1. Haram
Pernyataan ini didasari oleh dalil-dalil Al-Quran surat Al-baqarah ayat 221 dan Al-Mumtahanah ayat 10 yang menjelaskan bahwa orang-
orang mukmin dilarang menikahi wanita musyrik. Menikah dengan orang kafir tidak dihalalkan dalam islam.
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu’min lebih baik dari
wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik [dengan wanita-wanita mu’min]
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu’min lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka
mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya [perintah-
perintah-Nya] kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”. (QS Al-Baqarah: 221)
Pendapat Ulama Muhammadiyah
Dalam sidang Muktamar Tarjih ke-22 pada tahun 1989 di Malang, para ulama Muhammadiyah telah menetapkan keputusan bahwa
pernikahan beda agama hukumnya tidak sah. Laki-laki muslim tidak boleh menikahi wanita musyrik. Begitupun dengan pernikahan laki-
laki muslim dengan wanita ahlul kitab (Yahudi atau Nasrani) hukumnya juga haram.
Menurut ulama Muhammadiyah, wanita ahlul kitab di jaman sekarang berbeda dengan jaman nabi dahulu. Selain itu menikahi wanita beda
agama juga mempersulit membentuk keluarga sakinah yang sesuai syariat islam.
Talak perceraian
Perceraian atau dalam islam dikenal dengan talak yang dapat diartikan sebagai terlepasnya ikatan sebuah perkawinan atau juga bisa
diartikan terputusnya hubungan perkawinan antar suami dan istri dalam jangka waktu tertentu atau untuk selama-lamanya. Mengapa
dikatakan dalam jangka waktu tertentu? Karena dalam islam diperbolehkan adanya rujuk, dengan beberapa catatan seperti firman Allah
SWT berikut ini :
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.
Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak
akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum
Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah,
maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS.
Al- Baqarah ayat 229)
Kapankan perceraian atau talak itu dapat dilakukan?
Islam telah mengajarkan bahwasannya talak atau cerai tidak bisa dilakukan kapan saja. Al- Qur’an dan As- Sunnah telah mengajarkan
bahwa talak hendaknya dilakukan secara pelan-pelan dan memilih waktu yang sesuai.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam talak atau cerai diantaranya :
1. Talak atau cerai tidak boleh dilakukan oleh seorang suami kepada istrinya pada saat istrinya sedang dalam masa haid, nifas, atau
saat istrinya dalam keadaan suci akan tetapi ia menggaulinya. Jika suami melakukan hal tersebut maka dianggap telah
melakukan talak yang bid’ah dan diharamkan. Rasulullah Shalallahu Alaihi wassalam bersabda: “Barangsiapa yang melakukan perbuatan
tanpa dilandasi perintah kami maka itu tertolak (tidak diterima).”
2. Hendaknya ketika mengucapkan talak, suami dalam keadaan sadar, karena apabila suami mentalak istrinya dalam keadaan tidak
sadar seperti ketika sedang marah, sehingga karena amarah tersebut dapat menutupi kesadarannya hingga ia bicaa yang tidak diinginkan,
maka talak yang ia lakukan adalah tidak sah.
3. Seorang suami yang mentalak atau menceraikan istrinya bermaksud untuk benar-benar mencerai atau berpisah dengan istrinya
tersebut, jangan sampai talak yang diucapkan hanya sekedar menakut-nakuti atau menjadikan talak itu sebagai sumpah. Hal tersebut tidak
dibenarkan dalam islam. Ibnu Abbas pernah berkata: “Sesungguhnya talak itu harena diperlukan.”
Hukum Talak
1. Wajib ; Perceraian atau talak dikatakan wajib apabila :
Antara suami dan istri tidak dapat didamaikan lagi
Tidak terjadi kata sepakat oleh dua orang wakil baik dari pihak suami maupun istri untuk perdamaian rumah tangga yang hendak
bercerai
Adanya pendapat dari pihak pengadilan yang menyatakan bahwa perceraian/ talak adalah jalan yang terbaik.
Dan jika dalam keadaan-keadaan tersebut keduanya tidak diceraikan, maka suami akan berdosa.
2. Haram ; Suatu perceraian/ talak akan menjadi haram hukumnya apabila :
Seorang suami menceraikan istrinya ketika si istri sedang dalam masa haid atau nifas
Seorang suami yang menceraikan istri ketika si istri dalam keadaan suci yang telah disetubuhi
Seorang suami yang dalam keadaan sakit lalu ia menceraikan istrinya dengan tujuan agar sang istri tidak menuntut harta
Seorang suami yang menceraikan istrinya dengan talak tiga sekaligus, atau juga bisa dengan mengucapkan talak sat akan tetapi
pengucapannya dilakukan secara berulang-ulang sehingga mencapai tiga kali atau bahkan lebih.
3. Sunnah ; Perceraian merupakan hal yang disunnahkan, apabila :
Suami tidak lagi mampu menafkahi istrinya
Sang istri tidak bisa menjaga martabat dan kehormatan dirinya
4. Makruh ; Perceraian/ talak bisa dianggap sebagai hal yang makruh apabila seorang suami menjatuhkan talak kepada istrinya yang baik,
memiliki akhlak yang mulia, serta memiliki pengetahuan agama yang baik.
5. Mubah ; Sedangkan perceraian atau talak bisa dikatakan mubah hukumnya apabila suami memiliki keinginan/ nafsu yang lemah atau
juga bisa dikarenakan sang istri belum datang haid atau telah habis masa haidnya.
Rukun Perceraian/ Talak
1. Bagi Suami ; Suami yang hendak menceraikan istrinya haruslah :
Berakal sehat
Baligh
Bercerai atas kemauan sendiri atau tanpa adanya paksaan dari pihak lain
2. Bagi Istri ; Seorang istri yang bisa diceraikan haruslah :
Memiliki akad nikah yang sah dengan suami
Suami belum pernah menceraikannya dengan mengucapkan talak tiga
3. Lafadz Talak ; Talak dianggap sah apabila dalam lafadznya :
Terdapat kejelasan ucapan yang menyatakan perceraian
Disengaja atau tanpa adanya paksaan dari pihak manapun atas pengucapan talak tersebut.
Jenis – Jenis Talak
Talak dibagi dalam beberapa jenis, yaitu :
A. Dilihat dari sighat (ucapan/ lafadz) talak
Jika ditinjau dari segi ini, talak dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu :
1. Talak Sharih (Talak langsung)
Ini adalah talak yang diucapkan oleh seorang suami kepada istrinya dengan lafadz atau ucapan yang jelas dan terang. Meskipun talak ini
diucapkan tanpa adanya niat ataupun saksi, akan tetapi sang suami tetap dianggap menjatuhkan talak/ cerai.
Contoh Lafadz/ ucapan Talak Sharih :
Aku menceraikanmu
Engkau aku ceraikan
Engkau kutalak satu, dan lain sebagainya.
2. Talak Kinayah (Talak Tidak Langsung)
Ini adalah talak yang diucapkan oleh seorang suami kepada istrinya dengan menggunakan kata-kata yang di dalamnya mengandung makna
perceraian akan tetapi tidak secara langsung. Seorang suami yang apabila menjatuhkan talak dengan lafadz talak kinayah sementara tidak
ada niat untuk menceraikan istrinya, maka talak tersebut dianggap tidak jatuh.
Akan tetapi apabila sang suami mempunyai niat untuk menceraikan istrinya ketika mengucapkan kalimat-kalimat talak tersebut, maka talak
dianggap jatuh. Contoh Lafadz talak kinayah :
“Pulanglah engkau pada orang tuamu karena aku tidak lagi menghendakimu”
“Pergi saja engkau dari sini kemanapun engkau suka”
“Tidak ada hubungan apapun lagi di antara kita,” dan lain sebagainya.
Talak Raj’i
Yaitu suatu proses perceraian dimana suami mengucapkan talak satu atau talak dua kepada istrinya. Akan tetapi sang suami bisa
melakukan rujuk dengan istrinya ketika sang istri masih dalam masa iddah, dan ketika masa iddahtelah habis atau lewat, rujuk yang
dilakukan oleh suami tidak dibenarkan kecuali harus dengan akad nikah yang baru.
Talak Bain
Ini adalah suatu proses perceraian dimana seorang suami mengucapkan atau melafadzkan talak tiga kepada istrinya. Dalam kasus seperti
ini, sang suami tidak diperbolehkan untuk rujuk dengan istrinya, kecuali sang istri telah menikah kembali dengan orang lain lalu sang istri
diceraikan oleh suami barunya tersebut dan telah habis masa iddahnya.
Talak Sunni
Ini adalah perceraian dimana seorang suami mengucapkan talak kepada istri yang belum disetubuhi ketika si istri dalam keadaan suci dari
haid.
Talak Bid’i
Yaitu perceraian dimana suami menjatuhkan talak kepada istrinya yang masih dalam masa haid atau istri yang dalam keadaan suci dari
haid akan tetapi sudah disetubuhi.
Talak Taklik
Yaitu perceraian yang terjadi akibat syarat atau sebab-sebab tertentu. Jadi apabila sang suami melakukan sebab atau syarat-syarat tersebut,
maka terjadilah perceraian atau talak.
2. Gugat Cerai oleh istri
Ini merupakan proses perceraian dimana sang istri mengajukan permohonan gugat cerai atas suaminya kepada Pengadilan Agama, dan
sebelum lembaga pemerintah tersebut memutuskan secara resmi, maka perceraian dianggap belum terjadi.
Ada dua istilah terkait gugat cerai yang dilakukan oleh istri atas suaminya, yaitu :
Fasakh
Yaitu pengajuan perceraian yang dilakukan seorang istri atas suaminya tanpa adanya kompensasi yang diberikan oleh istri kepada sang
suami. Fasakh bisa dilakukan ketika :
Suami telah dianggap tidak memberikan nafkah lagi baik nafkah lahir maupun batin kepada istrinya selama enam bulan berturut-
turut.
Apabila seorang suami meninggalkan istrinya selama empat tahun berturut-turut tanpa adanya kabar berita
Suami dianggap tidak melunasi mas kawin atau mahar yang telah disebutkan di dalam akad nikah, baik sebagian maupun
keseluruhan.
Suami berlaku buruk kepada istrinya seperti menganiaya, menghina, maupun tindakan lainnya yang dapat mengancam
keselamatan dan keamanan sang istri.
Khulu’
Yaitu proses perceraian atas permintaan dari pihak istri dan suami setuju dengan hal tersebut dengan syarat sang istri memberikan imbalan
kepada sang suami.
Dampak dari gugatan cerai yang dilakukan istri tersebut adalah hilangnya hak suami untuk melakukan rujuk selama sang istri sedang
dalam masa iddah atau yang disebut dengan talak ba’in sughra. Dan apabila sang suami menghendaki untuk rujuk, maka ia harus
melakukan proses melamar dan menikahi kembali wanita yang telah menjadi mantan istrinya tersebut. Dan apabilan wanita tersebut
hendak menikah dengan pria lain, maka ia harus menunggu hingga masa iddahnya selesai.
AKIBAT PUTUSNYA PERKAWINAN
1. Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:
a. memberikan mut`ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecualibekas isteri tersebut qobla al dukhul;
b. memberi nafkah, maskah dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam iddah, kecuali bekas isteri telahdi jatuhi talak ba1in atau nusyur
dan dalam keadaan tidak hamil;
c. melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separoh apabila qobla al dukhul;
d. memeberikan biaya hadhanan untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun
2. Bekas suami berhak melakukan ruju` kepada bekas istrinya yang masih dalam iddah.
3. Bekas isteri selama dalam iddah, wajib menjaga dirinya, tidak menerima pinangan dan tidak menikah dengan pria lain.
4. Bekas isteri berhak mendapatkan nafkah iddah dari bekas suaminya kecuali ia nusyuz.
Bagian Kelima
Akibat Khuluk
5, Perceraian dengan jalan khuluk mengurangi jumlah talak dan tak dapat dirujuk
2. Makanan Haram
Haram artinya dilarang, jadi makanan yang haram adalah makanan yang dilarang oleh syarat untuk di makanan. Yang termasuk
makanan yang diharamkan adalah
a. Semua makanan yang disebutkan dalam firman Allah swt. S.Q. Al-Maidah ayat 3
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah[394], daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang
tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya[395], dan
(diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah[396], (mengundi nasib
dengan anak panah itu) adalah kefasikan. pada hari ini[397] orang-orang kafir Telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu
janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. pada hari Ini Telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Telah Ku-
cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa[398] Karena kelaparan
tanpa sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
Firman Allah dalam Q.S. Al-An’am ayat 145
“Katakanlah: "Tiadalah Aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak
memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - Karena Sesungguhnya semua itu kotor -
atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya
dan tidak (pula) melampaui batas, Maka Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha penyayang".
WARISAN
Pewaris adalah orang yang meninggalkan harta dan hak-hak yang pernah diperoleh karena meninggal dunia; laki-laki atau perempuan, baik
dengan surat wasiat maupun tidak.
Sementara ahli waris adalah orang yang berhak menerima harta warisan dari pewaris karena ada hubungan keluarga, pernikahan, ataupun
karena wala’ (membebaskan hamba sahaya) dengan pembagian-pembagian yang sudah diatur oleh syariat.
PENGERTIAN FARAIDH
Faraidh adalah bentuk jama’ dari kata fariidhah. Kata fariidhah terambil dari kata fardh yang berarti taqdir, ketentuan. Allah swt
berfirman:“(Maka bayarlah) separuh dari mahar yang telah kamu tentukan itu.” (QS al-Baqarah: 237). Sedang menurut istilah syara’
kata fardh ialah bagian yang telah ditentukan untuk ahli waris.
Kewajiban ahli waris terhadap pewaris adalah:
1. mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai;
2. menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan, termasuk kewajiban pewaris maupun penagih piutang;
3. menyelesaikan wasiat pewaris;
4. membagi harta warisan di antara ahli waris yang berhak.
Secara bahasa wasiat artinya “berpesan”. Sedangkan menurut istilah wasiat adalah sesuatu tasharruf terhadap harta
peninggalan yang akan dilaksanakan sesudah meninggal yang berwasiat.[4] Jelasnya pengelolaan terhadap yang jadi obyek
wasiat berlaku setelah yang berwasiat itu meninggal.
menurut istilah syara' wasiat berarti pesan yang diberikan oleh seseorang yang hendak meninggal dunia tentang sesuatu
yang baik, yang harus dilaksanakan atau dijalankan sesudah ia meninggal dunia.
Rukun Wasiat
Rukun wasiat adalah ijab dari orang yang mewasiatkan.
1. Ijab dengan ucapan. Ijab itu dengan segala lafadz yang menunjukkan kepemilikan yang dilaksanakan sesudah dia matai dan tanpa
adanya imbalan. Seperti: "Aku wasiatkan kepada si A begini setelah aku mati", atau "Aku berikan itu " atau "Aku serahkan
pemilikannya kepada si B sepeninggalku." dll.
2. Ijab dengan isyarat dan tulisan. Selain terjadi dengan melalui pernyataan, wasiat bisa terjadi pula melalui isyarat yang dapat dipahami,
bila pemberi wasiat tidak sanggup berbicara; juga sah pula akad wasiat melalui tulisan.
3. Wasiat untuk umum. Apabila penerima wasiat tidak tertentu, seperti untuk masjid, tempat pengungsian, sekolah atau rumah sakit,
maka ia tidak memerlukan kabul; cukup dengan ijab saja, sebab dalam keadaan yang demikian wasiat itu menjadishadaqah.
4. Wasiat untuk orang tertentu. Apabila wasiat diberikan kepada orang tertentu, maka ia memerlukan kabul dari si penerima wasiat
setelah si pemberi mati, atau kabul dari walinya jika si penerima wasiat belum memiliki kecerdasan. Jika wasiat diterima, maka
terjadilah wasiat itu, tetapi jika ditolak, maka batallah wasiat itu, dan ia tetap menjadi milik para ahli waris si pemberi.
5. Hak mengubah dan membatalkan. Di dalam wasiat, si pemberi punya hak untuk mengubah atau menarik kembali wasiatnya.
Penarikan kembali (Ruju') itu harus dinyatakan dengan ucapan, misalnya: "Aku tarik kembali wasiat itu." boleh juga penarikan
kembali itu dengan perbuatan, misalnya tindakan si pembari wasiat menjual objek wasiat.