Anda di halaman 1dari 9

NAMA : NI MADE RAI DWIKAYANTI

NIM : 1704551149
KELAS : B (REGULER PAGI)

UJIAN TENGAH SEMESTER "HUKUM ADAT BALI"

1. BAGAIMANA PERANAN HUKUM ADAT MAUPUN HUKUM ADAT BALI


DALAM PEMBENTUKAN HUKUM NASIONAL !
Jawab :
Hukum adat adalah aturan tidak tertulis yang hidup di dalam masyarakat adat
suatu daerah dan akan tetap hidup selama masyarakatnya masih memenuhi hukum adat
yang telah diwariskan kepada mereka dari para nenek moyang sebelum mereka. Oleh
karena itu, keberadaan hukum adat dan kedudukannya dalam tata hukum nasional tidak
dapat dipungkiri walaupun hukum adat tidak tertulis dan berdasarkan asas legalitas
adalah hukum yang tidak sah. Hukum adat akan selalu ada dan hidup di dalam
masyarakat.
Dalam hal kaitannya dengan peran hukum adat bali dalam pembentukan hukum
nasional adalah sama seperti peranan hukum adat, namun dalam hal ini hukum adat bali
berperan dalam pembentukan hukum perundang-undangan atau peraturan daerah di Bali.
Jadi dalam hal ini peranan hukum adat, hukum adat Bali dalam pembentukan hukum
nasional adalah bersifat fungsional, dimana artinya hukum adat/adat bali sebagai sumber
utama dalam mengambil bahan-bahan yang diperlukan dalam rangka pembangunan dan
pembentukan hukum nasional.

2. APAKAH FAKTOR-FAKTOR PEMBENTUK MAUPUN UNSUR-UNSUR DARI


MASYARAKAT HUKUM ADAT PADA UMUMNYA DAPAT ATAU TIDAK
DITERAPKAN PADA MASYARAKAT HUKUM ADAT BALI !
Jawab :
Ya, faktor-faktor pembentuk maupun unsur-unsur dari masyarakat hukum adat
pada umumnya dapat diterapkan pada masyarakat hukum adat Bali.
Faktor-faktor pembentuk masyarakat hukum adat pada umumnya yaitu :
a. Faktor Teritorial
Apabila dilihat dari dasar teritorial semata sebagai dasar pembentukan suatu
masyarakat hukum adat, yaitu adanya kesamaan wilayah atau tempat tinggal,
maka kelompok tersebut telah dapat diartikan sebagai suatu masyarakat hukum.
b. Faktor Genealogis
Faktor ini karena adanya hubungan darah. Hal ini berarti bahwa kelompok dalam
masyarakat hukum itu terbentuk karena anggotanya berasal dari adanya hubungan
darah antara orang yang satu dengan orang yang lainnya.
Sedangkan unsur-unsur masyarakat adat pada umumnya yaitu :
a. Terdiri dari orang-orang sebagai suatu kelompok/kesatuan terhadap dunia luar,
lahir dan bathin.
b. Kelompok tersebut mempunyai tata susunan yang tetap dan kekal.
c. Adanya kekuasaan sediri sebagai kelompok yang otonom dan mempunyai
pengurus sendiri.
d. Mempunyai harta kekayaan baik milik keduniawian dan milik gaib (matriil dan
spirituil) yang terpisah antara harta kekayaan milik kelompok dengan harta
kekayaan anggota.
e. Tidak ada seorangpun dari anggota kelompok yang mempunyai keinginan untuk
melepaskan diri dari kelompoknya atau ingin membubarkan kelompoknya.

Soekanto menyatakan bahwa desa di Bali adalah persekutuan teritorial, dimana


warganya bersama-sama mempunyai kewajiban dan kemampuan untuk membersihkan
wilayah desa bagi keperluan-keperluan yang berhubungan dengan agama. Hal ini berarti
bahwa desa-desa di Bali disamping memiliki unsur-unsur pembentuk, juga memiliki
unsur yang bersifat magis religius. Unsur pembentuk tampak pada adanya wilayah
kekuasaan, warga, pemerintahan dan harta kekayaan baik materiil maupun inmateriil.
Sedangkan unsur yang bersifat magis religius tampak dari keberadaan desa yang menjadi
tempat persembahyangan bersama bagi warga desa secara keseluruhan. Sehingga dalam
hal ini faktor-faktor pembentuk maupun unsur-unsur dari masyarakat hukum adat pada
umumnya dapat diterapkan dalam masyarakat hukum adat bali, namun desa
adat/pakraman di Bali memiliki unsur lainnya sehingga membedakannya dengan desa-
desa lain di Indonesia.

3. JELASKAN APAKAH MASYARAKAT HUKUM ADAT DI BALI DAPAT


DISEBUT SEBAGAI PERSEKUTUAN HUKUM ADAT DITINJAU DARI
UNSUR-UNSUR HUKUM ADAT PADA UMUMNYA!
Jawab :
Unsur-unsur hukum adat pada umumnya sebetulnya belum dapat dinyatakan
suatu kelompok itu sebagai suatu persekutuan hukum atau masyarakat hukum, karena
perlu ada faktor lain sebagai penentunya untuk membedakannya dengan kelompok lain
seperti kelompok sosial biasa. Faktor-faktor penentu tersebut adalah faktor teritorial dan
faktor genealogis. Sebagaimana telah dijelaskan pada nomor 2 tugas ini, bahwa desa di
bali termasuk dalam faktor persekutuan teritorial dengan unsur unsur pembentuk
(wilayah kekuasaan, warga, pemerintahan dan harta kekayaan materiil/inmateriil) dan
juga unsur magis religius (keberadaan desa untuk tempat persembahyangan warga).
Sehingga dalam hal ini, masyarakat adat di Bali dapat disebut sebagai persekutuan
hukum adat ditinjau dari unsur-unsur hukum adat pada umumnya dengan didukung
adanya faktor teritorial. Desa adat/pakraman di Bali merupakan suatu masyarakat hukum
adat yang mempunyai bentuk dan corak tersendiri yang berbeda dengan desa-desa
lainnya di Indonesia.

4. DALAM PERDA NO 4 TAHUN 2019 PASAL 65 AYAT (1) HURUF G YANG


BERKAITAN DENGAN ANGGARAN PENDAPATAN DESA ADAT
MENYEBUTKAN BAHWA : PENDAPATAN LAIN-LAIN DESA ADAT YANG
SAH. JELASKAN PENDAPAT SAUDARA APAKAH RETRIBUSI YANG
DILAKUKAN DESA ADAT DI BALI TERMASUK PUNGUTAN LIAR !
JAWAB :
Dalam Perda No. 4 tahun 2019 Pasal 65 ayat (1) huruf g telah disebutkan bahwa
pendapatan desa salah satunya adalah pendapatan lainnya yang sah. Dalam pasal tersebut
terjadi ketidakjelasan makna, karena dilihat dalam penjelasannya tidak ada penjelasan
lebih lanjut dengan apa yang dinamakan pendapatan lain yang sah. Retribusi yang
dilakukan oleh desa adat di Bali tentunya diperlukan pengelolaan yang terpadu antara
pemerintah daerah dan pihak desa adat/pakraman,. Karena pemerintah daerah merupakan
pihak yang berwenang secara peraturan perundangundangan untuk melakukan pungutan
retribusi. Selama ini desa adat/pakraman di Bali melakukan pungutan retribusi tersebut
bukan untuk memperkaya diri sendiri, melainkan dijadikan pendapatan desa yang
sebelumnya telah disepakati dengan perarem dalam Desa Pakraman.
Berbeda lagi apabila retribusi tersebut kemudian digunakan untuk memperkaya
diri sendiri/pihak yang melakukan pemungutan. Apalagi hal tersebut dibarengi dengan
tidak adanya pengelolaan yang terpadu antara pemerintah daerah dan pihak desa
adat/pakraman. Tentunya tindakan tersebut baru dapat dikategorikan sebagai pungutan
liar. Pihak desa adat/pakraman di Bali yang sampai saat ini masih melakukan pungutan
retribusi hendaknya memilih untuk melakukan pengelolaan terlebih dahulu dengan
konsultasi atau mendiskusikannya lebih lanjut dengan pemerintah daerah. Demikian pula
untuk pemerintah daerah agar melakukan perlindungan hukum kepada desa
adat/pakraman di Bali yang melakukan pungutan retribusi dan melakukan pendampingan
sehingga tidak bertentangan maupun menimbulkan masalah dengan berbagai peraturan
perundangundangan yang telah ada.

5. JELASKAN PERBEDAAN KAWIN LARI DAN KAWIN BAWA LARI !


Jawab :
Perbedaan kawin lari dan kawin bawa lari :
a. Kawin lari
Keadaan dimana laki-laki mengajak perempuan untuk lari dari rumah orang tua
mereka masing-masing, karena adanya berbagai rintangan dan kemudian mereka
selama beberapa waktu menumpang dirumah salah satu sanak keluarga ataupun
ditempat lain, baik untuk menikah atau hanya sebagai tempat pelarian saja dan
kemudian setelah selang beberapa waktu mereka kembali kerumah orang tua mereka
masing-masing secara bersama untuk meminta doa restu untuk menikah, dan yang
terpenting dari tindakan ini adalah orang tua laki-laki dan perempuan sama-sama
mengetahui bahwa anak-anak mereka sama-sama melarikan diri dari rumah untuk
menghindari beberapa rintangan yang menghalangi perkawinan mereka. Rintangan
tersebut dapat berupa biaya perkawinan yang besar, upacara adat yang berat untuk
dilaksanakan atau adanya kerabat/keluarga yang tidak menyetujui perkawinan
tersebut.
b. Kawin bawa lari
Keadaan dimana laki-laki mengajak lari perempuan yang sudah ditunangkan, atau
sudah menikah dengan orang lain ataupun masih lajang, dari rumah kedua orang
tuanya dengan maksud untuk dikawini tanpa sepengetahuan orang tuanya atau tanpa
restu dari orang tuanya. Perkawinan ini sama sekali terjadi diluar kehendak atau tidak
ada restu dari orang tua salah satu pasangan maupun keduanya. Perkawinan bawa lari
ini menghindari untuk bertemu ataupun dekat dengan orang tua maupun
kerabat,keluarga masing-masing, dan biasanya mereka akan terus dicari
keberadaannya oleh kerabatnya masing-masing. Apabila dikaitkan dengan hukum
pidana perkawinan bawa lari inilah yang disamakan dengan tindak pidana melarikan
anak gadis orang.

6. DI BALI MASIH BANYAK MASYARAKAT YANG MELAKUKAN


PERKAWINAN DENGAN CARA "KAWIN LARI". JELASKAN PENDAPAT
SAUDARA KAWIN LARI DITINJAU DARI PASAL 332 KUHPIDANA !
Jawab :
Mengenai kawin lari dalam Pasal 322 KUHP dapat dilihat pada ayat (1) pasal ini
yang menyatakan :

(1) Bersalah melarikan perempuan diancam dengan pidana penjara:


(i) Paling lama 7 tahun, barangsiapa membawa pergi seorang perempuan
yang belum dewasa, tanpa dikehendaki orang tuanya atau walinya tetapi
dengan persetujuan perempuan itu, baik di dalam maupun di luar
perkawinan
(ii) Paling lama 9 tahun, barangsiapa membawa pergi seorang perempuan,
dengan tipu muslihat, kekerasan atau ancaman kekerasan, dengan
maksud untuk memastikan penguasaannya terhadap perempuan itu, baik
di dalam maupun di luar perkawinan.

Dalam hal kawin lari adalah dilihat dari frase "membawa pergi" dalam Pasal 332
KUHP. Perbuatan ‘membawa pergi’ yang disebut ayat (1) berarti memerlukan tindakan
aktif dari laki-laki. Pasal ini tidak bisa diterapkan jika yang sangat aktif adalah si
perempuan, sedangkan laki-laki bersifat pasif. Dari pasal tersebut terdapat istilah
membawa pergi yang berarti melarikan perempuan di bawah umur tanpa izin orang tua
atau walinya walaupun atas kemauan perempuan itu sendiri dan atau membawa pergi
perempuan yang belum cukup umur dikarenakan akal tipu, kekerasan atau anacaman
kekerasan. .Maksud membawa lari ialah untuk mempunyai perempuan itu dalam atau luar
perkawinan. Menurut Pasal 332 KUHPidana walaupun perempuann yang dibawa lari itu
atas kemauan sendiri tetapi karena ia masih dibawah umur dan tanpa izin orang tua atau
walinya maka yang melarikan karena salahnya tetap dihukum sesuai sanksi yang
tercantum.
7. JELASKAN APAKAH PERKAWINAN MENURUT HUKUM ADAT BALI YANG
TIDAK DICATATKAN DI KANTOR CATATAN SIPIL DAPAT DIKATAN SAH !
Jawab :
Sebuah perkawinan adalah sah bila dilakukan menurut hukum agama dan
keyakinan berturut-turut (Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan). Selain itu,
setiap perkawinan harus didaftarkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku Perkawinan pada umumnya harus dicatatkan di kantor pegawai pencatat sipil,
akan tetapi sampai sekarang masih banyak perkawinan yang belum terdaftar atau
dicatatkan. Hal ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain biaya pencatatan
perkawinan yang cukup mahal dan sulitnya mengurus surat pencatatan perkawinan
tersebut.
Perkawinan dan perceraian bagi umat Hindu di Bali dapat dikatakan sah apabila
dilaksanakan menurut hukum adat Bali (disaksikan prajuru banjar atau desa pakraman)
dan agama Hindu. Jadi bagi masyarakat adat Bali khususnya agama hindu, perkawinan
harus melalui proses upacara agama yang disebut “Mekala-kalaan” (natab banten),
biasanya dipuput oleh seorang pinandita. Jadi makna upacara mekala-kalaan sebagai
pengesahan perkawinan kedua mempelai melalui proses penyucian, sekaligus
menyucikan benih yang dikandung kedua mempelai. Sehingga hal ini berarti perkawinan
menurut hukum adat Bali dapat dikatakan sah, menurut agama (skala/niskala). Terkait
dengan apabila perkawinan tidak dicatatkan di kantor Catatan Sipil, maka perkawinan
tetap dianggap sah apabila memang dijalankan menurut agama dan adat, karena kantor
catatan sipil sesuai Pasal 2 UU Perkawinan adalah melayani pencatatan akta perkawinan
agar perkawinan memiliki kekuatan hukum, bukan untuk "mengawinkan secara sah".

8. SEBUTKAN DAN JELASKAN JENIS-JENIS ATAU PENGGOLONGAN ANAK


MENURUT HUKUM ADAT BALI !
Jawab :
Jenis-jenis atau penggolongan anak menurut hukum adat Bali :
a. Anak sah
Anak yang lahir dari pekawinan yang sah dari orang tuanya (anak kandung dan
bukan anak kandung : anak angkat, anak tiri dan anak piara)
b. Anak tidak sah anak luar kawin (natuurlijk kind) atau anak alam
Anak yang dilahirkan dari hubungan perkawinan yang tidak pernah disahkan.
Mereka hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya saja. Dalam UU No.1
Tahun 1974, anak tidak sah hanya mempunyai hubungan keperdataan saja dengan ibu
dan keluarga ibu. Berbeda halnya dalam hukum barat, yang perlu mendapatkan
pengakuan terlebih dahulu dari ibu maupun laki-laki yang mengawini ibunya. Anak
luar kawin disebut dengan “anak bebinjat atau anak haram”.

9. SEBUTKAN PERBEDAAN KEDUDUKAN ANAK ANGKAT DI BALI DENGAN


ANAK ANGKAT DI JAWA !
Jawab :
Perbedaan kedudukan anak angkat di Bali dengan anak angkat di Jawa :
a. Pengangkatan anak pada Masyarakat Adat Bali
- Menganut sistem kekeluargaan patrilinial, anak yang diangkat biasanya anak
laki-laki, boleh juga anak wanita & anak yg diambil lebih diutamakan garis
laki purusa.
- Pengangkatan anak di Bali disebut meras sentana /meras pianak, anak yang
diangkat disebut sentana peperasan.
- Mengangkat status anak perempuan menjadi berstatus laki-laki Putrika/
Sentana Rajeg, dengan syarat harus melakukan perkawinan “Keceburin”,
yaitu perkawinan secara khusus dengan cara mencari suami yang akan masuk
kedalam kelompok keluarga istri dengan status sbg perempuan (predana) agar
istrinya mempunyai kedudukan yang sama dgn anak laki.
- Sentana seperti ini juga dinamakan Sentana Tarikan/Sentana Nyeburin.
- Disamping itu dikenal cara lain yaitu mengangkat Sentana Laki yang
kemudian dikawinkan terlebih dahulu dengan anak perempuannya agar tidak
terjadi delik adat, tetapi anak perempuannya tetap berstatus perempuan.
- Sentana Laki tersebut tetap berstatus laki-laki, disebut dengan istilah “Sentana
Silih Dihi dan Sentana Kepala Dara”.
- Pengangkatan anak ini menjadi penting bagi masy hk adat Bali terutama bagi
keluarga yg tdk mempunyai anak baik laki maupun perempuan.
b. Pengangkatan anak di Jawa
- Jawa umumnya dilakukan terhadap kemenakan-kemenakannya baik laki
maupun perempuan.
- Umumnya tidak menuntut prosedur & persyaratan seperti halnya pada
masyarakat Bali, tanpa sepengetahuan penghulu rakyat. Pada pokoknya
pengangkatan anak di Jawa lebih bersifat “Social Psikologis” dari pada sifat
yuridisnya.
- Anak angkat di Jawa :
 Tidak berkedudukan sbg anak kandung dari orang tua angkatnya
 Tidak berhak mewaris dari orang tua angkatnya
 Tetap mewaris di orang tua kandungnya.
 Mempunyai hak tertentu atas barang-barang harta peninggalan orang
tua angkatnya
 Tidak berhak sama sekali atas harta ayah ataupun ibu angkatnya
(Putusan MA N.37/K/Sip/1959 tanggal 18 Maret 1959 Jo MA
No.82/K/Sip/1957 tanggal 24 Mei 1958)

10. APAKAH AKIBAT HUKUM DARI PENGANGKATAN ANAK PADA


MASYARAKAT HUKUM ADAT BALI!
Jawab :
Dalam hukum adat bali, pengangkatan anak secara otomatis memutuskan
hubungan tali keluarga antara anak angkat dengan orang tua kandungnya, karena menurut
hukum adat Bali perbuatan mengangkat anak adalah perbuatan hukum yang melepaskan
anak itu dari pertalian kekeluargaan dengan orang tuanya sendiri dan memasukkan anak
itu ke dalam keluarga orang tua angkat, sehingga anak tersebut berstatus seperti anak
kandung, oleh karena itu maka anak angkat hanya berhak mewaris dari orang tua yang
mengangkatnya. Meskipun diperbolehkan mengangkat anak orang lain untuk menjadi
ahli waris, tetapi yang dinjurkan adalah mengangkat anak dari anggota keluarga sendiri
yang terdekat dari pewaris. Hal ini selanjutnya akan membawa akibat hukum dalam
hubungan kekeluargaan, waris dan kemasyarakatan. Konsekuensinya disini segala hak
dan kewajiban yang ada ada orang tua angkatnya akan dilanjutkan oleh anak angkat itu
sendiri, sebagaimana layaknya seperti anak kandung.

Anda mungkin juga menyukai