Anda di halaman 1dari 31

PROPOSAL

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN PERAWAT TENTANG UNIVERSAL


PRECAUNTION DENGAN PENERAPAN UNIVERSAL PRECAUNTION PADA
PEMASANGAN INFUS DI RS KARDINAH TEGAL

Disusun Oleh
ZAKIYATUN NIKMAH
C1015034

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN DAN NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
BHAKTI MANDALA HUSADA SLAWI
2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kewaspadaan Universal lebih dikenal di indonesia dengan ( Kewaspadaan Standar)


merupakan pencegahan infeksi yang telah mengalami perjalanan panjang, dimulai sejak
dikenalnya infeksi nosokomial (infeksi yang ditimbulkan dari tindakan medis) yang terus
menjadi ancaman bagi petugas kesehatan dan pasien (Depkes RI, 2010). Kewaspadaan
Universal merupakan suatu tindakan pengendalian infeksi yang dilakukan oleh seluruh
tenaga kesehatan untuk mengurangi resiko penyebaran infeksi dengan didasarkan pada
prinsip bahwa darah dan cairan tubuh dapat berpotensi menularkan penyakit, baik berasal
dari pasien maupun petugas kesehatan (Herpan, 2012).

Infeksi nosokomial adalah infeksi yang dialami oleh pasien yang diperoleh selama
dirawat di rumah sakit yang meliputi dekubitus, phlebitis, sepsis dan infeksi luka operasi
(ILO) (Depkes, 2008). Berbagai upaya telah dilakukan oleh pihak tenaga kesehatan untuk
mencegah terjadinya infeksi nosokomial. Salah satu upayanya adalah penerapan
kewaspadaan universal. Kewaspadaan universal.

Penerapan kewaspadaan universal merupakan bagian pengendalian infeksi yang tidak


terlepas dari peran masing-masing pihak yang terlibat didalamnya yaitu pimpinan rumah
sakit beserta staf administrasi, staf medis, dan non medisserta para pengguna jasa rumah
sakit, misalnya pasien dan pengunjung pasien (Nursalam, 2010). Unsur kewaspadaan
universal meliputi tindakan mencuci tangan, alat pelindung diri (APD), pengelolaan alat
tajam (disediakan tempat khususuntuk membuang jarum suntik, bekas botol ampul, dan
sebagainya), dekontaminasi, sterilisasi, desinfeksi, dan pengelolaan limbah (Nursalam, 2013).

Perawat adalah petugas kesehatan yang paling sering berhubungan dengan pasien,
sehingga dari semua petugas kesehatan perawatlah yang paling berisiko terpapar infeksi
berbagai penyakit. Untuk melindungi perawat dan pasien dari resiko tertular penyakit infeksi
tersebut maka dalam melaksanakan tindakan keperawatan, perawat harus selalu
memperhatikan metode Kewaspadaan Universal yang telah ditetapkan oleh Centers for
Disease Control And Prevention (CDC) pada tahun 1988 di Amerika Serikat (Kirkland,
2011).

Kewaspadaan universal diterapkan dipelayanan kesehatan bertujuan untuk


mengendalikan infeksi secara konsisten serta mencegah penularan bagi petugas kesehatan
dan pasien. Kewaspadaan universal yang dimaksud yaitu penularan infeksi melalui darah,
penggunaan sarung tangan,dan mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan.
Studi menunjukkan bahwa kepatuhan pada penerapan kewaspadaan standar diantara petugas
kesehatan untuk menghindari paparan mikroorganisme masih rendah (Mehta, 2010).

Prinsip universal precaution adalah bahwa darah dan semua jenis cairan tubuh, skret,
kulit yang tidak utuh dan selaput lendir penderita dianggap sebagai sumber potensial untuk
penularan infeksi. Sehingga, diharapkan setiap petugas pelayanan kesehatan mampu
menerapkan prinsi puniversal precaution. Penerapan universal precaution ini bertujuan tidak
hanya melindungi petugas dari resiko terpajan oleh infeksi namun juga melindungi pasien
yang mempunyai kecenderungan rentan terhadap segala macam infeksi yang mungkin
terbawa oleh petugas (Irmaniati, 2008). Adapun metode dalam penerapan kewaspadaan
universal diperlukan kemampuan perawat sebagai pelaksana, ditunjang oleh sarana dan
prasarana, serta SOP yang mengatur langkah-langkah tindakan kewaspadaan universal

Pengetahuan merupakan kesan didalam pikiran manusia sebagai hasil penggunaan


panca inderanya. Pengetahuan sangat berbeda dengan kepercayaan (beliefs), takhayul
(superstition), dan penerangan penerangan yang keliru (misinformation). Pengetahuan adalah
segala apa yang diketahui berdasarkan pengalaman yang didapatkan oleh setiap manusia
(Mubarak, 2012), Untuk melindungi perawat dan pasien dari resiko tertular penyakit infeksi
tersebut, maka dalam melaksanakan tindakan keperawatan, perawat harus mengetahui
tentang kewaspadaan universal, karena pengetahuan yang buruk akan berdampak pada
pelayanan kesehatan yang diberikan ( shodi K, Shivastava A, Arya M, & Kumar M, 2013).
adanya pengetahuan akan menimbulkan kesadaran seseorang yang akhirnya memicunya
untuk berperilaku sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya. Pengetahuan dan
ketrampiran yang kompenten harus dimiliki oleh setiap perawat karena pekerjaan perawat
menyangkut kesehatan dan keselamatan pasien selaku penerima pelayanan kesehatan

Sejak tahun 2010, kewaspadaan universal (Universal precaution) merupakan bagian


dari upaya PPI di sarana pelayanan kesehatan (Departemen Kesehatan RI, 2010). Tingginya
persentase penduduk yang terinfeksi virus penyakit menular dapat meningkatkan risiko
tertularnya petugas kesehatan, baik melalui kontak kulit maupun cairan tubuh pasien. Hal ini
terjadi ketika petugas melakukan perawatan, termasuk ketika menolong persalinan, seperti
tertusuk jarum suntik yang terinfeksi, kontak dengan spesimen yang terinfeksi, dan lain-lain.
Penelitian di Rumah Sakit Tanjungpinang tahun 2012, menunjukkan bahwa 80% petugas
paramedis mengalami luka tusuk jarum suntik (Johan, 2012).

Sampai saat ini upaya penerapan kewaspadaan universal masih belum maksimal,
berdasarkan hasil penelitian Nurjannah (2016), tentang gambaran kewaspadaan universal
perawat di RSUD Ambarawa menunjukkan hanya 14% petugas kesehatan yang
melaksanakankewaspadaan universal dengan baik. Hal ini disebabkan karena masih banyak
perawat yang pencapaian kewaspadaan universalnya kurang karena tindakan cepat yang
dilakukan perawat dalam menangani pasien, mengakibatkan perawat lupa melakukan
tindakan kewaspadaan universal secara maksimal (Nurjananah, 2016). Berdasarkan
Kementerian Kesehatan (2017) bahwa setiap fasilitas pelayanan kesehatan harus
melaksanakan PPI dimana ruang lingkup fasilitas pelayanan kesehatan adalah rumah sakit,
puskesmas, klinik dan praktikmandiri tenaga kesehatan. Pencegahan dan pengendalian
infeksi dilaksanakan melalui penerapan salah satunya adalah prinsip kewaspadaan standar
(kewaspadaan universal) dan berdasarkan transmisi, dimana prinsip kewaspadaan universal
tersebut harus diterapkandi fasilitas pelayanan kesehatan (Kementerian Kesehatan, 2017).

Petugas harus memiliki pengetahuan yang baik tentang pencegahan transmisi infeksi,
bersikap dan bertindak yang benar dalam melakukan setiap tindakan. Hal ini sangat perlu
diperhatikan karena setiap individu yang bekerja di lingkungan rumah sakit maupun pusat
pelayanan kesehatan lainnya merupakan kelompok orang yang sangat rawan untuk tertular
atau menularkan infeksi (Mada, 2013).

Salah satu tindakan yang paling sering dilakukan perawat di rumah sakit adalah
pemasangan infus. Pemasangan infus (pemberian cairan intravena) merupakan tindakan pada
kondisi gawat darurat yang sangat menentukan keselamatan hidup pasien (Riyadi S &
Harmoko, 2012). maka dari itu Perawat yang bertugas di instalasi Gawat Darurat (IGD) harus
memiliki dasar pengetahuan dan kompetensi mengenai protokol pelaksanaan dan
implementasi untuk mencegah terjadinya komplikasi karena IGD merupakan sebuah
pelayanan awal pada rumah sakit. (Suprapto 2015)
Pemasangan infus adalah suatu prosedur pemberian cairan, elektrolit ataupun obat
secara langsung kedalam pembuluh darah vena yang banyak dalam waktu yang lama dengan
cara menggunakan infus set untuk tujuan tertentu (Hampton. S, 2008) . Pemasangan infus
termasuk kedalam tindakan invasif atau tindakan yang dapat langsung mempengaruhi
keutuhan jaringan. Manfaat dari terapi infus dapat sebagai jalur pemberian obat, pemberian
cairan, pemberian produk darah atau sampling darah.

Tindakan pemasangan infus akan berkualitas apabila dalam pelaksanaannya selalu


patuh pada standar yang telah ditetapkan demi terciptanya pelayanan kesehatan yang bermutu
(Priharjo,2008). Menurut Depkes RI Tahun 2006 jumlah pemasangan infus di Rumah Sakit di
Indonesia sebanyak (17,11%) (Suprapto, 2015). Dan menurut data surveilans World Health
Organisation (WHO) dinyatakan bahwa angka kejadian pemasangan infus di Instalasi Gawat
Darurat cukup tinggi yaitu 85% per tahun dan 120 juta orang dari 190 juta pasien yang di
rawat di rumah sakit menggunakan infus serta didapatkan juga 70% perawat tidak patuh
dalam melaksanakan standar pemasangan infus berdasarkan standar yang telah ditetapkan.

Standar operasional prosedur (SOP) tindakan pemasangan infus meliputi Persiapan


alat steril, adapun cara perlaksaanya di bagi menjadi lima tahap yaitu : Tahap pra interaksi,
tahap pertama ini merupakan tahap dimana perawat belum bertemu dengan pasien, tugas
perawat dalam tahap ini adalah mengumpulkan data tentang klien. Kedua Tahap orientasi
yakni tahap dimana perawat pertama kali bertemu dengan pasien. Tugas perawat dalam tahap
orientasi meliputi : membina rasa percaya dan penerimaan komunikasi terbuka. Ketiga tahap
kerja yaitu tahap dimana perawat akan memulai tindakan berdasarkan SOP yang ada. Dan
yang keempat tahap terminasi adalah tahap dimana perawat akan menghentikan interaksi
dengan pasien, tahap ini bisa merupakan tahap perpisahan atau terminasi sementara (Depkes,
2008)

Standar operasional prosedur (SOP) di RSUD Kardinah di dalamnya terdapat


tindakan universal precauntions berupa sterilisai alat, cuci tangan sebelum tindakan, memakai
sarung tangan, memakai masker, cuci tangan setelah tindakan dan pengelolaan alat kesehatan.
Dalam Menggunakan prinsip universal precautions, petugas kesehatan memberi perlakukan
yang sama pada semua pasien tanpa memandang penyakit atau diagnosanya, yaitu dengan
asumsi bahwa setiap pasien memiliki resiko untuk menularkan penyakit yang berbahaya.
Petugas harus memiliki pengetahuan yang baik tentang pencegahan transmisi infeksi,
bersikap dan bertindak yang benar dalam melakukan setiap tindakan. Hal ini sangat perlu
diperhatikan karena setiap individu yang bekerja dilingkungan rumah sakit maupun pusat
pelayanan kesehatan lainnya merupakan kelompok orang yang sangat rawan untuk tertular
atau menularkan infeksi (Yayasan Spiritia, 2008).

hasil penelitian yang dilakukan Ayu,S (2014 dalam Kaloa 2016) dari 36 responden
hanya 15 responden (41,7%) dikatakan patuh sedangkan 21 responden (58,3%) tidak patuh.
Dalam hal ini dapat dilihat bahwa masih banyak perawat yang belum melakukan pemasangan
infus sesuai dengan standar yang berlaku. Penelitian lain yang dilakukan oleh Maria, 2012
dikatakan bahwa 90% pasien yang mendapat terapi intravena atau infus, dan 50% dari pasien
tersebut beresiko mengalami kejadian infeksi komplikasi lokal (phlebitis).

berdasarkan pemikiran dan latar belakang permasalahan di atas maka penelitian ini
tertarik untuk mengambil judul “ Hubungan antara tingkat pengetahuan perawat tentang
universal precauntions dengan penerapan universal precauntions pada tindakan pemasangan
infus di IGD RSUD Kardinah”

1.1 TujuanPeneltian
1.2.1. Tujuan Umum
Mengetahui ada hubungan tingkat pengetahuan perawat tentang universal precautions dengan
tindakan pemasangan infus di RS Kardinah.
1.2.2. Tujuan khusus
1.2.2.1 Mengidentifikasi karakteristik tingkat pengetahuan perawat tentang universal
precautions dengan tindakan pemasangan infus di RS Kardinah.
1.2.2.2 Mengidentifikasi penerapan universal precauntions tindakan pemasanagn infus di RS
Kardinah.
1.2.2.3 Mengidentifikasi hubungan tingkat pengetahuan perawat tentang universal precautions
dengan tindakan pemasangan infus di RS Kardinah.

1.1 Manfaat Penelitian


1.3.1. Manfaat Aplikatif
Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi perawat dalam melakukan
suatu tindakan berdasarkan standar operasional yang telah di tetapkan.
1.3.2. Manfaat Keilmuan
Penelitian ini diharapkan dapat membantu memecahkan masalah terkait faktor infeksi pada
tindakan pemasangan infus (plebithis)
1.3.3. Manfaat Metodologi
Dapat mengembangkan pengetahuan dan pengalaman saat praktik di lapangan dalam upaya
pengembangan ilmu pengetahuan tentang univesal precauntiou
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu obyek tertentu, penginderaan terjadi melalui panca indra
manusia yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba (Notoatmodjo,
2010). Pengetahuan adalah merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan ini terjadi melalui panca indra
manusia. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting bagi
terbentuknya tindakan seseorang. Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih
langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Nursalam, 2012).
2.1.1 Tingkatan Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (dalam Wawan dan Dewi, 2010) pengetahuan seseorang terhadap
suatu objek mempunyai intensitas atau tingkatan yang berbeda. Secara garis besar dibagi
menjadi 6 tingkat pengetahuan, yaitu :

1.Tahu (Know)
Tahu diartikan sebagai recall atau memanggil memori yang telah ada sebelumnya setelah
mengamati sesuatu yang spesifik dan seluruh bahan yang telah dipelajari atau rangsangan
yang telah diterima. Tahu disisni merupakan tingkatan yang paling rendah. Kata kerja yang
digunakan untuk mengukur orang yang tahu tentang apa yang dipelajari yaitu dapat
menyebutkan, menguraikan, mengidentifikasi, menyatakan dan sebagainya.

2. Memahami (Comprehention)
Memahami suatu objek bukan hanya sekedar tahu terhadap objek tersebut, dan juga tidak
sekedar menyebutkan, tetapi orang tersebut dapat menginterpretasikan secara benar tentang
objek yang diketahuinya. Orang yang telah memahami objek dan materi harus dapat
menjelaskan, menyebutkan contoh, menarik kesimpulan, meramalkan terhadap suatu objek
yang dipelajari
3. Aplikasi (Application)
Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek yang dimaksud dapat
menggunakan ataupun mengaplikasikan prinsip yang diketahui tersebut pada situasi atau
kondisi yang lain. Aplikasi juga diartikan aplikasi atau penggunaan hukum, rumus, metode,
prinsip, rencana program dalam situasi yang lain.
4. Analisis (Analysis)
Analisis adalah kemampuan seseorang dalam menjabarkan atau memisahkan, lalu kemudian
mencari hubungan antara komponen-komponen dalam suatu objek atau masalah yang
diketahui. Indikasi bahwa pengetahuan seseorang telah sampai pada tingkatan ini adalah
jika orang tersebut dapat membedakan, memisahkan, mengelompokkan, membuat bagan
(diagram) terhadap pengetahuan objek tersebut.
5.Sintesis (Synthesis)
Sintesis merupakan kemampuan seseorang dalam merangkum atau meletakkan dalam suatu
hubungan yang logis dari komponen pengetahuan yang sudah dimilikinya. Dengan kata lain
suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi yang sudah adasebelumnya.
6.Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi merupakan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu
objek tertentu. Penilaian berdasarkan sesuatu kriteria yang ditentukan sendiri atau norma-
norma yang berlaku dimasyarakat.

2.1.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan


Menurut Notoatmodjo (dalam Wawan dan Dewi, 2010) faktor-faktor yang mempengaruhi
pengetahuan adalah sebagai berikut :
a. Faktor internal
1) Pendidikan
Pendidikan merupakan bimbingan yang diberikan seseorang terhadap perkembangan
orang lain menuju impian atau cita-cita tertentu yang menentukan manusia untuk
berbuat dan mengisi kehidupan agar tercapai keselamatan dan kebahagiaan.
Pendidikan diperlukan untuk mendapatkan informasi berupa hal-hal yang menunjang
kesehatan sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup. Menurut YB Mantra yang
dikutip oleh Notoatmodjo, pendidikan dapat mempengaruhi seseorang termasuk juga
perilaku akan pola hidup terutama dalam memotivasi untuk sikap berpesan serta
dalam pembangunan pada umumnya makin tinggi pendidikan seseorang maka
semakin mudah menerima informasi.
2) Pekerjaan
Menurut Thomas yang kutip oleh Nursalam, pekerjaan adalah suatu keburukan
yang harus dilakukan demi menunjang kehidupannya dan kehidupan keluarganya.
Pekerjaan tidak diartikan sebagai sumber kesenangan, akan tetapi merupakan cara
mencari nafkah yang membosankan, berulang, dan memiliki banyak tantangan.
Sedangkan bekerja merupakan kagiatan yang menyita waktu.
3) Umur
. Umur mempengaruhi daya tangkap dan pola pikir seseorang. Semakinbertambah
umur akan semakin berkembang pula daya tangkap dan polapikirnya sehingga
pengetahuan yang diperolehnya semakin membaik
b. Faktor eksternal
1) Faktor Lingkungan
Lingkungan ialah seluruh kondisi yang ada sekitar manusia dan pengaruhnya
dapat mempengaruhi perkembangan dan perilaku individu atau kelompok.
2) Sosial Budaya
Sistem sosial budaya pada masyarakat dapat memberikan pengaruh dari sikap
dalam menerima informasi
2.1.3 Kriteria Tingkat Pengetahuan
Pengukuran tingkat pengetahuan Menurut Arikunto (2006), untuk mengukur tingkat
pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan
tentang isi materi yang ingin diukur dari objek penelitian atau responden. Penilaian-
penilaian didasarkan pada suatu kriteria yang di tentukan sendiri atau menggunakan
kriteria-kriteria yang telah ada. Pengetahuan seseorang dapat diketahui dan
diinterprestasikan dengan skala yang bersifat kualitatif, Menurut Nursalam (2016) :
a. Pengetahuan Baik : 76 % - 100 %
b. Pengetahuan Cukup : 56 % - 75 %
c. Pengetahuan Kurang : < 56 %

2.2 Kewaspadaan Universal


Universal Precaution(UP) ialah suatu cara penanganan yang harus diterapkan oleh seluruh
petugas kesehatan untuk meminimalkan paparan darah dan cairan tubuh dari semua pasien
yang merupakan sumber infeksi tanpa memandang diagnosa atau status infeksi (Tietjen,
2015). Kewaspadaan standar diterapkan dipelayanan kesehatan dengan tujuan untuk
mengendalikan infeksi secara konsisten serta pencegahan penularan bagi petugas kesehatan
dan pasien, dasar kewaspadaan universal ini meliputi cuci tangan guna mencegah infeksi
silang, pemakaian alat pelindung diantaranya sarung tangan untuk mencegah kontak dengan
darah serta cairan infeksius yang lain, pengelolaan alat kesehatan, pengelolaan jarum dan alat
tajam untuk mencegah perlukaan,serta pengelolaan limbah. (Nursalam, 2014),
2.2.1 Tujuan Kewaspaan Universal
Kurniawati dan Nursalam (2008:42), menyebutkan bahwa Universal precautions perlu
diterapkan dengan tujuan:
a. Mengendalikan infeksi secara konsisten
Universal precautions merupakan upaya pengendalian infeksi yang harus diterapkan
dalam pelayanan kesehatan kepada semua pasien, setiap waktu, untuk mengurangi
risiko infeksi yang ditularkan melalui darah.
b. Memastikan standar adekuat bagi mereka yang tidak didiagnosis atau tidak terlihat
seperti berisiko
Prinsip universal precautions diharapkan akan mendapat perlindungan maksimal dari
infeksi yang di tularkan melalui darah maupun cairan tubuh yang lain baik infeksi
yang telah diagnosis maupun yang belum diketahui.
c. Mengurangi risiko bagi petugas kesehatan dan pasien
Universal precautions tersebut bertujuan tidak hanya melindungi petugas dari risiko
terpajan oleh infeksi HIV namun juga melindungi klien yang mempunyai
kecenderungan rentan terhadap segala infeksi yang mungkin terbawa oleh petugas.
d. Asumsi bahwa risiko atau infeksi berbahaya
Universal precautions ini juga sangat diperlukan untuk mencegah infeksi lain yang
bersifat nosokomial terutama untuk infeksi yang ditularkan melalui darah/cairan
tubuh
2.2.2 Ruang Lingkup Kewaspadaan Universal
Tindakan pencegahan universal meliputi hal-hal sebagai berikut (Kurniawati &
Nursalam, 2008):
2.2.2.1 Cuci tangan
Cuci tangan merupakan tindakan pertama dalam pengendalian infeksi
nosokomial. Cuci tangan adalah kegiatan dengan air mengalir ditambh sabun atau
dengan antiseptik. Mencuci tangan dalam waktu singkat diperlukan setiap waktu.
CDC menganjurkan mencuci tangan rutin minimal selama 15 detik, dengan membilas
selama 10 detik. Cuci tangan harus dilakukan sebelum dan sesudah melakukan
tindakan keperawatan walaupun memakai sarung tangan dan alat pelindung diri lain.
Tindakan ini penting untuk mengurangi mikroorganisme yang ada di tangan sehingga
penyebaran infeksi dapat dikurangi dan lingkungan kerja terjaga dari infeksi. Tiga
cara cuci tangan yang dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan yaitu (Depkes, RI, 2010)
:
1. Cuci tangan higienik atau rutin bertujuan untuk mengurangi kotoran dan flora
yang ada di tangan dengan menggunakan sabun atau detergen.
2. Cuci tangan aseptik, dilakukan sebelum tindakan aseptik pada pasien dengan
menggunakan antiseptik.
3. Cuci tangan bedah (surgical handscrub), dilakukan sebelum melakukan tindakan
bedah cara aseptik dengan antiseptik dan sikat steril.
Sarana cuci tangan yang wajib ada demi menjaga higienitas tangan pada petugas
kesehatan di pelayanan kesehatan, antara lain yaitu:
a. Air Mengalir
Sarana utama untuk cuci tangan adalah air mengalir dengan saluran
pembuangan yang memadai. Dengan guyuran air mengalir tersebut, maka
mikroorganisme yang terlepas karena gesekan mekanis atau kimiawi saat cuci
tangan akan terhalau dan tidak menempel lagi di permukaan kulit.
b. Sabun atau Detergen
Bahan tersebut tidak membunuh mikroorganisme, tetapi menghambat dan
mengurangi jumlah mikroorganisme dengan jalan mengurangi tegangan
permukaan sehingga mikroorganisme terlepas dari permukaan kulit dan mudah
terbawa air. Jumlah mikroorganisme semakin berkurang dengan meningkatnya
frekuensi cuci tangan.
c. Larutan Aseptik
Larutan antiseptik atau disebut juga antimikroba topikal, digunakan pada kulit
atau jaringan hidup lainnya untuk menghambat aktivitas mikroorganisme pada
kulit. Tujuan yang ingin dicapai dari penggunaan larutan antiseptik ini adalah
penurunan jumlah mikroorganisme pada kulit secara maksimal terutama kuman
transien.
Indikator mencuci tangan digunakan dan harus dilakukan untuk antisipasi terjadinya
perpindahan kuman melalui tangan yaitu:
a. Sebelum melakukan tindakan, misalnya saat akan memeriksa (kontak langsung
dengan klien), saat akan memakai sarung tangan bersih maupun steril, saat akan
melakukan injeksi dan pemasangan infus.
b. Setelah melakukan tindakan, misalnya setelah memeriksa pasien, setelah
memegang alat bekas pakai dan bahan yang terkontaminasi, setelah menyentuh
selaput mukosa.
c. Prinsip-prinsip cuci tangan yang efektif dengan sabun atau handsrub yang berbasis
alkohol menggunakan 6 langkah (WHO dalam Prosedur Tetap RSUD Kardinah ,
2015):

a) Basahi kedua telapak anda dengan air mengalir, laluberi sabun ke telapak usap
dan gosok dengan lembut pada kedua telapak tangan.

Gambar 2.1
Langkah Pertama Cuci Tangan

b) Gosok masing-masing pungung tangan secara bergantian.

Gambar 2.2
Langkah Kedua Cuci Tangan

c) Jari jemari saling masuk untuk membersihkan sela-sela jari.

Gambar 2.3
Langkah Ketiga Cuci Tangan

d) Gosokan ujung jari (buku-buku) dengan mengatupkan jari tangan kanan terus
gosokan ke telapak tangan kiri bergantian.
Gambar 2.4
Langkah Keempat Cuci Tangan

e) Gosok dan putar ibu jari secara bergantian.

Gambar 2.5
Langkah Kelima Cuci Tangan
Gosokkan ujung kuku pada telapak tangan secara bergantian. setelah itu bilas
dengan menggunakan air bersih dan mengalir, lalu keringkan.

Gambar 2.6
Langkah Keenam Cuci Tangan

2.2.2.2 Penggunaan Alat Pelindung diri (APD)


Menurut Depnakertrans (2007), Alat Pelindung Diri (APD) digunakan untuk
melindungi kulit dan selaput lendir petugas dari risiko pajanan darah, seluruh pajanan
tubuh, sekret, ekskreta, kulit yang tidak utuh, dan selaput lendir pasien. Jenis-jenis
alat pelindung yang harus digunakan oleh petugas kesehatan dalam melakukan
perawatan terhadap pasien, antara lain yaitu:
a. Penggunaan Sarung Tangan
Pemakaian sarung tangan bertujuan untuk melindungi tangan dari kontak dengan
darah, semua jenis cairan tubuh, sekret, ekskreta, kulit yang tidak utuh, selaput
lendir pasien, dan benda yang terkontaminasi. Sarung tangan harus selalu dipakai
oleh petugas sebelum kontak dengan komponen-komponen tersebut. Terdapat 3
jenis sarung tangan, diantaranya adalah :
1. Sarung Tangan Bersih
Adalah sarung tangan yang didisinfeksi tingkat tinggi, dan digunakan sebelum
tindakan rutin pada kulit dan selaput lendir, misalnya tindakan medik
pemeriksaan dalam merawat luka terbuka. Sarung tangan bersih dapat
digunakan untuk tindakan bedah jika tidak ada sarung tangan steril
2. Sarung Tangan Steril
Adalah sarung tangan yang tangan disterilkan dan harus digunakan pada
tindakan bedah.
3. Sarung Tangan Rumah Tangga
Sarung tangan tersebut terbuat dari latex atau vinil yang tebal. Dipakai pada
saat membersihkan alat kesehatan, dan permukaan meja kerja dan lain-lain.
Sarung tangan jenis ini dapat digunakan kembali setelah dicuci dan dibilas
Bersih
Menurut Prosedur Tetap Keperawatan RS Kardinah (2015) meliputi:

Gambar 2.7
Sarung Tangan

b. Pelindung Wajah/ Masker/ Kacamata


Pelindung wajah terdiri dari dua macam yakni masker dan kacamata, dengan
berbagai jenis dan bentuk yaitu ada yang terpisah dan ada pula yang menjadi satu.
Pemakaian pelindung wajah tersebut dimaksudkan untuk melindungi selaput
lendir hidung, mulut, dan mata selama melakukan tindakan atau perawatan pasien
yang memungkinkan terjadi percikan darah dan cairan tubuh lain. Masker tanpa
kacamata hanya digunakan saat tertentu, misalnya merawat pasien tuberkulosis
terbuka tanpa luka dibagian kulit/perdarahan. Masker ini digunakan jika berada
dalam jarak 1 meter dari pasien.
c. Penutup Kepala
Tujuan pemakaian penutup kepala adalah mencegah jatuhnya mikroorganisme
yang ada di rambut dan kulit kepala petugas terhadap alat-alat atau daerah steril
dan juga sebaliknya untuk melindungi kepala atau rambut petugas dari percikan
bahan-bahan dari pasien. Pada keadaan tertentu, misalnya pada saat pembedahan
atau ruang rawat intensif (ICU) petugas maupun pasien harus menggunakan
penutup kepala yang menutupi kepala dengan baik.
d. Baju pelindung (baju kerja / clemek)
Baju pelindung atau celemek merupakan salah satu jenis pakaian kerja.
Sebagaimana diketahui bahwa pakaian kerja dapat berupa seragam kerja, gaun
bedah, jas laboratorium, dan celemek. Jenis bahan dapat berupa bahan tembus
cairan dan bahan tidak tembus cairan. Tujuan pemakaian baju pelindung adalah
untuk melindungi petugas dari kemungkinan genangan atau percikan darah atau
cairan tubuh lainnya yang dapat mencemari baju atau seragam. Adapun jenis baju
pelindung tersebut berbagai macam bila dipandang dari berbagai aspek, seperti
baju pelindung tidak kedap air dan yang kedap air, baju pelindung steril dan non
steril. Baju pelindung steril sendiri digunakan oleh ahli bedah dan para asistennya
saat melakukan pembedahan, sedangkan baju non steril dipakai di berbagai unit
yang berisiko tinggi, misalnya pengunjung kamar bersalin, ruang pulih di kamar
bedah, ruang rawat intensif (ICU), rawat darurat, dan kamar bayi.
e. Sepatu tertutup
Sepatu tertutup, dipakai pada saat memasuki daerah ketat. Sepatu ini dapat berupa
sepatu tertutup biasa sebatas mata kaki dan sepatu booth tertutup yang biasa
dipakai pada operasi yang memungkinkan terjadinya genangan percikan darah
atau cairan tubuh pasien, misalnya pada operasi sectio caesarea atau laparatomy
2.2.2.3 Pengelolaan Jarum dan Benda Tajam Lainnya
Benda tajam sangat berisiko untuk menyebabkan perlukaan, sehingga meningkatkan
terjadinya penularan penyakit melalui kontak darah. Untuk menghindari perlukaan
atau kecelakaan kerja maka semua benda tajam harus digunakan sekali pakai, dengan
demikian jarum suntik bekas tidak boleh digunakan kembali. Sebelum dibawa ke
tempat pembuangan akhir atau pemusnahan, maka diperlukan suatu wadah
penampungan sementara yang bersifat kedap air, tidak mudah bocor, serta tahan
tusukan. Wadah penampung jarum suntik bekas pakai harus dapat dipergunakan
dengan satu tangan, agar pada waktu memasukkan jarum tidak perlu memegangnya
dengan tangan lainnya. Wadah tersebut ditutup dan diganti setelah ¾ bagian terisi dan
setelah ditutup tidak dapat dibuka kembali sehingga isi tidak tumpah (Fauziah, dkk,
2005).
2.2.2.4 Pengelolaan Limbah Medis dan Non Medis
Adanya berbagai sarana pelayanan kesehatan baik rumah sakit, klinik, maupun
puskesmas, akan menghasilkan limbah baik cair maupu padat. Limbah padat rumah
sakit lebih dikenal dengan pengertian sampah rumah sakit. Limbah padat (sampah)
adalah sesuatu yang tidak digunakan, tidak disukai, atau sesuatu yang harus dibuang,
umumnya merupakan hasil aktivitas manusia yang bersifat padat. Limbah padat
rumah sakit adalah semua limbah rumah sakit yang berbentuk padat hasil dari
aktivitas layanan kesehatan yang terdiri dari limbah medis dan non medis
(Kepmenkes RI No.1428/MENKES/SK/XII/2006 dalam Depkes RI, 2010)
a. Limbah Medis
Limbah medis yaitu buangan dari kegiatan layanan kesehatan yang tidak terpakai.
Limbah medis cenderung bersifat infeksius dan kimia beracun yang dapat
mempengaruhi kesehatan manusia dan memperburuk kelestarian lingkungan hidup
jika tidak dikelola dengan baik. Limbah medis rumah sakit adalah semua limbah yang
dihasilkan dari aktivitas rumah sakit dalam bentuk padat dan cair (Kepmenkes RI No
1428/MENKES/SK/XII/2006). Berdasarkan potensi bahaya yang ditimbulkan,
limbah medis telah digolongkan sebagai berikut (Depkes RI dalam Adisasmito, 2009)

1. Limbah benda tajam, yaitu obyek atau alat yang memiliki sudut tajam, sisi ujung
atau bagian yang menonjol yang dapat memotong atau menembus kulit, misalnya
jarum hipodermik, perlengkapan intravena, pipet pasteur, pisau bedah, dan
lainnya.
2. Limbah infeksius, yakni limbah yang berkaitan dengan pasien yang memerlukan
isolasi penyakit menular dan limbah laboratorium yang berkaitan dengan
pemeriksaan mikrobiologi dari poliklinik dan ruang perawatan/isolasi penyakit
menular.
3. Limbah jaringan tubuh, meliputi organ, anggota badan, darah, dan cairan tubuh.
Biasanya diperoleh saat melakukan tindakan pembedahan
4. Limbah sitotoksik, yakni bahan yang terkontaminasi oleh obat sitotoksik selama
percikan, pengangkutan, atau tindakan terapi sitotoksik.
5. Limbah farmasi, terdiri dari obat-obatan kadaluwarsa, obat yang terbuang karena
tidak memenuhi spesifikasi atau kemasan yang terkontaminasi, atau kata lainnya
limbah dari proses produksi obat.
6. Limbah kimia, yaitu limbah yang dihasilkan dari penggunaan bahan kimi dalam
tindakan medis, vetenary, laboratorium, proses sterilisasi, atau riset.
7. Limbah radioaktif, yakni bahan yang terkontaminasi dengan radio isotop.
b. Limbah Non Medis
Limbah non medis adalah limbah domestik yang dihasilkan di sarana pelayanan
kesehatan tersebut. Sebagian besar limbah tersebut merupakan bahan organik dan
bukan jenis limbah B-3, sehingga pengelolaannya dapat dilakukan
bersamaan dengan sampah kota di masyarakat yang ada. Jenis limbah non medis
tersebut antara lain limbah cair dari kegiatan laundry, limbah domestik cair, dan
sampah medis (Adisasmito, 2009).

Gambar 2.8
Tempat Pembuangan Sampah

2.3 Perilaku Pencegahan Infeksi pada Perawat


Perilaku pencegahan penyakit infeksi dapat dinilai dari tindakan atau praktik seorang
tenaga kesehatan dalam menerapkan program pengendalian infeksi yakni kewaspadaan
universal. Menurut Notoatmodjo (2010), praktik ini dapat dibedakan menjadi 3 tingkatan
menurut kualitasnya, yakni:
2.3.1 Praktik kepemimpinan (guided response), yaitu apabila subjek atau seseorang telah
melakukan sesuatu namun masih tergantung pada tuntutan atau menggunakan
panduan. Artinya dalam hal ini perawat melakukan tindakan kewaspadaan universal
atas dasar sesuatu hal yang mengharuskan dirinya melakukan hal tersebut, atau
dengan kata lain tindakan tersebut dilaksanakan bukan atas kehendak sendiri.
2.3.2 Praktik secara mekanisme (mechanism), yaitu jika seseorang telah melakukan sesuatu
hal secara otomatis. Dalam tahapan ini perawat telah melaksanakan tindakan
universal precautions atas kesadaran sendiri, dan tahap ini merupakan tahap dimana
seorang perawat mulai terbiasa dengan hal tersebut dalam melaksanakan setiap
tindakan perawatan yang berhubungan langsung dengan pasien.
2.3.3 Adopsi (adoption), yaitu suatu tindakan yang telah berkembang. Artinya, apa yang
dilakukan tidak sekedar rutinitas saja, namun sudah dilakukan modifikasi terhadap
tindakan atau perilaku.
2.4 Tindakan Pemasangan Infus
Pemasangan infus atau terapi intravena adalah proses memasukkan jarum abocath ke
dalam pembuluh darah vena yang kemudian disambungkan dengan selang infus dan di
alirkan cairan infus (Rosyidi, 2013).
Terapi intravena adalah terapi medis yang dilakukan secara invasif dengan
menggunakan metode yang efektif untuk mensuplai cairan, elektrolit, nutrisi, dan obat
melalui pembuluh darah (Potter&Perry, 2005).
Dapat disimpulkan pemasangan infus atau terapi intravena adalah memasukkan
cairan, elektrolit, nutrisi dan obat dengan teknik penusukan kateter infus ke dalam
pembuluh darah vena dengan menggunakan alat infus set.
2.4.1 Tujuan Pemasangan Infus
tujuan utama terapi intravena adalah :
1. Memberikan atau menggantikan cairan tubuh yang mengandung air, elektrolit,
vitamin, protein, lemak, dan kalori yang tidak dapat dipertahankan secara adekuat
melalui oral.
2. Memperbaiki keseimbangan asam-basa.
3. Memperbaiki volume komponen darah.
4. Memberikan jalan masuk untuk pemberian obat-obatan ke dalam tubuh.
5. Memonitor tekanan vena sentral (CVP). CVP adalah suatu alat yang mempunyai
kemampuan memompa cairan masuk ke dalam tubuh dengan menggunakan cairan
dalam dosis tertentu sesuai dengan program terapi yang diberikan.
6. Memberikan nutrisi pada saat sistem pencernaan mengalami gangguan
(Hidayat,2008).

2.4.2 Indikasi Pemberian Terapi Intravena


Menurut Potter& Perry (2005) indikasi pada pemberian terapi intravenayaitu:
1. Pada seseorang dengan penyakit berat, pemberian obat melalui intravena
langsung masuk ke dalam jalur peredaran darah, misalnya pada kasus
infeksi bakteri dalam peredaran darah (sepsis), sehingga memberikan
keuntungan lebih dibandingkan memberikan obat oral.
2. Pasien tidak dapat minum obat karena muntah, atau tidak dapat menelan
obat (ada sumbatan di saluran cerna atas). Pada keadaan seperti ini, perlu
dipertimbangkan pemberian melalui jalur lain seperti rektal (anus),
sublingual (di bawah lidah), subkutan (di bawah kulit), dan intramuskular
(disuntikkan di otot).
3. Kesadaran menurun dan berisiko terjadi aspirasi (tersedak obat masuk ke
pernapasan), sehingga pemberian melalui jalur lain
dipertimbangkan.Kadar puncak obat dalam darah perlu segera dicapai,
sehingga diberikan melalui injeksi bolus (suntikan langsung ke pembuluh
balik/vena).Peningkatan cepat konsentrasi obat dalam darah tercapai,
misalnya pada orang yang mengalami hipoglikemia berat dan mengancam
nyawa.

2.4.3 Kontraindikasi Pemberian Terapi Intravena


Kontraindikasi pada pemberian terapi intravena yaitu :
1. Inflamasi dan infeksi di lokasi pemasangan infus.
2. Daerah lengan bawah pada pasien gagal ginjal, karena lokasi ini akan
digunakan untuk pemasangan fistula arteri-venapada tindakan
hemodialisis.
3. Obat-obatan yang berpotensi iritan terhadap pembuluh vena kecil yang
aliran darahnya lambat (misalnya pembuluh vena di tungkai dan kaki)
(Potter& Perry, 2005).
2.4.4 Lokasi pemasangan infus
Tempat atau lokasi vena perifer yang sering digunakan pada
pemasangan infus adalah vena supervisial atau perifer kutan terletak di dalam
fasia subkutan dan merupakan akses paling mudah untuk terapi
intravena.Daerah tempat infus yang memungkinkan adalah permukaan dorsal
tangan (vena supervisial dorsalis, vena basilika, vena sefalika), lengan bagian
dalam (vena basalika, vena sefalika, vena kubital median, vena median lengan
bawah, vena radialis), dan permukaan dorsal (vena safena magna,
ramusdorsalis).
Tempat insersi/pungsi vena yang umum digunakan adalah tangan dan
lengan.Namun vena-vena superfisial di kaki dapat digunakan jika klien dalam
kondisi tidak memungkinkan dipasang di daerah tangan.Apabila
memungkinkan, semua klien sebaiknya menggunakan ekstremitas yang tidak
dominan (Potter&Perry, 2005).
2.4.5 Prosedur pemasangan infus sesuai dengan teori
Karena infeksi dapat menjadi komplikasi utama dari terapi intravena,
peralatan intravena harus steril, juga wadah dan selang parenteral. Tempat
insersi harus dibersihkan dengan kapas povidoneiodine selama 2-3 menit,
mulai dari tengah ke arah tepi. Tindakan ini diikuti dengan alcohol 70%
(Hanya alcohol yang digunakan jika pasien alergi pada iodine). Perawat harus
menggunakan sarung tangan sekali pakai tidak steril selama prosedur fungsi
vena karena tingginya kemungkinan kontak dengan darah pasien.
2.4.5.1 Standar Operasional Prosedur
a. Persiapan klien
1) Monitoring keadaan umum klien.
a) Tingkat kesadaran.
b) Tanda-tanda vital.
c) Keadaan kulit atau turgor.
2) Memberikan informasi kepada klien terkait beberapa hal berikut:
a) Kapan dan tujuan diberikan infus.
b) Berapa lama pemasangan infus.
c) Hal yang harus dilakukan selama pemasangan infus
Menjaga/mempertahankan tempat insersi agar tidakkotor/dikotori, Tidak
boleh mengatur tetesan sendiri, Tidak boleh menarik sedang infus sendiri,
Bila ada yang dikeluhkan berhubungan dengan tempat insersi, harus
diberitahukan kepada perawat.
b. Persiapan alat
1) Cairan yang diberikan
2) Kasa steril.
3) Kapas steril.
4) Alcohol 70% 5)Povidone iodone.
5) Plester.
6) Standar infus.
7) Infus set.
8) IV kateter sesuai usia (Abocat).
9) Sarung tangan steril sekali pakai.
10) Perlak/pengalas.
11) Bengkok
12) Gunting
13) Tornikuet/manset
14) Perban
15) Spalk dalam keadaan siap pakai, bila perlu.
16) Obat-obatan jika akan diberikan terapi obat lewat IV.
c. Prosedur kerja
1. Tahap preinteraksi
a). Cek atau baca status dan terapi cairan klien
b). Cuci tangan
c). Siapkan alat-alat dan dekatkan pada klien.
2. Tahap orientasi
a) Beri salam, panggil klien dengan nama kesukaannya.
b) Jelaskan maksud dan tujuan prosedur, serta lamanya yang akan dilakukan
oleh perawat untuk klien.
3. Tahap kerja
a) Bila dimungkinkan tindakan sebaiknya dilakukan oleh dua orang perawat.
b) Beri kesempatan pada klien untuk bertanya sebelum melakukan tindakan.
c) Tanyakan keluhan utama atau keluhan yang dirasakan klien sekarang
d) Jaga privasi klien.
e) Posisikan klien semi fowler atau berikan posisi supine jika tidak
memungkinkan.
f) Bebaskan lengan klien dari baju/kemeja.
g) Letakkan manset/tornikuet 5-15 cm di atas tempat tusukan.
h) Letakkan alas plastik di bawah lengan klien.
i) Hubungkan cairan infus dengan infus set lalu gantungkan pada standar
infus.
j) Periksa label klien apakah telah sesuai dengan instruksi cairan yang akan
diberikan.
k) Alirkan cairan infus melalui selang infus untuk menghilangkan udara di
dalamnya
l) Kencangkan klem sampai infus tidak menetes dan pertahankan kesterilan
sampai pemasangan pada tangan disiapkan.
m) Kencangkan tourniket/manset.
n) Anjurkan klien untuk mengepal dan membukanya beberapa kali, lalu
palpasi dan pastikan tempat yang akan ditusuk.
o) Bersihkan kulit dengan cermat menggunakan kapas alcohol, lalu ulangi
dengan menggunakan kapas betadin. Arah melingkar dari dalam keluar
lokasi tusukan.
p) Gunakan ibu jari untuk menekan jaringan dan vena dengan jarak sekitar 5
cm di atas atau bawah tusukan.
q) Pegang jarum pada posisi 300pada vena yang akan ditusuk, setelah pasti
masuk, lalu tusuk perlahandengan pasti.
r) Rendahkan posisi jarum sejajar pada kulit dan tarik jarum sedikit lalu
teruskan plastic IV kateter ke dalam vena.
s) Tekan dengan jari ujung plastik IV kateter
t) Tarik jarum infus keluar.
u) Sambungkan plastic IV kateter dengan ujung selang infus.
v) Lepaskan manset.
w) Buka klem infus sampai cairan mengalir lancar
x) Oleskan dengan salep betadine di atas tempat penusukan, kemudian ditutup
dengan kasa steril
y) Fiksasi posisi plastic IV kateter dengan plester
z) Atur tetesan infus sesuai dengan ketentuan, selanjutnya pasang stiker yang
sudah diberi tanggal.
4. Tahap terminasi
a) Evaluasi klien dan hasil kegiatan
b) Lakukan kontrak dengan sapaan atau salam.
c) Akhiri kegiatan dengan sapaan atau salam.
d) Buka sarung tangan lalu lanjutkan dengan mencuci tangan.
e) Dokumentasi
2.5 Kerangka Teori

Faktor-faktor yang Ruang lingkup Universal


mempengaruhi Precauntions :
pengetahuan : 1. Cuci tangan
a. Faktor internal 2. Penggunaan alat
1) Pendidikan pelindung diri
2) Pekerjaan 3. Pengelolaan limbah medis
3) Umur dan non medis
b. Faktor eksternal
1) Faktor
lingkungan
2) Sosial
budaya

Pengetahuan tentang Penerapan universal precauntios


universal precauntios pada tindakan pemasangan infus

Presentasi tingkat Sikap individu :


pengetahuan : 1. Baik
1. Pengetahuan Baik : 2. Kurang baik
76 % - 100 %
2. Pengetahuan Cukup :
56 % - 75 %
3. Pengetahuan Kurang :
< 56 %

Gambar 2.8 Kerangka Teori Hubungan Tingkat Pengetahuan Perawat Tentang Universal
Precauntions dengan Penerapan Universal Precauntions pada Tindakan Pemasangan Infus
Sumber : (Notoatmojo, 2010), (Nursalam, 2007)

2.6 Kerangka Konsep

Kerangka konsep adalah kerangka yang berhubungan antara konsep-konsep yang


ingin diamati atau diukur melalui penelitian yang akan dilakukan (Notoatmojo,2010).
Berdasarkan tinjauan teori dan kerangka teori di atas maka dapat dibuat kerangka
konsep sebagai berikut :

Variabel Bebas variabel Terikat


Tingkat pengetahuan perawat Penerapan universal precaution
tentang universal precaution pada tindakan pemasangan infus

faktor-faktor yang mempengaruhi


pengetahuan :
a. faktor internal
1) pendidikan
2) pekerjaan
3) umur
b. faktor eksternal
1) faktor lingkungan
2) sosial budaya

Keterangan :

: Diteliti

: Berhubungan
Gambar 2.9 Kerangka Konsep Hubungan Tingkat Pengetahuan Perawat Tentang Universal
Precauntions dengan Penerapan Universal Precauntions pada Tindakan Pemasangan Infus

2.7 Hipotesis
Sugiono (2012) mengemukakan hipotesis adalah jawaban sementara terhadap rumusan
masalah penelitian, dimana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk
kalimat pertanyaan, dikatan sementara karena jawaban yang diberikan didasarkan pada teori
yang relevan, belum didasarkan pada fakta- fakta empiris yang diperoleh melalui
pengumpulan data. Berdasarkan teori yang telah dikemukakan diatas, maka hipotesis yang
diajukan oleh peneliti ialah :
2.7.1 Hipotesis Alternatif (Ha) ada hubungan antara tingkat pengetahuan perawat tentang
universal precauntion dengan penerapan universal precauntion pada pemasan infus
di RS kardinah Tegal
2.7.2 Hipotesis Nihil (Ho) tidak ada hubungan antara tingkat pengetahuan perawat tentang
universal precauntion dengan penerapan universal precauntion pada pemasan infus
di RS kardinah Tegal
BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis dan Rancangan Penilitian


penelitian ini dilakukan menggunakan survey analitik yaitu penelitian yang mencoba
menggali bagaimana dan mengap fenomena kesehatan itu terjadi, kemudian melakukan
korelasi antar variabel (Notoatmodjo,2010)
Penelitian ini menggunakan pendekatan crossectional yaitu jenis penelitian yang
menekankan waktu pengukuran atau observasi data variabel independen dan dependen
hanya satu kali pada satu saat. Pada jenis ini, variabel independen dan dependen dinilai
secara simultan pada suatu saat, jadi tidak ada tindak lanjut. Dalam studi ini akan
diperoleh prevalensi atau efek suatu fenomena (variabel independen) dihubungkan
dengan penyebab (variabel dependen) (Nursalam, 2013).

3.2 Alat Penelitian dan Cara Pengumpulan Data


3.2.1 Alat Penelitian
Alat penelitian yang digunakan untuk mengumpulkan data penelitian ini adalah
dengan menggunakan kuesioner tertutup, dimana responden memilih alternatif
jawaban yang disediakan sesuai petunjuk. Kuesioner yang digunakan untuk
mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan perawat tentang universal
precauntion dengan penerapan prinsip metode universal precauntion pada pemasangan
infus terdiri dari 17 pertanyaan dengan jawaban benar atau salah. Pertanyaan
pengetahuan meliputi pengertian, manfaat, tujuan, macam-macam dan prosedur
universal precaution. Gambaran kuesioner dapat dilihat dari tabel kisi-kisi pertanyaan
pengetahuan perawat tentang universal precaution sebagai berikut:
Tabel 3.1 Kisi – kisi Pertanyaan Pengetahuan Perawat Tentang Universal Precaution

Indikator Jumlah Item


Favorable Unfavoreble
Pengertia 1 1
n 2,3,4 3
Manfaat 5 1
Tujuan 6,7,9 8 4
Macam-
macam 10,11,12,13,15,17 14,16 8
Prosedur

Total 17
3.2.2 Uji Faliditas dan Reabilitas

3.3 populasi dan Sempel


3.3.1 Populasi
Populasi adalah keseluruhan sumber data yang diperlukan dalam penelitian (Saryono,
2011). populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek atau subyek yang
mempunyai kuantitas dan karakteristis tententu yang ditetapkan oleh peneliti untuk
dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (sugiyono, 2012).
populasi dalam penelitian ini adalah semua perawat di RS Kardinah kabupaten Tegal
dengan jumlah populasi 30 perawat
3.3.2 Sampel
Teknik sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik total sampling.
Dengan mempertimbagkan kriteria inklusi dan ekslusi.
3.2.2.1 Kritereria inklusi
Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subyek penelitian pada populasi
target dan sumber (Riyanto, 2011). pada penelitian ini yang termasuk kriterian
inklusi antara lain :
1) Perawat dengan masa kerja minimal 1 tahun
2) Bersedia menjadi responden.
3.2.2.2 Kriteria eksklusi
Kriteria eksklusi adalah kriteria dari subyek penelitian yang tidak boleh ada, dan
jika subyek mempunyai kriteria eksklusi maka subyek harus dikeluarkan dari
penelitian. pada penelitian ini yang termasuk kriteria eksklusi antara lain :
1) perawat yang sedang cuti / libur

3.4 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan di RS Kardinah Kabupaten Tegal. Waktu penelitian akan
dilakukan Juni-Agustus.

3.5 Definisi Operasional Variabel Penelitian dan Skala Pengukuran


Definisi operasional yaitu definisi variabel-variabel yang akan diteliti secara operasional
di lapangan (Riyanto, 2011). menurut Aziz (2007), definisi operasional ditentukan
berdasarkan parameter yang dijadikan ukuran dalam penelitian, sedangkan cara
pengukuran merupakancara dimana variabel dapat diukur dan ditentukan karakteristiknya
Tabel 3.1
Definisi Operasional dan Skala Pengukuran Variabel

Anda mungkin juga menyukai