Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Dosen Pengampu
Disusun oleh :
KELAS A
METRO
2019
i
KATA PENGANTAR
2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR.......................................................................................................2
DAFTAR ISI......................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................4
1. Latar Belakang...............................................................................................4
2. Rumusan Masalah..........................................................................................4
3. Tujuan penulisan............................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................5
A. DEFINISI KONSELING..............................................................................5
B. SYARAT-SYARAT KONSELING.............................................................8
C. KONDISI PSIKOLOGIS YANG MENUNJANG PROSES KONSELING
9
BAB III PENUTUP...............................................................................................15
A. Kesimpulan..................................................................................................15
B. Saran............................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................16
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana definisi konseling?
2. Bagaimana syarat-syarat konseling?
3. Bagaimana kondisi psikologis yang menunjang proses konseling?
C. TUJUAN PENULISAN
Untuk mengetahui definisi konseling, syarat-syarat konseling, dan kondisi
psikologis yang menunjang proses konseling.
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI KONSELING
Secara konvensional, konseling didefinisikan sebagai pelayanan
professional (professional service) yang diberikan oleh konselor kepada
klien secara tatap muka (face to face) agar klien dapat mengembangkan
perilakunya ke arah lebih maju (progressive). Pelayanan konseling
berfungsi kuratif (curative) dalam arti penyembuhan dimana klien adalah
individu yang mengalami masalah, dan setelah memperoleh layanan
konseling, ia diharapkan secara bertahap dapat memahami masalahnya
(problem understanding) dan memecahkan masalahnya (problem solving).
Didalam proses Konseling itu terdapat Konselor dan Klien.
1. KONSELOR
5
ciri-ciri dalam aspek kepribadian, pengetahuan, keterampilan, dan
pengalaman.
6
mendapatkan pelayanan konseling, sedangkan dalam konseling pada
setting di luar sekolah (counseling for all), yang dimaksud klien adalah
seorang atau sekelompok orang sebagai anggota masyarakat, yang
memperoleh pelayanan konseling.
Menurut terminologi konvensional, dimana konseling dipandang
sebagai jantungnya pelayanan bimbingan yang bersifat penyembuhan
(curative), klien didefinisikan sebagai seseorang atau sekelompok orang
individu yang mengalami masalah, sehingga mereka membutuhkan
bantuan konseling agar dapat menghadapi, memahami, dan memecahkan
masalahnya.
Dalam terminologi modern siapa saja yang memperoleh pelayanan
konseling disebut klien. Klien tersebut bisa berstatus sebagai peserta didik,
pegawai perusahaan atau lembaga pemerintah ataupun swasta, ibu rumah
tangga, ayah, pemuda/remaja, orang dewasa, dan lansia (lanjut usia).
Mereka secara sadar membutuhkan pelayanan konseling.
Klien adalah individu yang memiliki keunikan tertentu. Keunikan
tersebut mencakup: keunikan kebutuhan, keunikan kepribadian, keunikan
intelegensi, keunikan bakat, keunikan motif dan motivasi, keunikan minat,
keunikan perhatian, keunikan sikap, dan keunikan kebiasaan, yang secara
khas mempengaruhi perilakunya.
Pada dasarnya setiap individu menghadapi permasalahan dalam
hidupnya dalam jenis dan intensitas yang berbeda. Di antara masalah
individu tersebut, beberapa masalah bisa dipecahkan sendiri tanpa
intervensi konselor, sedangkan masalah lainnya masih belum bisa
diselesaikan sehingga mereka membutuhkan bantuan konselor. Pada
umumnya masalah emosi klien yang cara penyelesaiannya membutuhkan
bantuan konseling adalah: (1) masalah kecewa, (2) masalah frustasi, (3)
masalah kecemasan, (4) masalah stress, (5) masalah depresi, (6) masalah
konflik, dan (7) masalah ketergantungan. Di antara keenam masalah ini
dapat dialami klien secara bersamaan, misalnya di samping klien
mengalami masalah kecewa, ia juga menderita masalah frustasi,
kecemasan, begitu juga masalah yang lain.
Jika dilihat dari pihak orang yang akan dibantu, proses konseling ini
membatasi beberapa hal (Winkell, 1991:67), yaitu:
a. Orang harus sudah mencapai umur tertentu sehingga bisa sadar dengan
tugas-tugasnya. Kesadaran itu dapat terwujud dalam hal mengetahui
secara reflektif. Tanpa kesadaran, pelayanan tidak akan tercapai.
b. Orang harus bisa menggunakan pikiran dan kemauan sendiri sebagai
manusia yang berkehendak bebas serta harus bebas dari keterikatan
yang keterlaluan pada perasaan-perasaannya sendiri sehingga tidak
terbawa pada perasaan-perasaannya sendiri.
c. Orang harus rela memanfaatkan pelayanan bimbingan dalam proses
konseling. Dengan kata lain, pelayanan bimbingan tidak dapat
7
dipaksakan. Oleh karena itu, seseorang harus yakin bahwa ia sudah
mampu untuk mengatur kehidupannya sendiri.
d. Harus ada kebutuhan objektif untuk menerima pelayanan bimbingan.
Subyek harus menyadari bahwa ia harus menghadapi masalah dan
mendapatkan pelayanan bimbingan sepenuhnya.
B. SYARAT-SYARAT KONSELING
Untuk mengadakan proses konseling, ada beberapa syarat yang harus
dipenuhi oleh kedua belah pihak, yaitu dari sisi guru sebagai konselor dan
siswa sebagai konseli. Menurut Winkell (1989:87-88), beberapa syarat
yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Di pihak konselor
o Tiga sikap pokok, yaitu menerima (acceptance), memahami
(understanding), dan sikap bertindak dan berkata jujur. Sikap
menerima berarti pihak konselor menerima siswa sebagaimana
adanya dan tidak segera mengadili siswa karena kebenaran dan
pendapatnya / perasaan / perbuatannya. Sikap memahami berkaitan
dengan tuntutan seorang konselor agar berusaha dengan sekuat
tenaga menangkap dengan jelas dan lengkap hal-hal yang sedang
diungkapkan oleh siswa, baik dalam bentuk kata-kata maupun
tindakan. Sedangkan sikap bertindak dan berkata secara jujur berarti
bahwa seorang konselor tidak berpura-pura sehingga siswa semakin
percaya dan mantap ketika sedang berhadapan dengan konselor.
o Kepekaan terhadap apa yang ada di balik kata-kata yang
diungkapkan konseli. Kepekaan yang dibangun oleh konselor
sekolah akan membantu dalam proses konseling karena konselor
akan mendapatkan banyak data yang mungkin secara verbal maupun
nonverbal diungkapkan oleh konseli.
o Kemampuan dalam hal komunikasi yang tepat (rapport). Hal ini
berarti konselor mampu menyatakan pemahamannya terhadap hal-
hal yang diungkapkan konseli.
o Memiliki kesehatan jasmani dan mental yang sehat.
o Wajib menaati kode etik jabatan sesuai dengan yang telah disusun
dalam Konvensi Nasional Bimbingan I.
2. Di pihak konseli
o Motivasi yang mengandung keinsyafan akan adanya suatu masalah,
kesediaan untuk mengungkapkan masalahnya dengan tulus, jujur,
dan adanya kemauan untuk mencari penyelesaian masalah itu.
o Keberanian untuk mengungkapkan data-data yang ada dalam dirinya
sehingga konselor akan lebih mudah memahami/mengenal konseli
secara lebih mendalam. Selain itu, konselor juga harus menyadari
bahwa konseli yang dating mungkin sedang mengalami perasaan
8
yang sangat sensitive, kurang tenang, kecemasan yang berlebihan,
atau kemarahan. Maka, konselor harus bias sabar dan masuk melalui
pintu yang tepat agar dapat membantu siswa mengungkapkan
seluruh perasaan dan pikiran yang mengganggunya saat itu.
9
memiliki kesenangan, perasaan mencapai prestasi, memiliki harapan. dan
memiliki ketenangan. Kebutuhan psi kologis ini harus diperhatikan
konselor dalam membina hubungan konseling. Konselor profesional selalu
menciptakan kondisi2 tersebut sebagai faktor yang menunjang proses
konseling.
Berdasarkan pendapat di atas, penulis menyimpulkan bahwa ragam
kondisi psikologis yang menunjang proses konseling sebagai berikut
1. Keamanan dan kebebasan psikologis.
2. Ketulusan dan kejujuran konselor.
3. Kehangatan dan penuh penerimaan.
4. Perasaan konselor yang berempati.
5. Perasaan konselor yang menyenangkan.
6. Perasaan mencapai prestasi.
7. Membangun harapan konseli.
8. Memiliki ketenangan.
Kedelapan kondisi psikologis ini, penulis uraikan sebagai berikut :
A. Keamanan dan Kebebasan Psikologis
Keamanan dan Kebebasan Psikologis merupakan kondisi dimana
konseli merasa aman untuk mengekspresikan semua keluhan, kesulitan,
dan semua hal yang membuatnya dirinya kecewa, tanpa adanya tekanan,
paksaan, dan halangan dari pihak manapun. Situasi konseling harus
diciptakan sebagia situasi yang menyenangkan, menggembirakan, dan
membuat konseli merasa membuat perlindungan.
Menurut Rogers keamanan psikologis dapat dimunculkan konselor
melalui tiga proses yang berasosiasi, yaitu: menerima konseli sebagaimana
adanya dengan segala kelebihan dan keterbatasannya, tidak melakukan
evaluasi secara eksternal kepada konseli, dan memahami konseli secara
empati. Kebebasan psikologis menurut Rogers adalah penting nya
konselor mengizinkan konseli secara bebas berekspresi simbolis, sehinggs
konseli dapat mengungkapkan semua bentuk keluh kesahnya, perasaannya,
dan permasalahan yang sedang dialaminya.
B. Ketulusan dan Kejujuran Konselor
Secara harfiah tulus adalah hati yang ikhlas, benar-benar terbit kapus
dari hati yang suci, jujur, tidak pura-pura, dan tidak serong (Kamus Besar
Bahasa Indonesia, 1990). Ketulusan dan kejujuran adalah kondisi
2
Ibid Hlm, 93
10
psikologis yang tercurahkan dari hati sanubari konselor secara ikhlas tanpa
unsur tendensi atau kepentingan lain di balik tujuan konseling.3
3
Ibid, 95
11
konseli tersebut oleh konselor dianalisis secara cermat dan objektif, dan
hasilnya diterima apa adanya.4
2. Menjaga jarak emosi dengan konseli. Hubungan emosi antara konselor
dan konseli harus dijaga sedemikian rupa, sehingga tidak terlalu jauh,
dan juga tidak terlalu dekat. Hubungan emosi yang ideal adalah
hubungan emosi yang dapat menimbulkan keterbukaan, kerjasama, dan
saling percaya,, sehingga konseli dapat menungkapkan semua
permasalahannya kepada konselor. Konselor Profesional tidak boleh
kehilangan kepercayaan dari konseli, justru harus membangun
kepercayaan untuk meningkatkan kualitas konseling.
3. Memahami statusnya sebagai konselor, tetapi dapat menjaga hubungan
dengan konseli. Sukses tidaknya pelayanan konseling sangat
dipengaruhi oleh hubungan emosional yang dibangun konselor. Status
konselor adalah status yang terhormat. Ia sebagai tenaga ahli dan
sebagai pendidik. Sebagai tenaga ahli dan pendidik konselor menguasai
ilmu filsafat, psikologi, sosiologi, antropologi, dan pendidikan yang
dikemas kedalam kompetensi konselor, yaitu : Penguasaan konsep dan
praksisi pendidikan; memiliki kesadaran dan komitmen etika
profesional; menguasai konsep prilaku dan perkembangan individu;
menguasai konsep dan praksis assessment,menguasai konsep dan
praksis konseling; mampu mengelola program konseling; dan
menguasai konsep dan praksis riset dalam bidang konseling.
D. Perasaan Konselor yang Berempati
Berempati merupakan perwujudan dari sikap dan emosi konselor ke
dalam suatu perbuatan yang dapat memahami dan merasakan apa yang
dirasakan konseli tanpa ikut larut ke dalam perasaan konseli. Konselor
harus dapat menunjukkan kepada konseli bahwa dirinya bisa turut
merasakan apa yang dirasakan konseli, seperti perasaan konseli dalam
kepedihan, kekecewaan, dan kebencian.
4
Ibid, 96
5
Ibid, 98
12
Bagi konselor profesional memberikan pelayanan konseling adalah
suatu hal yang sangat menyenangkan dirinya. Hal ini sesungguhnya
sebagai implementasi karakteristik kepribadian konselor yang menghargai
harkat dan martabat manusia dan hak asasinya, serta bersikap
demokratis. Karakteristik ini menunjuk kepada suatu perlakuan konselor
terhadap konseli yang didasarkan pada anggapan bahwa konseli sama
dengan dirinya sendiri sebagai makhluk yang mempunyai harkat dan
martabat mulia. Konseli memiliki hak asasi yang harus dihargai dan tidak
boleh diabaikan dalam perlakuan-perlakuan konselor kepadanya. Di
samping itu, konselor tidak boleh membeda-bedakan perlakuan kepada
konseli. Hendaknya konseli diperlakukan sama dan sederajat,baik dengan
konselor maupun dengan konseli lainnya.
6
Ibid, 99
13
b. Kekaryaan adalah hasil perilaku yang hanya bisa diwujudkan bila
manusia berusaha keras dengan mendayagunakan semua potensi yang
dimilikinya.
G. Membangun Harapan
H. Memiliki Ketenangan
7
Ibid, 100
14
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
15
DAFTAR PUSTAKA
http://lelyokvitasari.blogspot.com/2012/04/psikologi-konseling.htmL
http://binham.wordpress.com/2012/05/22/teori-dan-teknik-konseling-
pendekatan-gestalt
16