Anda di halaman 1dari 13

PANCA SRADDHA

Diringkas / Disusun oleh:

Nama : I Putu Hengky Purnama Ariwijaya

Nim :(190030044)

Kelas : BG193

Dipresentasikan pada hari/Tgl:

INSTITUT TEKNOLOGI DAN BISNIS

STIKOM BALI

2020
PENGERTIAN PANCA SRADHA

Agama Hindu disebut pula dengan Hindu Dharma, Vaidika Dharma ( Pengetahuan
Kebenaran) atau Sanatana Dharma ( Kebenaran Abadi ). Untuk pertama kalinya Agama Hindu
berkembang di sekitar Lembah Sungai Sindhu di India. Agama Hindu adalah agama yang
diwahyukan oleh Sang Hyang Widhi Wasa, yang diturunkan ke dunia melalui Dewa Brahma
sebagai Dewa Pencipta kepada para Maha Resi untuk diteruskan kepada seluruh umat manusia di
dunia.

Ada tiga kerangka dasar yang membentuk ajaran agama Hindu, ketiga kerangka tersebut
sering juga disebut tiga aspek agama Hindu. Ketiga kerangka dasar itu antara lain :

1. Tattwa, yaitu pengetahuan tentang filsafat agama


2. Susila, yaitu pengetahuan tentang sopan santun, tata krama
3. Upacara, yaitu pengetahuan tentang yajna, upacara agama

Di dalam ajaran Tattwa di dalamnya diajarkan tentang “ Sradha “ atau kepercayaan.


Sradha dalam agama Hindu jumlahnya ada lima yang disebut “ Panca Sradha “.

 PEMBAGIAN PANCA SRADHA

Panca Sradha terdiri dari :

1. Brahman, artinya percaya akan adanya Sang Hyang Widhi


2. Atman, artinya percaya akan adanya Sang Hyang Atman
3. Karma, artinya percaya akan adanya hukum karma phala
4. Samsara, artinya percaya akan adanya kelahiran kembali
5. Moksa, artinya percaya akan adanya kebahagiaan rokhani.

Untuk menciptakan kehidupan yang damai seseorang wajib memiliki sradha yang
mantap. Seseorang yang sradhanya tidak mantap hidupnya menjadi ragu, canggung, dan tidak
tenang.

Cobalah perhatikan kegelisahan dan ketakutan seorang anak di arena sirkus. Anak kecil
menjerit ketakutan ketika disuruh bersalaman dengan seekor harimau, walaupun di dampingi
oleh seorang Pawang. Mengapa ketakutan itu bisa terjadi ?
Tidak lain karena anak kecil itu belum mempunyai kepercayaan penuh bahwa harimau itu
akan jinak dan telah terlatih oleh pawangnya. Jadi kesimpulannya kepercayaan yang mantap
dapat menciptakan ketenangan.

 PENJELASAN MASING – MASING BAGIAN PANCA SRADHA

1. Brahman ( Percaya akan adanya Hyang Widhi )

Hyang Widhi adalah yang menakdirkan, maha kuasa, dan pencipta semua yang ada. Kita
percaya bahwa beliau ada, meresap di semua tempat dan mengatasi semuanya “ Wyapi Wyapaka
Nirwikara “

Di dalam kitab Brahman Sutra dinyatakan “ Jan Ma Dhyasya Yatah “ artinya Hyang
Widhi adalah asal mula dari semua yang ada di alam semesta ini. Dari pengertian tersebut bahwa
Hyang Widhi adalah asal dari segala yang ada. Kata ini diartikan semua ciptaan, yaitu alam
semesta beserta isinya termasuk Dewa – dewa dan lain – lainnya berasal dan ada di dalam Hyang
Widhi. Tidak ada sesuatu d i luar diri beliau. Penciptaan dan peleburan adalah kekuasaan beliau.

Agama Hindu mengajarkan bahwa Hyang Widhi Esa adanya tidak ada duanya. Hal ini
dinyatakan dalam beberapa kitab Weda antara lain :

1. Dalam Chandogya Upanishad dinyatakan :


“ Om tat Sat Ekam Ewa Adwityam Brahman “ artinya Hyang Widhi hanya satu tak ada
duanya dan maha sempurna

2. Dalam mantram Tri Sandhya tersebut kata – kata :

“ Eko Narayanad na Dwityo Sti Kscit “ artinya hanya satu Hyang Widhi dipanggil
Narayana, sama sekali tidak ada duanya.

3. Dalam Kitab Suci Reg Weda disebutkan “

“ Om Ekam Sat Wiprah Bahuda Wadanti “ artinya Hyang Widhi itu hanya satu, tetapi
para arif bijaksana menyebut dengan berbagai nama.

4. Dalam kekawin Sutasoma dinyatakan :

Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa artinya berbeda – beda tetapi satu, tak
ada Hyang Widhi yang ke dua.
Dengan pernyataan – pernyataan di atas sangat jelas, umat Hindu bukan menganut
Politheisme, melainkan mengakui dan percaya adanya satu Hyang Widhi.

Hindu sangat lengkap, dan fleksibel. Tuhan dalam Hindu di insafi dalam 3 aspek utama,
yaitu Brahman ( Yang tidak terpikirkan ), Paramaatma ( Berada dimana-mana dan meresapi
segalanya ), dan Bhagavan ( berwujud )

2. Atman ( Percaya akan adanya Sang Hyang Atma )

Atma berasal dari Hyang Widhi yang memberikan hidup kepada semua mahluk. Atma atau
Sang Hyang Atma disebut pula Sang Hyang Urip. Manusia, hewan dan tumbuhan adalah mahluk
hidup yang terjadi dari dua unsur yaitu badan dan atma.

Badan adalah kebendaan yang terbentuk dari lima unsur kasar yaitu Panca Maha Butha. Di
dalam badan melekat indria yang jumlahnya sepuluh ( Dasa Indria )

Atma adalah yang menghidupkan mahluk itu sendiri, sering juga disebut badan halus . atma
yang menghidupkan badan manusia disebut “ Jiwatman “

Badan dengan atma ini bagaikan hubungan Kusir dengan Kereta. Kusir adalah atma, dan
kereta adalah badan. Indria yang ada pada badan kita tidak akan ada fungsinya apabila tidak ada
atma. Misalnya, mata tidak dapat digunakan untuk pengelihatan jika tidak dijiwai oleh atma.
Telinga tidak dapat digunakan untuk pendengaran jika tidak dijiwai oleh atma.

Atma yang berasal dari Hyang Widhi mempunyai sifat “ Antarjyotih “ ( bersinar tidak ada
yang menyinari, tanpa awal dan tanpa akhir, dan sempurna ). Dalm kitab Bhagadgita disebut
sifat – sifat atma sebagai berikut :

– Achodyhya artinya Tidak terlukai oleh senjata

– Adahya artinya tak terbakar oleh api

– Akledya artinya tak terkeringkan oleh angin

– Acesyah artinya tak terbasah oleh air

– Nitya artinya abadi, kekal

– Sarwagatah artinya ada dimana – mana


– Sthanu artinya tak berpindah – pindah

– Acala artinya tak bergerak

– Sanatana artinya selalu sama

– Adyakta artinya tak terlahirkan

– Achintya artinya tak terpikirkan

– Awikara artinya tak berjenis kelamin

Jelaslah atma itu sifatnya sempurna. Tetapi pertemuan antara atma dengan badan yang
kemudian menimbulkan ciptaan menyebabkan atma dalam keadaan “ Awidhya “. Awidhya
artinya gelap lupa kepada kesadaran . Awidhya muncul karena pengaruh unsur panca maha butha
yang mempunyai sifat duniawi. Sehingga dalam hidup ini atma dalam diri manusia di dalam
keadaan awidhya.

Dalam keadaan seperti ini kita hidup kedunia bertujuan untuk menghilangkan awidhya
untuk meraih kesadaran yang sejati dengan cara melaksanakan Subha karma. Menyadari sifat
atma yang serba sempurna dan penuh kesucian menimbulkan usaha untuk menghilangkan
pengaruh awidhya tadi. Karena apabila manusia meninggal kelak hanya badan yang rusak,
sedangkan atmanya tetap ada kembali akan mengalami kelahiran berulang dengan membawa “
Karma Wasana “ ( bekas hasil perbuatan ). Oleh karena itu, manusia lahir kedunia harus berbuat
baik atas dasar pengabdian untuk membebaskan Sang Hyang Atma dari ikatan duniawi.
Sesungguhnya jika tidak ada pengaruh duniawi Hyang Widhi dan Atma itu adalah tunggal
adanya ( Brahman Atman Aikyam )

3. Karma ( Percaya dengan adanya Hukum Karma Phala )

Setiap perbuatan yang kita lakukan di dunia ini baik atau buruk akan memberikan hasil.
Tidak ada perbuatan sekecil apapun yang luput dari hasil atau pahala, langsung maupun tidak
langsung pahala itu pasti akan datang.
Kita percaya bahwa perbuatan yang baik atau Subha karma membawa hasil yang
menyenangkan atau baik. Sebaliknya perbuatan yang buruk atau Asubha karma akan membawa
hasil yang duka atau tidak baik.

Perbuatan – perbuatan buruk atau Asubha karma menyebabkan Atma jatuh ke Neraka,
dimana ia mengalami segala macam siksaan. Bila hasil perbuatan jahat itu sudah habis terderita,
maka ia akan menjelma kembali ke dunia sebagai binatang atau manusia sengsara ( Neraka Syuta
). Namun, bila perbuatan – perbuatan yang dilakukan baik maka berbagai kebahagiaan hidup
akan dinikmati di sorga. Dan bila hasil dari perbuatan – perbuatan baik itu sudah habis dinikmati,
kelak menjelma kembali ke dunia sebagai orang yang bahagia dengan mudah ia mendapatkan
pengetahuan yang utama.

Jika dilihat dari sudut waktu, Karma phala dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu :

– Sancita karma phala

Adalah hasil dari perbuatan kita dalam kehidupan terdahulu yang belum habis dinikmati
dan masih merupakan benih yang menentukan kehidupan kita sekarang. Bila karma kita pada
kehidupan yang terdahulu baik, maka kehidupan kita sekarang akan baik pula ( senang, sejahtera,
bahagia ). Sebaliknya bila perbuatan kita terdahulu buruk maka kehidupan kita yang sekarang
inipun akan buruk ( selalu menderita, susah, dan sengsara )

– Prarabda karma phala

Adalah hasil dari perbuatan kita pada kehidupan sekarang ini tanpa ada sisanya, sewaktu
masih hidup telah dapat memetik hasilnya, atas karma yang dibuat sekarang. Sekarang menanam
kebijaksanaan dan kebajikan pada orang lain dan seketika itu atau beberapa waktu kemudian
dalam hidupnya akan menerima pahala, berupa kebahagiaan. Sebaliknya sekarang berbuat dosa,
maka dalm hidup ini dirasakan dan diterima hasilnya berupa penderitaan akibat dari dosa itu.

Prarabda karma phala dapat diartikan sebagai karma phala cepat.

– Kriyamana karma phala

Adalah pahala dari perbuatan yang tidak dapat dinikmati langsung pada kehidupan saat
berbuat. Tetapi, akibat dari perbuatan pada kehidupan sekarang akan dan di terima pada
kehidupan yang akan datang, setelah orangnya mengalami proses kematian serta pahalanya pada
kelahiran berikutnya. Apabila karma pada kehidupan yang sekarang baik maka pahala pada
kehidupan berikutnya adalah hidup bahagia, dan apabila karma pada kehidupan sekarang buruk
maka pahala yang kelak diterima berupa kesengsaraan.

Tegasnya cepat atau lambat, dalam kehidupan sekarang atau nanti, segala pahala dari
perbuatan itu pasti diterima karena sudah merupakan hukum. Kita tidak dapat menghindari hasil
perbuatan kita itu baik atau buruk. Maka kita selaku manusia yang dilengkapi dengan bekal
kemampuan berpikir, patutlah sadar bahwa penderitaan dapat diatasi dengan memilih perbuatan
baik. Manusia dapat berbuat atau menolong dirinya dari keadaan sengsara dengan jalan berbuat
baik, demikianlah keuntungannya dapat menjelma menjadi manusia.

4. Samsara ( Percaya dengan adanya kehidupan kembali )

Samsara disebut juga Punarbhawa yang artinya lahir kembali ke dunia secara berulang –
ulang. Kelahiran kembali ini terjadi karena adanya atma masih diliputi oleh keinginan dan
kemauan yang berhubungan dengan keduniawian.

Kelahiran dan hidup ini sesungguhnya adalah sengsara, sebagai hukuman yang
diakibatkan oleh perbuatan atau karma di masa kelahiran yang lampau. Jangka pembebasan diri
dari samsara, tergantung pada perbuatan baik kita yang lampau ( atita ) yang akan datang
( nagata ) dan sekarang ( wartamana ).

Pembebasan dari samsara berarti mencapai penyempurnaan atma dan mencapai moksa
yang dapat dicapai di dunia ini juga. Pengalaman kehidupan samsara ini dialami oleh Dewi
Amba dalam cerita Mahabharata yang lahir menjadi Sri Kandi.

Selanjutnya keyakinan adanya Punarbhawa ini akan menimbulkan tindakan sebagai berikut :

– Pitra Yadnya

Yaitu memberikan korb an suci terhadap leluhur kita, karena kita percaya leluhur itu
masih hidup di dunia ini yang lebih halus.

– Pelaksanaan dana Punya ( amal saleh ), karena perbuatan ini membawa kebahagiaan setelah
meninggal.
– Berusaha menghindari semua perbuatan buruk karena jika tidak, akan membawa ke alam
neraka atau menglami kehidupan yang lebih buruk lagi.

5. Moksa ( Percaya dengan adanya kebahagiaan rokhani )

Moksa berarti kebebasan. Kamoksan berarti kebebasan yaitu bebas dari pengaruh ikatan
duniawi, bebas dari karma phala, bebas dari samsara, dan lenyap dalam kebahagiaan yang tiada
tara. Karena telah lenyap dan tidak mengalami lagi hukum karma, samsara, maka alam
kamoksam itu telah bebas dari urusan – urusan kehidupan duniawi, tidak mengalami kelahiran
lagi ditandai oleh kebaktian yang suci dan berada pada alam Parama Siwa.

Alm moksa sesungguhnya bisa juga dicapai semasa masih kita hidup di dunia ini,
keadaan bebas di alam kehidupam ini disebut Jiwan Mukti atau moksa semasa masih hidup.

Moksa sering juga diartikan berstunya kembali atma dengan Parama Atma di alam
Parama Siwa. Dialam ini tiada kesengsaraan, yang ada hanya kebahagiaan yang sulit dirasakan
dalam kehidupan di dunia ini ( Sukha tan pawali Duhka ).

Syarat utama untuk mencapai alam moksa ini ialah berbhakti pada dharma, berbhakti
dengan pikiran suci. Kesucian pikiran adalah jalan utama untuk mendapatkan anugrah utama dari
Sang Hyang Widhi Wasa. Hal ini dapat dibandingkan dengan besi yang bersih dari karatan,
maka dengan mudah dapat ditarik oleh magnet. Tetapi besi itu kotor penuh dengan karatan maka
sangat sukar dapat ditarik oleh magnet.

Moksa merupakan tujuan akhir yang harus diraih oleh setiap orang menurut ajaran agama
Hindu. Tujuan tersebut dinyatakan dengan kalimat “ Mokharatam Jagadhita ya ca iti Dharma “.

Moksa sebagai tujuan akhir dapat dicapai melalui empat jalan yang disebut Catur Marga
yang terdiri dari :

– Bhakti Marga ( jalan Bhakti )

– Karma Marga( jalan Perbuatan )

– Jnana Marga( Jalan Ilmu Pengetahuan )

– Raja Marga ( Jalan Yoga )


Konsep Brahma Widya
Kedudukan Brahma Widya (ilmu pengetahuan tentang kesejatian Brahman atau Ida Sang
Hyang Widhi Waça) dalam agama Hindu adalah sangat mendasar dan urgen. Dalam pustaka
Brahma Sutra I.1.1 diuraikan bahwa jalan untuk mencapai moksah atau nirwana adalah dengan
mengenal Brahman/Ida Sang Hyang Widhi Waça secara tepat dan baik.Apabila ditinjau secara
etimologi, Brahma Widya berarti ilmu yang mempelajari tentang kesejatian Brahman atau Ida
Sang Hyang Widhi Waça dalam segala aspek-Nya.

Guna memahami “keberadaan” beliau serta segala sesuatu tentang-Nya, satu-satunya


jalan yang harus ditempuh adalah dengan mendalami pustaka-pustaka
suci.Pernyataan “Sāstrayonitwat” (Brahma Sutra I.1.3) menegaskan bahwa “Pustaka Suci Weda
dan Sastra Agama”-lah yang merupakan sumber utama untuk dapat memahami-Nya. Pernyataan
itulah yang menjadi pegangan teguh dan diyakini tanpa reserve oleh setiap pribadi Hindu, karena
kenyataannya memang tidak dapat dibantah.

 Penghayatan Brahma Widya


Berbagai model yang dapat dilihat dalam kehidupan beragama untuk menghayati
dan menunjukkan rasa bhakti dari setiap kelompok keyakinan kepada yang diyakini
sebagai kausa prima. Berikut ini adalah beberapa model yang panghayatan terhadap
Brahman atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa :
1. Animisme
Model keyakinan dalam Animisme adalah bahwa setiap yang ada di alam raya
ini adalah mempunyai jiwa/roh.Roh adalah wujud non fisik yang senantiasa hidup
sepanjang alam raya ini ada.Demikian juga bahwa setiap satu kesatuan wilayah ada
roh yang bertanggung jawab, melindungi, menata dan mengatur wilayah tersebut.

Karena roh sifatnya permanen, maka setiap orang wajib dan sangat
menghormati roh leluhurnya serta roh para tokoh yang ada di lingkungannya. Mereka
(para roh leluhur) diyakini senantiasa akan menuntun, membimbing dan mengarahkan
para keturunannya (sang prati-sentana) sehingga menemukan kebahagiaan hidup.

2. Dynamisme
Merupakan suatu keyakinan akan adanya roh-roh suci, benda-benda dan
tempat-tempat sakral. Bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini adalah berjiwa
(memiliki kekuatan).Di atas segala jiwa, ada “jiwa tertinggi/jiwa utama”. Dari
keyakinan akan adanya roh-roh suci dan benda-benda serta tempat-tempat sakral ini,
memunculkan adanya aktivitas perawatan terhadap benda-benda tersebut dan
perawatan terhadap tempat-tempat khusus di masing-masing wilayah.

3. Polytheisme
Suatu keyakinan yang mengakui adanya banyak tuhan, dimana masing-
masing tuhan mempunyai sifat sendiri-sendiri. Penganut Polytheisme dalam memuja
tuhan sering dan pasti melakukan perpindahan dari satu tuhan ke tuhan yang lain
apabila yang bersangkutan beralih profesi. Oleh Max Muller (pemimpin kaum
missionaris Jerman), karena kebingungannya dalam memahami konsep-konsep
pemikiran pada pustaka suci Reg Weda, model demikian disebut Kathenoisme.

4. Monotheisme
Model ini menekankan akan adanya keyakinan terhadap satu tuhan.
Keyakinan model ini dapat dibedakan menjadi dua macam yang antara satu dengan
yang lain sangat bertolak belakang, yakni:

a.      Monotheisme Absolut.

Model ini bercirikan:


1. Tuhan berwujud tunggal dan bersifat personal/individu serta memiliki jenis
kelamin laki-laki.
2. Dalam pemujaan selalu dituakan, harus dipuja dengan sebutan bapak, tidak
boleh dipuja sebagai: kakak, teman, adik, ibu, dan sejenisnya.
3. Memiliki tempat sendiri, yaitu sorga. Ia dapat pergi kemana-mana tetapi
tempat tinggal yang tetap adalah sorga.
4. Merupakan raja yang berkuasa penuh atas sorga dan dunia; juga penguasa atas
segala takdir.
5. Raja ini harus selalu disembah dan dipuja. Manusia harus sering dan taat
menyembah dan menghormatinya sehingga sang raja menjadi puas, dan
manusia harus senantiasa takut kepadanya.
b.      Monotheisme Non Absolut.

Model ini menunjukkan ciri-ciri:

1. Tuhan adalah tunggal, tetapi boleh dipuja dalam banyak nama serta boleh
diposisikan sebagai ayah, ibu, guru, pemimpin, teman, kekasih, kakak, dan
sejenisnya.
2. Tuhan yang tunggal memiliki berbagai manifestasi atau perwujudan. Fungsi
perwujudan adalah agar para penyembahnya dapat menghayati keberadaan
beliau.
3. Tuhan tidak menentukan segalanya, beliau hanya menguasai beberapa takdir
saja, seperti: umur planet, gerakan alam, pertumbuhan mahluk, dsb.
4. Tuhan tidak mempunyai musuh abadi, juga tidak murka apabila manusia
melakukan penyimpangan. Tuhan hanya memantulkan apa adanya seperti apa
yang dilakukan mahluk ciptaannya (ibarat cermin).
5. Manusia menjadi baik atau jahat, cerdas atau bodoh, kaya atau miskin, dan
sejenisnya tergantung dari dirinya sendiri. Bukan karena rayuan setan, cobaan
dari tuhan, bukan pula karena takdir tuhan.
6. Manusia masuk sorga atau jatuh ke dalam neraka juga karena dirinya sendiri,
bukan karena hukuman dari tuhan.
7. Tuhan mengayomi seluruh ciptaannya dengan penuh kasih sayang. Beliau
bersifat netral ibarat cermin datar memantulkan setiap bayangan yang ada di
depannya.
5. Pantheisme
Konsepsi ketuhanan pada model ini menyatakan bahwa jiwa yang terdapat
pada setiap mahluk pada akhirnya akan kembali kepada tuhan (manunggaling kawula
lan Gusti). Selain itu, tuhan juga mau mengambil perwujudan dalam berbagai bentuk
duniawi, bukan saja sebagai manusia, tetapi juga sebagai manusia setengah binatang,
sebagai binatang, bahkan sebagai tumbuh-tumbuhan.

Ada tiga macam perwujudan umum yang dipakai oleh tuhan, seperti:


a.      Anthrophomorphes; tuhan mengambil wujud sebagai manusia super, yakni
manusia dengan berbagai kelebihan/keistimewaan, seperti: sangat sakti, dapat
memurti, melakukan hal-hal diluar kemampuan manusia biasa, dsb.

b.      Semi Anthrophomorphes; tuhan mengambil wujud setengah atau sebagian


manusia sebagian binatang, seperti: Narasimha, Ganeça, dsb.

c.      Unanthrophomorphes; tuhan mengambil wujud penuh sebagai binatang atau


sebagai tumbuh-tumbuhan, seperti: Kurma Awatara, Matsya Awatara, Soma, dsb.

6. Henotheisme
Model ini menyatakan bahwa dewa yang banyak itu adalah tunggal adanya,
dan yang tunggal itu adalah banyak adanya.

Ciri-ciri dari konsep model ini adalah:

1. Tuhan ada pada posisi: paling tinggi, paling mulia, paling utama dan seluruh alam
beserta isinya menyatu dengannya.

2. Tuhan merupakan perwujudan keindahan dan kemegahan seluruh alam, termasuk


kebajikan dan kemuliaan yang terdapat dalam diri manusia.

3. Pemujaan dilakukan dalam bentuk yang maha utama dalam usaha


menggambarkan kemaha-kuasaan tuhan, walaupun nama-nama tuhan yang
digunakan berbeda-beda.

4. Keberadaan tuhan adalah dalam posisi netral dan memenuhi seluruh alam yang
ada.

5. Dewa yang banyak itu adalah satu, sehingga tidak ada kontradiksi dalam
penampilan satu dewa terhadap dewa yang lain. Yang ada hanyalah perbedaan
tugas masing-masing.

6. Dalam kehidupan beragama senantiasa disertai nilai-nilai keindahan dan


kesemarakan.

7. Monisme
Konsep ini menjelaskan bahwa tuhan adalah tunggal, tetapi melingkupi
seluruh alam ini.Tuhan juga adalah inti dan kesejatian dari segala yang ada.Segala
yang ada muncul dari tuhan.

“Sarwam khalu idam Brahman” (Bŗhad Aranyaka Upanisad), artinya bahwa


segalanya ada dalam tuhan dan tuhan ada dalam segalanya.Tuhan ada pada setiap
mahluk, apapun jenis mahluk itu.Sebaliknya, seluruh mahluk, apapun jenisnya, ada
atau hidup dalam tuhan.

8. Atheisme
Atheisme dalam hal ini tidak sama dengan atheisme komunis dari Karl Mark
(tidak percaya akan adanya tuhan). Di sini atheisme artinya tidak bertuhan/perlu lagi
mencari tuhan, karena yang bersangkutan telah sampai kepada tuhan.

https://hinducintadamai1wordpresscom.wordpress.com/2011/01/16/1-pengertian-panca-sradha/

https://www.scribd.com/doc/243190084/Brahma-Widya

Anda mungkin juga menyukai