Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

KONDISI PSIKOLOGIS YANG MENUNJANG PROSES


KONSELING

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas Mata Kuliah

Psikologi Konseling Islam

Dosen Pengampu

Uswatun Hasanah, M.Pd.I

Disusun oleh :

Fikri Dwi Aditya (1904032005)

Fitri Indriyani (1904032006)

KELAS A

JURUSAN BIMBINGAN PENYULUHAN ISLAM

FALKUTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

METRO

2019

i
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan segala puja puji syukur penulis panjatkan kehadirat


Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan rahmad dan hidayah-Nya kepada
kita semua, sehingga kita masih dapat melaksanakan aktivitas dengan baik serta
penulis dapat menyelesaikan Makalah Kondisi Psikologis yang menunjang proses
Konseling ini dengan baik dan lancar.
Penulis dalam kesempatan ini mengucapkan banyak terima kasih atas segala
bantuan dari berbagai pihak yang diberikan kepada penulis, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Dan penulis menyadari bahwa penulis dalam menyusun
makalah ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis mengharapkan segala
saran dan kritikan dari para pembaca, sehingga penulis dapat menyempurnakan
dalam penyusunan makalah di masa-masa mendatang. Dan semoga makalah
sederhana ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Metro, 06 Maret 2020

2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR.......................................................................................................2
DAFTAR ISI......................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................4
1. Latar Belakang...............................................................................................4
2.  Rumusan Masalah..........................................................................................4
3.  Tujuan penulisan............................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................5
A.    DEFINISI KONSELING..............................................................................5
B. SYARAT-SYARAT KONSELING.............................................................8
C. KONDISI PSIKOLOGIS YANG MENUNJANG PROSES KONSELING
9
BAB III PENUTUP...............................................................................................15
A. Kesimpulan..................................................................................................15
B. Saran............................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................16

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Konseling merupakan suatu hubungan yang bersifat membantu,


yaitu interaksi antara konselor dan konseli merupakan suatu kondisi yang
membuat konseli terbantu dalam mencapai perubahan yang lebih baik.
Disamping itu di katakan pula bahwa pada hekekatnya konseling itu bersifat
psikologis.

Dari hakekatnya sebagai hubungan yang bersifat membantu dan sebagai


proses psikologis, konseling memberikan pengalaman belajar yang baru
kepada seseorang (klien). Dalam konseling, konselor harus mampu
menciptakan interaksi konseling sedemikian rupa sehingga pada akhirnya
klien memperoleh sesuatu yang baru yang belum pernah meraka miliki
sebelumnya.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana definisi konseling?
2. Bagaimana syarat-syarat konseling?
3. Bagaimana kondisi psikologis yang menunjang proses konseling?

C. TUJUAN PENULISAN
Untuk mengetahui definisi konseling, syarat-syarat konseling, dan kondisi
psikologis yang menunjang proses konseling.

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. DEFINISI KONSELING
Secara konvensional, konseling didefinisikan sebagai pelayanan
professional (professional service) yang diberikan oleh konselor kepada
klien secara tatap muka (face to face) agar klien dapat mengembangkan
perilakunya ke arah lebih maju (progressive). Pelayanan konseling
berfungsi kuratif (curative) dalam arti penyembuhan dimana klien adalah
individu yang mengalami masalah, dan setelah memperoleh layanan
konseling, ia diharapkan secara bertahap dapat memahami masalahnya
(problem understanding) dan memecahkan masalahnya (problem solving).
Didalam proses Konseling itu terdapat Konselor dan Klien.

1. KONSELOR

Konselor dalam istilah bahasa Inggris disebut  Counselor atau Helper 


merupakan petugas khusus yang berkualifikasi dalam bidang konseling
(counseling). Dalam konsep counseling for all, di dalamnya terdapat
kegiatan bimbingan (guidance). Kata Counselor tidak bisa dipisahkan dari
kata Helping. Counselor menunjuk pada orangnya sedangkan helping
menunjuk pada profesinya atau bidang garapannya. Jadi konselor adalah
seorang yang memiliki keahlian dalam bidang pelayanan konseling, ia
sebagai tenaga professional.

Menurut Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem


Pendidikan Nasional pasal 1 ayat 6 disebutkan bahwa konselor sebagai
pendidik yang merupakan salah satu tenaga kependidikan yang
berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan. Selanjutnya menurut
Buku Standar Kompetensi Konselor Indonesia (2005:4), konselor adalah
tenaga professional bimbingan dan konseling (guidance and counseling)
yang harus memiliki sertifikasi dan lisensi untuk menyelenggarakan
layanan professional bagi masyarakat. Tenaga professional ini disiapkan
dan dihasilkan oleh program studi bimbingan dan konseling, jenjang S1,
S2 dan S3, termasuk pembinaan profesi di dalamnya. Konselor sebagai
tenaga professional dalam bidang bimbingan dan konseling (guidance and
counseling) merupakan tenaga khusus yang memiliki karakteristik atau

5
ciri-ciri dalam aspek kepribadian, pengetahuan, keterampilan, dan
pengalaman.

Di dalam proses konseling, semua aspek tersebut saling terkait,


sehingga tidak bisa dilepaskan satu sama lain. Seorang konselor
professional akan lebih berhasil dalam memberikaan pelayanan konseling
kepada kliennya, bila dibandingkan dengan konselor yang belum
professional (konselor pemula). Hal ini disebabkan oleh karena konselor
professional memiliki perangkat pengetahuan, keterampilan dan
pengalaman yang lebih luas tentang konseling, serta lebih mempunyai
sifat-sifat kepribadian yang mantap, seperti: kewibawaan, kehangatan,
kestabilan emosi, simpatik, empati, kejujuran, tanggung jawab, dan dapat
dipercaya.
Di pihak lain, seorang klien memiliki keunikan tertentu yang berbeda
dengan klien lainnya, sehingga bila konselor tidak mampu memahami hal
ini, ia tidak akan mempu menciptakan hubungan konseling yang efektif.
Seorang konselor professional harus mampu memanfaatkan segala kondisi
yang menunjang proses konseling dan menghindari factor-faktor yang
dapat menghambat konseling. Di antara kondisi yang menunjang adalah
menciptakan keamanan dan kebebasan psikologis, ketulusan dan
kejujuran, kehangatan dan penuh penerimaan, empati, perasaan yang
menyenangkan, perasaan mencapai prestasi, memiliki harapan dan
ketenangan. Di samping itu, konselor professional juga harus mampu
menghindari perilaku yang merugikan diri seperti: berbohong, tidak
bertanggung jawab, tidak berwibawa, egois, amarah, rendah diri, cemburu,
motivasi yang rendah untuk membantu klien, yang dapat disebabkan oleh
rendahnya penguasaan pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman.
Konselor professional harus dapat memilih metode atau pendekatan-
pendekatan konseling yang tepat dan mampu menerapkannya dalam
layanan konseling, sehingga ia dapat membawa klien ke arah jalan dimana
klien dapat mandiri, bertanggung jawab, dan memiliki pola piker positif
(positive thinking).
Dewasa ini perkembangan konseling di Indonesia diarahkan pada suatu
bentuk pelayanan professional dalam lingkup sekolah, karier, industry,
keluarga, dan masyarakat luas (counseling for all), dimana konselor harus
memahami ilmu filsafat, psikologi, sosiologi, antropologi, dan pendidikan,
agar ia dapat memberikan pelayanan konseling secara profesiona. Jadi
jelas bahwa untuk menjadi konselor professional harus juga memahami
psikologi konseling.
2. KLIEN
Klien dalam istilah bahasa Inggris disebut Client adalah individu yang
memperoleh pelayanan konseling. Dalam konseling pada setting
persekolahan, yang dimaksud klien adalah peserta didik yang

6
mendapatkan pelayanan konseling, sedangkan dalam konseling pada
setting di luar sekolah (counseling for all), yang dimaksud klien adalah
seorang atau sekelompok orang sebagai anggota masyarakat, yang
memperoleh pelayanan konseling.
Menurut terminologi konvensional, dimana konseling dipandang
sebagai jantungnya pelayanan bimbingan yang bersifat penyembuhan
(curative), klien didefinisikan sebagai seseorang atau sekelompok orang
individu yang mengalami masalah, sehingga mereka membutuhkan
bantuan konseling agar dapat menghadapi, memahami, dan memecahkan
masalahnya.
Dalam terminologi modern siapa saja yang memperoleh pelayanan
konseling disebut klien. Klien tersebut bisa berstatus sebagai peserta didik,
pegawai perusahaan atau lembaga pemerintah ataupun swasta, ibu rumah
tangga, ayah, pemuda/remaja, orang dewasa, dan lansia (lanjut usia).
Mereka secara sadar membutuhkan pelayanan konseling.
Klien adalah individu yang memiliki keunikan tertentu. Keunikan
tersebut mencakup: keunikan kebutuhan, keunikan kepribadian, keunikan
intelegensi, keunikan bakat, keunikan motif dan motivasi, keunikan minat,
keunikan perhatian, keunikan sikap, dan keunikan kebiasaan, yang secara
khas mempengaruhi perilakunya.
Pada dasarnya setiap individu menghadapi permasalahan dalam
hidupnya dalam jenis dan intensitas yang berbeda. Di antara masalah
individu tersebut, beberapa masalah bisa dipecahkan sendiri tanpa
intervensi konselor, sedangkan masalah lainnya masih belum bisa
diselesaikan sehingga mereka membutuhkan bantuan konselor. Pada
umumnya masalah emosi klien yang cara penyelesaiannya membutuhkan
bantuan konseling adalah: (1) masalah kecewa, (2) masalah frustasi, (3)
masalah kecemasan, (4) masalah stress, (5) masalah depresi, (6) masalah
konflik, dan (7) masalah ketergantungan. Di antara keenam masalah ini
dapat dialami klien secara bersamaan, misalnya di samping klien
mengalami masalah kecewa, ia juga menderita masalah frustasi,
kecemasan, begitu juga masalah yang lain.
Jika dilihat dari pihak orang yang akan dibantu, proses konseling ini
membatasi beberapa hal (Winkell, 1991:67), yaitu:
a. Orang harus sudah mencapai umur tertentu sehingga bisa sadar dengan
tugas-tugasnya. Kesadaran itu dapat terwujud dalam hal mengetahui
secara reflektif. Tanpa kesadaran, pelayanan tidak akan tercapai.
b. Orang harus bisa menggunakan pikiran dan kemauan sendiri sebagai
manusia yang berkehendak bebas serta harus bebas dari keterikatan
yang keterlaluan pada perasaan-perasaannya sendiri sehingga tidak
terbawa pada perasaan-perasaannya sendiri.
c. Orang harus rela memanfaatkan pelayanan bimbingan dalam proses
konseling. Dengan kata lain, pelayanan bimbingan tidak dapat

7
dipaksakan. Oleh karena itu, seseorang harus yakin bahwa ia sudah
mampu untuk mengatur kehidupannya sendiri.
d. Harus ada kebutuhan objektif untuk menerima pelayanan bimbingan.
Subyek harus menyadari bahwa ia harus menghadapi masalah dan
mendapatkan pelayanan bimbingan sepenuhnya.

B. SYARAT-SYARAT KONSELING
Untuk mengadakan proses konseling, ada beberapa syarat yang harus
dipenuhi oleh kedua belah pihak, yaitu dari sisi guru sebagai konselor dan
siswa sebagai konseli. Menurut Winkell (1989:87-88), beberapa syarat
yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Di pihak konselor
o   Tiga sikap pokok, yaitu menerima (acceptance), memahami
(understanding), dan sikap bertindak dan berkata jujur. Sikap
menerima berarti pihak konselor menerima siswa sebagaimana
adanya dan tidak segera mengadili siswa karena kebenaran dan
pendapatnya / perasaan / perbuatannya. Sikap memahami berkaitan
dengan tuntutan seorang konselor agar berusaha dengan sekuat
tenaga menangkap dengan jelas dan lengkap hal-hal yang sedang
diungkapkan oleh siswa, baik dalam bentuk kata-kata maupun
tindakan. Sedangkan sikap bertindak dan berkata secara jujur berarti
bahwa seorang konselor tidak berpura-pura sehingga siswa semakin
percaya dan mantap ketika sedang berhadapan dengan konselor.
o   Kepekaan terhadap apa yang ada di balik kata-kata yang
diungkapkan konseli. Kepekaan yang dibangun oleh konselor
sekolah akan membantu dalam proses konseling karena konselor
akan mendapatkan banyak data yang mungkin secara verbal maupun
nonverbal diungkapkan oleh konseli.
o   Kemampuan dalam hal komunikasi yang tepat (rapport). Hal ini
berarti konselor mampu menyatakan pemahamannya terhadap hal-
hal yang diungkapkan konseli.
o   Memiliki kesehatan jasmani dan mental yang sehat.
o   Wajib menaati kode etik jabatan sesuai dengan yang telah disusun
dalam Konvensi Nasional Bimbingan I.
2. Di pihak konseli
o   Motivasi yang mengandung keinsyafan akan adanya suatu masalah,
kesediaan untuk mengungkapkan masalahnya dengan tulus, jujur,
dan adanya kemauan untuk mencari penyelesaian masalah itu.
o   Keberanian untuk mengungkapkan data-data yang ada dalam dirinya
sehingga konselor akan lebih mudah memahami/mengenal konseli
secara lebih mendalam. Selain itu, konselor juga harus menyadari
bahwa konseli yang dating mungkin sedang mengalami perasaan

8
yang sangat sensitive, kurang tenang, kecemasan yang berlebihan,
atau kemarahan. Maka, konselor harus bias sabar dan masuk melalui
pintu yang tepat agar dapat membantu siswa mengungkapkan
seluruh perasaan dan pikiran yang mengganggunya saat itu.

Agar proses konseling berjalan lancar, pihak konselor harus memenuhi


beberapa syarat di atas. Di samping itu, konselor juga harus melihat
beberapa syarat yang ada di pihak konseli, apakah konseli layak atau tidak
untuk dibantu. Jika saat itu konseli belum siap dibantu, pertemuan bisa
diundur sampai konseli siap dengan keadaannya untuk proses konseling
atau konseli harus segera dibantu, tetapi dengan bantuan pihak psikolog
ataupun psikiater.
C. KONDISI PSIKOLOGIS YANG MENUNJANG PROSES
KONSELING
1. DEFINISI KONDISI PSIKOLOGIS DALAM KONSELING

Secara umum kondisi psikologis merupakan keadaan, situasi yang


bersifat kejiwaan. Konseling merupakan profesi bantuan (helping pro-
fession) yang diberikan oleh konselor kepada konseli yang berlangsng
dalam suatu kondisi psikologis yang diciptakan bersama. Kondisi
psikologis ini akan memengaruhi proses dan hasil konseling.1
Pelayanan konseling berlangsung dalam suatu kondisi psikologis
tertentu yang dibina konselor dan difokuskan untuk memfasilitasi konseli
agar dapat melakukan perubahan perilaku ke arah yang lebih maju
(progressive) sebagai hasil konseling. Jadi kondisi psikologis yang
dimaksud di sini adalah kondisi psikologis yang menunjang proses
konseling.
2. RAGAM KONDISI PSIKOLOGIS DALAM KONSELING
Menurut Rogers yang dikutip Hartono (2000) kondisi psikologis
dalam konseling mencakup keamanan dan kebebasan psikologis.
Selanjutnya Hartono (2006) menyatakan bahwa konselor yang berhasil
dalam membina hubungan konseling biasanya memiliki sikap humanistik,
seperti tulus, jujur, hangat, penuh penerimaan, selaras pikiran nya,
perasaan, dan perbuatannya sehingga ia bisa dengan akurat berempati
dengan konseli.
M. Surya (2003) mengemukakan beberapa kebutuhan psikologis yang
terkait dengan proses konseling, yaitu: memberi dan menerima. Kondisi
Psikologis yang Menunjang Proses Konseling kasih sayang, kebebasan,
1
Hartono dan Soedarmadji Boy. ( 2013 ). Psikologi Konseling. Jakarta: Kencana Prenada Media
Grup. Hlm, 92

9
memiliki kesenangan, perasaan mencapai prestasi, memiliki harapan. dan
memiliki ketenangan. Kebutuhan psi kologis ini harus diperhatikan
konselor dalam membina hubungan konseling. Konselor profesional selalu
menciptakan kondisi2 tersebut sebagai faktor yang menunjang proses
konseling.
Berdasarkan pendapat di atas, penulis menyimpulkan bahwa ragam
kondisi psikologis yang menunjang proses konseling sebagai berikut
1. Keamanan dan kebebasan psikologis.
2. Ketulusan dan kejujuran konselor.
3. Kehangatan dan penuh penerimaan.
4. Perasaan konselor yang berempati.
5. Perasaan konselor yang menyenangkan.
6. Perasaan mencapai prestasi.
7. Membangun harapan konseli.
8. Memiliki ketenangan.
Kedelapan kondisi psikologis ini, penulis uraikan sebagai berikut :
A. Keamanan dan Kebebasan Psikologis
Keamanan dan Kebebasan Psikologis merupakan kondisi dimana
konseli merasa aman untuk mengekspresikan semua keluhan, kesulitan,
dan semua hal yang membuatnya dirinya kecewa, tanpa adanya tekanan,
paksaan, dan halangan dari pihak manapun. Situasi konseling harus
diciptakan sebagia situasi yang menyenangkan, menggembirakan, dan
membuat konseli merasa membuat perlindungan.
Menurut Rogers keamanan psikologis dapat dimunculkan konselor
melalui tiga proses yang berasosiasi, yaitu: menerima konseli sebagaimana
adanya dengan segala kelebihan dan keterbatasannya, tidak melakukan
evaluasi secara eksternal kepada konseli, dan memahami konseli secara
empati. Kebebasan psikologis menurut Rogers adalah penting nya
konselor mengizinkan konseli secara bebas berekspresi simbolis, sehinggs
konseli dapat mengungkapkan semua bentuk keluh kesahnya, perasaannya,
dan permasalahan yang sedang dialaminya.
B. Ketulusan dan Kejujuran Konselor 
Secara harfiah tulus adalah hati yang ikhlas, benar-benar terbit kapus
dari hati yang suci, jujur, tidak pura-pura, dan tidak serong (Kamus Besar
Bahasa Indonesia, 1990). Ketulusan dan kejujuran adalah kondisi

2
Ibid Hlm, 93

10
psikologis yang tercurahkan dari hati sanubari konselor secara ikhlas tanpa
unsur tendensi atau kepentingan lain di balik tujuan konseling.3

Konselor yang berhasil menciptakan kondisi ketulusan dan kejujuran,


akan besar pengaruhnya terhadap perilaku konseli dalam proses konseling.
Dalam kondisi ini, konseli kan sanggup mengungkapkan semua isi hatinya
terkait dengan permasalahan yang dihadapinya. Di pihak lain, konseli akan
lebih percaya bahwa konseling sebagai bantuan profesional yang diberikan
konselor dengan ikhlas dan penuh dengan kejujuran.

Ketulusan dan kejujuran konselor merupakan cermin dari kepribadian,


pengetahuan, dan pengalaman yang dimiliki konselor disertai dengan
tingkat kesadaran yang tinggi terhadap etika konseling. Konselor
senantiasa harus mengukur sejauh mana keahlian dan kewenangannya, dan
tidak melakukan pekerjaan di luar kompetensinya. la dengan jujur dan
bertanggung jawab membantu konseli, dan akan melakukan referal bila
masalah konseli yang ditanganinya di luar keahlian dan kewenangannya,
atas persetujuan konseli.
C. Kehangatan dan Penuh Penerimaan
Kondisi yang hangat dalam konseling adalah kondisi yang
sejuk,   menyenangkan, dan membuat konseli menjadi senang dan kerasan
di dalam proses konseling. Konselor yang berhasil menciptakan kondisi ini
harus disertai dengan menampilkan sikap dan perilaku menerima konseli
sepenuh hati (apa adanya) dengan kelebihan dan keterbatasannya. Fiedler,
Seeman, Parlof, dan Rogers yang dikutip Surya (1998) menyatakan bahwa
konselor yang ahli akan mampu untuk :

1. Berkomunikasi dan Memahami Konseli. Konselor profesional akan


mampu menerapkan pengetahuan dan keterampilannnya kedalam
wawancara dengan konseli, yang dibingkainya ke dalam penerapan
teori-teori psikologi yang relevan dengan permasalahan konseli. Dalam
rrangkaian wawancara konseling, konselor berupaya memahami tentang
kondisi konseli, seperti kondisi kecerdasannya, bakatnya, minatnya,
emosinya, kepribadiannya, harapan-harapannya, prestasinya,
keluarganya, sosial ekonominya, masyarakat sekitar dimana konseli
bertempat tinggal, kebiasaan-kebiasaannya selama ini, dan faktor-faktor
yang menyebabkan kegagalan. Semua Informasi yang menyangkut diri

3
Ibid, 95

11
konseli tersebut oleh konselor dianalisis secara cermat dan objektif, dan
hasilnya diterima apa adanya.4
2. Menjaga jarak emosi dengan konseli. Hubungan emosi antara konselor
dan konseli harus dijaga sedemikian rupa, sehingga tidak terlalu jauh,
dan juga tidak terlalu dekat. Hubungan emosi yang ideal adalah
hubungan emosi yang dapat menimbulkan keterbukaan, kerjasama, dan
saling percaya,, sehingga konseli dapat menungkapkan semua
permasalahannya kepada konselor. Konselor Profesional tidak boleh
kehilangan kepercayaan dari konseli, justru harus membangun
kepercayaan untuk meningkatkan kualitas konseling.
3. Memahami statusnya sebagai konselor, tetapi dapat menjaga hubungan
dengan konseli. Sukses tidaknya pelayanan konseling sangat
dipengaruhi oleh hubungan emosional yang dibangun konselor. Status
konselor adalah status yang terhormat. Ia sebagai tenaga ahli dan
sebagai pendidik. Sebagai tenaga ahli dan pendidik konselor menguasai
ilmu filsafat, psikologi, sosiologi, antropologi, dan pendidikan yang
dikemas kedalam kompetensi konselor, yaitu : Penguasaan konsep dan
praksisi pendidikan; memiliki kesadaran dan komitmen etika
profesional; menguasai konsep prilaku dan perkembangan individu;
menguasai konsep dan praksis assessment,menguasai konsep dan
praksis konseling; mampu mengelola program konseling; dan
menguasai konsep dan praksis riset dalam bidang konseling.
D. Perasaan Konselor yang Berempati
Berempati merupakan perwujudan dari sikap dan emosi konselor ke
dalam suatu perbuatan yang dapat memahami dan merasakan apa yang
dirasakan konseli tanpa ikut larut ke dalam perasaan konseli. Konselor
harus dapat menunjukkan kepada konseli bahwa dirinya bisa turut
merasakan apa yang dirasakan konseli, seperti perasaan konseli dalam
kepedihan, kekecewaan, dan kebencian.

E. Perasaan Konselor yang Menyenangkan.

Perasaan senang konseli merupakan salah satu kondisi psikologis yang


dapat menimbulkan konseli betah di dalam proses konseling, dan bahkan
konseli dapat merasakan bahwa konseling sangat berharga bagi dirinya.
Kondisi ini bisa diciptakan konselor bila ia juga merasa senang membantu
konseli.5

4
Ibid, 96
5
Ibid, 98

12
Bagi konselor profesional memberikan pelayanan konseling adalah
suatu hal yang sangat menyenangkan dirinya. Hal ini sesungguhnya
sebagai implementasi karakteristik kepribadian konselor yang menghargai
harkat dan martabat manusia dan hak asasinya, serta bersikap
demokratis.  Karakteristik ini menunjuk kepada suatu perlakuan konselor
terhadap konseli yang didasarkan pada anggapan bahwa konseli sama
dengan dirinya sendiri sebagai makhluk yang mempunyai harkat dan
martabat mulia. Konseli memiliki hak asasi yang harus dihargai dan tidak
boleh diabaikan dalam perlakuan-perlakuan konselor kepadanya. Di
samping itu, konselor tidak boleh membeda-bedakan perlakuan kepada
konseli. Hendaknya konseli diperlakukan sama dan sederajat,baik dengan
konselor maupun dengan konseli lainnya.

F. Perasaan Mencapai Prestasi

Perasaan mencapai prestasi merupakan kondisi psikologis yang harus


dikembangkan oleh konselor dan konseli di dalam proses kon- seling.
Dalam konsep konseling, perasaan mencapai prestasi harus dilihat dari dua
sisi, yaitu dari sisi konselor dan sisi konseli. Dari sisi konselor,
memberikan pelayanan konseling merupakan suatu hal yang
menyenangkan dirinya, dan harus selalu ditingkatkan kualitasnya sejalan
dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (IPTEKS).
Dari sisi konseli, perasaan mencapai prestasi merupakan salah satu bentuk
perubahan perilaku konseli sebagai hasil konseling.6

Keberhasilan konselor dalam mengembangkan kondisi ini akan


menunjang keberlanjutan proses konseling sebagai suatu kebutuhan
masyarakat luas (public need), di mana eksistensi profesi konseling
mendapatkan pengakuan baik dari aspek disiplin ilmu maupun dari pihak
pemerintah sebagai regulator, dan masyarakat sebagai pengguna jasa
konseling (user).

Beberapa saran yang perlu diperhatikan konselor untuk menciptakan


perasaan mencapai prestasi konseli di dalam wawancara konseling,
sebagai berikut:

a. Tanamkan nilai (value) kepada konseli bahwa kehidupan tidak dapat


dipisahkan dengan kekaryaan, artinya manusia hidup membutuhkan
karya untuk hidup.

6
Ibid, 99

13
b. Kekaryaan adalah hasil perilaku yang hanya bisa diwujudkan bila
manusia berusaha keras dengan mendayagunakan semua potensi yang
dimilikinya.

c. Konseling dipandang sebagai proses belajar (learning process), untuk


menuju suatu arah perkembangan konseli yaitu terwujudnya individu
berprestasi.

G. Membangun Harapan

Harapan (expectation) adalah suatu keinginan individu untuk dapat


diwujudkan (menjadi kenyataan). Harapan sangat memengaruhi intensitas
usaha, artinya individu yang memiliki suatu harapan, maka perilakunya
untuk mencapai harapan tersebut sangat kuat, bila dibandingkan dengan
individu yang tidak memiliki harapan. Dalam proses konseling, konselor
bersama konseli berdiskusi untuk membangun suatu harapan. Suatu
harapan konseli adalah terpecahnya (terentaskan) masalah yang
dihadapinya, sehingga konseli dapat mencapai kebahagiaan hidup.

H. Memiliki Ketenangan

Ketenangan adalah suatu perasaan di mana konseli merasa nyaman tak


ada yang mengganggu Dalam arti luas, ketenangan mencakup ketenangan
hidup yang berarti seseorang dapat merasakan ketentraman, kenyamanan,
dan kebahagiaan. Proses konseling hendaknya teraman, dapat dibangun
konselor dalam situasi yang tenang dan menyenang kan konseli. Dalam
situasi ini, konseli diharapkan dapat introspeksi untuk menemukan dan
mempelajari kekurangan, sebagai bahan balikan dalam mencapai
kemajuan/keberhasilan dalam hidupnya.7

7
Ibid, 100

14
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Konseling merupakan profesi bantuan (helping profession) yang


diberikan oleh konselor kepada klien yang berlangsung dalam suatu
kondisi psikologis yang diciptakan bersama. Kondisi psikologis yang
menunjang proses konseling yaitu situasi yang bersifat kejiwaan baik
dalam diri konselor maupun konseli (klien). Kondisi psikologis inilah yang
akan mempengaruhi proses dan hasil konseling.

B. Saran

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan


makalah ini, baik dari segi penulisan maupun dari segi materi yang
kesemuanya membutuhkan tambahan-tambahan materi dan juga
sistematika penulisan. Agar makalah ini dapat dikatakan sedikit mendekati
kesempurnaan.

15
DAFTAR PUSTAKA

Hartono. (2000). "Mengembangkan Bakat Anak Sejak Dini" (Makalah).


Surabaya: Program Studi Bimbingan dan Konseling FKIP Unipa
Surabaya.

Hartono. (2006). Dasar-dasar Bimbingan Karier II ( Pendekatan


Kelompok dalam Konseling Karier). Surabaya: University Press Unipa
Surabaya.

Loekmono, L. (1985). Tiga Pendekatan Konseling. Salatiga: Pusat


Bimbingan UKSW.

Surya, M. (1988). Dasar-dasar Konseling. Jakarta: Depdikbud Direktorat


Pendidikan Tinggi, Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan
Tenaga Kependidikan.

Surya, M. (2003). Psikologi Konseling. Bandung: CV Pustaka Bani


Quraisy.

Hartono. Soedarmadji Boy. ( 2013 ). Psikologi Konseling. Jakarta:


Kencana Prenada Media Grup.

http://lelyokvitasari.blogspot.com/2012/04/psikologi-konseling.htmL
http://binham.wordpress.com/2012/05/22/teori-dan-teknik-konseling-
pendekatan-gestalt

16

Anda mungkin juga menyukai