Anda di halaman 1dari 12

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadiratan Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta
taufik dan hidayah-Nya Kami dapat menyelesaikan laporan Mini Riset dengan tiga buah
buku. saya berterima kasih kepada Bapak Dr. Basyaruddin, M.Pd. Selaku Dosen mata
kuliah Pembelajaran Penilsisn Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Kelas Reguer
C 2018 UNIMED yang telah memberikan tugas ini kepada Kami.

Kami sangat berharap kiranya Mini Riset ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Kami
juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam Mini Riset ini terdapat kekurangan dan jauh
dari kata sempurna. Oleh sebab itu, Kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi
perbaikan Mini Riset yang telah Kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada
sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.

Medan, 4 Desember 2019

Penulis
DAFTAR ISI
Hal
aman
KATA PENGANTAR.........................................................................................................i
DAFTAR ISI......................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................2
1.3 Tujuan...............................................................................................................2
1.4 Tinjauan Pustaka..............................................................................................3
1.5 Metodologi.......................................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN....................................................................................................6
BAB III PENUTUP............................................................................................................9
3.1 Simpulan....................................................................................................................9
3.2 Saran..........................................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................11
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pendidikan Bahasa Indonesia diharapkan menjadi wahana bagi para peserta untuk
mempelajari cara membaca, menulis, dan menjawab pertanyaan. Pendidikan Bahasa
Indonesia juga diterapkan di dalam  kehidupan sehari-hari. Pembelajaran Bahasa Indonesia
sebaiknya dilakukan secara inkuiri ilmiah (scientific inquiry) untuk menumbuhkan
kemampuan berfikir, bekerja dan bersikap ilmiah serta mengkomunikasikannya sebagai
aspek penting kecakapan hidup.

Dalam Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional diungkapkan bahwa tujuan yang hendak dicapai dalam pendidikan nasional
adalah sumber daya manusia yang memiliki kekuatan spiritual atau keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan negara.

Pengajaran Bahasa Indonesia mempunyai ruang lingkup dan tujuan yang menumbuhkan
kemampuan mengungkapkan pikiran dan perasaan dengan menggunakan  bahasa baik dan
benar, pada hakikatnya pembelajaran Bahasa Indonesia diarahkan untuk mempertajam
kepekaan perasaan siswa.

Secara khusus pembelajaran bahasa secara komunikatif menekankan pada dikuasainya


keterampilan berkomunikasi oleh siswa, yaitu mampu memahami dan menggunakan
bahasa sebagai alat komunikasi. Untuk memgukur ketercapaian keterampilan dan hasil
belajar siswa dibutuhkan adanya suatu penialain. Penilaian dalam pembelajaran dapat
berupa tes dan non tes. Dalam implementasi di sekolah sering terjadi kesalahpahaman
dalam penilaian, sehingga berakibat hasil penilaian kurang sesuai dengan kenyataannya.
Selain itu juga untuk menilai dibutuhkan beberapa isntrumen untuk mendapatkan hasil
penilaian yang memuaskan. Berdasarkan latar belakang Penilaian Kompetensi Berbahasa
dan besastra maka kami menyusun makalah mini riset sesuai dengan materi tersebut.
1.2 Rumusan Masalah

a. Bagaimana memahami/menguasai kompetensi yang diberikan.


b. Bagaimana cara dalam menyelesaikan/menanggapi sebuah tes kebahasaan dan
kesastraan.
c. Bagaimana penilaian terhadap kompetensi kebahasaan dan kesastraan.

1.3 Tujuan

a. Mengetahui bagaimana siswa dapat memahami/menguasai kompetensi yang


diberikan.
b. Mengetahui bagaimanadalam menyelesaikan/menanggapi sebuah tes kebahasaan
dan kesastraan.
c. Membuat penilaian dalam kompetensi kebahasaan dan kesastraan.
BAB II

PEBAHASAN

Penilaian proses dan hasil belajar bahasa siswa dapat dilakukan dengan teknik tes dan non
tes. Teknik tes dapat berupa tes tertulis, tes lisan, dan tes praktik atau tes kinerja yang
digunakan untuk mengukur proses dan hasil belajar aspek kognitif dan psikomotor. Teknik
non tes dapat berupa observasi, penugasan perseorangan atau kelompok, angket, dan
bentuk lain yang sesuai dengan karakteristik kompetensi dan tingkat perkembangan peserta
didik, biasanya digunakan untuk  aspek penilaian psikomotor dan afektif.

A.   Pendekatan Tes Bahasa

                     Tes kompetensi bahasa memusatkan perhatian pada hasil pemikiran ilmu


bahasa pada pengukuran tingkat penguasaan kemampuan berbahasa. Dalam kajian dikenal
adanya beberapa cara pandang dan unsur yang dianggap penting sesuai dengan
perkembangan ilmu. Tes bahasa mengenal 6 bentuk pendekatan: 1) pendekatan tradisional;
2) pendekatan diskret; 3) pendekatan integratif; 4) pendekatan pragmatik;  5) pendekatan
komunikatif, dan 6) pendekatan otentik.

1)   Pendekatan Tradisional

Pendekatan tes bahasa tradisional melakukan tes tidak berdasarkan patokan atau rambu-
rambu baku tentang jenis kemampuan bahasa yang dijadikan sasaran, cara mengetes, dan
bagaimana cara menilainya semuanya diserahkan kepada penyelenggara tes. Biasanya
pendekatan tradisonal lebih mengutamakan tes tata bahasa sebagaimana proses
pembelajarannya. Dalam penerapannya tes bahasa pendekatan tradisional lebih banyak
diwarnai dengan berbagai bentuk subjektivitas dalam pemilihan kemampuan berbahasa
yang dijadikan sasaran, penetapan bahan dan isi tes, serta cara penilaiannya.

2)   Pendekatan Diskret
Discrete point test:  merupakan tes yang hanya menekankan/ menyangkut satu aspek
kebahasaan pada satu waktu. Tiap butir tes hanya untuk mengukur satu aspek kebahasaan:
fonologi, morfologi, sintaksis, kosakata. Tes diskret juga dapat menyangkut tes
keterampilan berbahasa. Dasar pemikiran tes diskret (juga dalam hal pengajaran) adalah
teori strukturalisme (linguistik) dan behaviorisme (psikologi). Kedua teori itu beranggapan
bahwa keseluruhan dapat dipecah-pecah ke dalam bagian-bagian atau, keseluruhan adalah
jumlah dari bagian-bagian. Tiap bagian tersebut (kebahasaan dan keterampilan) dapat
diajarkan dan diteskan secara terpisah. Pembelajaran dan pengujian kebahasaan dalam teori
ini mengabaikan konteks.

Pandangan bahwa teori tes diskret dapat memecah-mecah unsur kebahasaan dan
menghadirkannya dalam keadaan terisolasi, dianggap sebagai kelemahan tes diskret yang
paling mencolok. Orang tidak mungkin belajar bahasa dalam situasi yang mutlak diskret
dan terisolasi (tanpa konteks). Lagi pula dalam hal belajar bahasa, keseluruhan belum tentu
sama jumlah dari bagian-bagian  ada kompetensi yang harus dimiliki seseorang yang di
luar kebahasaan (pendekatan komunikatif). Kompetensi komunikatif memprasyaratakan
kompetensi-kompetensi lain selain unsur bahasa, misalnya kompetensi sosial (faktor sosio-
kultural).  Faktor sosio-kultural memegang peran penting dalam menunjang kompetensi
komunikatif seseorang. Tes diskret gagal untuk mengukur kompetensi komunikatif yang
justru memprasyaratkan adanya keterlibatan banyak unsur kebahasaan dan faktor yang di
luar bahasa.

Persoalan yang muncul adalah  apakah tes diskret tidak perlu lagi dipergunakan di sekolah
untuk mengukur kadar keberhasilan belajar bahasa siswa?  Teori baru dibangun atau
sebagai reaksi teori sebelumnya; yang baru tak dapat sama sekali meninggalkan yang lama.
Pendekatan komunikatif dalam pembelajaran bahasa tak dapat sama sekali meninggalkan
pandangan strukturalisme. Dalam tahap awal pembelajaran bahasa bagi orang dewasa,
pengajaran unsur struktural bahasa masih amat dibutuhkan. Orang tidak akan bisa begitu
saja diajak berbicara bahasa asing sebelum memiliki pengetahuan tentang sistem bahasa
itu. Artinya, pengajaran unsur bahasa masih diperlukan. Jika pengajaran unsur struktur
masih dilakukan, tes diskret mau tidak mau masih juga diperlukan atau minimal untuk
tujuan remidial.

3)   Pendekatan Integratif
Integrative test merupakan bentuk tes yang mengukur lebih dari unsur kebahasaan atau
satu keterampilan berbahasa dalam satu waktu. Dalam tes integratif, ada beberapa unsur
kebahasaan atau keterampilan berbahasa yang harus harus dilibatkan, dan itu dipadukan.
Dalam satu kali tes minimal ada dua aspek/keterampilan yang diukur. Aspek-aspek
kebahasaan tidak saling dipisahkan, melainkan dipadukan sehingga ada keterkaitan antar
unsur/ antar keterampilan. Bahasa yang alamiah bukanlah kumpulan dari unsur-unsur
bahasa semata. Dalam tes keterampilan bahasa, bahkan akan lebih baik jika juga
mempertimbangkan aspek konteks. Tes integratif memang sudah memadukan beberapa
unsur kebahasaan, tetapi belum tentu kontekstual. Tes yang kontekstual lazimnya bersifat
pragmatik/komunikatif. Tes pragmatik/komunikatif pasti integratif, tetapi tes integratif
belum tentu pragmatik.

Tes integratif yang tidak kontekstual masih terisolasi, mirip-mirip dengan tes diskret,
belum mencerminkan penggunaan bahasa yang alamiah. Berbagai tes unsur kebahasaan
yang diteskan minimal berada dalam konteks kalimat, atau konteks yang lebih besar.
Dilihat dari sudut pembelajaran bahasa dewasa ini, tes integratif terlihat lebih menjanjikan
daripada tes diskret. Walau demikian, pemilihan tes haruslah disesuaikan dengan
pendekatan, metode, dan teknik, bahkan juga bahan pembelajaran, yang dipergunakan
dalam pembelajaran bahasa di kelas.

4)   Pendektan Tes Pragmatik

Tes pragmatik berangkat dari pandangan bahwa bahasa adalah alat berkomunikasi, maka
seseorang dinyatakan memiliki kompetensi berbahasa adalah jika mampu mempergunakan
bahasa itu dalam konteks yang sesungguhnya. Tes pragmatik merupakan pendekatan dalam
tes keterampilan berbahasa untuk mengukur seberapa baik pembelajar atau peserta didik
mampu mempergunakan elemen bahasa sesuai dengan konteks berbahasa yang
sesungguhnya.

Tes pragmatik adalah prosedur/tugas yang menuntut pembelajar menghasilkan urutan


unsur bahasa sesuai dengan pemakaian bahasa secara nyata, dan sekaligus menuntut
pembelajar menghubungkannya dengan konteks ekstralinguistik. Dalam tes pragmatik tak
ada lagi tes struktur/kosakata secara tersendiri, tetapi semua unsur kebahasaan terlibat dan
langsung dikaitkan dengan unsur ekstralinguistik sekaligus. Dalam kehidupan berbahasa
ada dua hal yang terlibat: konteks linguistik dan ekstralinguisik. Konteks linguistik: bahasa
sebagai lambang verbal dengan segala unsurnya

Konteks ekstralinguistik merupakan dunia atau sesuatu yang di luar bahasa, sesuatu yang
disampaikan lewat media bahasa. Dalam kehidupan berbahasa terdapat hubungan
sistematis dan timbal-balik antara kedua konteks tersebut. Ada berbagai hal di luar bahasa
yang berpengaruh terhadap pemilihan wujud bahasa dalam berkomunikasi, dan itulah yang
disebut sebagai faktor penentu atau pragmatik. Faktor pragmatik/faktor penentu ada
banyak jenisnya, misalnya siapa yang berkomunikasi, apa tujuan komunikasi, masalah
yang dikomunikasikan, tingkat formalitas ketika komunikasi terjadi, dan lain-lain.

Tes pragmatik mengukur kemampuan berbahasa pembelajar dalam konteks yang


sesungguhnya. Namun, itu harus ada kesesuaian dengan metode pembelajaran bahasa.
Pembelajaran bahasa haruslah menekankan pada kemampuan berbahasa, bukan sistem
bahasa. Dengan begitu ada keselarasan antara model pembelajaran dan model penilaian.
Namun, pada praktiknya tidak mudah mengreaikan pembelajaran bahasa yang benar-benar
kontekstual dan komunikatif. Artinya, pembelajaran “penggunaan bahasa”, kemampuan
berbahasa, masih saja artifisial, namun itu sudah lebih baik daripada yang benar-benar
diskret dan terisolasi. Tes pragmatik yang masih berwujud penggunaan dalam konteks
artifisial juga sudah lebih baik daripada yang benar-benar diskret yang hanya bertujuan
mengukur pengetahuan tentang sistem bahasa.

Ada banyak model dan contoh, dan salah satunya adalah tes tescloze (cloze test). Tes jenis
ini baik dipakai untuk pemahaman bacaan; tes pemahaman wacana dengan tes objektif
berkorelasi secara positif dengan hasil tes cloze. Tes cloze adalah tes yang berupa
pengisian kembali kata-kata ke-n yang sengaja dihilangkan dalam sebuah wacana. Kata-
kata yang dihilangkan biasanya kata yang ke-5, ke-6, ke-7. Untuk dapat mengisi tempat-
tempat kosong, pembelajar harus memahami makna wacana. Teknik penyekoran: teknik
kata eksak (jawaban siswa harus sama dengan kata asli yang dihilangkan) dan teknik
kelayakan konteks (jawaban siswa tidak harus persis dengan kata asli sepanjang dimungkin
secara konteks).

Teknik kelayakan konteks lebih menguntungkan; semua kata yang mempunyai peluang
sebagai jawaban benar diperingkat (diskala; 1-4).  Tescloze juga baik untuk menilai tingkat
kesulitan wacana bagi pembelajar level tertentu: jika jawaban benar siswa ≥75%, wacana
itu tergolong mudah; jika ≤20% wacana tersebut tergolong sulit. Jika yang diteskan itu
sampel dari wacana yang panjang, hasil tes itu mencerminkan tingkat kesulitan wacana
secara keseluruhan.

5)   Pendekatan Tes Komunikatif

Sebenarnya ada tumpang-tindih antara tes pragmatik dan tes komunikatif; bahkan tak
jarang keduanya disamakan. Keduanya sama-sama berpandangan bahwa pembelajaran dan
tes bahasa haruslah berangkat dari penggunaan bahasa yang sesungguhnya, bukan tes
tentang sistem bahasa dan dalam keadaan terisolasi. Kedua jenis tes ini sama-sama
menekankan pentingnya tes kemampuan berbahasa (kinerja bahasa, performansi bahasa),
dan bukan tes terhadap unsur-unsur bahasa (diskret). Tampaknya, adanya perbedaan itu
lebih disebabkan oleh penamaan yang diberikan oleh orang yang berbeda. Tes komunikatif
atau tes kompetensi komunikatif terlihat lebih ketat memprasyaratkan adanya konteks
pemakaian bahasa.

Tes komunikatif dilakukan sejalan dengan penggunaan pendekatan komunikatif dalam


pembelajaran bahasa. Pendekatan ini menekankan pada pembelajaran bahasa sesuai dengan
fungsi-fungsi bahasa untuk keperluan berkomunikasi. Penggunaan bahasa (atau
komunikasi dengan bahasa) dapat bersifat aktif-reseptif (menyimak, membaca) dan aktif-
produktif (berbicara, menulis). Dalam sebuah tes komunikatif terlibatkan semua aspek
bahasa (whole language) sebagaimana halnya orang berkomunikasi yang juga melibatkan
seluruh unsur kebahasaan. Penggunaan bahasa yang otentik (authentic language)
menjadisemacam keniscayaan, dan itu juga terlihat dalam tes bahasa. Bahasa otentik
adalah bahasa yang dijumpai dalam penggunaan bahasa yang sesungguhnya dalam
berkomunikasi sehari-hari. Hal yang demikian sebenarnya juga menjadi tuntutan tes
pragmatik.  

Wujud tes komunikatif adalah tes pemahaman dan penggunaan bahasa dalam konteks yang
jelas; jadi ia berupa tes kemampuan berbahasa (skills). Konteks haruslah dikreasikan
sedemikian rupa dengan melibat berbagai faktor penentu sehingga pembelajar tahu apa
wujud bahasa yang mesti dipergunakan sesuai dengan konteks itu. Misalnya, tes
pemahaman terhadap sebuah dialog (menyimak), maka harus dapat dikenali siapa yang
berbicara, bagaimana situasi, topik pembicaraan, dan lain-lain. Tes terhadap komponen
bahasa, misalnya kosakata atau struktur, jika diperlukan, boleh dilakukan tetapi tetap harus
berdasarkan konteks; hal ini misalnya terkait dengan tujuan remidial . Artinya, kosakata
dan struktur itu diambil dari konteks tertentu. Dalam tes prakomunikatif, terutama dalam
tes pembelajaran bahasa asing, tes komponen kebahasan tentu masih diperlukan.

6)  Tes Otentik

Sebagaimana halnya portofolio, sejak era KBK/KTSP, penilaian otentik (authetic


assessment) kini sedang naik daun. Dalam arti disarankan dan banyak digunakan untuk
mengukur hasil pembelajaran khususnya pembelajaran bahasa. Portofolio juga merupakan
salah bentuk penilaian otentik. Penilaian otentik mementingkan penilaian proses dan hasil
sekaligus. Dengan demikian, seluruh tampilan siswa dalam rangkaian KBM dapat dinilai
secara objektif, apa adanya, dan tidak semata-mata hanya berdasarkan hasil akhir (produk)
saja.

Lagi pula amat banyak kinerja siswa yang ditampilkan selama KBM sehingga penilaiannya
haruslah dilakukan selama dan sejalan dengan berlangsungnya kegiatan pembelajaran.
Sejalan dengan teori Bloom, penilaian haruslah mencakup ranah kognitif,afektif, dan
psikomotorik. Cara penilaian juga bermacam-macam, nontes dan tes dan kapan saja
Misalnya dengan cara: tes (ulangan), penugasan, wawancara, pengamatan, angket, catatan
lapangan/harian, portofolio, dan lain-lain. Penilaian yang dilakukan lewat berbagai cara
(model), menyangkut berbagai ranah, serta meliputi proses dan produk inilah yang
kemudian disebut sebagai penilaian otentik. Otentik dapat berarti dan sekaligus menjamin
objektivitas,  bersifat nyata dan konkret, benar-benar hasil tampilan siswa, serta akurat dan
bermakna.

B. Hasil Proyek

Sesuai dengan ranah keterampilan berbahasa, bentuk tes kebahasaan diterapkan dalam
keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Kelompok kami membuat
suatu bentuk tes dengan membuat lomba-lomba di kelas dalam mengetahui sejauh mana
kemampuan siswa dalam keterampilan-keterampilan tersebut. Selain itu , kami juga
memberikan apresiasi (hadiah) bagi peserta didik yang berani menjawab dan memberi
tanggapan. Adanya komunikasi dan interaksi antara kami danpeserta didik membuat
hubungan yang baik dalam berbagi argumen dan pikiran
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Penilaian proses dan hasil belajar bahasa siswa dapat dilakukan dengan teknik tes dan non
tes. Teknik tes dapat berupa tes tertulis, tes lisan, dan tes praktik atau tes kinerja yang
digunakan untuk mengukur proses dan hasil belajar aspek kognitif dan psikomotor. Teknik
non tes dapat berupa observasi, penugasan perseorangan atau kelompok, angket, dan
bentuk lain yang sesuai dengan karakteristik kompetensi dan tingkat perkembangan peserta
didik, biasanya digunakan untuk  aspek penilaian psikomotor dan afektif.
                     Tes kompetensi bahasa memusatkan perhatian pada hasil pemikiran ilmu
bahasa pada pengukuran tingkat penguasaan kemampuan berbahasa. Dalam kajian dikenal
adanya beberapa cara pandang dan unsur yang dianggap penting sesuai dengan
perkembangan ilmu. Tes bahasa mengenal 6 bentuk pendekatan: 1) pendekatan tradisional;
2) pendekatan diskret; 3) pendekatan integratif; 4) pendekatan pragmatik;  5) pendekatan
komunikatif, dan 6) pendekatan otentik.

Sesuai dengan ranah keterampilan berbahasa, bentuk tes kebahasaan diterapkan dalam
keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Kelompok kami membuat
suatu bentuk tes dengan membuat lomba-lomba di kelas dalam mengetahui sejauh mana
kemampuan siswa dalam keterampilan-keterampilan tersebut. Selain itu , kami juga
memberikan apresiasi (hadiah) bagi peserta didik yang berani menjawab dan memberi
tanggapan. Adanya komunikasi dan interaksi antara kami danpeserta didik membuat
hubungan yang baik dalam berbagi argumen dan pikiran.

B. Rekomendasi

Berdasarkan kesimpulan pada bab ini mengenaipenilaian pembelajaran maka guru dapat
mengetes siswa melalau dua cara yaitu melalui tes dan non tes. Hal ini tentu saja bisa kita
manfaatkan agar guru dapat mengetahui keberhasilan dari suatu pembelajaran . Kami
merekomendasikan agar dalam tes yang dibuat guru lebih mengapresiasi siswa agar siswa
tidak merasa jenuh dan menjadi semangat mengikuti pembelajaran. Dan kami juga
berharap guru dapat menerima semua tanggapan atau aspirasi siswa karena itu termasuk
cara mereka melatih berbicara dan kepercayaan
DAFTAR PUSTAKA

Kurnoati, Dian. 2016. Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Siswa SMP di Kabupaten
Jember dalam Menyelesaikan Soal Berstandar PISA. Volume 20, No 2. P-ISSN:
1410-4725. FKIP Pmipa Universitas Jember. Jember.
Lailly, Nur Rochman. 2015. Analisis Soal Tipe Higher Order Thinking Skill (HOTS)
dalam Soal UN Kimia SMA Rayon B tahun 2012/2013. Vol. XI No. 1, pril 2015.
ISSN 1829-5266. Prodi Pendidikan Kimia, FKIP Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga. Yogyakarta.
Novita, Dian. 2014. Artikel Ilmiah Analisis Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Siswa
Dengan Gaya Belajar Tipe Investigatif Dalam Pemecahan Masalah Matematika
Kelas VII di Smp N 10 Kota Jambi. Fkip Universitas Jambi.
Nurgiyantoro, Burhan. 2009. Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra.
Yogyakarta: BPFE.
Ramli, Murni. 2015. Implementasi Riset dalam Pengembangan Higher Order Thinking
Skills pada Pendidikan Sains. Seminar Nasional Pendidikan Sains V. ISSN: 2407-
4659. Magister Pendidikan Biologi Universitas Sebelas Maret. Solo.
Setiawati, Euis. 2014. Mengembangkan Kemampuan Berpikir Logis, Kreatif, dan Habits
of Mind Matematis melalui pembelajaran berbasis Masalah. Universitas
Pendidikan Indonesia. Bandung.
Widodo, Tri., Kandawarti, Sri. 2013. Higher Order Thinking Berbasis Pemecahan
Masalah untuk Meningkatkan Hasil Belajar Berorientasi Pemecahan Masalah
untuk Meningkatkan Hasil Belajar Berorientasi Pembentukan Karakter Siswa.
Fmipa Unnes. Semarang.

Anda mungkin juga menyukai