat diberikan oralit,
cairan ringer laktat, bila tidak tersedia dapat diberikan NaCl
isotonik ditambah satu ampul Na bikarbonat 7,5% 50 ml
2) Jumlah cairan, jumlah cairan yang diberikan idealnya sesuai
dengan cairan yang dikeluarkan
3) Jalan masuk, rute pemberian cairan pada orang dewasa dapat
dipilih oral atau intravena
4) Jadwal pemberian cairan, rehidrasi diharapkan terpenuhi
lengkap pada akhir jam ke-3 setelah awal pemberian.
b. Terapi simptomatik, obat antidiare bersifat simptomatik dan diberikan
sangat hati-hati atas pertimbangan yang rasional. Beberapa

10
golongan antidiare: Antimotilitas dan sekresi usus, turunan opiat,
Difenoksilat, Loperamid, Kodein HCl, dan Antiemetik (Metoklopramid
dan Domperidon).
c. Terapi definitif, edukasi yang jelas sangat penting dalam upaya
pencegahan, higienitas, dan sanitasi lingkungan (Mansjoer et al.,
2009).

2.3. Bakteri
Bakteri merupakan organisme prokariot, yaitu memiliki kromosom
tunggal dan tidak memiliki nukleus. Bakteri adalah nama sekelempok
mikroorganisme yang termasuk prokariotik yang bersel satu. Istilah bakteri
dari bahasa Yunani dari kata bekterion yang berarti tongkat atau batang
dan umumnya tidak berklorofil. Berkembang biak dengan membelah diri
dan bahan-bahan genetiknya tidak terbungkus dalam membran inti
(Gillespie et al., 2007).

2.3.1 Escherichia coli


Escherichia coli merupakan bakteri gram negatif bersifat anaerob
fakultatif dan tidak dapat membentuk spora. Bakteri ini dapat hidup pada
berbagai substrat dengan melakukan fermentasi anaerobik menghasilkan
asam laktat, suksinat, asetat, etanol, dan karbondioksida. E. coli termasuk
family Enterobacteriaceae, bentuknya batang, terdapat tunggal atau
berpasangan dalam rantai pendek (Whittam dan Donnenberg., 2011).
Sampai saat ini, seperempat dari semua penyebab diare di negara
berkembang adalah E. coli. Penularan bakteri tersebut biasanya terjadi
melalui makanan yang terkontaminasi dan juga melalui air. Lima kelompok
E.coli adalah:
1. Enterotoxigenic E. coli (ETEC)
Penyebab yang sering dari “diare wisatawan” dan sangat penting
menyebabkan diare pada bayi di negara berkembang. Faktor
kolonisasi ETEC yang spesifik untuk menimbulkan pelekatan ETEC
pada sel epitel usus kecil.

11
2. Enteropathogenic E. coli (EPEC)
Penyebab penting diare pada bayi, khususnya di negara
berkembang. EPEC melekat pada sel mukosa yang kecil. Faktor
yang diperantarai secara kromosom menimbulkan pelekatan yang
kuat. Akibat dari infeksi EPEC adalah diare cair yang biasanya
sembuh sendiri tetapi dapat juga kronik.
3. Enteroinvasive E. coli (EIEC)
Menyebabkan penyakit yang sangat mirip dengan shigellosis.
Penyakit terjadi sangat mirip dengan shigellosis. Penyakit sering
terjadi pada anak-anak di negara berkembang dan para wisatawan
yang menuju ke negara tersebut. Diare ini ditemukan hanya pada
manusia.
4. Enterohaemorrhagic E. coli (EHEC)
EHEC berhubungan dengan holitis hemoragik, bentuk diare yang
berat dan dengan sindroma uremia hemolitik, suatu penyakit akibat
gagal ginja akut, anemia hemolitik mikroangiopatik, dan
trombositopenia. Banyak kasus EHEC dapat dicegah dengan
memasak daging sampai matang. Diare ini ditemukan pada manusia,
sapi, dan kambing.
5. Enteroaggregative Escherichia coli (EAEC)
Menyebabkan diare akut dan kronik pada masyarakat di negara
berkembang. Bakteri ini ditandai dengan pola khas pelekatannya
pada sel manusia. EAEC memproduksi hemolisin dan ST
enterotoksin yang sama dengan ETEC. (http://www.wikipedia.com
diakses pada 13 Februari 2020)

Gambar 6. Bakteri Escherchia coli

12
2.3.2. Fase Pertumbuhan Bakteri
Menurut Pratiwi (2008), ada empat macam fase pertumbuhan
mikroorganisme yaitu fase lag, fase log (fase eksponsial), fase stasioner,
dan fase kematian.
1. Fase lag. Setelah inokulasi, terjadi peningkatan ukuran sel, mulai
pada waktu sel tidak atau sedikit mengalami pembelahan. Fase ini,
ditandai dengan peningkatan komponen makromolekul, aktivitas
metabolik, dan kerentanan terhadap zat kimia dan faktor fisik. Fase
lag merupakan suatu periode penyesuaian yang sangat penting
untuk penambahan metabolit pada kelompok sel, menuju tingkat
yang setaraf dengan sintesis sel maksimum.
2. Fase log (fase eksponensial). Pada fase eksponensial atau
logaritmik, sel berada dalam keadaan pertumbuhan yang seimbang.
Selama fase ini, masa dan volume sel meningkat oleh faktor yang
sama dalam arti rata-rata komposisi sel dan konsentrasi relatif
metabolit tetap konstan. Selama periode ini pertumbuhan seimbang,
kecepatan peningkatan dapat diekspresikan dengan fungsi
eksponensial alami. Sel membelah dengan kecepatan konstan yang
ditentukan oleh sifat intrinsik bakteri dan kondisi lingkungan. Dalam
hal ini terdapat keragaman kecepatan pertumban berbagai
mikroorganisme.
3. Fase stasioner. Pada saat digunakan kondisi biakan rutin, akumulasi
produk limbah, kekurangan nutrien, perubahan pH, dan faktor lain
yang tidak diketahui akan mendesak dan mengganggu biakan,
mengakibatkan penurunan kecepatan pertumbuhan. Selama fase ini,
jumlah sel yang hidup tetap konstan untuk periode yang berbeda,
bergantung pada bakteri, tetapi akhirnya menuju periode penurunan
populasi. Dalam beberapa kasus, sel yang terdapat dalam suatu
biakan yang populasi selnya tidak tumbuh dapat memanjang,
membengkak secara abnormal, atau mengalami penyimpangan,
suatu manifestasi pertumbuhan yang tidak seimbang.

13
4. Fase penurunan populasi atau fase kematian. Pada saat medium
kehabisan nutrien maka populasi bakteri akan menurun jumlahnya,
Pada saat ini jumlah sel yang mati lebih banyak daripada sel yang
hidup.

2.3.3. Mekanisme Kerja Antibakteri


Menurut Radji (2011), berdasarkan mekanisme kerjanya dalam
menghambat pertumbuhan mikroorganisme, antibakteri digolongkan
sebagai berikut:
a. Antibakteri yang dapat menghambat sintesis dinding sel. Dinding sel
bakteri sangat penting untuk mempertahankan struktur sel bakteri.
Oleh karena itu, zat yang dapat merusak dinding sel akan melisiskan
dinding sel sehingga dapat mempengaruhi bentuk dan struktur sel,
yang pada akhirnya dapat membunuh sel bakteri tersebut.
b. Antibakteri yang dapat menganggu atau merusak membran sel.
Membran sel mempunyai peranan penting dalam mengatur
transportasi nutrisi dan metabolit yang dapat keluar masuk sel.
Membran sel juga berfungsi sebagai tempat berlangsungnya
respirasi dan aktivitas biosintesis dalam sel. Beberapa jenis
antibakteri dapat mengganggu membran sel sehingga dapat
mempengaruhi kehidupan sel bakteri.
c. Antibakteri yang dapat menganggu biosintesis asam nukleat. Proses
replikasi DNA di dalam sel merupakan siklus yang sangat penting
bagi kehidupan sel. Beberapa jenis antibakteri dapat mengganggu
metabolisme asam nukleat tersebut sehingga mempengaruhi seluruh
fase pertumbuhan sel bakteri.
d. Antibakteri yang menghambat sintesis protein. Sintesis protein
merupakan suatu rangkaian proses yang terdiri atas proses
transkripsi (yaitu DNA ditranskripsi menjadi mRNA) dan proses
translasi (yaitu mRNA ditranslasi menjadi protein). Antibakteri dapat
menghambat proses-proses tersebut akan menghambat sintesis
protein.

14
15
BAB III
PEMBAHASAN

Diare merupakan salah satu penyakit yang menyerang sistem


pencernaan manusia yang ditandai dengan peningkatan frekuensi buang
air besar yang lebih sering dari biasanya. Sehingga menyebabkan
seseorang mengalami dehidrasi atau kekurangan cairan, kekurangan
kalium dan elektrolit dalam tubuh dan dapat mengakibatkan kematian
terlebih lagi bila dialami oleh anak-anak atau bayi. Pernyataan ini juga
didukung oleh data yang dilaporkan oleh Kementrian Kesehatan di tahun
2018, bahwa lebih dari 60% dari total penderita diare di Sulawesi Utara
adalah balita, hal ini sangat mengkhawatirkan mengingat usia balita
merupakan usia pertumbuhan yang sangat membutuhkan asupan gizi
yang cukup untuk kebutuhan tubuhnya.
Buah semu A. occidentale diketahui memiliki kandungan zat aktif
atau senyawa metabolit sekunder yang dapat memberikan efek
antibakteri. Adapun zat aktif yang terdapat pada A. occidentale yaitu
flavonoid, tanin, dan steroid. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Anwar (2017) telah teridentifikasi steroid sedangkan flavoniod dan tanin
teridentifikasi dalam jumlah yang relatif banyak. Ketiga zat ini juga telah
banyak diteliti sebagai agen yang dapat menghambat ataupun membunuh
bakteri yang bersifat merugikan manusia.
Untuk pengobatan tanaman ini biasa digunakan dengan cara
mengambil lima buah semu jambu mete yang sudah masak (tua) diparut
atau diblender. Hindari menggunakan buah semu yang masih muda
karena buah semu yang muda masih banyak mengandung getah yang
bisa menyebabkan kulit meradang. Peras ramuan tersebut, lalu saring.
Kemudian tambahkan air masak dan madu secukupnya lalu diminum
seperti yang dituliskan Listyati (2011).
Salah satu bakteri yang dapat menyebabkan diare adalah
Escherichia coli. Bakteri tersebut secara alami terdapat disaluran
pencernaan manusia atau disebut flora normal akan tetapi apabila

16
jumlahnya bertambah maka dapat mengakibatkan terganggunya sistem
metabolisme tubuh terutama pada saluran pencernaan manusia
(Adyanastri, 2012). Bakteri Escherichia coli juga sering mencemari susu
maupun produk olahannya yang dapat menyebabkan diare pada manusia
yang mengonsumsinya (Barus et al. 2013). Bakteri E. coli yang dapat
menyebabkan diare pada manusia biasa disebut Entero Pathogenic
Escherichia coli (EPEC) (Saputri, 2019).
Flavonoid sebagai antibakteri memiliki mekanisme membentuk
senyawa kompleks dengan protein ekstraselular, sehingga dapat merusak
dinding sel bakteri. Flavonoid juga berperan untuk mengambat sintesis
energi, senyawa ini menghambat sistem respirasi untuk penyerapan aktif
berbagai metabolit dan untuk biosintesis makromolekul (Ngajow et al.,
2013). Menurut Isnarianti (2013), mekanisme kerja senyawa flavonoid
sebagai antibakteri adalah flavonoid mampu melepaskan energi tranduksi
terhadap membran sitoplasma bakteri serta menghambat motilitas bakteri.
Mekanisme antibakteri tanin antara lain menghambat enzim
ektraseluler bakteri, mengambil alih substrat yang dibutuhkan pada
pertumbuhan bakteri, atau bekerja langsung pada metabolisme dengan
cara menghambat fosforilasi oksidasi (Isnarianti, 2013). Sementara itu,
menurut Rijayanti (2014), tanin memiliki aktivitas antibakteri yang
berhubungan dengan kemampuannya untuk menginaktifkan adhesi sel
mikroba, menginaktifkan enzim, dan menggangu transport protein pada
lapisan dalam sel. Tanin juga mempunyai target pada polipeptida dinding
sel sehingga pembentukan dinding sel menjadi kurang sempurna.
Mekanisme steroid sebagai antibakteri berhubungan dengan
membran lipid dan sensitivitas terhadap komponen steroid yang
menyebabkan kebocoran pada liposom bakteri (Madduluri et al., 2011).
Selaras dengan itu Utami (2013), menyatakan bahwa mekanisme steroid
sebagai antibakteri yang menyebabkan kebocoran pada liposom karena
berinteraksi dengan membran fosfolipid sehingga menyebabkan integritas
membran menurun serta morfologi membran sel berubah yang
menyebabkan membran sel menjadi rapuh dan kemudian lisis.

17
Menurut Artini et al., (2012), mekanisme kerja steroid dalam
menghambat mikroba adalah dengan merusak membran plasma sel
mikroba, sehingga menyebabkan bocornya sitoplasma keluar sel yang
selanjutnya menyebabkan kematian sel. Hal tersebut disebabkan oleh
molekul steroid memiliki gugus non-polar (hidrofobik) dan polar (hidrofilik)
sehingga memiliki efek surfaktan yang dapat melarutkan komponen
fosfolipid membran plasma.

18
BAB IV
PENUTUP

4.1. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa A.
occidentale dapat dimanfaatkan sebagai alternatif pengobatan pada
penyakit diare. Karena A. occidentale memiliki senyawa metabolit
sekunder yang dapat memberikan efek antibakteri yang adalah salah satu
penyebab terjadinya diare. Efek antibakteri yang diberikan oleh senyawa-
senyawa metabolit sekunder yang terkandung dalam A. occidentale yaitu
mengganggu pembentukan membran sel dengan target aksinya masing-
masing yang mengakibatkan tidak sempurnanya pembentukan dinding sel
dan mengakibatkan dinding bakteri menjadi rusak kemudian menjadi lisis.

4.2. Saran
Perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui aktivitas dan efektivitas
serta formulasi yang tepat dalam sediaan farmasi agar dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat dalam rangka mengurangi penggunaan
antobiotik yang dapat beresiko terjadinya resistensi antibiotik.

19

Anda mungkin juga menyukai