Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

PARKINSON

Pembimbing:

dr. Irawati, SpS


Disusun Oleh:
Indi Chairunnisa

406192006

Vania Nindy Shafira

406192005

Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara


Kepaniteraan Klinik Geriatri
Panti Werdha Kristen Hana
Periode
Jakarta

BAB 1

1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit Parkinson (PP) merupakan gangguan neurodegeneratif terbanyak kedua


yang diderita manusia setelah penyakit Alzheimer. Secara klinis, Penyakit
parkinson dapat ditandai dengan resting tremor, rigiditas, bradikinesia, dan
postural instability. Adapun gejala tambahan seperti gangguan intelek, tingkah
laku, dan demensia dapat timbul pada penyakit ini. Secara patologis, pada
Parkinson dijumpai degenerasi dari dopaminergic neuron pada substansia nigra
pars kompakta dan lewy body.1,2
Penyakit Parkinson menyerang jutaan penduduk di dunia atau sekitar 1% dari
total populasi dunia. Penyakit tersebut menyerang penduduk dari berbagai etnis
dan status sosial ekonomi.3 Penyakit Parkinson terjadi di seluruh dunia, jumlah
penderita antara pria dan wanita seimbang. 5 – 10 % orang yang terjangkit
penyakit parkinson, gejala awalnya muncul sebelum usia 40 tahun, tapi rata-rata
menyerang penderita pada usia 65 tahun. Secara keseluruhan, pengaruh usia pada
umumnya mencapai 1 % di seluruh dunia dan 1,6 % di Eropa, meningkat dari 0,6
% pada usia 60 – 64 tahun sampai 3,5 % pada usia 85 – 89 tahun.4
Di Skotlandia, terdapat sekitar 120 dan 230 pasien penyakit parkinson per
100.000 orang.5 Di Indonesia, diperkirakan sebanyak 876.665 orang dari total
jumlah penduduk sebesar 238.452.952 menderita parkinson. Total kasus kematian
akibat penyakit Parkinson di Indonesia menempati peringkat ke-12 di dunia atau
peringkat ke-5 di Asia, dengan prevalensi mencapai 1100 kematian pada tahun
2002.3

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Penyakit Parkinson merupakan suatu penyakit neurodegeneratif sistem
ekstrapiramidal yang merupakan bagian dari parkinsonism. Secara patologis
ditandai dengan adanya degenerasi ganglia basalis terutama di substansia nigra
pars kompakta yang disertai adanya inklusi sitoplasmik eosinofilik (lewy bodies). 6
Substansia nigra memainkan peran yang penting dalam sistem ekstrapiramidal
yang mengendalikan postur tubuh dan koordinasi gerakan motorik volunter,
sehingga penyakit ini karakteristiknya adalah gejala yang terdiri dari bradikinesia,
rigiditas, tremor dan ketidakstabilan postur tubuh (kehilangan keseimbangan).1,7
Parkinsonism adalah suatu sindrom yang ditandai oleh tremor pada waktu
istirahat, rigiditas, bradikinesia dan hilangnya refleks postural akibat penurunan
dopamin dengan berbagai macam sebab.1

2.2 Epidemiologi
Penyakit parkinson merupakan salah satu gangguan neurologis yang paling
umum, mempengaruhi sekitar 1% dari orang yang lebih tua dari 60 tahun. Insiden
dan prevalensi penyakit Parkinson meningkat dengan usia, dan usia rata-rata onset
adalah sekitar 60 tahun. Onset pada orang yang lebih muda dari 40 tahun relatif
jarang.8
Suatu kepustakaan menyebutkan prevalensi tertinggi penyakit parkinson terjadi
pada ras Kaukasian di Amerika Utara dan ras Eropa 0,98% hingga 1,94%,
menengah terdapat pada ras Asia 0,018% dan prevalensi terendah terdapat pada
ras kulit hitam di Afrika 0,01%.9 Penyakit parkinson 1,5 kali lebih sering terjadi
pada pria dibandingkan pada wanita.8 Di Indonesia, diperkirakan sebanyak
876.665 orang dari total jumlah penduduk sebesar 238.452.952 menderita
penyakit parkinson. Total kasus kematian akibat penyakit parkinson di Indonesia
menempati peringkat ke-12 di dunia atau peringkat ke-5 di Asia, dengan
prevalensi mencapai 1100 kematian pada tahun 2002.3

2.3 Klasifikasi

3
Secara umum parkinson dibagi menjadi 3 yaitu9 :
1. Parkinson primer : paling sering dijumpai, penyebab tidak diketahui
(idiopatik)

2. Parkinson Sekunder : post infeksi ( ensepalitis, sifilis


meningovaskular, tuberkulosis ), post trauma ( sering pada petinju ),
drug induce( sering obat-obatan psikosis misalnya : Chlorpromazin,
Petidin, Fenotiazin, Reserfin, Tetrabenazin ), Toksik ( misalnya CO,
mangan, karbon disulfida ).

3. Sindrom Paraparkinson ( Parkinson’s Plus ) : Sindrom Shy-Drager,


Penyakit Wilson, Parkinsonismus juvenilis, Hidrosefalus normotensif,
Degenerasi striatonigral, Penyakit Creutzfeldt-Jakob, sindrom Steele-
Richardson-Olszewski, penyakit Hallervorden-Spatz, kompleks
demensia Parkinsonisme Guam.

2.4 Etiologi
Parkinson disebabkan oleh rusaknya sel-sel otak, tepatnya di substansi nigra.
Suatu kelompok sel yang mengatur gerakan-gerakan yang tidak dikehendaki
(involuntary). Akibatnya, penderita tidak bisa mengatur/menahan gerakan-
gerakan yang tidak disadarinya. Mekanisme bagaimana kerusakan itu belum jelas
benar. Beberapa hal yang diduga bisa menyebabkan parkinson adalah sebagai
berikut10 :
1. Usia

Insiden meningkat dari 10 per 10.000 penduduk pada usia 50 sampai 200 dari
10.000 penduduk pada usia 80 tahun. Hal ini berkaitan dengan reaksi mikrogilial
yang mempengaruhi kerusakan neuronal, terutama pada substansia nigra, pada
penyakit parkinson.
2. Geografi

Di Libya 31 dari 100.000 orang, di Buinos aires 657 per 100.000 orang. Faktor
resiko yang mempengaruhi perbedaan angka secara geografis ini termasuk adanya

4
perbedaaan genetik, kekebalan terhadap penyakit dan paparan terhadap faktor
lingkungan.
3. Genetik

Penelitian menunjukkan adanya mutasi genetik yang berperan pada penyakit


parkinson. Yaitu mutasi pada gen -sinuklein pada lengan panjang kromosom 4
(PARK1) pada pasien dengan Parkinsonism autosomal dominan. Pada pasien
dengan autosomal resesif parkinson, ditemukan delesi dan mutasi point pada gen
parkin (PARK2) di kromosom 6. 4 Selain itu juga ditemukan adanya disfungsi
mitokondria.
4. Faktor Lingkungan

a.Xenobiotik
Berhubungan erat dengan paparan pestisida yang dapat menmbulkan kerusakan
mitokondria
b.Pekerjaan
Lebih banyak pada orang dengan paparan metal yang lebih tinggi dan lama.
c.Infeksi
Paparan virus influenza intrautero diduga turut menjadi faktor predesposisi
penyakit parkinson melalui kerusakan substansia nigra. Penelitian pada hewan
menunjukkan adanya kerusakan substansia nigra oleh infeksi Nocardia astroides.
d.Diet
Konsumsi lemak dan kalori tinggi meningkatkan stress oksidatif, salah satu
mekanisme kerusakan neuronal pada penyakit parkinson. Sebaliknya,kopi
merupakan neuroprotektif.
e.Trauma kepala
Cedera kranio serebral bisa menyebabkan penyakit parkinson, meski peranannya
masih belum jelas benar
f.Stress dan depresi
Beberapa penelitian menunjukkan depresi dapat mendahului gejala motorik.
Depresi dan stress dihubungkan dengan penyakit parkinson karena pada stress dan
depresi terjadi peningkatan turnover katekolamin yang memacu stress oksidatif.

5
2.5 Patofisiologi
Patofisiologi utama yang menyebabkan gejala motorik kardinal pada penyakit
parkinson adalah deplesi neuron dopaminergik pada substansia nigra pars
kompakta. Hubungan antara striatum sebagai titik masuk utama dan GPi/SNr
sebagai titik keluaran utama tersusun melalui jaras langsung (direk) dan tidak
langsung (indirek).11
Substansia nigra (sering disebut black substance), adalah suatu region kecil di
otak (brain stem) yang terletak sedikit di atas medulla spinalis. Bagian ini menjadi
pusat control/koordinasi dari seluruh pergerakan. Sel-selnya menghasilkan
neurotransmitter yang disebut dopamine, yang berfungsi untuk mengatur seluruh
gerakan otot dan keseimbangan tubuh yang dilakukan oleh sistem saraf pusat.
Dopamine diperlukan untuk komunikasi elektrokimia antara sel-sel neuron di otak
terutama dalam mengatur pergerakan, keseimbangan dan refleks postural, serta
kelancaran komunikasi (bicara).7
Pada penyakit Parkinson sel-sel neuron di SNc mengalami degenerasi, se-hingga
produksi dopamine menurun dan akibatnya semua fungsi neuron di system saraf
pusat (SSP) menurun dan menghasilkan kelambatan gerak (bradikinesia),
kelambatan bicara dan berpikir (bradifrenia), tremor dan kekauan (rigiditas). Di
dalam otak terdapat rangkaian kerja sama antara korpus striatum, substansia nigra,
dan thalamus. Apabila rangkaian kerja ini tidak berjalan dengan normal maka
akan timbul gerakan yang tidak dikehendaki (involuntary movement).7
Dalam kondisi normal (fisiologik), pelepasan dopamin dari ujung saraf ni-
grostriatum akan merangsang reseptor D1 (eksitatorik) dan reseptor D2 (inhibi-
torik) yang berada di dendrit output neuron striatum. Output striatum disalurkan
ke globus palidus segmen interna atau substansia nigra pars retikularis lewat 2
jalur yaitu jalur direk reseptor D1 dan jalur indirek berkaitan dengan reseptor
D2.Bila masukan direk dan indirek seimbang, maka tidak ada kelainan gerakan.7
Pada penderita penyakit parkinson, terjadi degenerasi kerusakan substansia nigra
pars kompakta dan saraf dopaminergik nigrostriatum sehingga tidak ada rangsan-
gan terhadap reseptor D1 maupun D2. Gejala Penyakit Parkinson belum muncul
sampai lebih dari 50% sel saraf dopaminergik rusak dan dopamin berkurang 80%.
Dopamin dilepaskan untuk mengaktifkan jalur direk dan menghambat jalur indi-

6
rek. Pada penyakit Parkinson, terjadi neurodegenerasi substansia nigra pars
kompakta, input dopaminergik menurun menyebabkan overaktivitas jalur indirek.
Hasil akhirnya ialah berupa peningkatan keluaran inhibitorik dari GPi ke thalamus
sehingga terjadi disfungsi inisiasi, kecepatan, dan amplitudo gerak. 7 Patologi
lainnya yang dapat ditemukan pada penyakit Parkinson adalah badan
Lewy.Protein terbanyak yang menyusun badan Lewy adalah α-sinuklein.Protein
ini mengalami agregasi dan membentuk badan inklusi intraselular pada badan sel
(badan Lewy) dan pada prosesus neuron (Lewy neuritis)

2.6 Manifestasi Klinis

A. Gejala motorik7,8,9

1. Rigiditas

Diawali dengan terbatas pada satu kelompok otot dan terutama


unilateral atau dapat menyebar dan bilateral. Parkinsonisme menurunkan kekuatan
dan menurunkan kecepatan otot, dan merupakan faktor utama dalam terjadinya
deformitas akibat sindrom ini. Terjadi rigiditas “cogwheel” yaitu adanya interupsi
tonus otot yang terputus-putus seperti gigi roda ketika extremitas digerakkan secara
pasif .
.

7
Karakteristik pada pasien parkinson adalah pasien membungkuk ketika
mereka berdiri sehingga dagu maju jauh ke depan dan mereka berjalan sambil
menyeret kakinya terburu-buru.
2. Tremor

Gejala ini timbul pada saat istirahat dan disebut tremor istirahat.


Tremor akan memburuk jika pasien lelah, di bawah tekanan emosi, atau terfokus
pada tremor. Ketika otot menegang untuk melakukan tindakan yang bertujuan,
biasanya tremor akan berhenti. (sekitar sepertiga pasien mengalami tremor yang
hebat bersamaan dengan tremor istirahat, namun seperti yang telah disebutkan,
tremor hebat biasanya berkaitan dengan disfungsi serebelum). Tremor yang
melibatkan tangan dijelaskan sebagai pill rolling dan mengakibatkan gerakan
ritmis ibu jari pertama dan kedua. Tremor adalah akibat dari kontraksi bergantian
yang regular (4 hingga 6 siklus per detik) pada otot yang berlawanan. Tremor
timbul disebabkan karna degenerasi ganglia basalis menyebabkan hilangnya
pengaruh inhibitor dan menigkatkan timbal balik berbagai sirkuit yang berakibat
dalam osilasi.
3. Akinesia/bradikinesia

Pada gejala ini, gerakan penderita menjadi lambat. Bisa terlihat pada
tulisan/tanda tangan yang semakin mengecil, sulit mengenakan baju, langkah
menjadi pendek dan diseret, gerakan ayunan lengan saat berjalan berkurang. Pada
stadium lanjut kepala difleksikan ke dada, bahu membengkok ke depan, punggung
melengkung bila berjalan.7 Kesadaran masih tetap baik sehingga penderita bisa
menjadi tertekan (stres) karena penyakit itu.7. Gerakan volunter menjadi lambat
sehingga berkurangnya gerak asosiatif misalnya sulit untuk bangun dari kursi,
sulit memulai berjalan, lambat mengambil suatu obyek, bila berbicara gerak lidah
dan bibir menjadi lambat. Bradikinesia mengakibatkan berkurangnya ekspresi
muka serta mimik dan gerakan spontan yang berkurang, misalnya wajah seperti
topeng, kedipan mata berkurang, berkurangnya gerak menelan ludah sehingga
ludah sering keluar dari mulut.7,8,9 Selain itu, sering pula terjadi bicara
monoton karena bradikinesia dan rigiditas otot pernapasan, pita suara, otot laring,

8
sehingga bila berbicara atau mengucapkan kata-kata yang monoton dengan
volume suara halus ( suara bisikan ) yang lambat. 7
4. Instabilitas Postural
Pasien dapat mengalami kesulitan bangkit dari kursi. Posisinya cenderung
membungkuk kedepan untuk meletakkan pusat gravitasi diatas kaki dan seringkali
harus dibantu dengan lengan. Pada tahap awal ditemukan gangguan cara berjalan
berupa berkurangnya ayunan lengan. Tahap selanjutnya panjang langkah akan
berkurang dan kaki tidak dapat diangkat secara normal pada saat melangkah
sesuai dengan gambaran shuffling gait. Pasien juga cenderung jatuh kedepan
(propulsi) maupun ke belakang (retropulsi).

B. Gejala non-motorik7,8,9
1. Disfungsi otonom

a.Keringat berlebihan, air ludah berlebihan, gangguan sfingter terutama


inkontinensia, dan adanya hipotensi ortostatik.
b.Pengeluaran urin yang banyak
c.Gangguan seksual yang berubah fungsi, ditandai dengan melemahnya hasrat
seksual, perilaku, orgasme.

2. Gangguan afek penderita sering mengalami depresi


3. Ganguan kognitif, lamban menanggapi rangsangan
4. Gangguan tidur, penderita mengalami kesulitan tidur (insomnia)
5. Gangguan sensasi,
a. kepekaan kontras visual lemah, pemikiran mengenai ruang, pembedaan warna
b.penderita sering mengalami pingsan, umumnya disebabkan oleh hypotension
orthostatic, suatu kegagalan sistemsaraf otonom untuk melakukan penyesuaian
tekanan darah sebagai jawaban atas perubahan posisi badan
c.berkurangnya atau hilangnya kepekaan indra penciuman ( microsmia atau
anosmia).
6. Gangguan okulomotorius : Pandangan yang kabur bila melihat suatu titik akibat
ketidakmampuan untuk mempertahankan kontraksi otot okular.
Kelelahan dan nyeri otot yang akibat rigiditas.

9
7. Gangguan fungsi pernapasan yang berkaitan dengan hipoventilasi, aspirasi
makanan atau saliva, dan berkurangnya bersihan jalan napas.

TABEL 2 TEMUAN NEUROLOGIS UTAMA PADA PD


Temuan Neurologis Keterangan
Tremor istirahat* Gerakan memilin pada jari tangan yang khas;
tremor berkurang dengan gerakan voluntar
selama tidur.
Bradikinesia* Perlahan-lahan dalam memulai dan
mempertahankan gerakan
Rigiditas roda Gerakan dihalangi dengan “menangkap” ;
pedati* resistensi relatif konstan sepanjang rentang
gerakan.
Kelainan posisi tubuh Membungkuk, berjalan dengan kaki diseret, cara
dan cara berjalan* berjalan yang capat, berbalik badan secara
bersamaan (en bolic).
Mikrografia Tulisan tangan yang kecil-kecil dan secara
perlahan; tremor dapat jelas terlihat ketika
menggambar lingkaran yang konsentrik.
Wajah seperti topeng Mata yang melotot, tidak berkedip, ekspresi
dingin, berkedip 2 atau 3 kali/menit (kedip
normal 12-20 kali/ menit)
Suara datar Bicara tanpa ekspresi
(monoton)
Refleks Hiperaktif Sensitivitas yang berlebihan terhadap ketukan jari
glabelar di atas glabela (antara alis mata) menyebabkan
pasien berkedip setiap kali ketukan.

10
2.7 Diagnosis
Kriteria Diagnosis Penyakit Parkinson Berdasarkan UK Parkinson’s Disease
Society Brain Bank10

Langkah I: Langkah II: Langkah III:


Menentukan adanya Memastikan tidak ada Kriteria pendukung
Penyakit Parkinson yang gejala atau tanda yang positif untuk penyakit
meliputi gejala menjelaskan ada Parkinson
penyebab lain
Bradikinesia ditambah Satu atau lebih Tiga atau lebih
satu atau lebih gambaran berikut gambaran berikut untuk
dari gambaran berikut: mengindikasikan diagnosis diagnosis definit Penyakit
alternatif: Parkinson:
• Rigiditas muskular • Riwayat stroke berulang • Tremor istirahat
• Tremor istirahat frekuensi dengan progresifitas • Onset unilateral
4-6Hz gejala parkinsonisme • Gejala sejak onset
• Instabilitas postural yang yang bertahap menetap secara asimetris
tidak disebabkan oleh • Riwayat cedera kepala • Perjalanan klinis penyakit
disfungsi visual primer, berulang 10 tahun atau lebih
vestibular, serebral, atau • Riwayat ensefalitis • Respin sangat baik (70-
proprioseptif • Terapi neuroleptik saat 100%) dengan levodopa
onset gejala • Respon levodopa selama
• Paparan 1 metil-4-phenyl- 5 tahun atau lebih
1,2,3,6-tetra-hidropiridin • Korea hebat yang
(MPTP) diinduksi pemberian
• Respon negatif levodopa levodopa
dosis tinggi
• Lebih dari satu anggota
keluarga terlibat
• Remisi menetap
• Gejala tetap unilateral
setelah 3 tahun
• Gejala autonom berat
pada tahap dini
• Demensia berat dengan

11
gangguan memori,
bahasa, dan praksis pada
tahap dini
• Krisis okulogirik
• Tanda babinski
• Tanda serebelar
• Tumor serebral atau
hidrosefalus komunikans
pada CT scan atau MRI

Skala menurut Hoehn dan Yahr merupakan skala penilaian yang paling
sering digunakan untuk menggambarkan progresifitas penyakit.

Tabel Skala Hoehn dan Yahr11


Untuk kepentingan klinis diperlukan adanya penetapan berat ringannya
penyakit dalam hal ini digunakan stadium klinis berdasarkan Hoehn and Yahr
(1967) yaitu:
1. Stadium 1: Gejala dan tanda pada satu sisi, terdapat gejala yang ringan,
terdapat gejala yang mengganggu tetapi menimbulkan kecacatan, biasanya
terdapat tremor pada satu anggota gerak, gejala yang timbul dapat dikenali
orang terdekat (teman).
2. Stadium 2: Terdapat gejala bilateral, terdapat kecacatan minimal,
sikap/cara berjalan terganggu.
3. Stadium 3: Gerak tubuh nyata melambat, keseimbangan mulai terganggu
saat berjalan/berdiri, disfungsi umum sedang.

12
4. Stadium 4: Terdapat gejala yang berat, masih dapat berjalan hanya untuk
jarak tertentu, rigiditas dan bradikinesia, tidak mampu berdiri sendiri,
tremor dapat berkurang dibandingkan stadium sebelumnya
5. Stadium 5: Stadium kakhetik (cachactic stage), kecacatan total, tidak
mampu berdiri dan berjalan walaupun dibantu.12,13

2.8 Pemeriksaan Penunjang


1. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium hanya bersifat dukungan pada hasil klinis, karena
tidak memiliki sensitifitas dan spesifitas yang tinggi untuk penyakit Parkinson.
Pengukuran kadar NT dopamine atau metabolitnya dalam urine, darah
maupun cairan otak didapatkan hasil yg menurun. Jika tidak ada penanda
biologis yang spesifik penyakit, maka diagnosis definitive terhadap penyakit
Parkinson hanya ditegakkan dengan otopsi. Dua penelitian patologis terpisah
berkesimpulan bahwa hanya 76% dari penderita memenuhi kriteria patologis
aktual, sedangkan yang 24% mempunyai penyebab lain untuk parkinsonisme
tersebut.(14)

2. EEG: biasanya terjadi perlambatan yang progresif


3. CT Scan kepala: biasanya terjadi atropi kortikal difus, sulki melebar,
hidrosefalua eks vakuo
4. Neuroimaging:
a. Magnetik Resonance Imaging (MRI)
Didapati bahwa hanya pasien yang dianggap mempunyai atropi
multi sistem memperlihatkan signal di striatum.14,15
b. Positron Emission Tomography (PET)
Penurunan karakteristik pada pengambilan fluorodopa, khususnya
di putamen, dapat diperlihatkan hampir pada semua penderita penyakit
Parkinson, bahkan pada tahap dini. Pada saat awitan gejala, penderita
penyakit Parkinson telah memperlihatkan penurunan 30% pada

13
pengambilan fluorodopa putamen. Tetapi sayangnya PET tidak dapat
membedakan antara penyakit Parkinson dengan parkinsonisme atipikal.
PET juga merupakan suatu alat untuk secara obyektif memonitor progresi
penyakit, maupun secara obyektif memperlihatkan fungsi implantasi
jaringan mesensefalon fetus.14,15

Gambar 4. PET pada penderita Parkinson pre dan prost transplantasi

c. Single Photon Emission Computed Tomography (SPECT)


Penempelan ke striatum oleh derivat kokain [123]beta-CIT, yang
juga dikenal sebagai RTI-55, berkurang secara signifikan disebelah
kontralateral sisi yang secara klinis terkena maupun tidak terkena pada
penderita hemiparkinson. Penempelan juga berkurang secara signifikan
dibandingkan dengan nilai yang diharapkan sesuai umur yang berkisar
antara 36% pada tahap I Hoehn dan Yahr sampai 71% pada tahap V.
Marek dan yang lainnya telah melaporkan rata-rata penurunan tahunan
sebesar 11% pada pengambilan [123]beta-CIT striatum pada 34 penderita
penyakit Parkinson dini yang dipantau selama 2 tahun. Sekarang telah
memungkinkan untuk memvisualisasi dan menghitung degenerasi sel saraf
nigrostriatal pada penyakit Parkinson.
Dengan demikian, imaging transporter dopamin pre-sinapsis yang
menggunakan ligand ini atau ligand baru lainnya mungkin terbukti
berguna dalam mendeteksi orang yang beresiko secara dini. Sebenarnya,

14
potensi SPECT sebagai suatu metoda skrining untuk penyakit Parkinson
dini atau bahkan presimptomatik tampaknya telah menjadi kenyataan
dalam praktek. Potensi teknik tersebut sebagai metoda yang obyektif untuk
memonitor efikasi terapi farmakologis baru, sekarang sedang diselidiki.14

2.9 Diagnosis Banding15


1. Progresif Supranuclear palsy
2. Multiple System Atrophy
3. Corticobasal degeneration.
4. Esential Tremor
5. Lewy Body Dementia
6. Vascular parkinsonism
7. Normal pressure Hidrocephalus
8. Drug induced parkinsonism

2.10 Penatalaksanaan
Terapi pengobatan pada penyakit Parkinson merupakan simptomatis. Obat-obatan
pada terapi mempunyai efek samping jangka pendek dan jangka panjang yang
dapat mengganggu, sehingga tidak dianjurkan memulai terapi pada pasien yg
belum mempunyai gejala.16
a. Medikamentosa
1) Obat dopaminergik17
 Prekursor dopamine
Levodopa atau L-dopa merupakan prekursor dopamine. Pada terapi Parkinson,
tidak dapat secara langsung diberikan dopamin eksogen karena dopamin dalam
darah tidak dapat menembus blood brain barier. Sedangkan levodopa yang
diserap dalam saluran cerna melalui transport aktif menuju darah, dapat
menembus blood brain barier. Setelah sampai di otak, levodopa dikonversi
menjadi dopamine dengan bantuan enzim dopa dekarboksilase.17 Lebih dari 90%
levodopa dimetabolisme menjadi dopamine oleh dekarboksilase dopa perifer
(diluar SSP) dan kadar yang sampai ke otak kurang dari 2%, sehingga levodopa
perlu diberikan dalam dosis tinggi. Akan tetapi, kadar dopamine yang tinggi di
perifer dapat menyebabkan efek samping otonomik yang hebat. Efek samping

15
otonomik yang hebat ini dapat dikurangi dengan pemberian bersama-sama dengan
inhibitor enzim dopa dekarboksilase perifer, yaitu karbidopa.
Berdasarkan gambaran gejala klinis, pasien dengan PD dikelompokkan ke dalam
3 kategori dasar yaitu kategori ringan, sedang dan berat. Pada tingkat ringan (3-5
tahun pertama setelah diagnosis), respon terhadap levodopa masih baik dan efek
yang menguntungkan ini menetap walaupun dosis yang diberikan tidak bersifat
individual. Pada tingkat sedang biasanya setelah 5-10 tahun di diagnosa, biasanya
50-70% pasien memperlihatkan komplikasi motorik yang diinduksi oleh obat
(drug induce) berupa periode “on” dan “off”. Waktu periode “on” pasien tampak
berrespon terhadap obat tapi waktu periode “off” gejala parkinson kembali
kambuh.13Pada kategori ketiga (berat) pasien PD yang lanjut sudah terjadi
kerusakan motorik yang progresif meskipun telah mendapat terapi levodopa, dan
tidak berespon secara baik terhadap pengobatan yang menyebabkan timbulnya
komplikasi motorik seperti fluktuasi dan diskinesia dan mungkin sulit diobati,
bahkan tidak mungkin dapat dikontrol dengan terapi obat.Untuk mencegah
timbulnya efek samping dari penggunaan levodopa tersebut,saat ini strategi
penundaan pemberian levodopa lebih diterapkan.17 Levodopa diberikan ketika
gejala parkinson pada pasien sudah mulai menyebabkan gangguan fungsional
dalam kehidupan sehari-hari.17
 Dopa dekarboksilase inhibitor
Obat jenis golongan ini adalah karbidopa dan benserazid merupakan
dopadekarboksilase inhibitor pada jaringan perifer, tetapi tidak masuk dan
menembus susunan saraf pusat. Karena tidak dapat melewati blood brain barier,
sebagai hasilnya karbidopa menurunkan kadar dopamine di perifer, tetapi tidak
berpengaruh di susunan saraf pusat.
 Dopamin agonis
Dopamine agonis terdiri atas derivat ergot (bromocriptine, cabergoline, lisuride
and pergolide) dan derivat non-ergot (pramipexole and ropinirole). Obat-obat
dopamine agonis bekerja dengan mengaktivasi reseptor dopamine secara
langsung, dimana berdasarkan studi penemuan klinis dan eksperimental
menemukan bahwa aktivasi reseptor dopamin yang penting adalah reseptor
dopamin D2 dalam memediasi efek antiparkinsonian dari dopamine agonis. Akan

16
tetapi, beberapa penelitian saat ini juga menyatakan bahwa stimulasi reseptor D1
dan D2 dibutuhkan terhadap peningkatan optimal efek terhadap fungsi fisiologis
dan perilaku.
Derivat non-ergot memiliki resiko komplikasi yang lebih rendah
dibandingkan derivat ergot yaitu berupa ulkus peptikum, efek vasokonstriktif,
fibrosis retroperitoneal, penyakit katup jantung, dan reaksi serosal berupa efusi
pleura, perikardial, dan peritoneal. Karena obat-obat derivat ergot berpotensi
cukup kuat terhadap kejadian penyakit jantung katup, penggunaan obat golongan
ini sudah sangat terbatas.
Obat yang aman dan efektif apabila digunakan sebagai monoterapi pada
tahap awal Parkinson adalah Pramiprexole . Obat ini juga digunakan sebagai
neuroprotektif dan dapat meningkatkan aktivitas neurotropik pada dopaminergik
mesensefali. Penggunaan ropirinole juga merupakan obat yang aman dan efektif
pada tahap awal penyakit Parkinson, hanya saja ropirinole berisko lebih tinggi
terhadap kejadian hipotensi dan somnolen.17
 MAO-B Inhibitor
Obat golongan MAO-Inhibitor adalah Selegilline dan rasagiline.MAO-B Inhibitor
bekerja dengan memblok metabolisme dopamine sehingga kadarnya tetap
meningkat di striatum.
 COMT Inhibitor
Entacapon dan tolcapon merupakan obat golongan COMT-Inhibitor. Obat
golongan COMT Inhibitor bekerja dengan menghambat degradasi dopamine
menjadi 3-O-methyldopa oleh enzim COMT, terutama di perifer sehingga
meningkatkan jumlah levodopa yang melewati sawar darah otak. 12Tolcapon kini
sudah tidak digunakan di negara Eropa setelah 3 pasien meninggal akibat
toksisitas hepar terhadap obat tersebut. Entacapom mengurangi waktu “off” dari
dosis levodopa, dan mengurangi-sedang-gangguan motorik dan disabilitas.
2) Obat Non-dopaminergik
 Antikolinergik
Triheksifenidil dan benztropine merupakan obat antikolinergik. Obat ini bekerja
dengan menghambat sistem kolinergik di ganglia basal dengan menghambat aksi
neurotransmitter asetilkolin, sehingga mampu membantu dalam menjaga

17
keseimbangan antara dopamine dan asetilkolin, sehingga dapat mengurangi gejala
tremor.
Efek samping obat antikolinergik perifer adalah pandangan menjadi kabur, mulut
kering, retensi urin.. Efek samping sentral terutama adalah pelupa dan
menurunnya memori jangka pendek. Dapat dijumpai halusinasi dan psikosis,
terutama padakelompok usia lanjut, sehingga dapat digunakan obat antikolinergik
yang lebih lemah, seperti difenhidramin (Benadryl), orfenadrin (Norflex),
amitriptilin.16

Pertimbangan yang perlu diperhatikan dalam menangani penyakit Parkinson


stadium dini adalah:
1) Tingkat disabilitas pasien
Levodopa diindikasikan pada pasien yang mengalami hambatan yang signifikan
dalam aktivitas kesehariannya, atau kemampuan kerjanya terganggu
2) Prevensi fluktuasi
Penggunaan agonis dopamin sebagai obat inisiasi atau pemula dapat mengurangi
resiko timbulnya diskinesia, wearing off dan on-fluctuations.
3) Usia pasien

18
Pada pasieng dengan usia muda (<65 tahun) umumnya lebih mampu
mentoleransi medikasi dan resiko terjadinya efek samping lebih rendah,
sedangkan pada pasien berusia lanjut mengalami kesulitan dengan efek samping
kognitif dan psikiatrik. Agonis dopamin mungkin juga disertai efek samping yang
lebih banyak pada usia lanut.
4) Profil efek-samping obat
Bila pasien takut akan kemungkinan ia mengantuk dan dapat membahayakan bila
ia mengendarai, atau ia tidak dapat mentolerir gangguan kognisi, maka agonis
dopamin bukanlah pilihan yang baik.
Terapi simptomatik didasarkan atas kebutuhan pasien dan harus direevaluasi
secara berkala, sesuai dengan progresivitas penyakit.

Berikut merupakan algoritma penatalaksanaan penyakit Parkinson:18

B. Non medikamentosa19
- Deep Brain Stimulation (DBS) 
Pengobatan dengan cara memasukkan elektroda yang memancarkan
impuls listrik frekuensi tinggi terus-menerus ke dalam otak ditemukan pada tahun
1987. Terapi ini disebut deep brain stimulation (DBS) yaitu tindakan minimal
invasif yang dioperasikan melalui panduan komputer dengan tingkat kerusakan
minimal untuk mencangkokkan alat medis yang disebut neurostimulator untuk
menghasilkan stimulasi elektrik pada wilayah target di dalam otak yang terlibat
dalam pengendalian gerakan.
Terapi ini memberikan stimulasi elektrik rendah pada thalamus.
Stimulasi ini digerakkan oleh alat medis implant yang dapat menekan tremor.

19
Terapi ini memberikan kemungkinan penekanan pada semua gejala dan efek
samping, dokter menargetkan wilayah subthalamic nucleus (STN) dan globus
pallidus (GP) sebagai wilayah stimulasi elektris. Pilihan wilayah target tergantung
pada penilaian klinis.
Selain terapi obat yang diberikan, pemberian makanan harus
diperhatikan, karena kekakuan otot bisa menyebabkan penderita mengalami
kesulitan untuk menelan sehingga bisa terjadi kekurangan gizi (malnutrisi) pada
penderita. Makanan berserat akan membantu mengurangi ganguan pencernaan
yang disebabkan kurangnya aktivitas, cairan dan beberapa obat.

- Terapi Fisik
Sebagian besar penderita Parkinson akan merasakan manfaat dari terapi
fisik. Pasien akan termotivasi sehingga terapi ini bisa dilakukan di rumah, dengan
diberikan petunjuk atau latihan contoh di klinik terapi fisik. Program terapi fisik
pada penyakit Parkinson merupakan program jangka panjang dan jenis terapi
disesuaikan dengan perkembangan atau perburukan penyakit, misalnya perubahan
pada rigiditas, tremor dan hambatan lainnya.
Latihan fisik yang teratur dapat bermanfaat dalam menjaga dan
meningkatkan mobilitas, fleksibilitas, keseimbangan, dan range of motion.
Latihan dasar dapat dilakukan, seperti membawa tas, memakai dasi, mengunyah
keras, dan memindahkan makanan di dalam mulut.

- Terapi Suara
Perawatan yang paling besar untuk gangguan suara yang diakibatkan
oleh penyakit Parkinson adalah dengan Lee Silverman Voice Treatment ( LSVT ).
LSVT bermanfaat untuk meningkatkan volume suara.
- Terapi gen
Pada saat ini, penyelidikan telah dilakukan dan ditemukan terapi gen
yang melibatkan penggunaan virus yang tidak berbahaya yang dikirim ke bagian
otak yaitu subthalamic nucleus (STN). Gen yang digunakan berfungsi untuk
mempoduksi sebuah enzim yang disebut glutamic acid decarboxylase (GAD)

20
yang mempercepat produksi neurotransmitter (GABA). GABA bertindak sebagai
penghambat langsung sel yang terlalu aktif di STN. 
Terapi lain yang sedang dikembangkan adalah GDNF. Infus GDNF
(glial-derived neurotrophic factor) pada ganglia basal dengan menggunakan
implant kathether melalui operasi. Dengan berbagai reaksi biokimia, GDNF akan
merangsang pembentukan L-dopa. 

- Pencangkokan saraf
Cangkok sel stem secara genetik untuk memproduksi dopamine atau sel
stem yang berubah menjadi sel memproduksi dopamine telah mulai dilakukan.
Percobaan pertama yang dilakukan adalah randomized double-blind sham-placebo
dengan pencangkokan dopaminergic.

2.11 Prognosis 12
Obat-obatan yang ada sekarang hanya bersifat simtomatik, sedangkan
perjalanan penyakit itu belum bisa dihentikan sampai saat ini. Jika tidak dilakukan
pengobatan, gangguan yang terjadi terus berlanjut hingga terjadi disabilitas total,
sering disertai dengan ketidakmampuan fungsi otak general, dan dapat
menyebabkan kematian. Sedangkan jika dilakukan pengobatan, gangguan pada
setiap pasien berbeda-berbeda. Kebanyakan pasien berespon terhadap medikasi.
Perluasan gejala berkurang, dan lamanya gejala terkontrol sangat bervariasi.
Namun, efek samping pengobatan terkadang dapat sangat parah.

21
Penyakit ini tidak dianggap sebagai penyakit yang fatal, tetapi berkembang
sejalan dengan waktu. Rata-rata harapan hidup pada pasien ini umumnya lebih
rendah dibandingkan yang tidak menderita. Pada tahap akhir, penyakit ini dapat
menyebabkan komplikasi seperti tersedak, pneumonia, dan memburuk yang dapat
menyebabkan kematian. Progresifitas gejala dapat berlangsung 20 tahun atau
lebih. Namun demikian pada beberapa orang dapat lebih singkat. Tidak ada cara
yang tepat untuk memprediksikan lamanya penyakit ini pada masing-masing
individu. Dengan treatment yang tepat, kebanyakan pasien dapat hidup produktif
beberapa tahun setelah diagnosis

DAFTAR PUSTAKA

1. Setiadi S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF.


Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi VI. Jakarta: Internal
Publishing; 2014: p 3837 - 49.
2. Longo DL dkk. Harrison’s principles of internal medicine. Edisi 18. New
York: McGraw- Hill company; 2012. Hal 3317- 3327.
3. Noviani, E, Untung G, Joko S. Hubungan antara merokok dengan penyakit
parkinson di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. Mandala of
Health. 2010; 4: 1-6.

22
4. Clarke CE, Moore AP. Parkinson’s Disease. http://www.aafp.org/afp/
20061215/2046.html, 3 Juni 2008.
5. Scottish Intercollegiate Guidelines Network. Diagnosis and
pharmacological management of Parkinson’s disease. 2010: 1-68.
6. Silitonga, R. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kualitas hidup
penderita penyakit parkinson di poliklinik saraf RS DR Kariadi. Tesis Ilmu
Penyakit Saraf Universitas Diponegoro. 2007; 1-75.
7. Reichmann H. Clinical criteria for Diagnosis Parkinson Disease. German:
Neurodegenerative Dis; 2010;7:284–290 DOI: 10.1159/000314478
8. Zigmond MJ. Pathofisiology of parkinson. Available at:
https://www.google.co.id/search?
q=pathophysiology+of+parkinson+disease+pdf&oq=pathophysiology+of
+par&aqs=chrome.1.69i57j0l5.12085j0j7&sourceid=chrome&es_sm=93
&ie=UTF-8 Access on August 15th 2015
9. Parkinson disease symptom. Available at:
http://www.webmd.com/parkinsons-disease/tc/parkinsons-disease-
symptoms Access on August 15th 2015

10. Jankovic J. Parkinson’s disease: clinical features and diagnosis. USA: J


Neurol Neurosurg Psychiatry; 2008; 79:368-376.

11. Massachusetts General Hospital. Hoehn and Yahr staging for parkinson
disease. Available at:
http://neurosurgery.mgh.harvard.edu/functional/pdstages.htm Access on
August 15th 2015
12. Agoes, Azwar, dkk. 2010. Penyakit di Usia Tua. Penyakit Parkinson.
Jakarta. EGC. Hal 147-152.
13. Ganong, William F., and Mcphee, Stephen J. 2011. Patofisiologi
Penyakit  Edisi 5. Penyakit Parkinson. Jakarta. EGC. Hal 188-189.
14. Price SA, Wilson LM, Hartwig MS. 2006. Gangguan Neurologis dengan
Simtomatologi Generalisata. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit Vol 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal 1139-1144.

23
15. Lingor N. Diagnosis and differential diagnosis of Parkinson. Available at:
http://cdn.intechopen.com/pdfs-wm/20327.pdf Access on August 15th
2015
16. Lumbantobing SM. Sindrom Parkinson. In: Gangguan gerak. Jakarta:
Balai penerbit FKUI; 2005; p.67-110.
17. Jankovic J, Aguilar LG. Current approaches to the treatment of
Parkinson’s disease. USA: Neurophsyciatric disease and treatment; 2008;
Vol.4 (4); p.743-57.
18. Muis A, Joesof AA, Agoes A, Sudomo A, Shahab A, Husni A, dkk.
Konsensus tatalaksana penyakit Parkinson. Surabaya: Perhimpunan dokter
spesialis saraf Indonesia (PERDOSSI); 2000; p.8-17.
19. .Sobha S. Rao, M.D., Laura A. Hofmann, M.D., and Amer Shakil, M.D.,
“Parkinson’s Disease: Diagnosis and Treatment”, http://www.aafp.org/afp/
20061215/2046.html, Access on August 15th 2015

24

Anda mungkin juga menyukai