Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN KASUS

ASMA BRONKIAL

PEMBIMBING :

dr. Rahmadi Iwan, Sp.P

DISUSUN OLEH :

Khaerunnisa Gusti Auliana (2015730070)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA PONDOK KOPI

PERIODE 17 FEBRUARI – 26 APRIL 2020

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN UMJ

2020
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr. wb

Dengan memanjatkan puja dan puji syukur ke hadirat Allah SWT tuhan yang Maha
esa karena atas segala limpahan rahmat dan karunia- Nya kami dapat menyelesaikan
penulisan laporan kasus ini.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan arahan demi
terselesaikannya laporan kasus ini khususnya kepada dr. Rahmadi Iwan, Sp.P selaku
pembimbing tugas Laporan Kasus ini.

Kami sangat menyadari dalam proses penulisan laporan kasus ini masih jauh dari
kesempurnaan baik materi maupun metode penulisan. Namun demikian, kami telah
mengupayakan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki. Kami dengan rendah hati
dan dengan tangan terbuka menerima segala bentuk masukan, saran dan usulan guna
menyempurnakan tugas refreshing ini.

Kami berharap semoga tugas refreshing ini dapat bermanfaat bagi siapapun yang
membacanya.

Wassalamualaikum wr. wb

Jakarta, Februari 2020

Penulis
BAB I

LAPORAN KASUS

1.1. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. N

Umur : 48 tahun

Jenis kelamin : Laki-Laki

Alamat : Pondok kopi

Agama : Kristen

Waktu Pemeriksaan : 20 Februari 2020

1.2. ANAMNESIS

Keluhan Utama : Sesak nafas sejak 2 jam sebelum masuk rumah sakit.
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke rumah sakit dengan keluhan sesak nafas sejak 3 jam sebelum masuk
rumah sakit. Pasien mengaku sesak sering dirasakan ketika malam hari terutama menjelang
subuh, pagi hari ketika cuaca dingin dan ketika pasien kelelahan. Pasien mengaku saat sesak
sering disertai dengan suara nafas berbunyi ngik-ngik (mengi). Pasien merasakan nafas terasa
berat. Nyeri dada atau dada terasa panas disangkal oleh pasien. Pasien mengaku sering
mengalami hal serupa sejak pasien masih muda dan dirasa bertambah berat akhir-akhir ini.
Pasien juga mengeluh batuk berdahak dan pilek sejak 3 hari SMRS, dahak berwarna bening
seperti berlendir dan tidak berdarah. Nyeri ulu hati (-), demam (-). Pasien mengaku dalam
seminggu ini, mengalami sesak 2 kali tetapi sesak yang paling berat dirasakan beberapa jam
SMRS, dan dalam sebulan ini dapat mengalami ≥ 3 kali sesak pada malam hari.

Saat pasien mengalami sesak, pasien merasa lebih nyaman duduk atau posisi setengah
duduk dibandingkan berbaring dan masih dapat berbicara. Menurut pasien aktivitas sehari-
harinya tidak terganggu bila hanya sesak ringan. Tetapi bila sesak cukup berat, membuat
pasien tidak bisa beraktivitas dan bekerja. Keluhan ini belum diobati karena obat habis dan
jarang kontrol akhir-akhir ini.

Riwayat Penyakit Dahulu :

Riwayat asma (+) sejak kecil. Riwayat penyakit tekanan darah tinggi (-), kencing manis (-),
riwayat batuk lama (-)

Riwayat Penyakit Keluarga :

Ayah dan ibu tidak memliki asma, tetapi pasien mengaku ayah pasien sering bersin-
bersin pada pagi hari. Saat ini tidak ada anak pasien yang sering mengalami sesak, sering
pilek di pagi hari, ataupun gatal-gatal setelah mengkonsumsi makanan tertentu.

Riwayat Pengobatan:

Pasien mengaku pernah 1 kali mengalami sesak nafas yang berat yang membuat pasien
harus ke IGD dan dilakukan nebulisasi. Biasanya ketika serangan dirasa ringan pasien hanya
mengobatinya dengan obat semprot.

Riwayat Psikososial
Pasien bekerja sebagai karyawan swasta. Waktu bekerja dari pukul 08.00-16.00.
Rumah pasien bersih, tidak berdebu. Pasien adalah seorang perokok, merokok sebanyak 6-8
batang perhari dan pasien mulai merokok sejak SMA usia 17 tahun.

1.3. PEMERIKSAAN FISIK

o Keadaan umum : Sedang

o Kesadaran : Compos mentis

o GCS : E4V5M6

Tanda Vital:

o Tensi : 130/90 mmHg

o Nadi : 114 kali/menit, irama teratur, kuat angkat


o Pernapasan : 27 kali/menit

o Suhu : 36,6 oC

 Status Generalis :

o Kepala : Normocephal

o Mata :

Simetris; konjungtiva : anemis (-/-), sclera : ikterus (-/-), refleks cahaya (+/+)

o Telinga :

- Bentuk : normal; lubang telinga : normal, sekret (-/-); nyeri tekan (-/-)

- Pendengaran : normal pada kedua telinga.

o Hidung :

- Simetris, deviasi septum (-); napas cuping hidung (-); perdarahan (-),
sekret (-).

- Penciuman normal.

o Mulut :

- Simetris; bibir : sianosis (-), gusi : hiperemia (-), perdarahan (-),


atropi papil lidah (-); gigi : karang gigi (+), caries (-); mukosa : normal.

o Leher :

- Pembesaran KGB (-), Trakea : tidak ada deviasi; JVP : tidak


meningkat, Pembesaran tiroid (-)

o Thorax :

Pulmo :

1. Inspeksi :

Bentuk simetris
2. Palpasi

Pergerakan dinding dada simetris, Deviasi trakea (-), Nyeri tekan (-)

3. Perkusi :

Sonor ( +/+)

4. Auskultasi :

vesikuler (+ /+), ronchi (-/-), wheezing (+/+)

Cor :

1. Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat

2. Palpasi : Iktus kordis teraba pada ICS V

3. Perkusi : batas kanan jantung : ICS II linea parasternalis dextra

batas kiri jantung : ICS V linea midclavicularis sinistra

4. Auskultasi : S1S2 tunggal regular, murmur (-), gallop (-)

o Abdomen :

- Inspeksi : Tampak cembung

- Auskultasi : BU (+) N, metallic sound (-), bising aorta (-)

- Palpasi : massa (-), nyeri tekan epigastrium (-), hepar/lien/renal : tidak


teraba

- Perkusi : timpani, shifting dullness (-), nyeri ketok CVA (-)

o Ekstremitas :

- Hangat (+); edema (-); deformitas (-); tremor (-); clubbing finger (-);
sianosis (-); petechie (-);
1.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Jenis Pemeriksaan Nilai Nilai Normal

Hb 16,4 mg/dL 13,5-17,5

Leukosit 6.9 x 103/uL 5-10

Hematokrit 48 % 40-50

Trombosit 285 x 103/uL 150-400

Eritrosit 5.6 106/uL 4.5-5.8

RDW-CV 13.2 % 12.2-14.8

MCH 29 pg 27-33

MCV 87 fL 82-98

MCHC 34 g/dL 31-37

DIFF COUNT

Basofil 0,4 % 0 - 1,49

Eosinofil 17.7% 1,5 - 4,49

Neutrofil 40.8% 49,5 - 70,49

Limfosit 9.0 % 19,5 - 40,49

Monosit 0.6 % 1,5 - 8,49

ELEKTROLIT

Natrium 146 mmol/L 136-145


Kalium 4.2 mmol/L 3.5-5.1

Chloride 111 mmol/L 98-107


1.5 DIAGNOSIS KERJA

Asma bronkial persisten sedang

1.6. PENATALAKSANAAN

 IGD: nebulisasi dengan Combivent dan Pulmicort


 Rawat Inap:
Medikamentosa
- Infus: RL + Aminofilin 1,5 a / 12 jam
- Terfacef 1x2 gr
- Medixon 3x62.5 mg iv
- Ventolin 4x1
- Fulmicort 3x1

Non Medikamentosa

- Anjuran minum air hangat


- Menghindari hal-hal yang dapat memicu timbulnya asma seperti tidak
merokok
- Edukasi tentang kekambuhan pasien.
 Planning
1. Spirometri
2. Ro Thorax
Kesan : Hipereaktif bronkus

1.7. PROGNOSIS

Quo ad vitam: dubia ad bonam

Quo ad functionam: dubia

Quo ad sanationam: dubia


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel
dan elemennya. Proses inflamasi kronik ini menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan
napas yang menimbulkan gejala klinis yang berlangsung secara episodik berulang berupa
mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama malam dan atau dini hari. 1,8
Asma adalah satu keadaan yang ditandai dengan terjadinya penyempitan bronkus yang
berulang tetapi reversibel, dan di antara episode tersebut terdapat keadaan ventilasi yang
normal.1,7 Asma akut adalah gejala episodik dengan peningkatan yang cepat berupa sesak
nafas, batuk, mengi atau sesak dada dan penurunan fungsi paru yang cepat.1

2.2. Klasifikasi
Klasifikasi asma dapat dibagi berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola
keterbatasan aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit penting bagi
pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka panjang, semakin berat asma semakin
tinggi tingkat pengobatan. Pada umumnya, penderita asma sudah dalam masa pengobatan,
dan pengobatan yang telah berlangsung tetapi tidak adekuat. Pengobatan berguna untuk
mengubah gambaran klinis bahkan faal paru, oleh karena itu penilaian berat asma pada
penderita dalam pengobatan juga harus mempertimbangkan pengobatan itu sendiri.8
Klasifikasi asma stabil menurut PDPI:

Tabel 2.1 Klasifikasi beratnya asma berdasarkan gambaran klinis (penilaian awal
sebelum terapi)
Tabel 2.2 Klasifikasi beratnya asma berdasarkan gambaran klinis (dalam
pengobatan)

Klasifikasi asma stabil berdasarkan derajat kendali menurut GINA:


Tujuan utama tatalaksana asma adalah terkendalinya penyakit. Asma terkendali
adalah asma yang tidak bergejala, dengan atau tanpa obat pengendali dan kualitas hidup
pasien baik.1
 Asma terkendali (Well controlled)
 Asma terkendali sebagian (Partly controlled)
 Asma tidak terkendali (Uncontrolled)
Klasifikasi asma berdasarkan derajat kendali digunakan untuk menilai keberhasilan
tatalaksana yang tengah dijalankan atau untuk penentuan peningkatan (Step Up),
pemeliharaan (Maintenance) atau penurunan (Step Down) tatalaksana yang akan
diberikan.1,18 Pendekatan dalam memulai pengobatan jangka panjang harus melalui
pemberian terapi maksimum pada awal pengobatan sesuai derajat asma, termasuk
diberikan glukokortikosteroid oral dan atau glukokortikosteroid inhalasi dosis penuh
ditambah dengan agonis beta-2 kerja lama untuk mengontrol asma, setelah asma terkontrol
dosis diturunkan secara bertahap sampai seminimal mungkin dengan tetap
mempertahankan kondisi asma terkontrol. Cara itu disebut step down therapy. Pendekatan
lain yaitu step up therapy yaitu memulai terapi sesuai berat asma dan meningkatkan terapi
secara bertahap jika dibutuhkan untuk mencapai asma terkontrol.1

Tabel 2.3 Tingkat Asma Terkontrol

Berdasarkan GINA, asma yang terkontrol didefinisikan sebagai berikut:1


1. Gejala minimal (sebaiknya tidak ada), termasuk gejala malam
2. Tidak ada keterbatasan aktivitas termasuk exercise
3. Kebutuhan bronkodilator (agonis β2 kerja singkat) minimal (idealnya tidak
diperlukan)
4. Variasi harian APE (Arus Puncak Ekspirasi) kurang dari 20%
5. Nilai APE normal atau mendekati normal
6. Efek samping obat minimal (tidak ada)
7. Tidak ada kunjungan ke unit gawat darurat

Tabel 2.4 Klasifikasi serangan asma akut

2.3. Patofisiologi
Obstruksi saluran napas pada asma merupakan kombinasi spasme otot bronkus,
sumbatan mukus, edema, dan inflamasi dinding bronkus. Obstruksi bertambah berat selama
ekspirasi karena secara fisiologis saluran napas menyempit pada fase tersebut (Gambar 2.1).
Hal ini mengakibatkan udara distal tempat terjadinya obstruksi terjebak tidak bisa diekspirasi.
Selanjutnya terjadi peningkatan volume residu, kapasitas residu fungsional (KRF) dan pasien
akan bernapas pada volume yang tinggi mendekati kapasitas paru total (KPT). Keadaan
hiperinflasi ini bertujuan agar saluran napas tetap terbuka dan pertukaran gas berjalan lancar.
Untuk mempertahankan hiperinflasi ini diperlukan otot-otot bantu napas.9

Gambar 2.1 Gambar bronkus pada penderita asma


Gambaran khas inflamasi pada penderita asma ditandai dengan peningkatan jumlah
eosinofil teraktivasi, sel mast, makrofag dan limfosit T dalam lumen mukosa saluran
pernapasan. Sel limfosit berperan penting dalam respon inflamasi melalui penglepasan
berbagai sitokin multifungsional. Limfosit T subset T helper-2 (Th-2) yang berperan dalam
patogenesis asma akan mensekresi sitokin interleukin 3 (IL-3), IL-4, IL-5, IL-9, IL-13, IL-
16 dan Granulocute Monocyte Colony Stimulating Faktor (GMCSF).8
Asma dapat terjadi melalui dua jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom. 8,13
Jalur imunologis didominasi oleh antibodi IgE yang merupakan reaksi hipersensitivitas
tipe I (tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat. Reaksi alergi timbul pada orang
dengan kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal dalam jumlah
yang besar, golongan ini disebut atopi. Pada asma alergi, antibodi IgE terutama melekat
pada permukaan sel mast pada interstisial paru yang berhubungan erat dengan bronkiolus
dan bronkus kecil. Bila seseorang menghirup alergen maka akan terjadi fase sensitisasi
yang menyebabkan antibodi IgE orang tersebut meningkat. Alergen kemudian berikatan
dengan antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini berdegranulasi
mengeluarkan berbagai macam mediator. Mediator-mediator yang dikeluarkan adalah
histamin, leukotrien, faktor kemotaktik eosinofil dan bradikinin. Mediator Ini akan
menimbulkan efek edema lokal pada dinding bronkiolus kecil, sekresi mukus yang kental
dalam lumen bronkiolus dan spasme otot polos bronkiolus yang menyebabkan inflamasi
saluran napas. Pada reaksi alergi fase cepat, obstruksi saluran napas terjadi cepat yaitu 10-
15 menit setelah pajanan alergen. Terjadinya spasme bronkus merupakan respons terhadap
mediator sel mast terutama histamin yang bekerja langsung pada otot polos bronkus.
Berbeda dengan fase cepat, pada fase lambat, reaksi ini terjadi setelah 6-8 jam pajanan
alergen dan akan bertahan selama 16-24 jam, bahkan kadang-kadang dapat sampai
beberapa minggu. Beberapa sel inflamasi seperti eosinofil, sel T, sel mast dan Antigen
Presenting Cell (APC) merupakan sel-sel kunci dalam patogenesis asma.10
Selain melalui jalur imunologis, asma juga dapat melalui jalur saraf otonom.
Inhalasi alergen dapat mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus
dan epitel saluran napas. Peregangan vagal dapat menyebabkan refleks bronkus,
sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag dapat membuat
epitel jalan napas lebih permeabel dan juga memudahkan alergen masuk ke dalam
submukosa, sehingga dapat menyebabkan meningkatnya reaksi yang terjadi. Kerusakan
epitel bronkus oleh mediator-mediator yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi
asma dapat terjadi tanpa melibatkan sel mast seperti pada hiperventilasi, inhalasi udara
dingin, asap, kabut dan SO2. Pada keadaan ini reaksi asma terjadi melalui refleks saraf.
Ujung saraf eferen vagal mukosa yang terangsang menyebabkan pelepasan neuropeptid
sensorik senyawa P, neurokinin A dan Calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP).
Neuropeptida itulah yang menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus,
eksudasi plasma, hipersekresi lendir dan aktivasi sel-sel inflamasi.10
Gambar 2.2 Patofisiologi asma

2.4. Manifestasi Klinis


Diagnosis asma dapat didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejala tersebut
berupa batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan faktor yang berkaitan dengan cuaca.
Anamnesis yang baik sudah cukup untuk menegakkan diagnosis pada asma, ditambah dengan
pemeriksaan jasmani dan pengukuran faal paru terutama reversibilitas kelainan faal paru,
akan lebih meningkatkan nilai diagnostik.8 Gejala klinis berupa;1
- Lebih dari 1 gejala (mengi, batuk, sesak napas, rasa berat di dada), terutama pada
orang dewasa
- Gejala bervariasi dari waktu ke waktu dan intensitasnya
- Gejala timbul/memburuk terutama malam/dini hari
- Gejala dipicu oleh infeksi virus (flu), latihan fisik, paparan alergen, perubahan cuaca,
atau iritasi seperti asap knalpot mobil, rokok atau bau yang kuat
Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam gejala klinis pada asma adalah:8
- Riwayat keluarga (atopi)
- Riwayat alergi
- Penyakit lain yang memberatkan
- Perkembangan penyakit dan pengobatan
Serangan asma ditandai adanya kalor (panas karena vasodilatasi), rubor
(kemerahan karena vasodilatasi), tumor (eksudasi plasma dan edema), dolor (rasa sakit
karena rangsang sensoris) dan functio laesa (fungsi terganggu). Gejala-gejala tersebut
dapat ditemukan pada penderita asma tanpa membedakan penyebabnya baik yang alergik
maupun non alergik. Baik asma yang alergik maupun non alergik ditemukan adanya
inflamasi dan hiperaktivitas saluran napas. Gangguan yang berupa obstruksi saluran napas
dapat dinilai secara objektif dengan VEP1 (Volume Ekspirasi Paksa detik pertama) atau
APE (Arus Puncak Ekspirasi), sedangkan penurunan KVP (Kapasitas Vital Paksa)
menggambarkan derajat hiperinflasi paru. Gejala mengi menandakan adanya penyempitan
di saluran napas besar, sedangkan pada saluran napas yang kecil gejala batuk dan sesak
lebih dominan. Pada serangan asma yang lebih berat lagi banyak saluran napas dan
alveolus tertutup oleh mukus sehingga tidak memungkinkan lagi terjadinya pertukaran gas.
Hal ini dapat menyebabkan hipoksemia dan memperberat kerja otot-otot pernapasan serta
terjadinya peningkatan produksi CO2 yang disertai dengan penurunan ventilasi alveolus
menyebabkan retensi CO2 (hiperkapnia) dan dapat terjadi asidosis repiratorik atau gagal
napas.13 Pada awal serangan asma, gejala asma tidak jelas seperti rasa berat di dada dan
pada asma alergik mungkin disertai flu. Selain itu, pada pasien asma alergik dapat
memberikan gejala terhadap faktor pencetus non alergik seperti asap rokok, infeksi saluran
napas atas ataupun perubahan cuaca. Keluhan yang sering timbul berupa batuk di malam
hari/dini hari atau sesak dada. Mengi merupakan suara siulan tinggi melengking saat
menghembuskan napas.11

2.5. Faktor Risiko


8
Faktor pejamu dan lingkungan saling mendukung berkembangnya penyakit asma.
Tabel 2.5 Faktor risiko asma
2.6. Tatalaksana
Tujuan penatalaksanaan asma adalah mencapai asma terkontrol yaitu keadaan yang
optimal seperti orang sehat dengan mencegah eksaserbasi, memelihara fungsi paru seoptimal
mungkin, memelihara derajat aktivitas normal termasuk latihan, menghindari efek tambahan
obat asma, mencegah berkembangnya hambatan aliran udara yang ireversibel dan mencegah
kematian akibat asma.7,8
Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan mempertahankan
kualiti hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan
aktivitas sehari-hari.7,8 Tujuan penatalaksanaan asma:7,8
1. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma
2. Mencegah eksaserbasi akut
3. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin
4. Mengupayakan aktiviti normal termasuk exercise
5. Menghindari efek samping obat
6. Mencegah terjadi keterbatasan aliran udara (airflow limitation) irreversible
7. Mencegah kematian karena asma
Tabel 2.6 Tingkat Kontrol Asma

Obat-obat yang digunakan dalam penatalaksanaan asma dibagi menjadi tiga


kategori umum, yaitu;1
1. Kontroler (controller medication)
Kontroler digunakan secara rutin untuk mengurangi inflamasi jalan nafas,
mengontrol gejala dan mengurangi risiko eksaserbasi dan penurunan fungsi paru
dimasa depan.1
2. Pelega (reliever medication)
Ini diberikan kepada semua pasien untuk meringankan gejala, termasuk saat
memburuknya asma atau serangan asma akut. Terapi ini direkomendasi untuk
pencegahan jangka pendek karena latihan fisik-menyebabkan bronkokonstriksi.
Mengurangi dan idealnya, menghilangkan kebutuhan akan perawatan pelega
(reliever medication) merupakan tujuan penting dalam penanganan asma dan
ukuran keberhasilan pengobatan asma.1
3. Terapi tambahan (add-on therapy)
Add-on therapy diberikan pada pasien asma berat; dipertimbangkan pada kasus-
kasus dengan gejala persisten dan atau eksaserbasi meski dioptimalkan dengan
kontroler (biasanya ICS dosis tinggi dan LABA) dan terapi untuk memodifikasi
faktor risiko.1
Program penatalaksanaan asma dibagi menjadi 2 yaitu pengobatan jangka panjang
dan penatalaksanaan serangan akut.7
1. Tatalaksana asma jangka panjang
Prinsip utama tatalaksana jangka panjang adalah edukasi, obat asma (pengontrol
dan pelega), dan menjaga kebugaran (senam asma). Obat pelega diberikan pada
saat serangan, obat pengontrol ditujukan untuk pencegahan serangan dan diberikan
dalam jangka panjang dan terus menerus.7
a. Pengontrol
Pengontrol adalah obat asma yang digunakan jangka panjang untuk mengontrol
asma, karena mempunyai kemampuan untuk mengatasi proses inflamasi yang
merupakan patogenesis dasar penyakit asma. Obat ini diberikan setiap hari untuk
mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma persisten, dan
sering disebut sebagai obat pencegah.7,8
 Glukokortikosteroid inhalasi
Tabel 2.7 Dosis obat glukokortikosteroid inhalasi

 Glukokortikosteroid sistemik
 Kromolin (sodium kromoglikat dan nedokromil sodium)
 Metilsantin
 Agonis β2 kerja lama (LABA)
 Leukotriene modifiers
b. Pelega (reliver)
Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos, memperbaiki
dan atau menghambat bronkokonstriksi yang berkaitan dengan gejala akut seperti
mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi jalan napas atau
menurunkan hiperesponsif jalan napas.7,8
- Agonis beta-2 kerja singkat
- Metilsantin
- Antikolinergik (atrophine sulphate, ipratropium, tiotropium, dan lain-lain)
- Adrenalin
c. Add-on therapy;1
- Optimalkan dosis ICS/LABA
- Kortikosteroid oral
- Terapi tambahan tanpa phenotyping (Long-acting muscarinic antagonist
bronchodilator, tiotropium dan controller seperti theophylline dan
LTRAs)
- Terapi dengan sputum
- Terapi tambahan dengan fenotip (terapi anti-IL5 (mepolizumab,
reslizumab) dan LTRAs)
- Terapi non-farmakologi
- Berhenti merokok
- Aktivitas fisik
- Menghindari paparan asma akibat kerja
- Menghindari pengobatan yang dapat membuat asma menjadi memburuk
(NSAID termasuk aspirin)
- Diet yang sehat
- Menghindari alergen yang berasal dari luar dan dalam
- Menurunkan berat badan
- Alergen immunotherapy
- Breathing exercise
- Menghindari polusi udara
- Vaksinasi
- Bronchial thermoplasty
2. Penatalaksanaan serangan akut
Eksaserbasi merupakan perubahan gejala dan penurunan fungsi paru secara progresif.
Penurunan aliran udara ekspirasi dapat diukur dengan pengukuran fungsi paru seperti
APE atau volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP ).1 Pengobatan diberikan
bersamaan untuk mempercepat resolusi serangan akut. Terdapat 2 penanganan
serangan asma yaitu pada primary care dan emergency department.1
a. Primary care
 Menilai keparahan eksaserbasi, riwayat dan pemeriksaan fisik
Jika pasien menunjukkan tanda-tanda eksaserbasi parah atau mengancam jiwa,
pengobatan dengan SABA, kontrol oksigen dan berikan kortikosteroid
sistemik harus dimulai saat transfer pasien yang mendesak ke fasilitas
perawatan dimana pemantauan dan keahlian lebih mudah didapat. Menilai
riwayat penyakit seperti waktu dan penyebab eksaserbasi, tingkat keparahan
gejala asma, gejala anafilaksis, faktor risiko asma yang dapat menyebabkan
kematian, semua obat pelega dan pengontrol saat ini, termasuk dosis, pola
kepatuhan, perubahan dosis terbaru dan respons terhadap terapi saat ini.
Pemeriksaan fisik berupa terdapat gejala keparahan eksaserbasi, pemeriksaan
tanda vital, pulse oximetry (saturasinya <90%), komplikasi (anafilaksis,
pneumonia, pneumotoraks), tanda-tanda kondisi alternatif yang bisa
menjelaskan sesak napas akut (gagal jantung, disfungsi saluran napas bagian
atas, benda asing yang dihirup atau emboli paru).1
 Inhaled short-acting beta₂ -agonist
4-10 puffs setiap 20 menit (untuk 1 jam pertama). Setelah 1 jam, berikan 4-10
puffs setiap 3-4 jam hingga 6-10 puffs setiap 1-2 jam. APE > 60-80%
diprediksi atau terbaik selama 3-4 jam.1
 Kontrol oksigen (jika ada)
Kontrol oksigen sampai saturasi oksigen 93-95%.1
 Kortikosteroid sistemik
OCS diberikan jika pasien mengalami perburukan. Dosis rekomendasi 1 mg
prednisolone/kg/hari atau dosis maksimal 50 mg/hari selama 5-7 hari.1
 Antibiotik (tidak direkomendasikan)
Bukti tidak mendukung peran antibiotik dalam eksaserbasi asma kecuali ada
bukti kuat infeksi paru (misalnya demam dan dahak purulen atau bukti
radiografi pneumonia). Pemberian kortikosteroid harus dilakukan secara
agresif sebelum antibiotik (dipertimbangkan).1
 Lihat responnya dan follow up.1
Gambar 2.5 Manajemen asma akut di primary care
b. Emergency department
 Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik
Mengindentifikasi riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik sama seperti pada
primary care.1 Pada komplikasi, selain anafilaksis, pneumonia dan
pneumotoraks di Emergency department juga dilihat apakah terdapat
atelektasis dan pneumomediastinum.1
 Penilaian objektif;1
- Pengukuran fungsi paru: pemeriksaan ini sangat dianjurkan. Jika
memungkinkan, dan tanpa menunda pengobatan, APE atau VEP harus
dicatat sebelum pengobatan dimulai.
- Saturasi oksigen: jika < 90% harus dilakukan terapi segera
- Pengukuran gas darah arteri/AGDA tidak rutin dilakukan. Dilakukan jika
APE atau VEP < 50% atau pada pasien yang tidak respon penanganan
awal atau pada pasien yang mengalami perburukan.
- Rontgen toraks tidak dianjurkan secara rutin.
 Oksigen
Berikan oksigen untuk mencapai kadar saturasi oksigen 93-95%, oksigen
harus diberikan dengan nasal kanul atau mask.1
 SABA inhalai
Terapi SABA inhalasi harus diberikan secara berkala untuk pasien yang
menderita asma akut.1
 Epinefrin (untuk anafilaksis)
Epinefrin intramuscular diindikasikan sebagai terapi tambahan standar untuk
asma akut yang terkait dengan anafilaksis dan angioedema. Hal ini tidak
secara rutin diindikasikan untuk eksaserbasi asma lainnya.1
 Kortikosteroid sistemik
Penggunaan kortikosteroid sistemik sangat penting di unit gawat darurat, jika:1
- Terapi awal SABA gagal mencapai perbaikan gejala yang berlangsung
lama
- Eksaserbasi berkembang saat pasien memakai OCS
- Pasien memiliki riwayat eksaserbasi sebelumnya yang memerlukan
OCS
Dosis: dosis harian OCS 50 mg prednisolone sebagai dosis tunggal
pada pagi hari atau 200 mg hydrocortisone dalam dosis terbagi adekuat
pada kebanyakan pasien selama 5-7 hari.1
 Kortikosteroid inhalasi
Di UGD pemberian ICS dosis tinggi yang diberikan dalam satu jam pertama
setelah presentasi mengurangi kebutuhan rawat inap pada pasien yang tidak
menerima kortikosteroid sistemik.1
 Terapi lain;1
- Ipratropium bromide
- Aminophylline dan theophylline
- Magnesium
- Helium oxygen therapy
- Leukotriene receptor antagonists
- Kombinasi ICS/LABA
- Antibiotik (tidak disarankan)
Bukti tidak mendukung peran antibiotik dalam eksaserbasi asma kecuali
ada bukti kuat infeksi paru (misalnya demam dan dahak purulent atau
bukti radiografi pneumonia).1
- Sedatif
- Non-invasie ventilation (NIV)
 Lihat responnya.1
Gambar 2.6 Manajemen asma akut di Emergency Department
Kriteria rawat inap pada penderita di Unit Gawat Darurat
Pertimbangan untuk memulangkan atau rawat inap pada penderita di
gawat darurat, berdasarkan berat serangan, respon pengobatan baik klinis
maupun faal paru. Berdasarkan penilaian fungsi, pertimbangan pulang atau rawat
inap, adalah;1
 Penderita rawat inap bila VEP atau APE sebelum pengobatan awal < 25%
nilai terbaik/prediksi; atau VEP / APE < 40% nilai terbaik / prediksi
setelah pengobatan awal diberikan.
 Penderita berpotensi untuk dapat dipulangkan, bila VEP / APE 40-60%
nilai terbaik / prediksi setelah pengobatan awal, setelah diyakini faktor
risiko pasien dan bersedia untuk follow up.
 Penderita dengan respon setelah pengobatan awal memberikan VEP /
APE > 60% nilai terbaik / prediksi, direkomendasikan untuk dipulangkan
setelah diyakini faktor risiko dan bersedia untuk follow up.

Gambar 2.7 Tatalaksana untuk mengendalikan asma dan


meminimalkan faktor risiko

 Untuk pasien dengan eksaserbasi ≥1 dalam 1 tahun terakhir, dosis rendah


Budesonide/Formoterol atau Budesonide/Formoterol sebagai terapi
maintenance dan reliever lebih efektif daripada terapi ICS/LABA+SABA as
needed.1
 Salah satu faktor risiko penyebab eksaserbasi asma adalah penggunaan ICS
yang tidak memadai dan penggunaan SABA yang berlebihan. 1
 GINA 2017 merekomendasikan penggunaan ICS/LABA sebagai maintenance
dan ICS/Formoterol sebagai reliever mulai di step 3.1
2.7. Komplikasi
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada penderita asma adalah sebagai berikut1,8
 Pneumonia
 Pneumotoraks
 Anafilaksis
 Atelektasis
 Pneumomediastinum
 Allergic Bronchopulmonary Aspergillosis (ABPA)
 PPOK
 Sinusitis
 Gagal jantung
BAB III
KESIMPULAN

Asma adalah penyakit heterogen, biasanya ditandai dengan inflamasi jalannafas


kronik. Asma diklasifikasikan menjadi asma alergika, asma non alergika, asma onsetlambat,
asma dengan hambatan jalan nafas paten, dan asma dengan obesitas. Patogenesis dan
patofisiologi asma secara umum kompleks yang menyebabkaninflamasi jalan nafas yang
kronik. Diagnosis asma dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Tatalaksana asma meliputi tatalaksana nonfarmakologis, farmakologis,
tatalaksana merujuk serta tatalaksana lainnya.
DAFTAR PUSTAKA

1 Global Initiative for Asthma (GINA). Global strategy for asthma management and
prevention. Portland: NHLBI Publications: 2017;14-88
2 World Health Organization. Asthma. Geneva, Switzerland. 2017. [cited 21 Feb 2020].
Available from: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs307/en.
3 Kampe M, Lisspers K, Stallberg B, Sundh J, Montgomery S, Janson C. Determinants of
uncontrolled asthma in a Swedish asthma population: cross sectional observational study.
European Clinical Respiratory Journal. 2014;1:1-9
4 Candrawati N, Amin M. Faktor yang berpengaruh pada tingkat kontrol asma di RSUD
Dr. Soetomo Surabaya. Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi, Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga, RSUD Dr. Soetomo, Surabaya. J Respir Indo.
2016;36:41-6
5 Widjaya RM, Fachri M. Gambaran pasien asma berbagai derajat dewasa dengan faktor
pencetus serangan asma. J Indon Med Assoc. 2014;64:558-63
6 Ali Z, Ulrik CS. Obesity and asthma: a coincidence or a causal relationship? a systematic
review. Respiratory Medicine. 2013;20:1-14
7 Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Pusat data dan informasi kementrian
kesehatan RI. Kemenkes RI. 2015;1-7
8 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Asma pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di
Indonesia. Jakarta: PDPI; 2006.p.3-103.
9 Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Syam AF. Ilmu penyakit dalam
jilid I edisi ke-6. Jakarta: Internal Publishing; 2015;478-88.
10 Rengganis, I. Diagnosis dan tatalaksana asma bronkial. Majalah Kedokteran Indonesia.
Jakarta; Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia/RSCM. 2008;58(11):444-453.
11 Laksana MA, Berawi KN. Faktor – faktor yang berpengaruh pada timbulnya kejadian
sesak napas penderita asma bronkial. Lampung. Skripsi Unlam. 2015;64-7.
12 Bachtiar D, Wiyono WH, Yunus F. Proporsi asma terkontrol di klinik asma RS
Persahabatan Jakarta 2009. J Respir Indones. 2011;31(2):90-100.

Anda mungkin juga menyukai