Anda di halaman 1dari 17

TUGAS KEWARGANEGARAAN

DISUSUN OLEH :

ILYAS INZAGI

A1A019101

ILMU EKONOMI STUDI

PEMBANGUNAN

FAKULTAS EKONOMI

DAN BISNIS
MASALAH TENTANG IPTEK
Keberhasilan negara-negara baru maju di Asia Timur tidak dapat diulang
dengan mudah di negara berkembang tapi perlu diciptakan kondisi tertentu
dan berupaya mengatasi masalah-maslah dalam pengembangan IPTEK seperti
akan diuraikan di bawah ini:
1.      Keterbatasan Sumber Daya Iptek
Masih terbatasnya sumber daya iptek tercermin dari rendahnya kualitas
SDM dan kesenjangan pendidikan di bidang iptek. Rasio tenaga peneliti
Indonesia pada tahun 2001 adalah 4,7 peneliti per 10.000 penduduk, jauh lebih
kecil dibandingkan Jepang sebesar 70,7. Selain itu rasio anggaran iptek
terhadap PDB sejak tahun 2000 mengalami penurunan, dari 0,052 persen
menjadi 0,039 persen pada tahun 2002. Rasio tersebut jauh lebih kecil
dibandingkan rasio serupa di ASEAN. Sementa. Kecilnya anggaran iptek
berakibat pada terbatasnya fasilitas riset, kurangnya biaya untuk operasi dan
pemeliharaan.
2.      Belum Berkembangnya Budaya Iptek
Budaya bangsa secara umum masih belum mencerminkan nilai-nilai iptek
yang mempunyai penalaran obyektif, rasional, maju, unggul dan mandiri. Pola
pikir masyarakat belum berkembang ke arah yang lebih suka mencipta
daripada sekedar memakai, lebih suka membuat daripada sekedar membeli,
serta lebih suka belajar dan berkreasi daripada sekedar menggunakan
teknologi yang ada.
3.      Belum Optimalnya Mekanisme Intermediasi Iptek
Belum optimalnya mekanisme intermediasi iptek yang menjembatani
interaksi antarakapasitas penyedia iptek dengan kebutuhan pengguna.
Masalah ini dapat terlihat dari belum tertatanya infrastruktur iptek, seperti
institusi yang mengolah dan menterjemahkan hasil pengembangan iptek
menjadi preskripsi teknologi yang siap pakai untuk difungsikan dalam sistem
produksi.
4.      Lemahnya Sinergi Kebijakan Iptek
Lemahnya sinergi kebijakan iptek, menyebabkan kegiatan iptek belum
sanggupmemberikan hasil yang signifikan. Kebijakan bidang pendidikan,
industri, dan iptek belumterintegrasi sehingga mengakibatkan kapasitas yang
tidak termanfaatkan pada sisi 15 penyedia, tidak berjalannya sistem transaksi,
dan belum tumbuhnya permintaan dari sistem pengguna yaitu industri.
Disamping itu kebijakan fiskal juga dirasakan belum kondusif
bagi pengembangan kemampuan iptek.

5.      Belum Terkaitnya Kegiatan Riset dengan Kebutuhan Nyata


Kegiatan penelitian yang tidak didorong oleh kebutuhan penelitian yang
jelas dan eksplisit,menyebabkan lembaga-lembaga litbang tidak memiliki
kewibawaan sebagai sebuah instansi yang memberi pijakan saintifik bagi
kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah. Salah satu dampak langsung
dengan adanya kegiatan riset yang tidak didasari oleh kebutuhan yang jelas
adalah terjadinya inefisiensi yang luar biasa akibat duplikasi penelitian atau
plagiarisme.
Dampak lainnya adalah merapuhnya budaya penelitian sebagai pondasi
kelembagaanristek, seperti yang terjadi pada sektor pendidikan. Pendidikan di
Indonesia dapat dikatakan telah gagal membudayakan rasa ingin tahu, budaya
belajar dan apresiasi yang tinggi pada pencapaian ilmiah.
6.      Belum Maksimalnya Kelembagaan Litbang
Kelembagaan litbang yang belum dapat berfungsi secara maksimal,
disebabkan karenamanajemen yang lemah. Seorang peneliti yang hebat belum
tentu memiliki ketrampilan dan sikap manajerial yang dibutuhkan untuk
memimpin sebuah lembaga litbang. Selain itu perkembangan manajemen
penelitian dan pengembangan di Indonesia jauh tertinggal. Dari ratusan
peneliti tangguh di tanah air, hanya sebagian kecil yang memiliki
kemampuan memimpin lembaga litbang sebagai sebuah entitas
manajemen. Kursus-kursus manajemen (proyek) penelitian dan
pengembangan amat jarang dilakukan,dan kalaupun ada, ditawarkan oleh
pihak asing dengan biaya kursus yang mahal.
7.      Masih Rendahnya Aktifitas Riset di Perguruan Tinggi
Perguruan tinggi yang diharapkan menjadi sebuah pusat keunggulan (centre
of excellence) juga belum berhasil mengarusutamakan penelitian dan
pengembangan dalam Tri Dharma Perguruan Tingginya. Hal ini berakibat pada:
1)      Terjadi brain draining tenaga peneliti ke kegiatan-kegiatan non-penelitian
2)      Pengusangan bahan-bahan belajar
3)      Penurunan relevansi pendidikan dan layanan masyarakat
4)      Pendidikan pascasarjana, terutama tingkat Doktor (S-3) tidak berkembang
5)      Kekayaan intelektual PT tidak berkembang, dan
6)      Kelas kreatif dan kewirausahaan (enterpreneurships) tidak berkembang.

KEBUTUHAN MASYARAKAT AKAN KEADILAN HUKUM

1.    Hukum Untuk Rakyat


Karakteristik hukum sebagai kaedah selalu dinyatakan
berlaku umum untuk siapa saja, di mana saja dan dalam
wilayah Negara tertentu, tanpa membeda-bedakan.
Menurut Sudikno Mertokusumo, hukum itu bukan
merupakan tujuan, tetapi sarana atau alat untuk mencapai
tujuan yang sifatnya non yuridis, dan berkembang karena
rangsangan dari luar hukum, sehingga membuat hukum
bersifat dinamis.
Sementara itu, dalam pandangan masyarakat biasa,
hukum dikonstruksikan sebagai suatu kehidupan bersama
dalam masyarakat yang diatur secara adil. Jadi, nilai-nilai
keadilan dalam hukum yang dipandang sebagai norma
yang lebih tinggi dibandingkan dengan norma hukum
dalam suatu undang-undang.
Hal tersebut jika dikaitkan dengan pandangan Satjipto
Rahardjo, maka titik temunya adalah bagaimana membuat
hukum dapat memberikan kebahagiaan (keadilan) bagi
rakyat dalam suatu konsep hukum untuk
manusia. Dimana, hukum tidak hanya dilihat sebagai
bangunan peraturan perundang-undangan sebagai produk
atau perintah penguasa semata, tetapi hukum harus
dibuat ibarat suatu organis yang mampu berpikir,
merencanakan dan sekaligus bertindak sesuai dengan hati
nuraninya yang dilandasi pada nilai-nilai keadilan dalam
masyarakat untuk mewujudkan kebahagiaan rakyat.
Lebih lanjut Satjipto Raharjo berpandangan bahwa hukum dan
masyarakat tidak bisa dipisahkan. Bagi hukum, masyarakat merupakan sumber
daya yang memberi hidup (to nature) dan menggerakkan hukum tersebut.
Masyarakat menghidupi hukum dengan nilai-nilai, gagasan, konsep, disamping
itu masyarakat juga menghidupi hukum dengan cara menyumbangkan
masyarakat untuk menjalankan hukum. Dengan demikian masuklah aspek
perilaku manusia ke dalam hukum.

 Dalam konteks tersebut, maka dapat disimpulkan dari pandangan Sajipto


Rahardjo bahwa hukum akan memiliki nilai atau makna jika hukum tersebut
mengabdi pada kepentingan manusia, yaitu bertumbuh dan berkembang
sesuai dengan kebutuhan, serta memberi manfaat bagi manusia. Untuk itulah,
maka hukum yang baik adalah hukum yang dapat merespons berbagai
kebutuhan atau kepentingan manusia, atau hukum yang ideal adalah hukum
yang responsive.
Persoalannya, bagaimana mewujudkan hukum yang responsive. Untuk
itulah maka perlu dikedepankan gagasan demokrasi.Dalam konteks Negara
Kesatuan Republik Indonesia, gagasan demokrasi dapat dilihat dalam Pasal 1
ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD
NRI Tahun 1945) menegaskan bahwa; kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang  Dasar. Ketentuan ini, jika dikaitkan
dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa
Negara Indonesia adalah Negara Hukum.
Menurut Jimly Asshiddiqie, ketentuan tersebut mencerminkan
bahwa UUD NRI Tahun 1945 menganut prinsip kedaulatan rakyat atau
demokrasi yang dilaksanakan berdasarkan undang-undang dasar
atau constitusional democracy atau demokrasi konstitusional.
Dimana, demokrasi konstitusional memiliki ciri yaitu adanya gagasan
bahwa pemerintah yang demokratis adalah pemerintah yang terbatas
kekuasaannya dan tidak dibenarkan sewenang-wenang terhadap warga
negaranya. Pembatasan-pembatasan terhadap kekuasaan pemerintah diatur
didalam konstitusi. Dimana, konstitusi memberikan jaminan terhadap hak-hak
politik dan menyelenggarakan pembagian kekuasaan sehingga kekuasaan
eksekutif dapat diimbangi oleh kekuasaan parlemen dan lembaga-lembaga
hukum, sebagaimana yang dipraktekkan di Indonesia. Dengan demikian,
praktik demokrasi yang didasarkan pada konstitusi menunjukan bahwa
pelaksanaan demokrasi harus sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Secara substansial, produk hukum dalam bentuk


peraturan perundang-undangan dapat dikatakan memiliki
kualitas yang baik apabila dapat menampung dan
melindungi kepentingan seluruh anggota masyarakat.
Untuk itu, selain factor kualitas sumber daya manusia
yang berkualitas sehingga dapat merumuskan berbagai
kepentingan masyarakat dalam berbagai aturan hukum, 
factor partsipatif masyarakat juga memiliki peran dalam
menghasil produk hukum yang berkualitas.
Partisipasi berarti ada peran serta atau keikutsertaan
(mengawasi, mengontrol dan mempengaruhi) masyarakat
dalam suatu kegiatan pembentukan peraturan, mulai dari
perencanaan sampai dengan evaluasi pelaksanaan UU.
Adanya partisipasi masyarakat dalam pembentukan suatu
undang-undang memungkinkan substansi dari suatu
undang-undang berasal dari pemikiran atau ide yang
berkembang didalam masyarakat yang akan digulirkan
masuk kedalam lembaga atau badan legislatif, dan
didalam lembaga inilah pemikiran atau ide tersebut
kemudian dirumuskan untuk dijadikan sebagai undang-
undang. 
Gagasan untuk melibatkan masyarakat dalam
penyelenggaraan urusan pemerintahan maupun dalam
pembentukan perundang-undangan merupakan upaya
untuk menempatkan masyrakat sebagai pelaku dan subjek
dalam proses perencanaan dan pelaksanaan sampai
kepada pemanfaatan dan pengawasan kebijakan umum,
merupakan suatu keharusan yang hendak diterapkan
dalam penyelenggaraan pemerintahan
Dalam perspektif tersebut, hukum yang baik menawarkan sesuatu yang
lebih dari sekedar keadilan prosedural. Hukum yang baik harus berkompeten
dan juga adil. Hukum semacam itu seharusnya mampu mengenali keinginan
masyarakat dan punya komitmen bagi tercapainya keadilan substansif. Hal
tersebut mengindikasikan bahwa hukum yang mengenali keinginan masyarakat
merupakan sifat dari hukum yang responsif.
Sifat responsif dapat diartikan sebagai melayani kebutuhan dan
kepentingan sosial yang dialami dan ditemukan didalam masyarakat.
Berdasarkan hal tersebut, maka integrasi nilai-nilai yang hidup dan masih
dipertahankan di dalam masyarakat dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat
kedalam hukum Negara diperlukan dalam rangka memberikan rasa keadilan
bagi masyarakat.
Dalam konteks untuk memberikan rasa keadilan bagi
masyarakat, maka hukum merupakan salah satu norma
yang tertulis maupun tidak tertulis dan mengatur
hubungan interaksi antara individu dengan individu lain,
individu dengan masyarakat, individu dengan lingkungan,
individu dengan pemerintahnya dan hubungan di antara
bagian-bagian tersebut satu sama lainnya yang bertujuan
melahirkan keadilan dan ketertiban. Hal tersebut
menunjukan bahwa, hukum merupakan sarana kontrol
sosial yang ditujukan untuk mengubah perilaku warga-
warga masyarakat sesuai dengan tujuan-tujuan yang telah
ditetapkan dan diakui sebelumnya. 
Hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat dalam arti bahwa
hukum dapat dipergunakan sebagai agent of change.  Hukum sebagai Agent of
change  atau pelopor perubahan dapat berperan untuk mengontrol
masyarakat dalam berbagai aktivitasnya dalam pembangunan.
2.    Hukum, Masyarakat  dan Pembangunan
Hakekat pembangunan Indonesia adalah amanat konstitusi yang sesuai
dengan ikrar dan cita-cita bangsa. Secara ideologis makna pembangunan yang
dapat diartikan pembangunan adalah membangun bangsa Indonesia
seutuhnya, serta strategi pembangunan ialah pertumbuhan ekonomi,
pemerataan kesejahteraan sosial, serta stabilitas politik. Kemudian lebih lanjut
ditegaskan secara eksplisit pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945 bahwa;
hakikat pembangunan nasional adalah: mencerdaskan kehidupan bangsa,
menciptakan kesejahteraan umum, melindungi seluruh tumpah darah
Indonesia, dan membantu melaksanakan ketertiban dunia, perdamaian abadi
dan keadilan sosial.
Dalam praktiknya pembangunan yang baik adalah pembangunan yang
dilakukan secara komprehensif. Artinya, pembangunan selain mengejar
pertumbuhan ekonomi, harus memperhatikan pelaksanaan jaminan
perlindungan hak-hak asasi manusia warga negaranya yang telah diatur dalam
konstitusi negara yang bersangkutan, baik hak-hak sipil, maupun hak ekonomi,
sosial dan budaya. Dengan demikian, pembangunan yang telah, sedang dan
akan dilakukan oleh pemerintah akan mampu menarik lahirnya partisipasi
masyarakat dalam pembangunan.
Pembangunan dapat diartikan sebagai suatu konsep yang di dalamnya
terdapat perihal usul tentang perubahan perilaku manusia yang diinginkan,
maka dapat disimpulkan bahwa hakikat Pembangunan Hukum adalah
bagaimana merubah perilaku manusia kearah kesadaran dan kepatuhan
hukum terhadap nilai-nilai yang hidup dan diberlakukan dalam masyarakat.
Tegasnya membangun perilaku manusia dan masyarakat harus di dalam
konteks kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara dimana mereka
mengerti dan bersedia menjalankan kewajiban hukumnya sebagai
warganegara dan mengerti tentang bagaimana menuntut hak-hak yang dijamin
secara hukum dalam proses hukum itu sendiri.
Mochtar Kusumaatmadjamengemukakan bahwa: Hukum merupakan
suatu alat untuk memelihara ketertiban dalam masyarakat. Mengingat
fungsinya sifat hukum, pada dasarnya adalah konservatif artinya, hukum
bersifat memelihara dan mempertahankan yang telah tercapai. Fungsi
demikian diperlukan dalam setiap masyarakat, termasuk masyarakat yang
sedang membangun, karena di sini pun ada hasil-hasil yang harus dipelihara,
dilindungi dan diamankan. Akan tetapi, masyarakat yang sedang membangun,
didefenisikan sebagai masyarakat yang sedang berubah cepat. Untuk itu,
hukum tidak cukup memiliki fungsi demikian saja. Hukum juga harus dapat
membantu proses perubahan masyarakat itu. Pandangan klasik tentang hukum
yang menitikberatkan fungsi pemeliharaan ketertiban dalam arti statis, dan
menekankan sifat konservatif dari hukum, menganggap bahwa hukum tidak
dapat memainkan suatu peranan yang berarti dalam proses pembaharuan.
Dengan demikian, pembangunan dapat berperan untuk merubah perilaku
masyarakat, berupa kesadaran dan kepatuhan manusia atau masyarakat
terhadap nilai-nilai hukum. Hal ini dapat terlaksana bila secara sistem hukum
berkerja dengan baik dan dinamis, yang ditandai dengan berkualitasnya
struktur hukum melalui pendidikan dan pengembangan profesi hukum agar
dapat menghasilkan ahli hukum dalam pembangunan hukum. Selain itu,
berkualitasnya substansi hukum yang terkait dengan rumusan norma yang
dapat mengakomodasi kepentingan seluruh masyarakat, serta ditunjang oleh
budaya hukum masyarakat kondusif yang selalu menempatkan hukum dalam
proses penyelesaian sengketa.
Agar hukum dapat melaksanakan perannya sebagai sarana kontrol
masyarakat dalam pembangunan, maka hukum harus mengandung nilai-nilai
yang dapat ditaati oleh masyarakat.
Pada satu sisi, hukum harus efektif, atau dapat bekerja. Bekerjanya
hukum sangat dipengaruhi oleh aparat penegak hukum, materi yang diatur
oleh suatu peraturan perundang-undangan maupun perilaku masyarakatnya.
Faktor-faktor tersebut memberikan pengaruh terhadap peran hukum sebagai
sarana kontrol masyarakat.
Pada sisi yang lain, jika hukum tidak efektif maka dapat dikatakan sebagai
penyakit hukum menurut Achmad Ali, yaitu penyakit yang diderita oleh hukum
sehingga hukum tidak dapat melaksanakan fungsinya. Penyakit hukum dapat
menyerang struktur yang terkait dengan kualitas SDM aparatur penegak
hukum, substansi yang terkait dengan nilai-nilai yang diatur serta dapat
diterjemahkan dalam berbagai aktifitas masyarakat atau kultur hukumnya yang
terkait dengan budaya masyarakat, yang merupakan suatu kesatuan sistem
hukum dalam pandangan Lawrence Friedman.
Dengan demikian, agar hukum dapat efektif sebagai sarana kontrol
terhadap masyarakat maka sistem hukum yang dimaksud perlu diperbaiki ,
yaitu:
 
 
1)      Struktur
Struktur di ibaratkan sebagai mesin yang di dalamnya
ada institusi-institusi pembuat dan penegakan hukum,
seperti DPR, Eksekutif, Legislatif, kepolisian, kejaksaan
dan pengadilan. Terkait dengan ini, maka perlu dilakukan
seleksi yang objektif dan transparan terhadap aparatur
penegakan hukum.

2)      Substansi
Substansi adalah apa yang di kerjakan dan dihasilkan
oleh mesin itu, yang berupa putusan dan ketetapan,
aturan baru yang disusun, substansi juga mencakup
aturan yang hidup dan bukan hanya aturan yang ada
dalam kitab undang-undang.
Selain itu, substansi suatu peraturan perundang-
undangan juga dipengaruhi sejauh mana peran serta atau
partisispasi masyarakat dalam merumuskan berbagai
kepentingannya untuk dapat diatur lebuh lanjut dalam
suatu produk peraturan perundang-undangan.
Adanya keterlibatan masyarakat dalam pembentukan
suatu undang-undang akan memberikan dampak terhadap
efektivitas pemberlakuan dari undang-undang tersebut.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Yuliandri, bahwa tidak
ada gunanya suatu undang-undang yang tidak dapat
dilaksanakan atau ditegakkan, mengingat pengalaman
yang terjadi di indonesia menunjukan banyaknya undang-
undang yang telah dinyatakan berlaku dan diundangkan
tetapi tidak dapat dilaksanakan.

3)      Kultur
Sedangkan kultur hukum menyangkut apa saja atau
siapa saja yang memutuskan untuk menghidupkan dan
mematikan mesin itu, serta memutuskan bagaimana
mesin itu digunakan, yang mempengaruhi suasana pikiran
sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana
hukum digunakan, dihindari atau disalahgunakan. 
Untuk itu diperlukan membentuk suatu karakter
masyarakat yang baik agar dapat melaksanakan prinsip-
prinsip maupun nilai-nilai yang terkandung didalam suatu
peraturan perundang-undangan (norma hukum). Terkait
dengan hal tersebut, maka pemanfaatan norma-norma lain
diluar norma hukum menjadi salah satu alternatif untuk
menunjang imeplementasinya norma hukum dalam bentuk
peraturan perundang-undangan. Misalnya, pemanfaatan
norma agama dan norma moral dalam melakukan seleksi
terhadap para penegak hukum, agar dapat melahirkan
aparatur penegak hukum yang melindungi kepentingan
rakyat.

Dengan demikian, bekerjanya hukum akan


memberikan dampak terhadap tercitanya keteraturan dan
ketertiban dalam masyarakat yang akan memberikan
dampak terhadap terselengaranya pembangunan dengan
baik.
Tantangan globalisasi dalam penegakan hukum
PEMBANGUNAN yang dilakukan oleh suatu bangsa harus memihak kepada
kepentingan rakyat. Pembangunan sebagai suatu proses yang
berkesinambungan harus senantiasa tanggap dan peka terhadap dinamika
yang terjadi di dalam masyarakat, baik di bidang politik, ekonomi, teknologi,
sosial dan budaya dan sebagainya.
Masyarakat modern (modern society) hidup dalam era teknologi informasi
(information technology) atau disebut juga dengan informative society yang
saat ini populer disebut dengan „disruptive era“ atau era revolusi industri 4.0.
Artinya, dunia global telah menempatkan kehidupan manusia berada di
tengah-tengah arus teknologi yang begitu cepat perkembangannya dan
sekaligus menjadi ancaman bagi manusia. Kemajuan dalam bidang teknologi
(informasi) merupakan hasil karya intelektual manusia yang telah banyak
membawa perubahan luar biasa dalam pola hidup manusia dewasa ini.

Berbagai capaian manusia dalam bidang paten dan hak cipta merupakan bukti
nyata, bahwa dalam perdagangan dunia karya-karya intelektual manusia telah
menjadi mesin ekonomi yang sangat ampuh bagi pertumbuhan ekonomi suatu
bangsa. Dalam konteks itulah sangat tepat dikatakan, bahwa teori keuntungan
(benefit theory) dalam perlindungan hukum atas hak milik intelektual
(intellectual property rights) sangat relevan, karena perlombaan untuk
menghasilkan karya-karya intelektual dilakukan untuk mendapatkan
keuntungan (materil dan moril) bagi si pencipta atau inventor.

Perubahan yang begitu cepat dalam dunia bisnis merupakan ciri dari
kehidupan manusia di era disruption. Kehidupan dunia usaha dan bisnis yang
didukung oleh teknologi informasi, seperti internet telah menciptakan dunia
bisnis seolah-olah tanpa batas (borderless trade) di seluruh penjuru dunia.
Kemajuan ini secara otomatis, baik langsung maupun tidak langsung, telah
berimplikasi pada eksistensi hukum yang mengaturnya.

Kemajuan pesat yang terjadi dalam masyarakat dunia, termasuk juga


masyarakat Indonesia, perlu dibarengi dengan sentuhan hukum, sehingga
eksistensi negara hukum dapat terus dipertahankan. Artinya dukungan yang
diberikan oleh pemerintah dalam pengembangan teknologi informasi harus
diikuti dengan perkembangan hukum, sehingga kemajuan teknologi tersebut
dapat bermanfaat secara maksimal bagi masyarakat dan negara dan akan
dapat mendorong masuknya investor ke Indonesia.
Perkembangan dan kemajuan teknologi informasi secara global membawa
dampak luas di tengah-tengah kehidupan masyarakat nasional dan
internasional. Kemajuan tersebut tidak hanya telah menciptakan perdagangan
dengan menggunakan elektronik (electronic commerce – e-commerce),
sehingga telah melenyapkan konsep jual beli secara konvensional, tetapi
sekaligus juga telah menimbulkan kekhawatiran dan ketakutan masyarakat
terhadap ekses-ekses negative dari teknologi tersebut, seperti kejahatan
terhadap credit card atau Anjung Tunai Mandiri (ATM) serta ancaman
keadidayaan teknologi informasi sebagai pengganti tenaga manusia di dalam
dunia kerja seperti maraknya online shopping.

Tanggal 21 April 2008 merupakan tonggak sejarah bagi perkembangan hukum


di Indonesia. Pada tanggal tersebut Pemerintah Indonesia telah
mengundangkan undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik. Kehadiran UU ini membuktikan bahwa Pemerintah
Indonesia harus mengikuti arus globalisasi dalam segala bidang, termasuk
dalam transaksi elektronik yang jelas berbeda dengan perbuatan hukum pada
umumnya. Pemberlakuan UU ini sekaligus juga menjawab tantangan hukum
di dunia maya atau hukum siber yang selama ini belum diatur secara khusus di
Indonesia.

Ciri khas dari perbuatan hukum siber ini, pertama, kendatipun perbuatan
hukum itu dilakukan di dunia virtual yang tidak mengenal locus delicti, tetapi
perbuatan itu berakibat nyata (legal facts), sehingga perbuatan itu harus
dianggap sebagai perbuatan yang nyata pula. Dengan demikian segala bukti
yang terdapat dan menggunakan teknologi informasi, seperti e-mail dan lain-
lain dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah. Kedua, UU ini juga tidak
mengenal batas wilayah (borderless) dan siapa pelakunya (subyek hukum),
sehingga siapapun pelakunya dan dimanapun keberadaannya tidak begitu
penting asalkan perbuatannya tersebut dapat menimbulkan akibat hukum di
Indonesia. Jadi, yang terpenting disini adalah bahwa perbuatan hukum itu
menimbulkan kerugian terhadap kepentingan Indonesia yang meliputi tetapi
tidak terbatas pada merugikan kepentingan ekonomi nasional, perlindungan
data strategis, harkat dan martabat bangsa, pertahanan dan keamanan, serta
badan hukum Indonesia.

Keterkaitan UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dengan berbagai


UU dalam hak milik intelektual sangat dekat. Sebab, semua informasi dan atau
dokumen elektronik yang disusun merupakan obyek yang dilindungi
berdasarkan UU Hak Cipta. Demikian juga dengan hal-hal yang berkaitan
dengan rejim paten, merek dan indikasi geografis, perlindungan varietas
tanaman, rahasia dagang, desain industri dan desain tata letak sirkuit terpadu
juga tunduk pada ketentuan perundangan masing-masing.

Dengan diberlakukannya UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan


Transaksi Elektronik membawa konsekuensi logis di tubuh institusi penegak
hukum di Indonesia. UU yang baru ini menuntut aparatur hukum yang betul-
betul memahami dan menguasai teknologi informasi secara komprehensif
dalam melaksanakan tugas-tugas ke depan. Hal ini disebabkan, karena
perbuatan-perbuatan yang dulunya secara konvensional terasa mudah untuk
diselesaikan, tetapi tantangan tugas-tugas ke depan harus berhadapan dengan
suatu perbuatan hukum yang hanya dapat dirasakan akibatnya saja tanpa
diketahui siapa pelaku dan dimana perbuatan itu dilakukan. Perbuatan hukum
itu terjadi di alam maya (cyber world).

Institusi hukum, seperti Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman dan Advokat harus


mereposisi diri. Profesionalisme mereka sangat dituntut dalam menyelesaikan
tugas-tugas berat dalam bidang hukum ke depan. Sebab ditangan merekalah
kepastian hukum (legal certainty) dapat diwujudkan bagi si pencari keadilan di
muka bumi ini (justice for all).

Dalam UU ITE ditetapkan mengenai perluasan dari alat bukti yang sah yang
selama ini dikenal dalam Hukum Acara di Indonesia. Semua informasi
elektronik dan/ atau dokumen elektronik dan/ atau hasil cetaknya merupakan
alat bukti yang sah, apabila menggunakan sistem elektronik. Sistem elektronik
adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi
mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan,
menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/ atau menyebarluaskan
informasi elektronik.

Berbagai perbuatan hukum, baik itu perdata maupun pidana dilakukan oleh
manusia dengan mempergunakan sistem teknologi informasi. Hal ini dapat
dibuktikan, betapa banyaknya masyarakat internasional yang melakukan
aktivitas bisnis usahanya di alam maya dengan menggunakan internet. Hal
yang sama juga dengan mudah kita temukan di Indonesia. Banyak pelaku
ekonomi yang memperjualbelikan dagangannya baik barang maupun jasa
melalui internet tanpa harus bertemu secara fisik antara si penjual dan si
pembeli. Pemberlakuan tiket dengan sistem electronic ticket (e-ticket) di
bisnis penerbangan secara global merupakan contoh yang jelas dan
memberikan kemudahan bagi konsumen. Demikian juga dengan penutupan
kontrak oleh para pihak cukup dilakukan melalui dunia maya dengan
membubuhkan tandatangan elektronik, yaitu tanda tangan yang terdiri atas
informasi elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan informasi
elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentifikasi.

Pada akhirnya era disruption meninggalkan banyak pekerjaan rumah bagi ahli
dan penegak hukum di Indonesia yang menuntut tingkat profesionalisme yang
tinggi dan handal dengan penguasaan soft skill seperti komputer dan bahasa
inggris. Tantangan atau challenge bukanlah sesuatu yang harus dielakkan
melainkan harus dihadapi dengan cara dan strategi yang tepat, sehingga
semuanya mendapatkan ruang dalam ilmu hukum dan implementatif.

DAFTAR PUSTAKA

 http://alim-98.blogspot.com/2016/12/masalah-perkembangan-iptek-
di-indonesia.html?m=1
 https://fhukum.unpatti.ac.id/htn-han/365-hukum-masyarakat-dan-
pembangunan

 https://uir.ac.id/opini_dosen/tantangan-hukum-di-era-revolusi-industri-
4-0-oleh-syafrinaldi

Anda mungkin juga menyukai