Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH TRANSCULTURAL NURSING

(Perbandingan Budaya dalam Konteks Beliefs,Values dan Lifeways dalam Siklus


Kehidupan Prenatal)

OLEH

KELOMPOK 2:

NURUL DINA FADHILAH (1811311024)

NUR AIDA AINI (1811311026)

YANG GUSTI MULYA (1811311028)

NURUL IZZAH LUBIS (1811311030)

ANNISA RAHMADHANI (1811311032)

NURUL FADILAH (1811311034)

ROKY FIRDAUS (1811311036)

DIAN RAHAYU (1811312002)

AZIZAH OKTAVIA (1811312004)

MIFTAHUL ROHIMAH (1811312006)

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS ANDALAS

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan
pertolongan-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Perbandingan Budaya
dalam Konteks Beliefs,Values dan Lifeways dalam Siklus Kehidupan Prenatal”.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Bu Windy Freska selaku dosen Keperawatan
Transkultural dan teman-teman yang sudah membantu kami dalam menyelesaikan makalah
ini dengan baik.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik
dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi
kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta
dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Tuhan Yang Maha Esa
senantiasa meridhoi segala usaha kita.

Padang, 18 Februari 2020

Kelompok 2

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN iii
1.1 Latar Belakang iii
1.2 Rumusan Masalah iii
1.3 Tujuan Penulisan iii
BAB II PEMBAHASAN 1
2.1 Perkawinan Dan Nilai Keluarga Dalam Berbagai Budaya ..1
2.2 Kehamilan Dalam Konteks Budaya ..2
2.3 Kelahiran Dan Budaya 3
2.4 Perawatan Postnatal 4
2.5 Genetik Dan Budaya Yang Diturunkan 7
2.6 Sterilisasi Dan Keluarga Berencana Dalam Budaya 8
2.7 Fertility Dan Infertility Dalam Konteks Budaya 9
2.8 Aborsi Dalam Konteks Budaya 11
2.9 Aplikasi Askep Peka Budaya Pada Prenatal 11
BAB III PENUTUP 22
3.1 Kesimpulan 22
3.2 Saran 22
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................23

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kebudayaan adalah buah karya yang diciptakan oleh manusia yang bisa
menjadi identitas suatu daerah atau masyarakat tertentu. Setiap kebudayaan selalu
memiliki ciri khas lokalitas. Sehingga meski ada dua daerah yang memiliki
kebudayaan yang sama, pasti tidak mungkin keseluruhannya sama dan akan memiliki
ciri khusus yang membedakan keduanya.
Pengaruh budaya terhadap status kesehatan masyarakat tidak bisa diabaikan
begitu saja, kesehatan merupakan bagian integral dari kebudayaan. Hasil riset
etnografi kesehatan tahun 2012 di 12 etnis di Indonesia menunjukkan masalah
kesehatan ibu dan anak terkait budaya kesehatan sangat memprihatinkan.
Dalam tatanan kehiduan berkeluarga, keberadaan anak mempunyai nilai
penting. Begitu bermaknanya keberadaan seseorang anak dalam sebuah keluarga
sehingga muncul anggapan dalam masyarakat bahwa keluarga baru dapat dikatakan
lengkap bila pasangan tersebut mampu menghasilkan anak. Masalah infertilitas pada
kenyataannya tidak hanya menjadi perhatian pasangan yang mendambakan keturunan.
WHO juga mempunyai kepedulian terhadap masalah infertilitas (Winarsih, 2000)

Kehamilan dan persalinan adalah fase krisis dalam kehidupan seorang wanita.
Peristiwa ini membawa dampak pada agaimana seorang wanita melewati fase transisi
untuk mnejadi ibu termasuk keadaan fisik dan mentalnya jug kesejahteraan keluarga
secara keseluruhan.Masyarakat di berbagai budaya memberi perhatian pada fase krisis
ini. Pada masa kehamilan ada banyak ritual yang harus dilakukan yang menandakan
bahwa masyarakt dibudaya manapun menganggap kehamilan sebagai peristiwa yang
luar biasa, bukan hanya dalam kehidupan wanita hamil itu sendiri tetapi juga suami
dan keluarganya. Beberapa kepercayaan yang ada seperti di Jawa Tengah, diantaranya
ibu hamil pantang makan telur karena akan mempersulit persalinan dan pantang
makan daging karena akan menyebabkan perdarahan yang banyak

1.2 Tujuan Penulisan


1. Tujuan Umum
Untuk meningkatkan pemahaman mahasiwa terkait Pemandingan budaya
dalam konteks beliefs, values dan lifeways dalam siklus kehidupan prenatal.
2. Tujuan Khusus
Mahasiwa mampu
1. Mengetahui perkawinan dan nilai kelurga dalam budaya jawa

iii
2. Mengetahui kehamilan dalam konteks budaya jawa
3. Mengetahui kelahiran dan budaya jawa
4. Mengetahui perawatan post natal pasien budaya jawa
5. Mengetahui genetik dan budaya yang diturunkan disuatu daerah di jawa
6. Mengetahui sterilisasi dan kelurga berencana dalam budaya jawa
7. Mengetahui Fertility dan infertility dalam konteks budaya jawa
8. Mengetahui aborsi dalam budaya jawa
9. Aplikasi askep peka budaya pada pre natal

iv
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Perkawinan dan nilai keluarga dalam budaya jawa

Upacara perkawinan suku Jawa ini sering dikenal orang sebagai suatu ritual/ upacara yang
cukup ribet karena ada begitu banyak prosesinya, yaitu ada 11 banyaknya yang meliputi
siraman, midodareni, injak telur, sikepan siundur, pangkuan, kacar kucur,dulang dulangan,
sungkeman, janur kuning, kembar mayang, dan tarub. Prosesi-prosesi ini tidak hanya
dilakukan tanpa makna tetapi sebenarnya memiliki makna dan nilai budaya yang sangat
indah.

Yang pertama adalah siraman yaitu suatu prosesi dimana kedua pengantin disiram
menggunakan air yang terdapat beraneka bunga di dalamnya. Prosesi ini mempunyai makna
kedua pengantin tersebut membasuh atau membersihkan diri mereka sebelum memasuki
suatu upacara atau ritual yang dianggap sakral ini.

Yang kedua ada midodaren yaitu suatu proses dimana kedua keluarga besar baik dari pihak
wanita maupun pihak pria melakukan silaturahmi pada saat malam sebelum pernikahan
dimulai keesokan harinya dengan cara pihak pria menghampiri kediaman
wanitanya.Midodareni sendiri diambil dari kata Jawa Widadari yang berarti bidadari yaitu
putri dari surga yang memiliki paras yang cantik dan wangi. Masyarakat tradisional Jawa
percaya bahwa pada malam Midodareni para bidadari akan turun ke bumi dan bertandang ke
kediaman calon pengantin wanita untuk menyempurnakan dan mempercantik pengantin
wanita

Yang ketiga adalah injak telur.Injak telur ini adalah suatu prosesi dimana mempelai wanita
menginjak telur dan sesudah menginjak telur tersebut ia membasuh kaki suaminya sebagai
suatu lambang kesetiaan sang istri kepada sang suami(www.idintimes.com).Makna spiritual
yang terkandung dalam prosesi injak telur merupakan suatu gambaran kehidupan rumah
tangga kelak agar tercapai kehidupan yang harmonis dan bahagia.

1
Suami istri harus bekerja sama dan saling membantu dalam menjalankan kehidupan rumah
tangganya. Tentunya dengan adat Jawa dilakukan ritual sebagai wujud penghormatan kepada
leluhur dan sekaligus untuk memohon keselamatan, perlindungan, kelancaran dan berkah
untuk keluarga baru yang akan segera dibina(eprints.ums.ac.id).

Yang keempat adalah sikepan siundur, yaitu suatu prosesi dimana kedua mempelai diikat
bersama dalam satu kain sindur oleh sang ibu dan dituntun menuju pelaminan oleh sang ayah.
Prosesi ini memiliki makna harapan orangtua agar kedua mempelai selalu erat

Yang kelima adalah pangkuan, yaitu dimana kedua mempelai duduk di atas pangkuan sang
ayah dari pihak wanita. Prosesi ini melambangkan suatu harapan agar kelak saatkedua
mempelai mempunyai keturunan,mereka dapat berbagi kasih secara adil seperti sang ayah

Yang keenam adalah kacar kucur, yaitu suatu prosesi dimana Mempelai pria akan
mengucurkan sebuah kantong yang diisi dengan biji-bijian, uang receh dan beras kuning ke
pangkuan wanita. Prosesi ini juga mempunyai makna bahwa tugas suami adalah mencari
nafkah dan tugas istri adalah untuk mengelolanya. Hal ini juga dapat melambangkan
kesejahteraan dalam rumah tangga.

Yang ketujuh adalah dulang dulangan, yaitu dimana kedua mempelai saling
menyuapi.Melambangkan dan mempunyai makna hidup rukun dan bisa saling tolong
menolong.

2.2 Kehamilan dalam konteks budaya

Pengaruh budaya terhadap status kesehatan masyarakat tidak bisa diabaikan begitu saja,
kesehatan merupakan bagian integral dari kebudayaan. Hasil riset etnografi kesehatan tahun
2012 di 12 etnis di Indonesia menunjukkan masalah kesehatan ibu dan anak terkait budaya
kesehatan sangat memprihatinkan. Keharusan untuk tetap bekerja keras sampai mendekati
persalinan bagi ibu hamil juga sangat membahayakan baik bagi ibu maupun janinnya.
Pemotongan tali pusat dengan sembilu (bambu yang ditipiskan dan berfungsi seperti pisau)
masih banyak digunakan untuk memotong tali pusat bayi yang baru dilahirkan.

Beberapa kepercayaan yang ada seperti di Jawa Tengah, diantaranya ibu hamil pantang
makan telur karena akan mempersulit persalinan dan pantang makan daging karena akan
menyebabkan perdarahan yang banyak. Demikian pula dengan di daerah Jawa Barat, ibu

2
yang kehamilannya memasuki 8-9 bulan sengaja harus mengurangi makannya agar bayi yang
dikandungnya kecil dan mudah dilahirkan. Akibatnya ibunya kurang gizi, berat badan bayi
yang dilahirkan juga rendah.

2.3 Praktik Budaya Perawatan Kehamilan

Penentuan seorang wanita sedang hamil di suku Baduy Dalam menurut salah seorang informan sangat
subjektif, yaitu selain tidak mendapati dirinya menstruasi bulanan, seorang isteri sendiri ada “rasa”
kalau dirinya hamil. Fenomena tabir mimpi juga salah satu yang diyakini sebagai pertanda kehamilan.

Wanita hamil di suku Baduy Dalam, ritual yang dijalani yaitu tradisi Kendit, ritual saat usia
kehamilan tujuh bulan dengan cara datang ke Puun (nyareat) dengan membawa seupaheun
(sirih, gambir dan apu) dan kanteh hideung (gelang kain berwarna hitam). Kanteh Hideung
diberi mantra dan dipakai selama 3 hari 3 malam. Makna Kendit ini diharapkan prosesi
kelahiran berjalan lancar. Selain tradisi kendit ada tradisi Ngaragap beuteung (pijit dibagian
perut) oleh Paraji (dukun beranak) sambil diusap menggunakan koneng bau

Selain dipijit, ibu hamil meminta jampi-jampi bagi keselamatan ibu dan janin yang
dikandung. Jampe-jampe (mantera) dari paraji melalui media panglai ada yang dimakan, ada
yang dibawa-bawa di badan sebagai perlindungan diri (tumbal). Namun tradisi Ngaragap
beuteung tidak wajib tergantung masing-masing individu termasuk juga untuk waktunya.
Ngaragap Beuteung bisa dilakukan sebulan dua kali atau sebulan sekali bahkan tidak sama
sekali.

Seperti penuturan salah seorang tokoh pemuda Suku Baduy Dalam, AK (28 tahun),
menejelsakan selain tradisi ada juga beberapa pantangan selama masa kehamilan baik
pantangan perilaku juga makanan. Pantangan tidak hanya berlaku bagi ibu yang sedang hamil
namun juga bagi suaminya

Pantangan selama hamil, isteri harus berjalan didepan suami, tidak boleh keluar rumah
setelah senja hari, cara membawa kayu bakar posisinya congokna kahareup. Pada hari rabu
dan sabtu ibu hamil tidak boleh dipijat, dilarang mengenakan apapun di bagian leher baik itu
kalung ataupun syal. Sedangkan pantangan makanan diantaranya adalah dilarang
mengkonsumsi sambal, durian, petai, nenas bisa mengakibatkan panas pada janin. Pantangan
lainnya, saat kehamilan memasuki bulan tua tidak boleh mengkonsumsi obatobatan kimia
sampai setelah bayi dilahirkan. Alasan tidak diberikan obat-obatan selama kehamilan
ditakutkan berdampak pada janin yang dikandung, kacang mentah (buat anak cacingan); cai

3
panas (janinnya nanti kepanasan). Makanan yang sebaiknya dikonsumsi oleh wanita yang
sedang hamil adalah minum air kelapa hijau, sedangkan selama hamil mengusap-usap pasir
ke perut Ibu yang diyakini bayi yang akan dilahirkan dalam kondisi bersih.

2.4 Praktik Budaya Perawatan Persalinan dan Nifas (perawatan post natal)

Pemilihan penolong persalinan di Suku Baduy Dalam mengikuti tradisi turun temurun yaitu

dilakukan sendiri tanpa pendampingan dukun paraji apalagi tenaga medis. Tenaga medis
dipanggil ketika mengalami kesulitan selama proses melahirkan, sehingga selama proses
melahirkan lancar cukup memanggil paraji.

Penjemputan paraji dilakukan ketika ibu sudah berhasil melahirkan bayinya. Prosesi
melahirkan Suku Baduy Dalam dilakukan dengan posisi Ibu duduk bersandar dengan posisi
kedua kaki diangkat nyaris seperti posisi jongkok.Tempat yang dipilih untuk bersalin hanya
ada dua pilihan tergantung keberadaan Ibu saat hendak melahirkan yaitu di rumah atau di
saung yaitu rumah yang didirikan di dekat huma atau ladang milik mereka.

Pendamping selama persalinan terkadang dibantu oleh ambu (ibu) atau saudara
perempuannya, meskipun tidak jarang ketika menghadapi pertaruhan hidup dan mati
dilakukan sendirian saja. Selama proses melahirkan, suami atau laki-laki tabu untuk
mendampingi. Peran sang calon ayah berlaku sesaat setelah bayi lahir yaitu bertugas
menjemput dukun paraji untuk memotong tali ari-ari, memandikan ibu dan bayi. Selama
ambu paraji belum datang, ibu yang baru melahirkan dan bayinya hanya bisa menunggu
dengan kondisi duduk dan bayi masih terhubung dengan ari-ari yang belum terputus. Tak
seorangpun boleh mendampingi bahkan suaminya sekalipun, saudara perempuan dan ambu
hanya menengok sesekali sampai dengan dukun paraji datang. Lama waktu menunggu dalam
rentang yang tidak sebentar bisa mencapai 1-6 jam tergantung keberadaan dan kesiapan
dukun paraji. Keberadaan dukun paraji tidak ada di setiap kampung, dengan jarak tempuh
antar kampung bisa mencapai dua sampai tiga kilometer dengan berjalan kaki. Kondisi Ibu
yang lemas, kehilangan banyak darah dan bayi hanya dibalut selimut tidak diperbolehkan
makan dan minum selama menunggu kedatangan dukun paraji.

Segera setelah Paraji datang, ayah menyiapkan hinis yaitu bambu untuk memotong tali ari-ari
bayi, bambu yang digunakan diambil dari bambu yang berada di dekat pintu. Makna yang
mereka percayai bahwa bambu dekat pintu adalah bambu terbaik dari yang ada. Selagi sang
ayah menyiapakan hinis, ambu paraji menyiapkan tali tereup, untuk mengikat tali ari-ari bayi

4
ketika hendak dipotong. Prosesi pemotongan tali ari-ari bayi diawali dengan dukun paraji
mengunyah panglai yang kemudian disemburkan kekiri-kekanan-keatas dan kearah baskom
yang berisi air yang nantinya digunakan untuk memandikan bayi. Mulut komat kamit
membaca jampe-jampe atau mantra selama lebih kurang lima menit dengan beberapa kali
menyemburkan panglai yang dikunyah ke dalam air untuk memandikan bayi. Selanjutnya
ambu paraji menempatkan posisi bayi di atas kakinya, kemudian tali ariari diikat
menggunakan tali teureup di bagian atas dan bawahnya. Pada bagian tali ari-ari yang hendak
dipotong, dipijit menggunakan lebu haneut yaitu abu dalam kondisi hangat hasil proses
pembakaran kayu bakar yang digunakan untuk memasak. Sesaat sebelum tali ari-ari
dipotong, ambu paraji kembali membancakan jampe dan setelah itu barulah tali ari-ari
dipotong menggunakan hinis dengan koneng santen sebagai alas.

Selanjutnya setelah merawat bayi, paraji melanjutkan dengan perawatan pada Ibu yang
selesai bersalin. Perawatan di sini tidak termasuk untuk perawatan pada bagian alat kelamin,
vagina ibu yang habis melahirkan tidak dilakukan tindakan apapun. Ibu sendiri yang
membersihkan darah yang keluar pada saat melahirkan dengan membasuhnya menggunakan
samping atau kain yang ada. Ritual yang dilakukan untuk perawatan pada ibu nifas (bufas)
adalah mandi dimana ibu berjalan bersama-sama dukun paraji menuju wahangan atau sungai
untuk dimandikan.

Ramuan dibalurkan ke seluruh badan terdiri dari campuran koneng tinggang, cikur,
lempuyang yang dihaluskan dengan cara ditumbuk. Kemudian selesai mandi, perut
dibenerkeun/ dipijit supaya rahim kembali ke posisinya. Selain itu juga lebu haneut (abu hasil
pembakaran kayu bakar dari hawu/ kompor) yang dibungkus daun kemudian ditempel ke
perut supaya perut tidak bengkak. Ramuan untuk ibu nifas (bufas) sampai dengan 7 hari
disebut dengan makan “sambal”. Sambal adalah campuran jahe, kencur, lempuyang, air yang
dihaluskan dan dimakan 2-3 kali dalam sehari. Selain sambal, ibu juga meminum air sirih
atau air hasil rebusan kulit pisitan atau rebusan daun kilampahan yang berfungsi untuk
membersihkan jalan lahir.

Adat berpakaian yang tidak diperbolehkan menggunakan pakaian dalam, maka darah nifas
yang dikeluarkan tidak menggunakan pernyataan informan darah nifas yang keluar hanya
dibersihkan menggunakan samping yang dikenakannya saja. Tidak ada kata istirahat bagi ibu
nifas Baduy Dalam, selesai dimandikan oleh dukun paraji selanjutnya menjalani aktifitas
seperti biasanya mulai mengurus rumah, mengurus anak dan mengurus suami tetapi belum

5
diperbolehkan untuk pergi ke huma. Berikut tahapan praktik budaya perawatan pada masa
postpartum pada ibu nifas:

• Hari ketiga disebut juga peureuhan tilu peuting yaitu dikasih tetes mata dari pucuk hanjuang
dan air jambe muda.

• Pada hari ketujuh dilakukan tradisi adat yaitu peureuhan tujuh poe, yaitu pedes, bawang
putih, jahe, jambe, pucuk hanjuang, kencur, koneng ditambah air kemudian diteteskan ke
mata.

• Angiran/gangiran, keramas di sungai untuk yang ditemani oleh paraji pada hari ke-40.

Kondisi ini tentunya mempengaruhi daya tahan dan kesehatan si bayi. 4 Hasil penelitian di
Kabupaten Jepara menunjukkan bahwa perilaku yang kurang mendukung selama masa nifas
yaitu pantang makanan tertentu lebih dikaitkan dengan si bayi antara lain agar ASI tidak
berbau amis antara lain daging dan ikan laut.

perilaku pemilihan penolong persalinan dukun sebagai aktor lokal dipercaya oleh masyarakat

sebagai tokoh kunci terutama yang berhubungan dengan kesehatan dan keselamatan. Pada
kasus persalinan, dukun tidak hanya berperan saat proses tersebut berlangsung, namun juga
pada saat upacaraupacara adat yang dipercaya membawa keselamatan bagi ibu dan anaknya
seperti upacara tujuh bulanan kehamilan sampai dengan 40 hari setelah kelahiran bayi.
Aktivitas ini tentunya tidak sama dengan apa yang dilakukan bidan sebagai tenaga paramedis,
dan hal ini juga yang membuat dukun memiliki tempat terhormat dan kepercayaan yang
tinggi di masyarakat. Kompleksitas permasalahan seputar persalinan membawa seorang ibu
dihadapkan pada pertaruhan hidup dan mati. Begitu banyak faktor mempengaruhi
keberhasilan proses persalinan, baik dari faktor internal ibu sebagai subyek dan faktor
eksternal yang salah satunya adalah adanya tradisi. Tradisi sebagai warisan leluhur sampai
saat ini sebagian masyarakat memilih cukup dengan mengetahuinya tanpa harus mengikuti,
sebagian lainnya masih memelihara dengan rapih sebagai pelaku tradisi itu sendiri. Suku
Baduy Dalam yang menasbihkan sebagai asal muasal lahirnya Suku Sunda merupakan salah
satu pelaku tradisi yang kuat memegang teguh tradisi dalam kehidupan sehari-harinya,
termasuk tradisi dalam persalinan. Sebagai pelaku tradisi, masyarakat Baduy Dalam
menerima dan menjalaninya saja, karena dalam tradisi hanya ada kepatuhan terhadap aturan
adat mutlak atau Pikukuh.

6
2.5 Genetik dan Budaya yang diturunkan disuatu Daerah di Jawa

Orang Kanekes atau orang Baduy adalah suatu kelompok masyarakat adat Sunda di
wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Sebutan "Baduy" merupakan sebutan yang diberikan oleh
penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti
Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang
merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena
adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut.
Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau "orang Kanekes" sesuai
dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka
seperti Urang Cibeo.

Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda dialek a–Banten. Untuk
berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa Indonesia,
walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang Kanekes
'dalam' tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita
nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja.

Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes mengaku keturunan dari
Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut
sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut
kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga Kanekes mempunyai tugas
bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia.Pendapat mengenai asal-usul
orang Kanekes berbeda dengan pendapat para ahli sejarah, yang mendasarkan pendapatnya
dengan cara sintesis dari beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut
Portugis dan Tiongkok, serta cerita rakyat mengenai 'Tatar Sunda' yang cukup minim
keberadaannya. Masyarakat Kanekes dikaitkan dengan Kerajaan Sunda yang sebelum
keruntuhannya pada abad ke-16 berpusat di Pakuan Pajajaran (sekitar Bogor sekarang).
Sebelum berdirinya Kesultanan Banten, wilayah ujung barat pulau Jawa ini merupakan
bagian penting dari Kerajaan Sunda. Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar.
Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk
pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah
tersebut, yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Umum menganggap bahwa kelestarian sungai
perlu dipertahankan. Untuk itu diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang sangat
terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah

7
Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut
tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat Baduy yang sampai sekarang masih mendiami
wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut (Adimihardja, 2000). Perbedaan
pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu, identitas dan
kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk melindungi komunitas
Baduy sendiri dari serangan musuh-musuh Pajajaran.

Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut sebagai Sunda Wiwitan berakar pada
pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada perkembangan selanjutnya
juga dipengaruhi oleh agama Budha, Hindu, dan Islam. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan
dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari
orang Kanekes (Garna, 1993). Isi terpenting dari 'pikukuh' (kepatuhan) Kanekes tersebut
adalah konsep "tanpa perubahan apapun", atau perubahan sesedikit mungkin: Lojor heunteu
beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung.(Panjang tidak bisa/tidak boleh
dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung)

Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes adalah Arca Domas, yang
lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. Orang Kanekes mengunjungi lokasi
tersebut untuk melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan Kalima, yang pada tahun 2003
bertepatan dengan bulan Juli. Hanya puun yang merupakan ketua adat tertinggi dan beberapa
anggota masyarakat terpilih saja yang mengikuti rombongan pemujaan tersebut. Di kompleks
Arca Domas tersebut terdapat batu lumpang yang menyimpan air hujan.

2.6 Sterilisasi dan Keluarga Berencana dalam Budaya Jawa

Pemakaian alat kontrasepsi atau ramuan pencegah kehamilan tidak dilakukan karena
bertentangan dengan aturan adat. Mereka yang menganggap mempunyai anak merupakan
kehendak Yang Maha Kuasa tidak menunda atau diatur jaraknya antara anak pertama dengan
kedua dan selanjutnya, sehingga semua dipasrahkan saja semua sudah takdirNya. Namun ada
ramuan yang diyakini untuk merapatkan vagina menggunakan capeu

yang direbus kemudian airnya diminum. Masa nifas dilalui sangat singkat oleh kaum ibu
Suku Baduy Dalam. Lama masa nifas antara 3 sampai dengan 7 hari, jika ada seorang bufas
yang masa nifasnya lebih dari 7 hari dianggap mengidap penyakit tertentu.

Aktifitas pergi ke ladang bisa dilakukan ibu nifas setelah tujuh hari. Namun,
meskipun darah nifas yang keluar hanya selama tiga sampai 7 hari, namun selama 40 hari

8
isteri tidak boleh berkumpul dulu dengan suami. Hubungan seksual antara suami dan isteri
dilakukan setelah isteri melakukan tradisi angiran/ngangiran yaitu keramas di sungai ditemani
oleh paraji pada hari ke-40. Menahan diri tidak melakukan hubungan suami isteri selama 40
hari dipercaya sebagai salah satu upaya pengaturan jarak usia antara anak pertama dan
selanjutnya. Ada juga yang tidak bisa menahan diri selama 40 hari, sehingga kemungkinan
yang terjadi mengakibatkan anaknya banyak.

2.7 Fertility dan infertility dalam konteks budaya

Ketidak mampuan untuk mempunyai anak adalah masalah yang dapat dialami oleh
laki-laki dan perempuan di manapun berada. Infertilitas adalah masalah pasangan. Masing-
masing pihak, suami dan istri, mempunyai kontribusi yang sama pentingnya terhadap potensi
fertilitas pasangan tersebut (Hinting, 1999; Okonufua dan Snow, 1995 dalam Winarsih, 2000;
Hatcher dalam Winarsih,2000).

Secara tradisi, kebermaknaan seorang anak dalam sebuah rumah tangga tidak lepas
dari nilai anak untuk memberi bantuan secara sosial, ekonomi dan psikologis kepada orang
tua (Beni dan Anggal, 2001; Yebei, 2000; Rahmani dan Abrar, 1999; Munir, Rozy, 1986).
Dari uraian di atas muncul suatu pertanyaan, bagaimana bila pasangan suami-istri tersebut
tidak mempunyai keturunan? Sementara itu, pandangan budaya dan agama secara eksplisit
mengemukakan bahwa salah satu fungsi dari lembaga perkawinan adalah untuk
menghasilkan keturunan. Dalam kehidupan bermasyarakat sering kita mengetahui
ketidakharmonisan rumah tangga karena tidak adanya anak sebagai buah dari suatu
perkawinan. Tidak jarang kondisi tersebut kemudian berakhir dengan terjadinya poligami dan
perceraian. Secara statistik belum ditemukan data yang mengemukakan besaran kejadian
poligami dan perceraian karena alasan tidak punya anak. Namun studi yang dilakukan
Rahmani dan Abrar (1999: 68–70) menunjukkan keterkaitan perceraian dengan faktor
ketidakadaan anak dalam keluarga. Dikemukakan bahwa lakilaki mempunyai kecenderungan
untuk melakukan perceraian berkaitan dengan faktor ketidakadaan anak.

Ketidakhadiran seorang anak dalam rumah tangga tentunya akan mempunyai


konsekuensi tersendiri. Kondisi yang tidak menggembirakan adalah satu kenyataan bahwa
kasus infertil dalam suatu lingkungan sosial budaya mengandung bias jender yang kuat. Di
antara orang-orang Ghana (Yebei, 2000: 134–135) kemandulan menyebabkan stigmatisasi,
perceraian, penyiksaan, penolakan dan penghilangan status sosial serta harga diri. Kesalahan
karena tidak mempunyai keturunan dibebankan kepada pihak perempuan. Perempuan

9
cenderung menjadi tumpuan kesalahan dari terjadinya infertilitas. Boleh jadi, bias jender
masih mewarnai masyarakat dalam mempersepsi infertilitas. Namun harus diakui bahwa laki-
laki dan perempuan secara biologis memberikan kontribusi yang sama terhadap timbulnya
masalah infertilitas. Secara sosial, keberadaan peran laki-laki yang menonjol pada masyarakat
dengan sistem budaya patriarkhi, akan menghadapkan lakilaki dengan kasus infertil pada
sorotan dan tekanan sosial. Terkait dengan sorotan dan tekanan tersebut Papreen (2000: 39)
menyatakan bahwa stigmatisasi kepada laki-laki tanpa keturunan sama dengan yang dialami
oleh perempuan infertil. Karena itu, studi ini bertujuan membahas masalah infertilitas secara
lebih mendalam dari perspektif laki-laki infertil, khususnya tentang bagaimana mengatasi
konsekuensi kondisi infertil.

Ada beberapa studi tentang anak hampir semua menunjukkan temuan yang serupa
bahwa fungsi dari keberadaan anak adalah untuk memberi bantuan secara sosial dan ekonomi
seperti melanjutkan keturunan, memperkuat ikatan perkawinan, membantu pekerjaan rumah
tangga dan sebagai jaminan untuk hari tua kelak bila orang tua sudah tidak produktif lagi.
Tidaklah berlebihan bila di mata masyarakat anak mempunyai nilai yang tinggi. Jika memang
demikian keadaannya, tentunya perkawinan yang tidak membuahkan keturunan akan
membawa implikasi sosial dan psikologis.

Terkait dengan tekanan sosial dan mental yang dihadapi laki-laki infertil khususnya
dalam lingkungan budaya patriarkhi, dari beberapa kasus di atas terlihat bahwa di lingkungan
masyarakat daerah studi sebagai komunitas di mana setiap anggotanya sadar akan kesamaan
wilayah, adat istiadat, rasa identitas komunitas dan adanya rasa loyalitas, tidak terlihat
memberikan kontribusi terhadap timbulnya tekanan sosial.

Tidak demikian halnya bila subjek berada di luar komunitas desanya. Keadaan ini
yang dialami oleh mereka yang berada di luar komunitas desa membuat mereka tidak
mempunyai tempat bersandar yang mampu memberikan reinforcement bila mengalami suatu
tekanan. Berbeda kondisinya dengan orang yang tidak terpapar dengan tekanan secara
langsung dan terus-menerus .Terjadinya persinggungan dengan komunitas dan budaya lain
akan memberikan suatu pandangan baru dan pengalaman lain terhadap bagaimana cara
menyikapi kondisi infertilnya.

Kenyataan yang dihadapi seseorang bahwa ia infertil membuat subjek merasa ada
sesuatu yang kurang darinya. Pada gambaran tiga kasus di atas, bentuknya berbeda-beda. Ada
yang merasa malu dan ada yang merasa bersalah. Namun dengan berjalannya waktu melewati

10
proses seperti pencarian pengobatan khususnya secara non medis dan berganti pasangan
seksual membuat subjek terpaksa menerima realitas kehidupan bahwa dia adalah sosok
infertil.

Ketidakhadiran seorang anak dalam rumah tangga tentunya akan mempunyai


konsekuensi tersendiri. Tidak diperolehnya anak oleh pasangan suami istri dalam masa
perkawinannya dapat menimbulkan kerugian moril dan materiil khususnya bila peristiwa itu
menimpa pada pasangan yang secara kualitas mampu mendidik dan membesarkan anak.
Dalam kehidupan bermasyarakat sering kita melihat dan mendengar ketidak harmonisan
rumah tangga karena tidak adanya anak sebagai buah dari suatu perkawinan. Tidak jarang
kondisi tersebut kemudian berakhir dengan terjadinya poligami dan perceraian.

Studi yang dilakukan Rahmani dan Abrar (1999) menunjukkan keterkaitan perceraian
dengan faktor ketidakadaan anak dalam keluarga. Dikemukakan bahwa laki-laki mempunyai
kecenderungan untuk melakukan perceraian berkaitan dengan faktor ketidakadaan anak.

2.8 Aborsi dalam Budaya Jawa

Mohon maaf kami tidak menemukan jurnal mauoun artikel terkait pokok pembahasan ini 

2.9 Aplikasi Askep Peka Budaya pada Pre Natal

KASUS :
Ny.Y umur 23 tahun, agama islam, pendidikan SMP, pekerjaan sebagai ibu rumah
tangga, klien menikah dengan Tn. S 26 tahun, agama islam, pendidikan SMA, pekerjaan
wiraswasta (penjaga toko), suku Sunda dan tinggal bersama mertuanya. Kehamilan ini
merupakan kehamilan yang pertama. Usia kehamilan 8 minggu. Ny.Y mendapat informasi
tentang kehamilan dari mertuanya. Ny.Y merasa pusing, lemas dan pucat selama 3 hari.
Kemudian Ny.Y memeriksakan keadaan dan kehamilannnya di rumah sakit. Setelah diperiksa
keadaannnya, seperti tensi, berat badan, tinggi badan, lingkar panggul, USG dan lain-lain.
Lalu, dokter memberi advis untuk cek darah yang dapat menunjang diagnosis ny.Y. Dari
hasil, pemeriksaan tersebut didapatkan bahwa kadar Hemoglobin (Hb)nya 8 mg/dl dan dari
hasil USG tersebut didapatkan bahwa bayi ny.Y adalah seorang perempuan dan sungsang.
Dokter menyimpulkan bahwa Ny.Y menderita anemia. Kemudian Dokter mengkaji pola
makan, istirahat, pola aktivitas dan lain-lainnya.
Dari hasil pengkajian tersebut, di daerahnya masih percaya pada sihir dan hal-hal
gaib. Pada saat istrinya hamil, suaminya maupun semua anggota keluarganya tidak boleh

11
membunuh binatang yang mengakibatkan nantinya anaknya lahir cacat dan didapatkan
pantangan makanan pada ibu hamil yang di yakini di daerahnya yaitu ibu hamil tidak boleh
makan ikan laut karena bisa menyebabkan Asinya menjadi Asin. Ny.Y sering mengkonsumsi
jamu yang dianjurkan mertuanya agar setelah bayinya lahir tidak amis. Kepercayaan tersebut
diyakini dan dipatuhi oleh mertua dan semua anggota keluarganya dari pihak laki-laki.
Dokter menganjurkan Ny.Y untuk mengurangi aktivitas yang berlebihan, sering berolahraga
(jalan-jalan), dianjurkan untuk melakukan senam hamil, istirahat yang cukup dan diberi obat/
vitamin penambah darah (Zat Besi). Dari hasil USG menyatakan bahwa bayi ny.Y sungsang
kemudian ny.Y dan mertuanya membawa ke dukun bayi untuk dipijatkan perutnya. Setelah
beberapa hari, keadaan ny.Y tidak membaik karena ny.Y tidak bisa atau jarang minum obat
yang diberikan oleh dokter. Akhirnya, ibu di rawat inap di RS. S.

Asuhan Keperawatan Transkultural Nursing


A. Pengkajian
1. Faktor Teknologi
Klien memeriksakan kehamilannya di dokter dan berencana akan melahirkan di
sana, Klien mendapat informasi tentang kehamilan dari mertua, Klien mengeluh
mengalami pusing, lemas dan pucat selama 3 hari. Klien biasa berobat ke dokter,
Klien masih percaya pada sihir dan hal-hal gaib pada saat wanita itu hamil.

2. Faktor agama dan filsafah hidup


a. Agama yang dianut yaitu agama islam
b. Kebiasaan agama yang berdampak positif terhadap kesehatan menurut aturan
yang dibuat oleh pemuka agama dan para santri bahwa bagi para laki-laki
yang istrinya hamil dilarang membunuh binatang.
c. Klien dan keluarga percaya bahwa membunuh binatang pada saat hamil bisa
membuat nantinya anaknya cacat (lahir tidak sempurna) klien merencanakan
akan berobat ke dokter. Klien masih mempercayai adanya hal-hal mistik,
seperti tidak boleh memakan ikan laut, sedangkan suaminya pantang untuk
membunuh binatang.

3. Faktor sosial dan keterikatan kekeluargaan


a. Nama lengkap : Ny. Y

12
b. Nama panggilan : Ny.Y
c. Umur : 23 tahun
d. Jenis kelamin : perempuan
e. Status : sudah menikah
f. Tipe keluarga : intim (tinggal sekeluarga tanpa ada keluarga lain)
g. Pengambilan keputusan dalam anggota keluarga : ada pada pihak laki-laki

4. Faktor nilai-nilai budaya dan gaya hidup


a. Makanan pantangan yaitu ikan laut. Ny.Y makan habis dengan 1 porsi 3x
sehari. Ibu jarang makan buah. Ibu sesekali minum jamu agar anaknya tidak
bau amis pada saat melahirkan. Ny.Y pergi ke dukun bayi untuk
membenahkan keadaan kehamilannya yang letak sungsang. Suaminya tidak
boleh membunuh binatang yang mengakibatkan anaknya lahir cacat (tidak
sempurna)
b. Persepsi sehat sakit berhubungan dengan aktifitas sehari-hari, yaitu:
1) Pasien memeriksakan kehamilannya di dokter dan berencana akan
melahirkan disana. Pasien jarang minum vitamin, pasien jarang
berolahraga.
2) Pasien mengeluh mengalami pusing, lemas dan pucat selama 3 hari, pasien
dianjurkan untuk mengurangi aktivitas yang berlebihan, sering berolahraga
(jalan-jalan), dianjurkan untuk melakukan senam hamil, istirahat yang
cukup dan diberi obat/ vitamin penambah darah (Zat Besi).

5. Faktor politik
Kebijakan dan peraturan RS, yaitu:
a. Alasan mereka datang ke RS
Karena pasien mengeluh pusing, lemas, dan pucat selama 3 hari.
b. Kebijakan yang didapat di RS
Klien di periksa keadaannnya seperti tensi, berat badan, tinggi badan, lingkar
panggul, USG, cek darah dan disuruh untuk mengurangi aktivitas yang
berlebihan, sering berolahraga (jalan-jalan), dianjurkan untuk melakukan
senam hamil, istirahat yang cukup dan diberi obat/ vitamin penambah darah
(Zat Besi).

13
6. Faktor ekonomi
a. Pekerjaan
Klien bekerja sebagai ibu rumah tangga
b. Sumber biaya pengobatan
Klien dan keluarga telah menyiapkan tabungan untuk persalinan klien
c. Sumber ekonomi yang dimanfaatkan klien
Klien menggunakan tabungannya untuk biaya bersalin

7. Faktor pendidikan
a. Pendidikan Ny.Y adalah SMP dan suaminya adalah SMA. Pekerjaan Ny.Y
adalah sebagai ibu rumah tangga dan suaminya sebagai wiraswasta (penjaga
toko).
b. Setelah di diagnosis anemia dan keadaan bayinya sungsang. Klien tidak
menerima dan merencanakan akan pergi ke dukun bayi. Kemampuan klien
masih minim karena masih percaya hal-hal gaib daripada medis

B. Analisa Data
No Data Masalah (P)
1. DS :
Klien mengatakan bahwa klien
lebih memilih untuk pergi ke
dukun bayi dan minum jamu
daripada minum obat setelah Ketidakpatuhan dalam pengobatan
disarankan untuk minum
vitamin secara teratur,
mengurangi aktivitas yang
berat, mengikuti senam hamil.
Ny.Y menganggap bahwa
minum jamu itu agar anaknya
tidak bau amis dan pergi ke
dukun bayi untuk membenahi
perutnya agar anaknya tidak
sungsang.
DO : -

14
2. DS :
 Klien mendapat informasi
tentang kehamilan dari
mertuanya. Gangguan interaksi sosial
 Klien percaya ibunya
melanggar pantangan dalam
sesaji.
 Hubungan kekerabatan yang
lebih dominan adalah laki-laki.
 Aturan dan kebijakan lebih
diatur oleh pemuka agama dan
para santri.
 Makanan pantangan untuk
perempuan adalah makan ikan
laut.
 Suami klien tidak boleh
membunuh binatang.
DO : -

3. DS :
 Klien percaya dengan sihir dan
hal-hal gaib.
 Pasien tidak percaya dan tidak
menerima diagnosa dari Kurang pengetahuan
dokter.
 Klien mempunyai pantangan
makan ikan laut.
 Klien minum jamu sesekali
supaya anaknya tidak amis.
DO :
 Pendidikan klien SMP.

15
C. Diagnosa
NO Diagnosa
1. Ketidakpatuhan dalam pengobatan berhubungan dengan sistem nilai yang diyakini.
2. Gangguan interaksi sosial berhubungan dengan disorientasi sosiokultur
3. Kurang penngetahuan berhubungan dengan kepercayaan dan sistem nilai yang dianut
klien tentang kehamilan.

D. Analisa Data
No Data Masalah (P)
1. DS :
Klien mengatakan bahwa klien
lebih memilih untuk pergi ke
dukun bayi dan minum jamu
daripada minum obat setelah Ketidakpatuhan dalam pengobatan
disarankan untuk minum
vitamin secara teratur,
mengurangi aktivitas yang
berat, mengikuti senam hamil.
Ny.Y menganggap bahwa
minum jamu itu agar anaknya
tidak bau amis dan pergi ke
dukun bayi untuk membenahi
perutnya agar anaknya tidak
sungsang.
DO : -
2. DS :
 Klien mendapat informasi
tentang kehamilan dari
mertuanya. Gangguan interaksi sosial
 Klien percaya ibunya
melanggar pantangan dalam
sesaji.

16
 Hubungan kekerabatan yang
lebih dominan adalah laki-laki.
 Aturan dan kebijakan lebih
diatur oleh pemuka agama dan
para santri.
 Makanan pantangan untuk
perempuan adalah makan ikan
laut.
 Suami klien tidak boleh
membunuh binatang.
DO : -
3. DS :
 Klien percaya dengan sihir dan
hal-hal gaib.
 Pasien tidak percaya dan tidak
menerima diagnosa dari Kurang pengetahuan
dokter.
 Klien mempunyai pantangan
makan ikan laut.
 Klien minum jamu sesekali
supaya anaknya tidak amis.
DO :
 Pendidikan klien SMP.

E. Diagnosa
NO Diagnosa
1. Ketidakpatuhan dalam pengobatan berhubungan dengan sistem nilai yang diyakini.
2. Gangguan interaksi sosial berhubungan dengan disorientasi sosiokultur
3. Kurang penngetahuan berhubungan dengan kepercayaan dan sistem nilai yang dianut
klien tentang.

Rencana Keperawatan
NO Dx Tujuan Rencana Kegiatan
1. 1 Setelah diberikan asuhan Melakukan pendekatan dengan cara
keperawatan selama (1x24 jam) Cultural Care Preserventation/

17
diharapkan klien mau patuh dalam Maintenance :
mengikuti pengobatan, dengan  Memelihara komunikasi yang sedang
Kriteria Hasil: terjalin dengan baik (tanpa ada masalah
 Klien bersedia untuk minum karena budaya) antara klien dengan
vitamin, makan yang perawat maupun klien dengan dokter
mengandung zat besi seperti atau klien dengan tenaga kesehatan
ikan laut. lain.
 Klien menerima diagnosa  Identifikasi perbedaan konsep antara
anemia dan letak sungsang perawat dan Ny. Y tersebut
oleh dokter.  Perbedaan konsep perawat dan Ny.Y
terletak pada kepercayaan Ny.Y yang
masih percaya pada sihir dan hal-hal
gaib.
 Perawat harus tenang dan tidak terburu-
buru berinteraksi dengan Ny.Y.
Perawat bisa perlahan-lahan untuk
berkomunikasi dengan Ny.Y.
 Lalu perawat bisa mendiskusikan
perbedaan budaya yang dimilikinya
dengan Ny.Y yang masih percaya
kepada dukun serta sihir dan hal-hal
gaib.
2. 2 Setelah diberikan asuhan Melakukan pendekatan dengan cara
keperawatan selama (1x24 jam) Cultural Care Accomodation/ Negotiation :
diharapkan Klien tidak mengalami  Bersikap tenang dan tidak terburu-buru
gangguan interaksi sosial. Dengan saat interaksi dengan klien, mencoba
Kriteria Hasil : memahami kebudayaan klien sepanjang
 Klien dan keluarga tidak tidak memperburuk proses intra natal
mengalami kesalahpahaman klien.
dalam hal kepercayaan.  Perawat bisa menggunakan bahasa
 Klien dan keluarganya dapat yang mudah di pahami oleh Ny.Y
memahami perbedaan seperti bahasa sehari-harinya.
persepsi yang mendukung  Kemudian dalam perencanaan
kesehatan klien. perawatan, perawat bisa melibatkan

18
keluarga Ny.Y seperti suami,ibunya
atau mertua Ny.Y.
 Jika konflik tidak terselesaikan,
lakukanlah negosiasi dengan Ny.Y
berdasarkan pengetahuan biomedis
perawat tersebut. Misalnya :
 Ikan Laut yang kaya akan Zat besi
yang berguna untuk pembentukan
myoglobin, yang membawa oksigen
ke jaringan otot dan hemoglobin yang
memberi oksigen ke darah dan
menjaga asupan yang cukup.
 Pergi ke dukun bayi, hal ini tidak di
benarkan karena memijat perut pada
saat kehamilan dapat mengakibatkan
hal yang membahayakan bayi yang
ada di dalam perutnya.
 Minum jamu, hal ini tidak dibenarkan
karena jamu mengandung campuran-
campuran / ramuan-ramuan yang
berbahaya yang bisa mengakibatkan
bayi menjadi kuning bahkan
meninggal dalam kandungan.
3. 3 Setelah diberikan asuhan Melakukan pendekatan dengan cara
keperawatan selama (1x24jam) Cultural Care Repartening /
diharapkan klien memahami Reconstruction:
tentang penyakit yang dialaminya o Memberikan informasi mengenai
dan cara penanganannya. Dengan kondisi klien dengan membantu klien
Kriteria Hasil : memilih serta menyarankan hal-hal
 Klien bersedia dilakukan yang dapat meningkatkan derajat
tinndakan kuretase. kesehatan klien. Sebagai contoh klien
 Klien mengetahui dan mempunyai pantangan untuk
mengerti jenis makanan yang mengkonsumsi makanan ikan laut
dapat meningkatkan kondisi dimana ikan laut itu sangat baik

19
kesehatannya. dikonsumsi karena mengandng zat besi
yang dibutuhkan oleh wanita hamil.
Kita bisa menyarankan klien untuk
lebih banyak makan daging, buncis,
sayuran hijau, kacang, kerang dan
produk padi yang diperkaya zat besi.
Sedangkan jamu bisa kita ganti dengan
vitamin dari buah-buahan maupun
resep dokter.
o Melibatkan keluarga untuk turut serta
memberikan pengertian kepada klien
bahwa makanan yang bergizi
membantu meningkatkan kondisi
kesehatannya.
o Selanjutnya perawat bisa memberikan
kesempatan pada Ny.Y untuk
memahami informasi yang telah
diberikan dan melakukannya.
o Lalu tentukan tingkat perbedaan Ny.Y
melihat dirinya dari budaya
kelompoknya sendiri.
o Kemudian gunakan pihak ketiga bila
perlu,seperti tetangga atau kerabat
dekat Ny.Y.
o Dan terjemahkan terminologi gejala
Ny.Y tersebut ke dalam bahasa
kesehatan yang mudah dipahami Ny.Y
dan orang tuanya.
o Terakhir berikan informasi pada Ny.Y
tentang sistem pelayanan kesehatan.

20
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Upacara perkawinan suku Jawa ini sering dikenal orang sebagai suatu ritual/ upacara
yang cukup ribet karena ada begitu banyak prosesinya, yaitu ada 11 banyaknya yang meliputi
siraman, midodareni, injak telur, sikepan siundur, pangkuan, kacar kucur,dulang dulangan,
sungkeman, janur kuning, kembar mayang, dan tarub. Beberapa kepercayaan yang ada seperti

21
di Jawa Tengah, diantaranya ibu hamil pantang makan telur karena akan mempersulit
persalinan dan pantang makan daging karena akan menyebabkan perdarahan yang banyak.
Demikian pula dengan di daerah Jawa Barat, ibu yang kehamilannya memasuki 8-9 bulan
sengaja harus mengurangi makannya agar bayi yang dikandungnya kecil dan mudah
dilahirkan. Akibatnya ibunya kurang gizi, berat badan bayi yang dilahirkan juga rendah.

Wanita hamil di suku Baduy Dalam, ritual yang dijalani yaitu tradisi Kendit, ritual saat
usia kehamilan tujuh bulan dengan cara datang ke Puun (nyareat) dengan membawa
seupaheun (sirih, gambir dan apu) dan kanteh hideung (gelang kain berwarna hitam).
Pantangan selama hamil, isteri harus berjalan didepan suami, tidak boleh keluar rumah
setelah senja hari, cara membawa kayu bakar posisinya congokna kahareup. Pada hari rabu
dan sabtu ibu hamil tidak boleh dipijat, dilarang mengenakan apapun di bagian leher baik itu
kalung ataupun syal. Sedangkan pantangan makanan diantaranya adalah dilarang
mengkonsumsi sambal, durian, petai, nenas bisa mengakibatkan panas pada janin. Pantangan
lainnya, saat kehamilan memasuki bulan tua tidak boleh mengkonsumsi obatobatan kimia
sampai setelah bayi dilahirkan.

3.2 Saran

Dengan disusunnya makalah ini, penulis berharap mahasiswa dapt memahami dengan
baik mengenai materi pembandingan budaya dalam konteks beliefs, values dan lifeways
dalam siklus kehidupan prenatal.

DAFTAR PUSTAKA

Arriandhi.Ari, (2018, Juli). Kepercayaan dan praktik budaya pada masa kehamilan
masyarakat desa karangsari, Kabupaten Garut. Jurnal Ilmu- Ilmu sosial dan Humaniora. Vol.20, No. 2,
162-167. Diakses pada tanggal 17 Februari 2020 pukul 16.00 Wib

22
Ipa, Mara : Adi Prasetyo, Joko: Kasnadihardjo, (2016, April). Praktik budaya perawat dalam
kehamilan persalinan dan nifas pada etnik budaya dalam,26-36. Diakses pada tanggal 16 Februari
2020 pukul 16.15 Wib

Suhupawati: Eka Mayasari, Dian, (2017, Desember). Upacara adat kelahiran sebagai nilai
sosial budaya pada masyarakat suku sasak desa pengadangan. Vol 2 No 2. Hl 15-23. Diakses pada
tanggal 16 Februari 2020 pukul 16.40

23

Anda mungkin juga menyukai