Anda di halaman 1dari 6

Oleh: Ryan A.

Syakur
Sejak 15 tahun yang lalu, setiap tanggal 6 Februari, dunia memperingati Hari Internasional
Tidak Ada Toleransi bagi Mutilasi Alat Kelamin Perempuan – International Day of Zero
Tolerance for Female Genital Mutilation. Hingga saat ini, praktik tersebut masih banyak
ditemukan di negara-negara Afrika dan Asia, termasuk Indonesia. Badan Kesehatan Dunia –
WHO menyatakan dengan tegas bahwa sunat perempuan merupakan salah satu bentuk
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Artinya, masyarakat dunia harus berkomitmen
secara penuh untuk menghapuskan praktik-praktik tersebut.
Mutilasi alat kelamin perempuan – atau Female Genital Mutilation (FGM) – mengacu pada
praktik pemotongan organ kelamin perempuan. Di Indonesia, praktik ini kerap disebut dengan
istilah khitan perempuan, sirkumsisi atau sunat perempuan; dengan prosedur yang tentunya
sangat beragam. WHO merumuskan 4 tipe praktik mutilasi alat kelamin perempuan, yakni (1)
pemotongan klitoris atau bagian klitoris perempuan; (2) pemotongan klitoris dan bagian dalam
bibir kemaluan perempuan; (3) pemotongan klitoris, bibir luar dan bibir dalam kemaluan serta
penjahitan hasil potongan tersebut; (4) pemotongan secara simbolis klitoris maupun bagian lain
kemaluan perempuan (Perempuan Bergerak, 2013: 6).
Laporan UNICEF (2016) menunjukkan bahwa lebih dari 200 juta perempuan dan anak-anak di
seluruh dunia menjadi korban sunat perempuan. Indonesia berada di peringkat ketiga negara
dengan angka sunat perempuan tertinggi di dunia setelah Mesir dan Etiopia. Menurut laporan
tersebut, separuh anak perempuan berusia di bawah 11 tahun atau sekitar 13,4 juta di Indonesia
(DW.com, 2016), dipaksa mengalami praktik yang melanggar hak perempuan atas kesehatan,
keamanan, kebebasan berpendapat, kebebasan dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan
itu.
Dalam Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan (ICPD) yang diadakan di
Kairo, Mesir pada tahun 1994, WHO telah melarang praktik yang melanggar HAM ini dengan
alasan merusak dan membahayakan organ reproduksi perempuan (Nurcholish, 2015: 93). Selain
kesehatan reproduksi, mutilasi alat kelamin juga dinilai membahayakan psikologi perempuan
(Perempuan Bergerak, 2013). WHO dengan tegas mengeluarkan pedoman baru yang
mengatakan bahwa mutilasi alat kelamin perempuan merupakan pelanggaran Hak Asasi
Manusia. Untuk itu, WHO mendesak tenaga kesehatan profesional untuk meninggalkan prosedur
yang membahayakan kesehatan perempuan ini (IDN Times, 2018). Hal ini menunjukkan
komitmen masyarakat global untuk menghapus praktik sunat perempuan di dunia, yang juga
hingga saat ini masih banyak terjadi di banyak tempat di Indonesia.
Penelitian yang dilakukan oleh Pusat Kajian Gender dan Seksualitas Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Indonesia (Puska GenSeks FISIP UI, 2015) ditujuh kota di Indonesia –
Medan, Ketapang, Gorontalo, Polewali Mandar, Sumenep, Bima, dan Ambon – menunjukkan
bahwa hampir semua praktik sunat perempuan di tempat-tempat tersebut dilakukan secara
sepihak, tanpa menanyakan pendapat dan persetujuan dari anak perempuan. Dalam beberapa
kasus, terdapat orang tua yang menanyakan persetujuan dari anak perempuannya untuk
melakukan praktik tersebut. Namun dalam praktiknya, orang tua sang anak tetap memberikan
tekanan dengan menanyakan hal tersebut secara terus menerus setiap tahunnya, sampai sang
anak menyetujui usulan orang tuanya. Hal ini berarti bahwa baik perempuan maupun anak
perempuan tidak memiliki pilihan untuk menolak praktik tersebut.
Pengaruh Adat dan Agama
Praktik mutilasi alat kelamin perempuan di negeri ini dilanggengkan melalui argumentasi agama
dan adat masyarakat setempat (tradisi). Nurcholis (2015) mengatakan, praktik sunat perempuan
sering kali dipandang memiliki muatan argumentasi agama dan diidentikkan dengan ajaran
Islam. Dalam Islam, istilah khitan secara terminologi dibedakan antara khitan laki-laki dengan
perempuan. Khitan laki-laki dalam fiqh berarti memotong sebagian kulit yang menutup kepala
penis atau kulup, sedangkan pada perempuan prosedur ini disebut dengan istilah khifadh.
Husein dalam buku “Mencintai Tuhan Mencintai Kesetaraan” (2014) mengatakan
bahwa khifadh secara literal berarti mengurangi, menyederhanakan, mengambil sedikit dan
pelan; menggoreskan atau menorehkan sedikit kulit bagian atas pada vagina dan tidak
disunahkan berlebihan. Hal tersebut dilakukan agar perempuan dapat tetap merasakan
kenikmatan ketika berhubungan seksual. Hal ini menunjukkan bahwa khifadh sebenarnya
bukanlah clitoridektomi, genital mutilation, atau genital circumsisi, yang mengacu pada
“pemotongan, pembedahan, penyunatan bagian reproduksi perempuan”. Bagi mayoritas ahli
hukum Islam, khitan bersifat wajib. Sedangkan Khifadh, di sisi lain bukanlah sesuatu yang
hukumnya sunah ataupun wajib melainkan makrumah. Makrumah sendiri merupakan istilah
yang tidak lazim dalam kategori hukum, yang diperkenalkan para ahli hukum Islam. Dari sini
para ulama kemudian memberikan interpretasi yang beragam, namun tidak satu pun dari mereka
yang memasukkan khifadh dalam kategori wajib.
Praktik mutilasi alat kelamin perempuan sudah berkembang sebelum lahirnya Islam di kalangan
suku bangsa Arab. Praktik ini juga diwajibkan dalam agama Yahudi dan Kristen. Selain itu,
praktik sunat perempuan juga sudah dilakukan di daerah Afrika, Asia dan Eropa masa purba
(Nurcholis, 2015). Meskipun gelombang penolakan terhadap praktik sunat perempuan semakin
gencar dan menguat, nyatanya masyarakat di berbagai daerah di Indonesia masih tetap
menjalankan praktik ini. Masyarakat masih menganggap sunat perempuan sebagai tradisi yang
bermanfaat, untuk membuat perempuan lebih terhormat dan terjaga (Legal Era Indonesia, 2017).
Sunat perempuan juga dilakukan sebagai ritual untuk “menyucikan” perempuan dan upaya untuk
mengontrol hasrat seksualnya (Puska GenSeks FISIP UI, 2015). Dalam hal ini, perempuan
dianggap sebagai manusia yang kotor, sehingga harus dibersihkan. Poin di atas agaknya kembali
menegaskan posisiperempuan sebagai subordinat dibandingkan dengan laki-laki; pun dengan
jalan yang tidak logis dan membahayakan kesehatannya.
Berbagai daerah memiliki tradisi sunat perempuan yang berbeda-beda, meskipun pada
praktiknya, seluruh tradisi tersebut mendiskreditkan perempuan. Di Gorontalo misalnya, sunat
perempuan dikenal dengan istilah cubit kodo, yang dilakukan oleh Dukun Bayi bernama mama
biang; ritual ini dipraktikkan secara simbolis, dengan menempelkan pisau kecil yang dibalut
handuk ke klitoris. Bagi orang Gorontalo tradisi ini dinamakan Adat Mo Polihu Lo atau mandi
lemon, yang dilakukan ketika anak perempuan telah menginjak usia 2 tahun. Menurut tradisi ini,
anak perempuan harus dikhitan agar bisa mengendalikan diri dari sifat-sifat buruk (Legal Era
Indonesia, 2017).
Di Bima, Nusa Tenggara Barat, ritual ini dikenal dengan nama saraso. Berbeda praktiknya
dengan cubit kodo  yang notabene simbolis, praktik saraso melibatkan pemotongan ujung klitoris
anak perempuan (Puska GenSeks UI, 2015). Seperti dikutip dari Rappler (2016), Peneliti Puska
GenSeks UI Johanna Debora Imelda saat memaparkan penelitiannya dua tahun lalu menemukan
fakta bahwa di Bima, perempuan yang tidak melakukan tradisi tersebut diberi stigma oleh
masyarakat sebagai “perempuan binal”. Lebih lanjut, di daerah tersebut, jika laki-laki ingin
meminang perempuan, hal pertama yang ditanyakan kepada perempuan adalah apakah ia sudah
disunat atau belum.
Musdah Mulia dalam artikel “Sunat Perempuan dalam Perspektif Islam” (2014) mengemukakan
berbagai alasan yang semakin melanggengkan praktik ini, antara lain untuk menjaga
kelangsungan identitas budaya. Menurut masyarakat umum, menjalankan ritual tradisi atau
budaya merupakan tahap inisiasi yang penting bagi seorang perempuan, untuk memasuki tahap
kedewasaan dan menjadi bagian resmi dari sebuah kelompok masyarakat. Selanjutnya, praktik
ini juga dilanggengkan untuk menjaga status quo relasi gender yang timpang dan tidak adil.
Praktik sunat perempuan dilakukan untuk membentuk kepatuhan dan menegaskan kelemahan
perempuan, dengan cara meneror, dan memancing trauma di dalam diri perempuan. Hal ini
dilakukan untuk menegaskan peran perempuan di masyarakat. Terakhir, praktik ini juga
dilanggengkan untuk menjaga dan mengontrol seksualitas serta fungsi reproduksi perempuan.
Masyarakat meyakini bahwa sunat perempuan dapat digunakan sebagai mekanisme kontrol
hasrat seksual perempuan. Perempuan dilarang memiliki hasrat seksual yang menggebu-gebu
karena dianggap akan membahayakan masyarakat (Mulia, 2014).
Sementara itu, WHO menjelaskan bahwa praktik sunat perempuan ini sangat berisiko, dan dapat
menyebabkan gangguan fisik; baik gangguan fisik jangka pendek, maupun gangguan fisik jangka
panjang. Selain itu, praktik ini juga dapat menyebabkan gangguan mental, serta gangguan
kesehatan seksual dan reproduksi pada perempuan. Beberapa risiko tersebut di antaranya adalah:
infeksi saluran kencing, kista, kemandulan dan komplikasi dalam melahirkan (BBC, 2013).
Dampak jangka pendek sunat perempuan yang dialami oleh perempuan yaitu pendarahan, infeksi
pada seluruh organ panggul, tetanus serta retensi urine karena
pembengkakan dan sumbatan pada uretra. Hal-hal tersebut berpotensi menyebabkan kematian.
Selain itu, sunat perempuan juga berdampak jangka panjang, di antaranya rasa sakit
berkepanjangan saat berhubungan seksual, disfungsi seksual, disfungsi haid, dan infeksi saluran
kemih kronis.
Butuh Komitmen Pemerintah
Pemerintah terlihat gamang dalam menentukan sikapnya terkait sunat perempuan. Kegamangan
ini terlihat dari pasang surutnya kebijakan terkait penghapusan sunat perempuan di Indonesia.
Sebenarnya, pada tahun 2006 Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah membuat kebijakan
yang melarang segala bentuk praktik sunat perempuan. Namun, kebijakan ini ditentang oleh
Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang mendesak Kemenkes untuk mencabut larangan tersebut.
Pada tahun 2010 Kemenkes mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor
1636 tentang sunat perempuan yang bukan berisi tentang pelarangan praktik sunat perempuan,
dan petunjuk pelaksanaan bagi tenaga kesehatan untuk melakukan sunat perempuan. Saat ini
Permenkes tersebut telah dicabut dan dinyatakan tidak lagi berlaku melalui Permenkes Nomor 6
Tahun 2014. Peraturan ini memberikan mandat kepada Majelis Pertimbangan Kesehatan dan
Syara’ untuk menerbitkan pedoman penyelenggaraan sunat perempuan yang menjamin
keselamatan dan kesehatan perempuan yang disunat, serta tidak melakukan mutilasi alat kelamin
perempuan (IDN Times, 2018). Artinya, pemerintah tidak tegas dalam menentukan kebijakan. Di
satu sisi, pemerintah menyatakan bahwa praktik ini dilarang dalam prosedur medis. Namun,
pemerintah seolah menutup mata dan menolak bertanggung jawab atas praktik yang terus
dilakukan atas dasar tradisi dan agama (non-medis).
Inkonsistensi ini kembali ditunjukkan oleh pemerintah saat menolak indikator pada goal (tujuan)
5 Sustainable Development Goals (SDGs), pada tahun 2016. Target SDGs 5.3 tentang
penghilangan semua praktik-praktik berbahaya terhadap perempuan dan anak perempuan,
memiliki turunan indikator global berupa ‘persentase anak perempuan dan perempuan berusia
15-49 tahun yang telah menjalani praktik sunat perempuan menurut kelompok umur’. Alasan
penolakan pemerintah yakni belum adanya Kementerian/Lembaga yang memegang tanggung
jawab untuk indikator ini, termasuk penyediaan datanya (SDG Indonesia 2030, 2016). Saat itu
masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Sustainable Development
Goals (SDGs) mengkritisi sikap pemerintah dengan menekankan Pentingnya Indikator Sunat
Perempuan dalam Tujuan 5 SDGs bagi Indonesia.
Menanggapi berbagai kritik terkait praktik sunat perempuan di Indonesia, Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) dalam siaran persnya (2016) pernah
menyatakan bahwa pihaknya membutuhkan waktu dalam menyamakan persepsi antara
terminologi mutilasi alat kelamin perempuan dengan praktik sunat perempuan di Indonesia.
Pasalnya, menurut Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise,
dalam pelaksanaannya praktik sunat perempuan dan mutilasi alat kelamin perempuan merupakan
dua hal yang berbeda. Pemerintah Indonesia sendiri telah membuat beberapa kebijakan untuk
mengontrol prosedur sunat perempuan (KPPPA, 2016).
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengatakan bahwa
sunat yang dilakukan terhadap perempuan dan anak perempuan walaupun dengan simbolis
dengan menyayat atau mengoles kunyit tetaplah merupakan tindak kekerasan (BBC, 2013).
Problematika sunat perempuan yang dialami oleh anak perempuan dan perempuan lebih rumit
daripada hanya sekadar membedakan metodenya saja; sunat atau mutilasi alat kelamin
perempuan. Sangat jelas bahwa apapun bentuknya, sunat perempuan merupakan praktik yang
merendahkan martabat dan membahayakan perempuan dan anak perempuan.
Meskipun kini di Indonesia sudah ada peraturan yang melarang praktik medis sunat perempuan,
namun masalah terkait sunat perempuan ini masih jauh dari kata selesai. Pengurus Nasional
Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Atashendartini Habsjah menegaskan,
praktik sunat perempuan merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang cukup serius;
mencakup pelanggaran hak perempuan dan hak anak. Praktik ini tidak adil karena atas nama
agama dan tradisi, perempuan dipaksa untuk mengalaminya tanpa bisa memilih (Kalyana Mitra,
2013). Untuk itu, demi kehidupan yang lebih bermartabat dan menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan maka sudah seharusnya praktik ini dihapuskan.
REFERENSI
Perempuan Bergerak Edisi III. 2013. Khitan Perempuan: Praktik Purba yang Harus
Dihapuskan. Jakarta.
BBC. 2013. Komnas Kecam Surat Perempuan. Diakses
melalui: http://www.bbc.com/indonesia/laporan_khusus/2013/02/130204_komnassunat
BBC. 2013. WHO Peringatkan Risiko Mandul Akibat Sunat Perempuan. Diakses
melalui: http://www.bbc.com/indonesia/laporan_khusus/2013/02/130205_whosunatperempuan
DW. 2016. Mutilasi Genital pada Perempuan, Indonesia Ketiga Terbanyak. Diakses
melalui: http://www.dw.com/id/mutilasi-genital-pada-perempuan-indonesia-ketiga-terbanyak/a-
19028891
IDN Times. 2018. Sunat Perempuan di Indonesia, Pantaskah Budaya Ini
Dipertahankan? Diakses melalui: https://life.idntimes.com/women/pinka-wima/sunat-
perempuan-di-indonesia-pantaskah-budaya-ini-dipertahankan-1/full
Kalyana Mitra. 2013. Khitan Perempuan: Praktik Budaya yang Masih Dilakukan. Diakses
melalui: http://www.kalyanamitra.or.id/2013/06/khitan-perempuan-praktik-budaya-yang-masih-
dilakukan/
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. 2016. Siaran Pers: Menteri PP
& PA: Butuh Waktu Menyamakan Persepsi FGM dan Sunat Perempuan. Diakses
melalui: https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/855/press-release-menteri-pp-pa-
butuh-waktu-menyamakan-persepsi-fgm-dan-sunat-perempuan
Legal Era Indonesia. 2017. Khitan Wanita Bentuk Pelanggaran HAM? Diakses
melalui: https://legaleraindonesia.com/khitan-wanita-bentuk-pelanggaran-ham/
Muhammad, KH. Husein. 2014. Mencintai Tuhan Mencintai Kesetaraan. Elex Media
Komputindo.
Mulia, Musdah. 2014.  Sunat Perempuan dalam Perspektif Islam. Diakses
melalui: https://www.jurnalperempuan.org/blog/sunat-perempuan-dalam-perspektif-islam
Nurcholis, Ahmad, Fathuri, SR. 2015. Seksualitas dan Agama: Kesehatan Reproduksi dalam
Perspektif Agama-Agama. PT Elex Media Komputindo: Jakarta.
Pusat Kajian Gender dan Seksualitas Universitas Indonesia. 2015. Kajian Komprehensif Praktik
Sunat Perempuan di 7 Provinsi di Indonesia.
Rappler. 2016. Sunat perempuan, ritual diskriminatif yang terus melebar. Diakses
melalui: https://www.rappler.com/indonesia/153984-menghentikan-sunat-perempuan
SDG 2030 Indonesia. 2017. Pentingnya Indikator Sunat Perempuan dalam Goal 5 SDGs bagi
Indonesia. Diakses melalui: http://www.sdg2030indonesia.org/news/4-pentingnya-indikator-
sunat-perempuan-dalam-goal-5-sdgs-bagi-indonesia

Anda mungkin juga menyukai