Babbb 2
Babbb 2
Disusun Oleh
ZAKIYATUN NIKMAH
C1015034
PENDAHULUAN
Infeksi nosokomial adalah infeksi yang dialami oleh pasien yang diperoleh selama
dirawat di rumah sakit yang meliputi dekubitus, phlebitis, sepsis dan infeksi luka operasi
(ILO) (Depkes, 2008). Berbagai upaya telah dilakukan oleh pihak tenaga kesehatan untuk
mencegah terjadinya infeksi nosokomial. Salah satu upayanya adalah penerapan
kewaspadaan universal. Kewaspadaan universal.
Perawat adalah petugas kesehatan yang paling sering berhubungan dengan pasien,
sehingga dari semua petugas kesehatan perawatlah yang paling berisiko terpapar infeksi
berbagai penyakit. Untuk melindungi perawat dan pasien dari resiko tertular penyakit infeksi
tersebut maka dalam melaksanakan tindakan keperawatan, perawat harus selalu
memperhatikan metode Kewaspadaan Universal yang telah ditetapkan oleh Centers for
Disease Control And Prevention (CDC) pada tahun 1988 di Amerika Serikat (Kirkland,
2011).
Prinsip universal precaution adalah bahwa darah dan semua jenis cairan tubuh, skret,
kulit yang tidak utuh dan selaput lendir penderita dianggap sebagai sumber potensial untuk
penularan infeksi. Sehingga, diharapkan setiap petugas pelayanan kesehatan mampu
menerapkan prinsi puniversal precaution. Penerapan universal precaution ini bertujuan tidak
hanya melindungi petugas dari resiko terpajan oleh infeksi namun juga melindungi pasien
yang mempunyai kecenderungan rentan terhadap segala macam infeksi yang mungkin
terbawa oleh petugas (Irmaniati, 2008). Adapun metode dalam penerapan kewaspadaan
universal diperlukan kemampuan perawat sebagai pelaksana, ditunjang oleh sarana dan
prasarana, serta SOP yang mengatur langkah-langkah tindakan kewaspadaan universal
Sampai saat ini upaya penerapan kewaspadaan universal masih belum maksimal,
berdasarkan hasil penelitian Nurjannah (2016), tentang gambaran kewaspadaan universal
perawat di RSUD Ambarawa menunjukkan hanya 14% petugas kesehatan yang
melaksanakankewaspadaan universal dengan baik. Hal ini disebabkan karena masih banyak
perawat yang pencapaian kewaspadaan universalnya kurang karena tindakan cepat yang
dilakukan perawat dalam menangani pasien, mengakibatkan perawat lupa melakukan
tindakan kewaspadaan universal secara maksimal (Nurjananah, 2016). Berdasarkan
Kementerian Kesehatan (2017) bahwa setiap fasilitas pelayanan kesehatan harus
melaksanakan PPI dimana ruang lingkup fasilitas pelayanan kesehatan adalah rumah sakit,
puskesmas, klinik dan praktikmandiri tenaga kesehatan. Pencegahan dan pengendalian
infeksi dilaksanakan melalui penerapan salah satunya adalah prinsip kewaspadaan standar
(kewaspadaan universal) dan berdasarkan transmisi, dimana prinsip kewaspadaan universal
tersebut harus diterapkandi fasilitas pelayanan kesehatan (Kementerian Kesehatan, 2017).
Petugas harus memiliki pengetahuan yang baik tentang pencegahan transmisi infeksi,
bersikap dan bertindak yang benar dalam melakukan setiap tindakan. Hal ini sangat perlu
diperhatikan karena setiap individu yang bekerja di lingkungan rumah sakit maupun pusat
pelayanan kesehatan lainnya merupakan kelompok orang yang sangat rawan untuk tertular
atau menularkan infeksi (Mada, 2013).
Salah satu tindakan yang paling sering dilakukan perawat di rumah sakit adalah
pemasangan infus. Pemasangan infus (pemberian cairan intravena) merupakan tindakan pada
kondisi gawat darurat yang sangat menentukan keselamatan hidup pasien (Riyadi S &
Harmoko, 2012). maka dari itu Perawat yang bertugas di instalasi Gawat Darurat (IGD) harus
memiliki dasar pengetahuan dan kompetensi mengenai protokol pelaksanaan dan
implementasi untuk mencegah terjadinya komplikasi karena IGD merupakan sebuah
pelayanan awal pada rumah sakit. (Suprapto 2015)
Pemasangan infus adalah suatu prosedur pemberian cairan, elektrolit ataupun obat
secara langsung kedalam pembuluh darah vena yang banyak dalam waktu yang lama dengan
cara menggunakan infus set untuk tujuan tertentu (Hampton. S, 2008) . Pemasangan infus
termasuk kedalam tindakan invasif atau tindakan yang dapat langsung mempengaruhi
keutuhan jaringan. Manfaat dari terapi infus dapat sebagai jalur pemberian obat, pemberian
cairan, pemberian produk darah atau sampling darah.
hasil penelitian yang dilakukan Ayu,S (2014 dalam Kaloa 2016) dari 36 responden
hanya 15 responden (41,7%) dikatakan patuh sedangkan 21 responden (58,3%) tidak patuh.
Dalam hal ini dapat dilihat bahwa masih banyak perawat yang belum melakukan pemasangan
infus sesuai dengan standar yang berlaku. Penelitian lain yang dilakukan oleh Maria, 2012
dikatakan bahwa 90% pasien yang mendapat terapi intravena atau infus, dan 50% dari pasien
tersebut beresiko mengalami kejadian infeksi komplikasi lokal (phlebitis).
berdasarkan pemikiran dan latar belakang permasalahan di atas maka penelitian ini
tertarik untuk mengambil judul “ Hubungan antara tingkat pengetahuan perawat tentang
universal precauntions dengan penerapan universal precauntions pada tindakan pemasangan
infus di IGD RSUD Kardinah”
1.1 TujuanPeneltian
1.2.1. Tujuan Umum
Mengetahui ada hubungan tingkat pengetahuan perawat tentang universal precautions dengan
tindakan pemasangan infus di RS Kardinah.
1.2.2. Tujuan khusus
1.2.2.1 Mengidentifikasi karakteristik tingkat pengetahuan perawat tentang universal
precautions dengan tindakan pemasangan infus di RS Kardinah.
1.2.2.2 Mengidentifikasi penerapan universal precauntions tindakan pemasanagn infus di RS
Kardinah.
1.2.2.3 Mengidentifikasi hubungan tingkat pengetahuan perawat tentang universal precautions
dengan tindakan pemasangan infus di RS Kardinah.
2.1 Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu obyek tertentu, penginderaan terjadi melalui panca indra
manusia yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba (Notoatmodjo,
2010). Pengetahuan adalah merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan ini terjadi melalui panca indra
manusia. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting bagi
terbentuknya tindakan seseorang. Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih
langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Nursalam, 2012).
2.1.1 Tingkatan Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (dalam Wawan dan Dewi, 2010) pengetahuan seseorang terhadap
suatu objek mempunyai intensitas atau tingkatan yang berbeda. Secara garis besar dibagi
menjadi 6 tingkat pengetahuan, yaitu :
1.Tahu (Know)
Tahu diartikan sebagai recall atau memanggil memori yang telah ada sebelumnya setelah
mengamati sesuatu yang spesifik dan seluruh bahan yang telah dipelajari atau rangsangan
yang telah diterima. Tahu disisni merupakan tingkatan yang paling rendah. Kata kerja yang
digunakan untuk mengukur orang yang tahu tentang apa yang dipelajari yaitu dapat
menyebutkan, menguraikan, mengidentifikasi, menyatakan dan sebagainya.
2. Memahami (Comprehention)
Memahami suatu objek bukan hanya sekedar tahu terhadap objek tersebut, dan juga tidak
sekedar menyebutkan, tetapi orang tersebut dapat menginterpretasikan secara benar tentang
objek yang diketahuinya. Orang yang telah memahami objek dan materi harus dapat
menjelaskan, menyebutkan contoh, menarik kesimpulan, meramalkan terhadap suatu objek
yang dipelajari
3. Aplikasi (Application)
Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek yang dimaksud dapat
menggunakan ataupun mengaplikasikan prinsip yang diketahui tersebut pada situasi atau
kondisi yang lain. Aplikasi juga diartikan aplikasi atau penggunaan hukum, rumus, metode,
prinsip, rencana program dalam situasi yang lain.
4. Analisis (Analysis)
Analisis adalah kemampuan seseorang dalam menjabarkan atau memisahkan, lalu kemudian
mencari hubungan antara komponen-komponen dalam suatu objek atau masalah yang
diketahui. Indikasi bahwa pengetahuan seseorang telah sampai pada tingkatan ini adalah
jika orang tersebut dapat membedakan, memisahkan, mengelompokkan, membuat bagan
(diagram) terhadap pengetahuan objek tersebut.
5.Sintesis (Synthesis)
Sintesis merupakan kemampuan seseorang dalam merangkum atau meletakkan dalam suatu
hubungan yang logis dari komponen pengetahuan yang sudah dimilikinya. Dengan kata lain
suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi yang sudah adasebelumnya.
6.Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi merupakan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu
objek tertentu. Penilaian berdasarkan sesuatu kriteria yang ditentukan sendiri atau norma-
norma yang berlaku dimasyarakat.
a) Basahi kedua telapak anda dengan air mengalir, laluberi sabun ke telapak usap
dan gosok dengan lembut pada kedua telapak tangan.
Gambar 2.1
Langkah Pertama Cuci Tangan
Gambar 2.2
Langkah Kedua Cuci Tangan
Gambar 2.3
Langkah Ketiga Cuci Tangan
d) Gosokan ujung jari (buku-buku) dengan mengatupkan jari tangan kanan terus
gosokan ke telapak tangan kiri bergantian.
Gambar 2.4
Langkah Keempat Cuci Tangan
Gambar 2.5
Langkah Kelima Cuci Tangan
Gosokkan ujung kuku pada telapak tangan secara bergantian. setelah itu bilas
dengan menggunakan air bersih dan mengalir, lalu keringkan.
Gambar 2.6
Langkah Keenam Cuci Tangan
Gambar 2.7
Sarung Tangan
1. Limbah benda tajam, yaitu obyek atau alat yang memiliki sudut tajam, sisi ujung
atau bagian yang menonjol yang dapat memotong atau menembus kulit, misalnya
jarum hipodermik, perlengkapan intravena, pipet pasteur, pisau bedah, dan
lainnya.
2. Limbah infeksius, yakni limbah yang berkaitan dengan pasien yang memerlukan
isolasi penyakit menular dan limbah laboratorium yang berkaitan dengan
pemeriksaan mikrobiologi dari poliklinik dan ruang perawatan/isolasi penyakit
menular.
3. Limbah jaringan tubuh, meliputi organ, anggota badan, darah, dan cairan tubuh.
Biasanya diperoleh saat melakukan tindakan pembedahan
4. Limbah sitotoksik, yakni bahan yang terkontaminasi oleh obat sitotoksik selama
percikan, pengangkutan, atau tindakan terapi sitotoksik.
5. Limbah farmasi, terdiri dari obat-obatan kadaluwarsa, obat yang terbuang karena
tidak memenuhi spesifikasi atau kemasan yang terkontaminasi, atau kata lainnya
limbah dari proses produksi obat.
6. Limbah kimia, yaitu limbah yang dihasilkan dari penggunaan bahan kimi dalam
tindakan medis, vetenary, laboratorium, proses sterilisasi, atau riset.
7. Limbah radioaktif, yakni bahan yang terkontaminasi dengan radio isotop.
b. Limbah Non Medis
Limbah non medis adalah limbah domestik yang dihasilkan di sarana pelayanan
kesehatan tersebut. Sebagian besar limbah tersebut merupakan bahan organik dan
bukan jenis limbah B-3, sehingga pengelolaannya dapat dilakukan
bersamaan dengan sampah kota di masyarakat yang ada. Jenis limbah non medis
tersebut antara lain limbah cair dari kegiatan laundry, limbah domestik cair, dan
sampah medis (Adisasmito, 2009).
Gambar 2.8
Tempat Pembuangan Sampah
Gambar 2.8 Kerangka Teori Hubungan Tingkat Pengetahuan Perawat Tentang Universal
Precauntions dengan Penerapan Universal Precauntions pada Tindakan Pemasangan Infus
Sumber : (Notoatmojo, 2010), (Nursalam, 2007)
Keterangan :
: Diteliti
: Berhubungan
Gambar 2.9 Kerangka Konsep Hubungan Tingkat Pengetahuan Perawat Tentang Universal
Precauntions dengan Penerapan Universal Precauntions pada Tindakan Pemasangan Infus
2.7 Hipotesis
Sugiono (2012) mengemukakan hipotesis adalah jawaban sementara terhadap rumusan
masalah penelitian, dimana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk
kalimat pertanyaan, dikatan sementara karena jawaban yang diberikan didasarkan pada teori
yang relevan, belum didasarkan pada fakta- fakta empiris yang diperoleh melalui
pengumpulan data. Berdasarkan teori yang telah dikemukakan diatas, maka hipotesis yang
diajukan oleh peneliti ialah :
2.7.1 Hipotesis Alternatif (Ha) ada hubungan antara tingkat pengetahuan perawat tentang
universal precauntion dengan penerapan universal precauntion pada pemasan infus
di RS kardinah Tegal
2.7.2 Hipotesis Nihil (Ho) tidak ada hubungan antara tingkat pengetahuan perawat tentang
universal precauntion dengan penerapan universal precauntion pada pemasan infus
di RS kardinah Tegal
BAB 3
METODE PENELITIAN
Total 17
3.2.2 Uji Faliditas dan Reabilitas