Anda di halaman 1dari 15

A.

MANIFESTASI KLINIS

Perjalanan alamiah infeksi HIV-AIDS pada pasien yang tidak


mendapat pengobatan adalah khas. Hal ini merupakan kombinasi dari
kompetisi antara patogenitas virus dan imunopatogenitas yang berlangsung
selama penyakit ini yang dimulai saat infeksi primer yang berkembang sampai
stadium lanjut, yang bersifat kompleks dan bervariasi. Penting untuk dipahami
bahwa mekanisme pathogenesis HIV-AIDS adalah multifaktorial dan
multifasik, serta berbeda pada masing-masing stadium yang berbeda.

G
replikasi virus yang sangat aktif pada beberapa minggu pertama infeksi dan
kerusakan yang cepat dari sel CD4 di sirkulasi perifer. Hal ini disebabkan
tidak adanya kontrol dari T cytotoxic terhadap sel-sel yang terinfeksi HIV. Di
samping itu, peranan imunitas alamiah yang mensekresi IFN tidak banyak
berfungsi secara in vivo. Konsekuensi klinis dari infeksi HIV meliputi suatu
spectrum yang dimulai dengan munculnya sindrom akut yang berkaitan
dengan suatu infeksi primer, diikuti oleh suatu masa tanpa gejala yang panjang
dan diakhiri oleh suatu stadium lanjut yang berat.
Diperkirakan sekitar 50-70% pasien mengalami suatu gejalagejala akut
3-6 minggu setelah infeksi primer. Gejala yang paling primer adalah demam
dan rash, serta limfadenopati selama berlangsungnya serokonversi HIV.
Gambaran klinis yang dapat ditemukan bisa bervariasi dari ringan sampai
berat. yang umumnya dibedakan dalam kelompok umum/konstitusional,
sermatologik, dan neurologik. Gejala-gejala konstitusional adalah demam,
faringitis, limfadenopati, sakit kepaIa/retroorbitaI, artraIgia/miaIgia, lethargy /
maIaise, anoreksia / penurunan berat badan, nausea / vomitus / diare. Gejala -
gejala dermatologik bisa berupa erythematous maculopapular rash dan
mucocutaneus ulceration. Gejala-gejala neurologik mungkin meningitis,
encepalitis, neuropati perifer, dan myelopathy.
Selama masa tanpa gejala (Iaten) yang panjang, peranan cytotoxic T
cell penting sedangkan antibodi terhadap HIV sering tidak protektif. Meskipun
viral load rendah, tetapi replikasi virus terus berlangsung di jaringan limfoid
dan sel CD4 mengalami kerusakan secara bertahap.
Pada saat kontrol T cytotoxic dapat dihindari oleh HIV karena sel CD4
tidak dapat sepenuhnya membantu T cytotoxic maka viral load dalam plasma
mulai meningkat dan diikuti dengan menurunnya jumlah sel CD4. Saat ini
mulailah muncul kembali gejala-gejala konstitusional. Apabila sel CD4
jumlahnya <400/uL, pasien mengalami gejala-gejala oportunistik seperti
kandidiasis dan herpes zoster. Pada saat sel CD4<200/ul, timbullah pneumonia
oleh Pneumocystis jiroveci, yang merupakan tanda dari AIDS. Pasien AIDS
juga akan mengalami keganasan seperti limfoma sel Bdan sarcoma Kaposi
yang dipengaruhi munculnya oleh Epstein Barr virus (EBV) dan Human
Herpes Virus 8 (HHV8).
WHO membedakan empat stadium klinis untuk membantu
memperkirakan tingkat defisiensi imunologik pasien HIV. Pasien dengan
gejala pada stadium klinis I dan II biasanya tidak mengalami defisiensi
imunologik yang serius. Pasien dengan gejala pada stadium klinis III dan IV
biasanya mengalami penurunan sistem kekebalan tubuh yang berat, di mana
mereka tidak memiliki cukup banyak selCD4.

Stadium klinis HIV dewasa


Stadium I : asimtomatik, dengan aktivitas fisik masih normal.
- Tidak ada gejala, atau hanya
- Limfadenopati generalisata persisten, yang biasanya ditemukan
pembesaran kelenjar getah bening multipel berukuran kecil tanpa rasa
nyeri.

Stadium II: sakit ringan, dengan aktivitas fisik masih normal.


- Penurunan berat badan yang bersifat sedang, yang tidak diketahui
penyebabnya, <10% dari perkiraan berat badan sebelumnya.
- Infeksi saluran napas atas berulang, seperti faringitis, tonsilitis,
sinusitis, otitis media
- Ulkus pada mulut berulang
- Cheilitis angularis, luka pada sudut mulut
- Dermatitis seboroik, berupa lesi kulit bersisik pada batas antara wajah
dan rambut serta sisi hidung
- Prurigo/papular pruritic eruption, suatu ruam kulit berupa papel yang
gatal
- Herpes zoster, papel nyeri pada satu SISI tubuh, wajah atau ekstremitas
- Infeksi jamur pada kuku

Stadium III: sakit sedang, dengan penampilan lemah dan pasien berada di
tempat tidur <50% per hari dalam bulan terakhir.
- Penurunan berat badan bersifat berat yang tidak diketahui
penyebabnya, >10%
- Demam tanpa sebab yang jelas, kadang-kadang intermiten, >1 bulan
- Diare kronis yang tidak diketahui penyebabnya, kadang-kadang
intermiten, >1 bulan
- Pansitopenia yang tidak diketahui penyebabnya kandidiasis mulut yang
menetap
- Oral hairy leukoplakia, berupa garis vertikal putih di samping lidah,
tidak nyeri, tidak hilang bila dikerok
- Stomatitis/gingivitis/periodontitis ulseratif nekrotikans akut
- TBC paru
- Infeksi bakteri yang berat : pneumonia, empiema, meningitis,
piomiositis, osteitis/arthritis, pelvic inflammatory disease, bakteriemia

Stadium IV : sakit berat, dengan penampilan sangat lemah, hampir selalu


berada di tempat tidur. >50% per hari dalam bulan terakhir.
- HIV wasting syndrome, keadaan sangat kurus disertai demam kronis
dan atau diare kronis
- Candidiasis esophagus/trakea/bronkus/paru
- Toxoplasmosis, abses di otak
- Cytomegalovirus (CMV) : retinitis atau organ lain, tidak termasuk hati.
limpa, dan kelenjar getah bening
- TBC ekstrapulmoner
- Mikobakterium non TBC
- Cryptococcus ekstrapulmoner, meningitis
- Cryptosporidiosis kronis
- Isosporiasis kronis
- Mikosis diseminata : histoplasmosis, coccidiomycosis
- Leishmania diseminata atipikal
- Pneumonia pnemocystis jiroveci
- Pneumonia bakterial berat berulang
- Septikemia berulang, termasuk Salmonella non tifoid
- Ensefalopati HIV
- Leukoensefalopati multifokal progresif
- Sarkoma Kaposi
- Limfoma sel B non Hodgkin
- Ca serviks invasive

Infeksi oportunistik pada penderita HIV/AIDS


Penyebab utama morbiditas dan mortalitas di antara pasien dengan stadium
lanjut infeksi HIV adalah infeksi oportunistik, yaitu infeksi berat yang diinduksi
oleh agen yang jarang menyebabkan penyakit serius pada individu yang
imunokompeten. Infeksi oportunistik biasanya tidak terjadi pada pasien yang
terinfeksi HIV hingga jumlah sel T CD4 turun dari kadar normal sekitar 1.000
sel/μl menjadi kurang dari 200 sel / μl. Ketika pengobatan terhadap beberapa
patogen oportunistik umum terbentuk dan penatalaksanaan pasien AIDS
memungkinkan ketahanan yang lebih lama, spektrum infeksi oportunistik
mengalami perubahan

Pada infeksi oleh human immunodeficiency virus (HIV) , tubuh secara gradual akan
mengalami penurunan imunitas akibat penurunan jumlah dan fungsi limfosit CD4. Pada
keadaan di mana jumlah dan fungsi limfosit CD4. Pada keadaan di mana jumlah limfosit
CD4 <200/ml atau kurang, sering terjadi gejala penyakit indikator AIDS. Spektrum
infeksi yang terjadi pada keadaan imunitas tubuh menurun pada infeksi HIV ini disebut
infeksi oportunistik (Merati, 2007). Perjalan menuju infeksi oportunistik pada pengidap
HIV sangat ditentukan oleh mekanisme regulasi imun pada tubuh pengidap HIV tersebut.
Regulasi imun ternyata dikendalikan oleh faktor genetik, imunogenetika, salah satunya
adalah sistem HLA yang pada setiap individu akan menunjukkan ekspresi yang
karakteristik. Pada awal masuknya HIV ke dalam tubuh manusia, mekanisme respon
imun yang terjadi adalah up regulation, tetapi lambat laun akan terjadi down regulation
karena kegagalan dalam mekanisme adaptasi dan terjadi exhausted dari sistem imun.
Keadaan ini menyebabkan tubuh pengidap HIV menjadi rentan terhadap infeksi
oportunistik.
Organisme penyebab IO adalah organisme yang merupakan flora normal, maupun
organisme patogen yang terdapat secara laten dalam tubuh yang kemudian mengalami
reaktivasi. Spektrum IO pada defisiensi imun akibat HIV secara umum mempunyai pola
tertentu dibandingkan IO pada defisiensi imun lainnya. Namun ada gambaran IO yang
spesifik untuk beberapa daerah tertentu. Semakin menurun jumlah limfosit CD4 semakin
berat manifestasi IO dan semakin sulit mengobati, bahkan sering mengakibatkan
kematian. Pegobatan dengan antiretroviral (ARV) dapat menekan replikasi HIV, sehingga
jumlah limfosit CD4 relatif stabil dalam jangka waktu panjang, dan keadaan ini
mencegah timbulnya infeksi oportunistik. Organisme yang sering menyebabkan IO
terdapat di lingkungan hidup kita yang terdekat, seperti air, tanah, atau organisme tersebut
memang berada dalam tubuh kita pada keadaan normal, atau tinggal secara laten lalu
mengalami reaktivasi
1. Penyakit kulit dan mulut
Pasien-pasien yang menderita AIDS (acquired immunodeficiency syndrome)
mengalami peningkatan risiko terjadinya sejumlah kelainan mukokutan, yaitu:
- Kandiasis mulut yang meluas ke dalam esofagus

- “Hairy leukoplakia” di mulut–terdapat kerutan-kerutan putih pada bagian tepi lidah


yang disebabkan oleh virus Epstein-Barr.
- Infeksi stafilokokus, herpes zoster, moluskum kontangiosum, dan infeksi jamur
dermatofit lebih mudah timbul pada pasien-pasien AIDS.
- Serangan herpes simpleks terjadi lebih sering dan lebih hebat, dan lesi-lesi bisa
menjadi kronis.
- Sarkoma Kaposi: suatu tumor yang dianggap berasal dari enotel pembuluh darah dan
ada hubungannya dengan infeksi human herpes virus type 8 (HHV-8). Lesi biasanya
multipel, dan dapat timbul pada bagian manapun di kulit, begitu pula pada bagian
organ-organ dalam. Kelainan ini jarang menyebabkan kematian pada pasien AIDS,
yang biasanya meninggal akibat terjadinya infeksi yang menyertainya. Merupakan
tumor yang radiosensitif.
- Psoriasis yang sudah ada sebelumnya pada pasien AIDS dapat menjadi lebih hebat
dan ekstensif.
- Angiomatosis basiler. Lesi ini disebabkan oleh basil Bartonella henselae.
- Angiomatosis basiler. Lesi ini disebabkan oleh basil Bartonella henselae. Lesi yang
seperti angioma ini terjadi pada kulit, mukosa, dan organ dalam. Kelainan ini dapat
diobati dengan eritromisin.
- Kelainan-kelainan terkait obat. Obat-obat antiretrovirus yang saat ini digunakan
secara luas untuk mengobati infeksi HIV dapat menyebabkan timbulnya bercak-
bercak pada kulit dan terjadinya pigmentasi pada kuku.
- Infeksi varicella-zoster virus (VZV) dapat menjadi buruk, kronis, dan dapat menjadi
komplikasi infeksi parenkim, superinfeksi bakterial, dan kematian. Dengan
peningkatan imunodefisiensi, infeksi VZV memiliki tampilan klinis seperti lesi
verukus dermatom kronik; satu atau lebih nyeri ulkus kronik tau lesi ektimatus,
ulkus, atau nodulmenyerupai karsinoma sel basal atau karsinoma sel squamos.
Herpes zoster dapat rekuren pada dermatom yang sama atau dermatom-dermatom
lainnya

2. Penyakit Gastrointestinal
Penyakit terkait HIV seringkali melibatkan saluran gastrointestinal (GI).
Penurunan berat badan dan selera makan merupakan gejala umum apapun
patologinya.
- Penyakit esofagus biasanya timbul dengan keluhan nyeri saat menelan dan disfagia.
Kandidiasis merupakan penyebab 80% kasus (terjadi pada 30% pasien dengan OCP).
Plak pseudomembranosa tampak saat pemeriksaan barium meal sebagai defek
pengisian (filling defects) dan saat endoskopi.
- Penyakit usus halus sering berhubungan dengan diare cair bervolume banyak, nyeri
perut dan malabsorpsi. Bila terdapat imunidefisiensi sedang (100-200 CD4 sel/mm3),
Cryptosporidium, mikrosporidium, dan Giardia merupakan penyebab yang mungkin.
Bila kadar CD4 <50 sel/mm3, Mycobacterium avium intercelluler (MAI) dan CMV
merupakan diagnosis alternatif.

- Penyakit usus besar timbul sebagai diare (sering berdarah) bervolume sedikit yang
disertai dengan nyeri perut. Suatu patogen enterik bakterial standar mungkin berperan
seperti Clostridium difficile. Kolitis CMV merupakan diagnosis penting pada pasien
dengan hitung CD4 rendah yang terjadi pada hingga 5% pasien. Penegakan diagnosis
diakukakn melalui endoskopi yang sering memperlihatkan ulkus dalam atau dangkal
yang konfluen atau segmental, serta dengan biopsi. Megakolon toksik, perdarahan,
dan perforasi dapat menyebabkan komplikasi pada infeksi.

3. Penyakit hepatobilier

- Penyakit bilier dapat menyebabkan komplikasi pada infeksi CMV, Crytosporidium,


atau mikrosporidium dalam bentuk kolangitis sklerosans atau kolesistitis akalkulia.
Manifestasinya adalah nyeri kuadran kanan atas, muntah, dan demam; ikterus jarang
terjadi. Pada kolangitis sklerosans, peningkatan fosfatase alkali dan γ-glutamil
transferase serum biasanya mendahului timbulnya ikterus. Pencitraan ultra sonografi
memperlihatkan pelebaran saluran empedu. Akan tetapi, endoscopic retrograde
cholangiopancreatography (ERCP) penting untuk memperlihatkan gambaran
menyerupai kabut intrahepatik dan ekstrahepatik yang khas untuk kolangitis
sklerosans.

- Penyakit hati dapat disebabkan oleh koinfeksi dengan HBV atau HCV. Koinfeksi
hepatitis B atau C menjadi masalah yang meningkat pada HIV. Pada kedua hepatitis
tersebut, viremia lebih tinggi dan penyakit lebih agresif. Pada koinfeksi HBV,
imunosupresi yang terlihat pada penyakit tahap lanjut dapat memberikan suatu
perlindungan, karena kerusakan hepar diperantarai oleh sistem imun. Stimulan imun
(interferon) dan antivirus (3TC, tenofovir) memiliki peran dalam pengobatan. Pada
hepatitis C, respons terhadap inerferon dan ribavirin tidak sebaik pada orang yang
HIV-negatif.

4. Penyakit Paru
Lebih dari setengah pasien-pasien dengan HIV akan mengalami penyakit
paru pada suatu waktu tertentu. Beberapa faktor mempengaruhi kemungkinan
penyebabnya termasuk hitung CD4, etnis, dan usia, kelompok risiko, serta riwayat
profilaksis PCP.

5. Kondisi diseminata dan lain-lain


Dalam keadaan deplesi imun yang berat (CD4<50 sel/mm3), penyakit
diseminata tidak jarang terjadi dan patogen OI multipel dapat diidentifikasi (misalnya
MAI, CMV). Seringkali manifestasinya adalah gejala nonspesifik berupa demam dan
penurunan berat badan dengan bukti anemia pada uji laboratorium.
1. Sumsum tulang. Anemia tidak jarang terjadi pada HIV tahap lanjut.
Penyebabnya banyak namun infiltrasi sumsum tulang (misalnya MAI, NHL),

Lokasi Penyakit Manifestasi Penyebab Utama


Otak Lesi desak ruang Toxoplasma,
PCNSL, PMFL
Ensefalopati HIV, CMV
Meningens Nyeri kepala, Serokonversi
meningitis HIV, cryptococus

supresi sumsum tulang (ZDV), kehilangan darah (sarkoma Kaposi


gastrointestinal), dan malabsorpsi (Cryptosporidium) adalah yang tersering.
Leukopenia biasanya terdapat pada keadaan penggantian sumsum tulang
seperti di atas atau toksisitas obat. Limfopenia merupakan penanda untuk
HIV dan fungsi imunologis. Trombositopenia dapat timbul pada awal (5-
10%) dengan manifestasi yang serupa dengan ITP: responsnya terhadap
imunoglobulin baik namun hanya jangka penek; pengobatan pilihan adalah
HAART.
2. Mycobacterium avium-intercellulare merupakan mikobakterium
lingkungan yang umumnya terdapat dalam air dan makanan. Infeksi terjadi
setelah kolonisasi slauran pernapasan dan gastrointestinal dalam sebagian
besar kasus. Penyakit diseminata:

a. Hanya terjadi bila hitung CD4 < 50 sel/mm3.

b. Mengenai semua organ (terutama sistem retikuloendotelial) dengan


infiltrasi masif organisme dan respons inflamasi minimal.

c. Timbul sebagai demam, berkeringat, penurunan berat badan, diare


kronik, muntah dan nyeri perut; hepatosplenomegali dan
limfadenopati biasa didapatkan pada pemeriksaan fisik. CT scan
biasanya menunjukkan limfadenopati intraabdomen dan
mediastinum.
B. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tes Diagnostik

 ELISA (enzyme-linked immunoabsorbent assay)


Tes skrining yang digunakan untuk mendiagnosis HIV adalah ELISA (enzyme-
linked immunoabsorbent assay). Untuk mengidentifikasi antibodi terhadap HIV, tes
ELISA sangat sensitif, tapi tidak selalu spesifik, karena penyakit lain juga bisa
menunjukkan hasil positif sehingga menyebabkan false positif, diantaranya penyakit
autoimun ataupun karena infeksi.16 Sensivitas ELISA antara 98,1%-100% dan dapat
mendeteksi adanya antibodi terhadap HIV dalam darah.
 Western Blot
Western Blot memiliki spesifisitas (kemampuan test untuk menemukan orang
yang tidak mengidap HIV) antara 99,6% - 100%. Namun pemeriksaannya cukup
sulit, mahal dan membutuhkan waktu sekitar 24 jam.30 Tes Western Blot mungkin
juga tidak bisa menyimpulkan seseorang menderita HIV atau tidak. Oleh karena itu,
tes harus diulangi setelah dua minggu dengan sampel yang sama. Jika test Western
Blot tetap tidak bisa disimpulkan, maka test Western Blot harus diulangi lagi setelah 6
bulan.
 PCR (Polymerase chain reaction).
PCR untuk DNA dan RNA virus HIV sangat sensitif dan spesifik untuk
infeksi HIV. Tes ini sering digunakan bila hasil tes yang lain tidak jelas.

Prosedur pemeriksaan laboratorium untuk HIV sesuai dengan panduan


nasional yang berlaku pada saat ini, yaitu dengan menggunakan strategi 3 dan
selalu didahului dengan konseling pra tes atau informasi singkat. Ketiga tes
tersebut dapat menggunakan reagen tes cepat atau dengan ELISA. Untuk
pemeriksaan pertama (A1) harus digunakan tes dengan sensitifitas yang tinggi
(>99%), sedang untuk pemeriksaan selanjutnya (A2 dan A3) menggunakan tes
dengan spesifisitas tinggi (>99%).
Antibodi biasanya baru dapat terdeteksi dalam waktu 2 minggu hingga 3
bulan setelah terinfeksi HIV yang disebut masa jendela. Bila tes HIV yang
dilakukan dalam masa jendela menunjukkan hasil ”negatif”, maka perlu dilakukan
tes ulang, terutama bila masih terdapat perilaku yang berisiko..

a. PENATALSANAAN
Penatalaksanaan penderita AIDS di UPIPI (Nasronudin, 2007)
a) Penatalaksanaan Umum
Istirahat, dukungan nutrisi yang memadai berbasis makronutrien dan
mikronutrien untuk penderita HIV&AIDS, konseling termasuk pendekatan psikologis
dan psikososial, membiasakan gaya hidup sehat antara lain membiasakan senam
seperti yang dilakukan di UPIPI.
b) Penatalaksanaan Khusus
Pemberian antiretroviral therapy (ART) kombinasi, terapi infeksi
sekunder sesuai jenis infeksi yang ditemukan, terapi malignansi.
Pemberian ARV tidak serta merta segera diberikan begitu saja pada
penderita yang dicurigai, tetapi perlu menempuh langkah-langkah
sebelumnya, serta mempertimbangkan berbagai faktor; dokter telah
memberikan penjelasan tentang manfaat, efek samping, resistensi dan tata cara
penggunaan ARV; kesanggupan dan kepatuhan penderita mengkonsumsi obat
dalam waktu yang tidak terbatas; serta saat yang tepat untuk memulai terapi
ARV.
Untuk ODHA yang akan memulai terapi ARV dalam keadaan jumlah
CD4 di bawah 200 sel/mm3 maka dianjurkan untuk memberikan
Kotrimoksasol (1x960mg sebagai pencegahan IO) 2 minggu sebelum terapi
ARV. Hal ini dimaksudkan untuk: 1. Mengkaji kepatuhan pasien untuk minum
obat,dan 2. Menyingkirkan kemungkinan efek samping tumpang tindih antara
kotrimoksasol dan obat ARV, mengingat bahwa banyak obat ARV
mempunyai efek samping yang sama dengan efek samping kotrimoksasol.
 Pengobatan pencegahan kotrimoksasol (PPK)

Beberapa infeksi oportunistik (IO) pada ODHA dapat dicegah dengan


pemberian pengobatan profilaksis. Terdapat dua macam pengobatan pencegahan,
yaitu profilaksis primer dan profilaksis sekunder.
- Profilaksis primer adalah pemberian pengobatan pencegahan untuk mencegah
suatu infeksi yang belum pernah diderita.
- Profilaksis sekunder adalah pemberian pengobatan pencegahan yang ditujukan
untuk mencegah berulangnya suatu infeksi yang pernah diderita sebelumnya
Berbagai penelitian telah membuktikan efektifitas pengobatan
pencegahan kotrimoksasol dalam menurunkan angka kematian dan kesakitan
pada orang yang terinfeksi HIV. Hal tersebut dikaitkan dengan penurunan
insidensi infeksi bakterial, parasit (Toxoplasma) dan Pneumocystis carinii
pneumonia (sekarang disebut P. jiroveci, disingkat sebagai PCP). Pemberian
kotrimoksasol untuk mencegah (secara primer maupun sekunder) terjadinya
PCP dan Toxoplasmosis disebut sebagai Pengobatan Pencegahan
Kotrimoksasol (PPK)
PPK dianjurkan bagi:
- ODHA yang bergejala (stadium klinis 2, 3, atau 4) termasuk perempuan hamil
dan menyusui. Walaupun secara teori kotrimoksasol dapat menimbulkan
kelainan kongenital, tetapi karena risiko yang mengancam jiwa pada ibu hamil
dengan jumlah CD4 yang rendah (<200) atau gejala klinis supresi imun
(stadium klinis 2, 3 atau 4), maka perempuan yang memerlukan kotrimoksasol
dan kemudian hamil harus melanjutkan profilaksis kotrimoksasol.
- ODHA dengan jumlah CD4 di bawah 200 sel/mm3 (apabila tersedia
pemeriksaan dan hasil CD4).
-

Indikasi Saat Penghentian Dosis Pemantauan


Bila tidak tersedia 2 tahun setelah Efek samping
pemeriksaan jumlah sel penggunaan kotrimoksasol berupa tanda
CD4, semua pasien jika mendapatkan ARV hipersensitivitas
diberikan kotrimoksasol seperti demam,
segera setelah dinyatakan rash, sindrom
HIV positif 960 mg/ hari dosis Steven Johnson,
Bila tersedia Bila sel CD4 > tunggal tanda penekanan
pemeriksaan 200 sel/mrn" pada sumsum tulang
jumlah sel CD4 pemeriksaan 2 kali seperti anemi,
dan terjangkau, interval 6 bulan trombositopeni,
kotrimoksasol berturut-turut jika lekopeni,
diberikan pada pasien mendapatkan ARV pansitopeni.
dengan jumlah CD4 Interaksi obat
< 200 sel/mm2 dengan ARV dan
Semua bayi lahir dari -Dihentikan pada usia Trimetropim obat lain yang
ibu hamil HIV positif 18 bulan dengan hasil 8-10 mg/ digunakan dalam
berusia 6 minggu tes HIV negatif kg BB pengobatan
-Jika tes HIV positif dosis penyakit terkait
dihentikan pada tunggal HIV.
usia 18 bulan bila
mendapatkan terapi ARV
 Tatalaksana infeksi oportunistik sebelum memulai terapi ARV (KEMENKES
2011)

Jenis Infeksi Oportunistik Rekomendasi


Progressive Multifocal ARV diberikan langsung setelah
Leukoencephalopathy, Sarkoma Kaposi, diagnosis infeksi ditegakkan
Mikrosporidiosis, CMV, Kriptosporidiosis
Tuberkulosis, PCP, Kriptokokosis, MAC ARV diberikan setidaknya 2 minggu
setelah pasien mendapatkan
pengobatan infeksi oportunistik

 Saat memulai terapi ARV

Untuk memulai terapi antiretroviral perlu dilakukan pemeriksaan jumlah CD4


(bila tersedia) dan penentuan stadium klinis infeksi HIV-nya. Hal tersebut adalah
untuk menentukan apakah penderita sudah memenuhi syarat terapi antiretroviral atau
belum. Berikut ini adalah rekomendasi cara memulai terapi ARV pada ODHA
dewasa.

a. Tidak tersedia pemeriksaan CD4


Dalam hal tidak tersedia pemeriksaan CD4, maka penentuan mulai terapi ARV
adalah didasarkan pada penilaian klinis.
b. Tersedia pemeriksaan CD4
- Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan jumlah CD4 <350 sel/mm3
tanpa memandang stadium klinisnya.
- Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu hamil dan
koinfeksi Hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4.
Target Populasi Stadium Klinis Jumlah sel CD4 Rekomendasi
ODHA dewasa Stadium Klinis >350 sel/mm3 Belum mulai terapi.
dan 2 Monitor gejala klinis
dan jumlah sel CD4
setiap 6-12 bulan
<350 sel/mm3 Mulai terapi
Stadium Klinis 3 Berapapun jumlah Mulai terapi
dan 4 sel CD4
Pasien dengan Apapun Stadium Berapapun jumlah Mulai terapi
ko-infeksi TB Klinis sel CD4
Pasien dengan Apapun Stadium Berapapun jumlah Mulai terapi
ko-infeksi Klinis sel CD4
Hepatitis B
Kronik aktif
Ibu Hamil Apapun Stadium Berapapun jumlah Mulai terapi
Klinis sel CD4

Prinsip dalam pemberian ARV adalah


1. Paduan obat ARV harus menggunakan 3 jenis obat yang terserap dan berada
dalam dosis terapeutik. Prinsip tersebut untuk menjamin efektivitas
penggunaan obat.
2. Membantu pasien agar patuh minum obat antara lain dengan mendekatkan
akses pelayanan ARV .
3. Menjaga kesinambungan ketersediaan obat ARV dengan menerapkan
manajemen logistik yang baik.
Ada empat kategori yaitu :

I. ReverseTranscriptase Inhibitors/RTI
1. Nukleoside RTI / NsRTI
a) Thymidine analogues
• Zidovudine/AZT (Azidothymidine)
• Stavudine/d4T
b) Non thymidine analogues
• Lamivudine/3TC
• Emtricitabine/FTC
• Didanosine. dd I
• Abacavir/ABC

2. Nukleotide RTI / NtRTI


• Tenofovir disoproxil fumarate/ TDF

3. Non Nukleoside RTI / NNRTI


• Nevirapine
• Delaviridine
• Efavirenz
• Etravirine
• Relvipirine
II. Protease Inhibitors/PI
• Saquinavir
• Indinavir
• Retonavir
• Nelfinavir
• Amprenavir
• Fosamprenavir
• Lopinavir
• Atazanavir
• Tipranavir
• Darunavir
III. Entry Inhibitors / EI
1 . Fusion Inhibitor
• Enfuvirtide/ T-20 yang berikatan dengan region HR1 pada gp 41
2. CCR5antagonist
• Maraviroc
IV. Integrase Inhibitors / II
• Raltegravir
• Elvitegravir

Anda mungkin juga menyukai