Anda di halaman 1dari 26

A.

Definisi Pajak Penghasilan


Pengertian pajak penghasilan sesuai dengan pasal 1 Undang Undang pajak Penghasilan
adalah pajak yang dikenakan terhadap subyek pajak atas penghasilan yang diterima dalam
tahun pajak

B. Dasar Hukum Pajak Penghasilan


Landasan hukum Pajak Penghasilan di Indonesia adalah Undang-Undang ditambah
peratutan-peraturan yang mendukung di bawahnya, antara lain:
1. Peraturan Pemerintah (PP)
2. Keputusan Menteri Keuangan (KMK)/ Peraturan Menteri Keuangan (PMK)
3. Keputusan Dirjen Pajak (Kep)/ Peraturan Dirjen Pajak
4. Surat Edaran Dirjen Pajak (SE)

UU yang mengatur pajak Penghasilan di Indonesia adalah undang-undang No 7 Tahun 1983.


Undang-undang tersebut telah beberapa kali diubah, yaitu dengan Undang-undang No 7
Tahun 1991, kemudian Undang-undang No 10 tahun 1994, dan yang terakhir dengan
Undang-undang No 17 Tahun 2000 berlaku efektif mulai 1 Januari 2001. Pada saat ini
sedang disusun revisi UU PPh terbaru yang diperkirakan akan diberlakukan efektif pada
tahun 2013.

C. Subjek dan Objek Pajak Penghasilan


Subjek Pajak Dalam Negeri dan Subjek Pajak Luar Negeri (pasal 2 ayat (2) UU No.36
Tahun 2008)

1. Subjek Pajak dalam negeri , adalah :


a. Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di
Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu dua belas bulan, atau orang
pribadi dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk
bertempat tinggal di Indonesia.
b. Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu
dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria :
1) Pembentukan berdasarkan ketentuan peraturan perUndang-uandangan.
2) Pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
3) Penerimaannya dimasukan dalam anggaran Pemerintahan Pusat atau
Pemerintahan Daerah; dan pembukuannya dipriksa oleh aparat pengawasan
fungsional negara.
c. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.
2. Subjek Pajak luar negeri, adalah :
a. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu dua belas bulan, dan badan
yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia
b. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu dua belas bulan, dan badan
yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat
menerima dan memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha
atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

Kewajiban Pajak Subjektif


Kewajiban pajak subjektif adalah berarti kewajiban pajak yang melekat pada subjeknya dan
tidak dapat dilimpahkan pada orang atau pihak lain.
Jenis Kewajiban Pajak Subjektif Kewajiban Pajak Subjektif
Subjek Pajak Dimulai berakhir

Dalam Negeri -  Saat dilahirkan  Saat meninggal


Orang Pribadi  Saat berada di Indonesia atau  Saat meninggalkan Indonesia
berniat bertempat tinggal di untuk selama-lamanya
Indonesia
Dalam Negeri -  Saat didirikan atau bertempat  Saat dibubarkan atau tidak lagi
Badan kedudukan di Indonesia bertempat kedudukan di
Indonesia
Luar Negeri  Saat menjalankan usaha atau  Saat tidak lagi menjalankan
melalui BUT melakukan kegiatan melalui usaha atau melakukan kegiatan
BUT di Indonesia melalui BUT di Indonesia
Luar Negeri Tidak  Saat menerima atau  Saat tidak lagi menerima atau
Melalui BUT memperoleh penghasilan dari memperoleh penghasilan dari
Indonesia Indonesia
Warisan belum  Saat timbulnya warisan yang  Saat warisan selesai di bagikan
Terbagi belum terbagi
Apabila kewajiban pajak subjektif orang pribadi yang bertempat tinggal atau yang berada di
Indonesia hanya meliputi sebagian dari tahun pajak maka bagian tersebut menggantikan
tahun pajak.

Tidak Termasuk Subjek Pajak


Tidak termasuk subjek pajak berdasarkan Pasal 2 UU Nomor 36 Tahun 2008 adalah :
1. Kantor Perwakilan Negara Asing
2. Pejabat-pejabat perwakilan diplomatic dan konsultan atau pejabat-pejabat lain dari negara
asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan
bertempat tinggal bersama-sama mereka dengan syarat bukan warga Negara Indonesia
dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan di luar jabatan atau
pekerjaannya tersebut serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal
balik
3. Organisasi internasional dengan syarat Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut an
tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia
selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para
anggota .
4. Pejabat pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksut di nomor 3
5. Organisasi-organisasi internasional yang berbentuk kerjasama teknik dan /atau
kebudayaan dengan syarat kerja sama tekhnik tersebut memberi manfaat pada negara /
pemerintah Indonesia dan tidak menjalankan usaha lain untuk memperoleh penghasilan
dari Indonesia
6. Jika terdapat ketentuan perpajakan yang diatur dalam perjanjian Internasional yang
berbeda dengan ketentuan perpajakan yang diatur dalam UU PPh.
Nama-nama organisasi dan pejabat perwakilan organisasi internasional yang tidak termasuk
Subjek Pajak penghasilan diatur lebih lanjut dalam Keputusan Mentri Keuangan Nomor
215/PMK.03/2008 disempurkan dengan PMK No. 15/PMK.03/2010 dan PMK No.
142/PMK.03/2012.

Wajib Pajak Dalam Negeri dan Wajib Pajak Luar Negeri

Subjek pajak orang pribadi dalam negeri menjadi Wajib Pajak apabila telah menerima
atau memperoleh penghasilan yang besarnya melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak.
Terhitung sebagai Wajib Pajak sejak saat didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia

Subjek pajak luar negeri, baik orang pribadi maupun badan, sekaligus menjadi Wajib
Pajak karena menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia
atau menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia melalui
bentuk usaha tetap di Indonesia. Dengan kata lain, Wajib Pajak adalah orang pribadi atau
badan yang telah memenuhi kewajiban subjektif dan objektif.

Perbedaan yang penting antara Wajib Pajak dalam negeri dan Luar Negeri terletak dalam
pemenuhan kewajiban pajaknya :

Wajib Pajak Dalam Negeri Wajib Pajak Luar Negeri


Dikenai pajak atas penghasilan baik yang Dikenai pajak hanya atas penghasilan yang
diterima atau diperoleh dari Indonesia berasal dari sumber penghasilan di
maupun luar Indonesia. Indonesia.
Dikenai pajak berdasarkan penghasilan Dikenai pajak berdasarkan penghasilan
neto dengan tarif umum, bruto dengan tarif pajak sepadan
Wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tidak wajib menyampaikan SPTPP karena
Tahunan Pajak Penghasilan (SPTPP) untuk kewajiban pajaknya dipenuhi melalui
menetapkan pajak yang terutang dalam pemotongan pajak yang bersifat final
suatu tahun pajak
Yang menjalankan usaha / kegiatan melalui Yang menjalankan usaha / kegiatan melalui
bentuk usaha tetap di Indonesia , bentuk usaha tetap di Indonesia , tetap
memenuhi kewajiban perpajakan memenuhi kewajiban perpajakan
Objek Pajak Penghasilan
Objek pajak merupakan segala sesuatu (barang, jasa, kegiatan atau keadaan) yang
dikenakan pajak. Objek pajak penghasilan adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik berasal dari Indonesia
taupun Luar Indonesia, yang dapat di pakai untuk komsumsi atau menambah kekayaan Wajib
Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.
Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak,
penghasilan dapat dikelompokan menjadi :

1. Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti gaji,
honorarium, penghasilan dari praktik dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacar, dll
2. Penghasilan dari usaha dan kegiatan
3. Penghasilan dari modal
4. Penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang dan hadiah

Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk konsumsi dan dapat
ditabung untuk menambah kekayaan wajib pajak

Penghasilan yang Termasuk Objek Pajak

Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 36 Tahun 2008 Penghasilan yang termasuk
Objek Pajak adalah :

1. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh
2. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan
3. Laba usaha
4. Penerimaan Kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan
pembayaran tambahan pengembalian pajak
5. Royalti atau imbalan atas penggunaan hak

Penghasilan Tidak Termasuk Objek Pajak

1. Warisan
2. Aset termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan (Pasal 2 Ayat (1) huruf b UU PPh)
sebagai saham atau sebagai pengganti penyertaan modal
3. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadii sehubungan dengan asuransi
kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa
4. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pension yang pendiriannya telah disahkan
menteri keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai.
5. Beasiswa yang memenuhi syarat persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih
lanjut dengan atau berdasrkan Peraturan Menteri Keuangan

Objek Pajak Penghasilan Bentuk Usaha Tetap

Berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, Objek Pajak Bentuk Usaha
Tetap :

1. Penghasilan dari usaha atau kegiatan Bentuk Usaha Tetap tersebut dan dai asset yang
dimiliki atau dikuasai oleh bentuk Usaha Tetap. Penghasilan kantor pusat dari objek
pajak diatas berdasarkan pertimbangan logis bahwa transaksi antara kantor pusat dan
perusahaan lain di Indonesia harus ada bantuan Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia.
Ditinjau dari segi barang yang di perdagangkan atau jasa yang diberikan tentu sama
dengan barang atau jasa yang diberikan BUT. Dasar inilah yang sering disebut dengan
Force of Attraction Concept, dengan asumsi hokum apabila barang atau jasa dalam
transaksi yang diselenggarakan kantor pusat sama dengan transaksi yang diselenggarakan
oleh BUT. Oleh karena itu, transaksi yang dilakukan langsung oleh kantor pusat BUT
dianggap sebagai penghasilan dari BUT.
2. Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, dan pemberian jasa
di Indonesia yang sejenis dengan yang di jalankan atau yang dilakukan oleh Bentuk
Usaha Tetap di Indonesia.

D. Kontribusi PPh terhadap penerimaan pajak secara keseluruhan


Pendapatan dan Kontribusi Pajak Terhadap Pendapatan Negara 2012-2017

Realisasi Pajak 2016 Sumbang 83 Persen Pendapatan Negara

Realiasi penerimaan pajak pada 2016 mencapai Rp 1.283,6 triliun atau sekitar 83,4 persen
dari target dalam APBNP 2016 sebesar Rp 1.539,17 triliun. Artinya penerimaan pajak pada
2016 berkontribusi sebesar 82,72 persen dari total pendapatan pemerintah yang mencapai Rp
1.551,78 triliun. Ini lebih rendah dari target dalam APBNP 2016 sebesar 86,2 persen.
Meskipun di bawah target APBNP 2016, namun kontribusi pajak terhadap pendapatan negara
masih mencatat kenaikan dari tahun sebelumnya serta mengalami tren pertumbuhan sejak
2014. Dalam APBN 2017, penerimaan pajak di targetkan berkontribusi sebesar 85,6 persen
atau sekitar Rp 1,498,9 triliun dari total pendapatan Rp 1.750,3 triliun. Sedangkan 14,3
persen ditargetkan dari Pendapatan Negara Bukan Pajak. Pendapatan pajak terbesar pada
2017 dari pajak penghasilan sekitar 52,6 persen dan pajak pertambahan nilai 33 persen.

E. Penyusutan dan Amortisasi


1. Penyusutan (Aktiva Berwujud)
Yaitu pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh aset berwujud yang mempunyai masa
manfaat lebih dari satu tahun harus di bebankan sebagai biaya untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan dengan cara mengalokasikan pengeluaran tersebut
selama masa manfaat aset yang bersangkutan melalui penyusutan (depresiasi).
Penyusutan aset berwujud dapat diatur secara khusus, yaitu :

a. Atas biaya perolehan atau pembelian telepon seluler yang dimiliki dan digunakan
perusahaan untuk pegawai tertentu karena jabatan atas pekerjaannya dapat
dibebankan sebagai biaya perusahaan sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah
biaya perolehan atau pembelian melalui penyusutan aset tetap kelompok 1.
Sedangkan, atas biaya belangganan atau pengisian ulang pulsa dan perbaikan telepon
seluler yang dimiliki dan digunakan perusahaan untuk pegawai tertentu karena
jabatan atau pekerjaannya dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan sebesar 50%
(lima puluh persen) dari jumlah biaya berlangganan atau pengisian ulang pulsa dan
perbaikan dalam tahunan pajak yang bersangkutan.
b. Atas biaya perolehan atau pembelian atau perbaikan besar dan kendaraan bus,
minibus, atau yang sejenis yang dimiliki dan digunakan perusahaan untuk antar-
jemput para pegawai dapat dibebankan seluruhnya sebagai biaya perusahaan melalui
penyusutan aset tetap kelompok II. Sedangkan , atas biaya pemeliharaan atau
perbaikan rutin kendaraan bus, minibus, atau sejenis yang dimiliki dan digunakan
perusahaan untuk antar-jemput para pegawai dapat dibebankan seluruhnya sebagai
biaya perusahaan dalam tahun pajak yang bersangkutan.
c. Atas biaya perolehan atau pembelian atau perbaikan besar kendaraan sedan atau yang
sejenis yang dimiliki dan digunakan perusahaan untuk pegawai tertentu karena
jabatan atau pekerjaannya dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan sebesar 50%
(lima puluh persen) dari jumlah biaya perolehan atau pembelian atau perbaikan besar
melalui penyusutan aset tetap kelompok II. Sedangkan, atas biaya pemeliharaan atau
perbaikan rutin kendaraan (jenis kendaraan bus, minibus, atau yang sejenis) yang
dimiliki dan digunakan perusahaan untuk pegawai tertentu karena jabatan atau
pekerjaannya yang dibebankan sebagai biaya perusahaan sebesar 50% (lima puluh
persen) dari jumlah biaya pemeliharaan atau perbaikan rutin dalam tahun pajak yang
bersangkutan.
d. Kelompok III yaitu Pertambangan selain minyak dan gas, Permintalan, pertenunan
dan pencelupan, Perkayuan, Industri kimia, Industri mesin, Transportasi dan
Pergudangan, Telekomunikasi
e. Kelompok IV diantaranya konsturksi (mesin berat untuk konstruksi), transportasi dan
pergudangan (lokomotif uap,dok-dok terapung)

Saat dimulainya penyusutan


Penyusutan aset berwujud dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran atau pada bulan
selesainya pengerjaan suatu aset sehingga penyusutan pada tahun pertama dihitung secara
prorata. Namun berdasarkan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, saat dimulainya
penyusutan dapat dilakukan pada saat dimulainya penyusutan dapat dilakukan pada bulan
aset tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan atau
pada bulan aset tersebut mulai menghasilkan (saat mulai berproduksi dan tidak dikaitkan
dengan saat diterimanya atau diperolehnya penghasilan)

Tarif penyusutan dan golongan aktiva berwujud menurut UU PPH


Tarif Penyusutan
Kelompok Harta
Masa Manfaat Metode Garis Metode Saldo
Berwujud
Lurus Menurun
I. Bukan Bangunan
     Kelompok 1 4 tahun 25% 50%
     Kelompok 2 8 tahun 12,50% 25%
     Kelompok 3 16 tahun 6,25% 12,50%
     Kelompok 4 20 tahun 5% 10%
II. Bangunan
     Permanen 20 tahun 5% –
     Tidak Permanen 10 tahun 10% –
Metode Penyusutan
a. Metode garis lurus (straight line method)
Metode garis lurus adalah penyusutan dalam bagian-bagian yang sama besar selama
masa manfaat yang ditetapkan bagi harta tersebut (Aset Tetap Berwujud Berupa
Bangunan).
Contoh :
PT. Jaya Abadi membeli sebuah aktiva yang termasuk dalam kelompok I harta
berwujud seharga Rp.150.000.000 pada tanggal 15 Juli 2013, maka pembebanan atas
biaya penyusutan aktiva tersebut berdasarkan metode garis lurus adalah sebagai
berikut :
Tahun Harga Perolehan %Penyusutan Biaya Penyusutan Nilai Sisa Buku
2013 Rp. 150.000.000 25% Rp. 18.750.000 Rp. 131.250.000
2014 25% Rp. 37.500.000 Rp. 93.750.000
2015 25% Rp. 37.500.000 Rp. 56.250.000
2016 25% Rp. 37.500.000 Rp. 18.750.000
2017 25% Rp. 18.750.000 Rp. 0
Keterangan : 
Untuk tahun 2013 biaya penyusutan dihitung berdasarkan 6/12 x 25% x biaya
perolehan, karena pembelian dimulai pada bulan Juli 2013 sehingga biaya yang
diperkenankan hanya dari bulan Juli 2013 sampai Desember 2013 yaitu selama 6
bulan. Untuk tahun 2017 biaya penyusutan dihitung berdasarkan 6/12 x 25% x biaya
perolehan, karena sisa masa manfaat hanya untuk bulan Januari 2015 sampai Juni
2014 yaitu selama 6 bulan. 
b. Metode saldo menurun (declining balance method)
Dasar penyusutan adalah nilai sisa buku fiskal. Penyusutan dengan metode saldo
menurun adalah penyusutan dalam bagian-bagian yang menurun dengan cara
menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku (untuk Aset Tetap Berwujud Bukan
Bangunan). Cara perlakuan nilai sisa buku suatu aktiva tetap pada akhir masa manfaat
yang disusutkan dengan metode saldo menurun adalah nilai sisa buku suatu aktiva
pada akhir masa manfaat yang disusutkan dengan metode saldo menurun harus
disusutkan sekaligus
Contoh Penghitungan penyusutan dengan metode saldo menurun:
PT. Jaya Abadi membeli sebuah aktiva yang termasuk dalam kelompok I harta
berwujud seharga Rp.120.000.000 pada tanggal 9 Juli 2012, maka pembebanan atas
biaya penyusutan aktiva tersebut berdasarkan metode saldo menurun adalah sebagai
berikut :
Tahun Harga Perolehan %Penyusutan Biaya Penyusutan Nilai Sisa Buku
2012 Rp. 120.000.000 50% 30.000.000 90.000.000
2013 50% 45.000.000 45.000.000
2014 50% 22.500.000 22.500.000
2015 50% 11.250.000 11.250.000
2016 Disusutkan sekaligus 50% 11.250.000 0
Keterangan : 
Untuk tahun 2012 biaya penyusutan dihitung berdasarkan 6/12 x 50% x biaya
perolehan, karena pembelian dimulai pada bulan Juli 2012 sehingga biaya yang
diperkenankan hanya dari bulan Juli 2012 sampai Desember 2012 yaitu selama 6
bulan. 
2. Amortisasi (Aktiva Tidak Berwujud)
Amortisasi adalah menggambarkan pembebanan biaya karena penurunan
kegunaan/manfaat secara berkala dari suatu harta tetap. Penetapan masa manfaat dan tarif
amortisasi diatas dimaksudkan untuk memberikan keseragaman dalam melakukan
amortisasi. Metode yang digunakan sesuai dengan metode yang dipilih berdasarkan masa
manfaat yang sebenarnya. Kemungkinan dapat terjadi masa manfaat asset tetap tak
berwujud tidak tercantum pada kelompok masa manfaat, sehingga wajib pajak
menggunakan masa manfaat terdekat. Sebagai contoh asset tetap tak berwujud masa
manfaat sebenarnya 6 tahun, dapat menggunakan masa manfaat 4 tahun atau 8 tahun.
Apabila masa manfaat sebenarnya 5 tahun maka menggunakan kelompok masa manfaat 4
tahun.

Kelompok Aset Tetap Tak Berwujud Dan Tarif Amortisasi


Tarif Amortsasi Tarif Amortsasi
Kelompok Harta Masa
berdasarkan metode berdasarkan metode
Tak Berwujud Manfaat
garis lurus saldo menurun
Kelompok 1 4 tahun 25% 50%
Kelompok 2 8 tahun 12,50% 25%
Kelompok 3 16 tahun 6,25% 12,50%
Kelompok 4 20 tahun 5% 10%

Metode Amortisasi
Metode amortisasi yang dipergunakan adalah metode garis lurus (straight line method)
dan metode saldo menurun (declining balance method). Wajib pajak diperkenankan
untuk memilih salah satu metode untuk melakukan amortisasi.
Contoh Perhitungan Amortisasi
PT Asti Jaya pada tanggal 9 November 2001 mengeluarkan uang sebanyak Rp.
200.000.000,00 untuk memperoleh hak lisensi dari Phoenixcyle Ltd. selama 4 tahun
untuk memproduksi Sepeda Z. Perhitungan amortisasi hak lisensi tersebut adalah sebagai
berikut:

Alternatif I : Metode Garis Lurus

Amortisasi tahun 2001:

25% x Rp. 200.000.000,00 = Rp. 50.000.000,00

Amortisasi tahun 2002:

25% x Rp. 200.000.000,00 = Rp. 50.000.000,00

Amortisasi tahun 2003:

25% x Rp. 200.000.000,00 = Rp. 50.000.000,00

Amortisasi tahun 2004:

25% x Rp. 200.000.000,00 = Rp. 50.000.000,00

Alternatif II : Metode Saldo Menurun

Amortisasi tahun 2001:

50% x Rp. 200.000.000,00 = Rp. 100.000.000,00

Amortisasi tahun 2002:


50% x (Rp. 200.000.000,00 – Rp. 100.000.000,00)

50% x Rp. 100.000.000,00 = Rp. 50.000.000,00

Amortisasi tahun 2003:

50% x (Rp. 100.000.000,00 – Rp. 50.000.000,00)

50% x Rp. 50.000.000,00 = Rp. 25.000.000,00

Amortisasi tahun 2004:

Karena tahun 2004 merupakan akhir masa manfaat, maka pada tahun 2004 seluruh sisa
nilai buku diamortisasikan  sekaligus sehingga amortisasi tahun 2004 adalah:

(Rp. 50.000.000,00 – Rp. 25.000.000,00) = Rp. 25.000.000,00

F. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)


PTKP merupakan jumlah penghasilan tertentu yang tidak dikenakan pajak. Untuk
menghitung besarnya penghasilan kena pajak wajib pajak orang pribadi dalam negeri,
penghasilan netonya dikurangi dengan jumlah penghasilan tidak kena pajak. PTKP yang
ditetapkan dalam pasal 7 ayat 1 undang-undang nomor 17 tahun 2000 mengalami beberapa
perubahan seiring dengan perkembangan ekonomi moneter serta perkembangan harga
kebutuhan pokok setiap tahunnya. Penyesuaian besarnya PTKP terakhir diatur dalam
peraturan menteri keuangan no. 101/PMK. 010/2016 yang diberlakukan efektif tahun pajak
2016.
Wajib pajak yang mempunyai anggota keluarga sedarah dan semenda dalam garis
keturunan lurus yang menjadi tanggungan sepenuhnya, misalnya orang tua, mertua, anak
kandung atau anak angkat, diberi tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk paling
banyak 3 orang. Anggota tersebut dapat termasuk tanggungan sepenuhnya apabila tidak
mempunyai penghasilan dan seluruh biaya hidupnya ditanggung oleh wajib pajak.

Contoh:
Wajib pajak A mempunyai seorang istri dengan tanggungan empat orang anak. Apabila
istrinya memiliki penghasilan dari satu pemberi kerja yang sudah dipotong pajak yang sudah
di potong pajak penghasilan pasal 21 dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan
usaha suami atau anggota keluarga lainnya, besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang
diberikan kepada wajib pajak A adalah Rp. 72.000.000
Rp 54.000.000 + Rp. 4.500.000 + (3 x Rp 4.500.000)
= Rp 58.500.000 + 13.500.000
= Rp 72.000.000
sedangkan untuk istrinya, pada saat pemotongan pajak penghasilan pasal 21 oleh pembeli
kerja diberikan Penghasilan Tidak Kena Pajak sebesar Rp 54.000.000. Apabila penghasilan
istri harus digabung dengan penghasilan suami, besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang
diberikan kepada wajib pajak A sebesar Rp. 126.000.000
Rp 72.000.000 + Rp 54.000.000
= Rp 126.000.000
Penghitungan besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak diatas ditentukan menurut keadaan
wajib pajak pada awal tahun pajak atau pada awal bagian tahun pajak. Misalnya, pada 1
januari 2016 wajib pajak B berstatus kawin dengan tanggungan satu orang anak. Apabila
anak yang kedua lahir setelah 1 januari 2016, besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang
diberikan kepada wajib pajak B untuk tahun pajak 2016 tetap dihitung berdasarkan status
kawin dengan satu anak.
Penghasilan Tidak Kena Pajak bagi wanita
Hal yang harus diperhatikan :
1. Jika wajib pajak adalah wanita kawin dan suami menerima atau memperoleh penghasilan,
besarnya PTKP setahun untuk dirinya sendiri yaitu Rp. 54.000.000 (untuk diri wajib
pajak).
2. Jika wajib pajak adalah wanita kawin yang menunjukkan keterangan tertulis dari
pemerintah daerah setempat (serendah-rendahnya kecamatan) bahwa suaminya tidak
menerima atau memperoleh penghasilan, besarnya PTKP setahun disamping untuk
dirinya sendiri (sebesar Rp. 54.000.000 setahun) juga juga ditambah PTKP untuk status
kawin dan anggota keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya paling banyak tiga
orang masing-masing sebesar Rp. 4.500.000 setahun.
Contoh :
Wajib pajak Anita, berstatus kawin (suami tidak berpenghasilan), anak 3.
Besarnya PTKP untuk Anita adalah Rp. 72.000.000, yang terdiri atas :
- Rp. 54.000.000 untuk diri wajib pajak
- Rp. 4.500.000 tambahan untuk wajib pajak kawin
- 3 x Rp 4.500.000 tambahan untuk tanggungan maksimal 3.
3. Jika wajib pajak tidak kawin, maka besarnya PTKP setahun disamping untuk dirinya
sendiri (sebesar Rp. 54.000.000 setahun) ditambah PTKP untuk keluarga yang menjadi
tanggung jawab sepenuhnya paling banyak tiga orang masing-masing sebesar Rp.
4.500.000 setahun.
Contoh :
Wajib pajak Agustina, berstatus tidak kawin dengan tanggungan 2 orang tua kandung.
Besarnya PTKP untuk Agustina adalah Rp. 63.000.000, terdiri atas:
- Rp. 54.000.000 untuk diri wajib pajak
- 2 x Rp. 4.500.000 tambahan untuk tanggungan

Contoh penghitungan PTKP

Status Wajib Pajak pada Awal Tahun PTKP Setahun


Laki-laki (tidak kawin,tanpa tanggungan) Diri wajib pajak Rp. 54.000.000
Laki-laki (tidak kawin, 2 tanggungan) Diri wajib pajak Rp. 54.000.000
2 tanggungan Rp. 9.000.000
 Total Rp. 63.000.000
Laki-laki (kawin, tanpa tanggungan) Diri wajib pajak Rp. 54.000.000
Status kawin Rp. 4.500.000
 Total Rp. 58.500.000
Laki-laki (kawin, 3 tanggungan) Diri wajib pajak Rp. 54.000.000
Status kawin Rp. 4.500.000
3 tanggungan Rp. 13.500.000
 Total Rp. 72.000.000
Laki-laki (kawin, penghasilan istri Diri wajib pajak Rp. 54.000.000
digabung, 3 tanggungan) Status kawin Rp. 4.500.000
PTKP istri yang
Penghasilannya digabung Rp. 54.000.000
3 tanggungan Rp. 13.500.000
 Total Rp.126.000.000
Wanita (tidak kawin, tanpa tanggungan) Diri wajib pajak Rp. 54.000.000
Wanita (tidak kawin, 2 tanggungan) Diri wajib pajak Rp. 54.000.000
2 tanggungan Rp. 9.000.000
 total Rp. 63.000.000
Wanita (kawin, suami berpenghasilan, 2 Diri wajib pajak Rp. 54.000.000
tanggungan)
Wanita (kawin, suami tidak Diri wajib pajak Rp. 54.000.000
berpenghasilan, 3 tanggungan) Status kawin Rp. 4.500.000
3 tanggungan Rp. 13.500.000
 total Rp. 72.000.000

Sistem pengenaan pajak berdasarkan undang-undang ini menempatkan keluarga


sebagai satu kesatuan ekonomis, artinya penghasilan atau kerugian dari seluruh
anggota keluarga digabungkan sebagai satu kesatuan yang dikenai pajak dan
pemenuhan kewajiban pajaknya dilakukan oleh kepala keluarga. Namun, dalam hal-
hal tertentu, pemenuhan kewajiban pajak tersebut dilakukan secara terpisah.
Penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin pada awal tahun pajak
atau pada awal bagian tahun pajak dianggap sebagai penghasilan atau kerugian
suaminya dan dikenal pajak sebagai satu kesatuan. Penggabungan tersebut tidak
dilakukan jika penghasilan istri diperoleh dari pekerjaan sebagai pegawai yang telah
dipotong pajak oleh pemberi kerja, dengan ketentuan bahwa:
1. penghasilan istri tersebut semata-mata diperoleh dari satu pemberi kerja
2. penghasilan istri tersebut berasal dari pekerjaan yang tidak ada hubungannya
dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya.
Contoh :
Wajib pajak A yang memperoleh penghasilan neto dari usaha sebesar
Rp. 100.000.000. Ia mempunyai seorang istri yang menjadi pegawai dengan
penghasilan neto sebesar Rp. 70.000.000. apabila penghasilan istri tersebut
diperoleh dari satu pemberi kerja dan telah dipotong pajak oleh pemberi kerja dan
pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan suami atau anggota keluarga
lainnya, penghasilan neto sebesar Rp. 70.000.000 tidak digabungan dengan
penghasilan A dan pengenaan pajak atas penghasilan istri tersebut bersifat final.
Apabila selain menjadi pegawai istri A juga menjalankan usaha, misalnya salon
kecantikan dengan penghasilan neto sebesar Rp. 80.000.000, seluruh penghasilan
istri sebesar Rp. 150.000.000 (Rp. 70.000.000 + Rp. 80.000.000) digabungkan
dengan penghasilan A. Dengan penggabungan tersebut, A dikenai pajak atas
penghasilan neto sebesar Rp. 250.000.000 ( Rp. 100.000.000 + Rp. 70.000.000 +
Rp. 80.000.000 ). Potongan pajak atas penghasilan istri tidak bersifat final, artinya
dapat di kreditkan terhadap pajak yang terutang atas penghasilan sebesar Rp.
250.000.000 ( dua ratus lima puluh juta rupiah) tersebut yang dilaporkan dalam
surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan.
Jika suami-istri telah hidup berpisah berdasarkan keputusan hakim,
penghitungan penghasilan kena pajak dan pengenaan pajaknya dilakukan sendiri-
sendiri. Apabila suami istri mengadakan perjanjian pemisahan aset dan
penghasilan secara tertulis atau jika istri menghendaki untuk menjalankan hak dan
kewajiban perpajakan sendiri, penghitungan pajaknya dilakukan berdasarkan
penjumlahan penghasilan neto suami-istri dan masing-masing memikul beban
pajak sebanding dengan besarnya penghasilan neto.
G. Tarif PPH (tarif umum dan tarif khusus)
1. Tarif umum
a. Tarif PPh untuk wajib pajak orang pribadi dalam negeri yaitu sampai dengan Rp.
50.000.000,- sebesar 5%, di atas Rp. 50.000.000,- sampai dengan Rp.
250.000.000,- sebesar 15%, Rp. 250.000.000,- sampai dengan Rp. 500.000.000,-
sebesar 25%, di atas Rp. 500.000.000,- sebesar 30%.
b. Tarif PPh untuk wajib pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah
28%. Tarif tersebut menjadi 25% berlaku mulai tahun pajak 2010. Tarif pajak
untuk WP badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang paling
sedikit 40% dari jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan di Bursa
Efek Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu lainnya dapat diperoleh tarif
sebesar 5% lebih rendah dari pada tarif untuk WP badan pada umumnya.
c. Tarif 25% bagi WP badan dengan peredaran bruto melebihi jumlah Rp
50.000.000.000. seluruh penghasilan kena pajak dikalikan dengan tarif 25%.
2. Tarif Khusus
Tarif khusus sebesar 1% dari peredaran bruto usaha bagi WP orang pribadi dan badan
kecuali bentuk usaha tetap yang memiliki penghasilan dari peredaran bruto usaha
tertentu. Peredaran bruto usaha tertentu yang dimaksud sebesar Rp 4.800.000.000
setahun. Ketentuan ini diatur dalam PP No 46 tahun 2013. Tariff khusus berlaku bagi
usaha bidang tertentu seperti jasa konstruksi, jasa penerbangan dan pelayaran dan
sebagainya.
H. Pengertian Hubungan Istimewa (Transfer Pricing)
Adalah hubungan yang terjadi antara dua Wajib Pajak atau lebih yang menyebabkan
Pajak Penghasilan yang terutang  diantara Wajib Pajak tersebut menjadi lebih kecil
daripada yang seharusnya terutang.
Pihak-pihak yang termasuk dalam hubungan istimewa :
1. Hubungan antara Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dengan Wajib Pajak
Orang Pribadi Dalam Negeri.
2. Hubungan antara Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dengan Wajib Pajak
Orang Pribadi Luar Negeri.
3. Hubungan antara Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dengan Wajib Pajak
Badan Dalam Negeri.
4. Hubungan antara Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dengan Wajib Pajak
Badan Luar Negeri.
5. Hubungan antara Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dengan Wajib Pajak Badan
Dalam Negeri.
6. Hubungan antara Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dengan Wajib Pajak Badan Luar
Negeri.
7. Hubungan antara Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dengan Wajib Pajak Orang
Pribadi Dalam Negeri.
8. Hubungan antara Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dengan Wajib Pajak Orang
Pribadi Luar Negeri.

Hubungan Istimewa (Transfer Pricing) dapat terjadi karena :


1. Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling
rendah 25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain
Contoh penyertaan secara langsung
PT A memiliki saham PT B, kepemilikan saham PT B oleh PT A merupakan
penyertaan modal secara langsung sebesar lebih dari 25%
Contoh penyertaan tidak langsung
PT B diatas memiliki 50% saham PT C, maka PT A sebagai pemegang saham PT B,
secara tidak langsung mempunyai penyertaan pada PT C sebesar 25%. Hal tersebut
antara PT A, PT B, dan PT C terdapat hubungan istimewa, hubungan kepemilikan
tersebut dapat terjadi antara orang pribadi dan badan
2. Faktor penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi
Contoh :
Tn.Fauzi, direktur utama di perusahaan PT Pelni juga menjabat sebagai direktur
utama di perusahaan PT Z. hal ini hubungan istimewa antara PT pelni dan PT Z
karena adanya penguasaan melalui manajemen perusahaan PT Pelni dan PT Z.
3. Terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan
lurus dan/atau ke samping satu derajat
Contoh hubungan lurus satu derajat : hubungan antara seseorang dengan ayahnya atau
seseorang dengan ibunya atau dengan anaknya
Contoh hubungan keturunan kesamping satu derajat : hubungan antara seseorang
dengan kakaknya atau dengan adiknya.
I. PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN (PPh)
A. Pelunasan pajak dalam tahun berjalan melalui pihak lain
Hal ini dapat dikelompokkan sebagai berikut :
1. pemungutan pajak penghasilan oleh pihak lain atas penghasilan berupa gaji, upah,
honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk
apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan lain
dilakukan oleh WP orang pribadi dalam negeri yang dimaksud dalam pasal 21
ayat 1 UU PPh terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau pada
akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan, tergantung peristiwa
yang terjadi terlebih dahulu
2. pemungutan PPh oleh pihak badan pemerintah berkenaan dengan pembayaran
atas penyerahan barang (pasal 22 ayat 1 UU PPh)
3. pemotongan PPh oleh pihak lain atas penghasilan berupa dividen, bunga, royaliti,
penghargaan, hadiah, bonus dan lain-lain yang diterima oleh WP (Pasal 23 UU
PPh)
4. pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima oleh WP luar negeri selain
bentuk usaha tetap (Pasal 26 ayat 1 UU PPh)
5. pelunasan pajak atas penghasilan-penghasilan tertentu (bunga deposito dan
simpanan lain di bank, hadiah undian, transaksi saham dan sekuritas lain diatur
dalam Peraturan Pemerintah (Pasal 4 ayat 2 UU pajak)
B. Pelunasan pajak dalam tahun berjalan oleh wajib pajak sendiri
1. WP orang pribadi dalam negeri yang menerima penghasilan sehubungan dengan
pekerjaan dari badan-badan yang tidak wajib melakukan pemotongan, penyetoran
dan pelaporan pajak (pasal 21 ayat 2 UU PPh) wajib memiliki NPWP dan
melaksanakan sendiri penghitungan dan pembayaran serta melaporkan nya dalam
SPT
2. WP membayar sendiri pajak atas penghasilan yang diperoleh atau diterima
melalui angsuran PPh dalam tahun pajak berjalan (PPh pasal 25).
C. Pelunasan pajak saat sesudah akhir tahun pajak, dilakukan dengan :
1. Membayar pajak yang kurang disetor dengan menghitung sendiri jumlah PPh
yang terutang untuk satu tahun pajak dikurangi dengan jumlah kredit pajak tahun
yang bersangkutan (Pph Pasal 29)
2. Membayar pajak yang kurang disetor karena menerima surat ketetapan pajak
(SKPKB atau SKPKBT) atau Surat Tagihan Pajak yang diterbitkan oleh Dirjen
Pajak.
J. Contoh Penghitungan pajak
1. WP orang pribadi dan badan yang memiliki peredaran usaha tertentu
Penghitungan tersebut diperuntukkan bagi WP dengan syarat :
a. WP dalam negeri orang pribadi dan badan selain bentuk usaha tetap
b. Memperoleh peredaran bruto dari penghasilan usaha dengan jumlah tidak
melebihi Rp 4.800.000.000 dalam satu tahun pajak
c. Penghasilan usaha yang dimaksud tidak termasuk penghasilan dari jasa
sehubungan dengan pekerjaan bebas, penghasilan yang diperoleh/diterima dari
luar negeri, penghasilan yang PPh nya bersifat final dan penghasilan yang bukan
objek pajak

PPh Terutang = Tarif x PKP

= 1% x Peredaran bruto sebulan


Contoh :
Agus Hidayat menjalankan usaha bengkel reparasi motor sekaligus menjual suku
cadangnya, Agus Hidayat yang telah terdaftar sebagai Wajib Pajak sejak tahun 2009
memiliki 2 (dua) buah bengkel yang berada di wilayah yang berbeda, yakni bengkel
A terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) X dan bengkel B terdaftar di KPP Y.
Berdasarkan pencatatannya selama tahun 2013 masing-masing bengkel tersebut
rnemiliki peredaran bruto sebagai berikut:
Peredaran bruto bengkel A Rp 110.000.000
Peredaran bruto bengkel B Rp 160.000.000

Peredaran bruto yang dijadikan dasar penentuan tarif PPh yang bersifat final adalah
jumlah peredaran bruto bengkel A dan bengkel B yakni sebesar Rp250.000.000,00
(dua ratus lima puluh juta rupiah). Karena total peredaran bruto selama tahun 2013.
kurang dari Rp4.800.000.000,00 (ernpat miliar delapan ratus juta rupiah) maka atas
penghasilan dari usaha yang diterirna oleh Agus Hidayat pada tahun 2014 dikenai
Pajak Penghasilan yang bersifat final sebesar 1% (satu persen) dari peredaran bruto.

Misalkan pada bulan Januari 2014, Agus Hidayat mernperoleh peredaran bruto dari
bengkel A sebesar Rp1.000.000,00 dan dari bengkel B sebeear Rp16,000.000,00,
maka paling lambat pada tanggal 17 Februari 2014 (karena tanggal 15 Februari jatuh
pada hari Sabtu), Agus Hidayat wajib menyetorkan PPh yang bersifat final sebesar :
a. Bengkel A
PPh  terutang:
1% x Rp11.000.000 = Rp 110.000
(dilaporkan ke KPP X)
b. Bengkel B
PPh terutang:
1% x Rp16.000.000 = Rp 160.000
(dilaporkan ke KPP Y)
2. WP orang pribadi menggunakan norma penghitungan
Tuan Fauzi (K/2) mempunyai Kantor Konsultan Pajak. Peredaran bruto dari
pekerjaan bebas selama setahun sebesar Rp 3.000.000.000. biaya/pengeluaran yang
tercatat selama setahun terdiri atas gaji sebesar Rp 700.000.000, biaya/pengeluaran
lain diantaranya sewa kantor, biaya transportasi dan lainnya sebesar Rp 600.000.000.
penghasilan neto dari pekerjaan sebagai pegawai tetap di universitas Sriwijaya
sebesar 140.000.000 setahun.
Penjelasan : WP Fauzi adalah WP orang pribadi dengan peredaran usaha tidak
melebihi Rp 4.800.000.000, tetapi memperoleh penghasilan dari pekerjaan bebas.

Penghitungan PKP dan PPh terutang


Peredaran bruto pekerjaan bebas Rp 3.000.000.000
Penghasilan neto (norma jasa tersebut 35%) : Rp 1.050.000.000
35% x Rp 2.000.000.000
Penghasilan neto dari pekerjaan Rp 140.000.000 (+)
Total penghasilan neto Rp 1.190.000.000
PTKP (K/2)
- Diri Wajib Pajak Rp 54.000.000
- Tambahan Kawin Rp 4.500.000
- Tanggungan Rp 9.000.000
Rp 67.500.000 (-)
PKP Rp 1.122.500.000

PPh yang terutang


5% x Rp 50.000.000 Rp 2.500.000
15 % x Rp 200.000.000 Rp 30.000.000
25 % x Rp 250.000.000 Rp 62.500.000
30 % x Rp 622.500.000 Rp 186.750.000
Total PPh yang terutang Rp 281.750.000
Pada contoh tersebut WP Fauzi membayar zakat atas penghasilan ke badan amil zakat
(BAZIS) disertai bukti yang memenuhi persyaratan sebesar Rp 20.500.000 besarnya
PKP
Total penghasilan neto Rp 1.122.500.000
Zakat atas penghasilan Rp 20.500.000 (-)
Rp 1.102.000.000
PTKP (K/2)
- Diri wajib pajak Rp 54.000.000
- Tambahan kawin Rp 4.500.000
- Tanggungan 2 Rp 9.000.000 (+)
Rp 67.500.000 (-)
PKP Rp 1.034.500.000
PPh yang terutang
5% x Rp 50.000.000 Rp 2.500.000
15 % x Rp 200.000.000 Rp 30.000.000
25 % x Rp 250.000.000 Rp 62.500.000
30 % x Rp 534.500.000 Rp 160.350.000
Total PPh yang terutang Rp 255.350.000

Penghitungan ini diperuntukkan bagi WP dengan syarat :


a. WP dalam negeri orang pribadi
b. Memperoleh peredaran bruto tidak melebihi Rp 4.800.000.000 dalam satu tahun
pajak
c. Penghasilan tersebut berasal dari pekerjaan bebas
d. WP harus memberitahukan kepada Dirjen Pajak dalam jangka waktu 3 bulan
pertama dari tahun pajak yang bersangkutan
e. WP wajib menyelenggarakan pencatatan tentang peredaran brutonya yang diatur
dalam UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
3. WP orang pribadi menyelenggarakan pembukuan
Tuan Siddiq (K/0) memiliki usaha perdagangan batik yang diberi nama Permata
Batik. Berikut data penghasilan, biaya/pengeluaran yang boleh dikurangkan dan
penghitungan PKP dan PPh yang terutang

Peredaran usaha Rp 6.000.000.000

Biaya untuk mendapatkan, menagih dan

memelihara penghasilan Rp 4.500.000.000 (-)

penghasilan neto dari usaha Rp 1.500.000.000

penghasilan dari pekerjaan Rp 130.000.000

biaya untuk mendapatkan, menaruh dan

memelihara penghasilan Rp 7.500.000 (-) Rp 122.500.000

penghasilan dari luar usaha Rp 60.000.000 (+)

total penghasilan neto Rp 1.682.500.000

PTKP (K/0)

- Diri wajib pajak Rp 54.000.000


- Tambahan kawin Rp 4.500.000
- Tanggungan Rp - (+)

Rp 58.500.000 (-)

PKP Rp 1.624.000.000

PPh yang terutang :

5% x Rp 50.000.000 Rp 2.500.000
15 % x Rp 200.000.000 Rp 30.000.000
25 % x Rp 250.000.000 Rp 62.500.000
30 % x Rp 1.124.000.000 Rp 337.200.000
Total PPh yang terutang Rp 432.200.200
Apabila WP Siddiq membayarkan zakat atas penghasilan kepada badan amal zakat
(BAZIS) sebesar Rp 16.250.000 terdapat sisa kerugian tiga tahun lalu yang belum
dikompensasikan sebesar Rp 25.000.000, hitungan PKP dan PPh sbb :

Total penghasilan neto Rp 1.624.000.000


Zakat atas penghasilan Rp 16.250.000
Sisa rugi dikompensasikan Rp 25.000.000 (-)
Rp 1.592.750.000
PTKP (K/0)
- Diri wajib pajak Rp 54.000.000
- Tambahan kawin Rp 4.500.000
- Tanggungan Rp - (+)

Rp 58.500.000 (-)

PKP Rp 1.534.250.000
PPh yang terutang
5% x Rp 50.000.000 Rp 2.500.000
15 % x Rp 200.000.000 Rp 30.000.000
25 % x Rp 250.000.000 Rp 62.500.000
30 % x Rp 1.034.250.000 Rp 1.336.200
Total PPh yang terutang Rp 310.275.000

Penghitungan ini diperuntukkan bagi WP dengan syarat :


1. WP dalam negeri orang pribadi
2. Memperoleh peredaran bruto melebihi Rp 4.800.000.000 dalam satu tahun
pajak
3. Penghasilan tersebut berasal dari usaha dan atau pekerjaan bebas

Anda mungkin juga menyukai