Anda di halaman 1dari 5

A.

Mengkritisi Fenomena FGM


Mutilasi alat kelamin perempuan – atau Female Genital Mutilation (FGM) – mengacu
pada praktik pemotongan organ kelamin perempuan. Di Indonesia, praktik ini kerap disebut
dengan istilah khitan perempuan, sirkumsisi atau sunat perempuan; dengan prosedur yang
tentunya sangat beragam. WHO merumuskan 4 tipe praktik mutilasi alat kelamin perempuan,
yakni (1) pemotongan klitoris atau bagian klitoris perempuan; (2) pemotongan klitoris dan
bagian dalam bibir kemaluan perempuan; (3) pemotongan klitoris, bibir luar dan bibir dalam
kemaluan serta penjahitan hasil potongan tersebut; (4) pemotongan secara simbolis klitoris
maupun bagian lain kemaluan perempuan (Perempuan Bergerak, 2013: 6).
Laporan UNICEF (2016) menunjukkan bahwa lebih dari 200 juta perempuan dan anak-
anak di seluruh dunia menjadi korban sunat perempuan. Indonesia berada di peringkat ketiga
negara dengan angka sunat perempuan tertinggi di dunia setelah Mesir dan Etiopia. Menurut
laporan tersebut, separuh anak perempuan berusia di bawah 11 tahun atau sekitar 13,4 juta di
Indonesia (DW.com, 2016), dipaksa mengalami praktik yang melanggar hak perempuan atas
kesehatan, keamanan, kebebasan berpendapat, kebebasan dari penyiksaan dan perlakuan yang
merendahkan itu.
Dalam Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan (ICPD) yang diadakan
di Kairo, Mesir pada tahun 1994, WHO telah melarang praktik yang melanggar HAM ini dengan
alasan merusak dan membahayakan organ reproduksi perempuan (Nurcholish, 2015: 93). Selain
kesehatan reproduksi, mutilasi alat kelamin juga dinilai membahayakan psikologi perempuan
(Perempuan Bergerak, 2013). WHO dengan tegas mengeluarkan pedoman baru yang
mengatakan bahwa mutilasi alat kelamin perempuan merupakan pelanggaran Hak Asasi
Manusia. Untuk itu, WHO mendesak tenaga kesehatan profesional untuk meninggalkan prosedur
yang membahayakan kesehatan perempuan ini (IDN Times, 2018). Hal ini menunjukkan
komitmen masyarakat global untuk menghapus praktik sunat perempuan di dunia, yang juga
hingga saat ini masih banyak terjadi di banyak tempat di Indonesia.
Penelitian yang dilakukan oleh Pusat Kajian Gender dan Seksualitas Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (Puska GenSeks FISIP UI, 2015) ditujuh kota di
Indonesia – Medan, Ketapang, Gorontalo, Polewali Mandar, Sumenep, Bima, dan Ambon –
menunjukkan bahwa hampir semua praktik sunat perempuan di tempat-tempat tersebut dilakukan
secara sepihak, tanpa menanyakan pendapat dan persetujuan dari anak perempuan. Dalam
beberapa kasus, terdapat orang tua yang menanyakan persetujuan dari anak perempuannya untuk
melakukan praktik tersebut. Namun dalam praktiknya, orang tua sang anak tetap memberikan
tekanan dengan menanyakan hal tersebut secara terus menerus setiap tahunnya, sampai sang
anak menyetujui usulan orang tuanya. Hal ini berarti bahwa baik perempuan maupun anak
perempuan tidak memiliki pilihan untuk menolak praktik tersebut.
Pengaruh Adat dan Agama
Praktik mutilasi alat kelamin perempuan di negeri ini dilanggengkan melalui argumentasi
agama dan adat masyarakat setempat (tradisi). Nurcholis (2015) mengatakan, praktik sunat
perempuan sering kali dipandang memiliki muatan argumentasi agama dan diidentikkan dengan
ajaran Islam. Dalam Islam, istilah khitan secara terminologi dibedakan antara khitan laki-laki
dengan perempuan. Khitan laki-laki dalam fiqh berarti memotong sebagian kulit yang menutup
kepala penis atau kulup, sedangkan pada perempuan prosedur ini disebut dengan istilah khifadh.
Husein dalam buku “Mencintai Tuhan Mencintai Kesetaraan” (2014) mengatakan
bahwa khifadh secara literal berarti mengurangi, menyederhanakan, mengambil sedikit dan
pelan; menggoreskan atau menorehkan sedikit kulit bagian atas pada vagina dan tidak
disunahkan berlebihan. Hal tersebut dilakukan agar perempuan dapat tetap merasakan
kenikmatan ketika berhubungan seksual. Hal ini menunjukkan bahwa khifadh sebenarnya
bukanlah clitoridektomi, genital mutilation, atau genital circumsisi, yang mengacu pada
“pemotongan, pembedahan, penyunatan bagian reproduksi perempuan”. Bagi mayoritas ahli
hukum Islam, khitan bersifat wajib. Sedangkan Khifadh, di sisi lain bukanlah sesuatu yang
hukumnya sunah ataupun wajib melainkan makrumah. Makrumah sendiri merupakan istilah
yang tidak lazim dalam kategori hukum, yang diperkenalkan para ahli hukum Islam. Dari sini
para ulama kemudian memberikan interpretasi yang beragam, namun tidak satu pun dari mereka
yang memasukkan khifadh dalam kategori wajib.
Praktik mutilasi alat kelamin perempuan sudah berkembang sebelum lahirnya Islam di
kalangan suku bangsa Arab. Praktik ini juga diwajibkan dalam agama Yahudi dan Kristen.
Selain itu, praktik sunat perempuan juga sudah dilakukan di daerah Afrika, Asia dan Eropa masa
purba (Nurcholis, 2015). Meskipun gelombang penolakan terhadap praktik sunat perempuan
semakin gencar dan menguat, nyatanya masyarakat di berbagai daerah di Indonesia masih tetap
menjalankan praktik ini. Masyarakat masih menganggap sunat perempuan sebagai tradisi yang
bermanfaat, untuk membuat perempuan lebih terhormat dan terjaga (Legal Era Indonesia, 2017).
Sunat perempuan juga dilakukan sebagai ritual untuk “menyucikan” perempuan dan upaya untuk
mengontrol hasrat seksualnya (Puska GenSeks FISIP UI, 2015). Dalam hal ini, perempuan
dianggap sebagai manusia yang kotor, sehingga harus dibersihkan. Poin di atas agaknya kembali
menegaskan posisi perempuan sebagai subordinat (bawahan) dibandingkan dengan laki-laki; pun
dengan jalan yang tidak logis dan membahayakan kesehatannya.
Berbagai daerah memiliki tradisi sunat perempuan yang berbeda-beda, meskipun pada
praktiknya, seluruh tradisi tersebut mendiskreditkan (memperlemah kewibawaan) perempuan. Di
Gorontalo misalnya, sunat perempuan dikenal dengan istilah cubit kodo, yang dilakukan oleh
Dukun Bayi bernama mama biang; ritual ini dipraktikkan secara simbolis, dengan menempelkan
pisau kecil yang dibalut handuk ke klitoris. Bagi orang Gorontalo tradisi ini dinamakan Adat Mo
Polihu Lo atau mandi lemon, yang dilakukan ketika anak perempuan telah menginjak usia 2
tahun. Menurut tradisi ini, anak perempuan harus dikhitan agar bisa mengendalikan diri dari
sifat-sifat buruk (Legal Era Indonesia, 2017).
Di Bima, Nusa Tenggara Barat, ritual ini dikenal dengan nama saraso. Berbeda
praktiknya dengan cubit kodo yang notabene simbolis, praktik saraso melibatkan pemotongan
ujung klitoris anak perempuan (Puska GenSeks UI, 2015). Seperti dikutip dari Rappler (2016),
Peneliti Puska GenSeks UI Johanna Debora Imelda saat memaparkan penelitiannya dua tahun
lalu menemukan fakta bahwa di Bima, perempuan yang tidak melakukan tradisi tersebut diberi
stigma oleh masyarakat sebagai “perempuan binal”. Lebih lanjut, di daerah tersebut, jika laki-
laki ingin meminang perempuan, hal pertama yang ditanyakan kepada perempuan adalah apakah
ia sudah disunat atau belum.
Musdah Mulia dalam artikel “Sunat Perempuan dalam Perspektif Islam” (2014)
mengemukakan berbagai alasan yang semakin melanggengkan praktik ini, antara lain untuk
menjaga kelangsungan identitas budaya. Menurut masyarakat umum, menjalankan ritual tradisi
atau budaya merupakan tahap inisiasi yang penting bagi seorang perempuan, untuk memasuki
tahap kedewasaan dan menjadi bagian resmi dari sebuah kelompok masyarakat. Selanjutnya,
praktik ini juga dilanggengkan untuk menjaga status quo relasi gender yang timpang dan tidak
adil. Praktik sunat perempuan dilakukan untuk membentuk kepatuhan dan menegaskan
kelemahan perempuan, dengan cara meneror, dan memancing trauma di dalam diri perempuan.
Hal ini dilakukan untuk menegaskan peran perempuan di masyarakat. Terakhir, praktik ini juga
dilanggengkan untuk menjaga dan mengontrol seksualitas serta fungsi reproduksi perempuan.
Masyarakat meyakini bahwa sunat perempuan dapat digunakan sebagai mekanisme kontrol
hasrat seksual perempuan. Perempuan dilarang memiliki hasrat seksual yang menggebu-gebu
karena dianggap akan membahayakan masyarakat (Mulia, 2014).
Sementara itu, WHO menjelaskan bahwa praktik sunat perempuan ini sangat berisiko,
dan dapat menyebabkan gangguan fisik; baik gangguan fisik jangka pendek, maupun gangguan
fisik jangka panjang. Selain itu, praktik ini juga dapat menyebabkan gangguan mental, serta
gangguan kesehatan seksual dan reproduksi pada perempuan. Beberapa risiko tersebut di
antaranya adalah: infeksi saluran kencing, kista, kemandulan dan komplikasi dalam melahirkan
(BBC, 2013). Dampak jangka pendek sunat perempuan yang dialami oleh perempuan yaitu
pendarahan, infeksi pada seluruh organ panggul, tetanus serta retensi urine karena
pembengkakan dan sumbatan pada uretra. Hal-hal tersebut berpotensi menyebabkan kematian.
Selain itu, sunat perempuan juga berdampak jangka panjang, di antaranya rasa sakit
berkepanjangan saat berhubungan seksual, disfungsi seksual, disfungsi haid, dan infeksi saluran
kemih kronis.
Butuh Komitmen Pemerintah
Pemerintah terlihat gamang dalam menentukan sikapnya terkait sunat perempuan.
Kegamangan ini terlihat dari pasang surutnya kebijakan terkait penghapusan sunat perempuan di
Indonesia. Sebenarnya, pada tahun 2006 Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah membuat
kebijakan yang melarang segala bentuk praktik sunat perempuan. Namun, kebijakan ini
ditentang oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang mendesak Kemenkes untuk mencabut
larangan tersebut.
Pada tahun 2010 Kemenkes mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes)
Nomor 1636 tentang sunat perempuan yang bukan berisi tentang pelarangan praktik sunat
perempuan, dan petunjuk pelaksanaan bagi tenaga kesehatan untuk melakukan sunat perempuan.
Saat ini Permenkes tersebut telah dicabut dan dinyatakan tidak lagi berlaku melalui Permenkes
Nomor 6 Tahun 2014. Peraturan ini memberikan mandat kepada Majelis Pertimbangan
Kesehatan dan Syara’ untuk menerbitkan pedoman penyelenggaraan sunat perempuan yang
menjamin keselamatan dan kesehatan perempuan yang disunat, serta tidak melakukan mutilasi
alat kelamin perempuan (IDN Times, 2018). Artinya, pemerintah tidak tegas dalam menentukan
kebijakan. Di satu sisi, pemerintah menyatakan bahwa praktik ini dilarang dalam prosedur
medis. Namun, pemerintah seolah menutup mata dan menolak bertanggung jawab atas praktik
yang terus dilakukan atas dasar tradisi dan agama (non-medis).
Inkonsistensi ini kembali ditunjukkan oleh pemerintah saat menolak indikator
pada goal  (tujuan) 5 Sustainable Development Goals (SDGs), pada tahun 2016. Target SDGs 5.3
tentang penghilangan semua praktik-praktik berbahaya terhadap perempuan dan anak
perempuan, memiliki turunan indikator global berupa ‘persentase anak perempuan dan
perempuan berusia 15-49 tahun yang telah menjalani praktik sunat perempuan menurut
kelompok umur’. Alasan penolakan pemerintah yakni belum adanya Kementerian/Lembaga yang
memegang tanggung jawab untuk indikator ini, termasuk penyediaan datanya (SDG Indonesia
2030, 2016). Saat itu masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil
untuk Sustainable Development Goals (SDGs) mengkritisi sikap pemerintah dengan
menekankan Pentingnya Indikator Sunat Perempuan dalam Tujuan 5 SDGs bagi Indonesia.
Menanggapi berbagai kritik terkait praktik sunat perempuan di Indonesia, Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) dalam siaran persnya (2016) pernah
menyatakan bahwa pihaknya membutuhkan waktu dalam menyamakan persepsi antara
terminologi mutilasi alat kelamin perempuan dengan praktik sunat perempuan di Indonesia.
Pasalnya, menurut Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise,
dalam pelaksanaannya praktik sunat perempuan dan mutilasi alat kelamin perempuan merupakan
dua hal yang berbeda. Pemerintah Indonesia sendiri telah membuat beberapa kebijakan untuk
mengontrol prosedur sunat perempuan (KPPPA, 2016).
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan)
mengatakan bahwa sunat yang dilakukan terhadap perempuan dan anak perempuan walaupun
dengan simbolis dengan menyayat atau mengoles kunyit tetaplah merupakan tindak kekerasan
(BBC, 2013). Problematika sunat perempuan yang dialami oleh anak perempuan dan perempuan
lebih rumit daripada hanya sekadar membedakan metodenya saja; sunat atau mutilasi alat
kelamin perempuan. Sangat jelas bahwa apapun bentuknya, sunat perempuan merupakan praktik
yang merendahkan martabat dan membahayakan perempuan dan anak perempuan.
Meskipun kini di Indonesia sudah ada peraturan yang melarang praktik medis sunat
perempuan, namun masalah terkait sunat perempuan ini masih jauh dari kata selesai. Pengurus
Nasional Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Atashendartini Habsjah
menegaskan, praktik sunat perempuan merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang
cukup serius; mencakup pelanggaran hak perempuan dan hak anak. Praktik ini tidak adil karena
atas nama agama dan tradisi, perempuan dipaksa untuk mengalaminya tanpa bisa memilih
(Kalyana Mitra, 2013). Untuk itu, demi kehidupan yang lebih bermartabat dan menjunjung tinggi
nilai-nilai kemanusiaan maka sudah seharusnya praktik ini dihapuskan.
REFERENSI
Perempuan Bergerak Edisi III. 2013. Khitan Perempuan: Praktik Purba yang Harus
Dihapuskan. Jakarta.
BBC. 2013. Komnas Kecam Surat Perempuan. Diakses
melalui: http://www.bbc.com/indonesia/laporan_khusus/2013/02/130204_komnassunat
BBC. 2013. WHO Peringatkan Risiko Mandul Akibat Sunat Perempuan. Diakses
melalui: http://www.bbc.com/indonesia/laporan_khusus/2013/02/130205_whosunatpere
mpuan
DW. 2016. Mutilasi Genital pada Perempuan, Indonesia Ketiga Terbanyak. Diakses
melalui: http://www.dw.com/id/mutilasi-genital-pada-perempuan-indonesia-ketiga-
terbanyak/a-19028891
IDN Times. 2018. Sunat Perempuan di Indonesia, Pantaskah Budaya Ini
Dipertahankan? Diakses melalui: https://life.idntimes.com/women/pinka-wima/sunat-
perempuan-di-indonesia-pantaskah-budaya-ini-dipertahankan-1/full
Kalyana Mitra. 2013. Khitan Perempuan: Praktik Budaya yang Masih Dilakukan. Diakses
melalui: http://www.kalyanamitra.or.id/2013/06/khitan-perempuan-praktik-budaya-
yang-masih-dilakukan/
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. 2016. Siaran Pers: Menteri PP
& PA: Butuh Waktu Menyamakan Persepsi FGM dan Sunat Perempuan. Diakses
melalui: https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/855/press-release-
menteri-pp-pa-butuh-waktu-menyamakan-persepsi-fgm-dan-sunat-perempuan
Legal Era Indonesia. 2017. Khitan Wanita Bentuk Pelanggaran HAM? Diakses
melalui: https://legaleraindonesia.com/khitan-wanita-bentuk-pelanggaran-ham/
Muhammad, KH. Husein. 2014. Mencintai Tuhan Mencintai Kesetaraan. Elex Media
Komputindo.
Mulia, Musdah. 2014.  Sunat Perempuan dalam Perspektif Islam. Diakses
melalui: https://www.jurnalperempuan.org/blog/sunat-perempuan-dalam-perspektif-
islam
Nurcholis, Ahmad, Fathuri, SR. 2015. Seksualitas dan Agama: Kesehatan Reproduksi dalam
Perspektif Agama-Agama. PT Elex Media Komputindo: Jakarta.
Pusat Kajian Gender dan Seksualitas Universitas Indonesia. 2015. Kajian Komprehensif Praktik
Sunat Perempuan di 7 Provinsi di Indonesia.
Rappler. 2016. Sunat perempuan, ritual diskriminatif yang terus melebar. Diakses
melalui: https://www.rappler.com/indonesia/153984-menghentikan-sunat-perempuan
SDG 2030 Indonesia. 2017. Pentingnya Indikator Sunat Perempuan dalam Goal 5 SDGs bagi
Indonesia. Diakses melalui: http://www.sdg2030indonesia.org/news/4-pentingnya-
indikator-sunat-perempuan-dalam-goal-5-sdgs-bagi-indonesia

Anda mungkin juga menyukai