Bab 4
Bab 4
MANIFESTASI KLINIS
G
replikasi virus yang sangat aktif pada beberapa minggu pertama infeksi dan
kerusakan yang cepat dari sel CD4 di sirkulasi perifer. Hal ini disebabkan
tidak adanya kontrol dari T cytotoxic terhadap sel-sel yang terinfeksi HIV. Di
samping itu, peranan imunitas alamiah yang mensekresi IFN tidak banyak
berfungsi secara in vivo. Konsekuensi klinis dari infeksi HIV meliputi suatu
spectrum yang dimulai dengan munculnya sindrom akut yang berkaitan
dengan suatu infeksi primer, diikuti oleh suatu masa tanpa gejala yang panjang
dan diakhiri oleh suatu stadium lanjut yang berat.
Diperkirakan sekitar 50-70% pasien mengalami suatu gejalagejala akut
3-6 minggu setelah infeksi primer. Gejala yang paling primer adalah demam
dan rash, serta limfadenopati selama berlangsungnya serokonversi HIV.
Gambaran klinis yang dapat ditemukan bisa bervariasi dari ringan sampai
berat. yang umumnya dibedakan dalam kelompok umum/konstitusional,
sermatologik, dan neurologik. Gejala-gejala konstitusional adalah demam,
faringitis, limfadenopati, sakit kepaIa/retroorbitaI, artraIgia/miaIgia, lethargy /
maIaise, anoreksia / penurunan berat badan, nausea / vomitus / diare. Gejala -
gejala dermatologik bisa berupa erythematous maculopapular rash dan
mucocutaneus ulceration. Gejala-gejala neurologik mungkin meningitis,
encepalitis, neuropati perifer, dan myelopathy.
Selama masa tanpa gejala (Iaten) yang panjang, peranan cytotoxic T
cell penting sedangkan antibodi terhadap HIV sering tidak protektif. Meskipun
viral load rendah, tetapi replikasi virus terus berlangsung di jaringan limfoid
dan sel CD4 mengalami kerusakan secara bertahap.
Pada saat kontrol T cytotoxic dapat dihindari oleh HIV karena sel CD4
tidak dapat sepenuhnya membantu T cytotoxic maka viral load dalam plasma
mulai meningkat dan diikuti dengan menurunnya jumlah sel CD4. Saat ini
mulailah muncul kembali gejala-gejala konstitusional. Apabila sel CD4
jumlahnya <400/uL, pasien mengalami gejala-gejala oportunistik seperti
kandidiasis dan herpes zoster. Pada saat sel CD4<200/ul, timbullah pneumonia
oleh Pneumocystis jiroveci, yang merupakan tanda dari AIDS. Pasien AIDS
juga akan mengalami keganasan seperti limfoma sel Bdan sarcoma Kaposi
yang dipengaruhi munculnya oleh Epstein Barr virus (EBV) dan Human
Herpes Virus 8 (HHV8).
WHO membedakan empat stadium klinis untuk membantu
memperkirakan tingkat defisiensi imunologik pasien HIV. Pasien dengan
gejala pada stadium klinis I dan II biasanya tidak mengalami defisiensi
imunologik yang serius. Pasien dengan gejala pada stadium klinis III dan IV
biasanya mengalami penurunan sistem kekebalan tubuh yang berat, di mana
mereka tidak memiliki cukup banyak selCD4.
Stadium III: sakit sedang, dengan penampilan lemah dan pasien berada di
tempat tidur <50% per hari dalam bulan terakhir.
- Penurunan berat badan bersifat berat yang tidak diketahui
penyebabnya, >10%
- Demam tanpa sebab yang jelas, kadang-kadang intermiten, >1 bulan
- Diare kronis yang tidak diketahui penyebabnya, kadang-kadang
intermiten, >1 bulan
- Pansitopenia yang tidak diketahui penyebabnya kandidiasis mulut yang
menetap
- Oral hairy leukoplakia, berupa garis vertikal putih di samping lidah,
tidak nyeri, tidak hilang bila dikerok
- Stomatitis/gingivitis/periodontitis ulseratif nekrotikans akut
- TBC paru
- Infeksi bakteri yang berat : pneumonia, empiema, meningitis,
piomiositis, osteitis/arthritis, pelvic inflammatory disease, bakteriemia
Pada infeksi oleh human immunodeficiency virus (HIV) , tubuh secara gradual akan
mengalami penurunan imunitas akibat penurunan jumlah dan fungsi limfosit CD4. Pada
keadaan di mana jumlah dan fungsi limfosit CD4. Pada keadaan di mana jumlah limfosit
CD4 <200/ml atau kurang, sering terjadi gejala penyakit indikator AIDS. Spektrum
infeksi yang terjadi pada keadaan imunitas tubuh menurun pada infeksi HIV ini disebut
infeksi oportunistik (Merati, 2007). Perjalan menuju infeksi oportunistik pada pengidap
HIV sangat ditentukan oleh mekanisme regulasi imun pada tubuh pengidap HIV tersebut.
Regulasi imun ternyata dikendalikan oleh faktor genetik, imunogenetika, salah satunya
adalah sistem HLA yang pada setiap individu akan menunjukkan ekspresi yang
karakteristik. Pada awal masuknya HIV ke dalam tubuh manusia, mekanisme respon
imun yang terjadi adalah up regulation, tetapi lambat laun akan terjadi down regulation
karena kegagalan dalam mekanisme adaptasi dan terjadi exhausted dari sistem imun.
Keadaan ini menyebabkan tubuh pengidap HIV menjadi rentan terhadap infeksi
oportunistik.
Organisme penyebab IO adalah organisme yang merupakan flora normal, maupun
organisme patogen yang terdapat secara laten dalam tubuh yang kemudian mengalami
reaktivasi. Spektrum IO pada defisiensi imun akibat HIV secara umum mempunyai pola
tertentu dibandingkan IO pada defisiensi imun lainnya. Namun ada gambaran IO yang
spesifik untuk beberapa daerah tertentu. Semakin menurun jumlah limfosit CD4 semakin
berat manifestasi IO dan semakin sulit mengobati, bahkan sering mengakibatkan
kematian. Pegobatan dengan antiretroviral (ARV) dapat menekan replikasi HIV, sehingga
jumlah limfosit CD4 relatif stabil dalam jangka waktu panjang, dan keadaan ini
mencegah timbulnya infeksi oportunistik. Organisme yang sering menyebabkan IO
terdapat di lingkungan hidup kita yang terdekat, seperti air, tanah, atau organisme tersebut
memang berada dalam tubuh kita pada keadaan normal, atau tinggal secara laten lalu
mengalami reaktivasi
1. Penyakit kulit dan mulut
Pasien-pasien yang menderita AIDS (acquired immunodeficiency syndrome)
mengalami peningkatan risiko terjadinya sejumlah kelainan mukokutan, yaitu:
- Kandiasis mulut yang meluas ke dalam esofagus
2. Penyakit Gastrointestinal
Penyakit terkait HIV seringkali melibatkan saluran gastrointestinal (GI).
Penurunan berat badan dan selera makan merupakan gejala umum apapun
patologinya.
- Penyakit esofagus biasanya timbul dengan keluhan nyeri saat menelan dan disfagia.
Kandidiasis merupakan penyebab 80% kasus (terjadi pada 30% pasien dengan OCP).
Plak pseudomembranosa tampak saat pemeriksaan barium meal sebagai defek
pengisian (filling defects) dan saat endoskopi.
- Penyakit usus halus sering berhubungan dengan diare cair bervolume banyak, nyeri
perut dan malabsorpsi. Bila terdapat imunidefisiensi sedang (100-200 CD4 sel/mm3),
Cryptosporidium, mikrosporidium, dan Giardia merupakan penyebab yang mungkin.
Bila kadar CD4 <50 sel/mm3, Mycobacterium avium intercelluler (MAI) dan CMV
merupakan diagnosis alternatif.
- Penyakit usus besar timbul sebagai diare (sering berdarah) bervolume sedikit yang
disertai dengan nyeri perut. Suatu patogen enterik bakterial standar mungkin berperan
seperti Clostridium difficile. Kolitis CMV merupakan diagnosis penting pada pasien
dengan hitung CD4 rendah yang terjadi pada hingga 5% pasien. Penegakan diagnosis
diakukakn melalui endoskopi yang sering memperlihatkan ulkus dalam atau dangkal
yang konfluen atau segmental, serta dengan biopsi. Megakolon toksik, perdarahan,
dan perforasi dapat menyebabkan komplikasi pada infeksi.
3. Penyakit hepatobilier
- Penyakit hati dapat disebabkan oleh koinfeksi dengan HBV atau HCV. Koinfeksi
hepatitis B atau C menjadi masalah yang meningkat pada HIV. Pada kedua hepatitis
tersebut, viremia lebih tinggi dan penyakit lebih agresif. Pada koinfeksi HBV,
imunosupresi yang terlihat pada penyakit tahap lanjut dapat memberikan suatu
perlindungan, karena kerusakan hepar diperantarai oleh sistem imun. Stimulan imun
(interferon) dan antivirus (3TC, tenofovir) memiliki peran dalam pengobatan. Pada
hepatitis C, respons terhadap inerferon dan ribavirin tidak sebaik pada orang yang
HIV-negatif.
4. Penyakit Paru
Lebih dari setengah pasien-pasien dengan HIV akan mengalami penyakit
paru pada suatu waktu tertentu. Beberapa faktor mempengaruhi kemungkinan
penyebabnya termasuk hitung CD4, etnis, dan usia, kelompok risiko, serta riwayat
profilaksis PCP.
a. PENATALSANAAN
Penatalaksanaan penderita AIDS di UPIPI (Nasronudin, 2007)
a) Penatalaksanaan Umum
Istirahat, dukungan nutrisi yang memadai berbasis makronutrien dan
mikronutrien untuk penderita HIV&AIDS, konseling termasuk pendekatan psikologis
dan psikososial, membiasakan gaya hidup sehat antara lain membiasakan senam
seperti yang dilakukan di UPIPI.
b) Penatalaksanaan Khusus
Pemberian antiretroviral therapy (ART) kombinasi, terapi infeksi
sekunder sesuai jenis infeksi yang ditemukan, terapi malignansi.
Pemberian ARV tidak serta merta segera diberikan begitu saja pada
penderita yang dicurigai, tetapi perlu menempuh langkah-langkah
sebelumnya, serta mempertimbangkan berbagai faktor; dokter telah
memberikan penjelasan tentang manfaat, efek samping, resistensi dan tata cara
penggunaan ARV; kesanggupan dan kepatuhan penderita mengkonsumsi obat
dalam waktu yang tidak terbatas; serta saat yang tepat untuk memulai terapi
ARV.
Untuk ODHA yang akan memulai terapi ARV dalam keadaan jumlah
CD4 di bawah 200 sel/mm3 maka dianjurkan untuk memberikan
Kotrimoksasol (1x960mg sebagai pencegahan IO) 2 minggu sebelum terapi
ARV. Hal ini dimaksudkan untuk: 1. Mengkaji kepatuhan pasien untuk minum
obat,dan 2. Menyingkirkan kemungkinan efek samping tumpang tindih antara
kotrimoksasol dan obat ARV, mengingat bahwa banyak obat ARV
mempunyai efek samping yang sama dengan efek samping kotrimoksasol.
Pengobatan pencegahan kotrimoksasol (PPK)
I. ReverseTranscriptase Inhibitors/RTI
1. Nukleoside RTI / NsRTI
a) Thymidine analogues
• Zidovudine/AZT (Azidothymidine)
• Stavudine/d4T
b) Non thymidine analogues
• Lamivudine/3TC
• Emtricitabine/FTC
• Didanosine. dd I
• Abacavir/ABC