Anda di halaman 1dari 4

BAYANGAN DALAM HUJAN

Tes... tes... tes... . Dentingan suara hujan terdengar nyaring di atas genting
– genting rumah. Awan – awan hitam nan tebal membuat matahari enggan
menampakkan sinarnya. Udara dingin mulai menyeruak hingga ke sela – sela
rumah, membentuk bingkaian embun di setiap kaca. Hewan – hewan mulai masuk
ke rumahnya, menyisakan suara dengungan dari katak – katak yang menari
dibawah guyuran air hujan. Tumbuh – tumbuhan pun tak henti - hentinya
mengucap rasa syukur atas turunnya hujan ini. Para petani desa tersenyum karena
sawahnya yang tak lagi kering. Ya, hujan deras telah turun di kota ini dari satu
jam yang lalu. Kota yang selalu ramai akan aktivitas, mendadak sunyi menyisakan
suara nyaring hujan yang terus mengguyur bumi.
Di balik kaca tebal nan mewah dengan kusen yang berplitur coklat,
disitulah ia berada. Tersenyum sambil menatap adik sematawayangnya yang
tengah menari di bawah guyuran air hujan, tertawa riang bersama teman –
temannya. Baginya, cukup melihat senyum orang yang disayangi sudah
membuatnya ikut bahagia.
Ia membuka jendela kamarnya. Tangannya terulur keluar untuk merasakan
butiran – butiran hujan yang turun membasahi kulitnya.
“kakaaakk....” ucap anak berumur 5 tahun yang tengah melambai –
lambaikan tangan kearah kakaknya. Sementara yang disapa hanya membalas
dengan senyuman. Cantik sekali.
Baginya, hal sekecil apapun mampu membuatnya bahagia. Ia tak pernah
mengeluh pada Tuhan yang telah memberikan takdir yang demikian padanya.
Dapat hidup di tengah – tengah keluarga yang menyayanginya, sudah dirasa
cukup.
Cukup lama memandangi adiknya yanag sibuk tiduran di atas rumput
sambil menengadahkan wajahnya, tanpa ia sadari setetes air mata jatuh di pipi
tirusnya. Melihat wajah dan tingkah adiknya, seperti melihat figuran atas masa
kecilnya. Masa kecil yang indah sekali. Namun, semuanya berubah setelah
penyakit itu datang. Penyakit yang membuat dirinya patah semangat, dan terpaksa
memupus semua cita – citanya.
“Kau beruntung sekali sha, kau bisa melakukan apa yang ingin kau
lakukan. Tak seperti diriku” ucapnya sendu sambil menatap lurus. Pikirannya
kosong. Ia sibuk membayangkan masa kecilnya yang terlalu indah untuk
dilupakan.
Ia bangkit dari tempatnya. Mengusap air mata yang membasahi pipinya.
Lalu berjalan menuju meja belajarnya. Tangan lentik itu sibuk menari diatas
keyboard, yang akhir – akhir ini sering ia lakukan. Ya, ia sudah berjanji pada ibu,
untuk tak mengecewakannya. Ia akan tetap mewujudkan cita – citanya. Menjadi
penulis hebat. Dan membanggakan kedua orangtuanya. Ia akan tetap berjuang
sampai maut yang mengakhirinya.
***
“Alya..., cepat turun...! keburu sarapannya dingin loh.” Teriak Ibu dari
ruang makan. Akupun bergegas merapikan seragamku. Mengambil tasku, lalu
segera turun ke ruang makan sebelum kesabaran ibuku hilang.
“She lha mhat phaghi, khakhak khu Aylha lha poh...” sapanya dengan
mulut yang terisi penuh oleh nasi goreng masakan ibu. Siapa lagi kalau bukan
shasha. Adik kecil yang selalu membuatku tertawa olehnya.
“Di telan dulu dek, ntar keselek, terus nangis...” balasku sambil mengacak
– acak poninya yang tersisir dengan rapi.
“Ih.., khakhak... phonikhu jhadhi lhusak khann” protesnya tak terima, yang
hanya kubalas dengan alis terangkat, pertanda tak mendengarkannya. Kulihat ia
geram, dan membuka mulutnya hendak bersuara. Namun,
“uhuk, uhuk, uhuk, uhuk,” ia terbatuk beberapa kali sambil memegangi
lehernya, sontak membuatku menepuk – nepuk punggungknya. Sedangkan ibuku
menyodorkan segelas air.
“Makanya... kalau makan jangan banyak ngomong, jadi keselek kan...”
tutur ibuku sambil mengambil alih pekerjaanku menepuk nepuk punggungnya,
memerintahkanku dengan isyarat agar melanjutkan sarapanku yang sempat
tertunda.
“Kakak jahat, kalau shasha mati gimana” omelnya dengan wajah
cemberut, lalu mulai memasukkan sesendok nasi yang menggunung kedalam
mulut mungilnya. Alhasil nasi – nasi itupun jatuh berceceran di meja. Ahh, lucu
sekali.
“Kakak minta ma’af deh sha, tadi itu kakak gemes sama kamu. Kamu kan
lucu, imut, cantik pake banget.”
“Shasha lucu?” tanyanya lalu meminum segelas susu. Akupun
menggangguk, mengiyakannya.
“Shasha imut?” tanyanya lagi sambil mengusap bekas susu yang
menempel dimulutnya. Sementara aku mengangguk lagi.
“Shasha cantik?” tanyanya lagi, kali ini dia menatapku.
“Iya, shasha cantik. Soalnya kak Alya juga cantik” ucapku lalu mengacak
poninya kembali. Detik setelahnya, aku berlari menghampiri ibu dan berpamitan
padanya.
“Kakak jahaaatttt.... Shasha mayah sama kak Alya.” Teriaknya sambil
memukul – mukul meja.
SKIP
“Hai Al, apa kabar” sapanya ramah
“Baik Ge,” balasku tak kalah ramah. “Mau ke lapangan kan?”
“Iya, bareng yuk?” tanyanya yang kujawab dengan anggukan kepala.
Kami berdua pun berbincang – bincang dan bergandengan tangan sambil
terus berjalan menyusuri koridor sekolah menuju lapangan, karena sebentar lagi
pelajaran olahraga akan segera mulai.
PRIIITTTT....
Suara peluit dan suara tegas pak Gun mulai memenuhi lapangan. Para
murid segera berkumpul lalu membentuk lingkaran.
“Alya, kamu beneran mau ikut pelajaran olahraga? Nanti kalau nge drop
lagi gimana? Mendingan nggak usah dipaksain deh Al! Lagian semua guru kan
tahu kalau kamu itu sakit, bukan malas – malas an, cuman nggak ikut praktek
nggak akan ngaruhin rankingmu kok!” seru Keyra, sahabat Alya panjang lebar
dengan gurat kekhawatiran di wajahnya.
“ tenang aja Key, aku udah baikan kok! ga usah khawatir gitu dehhh,
kayak aku mau mati aja” ucapku spontan karena ingin fokus pada ucapan pak
Gun.
Beberapa detik kemudian, aku tersadar akan ucapanku tadi. ”kayak aku
mau mati aja” kapanpun aku bisa mati, entahlah, sudah 2 tahun aku menjalani
terapi ini, tapi selalu tak ada perkembangan. Biarlah, aku tak akan menyalahkan
siapapun. Aku siap menghadapi apapun yang akan terjadi. Diberi kesempatan
hidup yang lebih panjang ini saja, aku sangat bersyukur.
***
KRIINGG.....
Bel pulang sekolah berbunyi. Alya melangkahkan kakinya keluar gerbang
sekolah. Berjalan bergerombol bersama teman – temannya yang rumahnya juga
tak jauh dari sekolah. Ia sangat bersyukur atas kenikmatan hari ini. Ia bisa
melakukan aktivitas layaknya anak SMA yang lainnya. Ia berharap semoga
keadaannya semakin membaik, dan penyakitnya segera sembuh.
Awan – awan hitam mulai berkumpul. Bergerak bersama angin yang
membawanya ke daerah bersuhu rendah dan bersiap menumpahkan butiran –
butiran air hujan. ia mempercepat langkah kakinya, agar segera sampai kerumah
sebelum hujan turun. Namun, sepertinya tetesan air itu lebih dahulu turun sebelum
ia sampai di rumah.
Saat mulai memasuki halaman rumahnya, ia melihat adiknya yang tengah
menengadahkan tangan, menyambut tetes demi tetes air hujan turun. Ia
tersenyum, melihat adiknya, seperti melihat bayangan masa kecilnya. Tiba – tiba
ada kerinduan yang menyeruak dari hatinya. Ia ingin bermain hujan lagi.
Menikmati setiap tetesan air hujan yang membasahi kulitnya, dan tertawa bersama
adiknya.
Detik itupun air hujan turun dengan derasnya. Tekadnya telah bulat. Ia
ingin bermain hujan. ia menganggap dirinya telah sembuh. Tidak ada lagi Alya
yang sakit – sakitan. Tidak akan ada lagi Alya yang lemah.
10 menit bermain hujan, tiba – tiba kepalanya pusing, pandangannya kabur
dan berputar – putar. Beberapa detik kemudian, semuanya menjadi gelap. Ia
pingsan di bawah guyuran air huan. Dengan wajah yang pucat dan lengkungan
kecil di bibirnya.
“Kakaaakkk.....” teriak Shasha histeris sambil mengguncang – guncangkan
lengan kakaknya. Dengan segera, ia berlari masuk ke rumah seraya berteriak
memanggil ibunya.
“Ibuuuuu........ kak Alya jatuh di halaman telus tidul.” Adunya pada
Amira, yang membuat wanita itu kaget. Tak perlu berpikir dua kali, ibunya
menghampiri Alya yang tergeletak di bawah guyuran hujan yang deras.
***
“Allah... tolong selamatkan anakku...”
Mulut Amira tak henti – henti nya mengucap istighfar, dan terus memohon
pada yang kuasa supaya memberikan keselamatan pada putrinya yang sangat ia
sayang.
Setelah 15 menit menunggu, Dokter dan beberapa suster pun keluar.
“Gimana keadaan anak saya dok?”
“Maaf bu, kami sudah berusaha. Namun, sepertinya tuhan berkehendak
lain.”
DEG. Tubuhnya merosot diiringi dengan tangisan penyesalan. Ia mengingat
sepenggal perbincangannya sesaat sebelum alya meninggal.
“sebenarnya Alya sakit apa sih bu?”
“maafkan ibu nak, yang belum bisa merawatmu dengan baik....”
“katakan saja bu, aku tak mengapa. Apa yang sebenarnya terjadi
padaku?”
“kau...kau...”ucapnya terbata diiringi dengan deraian air mata.”kau
sudah divonis kena kanker stadium 4 nak,”
Tangisan Alya pecah. ia hampir saja putus asa saat mendengar kabar itu.
Tapi ia sadar, bahwa semuanya telah diatur oleh yang maha kuasa.
“tak usah menangis bu, semuanya sudah ada yang mengatur. Aku tak
marah pada siapapun. Ini sudah takdirku. Jika aku pergi nanti, tolong maafkan
semua kesalahanku bu.... terimakasih telah merawatku hingga sebesar ini.”
Mereka berdupun berpelukan dan menangis. Tiba – tiba pelukan itu
mengendur, hingga tangan Alya terjatuh. Lalu tangisan seisi kamar pun pecah.
sedih akan kehilangan sosok Alya yang baik.
***
Sejak sepeninggal Alya, adik kecilnya pun selalu menunggu hujan datang.
karena setiap hujan turun, disitulah kakaknya akan datang. Bermain
bersamamnya. Menikmati setiap tetes air hujan yang membasahi kulit.
“sudahlah sha, berhenti bermain hujan.... kau akan sakit nanti” teriak
Amira yang melihat anak bungsunya terus berlarian dibawah hujan
“Sebentar bu, aku masih rindu sama kakak...”
Mendengar jawaban putrinya, tangisnya kembali pecah. ia ingat sosok
Alya lagi. Alya yang sabar dan tabah mengahadapi semua bebannya.
“semoga kau mendapat tempat yang baik nak” ucapnya lirih.

Anda mungkin juga menyukai