Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

Periode kehamilan dan melahirkan merupakan periode kehidupan yang penuh dengan
potensi stres. Seorang wanita dalam periode kehamilan dan periode melahirkan cenderung
mengalami stres yang cukup besar karena keterbatasan kondisi fisik yang membuatnya harus
membatasi aktivitas. Di samping ia juga harus waspada dalam menjaga janinnya. Adanya
berbagai potensi stres dalam rentang waktu kehamilan hingga proses melahirkan
memungkinkan munculnya masalah psikologis pada diri seorang wanita pada periode
tersebut. Sebagai contoh, kelahiran bayi dapat menimbulkan gejala depresi pada ibu, dan
salah satu bentuk depresi tersebut adalah Depresi Pasca Melahirkan (DPM) (Simpson,
Rholes, Campbell, Tran & Wilson, 2003).

Crockenberg dan Leekers (2003) mengemukakan bahwa sekitar 10-30% ibu setelah
melahirkan mengalami kondisi depresi hingga derajat tertentu dan kondisi depresi tersebut
dapat mempengaruhi munculnya disfungsi interaksi antara ibu dan bayi di kemudian hari.
Depresi postpartum yang merupakan salah satu bentuk depresi mayor ini dialami oleh satu di
antara sepuluh ibu yang melahirkan bayi pertama dan berlangsung pada tahun pertama
setelah kelahiran bayi (adakalanya berlangsung segera setelah bayi lahir). Depresi mayor
pada periode melahirkan diperkirakan dialami oleh 8-15% dari ibu yang baru melahirkan.
Tujuh puluh persen diantara para ibu yang baru melahirkan mengalami gangguan psikologis
selama lebih kurang 12 bulan (National Mental Health Association, 2003) atau 1 tahun
dengan rentang episode antara 4 minggu hingga 6 bulan (Clark, Tluczek, & Wenzel, 2003).

Depresi postpartum merupakan salah satu masalah kesehatan mental khususnya bagi
para ibu yang baru saja melahirkan. Kondisi ini dapat menimbulkan masalah dalam hubungan
ibu dan bayi, gangguan psikopatologis pada bayi dan keterlambatan perkembangan bayi
(Clark et al, 2003; National Mental Health Association, 2003). Ragam gangguan tersebut
terjadi karena perempuan yang mengalami Depresi postpartum cenderung diliputi perasaan
sedih sehingga kurang peka untuk memberikan afek positif pada bayinya. Akibatnya, bayi
juga tidak belajar mengembangkan afek positif dan menimbulkan rasa kurang aman pada diri
bayi dalam proses perkembangan mereka kelak (Clark, et al, 2003). Bayi-bayi dari ibu yang
mengalami Depresi postpartum cenderung mengalami gangguan orientasi, afek depresi,
gangguan tidur (irregular sleep), dan beberapa jenis gangguan fisik lain di samping hambatan

1
perkembangan verbal, gangguan perilaku dan keterlambatan perkembangan skolastik (Clark,
et al 2003).

Depresi postpartum merupakan gangguan mood setelah melahirkan yang


merefleksikan disregulasi psikologikal yang merupakan tanda dari gejala-gejala depresi
major.1 Mood yang tertekan, hilangnya ketertarikan atau senang dalam beraktivitas, gangguan
nafsu makan, gangguan tidur, agitasi fisik atau pelambatan psikomotor, lemah, merasa tidak
berguna, susah konsentrasi, keinginan untuk bunuh diri merupakan gejala-gejala yang dapat
dijumpai pada ibu dengan depresi postpartum.1,2

Penegakan diagnosis suatu depresi postpartum dapat ditegakkan melalui gejala-gejala


klinis yang tampak seperti mood yang tertekan, hilangnya ketertarikan atau senang dalam
beraktivitas, gangguan nafsu makan, gangguan tidur, agitasi fisik atau pelambatan
psikomotor, lemah, merasa tidak berguna, susah konsentrasi, keinginan untuk bunuh diri.
Untuk menegakkan diagnosis tersebut selain dari riwayat serta penampakan gejala, dapat
ditunjang melalui test Edinburgh Postnatal Depression Scale (EPDS).1,2,3,4.

2
BAB II

PEMBAHASAN

II.1 DEFINISI

Depresi postpartum merupakan istilah yang digunakan pada pasien yang mengalami
berbagai gangguan emosional yang timbul setelah melahirkan, khususnya pada gangguan
depresi spesifik yang terjadi pada 10%-15% wanita pada tahun pertama setelah melahirkan.
Pasien akan mengalami gejala affektive selama periode postpartum, 4 sampai 6 minggu
setelah melahirkan. Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, edisi
keempat (DSM-IV), sebuah depresi dipertimbangkan sebagai postpartum jika dimulai selama
empat minggu setelah kelahiran. Pola gejala pada wanita dengan depresi postpartum sama
pada wanita yang mengalami masa depresi selama tidak hamil. Susah berinteraksi dengan
perawat dalam keadaan stres dan bayi meningkatkan resiko pendekatan yang tidak aman dan
terjadinya masalah kognitif dan sifat pada anak1,3.

II.1.1 Batasan Depresi postpartum

Depresi postpartum adalah salah satu bentuk depresi mayor yang dialami ibu yang
melahirkan bayi pertama dan berlangsung pada tahun pertama setelah kelahiran bayi. Hal ini
dikarenakan periode pasca melahirkan bayi pertama merupakan periode transisi kehidupan
baru yang cukup membuat stres, dan tidak hanya pada ibu baru melainkan juga dengan ayah
baru. Kondisi transisi ini dapat menurunkan kepuasan pernikahan dan meningkatkan masalah
depresi pada beberapa ibu pada beberapa bulan pertama masa kelahiran bayi hingga 1 tahun
(Simpson et al, 2003; The Cleveland Clinic, 2004). Adapun Depresi postpartum merupakan
perubahan fisikal, emosional, tingkah laku yang kompleks yang terjadi setelah melahirkan
dan dilengkapi dengan perubahan kimia dalam tubuh, sosial dan psikologis yang
diasosiasikan dengan kehadiran bayi (The Cleveland Clinic, 2004). Terdapat 3 bentuk depresi
yang berkaitan dengan stres pasca melahirkan, yaitu postpartum blues, postpartum
depression, dan postpartum psychosis.

a. Postpartum blues

Postpartum blues sering dikenal sebagai babyblues. Kondisi ini mempengaruhi 50%-
75% ibu setelah proses melahirkan. Ibu yang mengalami babyblues ini seringkali menangis
secara terus menerus tanpa sebab yang pasti dan mengalami kecemasan. Keadaan ini

3
berlangsung pada minggu pertama setelah melahirkan. Meskipun pengalaman ini tidak
menyenangkan, namun biasanya kondisi ini akan kembali normal setelah 2 minggu tanpa
penanganan khusus. Jadi yang dibutuhkan adalah menentramkan dan membantu ibu baru ini
mengasuh bayi dan melakukan pekerjaan rumah.

b. Postpartum depression

Depresi postpartum merupakan kondisi yang lebih serius dari babyblues dan
mempengaruhi 1 dari 10 ibu baru. Individu yang sebelumnya telah memiliki depresi akan
meningkatkan resiko Depresi postpartum sebesar 30%. Ibu dengan Depresi postpartum akan
mengalami perasaan sedih dan emosi yang meningkat atau merasa tertekan, menjadi sensitif,
lelah, perasaan bersalah, cemas dan ketidakmampuan untuk merawat diri dan merawat bayi.
Simtom Depresi postpartum meliputi rentang gejala ringan hingga parah yang muncul secara
mendadak atau bertahap, sejak beberapa hari setelah melahirkan bahkan hingga setahun
setelah melahirkan. Penanganan melalui psikoterapi dan pemberian antidepresan biasanya
efektif baik bagi simtom yang berlangsung hanya beberapa hari maupun simtom yang sudah
berlangsung setahun.

c. Postpartum psychosis

Kondisi ini merupakan bentuk depresi postpartum yang parah dan membutuhkan
penanganan medis segera. Kondisi ini jarang terjadi, dan mempengaruhi 1 dari 1000
perempuan yang melahirkan. Gejalanya muncul secara cepat setelah melahirkan dan
berlangsung antara beberapa minggu hingga beberapa bulan. Gejalanya meliputi agitasi yang
amat kuat, perilaku yang menunjukkan kebingungan, perasaan hilang harapan dan malu,
insomnia, paranoia, delusi, halusinasi, hiperaktif, bicara cepat dan mania. Penanganan medis
harus dilakukan sesegera mungkin dengan memasukkan penderita ke rumah sakit, karena
kondisi ini juga biasanya disertai risiko bunuh diri atau menyakiti bayi.

4
Tabel 1. Symptoms of Postpartum Illness from Cleveland Clinic (2004) and National Mental
Health Associassion (2003)

Postpartum
No Baby Blues Postpartum Depression
Psychosis

1 Simtom Kurang tidur Cepat lelah Menolak makan


Fisik Hilang tenaga Tidak mampu
Hilang nafsu makan Gangguan tidur menghentikan
atau sangat bernafsu Selera makan menurun aktivitas
untuk makan Kebingungan akan
Merasa lelah setelah Sakit kepala kelebihan energi
bangun tidur Sakit dada

Jantung berdebar-debar
Sesak nafas

Mual dan muntah

2 Simtom Cemas dan khawatir Mudah tersinggung Sangat bingung


Emosional berlebihan
Perasaan sedih Hilang ingatan
Bingung
Mencemaskan kondisi Hilang harapan Tidak koheren
fisik secara berlebihan Merasa tidak berdaya Halusinasi
Tidak percaya diri
Mood swings
Sedih
Perasaan diabaikan Perasaan tidak adekuat
sebagai ibu
Hilang minat
Pemikiran bunuh diri
Ingin menyakiti orang lain
(termasuk bayi, diri
sendiri, dan suami)

Perasaan bersalah

Simtom Sering menangis Panik Curiga


Perilaku
Hiperaktif atau senang Kurang mampu merawat Tidak rasional
berlebihan diri sendiri
Terlalu sensitif Enggan melakukan Preokupasi terhadap
Perasaan mudah aktivitas menyenangkan hal-hal kecil
tersinggung Motivasi menurun
Tidak perduli terhadap Enggan bersosialisasi
bayi Tidak perduli pada bayi

5
Terlalu perduli terhadap
perkembangan bayi
Sulit mengendalikan
perasaan
Sulit mengambil keputusan

II.2 EPIDEMIOLOGI

Depresi postpartum dikeluhkan 10-20% ibu di Amerika maupun Afrika. Depresi


tersebut biasanya berlangsung sejak 24 jam, atau 4-5 hari setelah melahirkan hingga beberapa
bulan kemudian (Kompas Cyber Media, 2004). Di Indonesia, Depresi postpartum terjadi 11-
30% wanita dibandingkan dengan wanita dari negara lain di Asia. Prevalensi DPM
berdasarkan penelitian bagian kebidanan RSUP DR.Sardjito Yogyakarta diperoleh 11,3% ibu
mengalami depresi ringan; 1,9% mengalami depresi sedang dan 0,5% mengalami depresi
berat setelah melahirkan. Selain itu, berdasarkan hasil penelitian Lelly Resna yang meneliti
mengenai karakteristik para ibu penderita Depresi Postpartum di RS Hasan Sadikin Bandung
pada tahun 1995-1996 menyimpulkan bahwa Depresi postpartum banyak dialami oleh ibu
yang tidak bekerja dengan latar pendidikan SD, namun terjadinya Depresi postpartum kurang
dipengaruhi oleh faktor usia (Papayungan, 2005).

Depresi postpartum merupakan sebuah permasalahan kesehatan serius di dunia.


Sebuah review yang luas pada 59 studi didapat bahwa 13% dari primipara mengalami depresi
postpartum selama 12 minggu pasca melahirkan. Laporan yang terbaru didapatkan sama
tingginya pada 15% sampel komunitas. Prevalensi keinginan bunuh diri pada periode
postpartum antara 0.2%-15.4% diantara populasi berbeda. Beberapa populasi seperti pada
etnis dengan status sosial minoritas didapatkan 40% sampai 50% kasus ini4,6,7.

II.3 ETIOLOGI

Penurunan cepat tingkat reproduksi hormon yang terjadi setelah melahirkan dikatakan
dapat berkembang menjadi depresi pada wanita dengan depresi postpartum. Penurunan
hormon progesteron signifikan berhubungan dengan perubahan suasana hati dengan sebuah
pengaruh tambahan pada pola makan.8 Pada studi lainnya, didapatkan peningkatan serum Cu
yang sejalan dengan terjadinya inflamasi atau disregulasi auto-imun.9 Ketika tingkat
inflamasi tinggi, penderita akan mengalami gejala depresi seperti lemas, dan lesu. Kedua,
inflamasi akan meningkatkan level kortisol dan akhirnya akan menurunkan serotonin dengan
menurunkan prekursornya, yaitu trypthopan4.

6
Walaupun penyebab depresi cenderung pada tingkat penurunan hormon, beberapa
faktor lain mungkin menjadi penyebab terjadinya depresi post partum. Kejadian stress dalam
hidup, riwayat depresi sebelumnya, dan riwayat keluarga yang mengalami gangguan mood,
semua dikenal sebagai prediktor depresi mayor pada wanita1.

Pitt (Regina dkk, 2001), mengemukakan 4 faktor penyebab depresi postpartum sebagai
berikut :

a. Faktor konstitusional.

Gangguan post partum berkaitan dengan status paritas adalah riwayat obstetri pasien yang
meliputi riwayat hamil sampai bersalin serta apakah ada komplikasi dari kehamilan dan
persalinan sebelumnya dan terjadi lebih banyak pada wanita primipara. Wanita primipara
lebih umum menderita blues karena setelah melahirkan wanita primipara berada dalam proses
adaptasi, kalau dulu hanya memikirkan diri sendiri begitu bayi lahir jika ibu tidak paham
perannya ia akan menjadi bingung sementara bayinya harus tetap dirawat.

b. Faktor fisik.

Perubahan fisik setelah proses kelahiran dan memuncaknya gangguan mental selama 2
minggu pertama menunjukkan bahwa faktor fisik dihubungkan dengan kelahiran pertama
merupakan faktor penting. Perubahan hormon secara drastis setelah melahirkan dan periode
laten selama dua hari diantara kelahiran dan munculnya gejala. Perubahan ini sangat
berpengaruh pada keseimbangan. Kadang progesteron naik dan estrogen yang menurun
secara cepat setelah melahirkan merupakan faktor penyebab yang sudah pasti.

c. Faktor psikologis.

Peralihan yang cepat dari keadaan “dua dalam satu” pada akhir kehamilan menjadi dua
individu yaitu ibu dan anak bergantung pada penyesuaian psikologis individu. Klaus dan
Kennel (Regina dkk, 2001), mengindikasikan pentingnya cinta dalam menanggulangi masa
peralihan ini untuk memulai hubungan baik antara ibu dan anak.

d. Faktor sosial.

7
Paykel (Regina dkk, 2001) mengemukakan bahwa pemukiman yang tidak memadai lebih
sering menimbulkan depresi pada ibu – ibu, selain kurangnya dukungan dalam perkawinan.

Menurut Kruckman (Yanita dan zamralita, 2001), menyatakan terjadinya depresi


pascasalin dipengaruhi oleh faktor :

1. Biologis.

Faktor biologis dijelaskan bahwa depresi postpartum sebagai akibat kadar hormon seperti
estrogen, progesteron dan prolaktin yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dalam masa nifas
atau mungkin perubahan hormon tersebut terlalu cepat atau terlalu lambat.

2. Karakteristik ibu, yang meliputi :

a. Faktor umur.

Sebagian besar masyarakat percaya bahwa saat yang tepat bagi seseorang
perempuan untuk melahirkan pada usia antara 20–30 tahun, dan hal ini
mendukung masalah periode yang optimal bagi perawatan bayi oleh seorang ibu.
Faktor usia perempuan yang bersangkutan saat kehamilan dan persalinan
seringkali dikaitkan dengan kesiapan mental perempuan tersebut untuk menjadi
seorang ibu.

b. Faktor pengalaman.

Beberapa penelitian diantaranya adalah pnelitian yang dilakukan oleh Paykel dan
Inwood (Regina dkk, 2001) mengatakan bahwa depresi pascasalin ini lebih
banyak ditemukan pada perempuan primipara, mengingat bahwa peran seorang
ibu dan segala yang berkaitan dengan bayinya merupakan situasi yang sama sekali
baru bagi dirinya dan dapat menimbulkan stres. Selain itu penelitian yang
dilakukan oleh Le Masters yang melibatkan suami istri muda dari kelas sosial
menengah mengajukan hipotesis bahwa 83% dari mereka mengalami krisis
setelah kelahiran bayi pertama.

c. Faktor pendidikan.

8
Perempuan yang berpendidikan tinggi menghadapi tekanan sosial dan konflik
peran, antara tuntutan sebagai perempuan yang memiliki dorongan untuk bekerja
atau melakukan aktivitasnya diluar rumah, dengan peran mereka sebagai ibu
rumah tangga dan orang tua dari anak–anak mereka (Kartono, 1992).

d. Faktor selama proses persalinan.

Hal ini mencakup lamanya persalinan, serta intervensi medis yang digunakan
selama proses persalinan. Diduga semakin besar trauma fisik yang ditimbulkan
pada saat persalinan, maka akan semakin besar pula trauma psikis yang muncul
dan kemungkinan perempuan yang bersangkutan akan menghadapi depresi
pascasalin.

e. Faktor dukungan sosial.

Banyaknya kerabat yang membantu pada saat kehamilan, persalinan dan


pascasalin, beban seorang ibu karena kehamilannya sedikit banyak berkurang.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa faktor penyebab depresi postpartum
adalah faktor konstitusional, faktor fisik yang terjadi karena adanya ketidakseimbangan
hormonal, faktor psikologi, faktor sosial dan karakteristik ibu.

Namun demikian, secara lebih spesifik sejumlah laporan mengemukakan bahwa DPM
dipicu oleh (a) dampak masa transisi (Curran, Hazen, Jacobvitz, & Feldman, 2005), (b)
ambivalensi dan rasa tidak aman (Simpson et al, 2003), dan (c) masalah dengan suami (Clark
et al, 2003). Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:

a. Periode Transisi Akibat Kelahiran bayi

Kelahiran bayi pertama di dalam keluarga merupakan periode transisi bagi pasangan
suami istri. Sebagai pasangan rumah tangga yang tadinya hanya hidup berdampingan berdua
kini harus mempersiapkan diri menyambut kedatangan anggota baru dalam keluarga.
Perhatian khusus yang diberikan kepada bayi yang baru lahir dapat menyita waktu
kebersamaan suami dan istri. Berkurangnya waktu bersama antara suami dan istri dapat
menimbulkan kesenjangan hubungan suami-istri. Kesenjangan tersebut mempengaruhi
hubungan komunikasi serta afeksi antara suami dan istri, dan hal ini berpotensi menimbulkan
Depresi Postpartum (Curran et al, 2005).
9
Oleh karena itu, pasangan suami istri harus mewaspadai kesenjangan yang mungkin
terjadi antara mereka akibat kelahiran bayi mereka, dan pasangan suami istri harus berupaya
untuk mempertahankan hubungan mereka dalam periode transisi ini.

b. Ambivalensi dan Perasaan Tidak Aman

Para wanita yang bersikap ambivalen merupakan wanita yang merasa tidak aman, dan
individu yang merasa tidak aman cenderung rentan terhadap depresi (Simpson et al, 2003).
Individu yang merasa tidak aman cenderung bersikap negatif dalam menilai dirinya sendiri
(seperti merasa tidak berharga untuk dicintai atau diberikan dukungan) dan beranggapan
bahwa sosok individu yang dekat dengan mereka (attachment figure) cenderung bersikap
tidak mencintai dan tidak mendukung (Bowlby, 1980). Mereka yang ambivalen di satu pihak
sangat mengharapkan keberadaan sosok lain yang amat dekat dengan mereka untuk
memberikan dukungan bila dibutuhkan. Namun di lain pihak mereka diselimuti kecemasan
bahwa sosok yang dekat dengan diri mereka itu justru tidak akan ada bersama mereka atau
tidak akan mampu menolong mereka di saat yang amat dibutuhkan (Simpson et al, 2003).

Simpson et al (2003) menjelaskan bahwa kondisi pra dan pasca melahirkan


merupakan salah satu rentang kondisi yang menimbulkan stres yang cukup besar bagi wanita,
khususnya mereka yang ambivalen. Kondisi pra dan pasca melahirkan ini menimbulkan
persepsi pada ibu yang melahirkan bahwa dukungan suami mereka jauh berkurang daripada
biasanya, walaupun sesungguhnya bantuan suami pada dirinya sama sekali tidak berkurang.
Artinya, kondisi pra dan pasca melahirkan cenderung menimbulkan persepsi negatif wanita
terhadap kualitas hubungannya dengan suami, dan keadaan ini menurunkan kualitas
hubungan emosional dirinya dengan suami dan dengan bayi mereka.

c. Masalah dengan Suami

Kurangnya dukungan emosional dari suami dan ketidakpuasan perkawinan berperan


penting dalam mempengaruhi munculnya depresi Postpartum (Simpson et al, 2003).
Kurangnya keselarasan antar suami-istri besar kemungkinan akan menimbulkan kesenjangan
afeksi di antara mereka berdua (Curran et al, 2005); kesenjangan afeksi akan menurunkan
kepuasan perkawinan sehingga kualitas hubungan rumah tangga akan semakin menurun dan
dukungan suami juga menjadi semakin menurun. Akibatnya, istri semakin merasa dirinya
kurang diperhatikan atau bahkan merasa ditelantarkan oleh suaminya, dan istri menjadi lebih
rentan terhadap gejala depresi postpartum.

10
II.4 DIAGNOSIS

Kriteria yang digunakan dalam menegakkan diagnosis berdasarkan pada riwayat dan
gejala-gejala mengikuti Diagnostic And Statisctical Manual of Mental Disorders, edisi
keempat (DSM-IV). Sebagai penunjang untuk menegakkan diagnosis, secara luas
menggunakan uji Edinburgh Postnatal Depression Scale (EPDS)1,2,3,4,5.

EPDS adalah suatu kuesioner untuk mengevaluasi ada tidaknya simtom depresi pada
seseorang, yang berupa self report scale terdiri dari kumpulan 10 pokok, setiap pernyataan
skala mengukur intensitas simtom depresi dari 0 sampai 3 (ya, hampir sepanjang waktu
hingga tidak sama sekali) total skor dari 0 sampai 30. Skor 13 atau lebih mengindikasikan
depresi.

Gejala Depresi Mayor dengan Onset Postpartum.*


 Depresi mayor adalah didefinisikan dengan adanya lima dari gejala berikut, yang
mana salah satu harus adanya mood yang tertekan atau penurunan ketertarikan atau
kesenangan**.

 Mood yang tertekan sering berhubungan dengan kebingungan yang berat.

 Adanya penurunan ketertarikan atau kesenangan dalam beraktivitas

 Gangguan nafsu makan, biasanya diikuti dengan kehilangan berat badan

 Gangguan tidur, paling sering insomnia atau tidur yang tidak nyaman bahkan ketika
bayinya tertidur.

 Agitasi fisik, atau pelambatan psikomotor

 Lemah, penurunan energi

 Merasa kurang berguna

11
 Penurunan konsentrasi

 Adanya keinginan bunuh diri

*Dari Diagnostic and Statistical Manual Mental Disorders, edisi keempat (DSM IV). Depresi
postpartum diartikan dalam DSM-IV dimulai empat minggu setelah melahirkan.
**Gejala yang harus ada sepanjang hari hampir setiap hari selama dua minggu.

II.5 DIAGNOSIS BANDING


Depresi postpartum dibedakan dari baby blues yang timbul pada mayoritas perempuan. Pada
gejala ini terdapat gangguan perubahan gejala yang tidak konsisten mempengaruhi
kemampuan dalam menjalankan fungsinya. Psikosis postpartum muncul sebagai emergensi
psikiatrik yang memerlukan intervensi segera karena resiko dapat membunuh bayi dan
melakukan bunuh diri. Biasanya timbul pada dua minggu pertama setelah melahirkan1.
II.6 PENATALAKSANAAN
Secara umum, dalam menatalaksanaan ibu dengan depresi postpartum diberikan dengan
farmakologis, psikoterapi, hormonal therapy, dan prophylactic treatment.
(i) Farmakologis
Pasien yang telah didiagnosis dengan gangguan depresi postpartum, diberikan
pengobatan dengan antidepressant. Pemberian selective serotonin reuptake inhibitor (SSRIs)
seharusnya diberikan pada karena golongan obat tersebut mempunyai resiko efek toksik yang
rendah. SSRis bisa membantu pasien yang tidak mempunyai respon bagus terhadap tricyclic
antidepressant, golongan antidepressant lainnya dan cenderung ditoleransi lebih baik dengan
dosis yang rendah10. Bagaimanapun, jika pasien sebelumnya mempunyai respon baik
terhadap obat antidepressant jenis lainnya, obat tersebut secara kuat dipertimbangkan untuk
diberikan kembali.

Golongan obat lainnya yang digunakan pada pasien depresi postpartum adalah
tricyclic antidepressant (TCAs). Cara kerja obat golongan untuk menurunkan gejala depresi
tidak diketahui tetapi jenis obat ini dapat menghalangi re-uptake berbagi neurotransmiter
termasuk serotonin dan norepinephrine pada membran neuronal.2
Pada pasien multipara sensitif terhadap efek samping dari pengobatan, pengobatan
semestinya dimulai setengah dosis awal selama empat hari, dan selanjutnya akan ditingkatkan

12
dosisnya secara perlahan sampai dosis yang direkomendasi tercapai. Peningkatan dosis secara
perlahan sangat menolong dalam mengatasi adanya efek samping dari obat.
Jika pasien merespon terhadap percobaan awal selama enam sampai delapan minggu,
dosis yang sama harus diberikan selama minimal enam bulan setelah toleransi penuh tercapai,
dalam hal untuk mencegah kambuhnya efek samping. Jika tidak ada perkembangan setelah
enam bulan terapi pengobatan atau jika pasien merespon namun gejalanya timbul lagi,
dirujuk ke psikiater dapat dipertimbangkan.1,2,10,13

Tabel 2. Farmakoterapi untuk Depresi Postpartum

Obat Dosis (mg/hari) Efek Samping Implikasi untuk penggunaan


selama menyusui
Selective Serotonin-Reuptake Inhibitors
Fluvoxamine 50-200 Mual, mengantuk, Tidak ada metabolik aktif; tingkat
lemah, pusing, tidak terdeteksi pada bayi; tidak
disfungsi seksual dilaporkan adanya kejadian buruk

Paroxetine 20-60 Mual, mengantuk, anorexia, bingung,


disfungsi seksual
Citalopram 20-40 Mual, insomnia, Satu bayi dengan tingkat terukur
pusing, somnolence mengalami kolik; lainnya tidak ada
masalah dan tingkat serum tidak
terdeteksi atau diatas batas dari
deteksi

Fluoxetine 20-60 Mual, mengantuk, Obat dan metabolik aktif dengan long
anorexia, bingung, half live
disfungsi seksual
Tricyclic Antidepressant
Nortriptyline 50-150 Sedasi, menambah Obat dan metabolik umumnya
berat badan, mulut dibawah atau sedikit diatas batas yang
kering, konstipasi, terdeteksi
hipertensi ortostatik
Desipramine 100-300 Obat dan metabolit dibawah tingkat
yang dapat terkuantifikasi
Serotonin-norepinephrine reuptake inhibitor

Venlafaxine 75-300 Mual, berkeringat, Tidak terdeteksi atau tingkat serum


mulut kering, rendah, metabolit biasanya terukur
mengantuk, insomnia, sama antara bayi dan dewasa
somnolence, disfungsu
seksual
Lainnya
Bupropion 300-450 Mengantuk, sakit Tidak diketahui
kepala, mulut kering,
berkeringat, tremor,
agitasi
Mirtazapine 15-45 Somnolence, mual, penambahan berat
badan, mengantuk
Nefazodone 300-600 Mulut kering, Sedasi dan nafsu makan rendah pada
somnolence, mual, bayi prematur
mengantuk

13
(ii) Psikoterapi
Pada studi yang melibatkan 120 ibu melahirkan, interpersonal psikoterapi, dengan
pengobatan 12 sesi yang terfokus pada perubahan peran dan pentingnya suatu hubungan
sangat efektif untuk meredakan gejala depresi dan meningkatkan fungsi psikososial. Sebuah
grup berdasarkan intervensi pada psikotherapi interpersonal diberikan selama kehamilan
mencegah terjadinya depresi postpartum. Bagaimanapun, psikoterapi sebagai tambahan
dikombinasikan dengan fluoxetine tidak meningkatkan pengobatan daripada dengan
fluoxetine saja.1,2,12
(iii) Hormonal Replacement Therapy
Estradiol telah dievaluasi sebagai pengobatan untuk depresi postpartum. Pada studi yang
membandingkan transdermal estradiol dengan plasebo, grup yang diobati dengan estradiol
mempunyai penurunan skor depresi yang signifikan selama bulan pertama.1
(iv) Profilaksis Treatment
Pasien yang mengalami riwayat depresi setelah kehamilannya dapat beresiko menjadi
depresi postpartum setelah melahirkan. Terapi preventif setelah melahirkan harus
dipertimbangkan pada pasien dengan riwayat depresi sebelumnya. Obat yang direspon pasien
sebelumnya dengan selective-serotonin-reuptake ( SSRIs ) inhibitor adalah pilihan rasional,
tricyclic antidepressant ( TCAs ) tidak dapat melindungi sebagaimana dibandingkan dengan
plasebo. Minimal, penanganan depresi postpartum termasuk pengawasan untuk terjadinya
kekambuhan, dengan sebuah rencana intervensi cepat jika ada indikasi.1
Menyusui juga merupakan salah satu treatment yang bersifat profilaksis. Menyusui tidak
hanya untuk mengurangi stress untuk ibu, namun juga menguragi tingkat stress pada bayi
ketika ibunya mengalami depresi.Peneliti membandingkan empat grup wanita yaitu ibu
depresi yang menyusui atau melalui susu botol dan ibu sehat yang menyusui atau melalui
susu botol yang hasilnya dicatat dalam babies electroencephalogram (EEG). Peneliti
menemukan bahwa bayi dari ibu yang depresi dan tidak menyusui mempunyai pola EEG
abnormal. Studi cross-sectional pada 38 ibu dengan bayinya berumur 10 bulan yang diuji
EEG selama emosi berbeda dimana semua ibu dengan SES rendah dan 68% adalah Afrika-
Amerika ( pada tabel 2 ). Pasien dengan depresi dan bayinya menunjukkan pengaruh negatif
daripada pasien nondepresi. Pengaruh negatif ini tidak hanya timbul selama interaksi ibu dan
bayinya, namun juga timbul pada rangsangan yang diciptakan untuk menghilangkan
pengaruh negatif selama pemisahan ibu dan anak.14,15

14
Pada akhirnya disimpulkan bahwa, menyusui melindungi suasana hati ibu dengan
mengurangi tingkat stress. Ketika tingkat stress rendah, respon inflamasi ibu tidak aktif dan
akan mengurangi resiko depresi.11
Penanggulan depresi post partum
Fungsi Strategi penanggulangan
Lazarus dan rekannya (dalam Sarafino, 1994) membagi strategi penanggulan ke dalam dua
fungsi utama, yaitu:
a. Strategi penanggulan yang berfokus pada masalah, yaitu yang bertujuan
mengurangi tuntutan-tuntutan akibat situasi yang stressfull, atau
mengembangkan sumber-sumber dalam individu untuk mengatasi situasi
tersebut. Orang cenderung menggunakan pendekatan yang berfokus pada
masalah karena percaya dapat mengubah sumber-sumber dalam dirinya atau
tuntutan situasi stressfull.
b. Strategi penanggulangan yang berfokus pada emosi, yaitu bertujuan
mengontrol respon emosional terhadap situasi stressfull, baik melalui
pendekatan behavioral maupun kognitif. Orang cenderung menggunakan
pendekatan yang berfokus pada emosi ketika mereka percaya bahwa mereka
tidak dapat melakukan apapun untuk mengubah situasi stressfull.
Berdasarkan literatur diatas, maka jelaslah bahwa strategi penanggulangan dibagi kedalam
dua fungsi utama, yaitu:
a). Coping yang berfokus pada masalah, yaitu coping yang berfungsi membantu mengatasi
sumber stress/tuntutan-tuntutan akibat situasi stressfull secara langsung dengan
mengembangkan sumber-sumber dalam individu.
b). Coping yang berfokus pada emosi, yaitu coping yang berfungsi mengurangi gejala yang
timbul akibat situasi yang stressfull dengan mengatur atau mengontrol respon emosional, baik
melalui pendekatan behavioral maupun strategi kognitif.
Strategi-strategi penanggulangan
Carver, Scheier, dan Weintraub (dalam Bishop, 1994) membuat taksonomi strategi
penanggulangan, yaitu:
a). Strategi yang berpusat pada masalah
1). Active coping, yaitu mengambil langkah aktif untuk mencoba menjauhkan stressor, atau
memperbaiki pengaruhnya.
2). Planning, yaitu berfikir mengenai bagaimana mengatasi stressor.

15
3). Suppression of competing activities, yaitu melakukan aktivitas-aktivitas lain untuk
mengatasi stressor
4). Restraint coping, yaitu menunggu kesempatan yang paling tepat untuk bertindak.
5). Seeking social support for instrumental reason, yaitu mencari masukan, bantuan ataupun
informasi.
b). Strategi yang berpusat pada emosi
1). Seeking social support for emotional reasons, yaitu mencari dukungan moral, simpati atau
pemahaman.
2). Positive reinterpretation, yaitu menafsirkan kembali situasi dalam cara yang positive.
3). Acceptance, yaitu menerima realitas dari situasi yang dihadapi.
4). Denial, yaitu menyangkal realitas dari situasi yang dihadapi
5). Turning to religion, yaitu berdoa mencari bantuan dari Tuhan atau mencari ketenangan
dalam beragama.
6). Focusing on and venting emotions, yaitu memfokuskan pada segala sesuatu yang
menyedihkan dan mengekspresikan perasaan tersebut.
7). Behavioral management, yaitu mengurangi upaya mengatasi masalah atau menyerah.
8). Mental disengagement, yaitu beralih pada aktivitas-aktivitas lain untuk mengalihkan
perhatiannya dari situasi stressfull.
Jaminan rasa aman dan kenyamanan penting bagi penanggulangan yang berfokus pada emosi.
a. Strategi yang berfokus pada emosi
1) Resigned acceptance, yaitu mengatasi situasi dengan cara menerima apa adanya,
metode ini khususnya untuk keadaan stressor yang tidak dapat dirubah.
2) Emotional discharge, yaitu individu bertingkah laku dalam cara-cara yang dapat
mengekspresikan perasaannya atau mengurangi ketegangan akibat situasi stress.
Termasuk dalam strategi ini adalah berteriak marah, menangis atau bercanda.
3) Intraphysic processes, yaitu menggunakan strategi kognitif untuk menilai kembali
atau mengubah pandangan seseorang mengenai situasi stressfull. Proses ini dapat
dilakukan dengan dua cara:
i. Cognitive redefinition, yaitu strategi dimana orang mencoba untuk berfikir
positive pada situasi yang buruk. Strategi ini dapat dilakukan dengan
berfikir bahwa keadaan tersebut bisa jadi lebih buruk, membuat
perbandingan dengan individu lain yang memiliki keadaan yang lebih
buruk, melihat dampak positive yang muncul akibat permasalahan
tersebut.

16
ii. Defense mechanism, yaitu upaya untuk mengesampingkan ingatan atau
realitas dalam berbagai cara, dengan melakukan penyangkalan (seseorang
tidak mengakui adanya hal yang menyakitkan), intelektualisasi
(menghadapi stressor secara intelektual) dan supresi (upaya untuk
melupakan ingatan stressfull dengan mengendalikan pemikiran yang
menyakitkan secara sadar.

17
Edinburgh Postnatal Depression Scale
(EPDS)
I. Identitas Responden
A. 1. No. Responden :
2 Initial :
3 Umur ibu :
4 Umur bayi :
5 Alamat :
B. 1 Tanggal persalinan :
2 Jenis Persalinan :
c. Persalinan normal d. Cunam
d. Sectio Cesaria (SC) e. Induksi
e. Vakum Ekstraksi
C. Pendidikan ibu :
D. Pekerjaan ibu :
E. Pekerjaan suami :
II. Dukungan sosial
1. Apakah ibu mendapatkan dukungan dari suami?
a. Ya b. Tidak
Kalau ya,
a. Apakah ibu merasa mendapatkan dukungan yang cukup dari suami?
a. Ya b. Tidak
b. Apakah suami hadir pada saat melahirkan?
a. Ya b. Tidak
c. Apakah ibu merasakan dukungan emosi/perhatian yang adekuat dari suami?
a. Ya b. Tidak
d. Apakah ibu merasa mendapat dukungan bantuan yang adekuat dari suami
(mis.membantu tugas rumah atau menjaga anak) ?
a. Ya b. Tidak
e. Apakah ibu merasa dapat mengandalkan suami saat ibu membutuhkan bantuan?
a. Ya b. Tidak
2. Apakah ibu merasa mendapatkan dukungan dari keluarga/teman?

18
a. Ya b. Tidak
Kalau ya,
a. Apakah ibu merasa mendapat dukungan yang cukup dari keluarga/teman?
a. Ya b. Tidak
b Apakah ibu merasa mendapatkan dukungan emosi/perhatian yang adekuat dari
keluarga/teman?
a. Ya b. Tidak
c. Apakah ibu merasa mendapat dukungan bantuan yang adekuat dari keluarga/teman
(mis.membantu tugas rumah atau menjaga anak) ?
a. Ya b. Tidak
d Apakah ibu merasa dapat mengandalkan keluarga/teman saat ibu membutuhkan
bantuan?
a. Ya b. Tidak
III. Edinburgh Postnatal Depression Scale (EPDS)
Petunjuk pengisian : Silang salah satu pernyataan dibawah ini yang dianggap benar.
Setelah ibu melahirkan baru-baru ini, kami bermaksud mengetahui bagaimana perasaan anda
setelah lebih dari 7 hari, tidak hanya perasaan anda hari ini.
1. Saya sudah dapat tertawa dan melihat hal-hal lucu
a. Sesering mungkin sebagaimana biasanya
b. Tidak terlalu sering saat ini
c. Sudah pasti tidak begitu sering saat ini
d. Tidak sama sekali
2. Saya menemukan hal-hal yang menyenangkan
a. Selalu seperti dulu
b. Agak kurang dari biasanya
c. Tidak terlalu sering
d. Tidak pernah
3. Saya menyalahkan diri sendiri ketika suatu kesalahan
a. Ya, setiap saat
b. Ya, beberapa kali
c. Tidak terlalu sering
d. Tidak pernah
4. Saya merasa cemas dan khawatir untuk alasan yang tidak tepat
a. Tidak, tidak sama sekali

19
b. Hampir tidak pernah
c. Ya, kadang-kadang
d. Ya, selalu
5. Saya merasa takut atau panik untuk alasan-alasan yang kurang tepat
a. Ya, sangat sering
b. Ya, kadang-kadang
c. Tidak, tidak begitu sering
d. Tidak sama sekali
6. Banyak hal yang membebaniku
a. Ya, saya selalu tidak mampu mengatasinya sama sekali
b. Ya, kadang-kadang saya tidak dapat mengatasi sebaik yang biasanya
c. Tidak, kebanyakan saya dapat mengatasinya dengan baik
d. Tidak, saya dapat mengatasinya seperti dulu
7. Saya merasa tidak bahagia, saya mengalami kesulitan tidur
a. Ya selalu
b. Ya, kadang-kadang
c. Tidak begitu sering
d. Tidak, tidak sama sekali
8. Saya merasa sedih dan menderita
a. Ya, selalu
b. Ya, kadang-kadang
c. Tidak begitu sering
d. Tidak, tidak sama sekali
9. Saya tidak begitu bahagia dan membuat saya menangis
a. Ya, selalu
b. Ya, kadang-kadang
c. Tidak begitu sering
d. Tidak, tidak sama sekali
10. Pikiran untuk melukai diriku sendiri
a. Ya, selalu
b. Ya, kadang-kadang
c. Tidak begitu sering
d. Tidak, tidak sama sekali

20
BAB III
KESIMPULAN

Depresi postpartum merupakan istilah yang digunakan pada pasien yang mengalami
berbagai gangguan emosional yang timbul setelah melahirkan, khususnya pada gangguan
depresi spesifik yang terjadi pada 10%-15% wanita pada tahun pertama setelah melahirkan.
Pasien akan mengalami gejala affektiv selama periode postpartum, 4 sampai 6 minggu
setelah melahirkan. Susah berinteraksi dengan perawat dalam keadaan stres dan bayi
meningkatkan resiko pendekatan yang tidak aman dan terjadinya masalah kognitiv dan sifat
pada anak. Penurunan cepat tingkat reproduksi hormon yang terjadi setelah melahirkan
dipercaya dapat berkembang menjadi depresi pada wanita dengan depresi postpartum.
Walaupun penyebab depresi ini cenderung pada tingkat penurunan hormon, beberapa faktor
mungkin menjadi preidisposisi pada penderita. Kejadian stress dalam hidup, riwayat depresi
sebelumnya, dan riwayat keluarga yang mengalami gangguan mood, semua dikenal sebagai
prediktor depresi mayor pada wanita.

Kriteria yang digunakan dalam menegakkan diagnosis berdasarkan pada riwayat dan
gejala-gejala yang tampak mengikuti Diagnostic And Statisctical Manual of Mental
Disorders, edisi keempat (DSM-IV) Secara umum, dalam menatalaksanaan ibu dengan
depresi postpartum diberikan dengan farmakologis, psikoterapi, hormonal replacement
therapy, dan profilaksis treatment. Pasien yang telah didiagnosis menderita gejala depresi
postpartum, diberikan pengobatan dengan pemberian obat antidepressant. Menyusui tidak
hanya untuk mengurangi stress untuk ibu, namun juga menguragi tingkat stress pada bayi
ketika ibunya mengalami depresi. Menyusui melindungi suasana hati ibu dengan mengurangi
tingkat stress. Ketika tingkat stress rendah, respon inflamasi ibu tidak aktif dan akan
mengurangi resiko depresi. Pemberian psikoterapi yang berfokus pada interpersonal terapi.
sangat efektif untuk meredakan gejala depresi dan meningkatkan fungsi psikososial.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Wisner, Katherine MD, Barbara L. Parry MD, Catherine M Piontek MD. Postpartum
Depression. The New England Journal of Medicine, 2002, p :194-199.
2. Leitch, Sarah. Postpartum Depression : A Review of the Literature. Elgin-St. Thomas
Health Unit, 2002, p: 1-17
3.Saju Joy. Postpartum Depression. Mei-Juni [diakses 3 April 2014]; 1[1]:[15 screen].
Diunduh dari:URL: http://emedicine.medscape.com/article/271662-overview.
4. James McKena. A Breastfeeding-Friendly Approach to Depression In New Mothers. Mei-
Juni [diakses 3 April 2014]; 1[1]:[11 screen]. Diunduh dari : URL:
http://www.NHbreastfeedingTaskForce.org,
5. David Chelmow. Postpartum Depression. Mei-Juni [diakses 3 April 2014]; 1[1]:[12
screen]. Diunduh dari : URL: http://www.medscape.com/viewarticle/408688_5.
6. Doucet and Letourneau. Coping and Suicidal Ideations In Women With Symptomps of
Postpartum Depression. University of New Brunswick, 2009, p : 9-19
7. Michael R. Hulsizer and Rebecca P Cameroon. Depression Prevalence and Incidence
Among Inner-City Pregnant and Postpartum Women. American Psychological Association,
2003, p: 445-453.

8. Klier, Claudia M, Maria Muzik, Kanita Dervic, Nilufar Mossaheb, Thomas Benesch,
Barbara Ulm, and Maria Zeller. The Role Of Estrogen and Progesteron in Depression After
Birth. Journal of Psychiatric, 2007, p: 273-279.
9. John W Crayton and William J. Walsh. Elevated Serum Copper Levels In Women With A
History of Postpartum Depression. Journal of Trace Elements in Medicine and Biology,
2007, p: 17-21.
10. J. John Mann. The Medical Management of Depression. The New England Journal of
Medicine, 2005, p: 1819-1834.
11. Kathleen Kendall-Tecket. A New Paradigm For Depression In New Mothers : The
Central Role of Inflamation and How Breastfeeding and Anti-Inflamatory Treatment Protect
Maternal Mental Health. International Breastfeeding Journal, 2007, p: 1-14.
12. Cindy-Lee Dennis. The Effect of Peer Support on Postpartum Depression: A Pilot
Randomized Controlled Trial. Can J Psychiatry, 2003, p: 115-124

22
13. Einarson, J. Choi, Einarson T, Koren G. Adverse Effect of Antidepressant Use In
Pregnancy : An Evaluation Of Fetal Growth and Preterm Birth. University of Toronto, 2009,
p: 35-38
14. Jones, NA, Field T, Fox NA, M. Davalos and C. Gomez. EEG During Different Emotions
In 10-Month-Old Infants Of Depressed Mothers. Journal of Reproductive and Infant
Psychology, 2002, p: 298-312.

15. Dawson, Geraldine, Heracles Panagiotides, Laura Grofer Kringer, and Susan Spieker.
Infants of Depressed and Nondepressed Mothers Exhibit Diferrences In Frontal Brain
Electrical Activity During Expressions Of Negative Emotions. American Psychological
Assosiaction, 2002, p: 650-656.

23

Anda mungkin juga menyukai