Disusun oleh:
PRODI S1 FARMASI
KATA PENGANTAR
Rasa syukur yang dalam kami sampaikan ke hadiran Tuhan Yang Maha
Pemurah, karena berkat kemurahan-Nya makalah ini dapat penulis selesaikan
sesuai yang diharapkan. Dalam makalah ini penulis membahas “Antibiotik
Profilaksis pada Bedah”.
Makalah ini dibuat dalam rangka memperdalam pemahaman tentang
antibiotik profilaksis khususnya sebelum pembedahan, makalah ini juga dibuat
untuk memenuhi penugasan makalah dari mata kuliah Farmakoterapi di jurusan
Farmasi. Selanjutnya, penulis mengucapkan terimakasih kepada Ibu Khotimatul
Khusna, S.Farm., M.Sc., Apt selaku dosen Farmakoterapi dan kepada segenap
pihak yang telah memberikan bimbingan serta arahan selama penulisan makalah
ini.
Akhirnya penulis menyadari bahwa banyak terdapat kekurangan-
kekurangan dalam penulisan makalah ini, maka dari itu penulis mengharapkan
kritik dan saran yang konstruktif dari para pembaca demi kesempurnaan makalah
ini.
Penulis
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................2
DAFTAR ISI............................................................................................................3
PENDAHULUAN...................................................................................................4
A. Latar Belakang..............................................................................................4
B. Rumusan Masalah.........................................................................................5
TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................................6
A. Definisi..........................................................................................................6
B. Epidemiologi.................................................................................................7
C. Etiologi..........................................................................................................8
1. Faktor Pasien.............................................................................................9
2. Faktor Operasi...........................................................................................9
D. Ketahanan Mikroba.....................................................................................11
E. Tatalaksana Terapi......................................................................................11
F. Terapi Farmakologi.....................................................................................12
G. Non Farmakologi........................................................................................18
H. Monitoring..................................................................................................19
PENUTUP..............................................................................................................20
A. Kesimpulan.................................................................................................20
B. Saran............................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................21
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Operasi merupakan tindakan pembedahan pada suatu bagisan
tubuh. Dunia kedokteran sekarang sudah semakin berkembang sehingga
untuk ilmu bedah bukan hanya bedah umum. Namun sudah banyak cabang
ilmu bedah lainnya diantaranya bedah orthopedi, bedah digestif,bedah
onkologi, bedah urologi dan lain sebagainya. Dalam proses pembedahan
tidak sedikit mikroba yang ikut masuk atau tidak sengaja masuk kedalam
anggota tubuh yang di bedah. Mikroba ini baik berupa bakteri,jamur dan
mungkin virus. Mikroba yang masuk tersebut dapat menyebabkan infeksi
nosokomial dan tidak tercapainya pengobatan (Brunner & Studart, 2002).
Infeksi nosokomial merupakan penyebab utama peningkatan
mortalitas dan morbiditas pada pasien rawat inap di rumah sakit sehingga
terputusnya kendali infeksi dapat mengakibatkan komplikasi septic yang
mungkin dapat meningkatkan resiko terhadap kesehatan pasien
dibandingkan penyakit semula atau pembedahannya. Sekitar 70% dari
seluruh infeksi nokomial dilaporkan terjadi pada pasien yang mengalami
pembedahan. Pada proses pembedahan harus mengetahui resiko terjadinya
infeksi berdasarkan kondisi pasien dan kondisi pembedahan. Kondisi
pembedahan meliputi antibiotik profilaksis, keadaan kulit dan luka,
lingkungan operasi, teknik pembedahan dan terapi infeksi yang akan
datang (Kharisma dan Sikma Ratih, 2006).
Penggunaan antibiotik profilaksis sering dgunakan sebelum poses
pembedahan dilakukan, sehingga memungkinkan terjadinya
keridaktepatan dalam penggunaan obat. Ketidaktepatan dalam pemberian
antibiotik profilaksis dapat menimbulkan infeksi yang berat. Sehingga
perlu dievaluasi penggunaan obat tersebut untuk mengetahui ketepatan
penggunaan obat yang meliputi ketepatan obat. Makalah ini membahas
tentang antibiotik profilaksis mulai dari penyebab infeksi pada kasus
bedah, pemilihan dan tatalaksaksana terapi baik farmakologi maupun non
4
farmakologi sebagai dasar pemilihan antibiotik yang tepat untuk kasus
profilaksis pada bedah.
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi profilaksis pada bedah?
2. Bagaimana tatalaksana terapi farmakologi dan non farmakologi pada
penggunaan antibiotik profilaksis pada bedah?
3. Bagaiman pemilihan antibiotik profilaksis pada bedah?
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
6
operasi pada daerah yang tidak termasuk kedalam daerah bedah,seperti
infeksi saluran urin yang disebabkan oleh penggunaan kateter,biasanya
membutuhkan antibiotik ,tetapi pencegahan dari infeksi ini bukanlah
menjadi tujuan dari profilaksis bedah.
Terapi antibiotik sering diberikan ketika diduga terjadi infeksi
meskipun belum terbukti. Infeksi pada daerah bedah diklarifikasikan
menjadi luka terbuka pada daerah bedah (seperti selulit pada daerah yang
di potong) atau melibatkan organ atau rongga (seperti
meningitis).Terbukanya pada daerah bedah dapat terjadi pada permukaan
(jaringan kulit atau subkutan)atau pada bagian dalam (lapisan fascial dan
otot). Kedua tipe tersebut muncul setelah operasi hari ke 30. Periode ini
diperpanjang hingga 1 tahun pada kasus infleksi dalam yang berhubungan
dengan implantasi protesis (Sukandar, dkk, 2008)
B. Epidemiologi
7
waktu.pencegahan infeksi yang didapat dirumah sakit adalah tujuan utama
profilaksis antibiotik.
SSI dapat dikatagorikan sebagai insisional (misalnya selulitis dari
situs sayatan). SSI insisional disubklasifikasikan menjadi infeksi
superficial (hanya melibatkan kulit atau jaringan subkutan) dan dalam
lapisan fasia dan otot). Organ / ruang SSI dapat melibatkan area anatomi
selain dari lokasi sayatan.
C. Etiologi
Pasien Operasi
Usia Durasi scrub bedah
Status nutrisi Persiapan kulit pra operasi
8
Diabetes Pencukuran sebelum operasi
Merokok Durasi operasi
Obesitas Profilaksis antimikroba
Infeksi yang hidup berdampingan di Ventilasi ruang operasi
situs tubuh distal
Kolonisasi dengan mikroorganisme Alat Sterilisasi
resisten
Respon imun yang berubah Implantasi bahan prostetik
Lama rawat inap sebelum operasi Pengeringan saluran
Teknik bedah
1. Faktor Pasien
9
Organisme pada flora komensal umumnya tidak patogen. Organisme
sering melayani inang sebagai bentuk pelindung terhadap organism
invasif yang jika tidak menjajah lokasi bedah. Organisme oportunistik
biasanya dijaga oleh flora normal dan jarang bermaslahan kecuali
mereka hadir dalam jumlah besar. Kehilangan flora normal melalui
penggunaan antibiotik broadspectrum dapat menganggu kestabilan
homeostatis, memungkinkan bakteri patogen berkembang biak dan
infeksi terjadi. Flora normal yang translokasi ke lokasi jaringan atau
cairan yang biasanya steril selama prosedur bedah bisa menjadi
pathogen. Sebagai contoh S. aureus atau S.epidermidis dapat
ditranslokasikan dari permukaan kulit ke jaringan yang lebih dalam atau
E.coli dari usus besar ke rongga peritoneum, aliran darah atau saluran
kemih. Virulesi bakteri menjadi penentu penting dalam pengembangan
infeksi sekunder. Berikut beberapa jenis bakteri yang sering terlibat
dalam infeksi :
10
jaringan (misalnya sitokin proinflamasi), respons yang dimediasi sel
(misalnya fungsi sel T) dan fungsi granulosit atau fagositik ( misalnya,
neutrofil atau makrofag) dapat sangat meningkatkan resiko untuk
pengembangan SSI. Keadaan oklusif vascular terkait dengan prosedur
bedah atau yang terjadi akibat syok hipovolemik dapat sangat
memengaruhi aliran darah ke lokasi bedah, sehingga mengurangi
mekanisme pertahanan inang. Terhadap invasi mikroba jaringan
mengalami trauma,hematoma, dan adanya benda asing juga
menyebabkan lebih banyak infeksi
D. Ketahanan Mikroba
Pasien yang diobati dengan terapi antibiotik spectrum luas berada
pada peningkatan resiko kolonisasi dengan flora rumah sakit. Dengan
sefalosporin di tetapkan sebagai agen lini pertama untuk profilaksis selama
dekade terakhir, organism yang resistensi terhadap sefalosporin mewakili
sebagian besar patogen yang menyebabkan SSI. CDC telah melaporkan
peningkatan yang mengkhawatirkan dalam kejadian infeksi enterococci
(VRE) Yang resisten terhadap vankomisin, khususnya yang dengan E.
faecium. Pedoman menyarankan substitusi vankomisin untuk cefazolin
sebagai profilaksis SSI hanya dalam kasus dengan kecurigaan tinggi
MRSA atau pada pasien dengan riwayat alergi terhadap pensilin atau
sefalosporin yang mengancam jiwa.
E. Tatalaksana Terapi
Prinsip-prinsip berikut harus dipertimbangkan ketika memberikan
profilaksis bedah antimikroba:
a) Agen harus dikirim ke lokasi bedah sebelum sayatan awal. Pilih
antibiotika yang efektif terhadap patogen yang akan dihadapi dan
memiliki toksisitas rendah
b) Konsentrasi antibiotik bakterisida harus dipertahankan di lokasi bedah
selama prosedur pembedahan. Berikan secara tunggal dengan dosis
pebuh secara intravena 30-60 menit sebelum pembedahan. Berikan
11
dosis kedua jika lama operasi melebihi 4 jam atau 2x waktu paruh
antibiotika. Berikan 2 atau 3 dosis paska bedah (tidak perlu diberikan
melebihi 24 jam). Operasi dalam waktu lama biasanya membutuhkan
dosis antibiotik intraoperatif untuk mempertahankan konsentrasi yang
memadai di lokasi bedah selama durasi operasi.
Antibiotik harus diberikan dengan anastesi sesaat sebelum sayatan
awal. Pemberian antibiotik yang terlalu dini dapat mengakibatkan
konsentrasi dibawah MIC menjelang akhir operasi, dan pemberian yang
terlalu terlambat membuat pasien tidak terlindung pada saat sayatan awal.
Pada suatu penelitian yang dilakukan oleh Classen et al, resiko infeksi
paling rendah (0,6%) untuk pasien yang menerima profilaksis pra operasi
(0,2 jam sebelum operasi), sedang (1,4%) untuk mereka yang menerima
antibiotik perioperative (hingga 3 jam setelah sayatan pertama) dan yang
terbesar untuk mereka yang menerima antibiotik pasca operasi (3,3%)
(lebih dari 3 jam setelah sayatan pertama) atau antibiotik pra operasi
terlalu dini (3,8%) (2-24 jam sebelum operasi).
Keadaan penyakit yang mendasari yang dapat mempengaruhi
metabolism antibiotik dan eliminasi harus dipertimbangkan ketika
mengembangankan regimen profilaksis. Sebagai contoh, pasien dengan
luka bakar termal dan cedera sumsum tulang belakang menghilangkan
antibiotik tertentu, terutama aminoglikosida, beta laktam, pada tingkat
yang sangat tinggi dibandingkan dengan kontrol.
F. Terapi Farmakologi
12
masing institusi. Biasanya cakupan gram positif harus dimasukan dalam
pilihan profilaksis bedah karena organisme, seperti S.aureus dan
S.epidermidis sering dijumpai sebagai flora normal kulit.
Meskipun profilaksis antimikroba dapat diberikan melalui
berbagai rute misalnya oral, tropical dan intamuskuler, rute parenteral
lebih disukai karena dapat disesuaikan dengan konsentrasi pada jaringan.
Sefalosporin adalah yang paling umum diresepkan untuk profilaksis
bedah karena spektum antimikroba yang luas, profil farmakokinetik yang
menguntungkan, insiden rendah efek samping yang merugikan, dan biaya
rendah. Sefalosporin generasi pertama seperti sefazolin adalah pilihan
yang lebih disukai untuk profilaksis bedah , terutama untuk prosedur
bedah yang bersih. Cakupan gram-negatif dan anaerob yang lebih luas ,
sefalosporin antianaerob seperti cefoxitin dan cefotetan, adalah pilihan
yang tepat. Meskipun sefalosporin generasi ketiga misal (ceftriaxon) telah
dianjurkan untuk profilaksis karena peningkatan cakupan gram negatif dan
waktu paruh yang lama, aktifitas gram positif dan anareob lebih rendah
disamping biaya yang lebih tinggi sehingga penggunaannya tidak disukai.
Reaksi alergi adalah efek samping paling umum yang terkait dengan
penggunaan sefalosporin. Reaksi dapat berkisar dari manifestasi kulit
minor di tempat infuse hingga ruam, pruritus, dan jarang anafilaksis
(<0,02%).
Kesamaan struktural antara penisilin dan sefalosporin (masing
masing mengandung cincin β-Laktam) telah menyebabkan kebingungan
yang cukup besar tentang alergi-silang antara kedua kelas obat ini.
Vankomisin dapat dipertimbangkan untuk terapi profilaksis dalam
prosedur bedah yang melibatkan implantasi perangkat prostetik dimana
tingkat MRSA tinggi.
13
Berikut beberapa pilihan antibiotik profilaksis sesuai dengan
patogen dan rekomendasi spesifik untuk profilaksis bedah
14
Reko
Kemungkinan Rekomendasi untuk
Jenis operasi Komentar mend
Patogen Bedah Profilaksis
asi
Operasi ginekologi
seksio sesarea Bakteri gram, Cefazolin 2 g x 1 Dapat diberikan IA
Negative enterik, sebelum sayatan awal
anaerob, strepto- atau setelah tali pusat
kokus kelompok B, dibasahi
enterokokus
Histerektomi Bakteri gram, Vagina: Cefazolin 1 gx Metronidazol 1 g IV x IA
Negative enterik, 1 Perut: Cefotetan 1 g 1 direkomendasikan
anaerob, strepto- x 1 atau Cefazolin 1 gx sebagai alternatif untuk
kokus kelompok B, 1 alergi penisilin
enterokokus
Operasi kepala dan leher
Operasi maksilofasial Staphylococcus Cefazolin 2 g atau Ulangi dosis IA
aureus,streptococc klindamisin 600 mg intraoperatif untuk
i oral anaerob operasi lebih dari 4 jam
Kanker kepala dan leher S. aureus, anaerob Klindamisin 600 mg Tambahkan gentamicin IA
reseksi oral streptokokus saat Induksi dan setiap untuk prosedur yang
8 jam x 2 dosis lagi terkontaminasi dekan
Cardiothorack surgery
Operasi jantung S. aureus. Cefazolin 1 g setiap 8Pasien> 80 kg harus IA
Staphylococcus jam x 48 jam menerima 2 g cefazdin
epidermidis, sebagai gantinya; di
Corynebacterium daerah dengan
prevalensi tinggi
resistensi S aureus,
vankomisin harus
dipertimbangkan
Operasi toraks S aureus, S Sefuroksim 750 mg IV Sefalosporin generasi IA
epidermidis, setiap 8 jam x 48 jam pertama dianggap tidak
Corynebacterium, memadai dan durasi
basil gram negatif profilaksis yang lebih
enteric pendek belum diteliti
secara memadai.
15
Re ko
Kemungkinan Rekome ndasi untuk
Jenis ope rasi Kome ntar me nd
Patogen Bedah Profilaks is
asi
Operasi pe mbuluh darah
Aorta perut dan bawah S. aureus, S. Cefazolin 1 g saat Meskipun komplikasi IB
ekstremi-tas pembuluh epidermidis, basil induksi dan setiap 8 jam dari infeksi mungkin
darah gram negatif x 2 dosis lagi jarang terjadi, infeksi
enteric graft dikaitkan dengan
morbiditas yang
signifikan
Operasi ortope di
Penggantian sendi S. aureus, S Cefazolin 1 gx 1 Vankomisin IA
epidermidis sebelum operasi, maka dicadangkan untuk
setiap 8 jam x 2 dosis pasien alergi penicillin
lagi atau di mana prevalensi
institusional
Staphylococcus aureus
yang resistan terhadap
metisilin
Perbaikan patah tulang S. aureus, S Cefazolin 1 gx 1 Penggunaan Patah IA
pinggul epidermidis sebelum operasi, lalu tulang patah
setiap 8 jam selama 48 diperlakukan seolah-
jam olah infeksi diduga
Fraktur terbuka / S aureus, S Cefazolin I gx 1 Cakupan Gram-negatif IA
majemuk epidermidis, basil sebelum operasi, (mis., Gentamisin)
gram negatif, kemudian setiap 8 jam sering diindikasikan
polimik roba untuk suatu perjalanan untuk fraktur terbuka
infeksi parah
Be dah Saraf
Pirau cairan S. aureus, S Cefazolin 1 g setiap 8 Tidak ada agen yang IA
serebrospinal epidermidis jam x terbukti lebih baik
3 dosis atau ceftriaxone daripada cefazolin
2gx1 dalam uji komparatif
acak.
Prosedur Craniotomy S. aureus, S Sefazolin Igxl atau Trimethoprim- IA
epidermidis sefotaksim sulfamethoxazole (160 /
Ig x l 800mg) IV x 1 dapat
menggantikan pasien
dengan alergi penisilin
Operasi tulang belakang S. aureus, S Cefazolin Ig x l Jumlah uji coba IB
epidermidis terbatas yang
membandingkan
rejimen pengobatan
yang berbeda
16
Berikut Klasifikasi Luka, Resiko SSI dan Indikasi dari antibiotik menurut
National Research Council:
17
jaringan
nekrotik)
G. Non Farmakologi
Strategi selain antimikroba dan teknik aseptis untuk mengurangi
infeksi paska operasi telah diselidiki dalam berbagai jenis operasi.
Intervensi yang paling sering dikutip dan dipraktekkan termasuk
pemeliharaan normothermia intraoperatif, pemberian oksigen tambahan
pada periode perioperatif dan kontrol glukosa perioperatif yang agresif.
Suhu inti tubuh dapat turun 1-1,50C secara intraoperatif pada pasien
dengan anestesi umum. Hipotermia intraoperatif telah dikaitkan dengan
gangguan fungsi kekebalan tubuh , penurunan darah ke area bedah,
penurunan tekanan oksigen jaringan , dan peningkatan resiko SSI. Upaya
untuk mempertahankan normothermia intraoperatif harus dilakukan
mencakup penggunaan selimut penghangat dan penghangat cairan
intravena untuk mempertahankan suhu inti tubuh diatas 36oC/97oF.
Tekanan oksigen yang rendah pada jaringan yang membentuk situs bedah
meningkat resiko kolonisasi bakteri dan selanjutnya SSI dengan
mengurangi efisiensi aktivitas neutrofil. Pemberian oksigen konsentrasi
tinggi (80% melalui ventilator atau 12L/menit melalui masker
nonrebreather) mengurangi tingkat infeksi paska operasi secara signifikan
dalam uji coba acak multisenter dari 500 pasien yang menjalani operasi
kolorektal. Diabetes dan control glukosa yang buruk adalah faktor resiko
yang diketahui. Meningkatnya resiko infeksi diduga disebabkan oleh
makrovaskular (vasculopathy dan penyakit venooklusif) dan
mikrovaskular defisiensi imunologis yang halus, termasuk disfungsi
neutrofil dan berkurangnya aktivitas komplemen dan antibodi komplikasi.
Kontrol kadar gula darah perioperatif mengurangi kejadian SSI pada
penderita diabetes yang menjalani operasi jantung dan sedang dievaluasi
dengan jenis operasi lain dan pasien non diabetes.
18
H. Monitoring
Ketika mengevaluasi hasil profilaksis antibiotik bedah, penting
untuk membedakan SSI potensial dari infeksi atau komplikasi pasca
operasi lainnya. Walaupun demam dan leukositosis sering terjadi pada
periode pasca operasi segera, mereka biasanya sembuh dengan ambulasi
yang cepat, pengangkatan alat invasif yang tepat waktu, pencegahan dan /
atau resolusi atelektasis melalui perawatan pernapasan yang optimal, dan
analgesia yang efektif. Penting untuk diingat bahwa munculnya infeksi
distal, seperti pneumonia, bukan merupakan kegagalan profilaksis bedah.
Profilaksis harus sesingkat mungkin karena rejimen profilaksis yang
berkepanjangan dapat berkontribusi pada pemilihan organisme resisten
dan dapat membuat infeksi lebih sulit diobati. Penampilan situs bedah
adalah penentu paling penting dari adanya infeksi. Drainase nanah dari
sayatan disertai dengan kemerahan, kehangatan, dan rasa sakit atau
kelembutan sangat menunjukkan SSI. Menurut definisi, setiap situs bedah
yang membutuhkan sayatan dan drainase oleh ahli bedah dianggap
terinfeksi terlepas dari penampilan. Kegagalan untuk menyembuhkan dan
luka dehiscence juga terlihat umum dengan SSI, meskipun teknik bedah
dan status gizi mungkin merupakan faktor penting. Presentasi tanda dan
gejala yang konsisten dengan SSI sehubungan dengan pembedahan
sebelumnya merupakan pertimbangan penting ketika mengevaluasi hasil
terapi setelah profilaksis bedah.
19
I. Kasus
Ny. A, 48 tahun, 54 kg, direnanakan melakukan operasi histeroktomi
pekan depan. Histeroktomi merupakan operasi yang termasuk operasi kelas
bersih-terkontaminasi. Ny. A tidak mempunyai riwayat alergi, memiliki
riwayat penyakit hipertensi.
Penyelesaian :
Pasien akan melakukan operasi histeroktomi atau operasi pengangkatan
uterus. Operasi ini termasuk operasi kelas bersih-terkontaminasi yaitu luka
operasi yang menembus respiratorius, traktur gastrointestinalis dan traktus
urogenitalis yang membutuhkan antibiotik profilaksis (antibiotik yang
diberikan untuk mencegah infeksi).
Menurut Dipiro et al (2008) antibiotik yang digunakan untuk operasi
histeroktomi yaitu cefazolin golongan sefalosporin. Cefazolin dipilih karena
merupakan antibiotik spektrum luas, tidak kontraindikasi dengan riwayat
hipertensi pasien dan sesuai dengan kondisi pasien yang tidak memiliki
riwayat alergi terutama alergi terhadap penisilin. Meskipun penisilin dan
sefalosporin merupakan golongan yang berbeda, namun keduanya memiliki
cincin beta-laktam sehingga perlu diperhatikan adanya riwayat alergi pasien.
Cefazolin memiliki Grade of recomendation IA yang berarti sangat
direkomendasikan dan disarankan oleh studi desain eksperimental, klinik
atau epidemiologi. Cefazolin digunakan secara vaginal yaitu apabila dalam
operasi histeroktomi hanya dilakukan pengangkatan uterus dan digunakan
secara abdominal apabila operasi histeroktomi meliputi pengangkatan
struktur ovarium dan tuba falopi. Pada penggunaan antibiotik profilaksis
juga perlu diperhatikan terkait waktu paruh antibiotik yang digunakan.
Cafazolin memiliki waktu paruh yang relatif pendek yaitu 90-150 menit (de
Jong et al, 2008). Apabila waktu operasi histeroktomi yang dilakukan
melebihi waktu paruh cefazolin maka, dapat diulang pemberian cefazolin
selama operasi berlangsung.
Selain terapi farmakologi, dapat dilakukan terapi non farmakologi bagi
pasien. Terapi non farmakologi yang dapat dilakukan yaitu kontrol glukosa,
20
Pemberian oksigen konsentrasi tinggi (80% melalui ventilator atau 12L/m
melalui nonrebreather). Pencegahan hipotermia juga penting dilakukan
karena pemberian anestesi dapat menurunkan suhu tubuh 1-1,5°C.
Pencegahan hipotermia secara pasif dapat dilakukan dengan menutupi tubuh
menggunakan selimut atau kain bedah dan pengaturan suhu ruangan. Suhu
diruangan operasi seharusnya tetap dijaga sekitar 20-24°C yang bertujuan
untuk meminimalkan pertumbuhan bakteri. Untuk menjaga agar suhu inti
pasien berada pada 36°C, maka suhu ruangan operasi harus dijaga pada suhu
21-24°C. Pencegahan secara aktif dapat dilakukan dengan cara penghangatan
cairan infus serta menggunakan alas penghangat.
21
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Antibiotik profilaksis berbeda dengan antibiotik terapetik dimana
antibiotik terapetik digunakan untuk pengobatan infeksi, sedangkan
antibiotik profilaksis digunakan untuk pencegahan infeksi pada pasien
atau prosedur beresiko tinggi.
2. Resiko Surgical Site Infection (SSI) ditentukan oleh 2 faktor yaitu
jenis operasi dan faktor pasien.
3. Penting untuk memastikan waktu yang tepat pemberian antibiotik
profilaksis yaitu + 1 jam sebelum dilakukan operasi.
4. Terapi farmakologi / pemilihan antibiotik profilaksis pada bedah
tergantung pada jenis operasi, jenis patogen, faktor pasien, pola
resistensi antimikroba dan biaya.
5. Sefalosporin golongan pertama adalah andalan untuk profilaksis
dalam sebagian besar prosedur bedah karena berspektrum luas, aman
dan biaya minimal.
6. Terapi non farmakologi yang dapat dilakukan antara lain terkait
pemeliharaan normothermia, pemberian oksigen dan kontrol kadar
gula.
B. Saran
Perlunya pemantauan kembali terkait penggunaan antibiotik profilaksis
baik dari pilihan antibiotik, waktu pemberian maupun resiko pasien itu
sendiri supaya infeksi dapat dicegah.
22
DAFTAR PUSTAKA
de Jonge, S.W., Mda Sarah L., Gans, MD, PhDa., Jasper. JA., Joseph S.S.,
Patchen E.D., Marja, A.B., 2017, Timing of Preoperative Antibiotics
Prophylaxis in 54552 Patients and The Risk Of Surgical Site
Infection, A Systematic Review and Meta-analysis Journal, Department
of Surgery, Amsterdam, The Netherlands
Dipiro, J.T., Robert, L.A., Gary C.Y., Gary, R.M., Barbara G.W., L.Michael, P.,
2008, Pharmacotherapy A Pathofisiologic Approach 7th Ed,
McGrawHill Medical: New York.
23