ASMA BRONKIAL
PEMBIMBING :
DISUSUN OLEH :
2020
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr. wb
Dengan memanjatkan puja dan puji syukur ke hadirat Allah SWT tuhan yang Maha
esa karena atas segala limpahan rahmat dan karunia- Nya kami dapat menyelesaikan
penulisan laporan kasus ini.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan arahan demi
terselesaikannya laporan kasus ini khususnya kepada dr. Rahmadi Iwan, Sp.P selaku
pembimbing tugas Laporan Kasus ini.
Kami sangat menyadari dalam proses penulisan laporan kasus ini masih jauh dari
kesempurnaan baik materi maupun metode penulisan. Namun demikian, kami telah
mengupayakan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki. Kami dengan rendah hati
dan dengan tangan terbuka menerima segala bentuk masukan, saran dan usulan guna
menyempurnakan tugas refreshing ini.
Kami berharap semoga tugas refreshing ini dapat bermanfaat bagi siapapun yang
membacanya.
Wassalamualaikum wr. wb
Penulis
BAB I
LAPORAN KASUS
Nama : Tn. N
Umur : 48 tahun
Agama : Kristen
1.2. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Sesak nafas sejak 2 jam sebelum masuk rumah sakit.
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke rumah sakit dengan keluhan sesak nafas sejak 3 jam sebelum masuk
rumah sakit. Pasien mengaku sesak sering dirasakan ketika malam hari terutama menjelang
subuh, pagi hari ketika cuaca dingin dan ketika pasien kelelahan. Pasien mengaku saat sesak
sering disertai dengan suara nafas berbunyi ngik-ngik (mengi). Pasien merasakan nafas terasa
berat. Nyeri dada atau dada terasa panas disangkal oleh pasien. Pasien mengaku sering
mengalami hal serupa sejak pasien masih muda dan dirasa bertambah berat akhir-akhir ini.
Pasien juga mengeluh batuk berdahak dan pilek sejak 3 hari SMRS, dahak berwarna bening
seperti berlendir dan tidak berdarah. Nyeri ulu hati (-), demam (-). Pasien mengaku dalam
seminggu ini, mengalami sesak 2 kali tetapi sesak yang paling berat dirasakan beberapa jam
SMRS, dan dalam sebulan ini dapat mengalami ≥ 3 kali sesak pada malam hari.
Saat pasien mengalami sesak, pasien merasa lebih nyaman duduk atau posisi setengah
duduk dibandingkan berbaring dan masih dapat berbicara. Menurut pasien aktivitas sehari-
harinya tidak terganggu bila hanya sesak ringan. Tetapi bila sesak cukup berat, membuat
pasien tidak bisa beraktivitas dan bekerja. Keluhan ini belum diobati karena obat habis dan
jarang kontrol akhir-akhir ini.
Riwayat asma (+) sejak kecil. Riwayat penyakit tekanan darah tinggi (-), kencing manis (-),
riwayat batuk lama (-)
Ayah dan ibu tidak memliki asma, tetapi pasien mengaku ayah pasien sering bersin-
bersin pada pagi hari. Saat ini tidak ada anak pasien yang sering mengalami sesak, sering
pilek di pagi hari, ataupun gatal-gatal setelah mengkonsumsi makanan tertentu.
Riwayat Pengobatan:
Pasien mengaku pernah 1 kali mengalami sesak nafas yang berat yang membuat pasien
harus ke IGD dan dilakukan nebulisasi. Biasanya ketika serangan dirasa ringan pasien hanya
mengobatinya dengan obat semprot.
Riwayat Psikososial
Pasien bekerja sebagai karyawan swasta. Waktu bekerja dari pukul 08.00-16.00.
Rumah pasien bersih, tidak berdebu. Pasien adalah seorang perokok, merokok sebanyak 6-8
batang perhari dan pasien mulai merokok sejak SMA usia 17 tahun.
o GCS : E4V5M6
Tanda Vital:
o Suhu : 36,6 oC
Status Generalis :
o Kepala : Normocephal
o Mata :
Simetris; konjungtiva : anemis (-/-), sclera : ikterus (-/-), refleks cahaya (+/+)
o Telinga :
- Bentuk : normal; lubang telinga : normal, sekret (-/-); nyeri tekan (-/-)
o Hidung :
- Simetris, deviasi septum (-); napas cuping hidung (-); perdarahan (-),
sekret (-).
- Penciuman normal.
o Mulut :
o Leher :
o Thorax :
Pulmo :
1. Inspeksi :
Bentuk simetris
2. Palpasi
Pergerakan dinding dada simetris, Deviasi trakea (-), Nyeri tekan (-)
3. Perkusi :
Sonor ( +/+)
4. Auskultasi :
Cor :
o Abdomen :
o Ekstremitas :
- Hangat (+); edema (-); deformitas (-); tremor (-); clubbing finger (-);
sianosis (-); petechie (-);
1.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hematokrit 48 % 40-50
MCH 29 pg 27-33
MCV 87 fL 82-98
DIFF COUNT
ELEKTROLIT
1.6. PENATALAKSANAAN
Non Medikamentosa
1.7. PROGNOSIS
2.2. Klasifikasi
Klasifikasi asma dapat dibagi berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola
keterbatasan aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit penting bagi
pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka panjang, semakin berat asma semakin
tinggi tingkat pengobatan. Pada umumnya, penderita asma sudah dalam masa pengobatan,
dan pengobatan yang telah berlangsung tetapi tidak adekuat. Pengobatan berguna untuk
mengubah gambaran klinis bahkan faal paru, oleh karena itu penilaian berat asma pada
penderita dalam pengobatan juga harus mempertimbangkan pengobatan itu sendiri.8
Klasifikasi asma stabil menurut PDPI:
Tabel 2.1 Klasifikasi beratnya asma berdasarkan gambaran klinis (penilaian awal
sebelum terapi)
Tabel 2.2 Klasifikasi beratnya asma berdasarkan gambaran klinis (dalam
pengobatan)
2.3. Patofisiologi
Obstruksi saluran napas pada asma merupakan kombinasi spasme otot bronkus,
sumbatan mukus, edema, dan inflamasi dinding bronkus. Obstruksi bertambah berat selama
ekspirasi karena secara fisiologis saluran napas menyempit pada fase tersebut (Gambar 2.1).
Hal ini mengakibatkan udara distal tempat terjadinya obstruksi terjebak tidak bisa diekspirasi.
Selanjutnya terjadi peningkatan volume residu, kapasitas residu fungsional (KRF) dan pasien
akan bernapas pada volume yang tinggi mendekati kapasitas paru total (KPT). Keadaan
hiperinflasi ini bertujuan agar saluran napas tetap terbuka dan pertukaran gas berjalan lancar.
Untuk mempertahankan hiperinflasi ini diperlukan otot-otot bantu napas.9
Glukokortikosteroid sistemik
Kromolin (sodium kromoglikat dan nedokromil sodium)
Metilsantin
Agonis β2 kerja lama (LABA)
Leukotriene modifiers
b. Pelega (reliver)
Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos, memperbaiki
dan atau menghambat bronkokonstriksi yang berkaitan dengan gejala akut seperti
mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi jalan napas atau
menurunkan hiperesponsif jalan napas.7,8
- Agonis beta-2 kerja singkat
- Metilsantin
- Antikolinergik (atrophine sulphate, ipratropium, tiotropium, dan lain-lain)
- Adrenalin
c. Add-on therapy;1
- Optimalkan dosis ICS/LABA
- Kortikosteroid oral
- Terapi tambahan tanpa phenotyping (Long-acting muscarinic antagonist
bronchodilator, tiotropium dan controller seperti theophylline dan
LTRAs)
- Terapi dengan sputum
- Terapi tambahan dengan fenotip (terapi anti-IL5 (mepolizumab,
reslizumab) dan LTRAs)
- Terapi non-farmakologi
- Berhenti merokok
- Aktivitas fisik
- Menghindari paparan asma akibat kerja
- Menghindari pengobatan yang dapat membuat asma menjadi memburuk
(NSAID termasuk aspirin)
- Diet yang sehat
- Menghindari alergen yang berasal dari luar dan dalam
- Menurunkan berat badan
- Alergen immunotherapy
- Breathing exercise
- Menghindari polusi udara
- Vaksinasi
- Bronchial thermoplasty
2. Penatalaksanaan serangan akut
Eksaserbasi merupakan perubahan gejala dan penurunan fungsi paru secara progresif.
Penurunan aliran udara ekspirasi dapat diukur dengan pengukuran fungsi paru seperti
APE atau volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP ).1 Pengobatan diberikan
bersamaan untuk mempercepat resolusi serangan akut. Terdapat 2 penanganan
serangan asma yaitu pada primary care dan emergency department.1
a. Primary care
Menilai keparahan eksaserbasi, riwayat dan pemeriksaan fisik
Jika pasien menunjukkan tanda-tanda eksaserbasi parah atau mengancam jiwa,
pengobatan dengan SABA, kontrol oksigen dan berikan kortikosteroid
sistemik harus dimulai saat transfer pasien yang mendesak ke fasilitas
perawatan dimana pemantauan dan keahlian lebih mudah didapat. Menilai
riwayat penyakit seperti waktu dan penyebab eksaserbasi, tingkat keparahan
gejala asma, gejala anafilaksis, faktor risiko asma yang dapat menyebabkan
kematian, semua obat pelega dan pengontrol saat ini, termasuk dosis, pola
kepatuhan, perubahan dosis terbaru dan respons terhadap terapi saat ini.
Pemeriksaan fisik berupa terdapat gejala keparahan eksaserbasi, pemeriksaan
tanda vital, pulse oximetry (saturasinya <90%), komplikasi (anafilaksis,
pneumonia, pneumotoraks), tanda-tanda kondisi alternatif yang bisa
menjelaskan sesak napas akut (gagal jantung, disfungsi saluran napas bagian
atas, benda asing yang dihirup atau emboli paru).1
Inhaled short-acting beta₂ -agonist
4-10 puffs setiap 20 menit (untuk 1 jam pertama). Setelah 1 jam, berikan 4-10
puffs setiap 3-4 jam hingga 6-10 puffs setiap 1-2 jam. APE > 60-80%
diprediksi atau terbaik selama 3-4 jam.1
Kontrol oksigen (jika ada)
Kontrol oksigen sampai saturasi oksigen 93-95%.1
Kortikosteroid sistemik
OCS diberikan jika pasien mengalami perburukan. Dosis rekomendasi 1 mg
prednisolone/kg/hari atau dosis maksimal 50 mg/hari selama 5-7 hari.1
Antibiotik (tidak direkomendasikan)
Bukti tidak mendukung peran antibiotik dalam eksaserbasi asma kecuali ada
bukti kuat infeksi paru (misalnya demam dan dahak purulen atau bukti
radiografi pneumonia). Pemberian kortikosteroid harus dilakukan secara
agresif sebelum antibiotik (dipertimbangkan).1
Lihat responnya dan follow up.1
Gambar 2.5 Manajemen asma akut di primary care
b. Emergency department
Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik
Mengindentifikasi riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik sama seperti pada
primary care.1 Pada komplikasi, selain anafilaksis, pneumonia dan
pneumotoraks di Emergency department juga dilihat apakah terdapat
atelektasis dan pneumomediastinum.1
Penilaian objektif;1
- Pengukuran fungsi paru: pemeriksaan ini sangat dianjurkan. Jika
memungkinkan, dan tanpa menunda pengobatan, APE atau VEP harus
dicatat sebelum pengobatan dimulai.
- Saturasi oksigen: jika < 90% harus dilakukan terapi segera
- Pengukuran gas darah arteri/AGDA tidak rutin dilakukan. Dilakukan jika
APE atau VEP < 50% atau pada pasien yang tidak respon penanganan
awal atau pada pasien yang mengalami perburukan.
- Rontgen toraks tidak dianjurkan secara rutin.
Oksigen
Berikan oksigen untuk mencapai kadar saturasi oksigen 93-95%, oksigen
harus diberikan dengan nasal kanul atau mask.1
SABA inhalai
Terapi SABA inhalasi harus diberikan secara berkala untuk pasien yang
menderita asma akut.1
Epinefrin (untuk anafilaksis)
Epinefrin intramuscular diindikasikan sebagai terapi tambahan standar untuk
asma akut yang terkait dengan anafilaksis dan angioedema. Hal ini tidak
secara rutin diindikasikan untuk eksaserbasi asma lainnya.1
Kortikosteroid sistemik
Penggunaan kortikosteroid sistemik sangat penting di unit gawat darurat, jika:1
- Terapi awal SABA gagal mencapai perbaikan gejala yang berlangsung
lama
- Eksaserbasi berkembang saat pasien memakai OCS
- Pasien memiliki riwayat eksaserbasi sebelumnya yang memerlukan
OCS
Dosis: dosis harian OCS 50 mg prednisolone sebagai dosis tunggal
pada pagi hari atau 200 mg hydrocortisone dalam dosis terbagi adekuat
pada kebanyakan pasien selama 5-7 hari.1
Kortikosteroid inhalasi
Di UGD pemberian ICS dosis tinggi yang diberikan dalam satu jam pertama
setelah presentasi mengurangi kebutuhan rawat inap pada pasien yang tidak
menerima kortikosteroid sistemik.1
Terapi lain;1
- Ipratropium bromide
- Aminophylline dan theophylline
- Magnesium
- Helium oxygen therapy
- Leukotriene receptor antagonists
- Kombinasi ICS/LABA
- Antibiotik (tidak disarankan)
Bukti tidak mendukung peran antibiotik dalam eksaserbasi asma kecuali
ada bukti kuat infeksi paru (misalnya demam dan dahak purulent atau
bukti radiografi pneumonia).1
- Sedatif
- Non-invasie ventilation (NIV)
Lihat responnya.1
Gambar 2.6 Manajemen asma akut di Emergency Department
Kriteria rawat inap pada penderita di Unit Gawat Darurat
Pertimbangan untuk memulangkan atau rawat inap pada penderita di
gawat darurat, berdasarkan berat serangan, respon pengobatan baik klinis
maupun faal paru. Berdasarkan penilaian fungsi, pertimbangan pulang atau rawat
inap, adalah;1
Penderita rawat inap bila VEP atau APE sebelum pengobatan awal < 25%
nilai terbaik/prediksi; atau VEP / APE < 40% nilai terbaik / prediksi
setelah pengobatan awal diberikan.
Penderita berpotensi untuk dapat dipulangkan, bila VEP / APE 40-60%
nilai terbaik / prediksi setelah pengobatan awal, setelah diyakini faktor
risiko pasien dan bersedia untuk follow up.
Penderita dengan respon setelah pengobatan awal memberikan VEP /
APE > 60% nilai terbaik / prediksi, direkomendasikan untuk dipulangkan
setelah diyakini faktor risiko dan bersedia untuk follow up.
1 Global Initiative for Asthma (GINA). Global strategy for asthma management and
prevention. Portland: NHLBI Publications: 2017;14-88
2 World Health Organization. Asthma. Geneva, Switzerland. 2017. [cited 21 Feb 2020].
Available from: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs307/en.
3 Kampe M, Lisspers K, Stallberg B, Sundh J, Montgomery S, Janson C. Determinants of
uncontrolled asthma in a Swedish asthma population: cross sectional observational study.
European Clinical Respiratory Journal. 2014;1:1-9
4 Candrawati N, Amin M. Faktor yang berpengaruh pada tingkat kontrol asma di RSUD
Dr. Soetomo Surabaya. Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi, Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga, RSUD Dr. Soetomo, Surabaya. J Respir Indo.
2016;36:41-6
5 Widjaya RM, Fachri M. Gambaran pasien asma berbagai derajat dewasa dengan faktor
pencetus serangan asma. J Indon Med Assoc. 2014;64:558-63
6 Ali Z, Ulrik CS. Obesity and asthma: a coincidence or a causal relationship? a systematic
review. Respiratory Medicine. 2013;20:1-14
7 Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Pusat data dan informasi kementrian
kesehatan RI. Kemenkes RI. 2015;1-7
8 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Asma pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di
Indonesia. Jakarta: PDPI; 2006.p.3-103.
9 Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Syam AF. Ilmu penyakit dalam
jilid I edisi ke-6. Jakarta: Internal Publishing; 2015;478-88.
10 Rengganis, I. Diagnosis dan tatalaksana asma bronkial. Majalah Kedokteran Indonesia.
Jakarta; Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia/RSCM. 2008;58(11):444-453.
11 Laksana MA, Berawi KN. Faktor – faktor yang berpengaruh pada timbulnya kejadian
sesak napas penderita asma bronkial. Lampung. Skripsi Unlam. 2015;64-7.
12 Bachtiar D, Wiyono WH, Yunus F. Proporsi asma terkontrol di klinik asma RS
Persahabatan Jakarta 2009. J Respir Indones. 2011;31(2):90-100.