Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Subjek pajak orang pribadi dalam negeri menjadi Wajib Pajak apabila telah menerima
atau memperoleh penghasilan yang besarnya melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak.
Terhitung sebagai Wajib Pajak sejak saat didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia
Subjek pajak luar negeri, baik orang pribadi maupun badan, sekaligus menjadi Wajib
Pajak karena menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia
atau menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia melalui
bentuk usaha tetap di Indonesia. Dengan kata lain, Wajib Pajak adalah orang pribadi atau
badan yang telah memenuhi kewajiban subjektif dan objektif.
Perbedaan yang penting antara Wajib Pajak dalam negeri dan Luar Negeri terletak dalam
pemenuhan kewajiban pajaknya :
1. Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti gaji,
honorarium, penghasilan dari praktik dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacar, dll
2. Penghasilan dari usaha dan kegiatan
3. Penghasilan dari modal
4. Penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang dan hadiah
Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk konsumsi dan dapat
ditabung untuk menambah kekayaan wajib pajak
Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 36 Tahun 2008 Penghasilan yang termasuk
Objek Pajak adalah :
1. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh
2. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan
3. Laba usaha
4. Penerimaan Kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan
pembayaran tambahan pengembalian pajak
5. Royalti atau imbalan atas penggunaan hak
1. Warisan
2. Aset termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan (Pasal 2 Ayat (1) huruf b UU PPh)
sebagai saham atau sebagai pengganti penyertaan modal
3. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadii sehubungan dengan asuransi
kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa
4. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pension yang pendiriannya telah disahkan
menteri keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai.
5. Beasiswa yang memenuhi syarat persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih
lanjut dengan atau berdasrkan Peraturan Menteri Keuangan
Berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, Objek Pajak Bentuk Usaha
Tetap :
1. Penghasilan dari usaha atau kegiatan Bentuk Usaha Tetap tersebut dan dai asset yang
dimiliki atau dikuasai oleh bentuk Usaha Tetap. Penghasilan kantor pusat dari objek
pajak diatas berdasarkan pertimbangan logis bahwa transaksi antara kantor pusat dan
perusahaan lain di Indonesia harus ada bantuan Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia.
Ditinjau dari segi barang yang di perdagangkan atau jasa yang diberikan tentu sama
dengan barang atau jasa yang diberikan BUT. Dasar inilah yang sering disebut dengan
Force of Attraction Concept, dengan asumsi hokum apabila barang atau jasa dalam
transaksi yang diselenggarakan kantor pusat sama dengan transaksi yang diselenggarakan
oleh BUT. Oleh karena itu, transaksi yang dilakukan langsung oleh kantor pusat BUT
dianggap sebagai penghasilan dari BUT.
2. Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, dan pemberian jasa
di Indonesia yang sejenis dengan yang di jalankan atau yang dilakukan oleh Bentuk
Usaha Tetap di Indonesia.
Realiasi penerimaan pajak pada 2016 mencapai Rp 1.283,6 triliun atau sekitar 83,4 persen
dari target dalam APBNP 2016 sebesar Rp 1.539,17 triliun. Artinya penerimaan pajak pada
2016 berkontribusi sebesar 82,72 persen dari total pendapatan pemerintah yang mencapai Rp
1.551,78 triliun. Ini lebih rendah dari target dalam APBNP 2016 sebesar 86,2 persen.
Meskipun di bawah target APBNP 2016, namun kontribusi pajak terhadap pendapatan negara
masih mencatat kenaikan dari tahun sebelumnya serta mengalami tren pertumbuhan sejak
2014. Dalam APBN 2017, penerimaan pajak di targetkan berkontribusi sebesar 85,6 persen
atau sekitar Rp 1,498,9 triliun dari total pendapatan Rp 1.750,3 triliun. Sedangkan 14,3
persen ditargetkan dari Pendapatan Negara Bukan Pajak. Pendapatan pajak terbesar pada
2017 dari pajak penghasilan sekitar 52,6 persen dan pajak pertambahan nilai 33 persen.
a. Atas biaya perolehan atau pembelian telepon seluler yang dimiliki dan digunakan
perusahaan untuk pegawai tertentu karena jabatan atas pekerjaannya dapat
dibebankan sebagai biaya perusahaan sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah
biaya perolehan atau pembelian melalui penyusutan aset tetap kelompok 1.
Sedangkan, atas biaya belangganan atau pengisian ulang pulsa dan perbaikan telepon
seluler yang dimiliki dan digunakan perusahaan untuk pegawai tertentu karena
jabatan atau pekerjaannya dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan sebesar 50%
(lima puluh persen) dari jumlah biaya berlangganan atau pengisian ulang pulsa dan
perbaikan dalam tahunan pajak yang bersangkutan.
b. Atas biaya perolehan atau pembelian atau perbaikan besar dan kendaraan bus,
minibus, atau yang sejenis yang dimiliki dan digunakan perusahaan untuk antar-
jemput para pegawai dapat dibebankan seluruhnya sebagai biaya perusahaan melalui
penyusutan aset tetap kelompok II. Sedangkan , atas biaya pemeliharaan atau
perbaikan rutin kendaraan bus, minibus, atau sejenis yang dimiliki dan digunakan
perusahaan untuk antar-jemput para pegawai dapat dibebankan seluruhnya sebagai
biaya perusahaan dalam tahun pajak yang bersangkutan.
c. Atas biaya perolehan atau pembelian atau perbaikan besar kendaraan sedan atau yang
sejenis yang dimiliki dan digunakan perusahaan untuk pegawai tertentu karena
jabatan atau pekerjaannya dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan sebesar 50%
(lima puluh persen) dari jumlah biaya perolehan atau pembelian atau perbaikan besar
melalui penyusutan aset tetap kelompok II. Sedangkan, atas biaya pemeliharaan atau
perbaikan rutin kendaraan (jenis kendaraan bus, minibus, atau yang sejenis) yang
dimiliki dan digunakan perusahaan untuk pegawai tertentu karena jabatan atau
pekerjaannya yang dibebankan sebagai biaya perusahaan sebesar 50% (lima puluh
persen) dari jumlah biaya pemeliharaan atau perbaikan rutin dalam tahun pajak yang
bersangkutan.
d. Kelompok III yaitu Pertambangan selain minyak dan gas, Permintalan, pertenunan
dan pencelupan, Perkayuan, Industri kimia, Industri mesin, Transportasi dan
Pergudangan, Telekomunikasi
e. Kelompok IV diantaranya konsturksi (mesin berat untuk konstruksi), transportasi dan
pergudangan (lokomotif uap,dok-dok terapung)
Metode Amortisasi
Metode amortisasi yang dipergunakan adalah metode garis lurus (straight line method)
dan metode saldo menurun (declining balance method). Wajib pajak diperkenankan
untuk memilih salah satu metode untuk melakukan amortisasi.
Contoh Perhitungan Amortisasi
PT Asti Jaya pada tanggal 9 November 2001 mengeluarkan uang sebanyak Rp.
200.000.000,00 untuk memperoleh hak lisensi dari Phoenixcyle Ltd. selama 4 tahun
untuk memproduksi Sepeda Z. Perhitungan amortisasi hak lisensi tersebut adalah sebagai
berikut:
Karena tahun 2004 merupakan akhir masa manfaat, maka pada tahun 2004 seluruh sisa
nilai buku diamortisasikan sekaligus sehingga amortisasi tahun 2004 adalah:
Contoh:
Wajib pajak A mempunyai seorang istri dengan tanggungan empat orang anak. Apabila
istrinya memiliki penghasilan dari satu pemberi kerja yang sudah dipotong pajak yang sudah
di potong pajak penghasilan pasal 21 dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan
usaha suami atau anggota keluarga lainnya, besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang
diberikan kepada wajib pajak A adalah Rp. 72.000.000
Rp 54.000.000 + Rp. 4.500.000 + (3 x Rp 4.500.000)
= Rp 58.500.000 + 13.500.000
= Rp 72.000.000
sedangkan untuk istrinya, pada saat pemotongan pajak penghasilan pasal 21 oleh pembeli
kerja diberikan Penghasilan Tidak Kena Pajak sebesar Rp 54.000.000. Apabila penghasilan
istri harus digabung dengan penghasilan suami, besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang
diberikan kepada wajib pajak A sebesar Rp. 126.000.000
Rp 72.000.000 + Rp 54.000.000
= Rp 126.000.000
Penghitungan besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak diatas ditentukan menurut keadaan
wajib pajak pada awal tahun pajak atau pada awal bagian tahun pajak. Misalnya, pada 1
januari 2016 wajib pajak B berstatus kawin dengan tanggungan satu orang anak. Apabila
anak yang kedua lahir setelah 1 januari 2016, besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang
diberikan kepada wajib pajak B untuk tahun pajak 2016 tetap dihitung berdasarkan status
kawin dengan satu anak.
Penghasilan Tidak Kena Pajak bagi wanita
Hal yang harus diperhatikan :
1. Jika wajib pajak adalah wanita kawin dan suami menerima atau memperoleh penghasilan,
besarnya PTKP setahun untuk dirinya sendiri yaitu Rp. 54.000.000 (untuk diri wajib
pajak).
2. Jika wajib pajak adalah wanita kawin yang menunjukkan keterangan tertulis dari
pemerintah daerah setempat (serendah-rendahnya kecamatan) bahwa suaminya tidak
menerima atau memperoleh penghasilan, besarnya PTKP setahun disamping untuk
dirinya sendiri (sebesar Rp. 54.000.000 setahun) juga juga ditambah PTKP untuk status
kawin dan anggota keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya paling banyak tiga
orang masing-masing sebesar Rp. 4.500.000 setahun.
Contoh :
Wajib pajak Anita, berstatus kawin (suami tidak berpenghasilan), anak 3.
Besarnya PTKP untuk Anita adalah Rp. 72.000.000, yang terdiri atas :
- Rp. 54.000.000 untuk diri wajib pajak
- Rp. 4.500.000 tambahan untuk wajib pajak kawin
- 3 x Rp 4.500.000 tambahan untuk tanggungan maksimal 3.
3. Jika wajib pajak tidak kawin, maka besarnya PTKP setahun disamping untuk dirinya
sendiri (sebesar Rp. 54.000.000 setahun) ditambah PTKP untuk keluarga yang menjadi
tanggung jawab sepenuhnya paling banyak tiga orang masing-masing sebesar Rp.
4.500.000 setahun.
Contoh :
Wajib pajak Agustina, berstatus tidak kawin dengan tanggungan 2 orang tua kandung.
Besarnya PTKP untuk Agustina adalah Rp. 63.000.000, terdiri atas:
- Rp. 54.000.000 untuk diri wajib pajak
- 2 x Rp. 4.500.000 tambahan untuk tanggungan
Peredaran bruto yang dijadikan dasar penentuan tarif PPh yang bersifat final adalah
jumlah peredaran bruto bengkel A dan bengkel B yakni sebesar Rp250.000.000,00
(dua ratus lima puluh juta rupiah). Karena total peredaran bruto selama tahun 2013.
kurang dari Rp4.800.000.000,00 (ernpat miliar delapan ratus juta rupiah) maka atas
penghasilan dari usaha yang diterirna oleh Agus Hidayat pada tahun 2014 dikenai
Pajak Penghasilan yang bersifat final sebesar 1% (satu persen) dari peredaran bruto.
Misalkan pada bulan Januari 2014, Agus Hidayat mernperoleh peredaran bruto dari
bengkel A sebesar Rp1.000.000,00 dan dari bengkel B sebeear Rp16,000.000,00,
maka paling lambat pada tanggal 17 Februari 2014 (karena tanggal 15 Februari jatuh
pada hari Sabtu), Agus Hidayat wajib menyetorkan PPh yang bersifat final sebesar :
a. Bengkel A
PPh terutang:
1% x Rp11.000.000 = Rp 110.000
(dilaporkan ke KPP X)
b. Bengkel B
PPh terutang:
1% x Rp16.000.000 = Rp 160.000
(dilaporkan ke KPP Y)
2. WP orang pribadi menggunakan norma penghitungan
Tuan Fauzi (K/2) mempunyai Kantor Konsultan Pajak. Peredaran bruto dari
pekerjaan bebas selama setahun sebesar Rp 3.000.000.000. biaya/pengeluaran yang
tercatat selama setahun terdiri atas gaji sebesar Rp 700.000.000, biaya/pengeluaran
lain diantaranya sewa kantor, biaya transportasi dan lainnya sebesar Rp 600.000.000.
penghasilan neto dari pekerjaan sebagai pegawai tetap di universitas Sriwijaya
sebesar 140.000.000 setahun.
Penjelasan : WP Fauzi adalah WP orang pribadi dengan peredaran usaha tidak
melebihi Rp 4.800.000.000, tetapi memperoleh penghasilan dari pekerjaan bebas.
PTKP (K/0)
Rp 58.500.000 (-)
PKP Rp 1.624.000.000
5% x Rp 50.000.000 Rp 2.500.000
15 % x Rp 200.000.000 Rp 30.000.000
25 % x Rp 250.000.000 Rp 62.500.000
30 % x Rp 1.124.000.000 Rp 337.200.000
Total PPh yang terutang Rp 432.200.200
Apabila WP Siddiq membayarkan zakat atas penghasilan kepada badan amal zakat
(BAZIS) sebesar Rp 16.250.000 terdapat sisa kerugian tiga tahun lalu yang belum
dikompensasikan sebesar Rp 25.000.000, hitungan PKP dan PPh sbb :
Rp 58.500.000 (-)
PKP Rp 1.534.250.000
PPh yang terutang
5% x Rp 50.000.000 Rp 2.500.000
15 % x Rp 200.000.000 Rp 30.000.000
25 % x Rp 250.000.000 Rp 62.500.000
30 % x Rp 1.034.250.000 Rp 1.336.200
Total PPh yang terutang Rp 310.275.000