Anda di halaman 1dari 40

BAB I

LATAR BELAKANG

1.1 Latar Belakang


Bell’s palsy adalah penyakit neuropati kranial yang bermanifestasi menjadi
kelumpuhan pada sebagian sisi wajah (unilateral) akibat dari paralisis nervus
fasial perifer yang terjadi secara akut. Penyebab dari penyakit ini biasanya
idiopatik, tetapi faktor seperti pengaruh kondisi dingin, Herpes Simplex Virus,
infeksi pada telinga juga disebutkan dapat menyebabkan Bell’s palsy1.
Angka kejadian Bell’s palsy setiap tahunnya berkisar antara 11-40
kejadian dari 100.000 orang 2. Penyakit ini dikatakan dapat terjadi pada segala
rentang usia, namun menurut data yang ada, Bell’s palsy meningkat pada usia
menengah sampai lanjut, wanita hamil, orang yang terkena infeksi saluran
pernafasan atas, orang dengan immunocompromised, diabetes melitus, dan
hipertensi. Di negara Indonesia sendiri, berdasarkan data dari 4 buah rumah sakit
diperoleh frekuensi Bell’s palsy sebesar 19,55% dari seluruh kasus neuropati1.
Gejala Bell’s palsy terjadi pada ipsilateral, biasanya terdapat penurunan
dari struktur alis, wajah yang terkulai, perataan lipatan nasolabial,
ketidakmampuan menutup mata sepenuhnya, kesulitan untuk mengerutkan bibir,
atau menaikkan sudut mulut, serta 70% pasien Bell’s palsy memiliki rasa sakit di
sekitar telinga, perubahan selera makan, dan mata kering2.
Dari tanda dan gejala di atas, Bell’s Palsy dapat ditatalaksana dengan
bantuan fisioterapi. Fisioterapi dapat membantu mengatasi permasalahan kapasitas
fisik pada pasien, mengembalikan kemampuan fungsional pasien serta memberi
motivasi dan edukasi pada pasien untuk menunjang keberhasilan terapi pasien.
BAB II
STATUS PASIEN

I. Anamnesis
1. Identitas Pasien
Nama : Ny. NZ
Tanggal Lahir/Umur : 04 Oktober 1968/ 51
Alamat : Palembang
Suku Bangsa : Indonesia
Agama : Islam
Pendidikan : SLTA
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
MRS : 26 Februari 2020
No. RM : 1136774
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Keluhan Utama
Kesemutan dan rasa tidak nyaman pada pipi kiri

Riwayat Perjalanan Penyakit


Tiga bulan yang lalu pasien mengeluhkan wajah sebelah kiri kesemutan dan
mulut mengot pada sisi sebelah kiri secara mendadak, oleh karena itu pasien
memutuskan untuk ke puskesmas. Dari puskesmas, pasien diberi obat namun pasien
tidak ingat jumlah dan nama obat. Setelah dari keluhan pertama, beberapa minggu
selanjutnya pasien juga merasakan adanya penurunan dari alis sebelah kiri, mata
kering, telinga kiri berdenging. Karena merasakan ketidak nyamanan pada
telinganya, pasien berobat ke dokter THT, tetapi tidak didapatkan adanya gangguan.
Untuk keluhan mata kering, pasien juga berobat ke dokter mata, dari dokter mata,
pasien mendapatkan satu obat tetes mata dan 4 obat minum, tetapi pasien tidak
ingat nama obat yang diberikan. Menurut dokter mata, pasien menderita Bell’s
palsy dan direkomendasikan untuk memeriksakan diri ke bagian rehab medik RSUP
dr. Mohammad Hoesin.
Dari bagian rehab medik, pasien didiagnosa menderita Bell’s palsy dan diberikan
terapi sinar, TENS, dan tapping. Setelah melakukan enam kali fisioterapi, keluhan
pasien mulai membaik, namun rasa kesemutan dan rasa tidak nyaman di pipi
sebelah kiri masih ada hingga sekarang.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat trauma : disangkal
Riwayat darah tinggi : disangkal
Riwayat kencing manis : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat kejang : disangkal
Riwayat asma : disangkal

4. Riwayat Operasi:
Operasi usus buntu

5. Riwayat Penyakit dalam Keluarga


Riwayat darah tinggi : disangkal
Riwayat kencing manis : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat alergi obat/makanan : disangkal
Riwayat asma : disangkal

6. Riwayat Pekerjaan
Ny. ZA adalah seorang ibu rumah tangga. Sehari-hari Ny. ZA melakukan kegiatan
memasak, mencuci dan membersihkan rumah. Pasien mengaku sering tidur di depan
kipas angin.

7. Riwayat Sosial Ekonomi


Ny. ZA tinggal bersama suami dan 4 orang anak. Ny. ZA adalah seorang ibu rumah
tangga.

II. Pemeriksaan Fisik


a. Pemeriksaan Umum
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : GCS 15
Tinggi Badan/ Berat Badan : 155cm/ 55kg BMI: 22,91
Cara berjalan/Gait
- Antalgik gait : tidak ada
- Hemiparese gait : tidak ada
- Steppage gait : tidak ada
- Parkinson gait : tidak ada
- Tredelenburg gait : tidak ada
- Waddle gait : tidak ada
- Lain-lain : tidak ada
Bahasa/ bicara
- Komunikasi verbal : normal
- Komunikasi non-verbal : normal
Tanda vital
Tekanan Darah : 120/80mm/Hg
Nadi : 75x/menit, isi cukup irama teratur
Pernafasan : 18x/menit
Suhu : 36,5oC
Kulit : normal
Status Psikis
Sikap : kooperatif Orientasi : normal
Ekspresi wajah : datar Perhatian : normal

b. Saraf-saraf Otak
Nervus Kanan Kiri
I. N. Olfaktorius Normal Normal
II. N. Opticus Normal Normal
III. N. Occulomotorius Normal Normal
IV. N. Trochlearis Normal Normal
V. N. Trigeminus Normal Normal
VI. N. Abducens Normal Normal
VII. N. Fasialis Normal Parese perifer
VIII. N. Vestibulocochlearis Normal Normal
IX. N. Glossopharyngeus Normal Normal
X. N. Vagus Normal Normal
XI. N. Accesorius Normal Normal
XII. N. Hypoglossus Normal Normal
c. Kepala
Bentuk : normal
Ukuran : normocephali
Posisi
- Mata : sedikit sulit dipejamkan
- Hidung : normal, simetris
- Telinga : normal, simetris
- Mulut : asimetris (deviasi)
- Wajah : Asimetris gerakan abnormal: tidak ada

d. Leher
Inspeksi : statis, simetris
Palpasi : tidak ada pembesaran kelenjar
Luas Gerak Sendi
Ante /retrofleksi(n 65/50) :65/50
Laterofleksi (D/S)(n 40/40) : 40/40
Rotasi (D/S) (n 45/45) : 45/45
Tes Provokasi
Lhermitte test/ Spurling : tidak dilakukan
Test Valsava : tidak dilakukan
Distraksi test : tidak dilakukan
Test Nafziger : tidak dilakukan

e. Thorax
Bentuk : simetris
Pemeriksaan Ekspansi Thoraks : Ekspansi simetris

Paru-paru
- Inspeksi : dalam batas normal
- Palpasi : dalam batas normal
- Perkusi : dalam batas normal
- Auskultasi : dalam batas normal

Jantung
- Inspeksi : dalam batas normal
- Palpasi : dalam batas normal
- Perkusi : dalam batas normal
- Auskultasi : dalam batas normal

f. Abdomen
- Inspeksi : dalam batas normal
- Palpasi : dalam batas normal
- Perkusi : dalam batas normal
- Auskultasi : dalam batas normal

g. Trunkus
Inspeksi
- Simetris : simetris
- Deformitas : tidak ada
- Lordosis : tidak ada
- Scoliosis : tidak ada
- Gibbus : tidak ada
- Hairy spot : tidak ada
- Pelvic tilt : tidak ada
- Palpasi
- Spasme otot-otot para vertebrae: tidak ada
- Nyeri tekan (lokasi) :tidak ada
Luas gerak sendi lumbosakral
- Ante/retro fleksi (95/35) : 95/35
- Laterofleksi (D/S) (40/40) : 40/40
- Rotasi (D/S) (35/35) : 35/35
Test provokasi : tidak dilakukan
Valsava test : Tes Laseque : Test Baragard dan Sicard :
Niffziger test : Test LSR : Test O’Connell :
FNST : Test Patrick : Test Kontra Patrick :
Tes gaernslen : Test Thomas : Test Ober’s :
Nachalasknee flexion test : Mc.Bride sitting test :
Yeoman’s hyprextension : Mc. Bridge toe to mouth sitting test :
Test schober :
h. Anggota Gerak Atas
Inspeksi kanan kiri
- Deformitas : tidak ada tidak ada
- Edema : tidak ada tidak ada
- Tremor : tidak ada tidak ada
- Nodus herbenden : tidak ada tidak ada

Neurologi
Motorik Dextra Sinistra
Gerakan Luas Terbatas
Kekuatan
- Abduksi lengan 5 5
- Fleksi siku 5 5
- Ekstensi siku 5 5
- Fleksi jari-jari tangan 5 5
- Abduksi jari tangan 5 5
Tonus Eutoni Eutoni
Tropi Eutropi Eutropi
Refleks Fisiologis
- Refleks tendon biseps Normal Normal
- Refleks tendon triseps Normal Normal
Refleks Patologis
- Hoffman Tidak ada Tidak ada
- Tromner Tidak ada Tidak ada
Sensorik
- Protopatik Normal
- Proprioseptik Normal
Vegetatif Tidak ada kelainan

Penilaian fungsi tangan Kanan Kiri


Anatomical normal normal
Grips normal normal
Spread normal normal
Palmar abduct normal normal
Pinch normal normal
Lumbrical normal normal

Luas Gerak Sendi Aktif Aktif Pasif Pasif


Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Abduksi Bahu 0-180 0-180 0-180 0-180
Adduksi Bahu 180-0 180-0 180-0 180-0
Fleksi bahu 0-180 0-180 0-180 0-180
Extensi bahu 0-60 0-60 0-60 0-60
Endorotasi bahu (f0) 90-0 90-0 90-0 90-0
Eksorotasi bahu (f0) 0-90 0-90 0-90 0-90
Endorotasi bahu (f90) 90-0 90-0 90-0 90-0
Eksorotasi bahu (f90) 0-90 0-90 0-90 0-90
Fleksi siku 0-150 0-150 0-150 0-150
Ekstensi siku 150-0 150-0 150-0 150-0
Ekstensi pergelangan 0-70 0-70 0-70 0-70
tangan
Fleksi pergelangan 0-80 0-80 0-80 0-80
tangan
Supinasi 0-90 0-90 0-90 0-90
Pronasi 0-90 0-90 0-90 0-90

Test Provokasi kanan kiri


- Yergason test : tidak dilakukan tidak dilakukan
- Apley scratch test : tidak dilakukan tidak dilakukan
- Moseley test : tidak dilakukan tidak dilakukan
- Adson maneuver : tidak dilakukan tidak dilakukan
- Tinel test : tidak dilakukan tidak dilakukan
- Phalen test : tidak dilakukan tidak dilakukan
- Prayer test : tidak dilakukan tidak dilakukan
- Finkelstein : tidak dilakukan tidak dilakukan
- Promet test : tidak dilakukan tidak dilakukan

i. Anggota Gerak Bawah


Inspeksi kanan kiri
- Deformitas : tidak ada tidak ada
- Edema : tidak ada tidak ada
- Tremor : tidak ada tidak ada

Palpasi
- Nyeri tekan (lokasi) : tidak ada tidak ada
- Diskrepansi : tidak ada tidak ada

Neurologi
Motorik kanan Kiri
Gerakan Luas Luas
Kekuatan
Fleksi paha 5 5
Ekstensi paha 5 5
Ekstensi lutut 5 5
Fleksi lutut 5 5
Dorsofleksi pergelangan kaki 5 5
Dorsofleksi ibu jari kaki 5 5
Plantar fleksi pergelangan kaki 5 5
Tonus Eutoni Eutoni
Tropi Eutropi Eutropi
Refleks Fisiologis
Refleks tendo patella Normal Normal
Refleks tendo Achilles Normal Normal
Refleks Patologis
Babinsky Tidak ada Tidak ada
Chaddock Tidak ada Tidak ada
Sensorik
Protopatik Normal
Proprioseptik Normal
Vegetatif Tidak ada Kelainan

Luas Gerak Sendi


Luas Gerak Sendi Aktif Aktif Pasif Pasif
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Fleksi paha 0-125 0-125 0-125 0-125
Ekstensi paha 0-30 0-30 0-30 0-30
Endorotasi paha 0-180 0-180 0-180 0-180
Adduksi paha 0-60 0-60 0-60 0-60
Abduksi paha 0-45 0-45 0-45 0-45
Fleksi lutut 0-135 0-135 0-135 0-135
Ekstensi lutut 0 0 0 0
Dorsofleksi pergelangan 0-20 0-20 0-20 0-20
kaki
Plantar fleksi 0-50 0-50 0-50 0-50
pergelangan kaki
Inversi kaki 0-30 0-30 0-30 0-30
Eversi kaki 0-20 0-20 0-20 0-20

Tes Provokasi Sendi Lutut kanan kiri


Stes test tidak dilakukan tidak dilakukan
Drawer’s test tidak dilakukan tidak dilakukan
Test tunel tidak dilakukan tidak dilakukan
Test homan tidak dilakukan tidak dilakukan
Test lain-lain tidak dilakukan tidak dilakukan
III. Skala UGO FISCH
Posisi Nilai Persentase (%) Skor
Istirahat 20 100 20
Mengerutkan dahi 10 70 7
Menutup mata 30 70 21
Tersenyum 30 30 9
Bersiul 10 30 3
Total 60

IV. Pemeriksaan Penunjang


A. Radiologis : tidak dilakukan
B. Laboratorium : tidak dilakukan
C. Lain-lain CT-Scan/ MRI : tidak dilakukan

V. Evaluasi
No Level ICF Kondisi saat ini Sasaran
1 Struktur dan Struktur alis, wajah, dan bibir Mengembalikan fungsi
fungsi tubuh sedikit turun, terasa kesemutan fisiologis nervus fascialis
dan tidak nyaman pada pipi
sebelah kiri

2 Aktivitas Normal Mempertahankan kemampuan


pasien untuk dapat beraktivitas
secara normal sehari-hari.
3 Partisipasi Kepercayaan diri menurun, Meningkatkan kepercayaan
pasien merasa malu dan tidak diri pasien dan kemampuan
nyaman berinteraksi dengan sesama.
Catatan: ICF International Clasification of Function (WHO 2002)

VI. Diagnosis Klinis


Diagnosis: Bell’s Palsy

VII. Program Rehabilitasi Medik


Fisioterapi
MWD belakang telinga
TENS pada sisi wajah sebelah kiri
R-Tapping
Massage
Okupasi Terapi
ROM Exercise : Tidak ada
ADL Exercise : Tidak ada
Ortotik Prostetik
Ortotic : Ada
Prostetik : Tidak ada
Alat bantu ambulansi : Tidak ada
Terapi Wicara
Afasia : Tidak Dilakukan
Disartria : Tidak Dilakukan
Disfagia : Tidak Dilakukan
Social Medik : Memberikan support mental dan psikoterapi pada pasien
agar tidak merasa malu dan menarik diri dari pergaulan
sosial.
Edukasi : Edukasi keluarga untuk memberi dorongan pada pasien
agar mau berobat dan melakukan terapi secara teratur dan
menjelaskan bahwa penyakitnya dapat sembuh.

VIII. Terapi Medika Mentosa

IX. Prognosis
- Medik : Bonam
- Fungsional : Bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Saraf Fasialis


Saraf fasialis merupakan saraf campuran yang terdiri dari 2 akar saraf,

yaitu akar motorik (lebih besar dan lebih medial) dan intermedius (lebih kecil dan

lebih lateral)(gambar 1). Akar motorik berasal dari nukleus fasialis dan berfungsi

membawa serabut- serabut motorik ke otot- otot ekspresi wajah. Saraf intermedius

yang berasal dari nukleus salivatorius anterior, membawa serabut-serabut

parasimpatis ke kelenjar lakrimal, submandibular, dan sublingual. Saraf

intermedius juga membawa serabut- serabut aferen untuk pengecapan pada dua

pertiga depan lidah dan aferen somatik dari kanalis auditori eksterna dan pinna

(gambar 2) (Monkhouse 2006).

Kedua akar saraf ini muncul dari pontomedullary junction dan berjalan

secara lateral melalui cerebellopontine angle bersama dengan saraf

vestibulocochlearis menuju meatus akustikus internus, yang memiliki panjang ± 1

centimeter (cm), dibungkus dalam periosteum dan perineurium (Ronthal dkk,

2012; Berg 2009).


Gambar 1. Nukleus dan Saraf Fasialis

Sumber: Clarke, C., Lemon, R. 2009. Nervous System Structure and Function. In:
Clarke,C., Howard, R., Rossor, M., Shorvon, S., eds. Neurology: a Queen Square
textbook. Balckwell Publishing Ltd.

Gambar 2. Perjalanan saraf fasialis

Sumber: Kanerva, M. 2008. Peripheral Facial Palsy: Grading, Etiology, and Melkerson-
Rosenthal Syndrome. Otolaryngology-Head and Neck Surgery, In Press.
Selanjutnya saraf memasuki kanalis fasialis. Kanalis fasialis (fallopi) memiliki

panjang sekitar 33 milimeter (mm), dan terdiri dari 3 segmen yang berurutan:

labirin, timpani dan mastoid. Segmen labirin terletak antara vestibula dan cochlea

dan mengandung ganglion genikulatum. Karena kanal paling sempit berada di

segmen labirin ini (rata- rata diameter 0,68 mm), maka setiap terjadi

pembengkakan saraf, paling sering menyebabkan kompresi di daerah ini. Pada

ganglion genikulatum, muncul cabang yang terbesar dengan jumlahnya yang

sedikit yaitu saraf petrosal. Saraf petrosal meninggalkan ganglion genikulatum,

memasuki fossa cranial media secara ekstradural, dan masuk kedalam foramen

lacerum dan berjalan menuju ganglion pterigopalatina. Saraf ini mendukung

kelenjar lakrimal dan palatina (gambar 3) (Ronthal dkk, 2012; Berg 2009).

Serabut saraf lainnya berjalan turun secara posterior di sepanjang dinding

medial dari kavum timpani (telinga tengah), dan memberikan percabangannya ke

musculus stapedius (melekat pada stapes). Lebih ke arah distal, terdapat

percabangan lainnya yaitu saraf korda timpani, yang terletak ± 6 mm diatas

foramen stylomastoideus. Saraf korda timpani merupakan cabang yang paling

besar dari saraf fasialis, berjalan melewati membran timpani, terpisah dari kavum

telinga tengah hanya oleh suatu membran mukosa. Saraf tersebut kemudian

berjalan ke anterior untuk bergabung dengan saraf lingualis dan didistribusikan ke

dua pertiga anterior lidah (Ronthal dkk, 2012; Monkhouse 2006).


Gambar 3. Saraf fasialis

Dikutip dari: Moore, K.L., A.M.R. 2002. Essential Clinical Anatomy, 2 nd Edition.
Lippincott Williams&Wilkins. Batimore.
Korda timpani mengandung serabut- serabut sekretomotorik ke kelenjar

sublingual dan submandibularis, dan serabut aferen viseral untuk pengecapan,

Badan sel dari neuron gustatori unipolar terletak didalam ganglion genikulatum,

dan berjalan malalui saraf intermedius ke traktus solitarius (gambar 4) (Ronthal

dkk, 2012; Monkhouse 2006).

Gambar 4. Saraf Intermedius dan koneksinya


Sumber: Clarke, C., Lemon, R. 2009. Nervous System Structure and Function. In:
Clarke,C., Howard, R., Rossor, M., Shorvon, S., eds. Neurology: a Queen Square
textbook. Balckwell Publishing Ltd.

Setelah keluar dari foramen stylomastoideus, saraf fasialis membentuk

cabang kecil ke auricular posterior (mempersarafi m.occipitalis dan m.

stylohoideus dan sensasi kutaneus pada kulit dari meatus auditori eksterna) dan ke

anterolateral menuju ke kelenjar parotid. Di kelenjar parotid, saraf fasialis

kemudian bercabang menjadi 5 kelompok (pes anserinus) yaitu temporal,

zygomaticus, buccal, marginal mandibular dan cervical. Kelima kelompok saraf

ini terdapat pada bagian superior dari

kelenjar parotid, dan mempersarafi dot- otot ekspresi wajah, diantaranya

m. orbicularis oculi, orbicularis oris, m. buccinator dan m. Platysma (Gambar 5)


(Ronthaldkk, 2012; Berg 2009; Monkhouse 2006).

Gambar 5. Saraf fasialis ekstrakranial


Sumber: Monkhouse, S. 2006. Cranial Nerves: Functional Anatomy. Cambridge
University Press. New York.

2.2. Fisiologi Saraf Fasialis


Saraf fasialis memiliki nucleus yang terletak di dalam medulla oblongata.
Saraf fasialis memiliki akar saraf motorik yang melayani otot-otot mimic dan akar
sensorik khusus (nervus intermedius). Saraf ini muncul di permukaan anterior
antara pons dan medulla oblongata (angulus pontocerebelaris). Akar sarafnya
berjalanbersama nervusvestibulo-cochlearis dan masuk ke meatus akustikus
internus pada pars petrosadari tulang temporal.
Gambar 6. Persarafan dan Perdarahan pada wajah

Saraf terletak diantara alat keseimbangan dan pendengaran yaitu cochlea dan
vestibulum saat berjalan dari meakus akustikus internus menuju ventrolateral. Saraf
memasuki kanalis fasialis di dasar dari meatus dan berbelok ke arah dorsolateral. Saraf
menuju dinding medial dari kavum timpani dan membentuk sudut di atas promontorium
yang disebut ganglion genikulatum. Saraf kemudian berjalan turun pada dinding dorsal
kavum timpani dan keluar dari ostemporal melalui foramen stylomastoideus. Saraf tetap
berjalan menembus glandula parotis untuk memberi persarafan pada otot-otot mimik.
Saraf fasialis memiliki lima percabangan penting sebagai berikut:
a. Nervus petrosus superfisialis mayor keluar dari ganglion geniculi. Saraf ini
memiliki cabang preganglionik parasimpatetik yang memberi sinaps pada ganglion
pterygopalatina. Serat-serat saraf ini memberi percabangan sekromotorik pada
kelenjar lakrimalis dan kelenjar pada hidung dan palatum. Saraf ini juga
mengandung serat afferen yang didapat dari taste bud dari mukosa palatum.
b. Saraf stapedius, memberi persarafan pada muskulus stapedius di telinga tengah.
Korda timpani muncul di kanalis fasialis di dinding posterior kavum timpani.
Bagian saraf ini langsung menuju permukaan medial dari bagian atas membran
timpani dan meninggalkan telinga tengah melalui fisura petrotimpanikus dan
memasuki fossa infratemporal dan bergabung dengan nervus lingualis. Korda
timpani memiliki serat preganglionik parasimpatetik berupa serat sekremotorik yang
memberi persarafan pada kelenjar liur submandibular dan sublingual. Korda timpani
juga memiliki serat saraf taste bud dari 2/3 anterior lidah dan dasar mulut.
c. Nervus aurikularis posterior memberi persarafan otot aurikel dan muskulus
temporalis. Terdapat juga cabang muskularis yang keluar setelah saraf keluar dari
foramen stylomastoideus. Cabang ini memberi persarafan pada muskulus
stylohyoid dan muskulus digastricus posterior.
d. Lima cabang terminal untuk otot- otot mimik. Cabang-cabang itu adalah cabang
temporal, cabang zigomatik, cabang buccal, cabang mandibular dan cabang cervical.
e. Nervus fasialis berada di dalam kelenjar liur parotis setelah meninggalkan foramen
stylomastoideus. Saraf memberikan cabang terminal di batas anterior kelenjar
parotis. Cabang-cabang ini menuju otot-otot mimik di wajah dan regio scalp. Cabang
buccal untuk muskulus buccinator. Cabang cervicalis untuk muskulus platysma dan
muskulus depressor anguli oris. Nervus fasialis dengan semua perjalanannya ini
mengontrol mimik wajah (facial expression), salivasi dan lakrimasi serta digunakan
3
untuk sensasi rasa dari anterior lidah, dasar mulut dan palatum.

Otot-otot Mimik (Facial Expression Muscles)


Otot-otot mimik terdapat di dalam fascia superfisialis wajah dan muncul dari tulang
pada wajah dan masuk pada kulit wajah. Lubang-lubang pada wajah yaitu orbita, hidung
dan mulut dilindungi oleh kelopak mata, cuping hidung dan bibir. Fungsi otot-otot mimik
adalah untuk menutup (sphincter) dan membuka (dilatator) struktur-struktur ini. Fungsi
kedua otot-otot mimik adalah membuat ekspresi wajah. Semua otot ini mendapat suplai
darah dari arteri fasialis.
Otot sphincter dari kelopak mata adalah muskulus orbikularis okuli dan otot
dilatatornya adalah muskulus levator palpebra superioris dan muskulus occipitofrontalis.
Muskulus occipitofrontalis membentuk bagian dari scalp. Muskulus corrugator supercilii
adalah untuk mengkerutkan dahi.
Otot sphincter dari cuping hidung adalah muskulus kompresor naris dan otot
dilatatornya adalah muskulus dilatator naris. Muskulus procerus digunakan untuk
mengerutkan hidung.
Otot sphincter dari mulut adalah muskulus orbicularis okuli. Serat- seratnya
mengelilingi lubang mulut dalam bagian dari bibir. Serat-seratnya sebagian muncul dari
garis tengah maxilla di atas dan mandibula di bawah. Serat lain muncul dari bagian dalam
kulit dan menyilang pada membran mukosa membentuk garis dalam bibir. Banyak
dari serat berasal muskulus buccinator. Otot dilatator dari mulut terdiri dari banyak
serat otot yang bergabung dan fungsinya adalah memisahkan bibir. Gerakan ini lalu
diikuti pemisahan rahang bawah. Serat-serat otot dilatator mulut ini muncul dari tulang
dan fascia di sekitar mulut dan bersatu untuk membentuk bibir. Nama kelompok otot itu
adalah sebagai berikut:
 Muskulus levator labii superioris alaqua nasi
 Muskulus levator labii superioris
 Muskulus zygomaticus minor
 Muskulus zygomaticus major
 Muskulus levator anguli oris
 Muskulus risorius
 Muskulus depressor anguli oris
 Muskulus depressor labii inferioris
 Muskulus mentalis
Muskulus
buccinator berorigo di batas alveolar dari maxilla dan
mandibula pada gigi molar oposisinya dan juga dari ligamen pterygomandibula. Otot
berjalan ke depan dan membentuk lapisan otot-otot pipi. Otot dikaitkan dengan kelenjar
parotis. Otot buccinator menyilang pada serat utamanya di sudut mulut. Otot buccinator
3
berfungsi untuk kompresi pipi dan bibir untuk mencegah pipi tergigit saat mengunyah.

2.3. Bell’s Palsy


2.3.1. Definisi
BeIl’s palsy adalah kelumpuhan atau paralisis wajah unilateral karena
gangguan nervus fasialis perifer yang bersifat akut dengan penyebab yang tidak
teridentifikasi dan dengan perbaikan fungsi yang terjadi dalam 6 bulan (Berg 2009).

1
Gambar 7. Istilah dan Definisi Terminologi Umum

2.3.2. Epidemiologi
Bell’s palsy merupakan penyebab paralisis fasialis yang paling sering ditemukan,
yaitu sekitar 75% dan seluruh paralisis fasialis. Insiden bervariasi di berbagai Negara di
seluruh dunia. Perbedaan insidensi ini tergantung pada kondisi geografis masing- masing
negara. Insiden tahunan yang telah dilaporkan berkisar 11-40 kasus per 100.000 populasi.
Puncak insiden terjadi antara dekade kedua dan keempat (15-45 tahun). Tidak dijumpai
perbedaan prevalensi dalam jenis kelamin. Insiden meningkat tiga kali lebih besar pada
wanita hamil (45 kasus per 100.000). Sebanyak 5-10% kasus Bell’s palsy adalah
penderita diabetes mellitus. (Finsterer 2008; Monini dkk, 2010). Bell’s palsy jarang
ditemukan pada anak- anak < 2 tahun. Tidak ada perbedaan pada sisi kanan dan kiri
wajah. Kadang- kadang paralisis saraf fasialis bilateral dapat terjadi dengan prevalensi
0,3- 2% (Finsterer, 2008). Resiko terjadinya rekurensi dilaporkan sekitar 8-12% kasus,
dengan 36% pada sisi yang sama dan 64% pada sisi yang berlawanan (Tiemstra dkk,
2007; Kanerva 2008). Adanya riwayat keluarga positif diperkirakan pada 4-14% kasus
Bell’s palsy (Kubik dkk, 2012) Suatu studi epidemiologi yang dilakukan oleh Monini dkk
(2010) terhadap 500.000 penduduk di satu wilayah di Roma ltalia selama 2 tahun, telah
rnenemukan jumlah pasien Bell’s palsy sebanyak 381 orang, dengan insiden kumulatif
sebesar 53,3 kasus pertahun.

2.3.3. Etiologi
Secara klinis, Bell’s palsy telah didefinisikan idiopatik, dan penyebab proses
inflamasi masih tidak jelas. Beberapa teori telah diduga sebagai penyebab dari Bell’s
palsy, antara lain iskemik vascular, imunologi, infeksi dan herediter.1,2
1. Teori Iskemik vaskuler
Nervus fasialis dapat menjadi lumpuh secara tidak langsung karena gangguan
regulasi sirkulasi darah di kanalis fasialis.
2. Teori infeksi virus
Virus yang dianggap paling banyak bertanggungjawab adalah Herpes Simplex
Virus (HSV), yang terjadi karena proses reaktivasi dari HSV  (khususnya tipe 1).
3. Teori herediter
Bell’s palsy terjadi mungkin karena kanalis fasialis yang sempit pada keturunan
atau keluarga tersebut, sehingga menyebabkan predisposisi untuk terjadinya paresis
fasialis.
4. Teori imunologi
Dikatakan bahwa Bell’s palsy terjadi akibat reaksi imunologi terhadap infeksi virus
yang timbul sebelumnya atau sebelum pemberian imunisasi.

2.3.4. Patofisiologi
Para ahli menyebutkan bahwa pada Bell’s palsy terjadi karena proses inflamasi
akut pada nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus.
Bell’s palsy hampir selalu terjadi secara unilateral. Patofisiologinya belum jelas, tetapi
salah satu teori menyebutkan terjadinya proses inflamasi pada nervus fasialis yang
menyebabkan peningkatan diameter nervus fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf
tersebut pada saat melalui tulang temporal. Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang
temporal melalui kanalis fasialis yang mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit
pada pintu keluar sebagai foramen mental. Dengan bentukan kanalis yang unik tersebut,
adanya inflamasi, demyelinisasi atau iskemik dapat menyebabkan gangguan dari
konduksi. Impuls motorik yang dihantarkan oleh nervus fasialis bisa mendapat gangguan
di lintasan supranuklear, nuklear dan infranuklear. Lesi supranuklear bisa terletak di
daerah wajah korteks motorik primer atau di jaras kortikobulbar ataupun di lintasan
asosiasi yang berhubungan dengan daerah somatotropik wajah di korteks motorik primer.
Paparan udara dingin seperti angin kencang, AC, atau mengemudi dengan kaca
jendela yang terbuka diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya Bell’s palsy. Karena
itu nervus fasialis bisa sembab, terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan
menimbulkan kelumpuhan fasialis Lower Motor Neuron (LMN). Pada lesi LMN bias
terletak di pons, di sudut serebelo-pontin, di os petrosum atau kavum timpani, di foramen
stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi nervus fasialis. Lesi di pons yang terletak di
daerah sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus longitudinalis medialis. Karena itu
paralisis fasialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan muskulus rektus lateralis atau
gerakan melirik ke arah lesi. Selain itu, paralisis nervus fasialis LMN akan timbul
bersamaan dengan tuli perseptif ipsilateral dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3
bagian depan lidah). Berdasarkan beberapa penelitian bahwa penyebab utama Bell’s palsy
adalah reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang menyerang saraf
kranialis. Terutama virus herpes zoster karena virus ini menyebar ke saraf melalui sel
satelit. Pada radang herpes zoster di ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa ikut
terlibat sehingga menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Kelumpuhan pada Bell’s palsy
akan terjadi bagian atas dan bawah dari otot wajah seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat
dikerutkan, fisura palpebra tidak dapat ditutup dan pada usaha untuk memejam mata
terlihatlah bola mata yang berbalik ke atas. Sudut mulut tidak bisa diangkat. Bibir tidak
bisa dicucurkan dan platisma tidak bisa digerakkan. Karena lagoftalmos, maka air mata
tidak bisa disalurkan secara wajar sehingga tertimbun. Gejala-gejala pengiring seperti
ageusia dan hiperakusis tidak ada karena bagian nervus fasialis yang terjepit di foramen
stilomastoideum sudah tidak mengandung lagi serabut korda timpani dan serabut yang
mensyarafi muskulus stapedius.2,3,4

2.3.5. Manifestasi Klinis


Kelumpuhan perifer N.VII memberikan ciri yang khas hingga dapat didiagnosa
dengan inspeksi. Otot muka pada sisi yang sakit tak dapat bergerak. Lipatan-lipatan di
dahi akan menghilang dan Nampak seluruh muka sisi yang sakit akan mencong tertarik
ke arah sisi yang sehat. Selain itu masih ada gejala-gejala lain yang ditimbulkan oleh
penyakit ini yaitu, pada awalnya, penderita merasakan ada kelainan di mulut pada saat
bangun tidur, menggosok gigi atau berkumur, minum atau berbicara. Mulut tampak
mencong terlebih saat meringis, kelopak mata tidak dapat dipejamkan (lagoftalmos),
waktu penderita menutup kelopak matanya maka bola mata akan tampak berputar ke atas.
Penderita tidak dapat bersiul atau meniup, apabila berkumur maka air akan keluar ke sisi
melalui sisi mulut yang lumpuh. Gejala kelumpuhan perifer ini tergantung dari lokalisasi
kerusakan.
Berdasarkan letak lesi, manifestasi klinis Bell’s palsy dapat berbeda. Bila lesi di
foramen stylomastoid, dapat terjadi gangguan komplit yang menyebabkan paralisis semua
otot ekspresi wajah. Saat menutup kelopak mata, kedua mata melakukan rotasi ke atas
(Bell’s phenomenon). Selain itu, mata dapat terasa berair karena aliran air mata ke sakus
lakrimalis yang dibantu muskulus orbikularis okuli terganggu. Manifestasi komplit
lainnya ditunjukkan dengan makanan yang tersimpan antara gigi dan pipi akibat
gangguan gerakan wajah dan air liur keluar dari sudut mulut.
Lesi di kanalis fasialis (di atas persimpangan dengan korda timpani tetapi di
bawah ganglion genikulatum) akan menunjuk semua gejala seperti lesi di foramen
stylomastoid ditambah pengecapan menghilang pada dua per tiga anterior lidah pada sisi
yang sama. Bila lesi terdapat di saraf yang menuju ke muskulus stapedius dapat terjadi
hiperakusis (sensitivitas nyeri terhadap suara keras). Selain itu, lesi pada ganglion
genikulatum akan menimbulkan lakrimasi dan berkurangnya salivasi serta dapat
melibatkan saraf kedelapan.1,3
2.3.6. Klasifikasi
Skala House-Brackmann yang telah dimodifikasi (1985) merupakan alat klinis
yang digunakan untuk menilai derajat kelumpuhan N. fascialis dan untuk memprediksi
kemungkinan penyembuhan. Skala ini menilai manifestasi klinis pada wajah dan
kesimetrisannya, baik saat istirahat maupun saat beraktifitas. Skala berada pada nilai 1
sampai 6, dengan skala tertinggi menunjukkan kelemahan total. Pasien dengan
pergerakan wajah yang masih dapat diobservasi dan parese inkomplit di harapkan
memiliki penyembuhan yang baik. Pasien dengan Skor House-Brackmann 6 mungkin
8
akan memiliki masa penyembuhan yang memanjang dan inkomplit.
S
istem Grading Fascial Sunnybrook, Sistem Grading Yanagihara, dan Sistem
Grading Sydney mungkin dapat digunakan sebagai alternatif Skala House- Brackmann
yang memiliki reliabilitas hampir sama, meskipun dilaporkan bahwa penggunaan sistem
grading tersebut sangat bervariasi. Skala House-Brackmann merupakan sistem grading
yang saat ini paling sering digunakan untuk menilai kelemahan N. fascialis.8
Sistem Grading Fascial Sunnybrook, Sistem Grading Yanagihara, dan
SistemGradingSydneymungkin dapatdigunakan sebagaialternatifSkalaHouse-
Brackmannyang memilikireliabilitashampirsama,meskipundilaporkanbahwa
penggunaansistemgrading tersebutsangatbervariasi.SkalaHouse-Brackmann
merupakansistemgradingyangsaatinipalingseringdigunakanuntukmenilaikelemahan
10
N.fascialis.

Gambar 8. Sistem Grading Nervus Fascialis House-Brackmann 8

2.3.7. Diagnosis Banding


Diagnosis banding paralisis fasialis dapat dibagi menurut lokasi lesi sentral dan
perifer. Kelainan sentral dapat merupakan stroke bila disertai kelemahan anggota gerak
sisi yang sama dan ditemukan proses patologis di hemisfer serebri kontralateral; kelainan
tumor apabila onset gradual dan disertai perubahan mental status atau riwayat kanker di
bagian tubuh lainnya; sklerosis multipel bila disertai kelainan neurologis lain seperti
hemiparesis atau neuritis optika; dan trauma bila terdapat fraktur os temporalis pars
petrosus, basis kranii, atau terdapat riwayat trauma sebelumnya.
Kelainan perifer yang ditemukan dapat merupakan suatu otitis media supuratif dan
mastoiditis apabila terjadi reaksi radang dalam kavum timpani dan foto mastoid
menunjukkan suatu gambaran infeksi; herpes zoster otikus bila ditemukan adanya tuli
perseptif, tampak vesikel yang terasa amat nyeri di pinna dan/atau pemeriksaan darah
menunjukkan kenaikan titer antibodi virus varicella-zoster; sindroma Guillain-Barre saat
ditemukan adanya paresis bilateral dan akut; tumor serebello-pontin (tersering) apabila
disertai kelainan nervus kranialis kelima dan delapan.1

2.3.8. Penegakkan Diagnosis


Diagnosis Bell’s Palsy ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang, yaitu sebagai berikut:

2.3.8.1. Anamnesis
Berdasarkan letak lesi, manifestasi klinis Bell’s palsy dapat berbeda. Bila lesi di
foramen stylomastoid, dapat terjadi gangguan komplit yang menyebabkan paralisis
semua otot ekspresi wajah. Saat menutup kelopak mata, kedua mata melakukan rotasi ke
atas (Bell’s phenomenon). Selain itu, mata dapat terasa berair karena aliran air mata ke
sakus lakrimalis yang dibantu muskulus orbikularis okuli terganggu. Manifestasi komplit
lainnya ditunjukkan dengan makanan yang tersimpan antara gigi dan pipi akibat
1
gangguan gerakan wajah dan air liur keluar dari sudut mulut.
Lesi di kanalis fasialis (di atas persimpangan dengan korda timpani tetapi di bawah
ganglion genikulatum) akan menunjuk semua gejala seperti lesi di foramen stylomastoid
1
ditambah pengecapan menghilang pada dua per tiga anterior lidah pada sisi yang sama.
Bila lesi terdapat di saraf yang menuju ke muskulus stapedius dapat terjadi
hiperakusis (sensitivitas nyeri terhadap suara keras). Selain itu, lesi pada ganglion
genikulatum akan menimbulkan lakrimasi dan berkurangnya salivasi serta dapat
1
melibatkan saraf kedelapan.
2.3.8.2. Pemeriksaan Fisik
Paralisis fasialis mudah didiagnosis dengan pemeriksaan fisik yang lengkap untuk
menyingkirkan kelainan sepanjang perjalanan saraf dan kemungkinan penyebab lain.
Adapun pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan gerakan dan ekspresi wajah.
Pemeriksaan ini akan menemukan kelemahan pada seluruh wajah sisi yang terkena.
Kemudian, pasien diminta menutup mata dan mata pasien pada sisi yang terkena
memutar ke atas.1
Bila terdapat hiperakusis, saat stetoskop diletakkan pada telinga pasien maka
suara akan terdengar lebih jelas pada sisi cabang muskulus stapedius yang
paralisis. Tanda klinis yang membedakan Bell’s palsy dengan stroke atau kelainan yang
bersifat sentral lainnya adalah tidak terdapatnya kelainan pemeriksaan saraf kranialis
lain, motorik dan sensorik ekstremitas dalam batas normal, dan pasien tidak mampu
9
mengangkat alis dan dahi pada sisi yang lumpuh.
Gambar 9. Manifestasi klinis Bell’s palsy 9
2.3.8.3. Pemeriksaan Penunjang
Bell’s palsy merupakan diagnosis klinis sehingga pemeriksaan penunjang perlu
dilakukan untuk menyingkirkan etiologi sekunder dari paralisis saraf kranialis.
Pemeriksaan radiologis dengan CT-scan atau radiografi polos dapat dilakukan untuk
menyingkirkan fraktur, metastasis tulang, dan keterlibatan sistem saraf pusat (SSP).
Pemeriksaan MRI dilakukan pada pasien yang dicurigai neoplasma di tulang temporal,
otak, glandula parotis, atau untuk mengevaluasi sklerosis multipel. Selain itu, MRI
1
dapat memvisualisasi perjalanan dan penyengatan kontras saraf fasialis.
Pemeriksaan neurofisiologi pada Bells palsy sudah dikenal sejak tahun 1970
sebagai prediktor kesembuhan, bahkan dahulu sebagai acuan pada penentuan
kandidat tindakan dekompresi intrakanikular. Grosheva et al melaporkan
pemeriksaan elektromiografi (EMG) mempunyai nilai prognostik yang lebih baik
dibandingkan elektroneurografi (ENG). Pemeriksaan serial EMG pada penelitian tersebut
setelah hari ke-15 mempunyai positive-predictivevalue (PPV) 100% dan negative-
predictive-value (NPV) 96%. Spektrum abnormalitas yang didapatkan berupa penurunan
amplitudo Compound Motor Action Potential (CMAP), pemanjangan latensi saraf
fasialis, serta pada pemeriksaan blink reflex didapatkan pemanjangan gelombang R1
ipsilateral. Pemeriksaan blink reflex ini sangat bermanfaat karena 96% kasus didapatkan
abnormalitas hingga minggu kelima, meski demikian sensitivitas pemeriksaan ini rendah.
Abnormalitas gelombang R2 hanya ditemukan pada 15,6% kasus.

2.3.9. Penatalaksanaan
P
eran dokter umum sebagai lini terdepan pelayanan primer berupa identifikasi dini
dan merujuk ke spesialis saraf (jika tersedia) apabila terdapat kelainan lain pada
pemeriksaan neurologis yang mengarah pada penyakit yang menjadi diagnosis banding
Bell’s palsy. Jika tidak tersedia, dokter umum dapat menentukan terapi selanjutnya
setelah menyingkirkan diagnosis banding lain. Terapi yang diberikan dokter umum
dapat berupa kombinasi non-farmakologis dan farmakologis seperti dijelaskan di bawah
1
ini.

Gambar 10. Rekomendasi Tatalaksana Bell’s Palsy 15

Kornea mata memiliki risiko mengering dan terpapar benda asing. Proteksinya
dapat dilakukan dengan penggunaan air mata buatan (artificial tears), pelumas (saat
tidur), kaca mata, plester mata, penjahitan kelopak mata atas, atau tarsorafi lateral
5
(penjahitan bagian lateral kelopak mata atas dan bawah). Masase dari otot yang lemah
dapat dikerjakan secara halus dengan mengangkat wajah ke atas dan membuat gerakan
melingkar. Tidak terdapat bukti adanya efektivitas dekompresi melalui pembedahan saraf
fasialis, namun tindakan ini kadang dilakukan pada kasus yang berat dalam 14 hari
1
onset.
Untuk menghilangkan penekanan, menurunkan edema akson dan kerusakan N.VII
dapat diberikan prednison (kortikosteroid) dan antiviral sesegera mungkin. Window of
opportunity untuk memulai pengobatan adalan 7 hari setelah onset. Prednison dapat
diberikan jika muncul tanda-tanda radang. Selain itu dapat pula diberi obat untuk
menghilangkan nyeri seperti gabapentin.1
- Kortikosteroid
Prednison 1 mg/kgBB/hari selama 5 hari kemudian diturunkan bertahap 10 mg/hari
dan berhenti selama 10-14 hari.
1 mg/kg atau 60 mg PO selama 7 hari diikuti
Dosis dewasa
tappering off dengan total pemakaian 10 hari.
1 mg/kg PO selama 6 hari diikuti tappering off
Dosis Anak
dengan total pemakaian 10 hari.
Hipersensitivitas, diabetes berat yang tak terkontrol,
Kontraindikasi
infeksi jamur, ulkus peptikum, TBC, osteoporosis.
Tabel 1: Dosis Kortikosteroid1
- Obat-obat antiviral
Acyclovir 400 mg dapat diberikan 5 kali perhari selama 7 hari, atau 1000 mg/hari
selama 5 hari sampai 2400 mg/hari selama 10 harijika hasil menunjukkan bahwa
Bell’s Palsy disebabkan oleh HSV, jika disebabkan oleh VZV maka diperlukan
dosis yang lebih tinggi (800 mg secara oral, 5 kali sehari).
Valacyclovir, 500 mg secara oral, 2 kali sehari selama 5 hari, juga dapat
digunakan sebagai pengganti acyclovir. Meskipun harganya mahal, efeknya jauh
lebih baik. Sama dengan acyclovir, jika Bell’s Palsy disebabkan oleh VZV maka
diperlukan dosis yang lebih tinggi (1000 mg secara oral, 3 kali sehari).

Asikovir, obat antiviral yang menghambat kerja


Nama Obat
HSV-1. HSV-2, dan VZV

Dosis dewasa 400 mg PO 5 kali/hari selama 10 hari.


<2 tahun : belum dipastikan
Dosis Anak
>2 tahun : 20 mg/kg PO selama 10 hari
Tabel 2 : Dosis Antiviral1
Gamba

r 11. Algorithm of guideline key action statements 8


Gambar 12. Algoritma Pengambilan-Keputusan Tatalaksana untuk Bell’s Palsy Akut 10.
2.3.10. Rehabilitasi Medik
Salah satu penanganan atau pengobatan pada Bell Palsy ini adalah Fisioterapi.
Diantara modalitas yang efektif dan sering digunakan antara lain; terapi Infra Merah,
terapi Ultrasound, terapi Stimulasi Elektrik, micro wave diathermy, massage, dan
excersise.
Yang pertama pada Periode Paralisis, yaitu sesaat setelah terjadi serangan berupa
kelumpuhan saraf fasialis :
·         Infra Merah
Infra merah dapat diterapkan untuk menghangatkan otot dan meningkatkan fungsi,
tetapi Anda harus memastikan bahwa mata dilindungi dengan penutup mata. Waktu
penerapan selama 10 sampai 20 menit pada jarak biasanya antara 50 dan 75 cm.
·     Terapi Ultrasound
Terapi ultrasound diaplikasikan pada batang saraf (nerve trunk) di depan tragus
telinga dan di daerah antara prosesus mastoideus dan mandibula. Tidak ada rasa
takut/khawatir dalam menerapkan terapi ultrasound saat diaplikasikan pada pasien Bell
Palsy. Terapi ultrasound selalu diterapkan pada sisi lesi di depan tragus telinga & di
daerah antara prosesus mastoideus dan mandibula dimana kelembutan maksimum saraf
wajah ditentukan dengan cara palpasi. Hal ini diterapkan dengan gerakan melingkar yang
lambat dengan dosis awal 1 watt per sentimeter persegi untuk 10 menit. Dosis dapat
ditingkatkan pada sesi berikutnya jika tidak ada peningkatan yang luar biasa dicatat. Perlu
diketahui bahwa gelombang ultrasound tidak dapat melintasi atau menembus tulang. Itu
berarti bahwa ultrasound memiliki penetrasi nol pada tulang. Secara nyata bahwa
gelombang ultrasound terpantul jauh dari tulang. Jadi tidak ada rasa takut dan khawatir
jika terapi ultrasound diterapkan pada wajah. Penerapan terapi ultrasound pada bell palsy
Ini hanya untuk jenis lesi saraf tepi (Lower Motor Neuron).
·         Stimulasi Elektrik (Electrical Stimulation)
Stimulasi listrik adalah teknik yang menggunakan arus listrik untuk mengaktifkan
saraf penggerak otot dan ekstremitas yang diakibatkan oleh kelumpuhan akibat cedera
tulang belakang (SCI), cedera kepala, stroke dan gangguan neurologis lainnya.
Satu-satunya bentuk arus listrik yang digunakan pada wajah adalah arus searah
yang diputus-putus (Interrupted Direct Current) atau disebut juga Arus Galvanic, apakah
itu ada reaksi degenerasi atau tidak ada reaksi. Hal ini diminta hanya untuk menjaga
sebagian besar otot-otot wajah dan mencegah atrofi sambil menunggu untuk reinnervasi
dalam kasus axotomesis atau reconduction setelah neurapraxia jika saraf tidak rusak
sepenuhnya. Tidak ada ruang bagi penggunaan arus faradik pada wajah karena bisa
menyebabkan kontraktur sekunder pada wajah. Selain itu, sebagian besar pasien merasa
tidak mampu menahan nyeri  pada wajah karena stimulasi sensorik yang tidak
nyaman. Hal  ini dikarenakan bahwa arus faradic memiliki frekuensi 50 siklus per detik,
sehingga menghasilkan kontraksi tetanik pada otot-otot yang terangsang. Meskipun untuk
saat ini adalah kontraksi otot arus faradic melonjak untuk menghasilkan kontraksi
alternatif dan relaksasi namun berhubung tipe tatanik pada kontraksi yang menghasilkan
50 pulse hanya dalam satu detik, tidak diperlukan pada wajah. Otot-otot wajah yang
sangat tipis dan halus dan tidak bisa mentolerir jenis arus ini yang dapat merusak dan
menghasilkan kontraktur sekunder. Jika kontraktur sekunder terjadi, semua bentuk
stimulasi listrik harus ditinggalkan sementara untuk menghindari kerusakan lebih lanjut
pada otot. Wajah harus segera direnggangkan dan dipijat lembut.
·         Microwave Diathermy
Micro Wave Diathermy (MWD) adalah suatu jenis terapi dengan menggunakan
stressor fisik berupa energi elektromagnetik yang dihasilkan oleh arus listrik bolak – balik
dengan frekuensi 2450 MHz dan panjang gelombang 12,25 cm. Bertujuan untuk Micro
Wave Diathermy (MWD) adalah suatu jenis terapi dengan menggunakan stressor fisik
berupa energi elektromagnetik yang dihasilkan oleh arus listrik bolak – balik dengan
frekuensi 2450 MHz dan panjang gelombang 12,25 cm. Micro Wave Diathermy (MWD)
adalah suatu jenis terapi dengan menggunakan stressor fisik berupa energi
elektromagnetik yang dihasilkan oleh arus listrik bolak – balik dengan frekuensi 2450
MHz dan panjang gelombang 12,25 cm. Bertujuan untuk melancarkan sirkulasi darah,
relaksasi otot-otot wajah dan mengurangi spasme otot stilomastoideus.
·         Massage
Pijat adalah manipulasi lapisan superficial otot dan jaringan ikat untuk
meningkatkan fungsi dan relaksasi otot dan kebugaran. Pada kondisi Bell’s palsy massage
diberikan dengan tujuan memobilisasi serabut-serabut otot di area yang mengalami
paralysis sehingga terjadi pergerakan pasif dari otot wajah dan memberikan stimulasi
gerak. selain itu juga berguna untuk mencegah terjadinya kontraktur otot.
·         Exercise
Latihan yang diberikan umumnya merupakan latihan aktif berupa Mirror Exercise.
Pasien diminta untuk berdiri di depan cermin sambil berusaha untuk menggerakkan otot
wajah yang mengalami kelumpuhan. Fisioterapis akan mengajarkan bentuk-bentuk
latihan dan menentukan frekuensi atau dosis latihan yang dibutuhkan pasien. Dengan
penanganan yang cepat, tepat, akurat dan hebat maka bell’s palsy dapat disembuhkan
Sesuai dengan konsep rehabilitasi medik yaitu usaha gabungan terpadu dari segi
medik, sosial dan kekaryaan, maka tujuan rehabilitasi medik pada Bell’s palsy adalah
untuk mengurangi/mencegah paresis menjadi bertambah dan membantu mengatasi
problem sosial serta psikologinya agar penderita tetap dapat melaksanakan
aktivitas kegiatan sehari-hari. Program-program yang diberikan adalah program
fisioterapi, okupasi, social medik, psikolog dan ortotik prostetik.11
Program Terapi Okupasi
Pada dasarnya terapi disini memberikan latihan gerakan pada otot wajah. Latihan
diberikan dalam bentuk aktivitas sehari-hari atau dalam bentuk permainan. Perlu diingat
bahwa latihan secara bertahap dan melihat kondisi penderita, jangan sampai melelahkan
penderita. Latihan dapat berupa latihan berkumur, latihan minum dengan menggunakan
sedotan, latihan meniup lilin, latihan menutup mata dan mengerutkan dahi di depan
cermin.

Program Sosial Medik


Penderita Bell’s palsy sering merasa malu dan menarik diri dari pergaulan sosial.
Problem sosial biasanya berhubungan dengan tempat kerja dan biaya. Petugas sosial
medik dapat membantu mengatasi dengan menghubungi tempat kerja, mungkin untuk
sementara waktu bekerja pada bagian yang tidak banyak berhubungan dengan umum.
Untuk masalah biaya, dibantu dengan mencarikan fasilitas kesehatan di tempat kerja atau
melalui keluarga. Selain itu memberikan penyuluhan bahwa kerja sama penderita dengan
petugas yang merawat sangat penting untuk kesembuhan penderita.

Program Psikologik
Untuk kasus-kasus tertentu dimana ada gangguan psikis amat menonjol rasa cemas sering
menyertai penderita terutama pada penderita muda wanita atau penderita yang
mempunyai profesi yang mengharuskan ia sering tampil di depan umum, maka bantuan
seorang psikolog sangat diperlukan

Program Ortotik Prostetik


Dapat dilakukan pemasangan “Y” plester dengan tujuan agar sudut mulut yang sakit
tidak jatuh. Dianjurkan agar plester diganti tiap 8 jam. Perlu diperhatikan
reaksi intoleransi kulit yang sering terjadi. Pemasangan “Y” plester dilakukan jika dalam
waktu 3 bulan belum ada perubahan Zygomaticus selama parase dan mencegah terjadinya
kontaktur.

2.3.11. Komplikasi
Sekitar 5% pasien setelah menderita Bell’s palsy mengalami sekuele berat yang
tidak dapat diterima. Beberapa komplikasi yang sering terjadi akibat Bell’s palsy, adalah
(1) regenerasi motor inkomplit yaitu regenerasi suboptimal yang menyebabkan paresis
seluruh atau beberapa muskulus fasialis, (2) regenerasi sensorik inkomplit yang
menyebabkan disgeusia (gangguan pengecapan), ageusia (hilang pengecapan), dan
disestesia (gangguan sensasi atau sensasi yang tidak sama dengan stimuli normal), dan
1
(3) reinervasi yang salah dari saraf fasialis.
Reinervasi yang salah dari saraf fasialis dapat menyebabkan (1) sinkinesis yaitu
gerakan involunter yang mengikuti gerakan volunter yang dapat ditangani dengan efektif
melalui pemberian injeksi botulinum toxin subkutan atau intramuskular, contohnya
timbul gerakan elevasi involunter dari sudut mata, kontraksi platysma, atau pengerutan
dahi saat memejamkan mata, (2) crocodile tear phenomenon, yang timbul beberapa
bulan setelah paresis akibat regenerasi yang salah dari serabut otonom, contohnya air
mata pasien keluar pada saat mengkonsumsi makanan, dan (3) clonic facial spasm
(hemifacial spasm), yaitu timbul kedutan secara tiba-tiba (shock-like) pada wajah yang
dapat terjadi pada satu sisi wajah saja pada stadium awal, kemudian mengenai sisi
1
lainnya (lesi bilateral tidak terjadi bersamaan).
2.3.11. Prognosis
Perjalanan alamiah Bell’s palsy bervariasi dari perbaikan komplit dini sampai
cedera saraf substansial dengan sekuele permanen. Sekitar 80-90% pasien dengan Bell’s
palsy sembuh total dalam 6 bulan, bahkan pada 50-60% kasus membaik dalam 3
minggu. Sekitar 10% mengalami asimetri muskulus fasialis persisten, dan 5%
1
mengalami sekuele yang berat, serta 8% kasus dapat rekuren.
Faktor yang dapat mengarah ke prognosis buruk adalah palsi komplit (risiko
sekuele berat), riwayat rekurensi, diabetes, adanya nyeri hebat post-aurikular, gangguan
pengecapan, refleks stapedius, wanita hamil dengan Bell’s palsy, bukti denervasi mulai
setelah 10 hari (penyembuhan lambat), dan kasus dengan penyengatan kontras yang
jelas. Faktor yang dapat mendukung ke prognosis baik adalah paralisis parsial inkomplit
pada fase akut (penyembuhan total), pemberian kortikosteroid dini, penyembuhan awal
1
dan/atau perbaikan fungsi pengecapan dalam minggu pertama. Prognosis dapat diukur
1
dengan pemeriksaan neurofisiologi, House-Brackmann Facial Nerve Grading System.
Belum ada skema yang universal untuk menilai keluaran fungsional dari Bell
Palsy. Namun salah satu yang sering digunakan adalah House-Brackmann Grading
Scale. Caranya adalah dengan mengukur gerakan ke atas alis dan gerakan ke samping
dari sudut bibir. Setiap gerakan 0,25 cm diberikan 1 poin dengan maksimal penilaian 1
12,13
cm untuk masing-masing bagian. Jadi total nilai maksimalnya adalah 8.
 Grade I (Normal). 8 poin, fungsi 100%, fungsi perkiraan 100%
 Grade II (Slight). 7 poin, fungsi 76-99%, fungsi perkiraan 80%
 Grade III (Moderate). 5-6 poin, fungsi 51-75%, fungsi perkiraan 60%
 Grade IV (Moderately Severe). 3-4 poin, fungsi 26-50%, fungsi perkiraan
40%
 Grade V (Severe). 1-2 poin, fungsi 1-25%, fungsi perkiraan 20%
 Grade VI (Total). 0 poin, fungsi 0%, fungsi perkiraan 0%
Ugo Fisch scale bertujuan untuk pemeriksaan fungsi motorik dan mengevaluasi
kemajuan motorik otot wajah pada penderita bell’s palsy. Penilaian dilakukan pada  5
posisi, yaitu saat istirahat, mengerutkan dahi, menutup mata, tersenyum, dan bersiul. Pada
tersebut dinilai simetris atau tidaknya antara sisi sakit dengan sisi yang sehat.14
Ada 4 penilaian dalam % untuk posisi tersebut antara lain :
 0% (zero)  : Asimetris Komplit, tidak ada   gerakan volunter sama sekali.
 30% (poor):  Simetris ringan, kesembuhan cenderung ke asimetris, ada
gerakan volunter.
 70% (fair): Simetris sedang, kesembuhan cenderung normal.
 100 % (normal): Simetris komplit (normal).
Angka prosentase masing-masing posisi harus dirubah menjadi score dengan kriteria
sebagai berikut :
 Saat istirahat                         : 20 point
 Mengerutkan dahi                : 10 point
 Menutup mata                      : 30 point
 Tersenyum                           : 30 point
 Bersiul                                 : 10 point
Pada keadaan normal untuk jumlah kelima posisi wajah adalah 100 point. Hasil penilaian
itu diperoleh dari penilaian angka prosentase dikalikan dengan masing-masing point.
Nilai akhirnya adalah jumlah dari 5 aspek penilaian tersebut.14

2.3.12. SKDI
Kompetensi dokter umum untuk Bell’s Palsy adalah 4A, yaitu sebagai
15
berikut:
Tingkat Kemampuan 4 : Mendiagnosis, Melakukan Penatalaksanaan secara
Mandiri dan Tuntas
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan melakukan
penatalaksanaan penyakit tersebut secara mandiri dan tuntas.
4A. Kompetensi yang dicapai pada saat lulus dokter.
BAB IV
ANALISIS KASUS

Ny. NZ, 51 tahun, perempuan, datang ke RSMH Palembang karena


mengeluh kesemutan dan rasa tidak nyaman pada pipi kiri.
Dari anamnesis didapatkan keluhan mulut mengot ke kiri dan alis maat
turun sejak tiga bulan yang lalu. Selain dimulut, OS merasa mata kiri jarang
berkedip sehingga terasa kering dan sering berair. Minum air sering keluar dari
sisi mulut sebelah kiri dan telinga kiri berdenging seminggu setalah mulut
mengot. Nyeri tidak ditemukan dan OS sebelumnya pernah periksa ke dokter.
Pada hasil pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan pada status generalis,
namun pemeriksaan neurologis terutama nervus cranialis didapatkan parese tipe
perifer pada nervus VII.
Tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan motoric anggota gerak atas dan
bawah dengan nilai kekuatan motorik adalah 5. Refleks fisiologis tidak
mengalami penurunan. Pemeriksaan penunjang, seperti MRI, CT scan, mielografi,
dan EMG jarum tidak dilakukan.
Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik yang telah dilakukan
tersebut, diagnosis Bell’s Palsy dapat ditegakkan. Berbeda dengan stroke,
kelainan bell’s palsy hanya terdapat di nervus facialis saja, sedangkan pada stroke
terdapat kelemahan anggota gerak.
Pada pasien ini disimpulkan penyebab terjadinya Bell‘s Palsy dikarenakan
paparan udara dingin. Paparan udara dingin menyebabkan Bell‘s Palsy
dikarenakan dingin dapat mengiritasi N.VII, di mana secara anatomis N.VII
adalah nervus kranialis yang melewati kanal-kanal dalam tengkorak, sehingga di
saat teriritasi oleh dingin, terjadi oedem dan akhirnya tertekan oleh kanal-kanal
sempit pada tulang tengkorak.
Etiologi dari Bell‘s palsy sampai saat ini masih dalam perdebatan, edema
pada N.VII diyakini mempunyai peran atas terjadinya kelumpuhan pada Bell‘s
Palsy. Keterlibatan herpes zooster atas terjadinya inflamasi sekarang sedang
berkembang, keadaan autoimmune juga dipercaya mempunyai peran dalam
beberapa kasus Bell‘s Palsy.
Lesi yang terjadi pada Bell‘s palsy bersifat perifer dikarenakan bentuk
anatomi dari tulang tengkorak yang dilewati N.VII mudah mengganggu terutama
apabila terjadi inflamasi dan menyebabkan edema setempat. 80-90% penderita
Bell‘s palsy dapat sembuh dengan sendirinya tanpa defisit neurologis (Sembuh
sempurna). Pemberian kortikosteroid ditemukan dapat mempercepat
penyembuhan, dan perlu tappering off untuk penggunaan steroid. Obat antiviral
dapat diberikan apabila memang ada arah kecurigaan terjadinya infeksi virus,
beberapa studi mengatakan bahwa untuk pasien penderita Bell‘s palsy yang
mendapatkan terapi antivirus disertai dengan steroid pada masa akut (<72 jam
onset) memberikan efek yang lebih baik dibandingkan dengan dengan terapi
steroid tunggal, namun pada pasien dengan onset yang sudah lama pemberian
antivirus tidak efektif.
Proteksi mata dianjurkan saat pasien mengalami lagophtalmus untuk
menghindari iritasi pada kornea. Pemberian obat tetes mata untuk menjaga
kelembaban mata, juga salep mata saat pasien tidur.
Diagnosis topis ditegakkan dari gambaran klinis dimana pada pasien ini
hanya didapatkan gangguan pada otot ekspresi wajah, namun tidak didapatkan
hiperakusis, gangguan perasa dan gangguan pendengaran. Topis pada kasus ini
diperkirakan berada di foramen stylomastoideus.
DAFTAR PUSTAKA

Angliadi LS, Sengkey L, Gessal J, dkk. Rehabilitasi Medik Pada Bell’s Palsy.
Dalam: Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi. Manado: Bagian Ilmu
Kedokteran Fisik dan Rehabilitas BLU RSUP Prof. dr. R. D. Kandou/FK
UNSRAT, 2006: 42-49
Baugh, Reginald, Gregory J. Basura, Lisa E. Ishii, Seth R. Schwartz, Caitlin
Murray Drumheller, Rebecca Burkholder, Nathan A. Deckard,
Cindy Dawson, Colin Driscoll, M. Boyd Gillespie, Richard K.
Gurgel, Joh Halperin, Ayesha N. Khalid, Kaparaboyna Ashok Kumar,
Alan Micco, Debra Munsell, Steven Rosenbaum, dan William Vaughan.
2013. Clinical Practice Guideline: Bell’s Palsy. Otolaryngology–Head
and Neck Surgery Journal 149(3S): S1–S27.
de Almeida, John R., Gordon H. Guyatt, Sachin Sud, Joanne Dorion, Michael D.
Hill, Michael R. Kolber, Jane Lea, Sylvia Loong Reg, Balvinder K.
Somogyi, Brian D. Westerberg, Chris White, dan Joseph M. Chen. 2014.
Management of Bell Palsy: Clinical Practice Guideline. CMAJ 186(2):
917-922
Frotscher M, baehr M. Diagnosis Topik Neurologis DUUS. Edisi ke-4.Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2005148-155
Herman P, D., H., F. X., Supriyadi, A., Sujono, A., & Astuti, M. S. (t.thn.).
pengertian-fisioterapi. Dipetik Maret 2012, dari fisiosby:
http://fisiosby.com
Holland NJ, Weiner GM. 2004. Clinical review: Recent developments in Bell’s
palsy. BMJ 329:553–7.
Konsil Kedokteran Indonesia. 2012. Standar Kompetensi Dokter Indonesia. Edisi
ke-2. Penerbit Konsil Kedokteran Indonesia. Jakarta Lowis H, Gaharu
MN. 2012.“Bell’s Palsy, Diagnosis and management in Primer Care”.J
IndonMedAssoe.Volume62,No.1,http://Indonesia.digitaljournals.org/index
.php/idnmed/article/viefile/1118/1104,13 September 2015
Lumbantobing SM. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta:
Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia;2013.h.39-60
Lumbantobing, S.M., 2006 ; Neurologi klinis ; FKUI, Jakarta, hal 88-90
Mardjono, M. Sidharta, P. Nervus Fasialis dan Patologinya. Neurologi Klinis
Dasar. Edisi ke-5. Jakarta: PT Dian Rakyat, 2005.h.159-163.
Rahmawati, S. (2009, November). sekilas-tentang-fisioterapi. Dipetik Maret 2012,
dari shvoong: http://id.shvoong.com
Ramli, S. d. (2011, Juni). apakah-fisioterapi-itu. Dipetik Maret 2012, dari
infofisioterapi: http://www.infofisioterapi.co
Ramsey MJ, DerSimonian R, Holtel MR, Burgess LPA. 2000. Corticosteroid
Treatment for Idiopathic Facial Nerve Paralysis: A Meta-analysis.
Laryngoscope 110:335–341.
Setyawan, S. B. (2011, Oktober). FISIOTERAPI PADA BELL'S PALSY. Dipetik
Maret 2012, dari majalahkasih: http://majalahkasih.pantiwilasa.com
Somasundara, Dhruvashree., dan Frank Sullivan. 2017. Management of Bell’s
Palsy. Australian Prescriber 40(3): 94-96.
Sugiri, A. (2011, September). fisioterapi-pada-bell-palsy. Dipetik Maret 2012,
dari as-promedik: http://www.as-promedik.com

Anda mungkin juga menyukai