LATAR BELAKANG
I. Anamnesis
1. Identitas Pasien
Nama : Ny. NZ
Tanggal Lahir/Umur : 04 Oktober 1968/ 51
Alamat : Palembang
Suku Bangsa : Indonesia
Agama : Islam
Pendidikan : SLTA
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
MRS : 26 Februari 2020
No. RM : 1136774
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Keluhan Utama
Kesemutan dan rasa tidak nyaman pada pipi kiri
4. Riwayat Operasi:
Operasi usus buntu
6. Riwayat Pekerjaan
Ny. ZA adalah seorang ibu rumah tangga. Sehari-hari Ny. ZA melakukan kegiatan
memasak, mencuci dan membersihkan rumah. Pasien mengaku sering tidur di depan
kipas angin.
b. Saraf-saraf Otak
Nervus Kanan Kiri
I. N. Olfaktorius Normal Normal
II. N. Opticus Normal Normal
III. N. Occulomotorius Normal Normal
IV. N. Trochlearis Normal Normal
V. N. Trigeminus Normal Normal
VI. N. Abducens Normal Normal
VII. N. Fasialis Normal Parese perifer
VIII. N. Vestibulocochlearis Normal Normal
IX. N. Glossopharyngeus Normal Normal
X. N. Vagus Normal Normal
XI. N. Accesorius Normal Normal
XII. N. Hypoglossus Normal Normal
c. Kepala
Bentuk : normal
Ukuran : normocephali
Posisi
- Mata : sedikit sulit dipejamkan
- Hidung : normal, simetris
- Telinga : normal, simetris
- Mulut : asimetris (deviasi)
- Wajah : Asimetris gerakan abnormal: tidak ada
d. Leher
Inspeksi : statis, simetris
Palpasi : tidak ada pembesaran kelenjar
Luas Gerak Sendi
Ante /retrofleksi(n 65/50) :65/50
Laterofleksi (D/S)(n 40/40) : 40/40
Rotasi (D/S) (n 45/45) : 45/45
Tes Provokasi
Lhermitte test/ Spurling : tidak dilakukan
Test Valsava : tidak dilakukan
Distraksi test : tidak dilakukan
Test Nafziger : tidak dilakukan
e. Thorax
Bentuk : simetris
Pemeriksaan Ekspansi Thoraks : Ekspansi simetris
Paru-paru
- Inspeksi : dalam batas normal
- Palpasi : dalam batas normal
- Perkusi : dalam batas normal
- Auskultasi : dalam batas normal
Jantung
- Inspeksi : dalam batas normal
- Palpasi : dalam batas normal
- Perkusi : dalam batas normal
- Auskultasi : dalam batas normal
f. Abdomen
- Inspeksi : dalam batas normal
- Palpasi : dalam batas normal
- Perkusi : dalam batas normal
- Auskultasi : dalam batas normal
g. Trunkus
Inspeksi
- Simetris : simetris
- Deformitas : tidak ada
- Lordosis : tidak ada
- Scoliosis : tidak ada
- Gibbus : tidak ada
- Hairy spot : tidak ada
- Pelvic tilt : tidak ada
- Palpasi
- Spasme otot-otot para vertebrae: tidak ada
- Nyeri tekan (lokasi) :tidak ada
Luas gerak sendi lumbosakral
- Ante/retro fleksi (95/35) : 95/35
- Laterofleksi (D/S) (40/40) : 40/40
- Rotasi (D/S) (35/35) : 35/35
Test provokasi : tidak dilakukan
Valsava test : Tes Laseque : Test Baragard dan Sicard :
Niffziger test : Test LSR : Test O’Connell :
FNST : Test Patrick : Test Kontra Patrick :
Tes gaernslen : Test Thomas : Test Ober’s :
Nachalasknee flexion test : Mc.Bride sitting test :
Yeoman’s hyprextension : Mc. Bridge toe to mouth sitting test :
Test schober :
h. Anggota Gerak Atas
Inspeksi kanan kiri
- Deformitas : tidak ada tidak ada
- Edema : tidak ada tidak ada
- Tremor : tidak ada tidak ada
- Nodus herbenden : tidak ada tidak ada
Neurologi
Motorik Dextra Sinistra
Gerakan Luas Terbatas
Kekuatan
- Abduksi lengan 5 5
- Fleksi siku 5 5
- Ekstensi siku 5 5
- Fleksi jari-jari tangan 5 5
- Abduksi jari tangan 5 5
Tonus Eutoni Eutoni
Tropi Eutropi Eutropi
Refleks Fisiologis
- Refleks tendon biseps Normal Normal
- Refleks tendon triseps Normal Normal
Refleks Patologis
- Hoffman Tidak ada Tidak ada
- Tromner Tidak ada Tidak ada
Sensorik
- Protopatik Normal
- Proprioseptik Normal
Vegetatif Tidak ada kelainan
Palpasi
- Nyeri tekan (lokasi) : tidak ada tidak ada
- Diskrepansi : tidak ada tidak ada
Neurologi
Motorik kanan Kiri
Gerakan Luas Luas
Kekuatan
Fleksi paha 5 5
Ekstensi paha 5 5
Ekstensi lutut 5 5
Fleksi lutut 5 5
Dorsofleksi pergelangan kaki 5 5
Dorsofleksi ibu jari kaki 5 5
Plantar fleksi pergelangan kaki 5 5
Tonus Eutoni Eutoni
Tropi Eutropi Eutropi
Refleks Fisiologis
Refleks tendo patella Normal Normal
Refleks tendo Achilles Normal Normal
Refleks Patologis
Babinsky Tidak ada Tidak ada
Chaddock Tidak ada Tidak ada
Sensorik
Protopatik Normal
Proprioseptik Normal
Vegetatif Tidak ada Kelainan
V. Evaluasi
No Level ICF Kondisi saat ini Sasaran
1 Struktur dan Struktur alis, wajah, dan bibir Mengembalikan fungsi
fungsi tubuh sedikit turun, terasa kesemutan fisiologis nervus fascialis
dan tidak nyaman pada pipi
sebelah kiri
IX. Prognosis
- Medik : Bonam
- Fungsional : Bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
yaitu akar motorik (lebih besar dan lebih medial) dan intermedius (lebih kecil dan
lebih lateral)(gambar 1). Akar motorik berasal dari nukleus fasialis dan berfungsi
membawa serabut- serabut motorik ke otot- otot ekspresi wajah. Saraf intermedius
intermedius juga membawa serabut- serabut aferen untuk pengecapan pada dua
pertiga depan lidah dan aferen somatik dari kanalis auditori eksterna dan pinna
Kedua akar saraf ini muncul dari pontomedullary junction dan berjalan
Sumber: Clarke, C., Lemon, R. 2009. Nervous System Structure and Function. In:
Clarke,C., Howard, R., Rossor, M., Shorvon, S., eds. Neurology: a Queen Square
textbook. Balckwell Publishing Ltd.
Sumber: Kanerva, M. 2008. Peripheral Facial Palsy: Grading, Etiology, and Melkerson-
Rosenthal Syndrome. Otolaryngology-Head and Neck Surgery, In Press.
Selanjutnya saraf memasuki kanalis fasialis. Kanalis fasialis (fallopi) memiliki
panjang sekitar 33 milimeter (mm), dan terdiri dari 3 segmen yang berurutan:
labirin, timpani dan mastoid. Segmen labirin terletak antara vestibula dan cochlea
segmen labirin ini (rata- rata diameter 0,68 mm), maka setiap terjadi
memasuki fossa cranial media secara ekstradural, dan masuk kedalam foramen
kelenjar lakrimal dan palatina (gambar 3) (Ronthal dkk, 2012; Berg 2009).
besar dari saraf fasialis, berjalan melewati membran timpani, terpisah dari kavum
telinga tengah hanya oleh suatu membran mukosa. Saraf tersebut kemudian
Dikutip dari: Moore, K.L., A.M.R. 2002. Essential Clinical Anatomy, 2 nd Edition.
Lippincott Williams&Wilkins. Batimore.
Korda timpani mengandung serabut- serabut sekretomotorik ke kelenjar
Badan sel dari neuron gustatori unipolar terletak didalam ganglion genikulatum,
stylohoideus dan sensasi kutaneus pada kulit dari meatus auditori eksterna) dan ke
Saraf terletak diantara alat keseimbangan dan pendengaran yaitu cochlea dan
vestibulum saat berjalan dari meakus akustikus internus menuju ventrolateral. Saraf
memasuki kanalis fasialis di dasar dari meatus dan berbelok ke arah dorsolateral. Saraf
menuju dinding medial dari kavum timpani dan membentuk sudut di atas promontorium
yang disebut ganglion genikulatum. Saraf kemudian berjalan turun pada dinding dorsal
kavum timpani dan keluar dari ostemporal melalui foramen stylomastoideus. Saraf tetap
berjalan menembus glandula parotis untuk memberi persarafan pada otot-otot mimik.
Saraf fasialis memiliki lima percabangan penting sebagai berikut:
a. Nervus petrosus superfisialis mayor keluar dari ganglion geniculi. Saraf ini
memiliki cabang preganglionik parasimpatetik yang memberi sinaps pada ganglion
pterygopalatina. Serat-serat saraf ini memberi percabangan sekromotorik pada
kelenjar lakrimalis dan kelenjar pada hidung dan palatum. Saraf ini juga
mengandung serat afferen yang didapat dari taste bud dari mukosa palatum.
b. Saraf stapedius, memberi persarafan pada muskulus stapedius di telinga tengah.
Korda timpani muncul di kanalis fasialis di dinding posterior kavum timpani.
Bagian saraf ini langsung menuju permukaan medial dari bagian atas membran
timpani dan meninggalkan telinga tengah melalui fisura petrotimpanikus dan
memasuki fossa infratemporal dan bergabung dengan nervus lingualis. Korda
timpani memiliki serat preganglionik parasimpatetik berupa serat sekremotorik yang
memberi persarafan pada kelenjar liur submandibular dan sublingual. Korda timpani
juga memiliki serat saraf taste bud dari 2/3 anterior lidah dan dasar mulut.
c. Nervus aurikularis posterior memberi persarafan otot aurikel dan muskulus
temporalis. Terdapat juga cabang muskularis yang keluar setelah saraf keluar dari
foramen stylomastoideus. Cabang ini memberi persarafan pada muskulus
stylohyoid dan muskulus digastricus posterior.
d. Lima cabang terminal untuk otot- otot mimik. Cabang-cabang itu adalah cabang
temporal, cabang zigomatik, cabang buccal, cabang mandibular dan cabang cervical.
e. Nervus fasialis berada di dalam kelenjar liur parotis setelah meninggalkan foramen
stylomastoideus. Saraf memberikan cabang terminal di batas anterior kelenjar
parotis. Cabang-cabang ini menuju otot-otot mimik di wajah dan regio scalp. Cabang
buccal untuk muskulus buccinator. Cabang cervicalis untuk muskulus platysma dan
muskulus depressor anguli oris. Nervus fasialis dengan semua perjalanannya ini
mengontrol mimik wajah (facial expression), salivasi dan lakrimasi serta digunakan
3
untuk sensasi rasa dari anterior lidah, dasar mulut dan palatum.
1
Gambar 7. Istilah dan Definisi Terminologi Umum
2.3.2. Epidemiologi
Bell’s palsy merupakan penyebab paralisis fasialis yang paling sering ditemukan,
yaitu sekitar 75% dan seluruh paralisis fasialis. Insiden bervariasi di berbagai Negara di
seluruh dunia. Perbedaan insidensi ini tergantung pada kondisi geografis masing- masing
negara. Insiden tahunan yang telah dilaporkan berkisar 11-40 kasus per 100.000 populasi.
Puncak insiden terjadi antara dekade kedua dan keempat (15-45 tahun). Tidak dijumpai
perbedaan prevalensi dalam jenis kelamin. Insiden meningkat tiga kali lebih besar pada
wanita hamil (45 kasus per 100.000). Sebanyak 5-10% kasus Bell’s palsy adalah
penderita diabetes mellitus. (Finsterer 2008; Monini dkk, 2010). Bell’s palsy jarang
ditemukan pada anak- anak < 2 tahun. Tidak ada perbedaan pada sisi kanan dan kiri
wajah. Kadang- kadang paralisis saraf fasialis bilateral dapat terjadi dengan prevalensi
0,3- 2% (Finsterer, 2008). Resiko terjadinya rekurensi dilaporkan sekitar 8-12% kasus,
dengan 36% pada sisi yang sama dan 64% pada sisi yang berlawanan (Tiemstra dkk,
2007; Kanerva 2008). Adanya riwayat keluarga positif diperkirakan pada 4-14% kasus
Bell’s palsy (Kubik dkk, 2012) Suatu studi epidemiologi yang dilakukan oleh Monini dkk
(2010) terhadap 500.000 penduduk di satu wilayah di Roma ltalia selama 2 tahun, telah
rnenemukan jumlah pasien Bell’s palsy sebanyak 381 orang, dengan insiden kumulatif
sebesar 53,3 kasus pertahun.
2.3.3. Etiologi
Secara klinis, Bell’s palsy telah didefinisikan idiopatik, dan penyebab proses
inflamasi masih tidak jelas. Beberapa teori telah diduga sebagai penyebab dari Bell’s
palsy, antara lain iskemik vascular, imunologi, infeksi dan herediter.1,2
1. Teori Iskemik vaskuler
Nervus fasialis dapat menjadi lumpuh secara tidak langsung karena gangguan
regulasi sirkulasi darah di kanalis fasialis.
2. Teori infeksi virus
Virus yang dianggap paling banyak bertanggungjawab adalah Herpes Simplex
Virus (HSV), yang terjadi karena proses reaktivasi dari HSV (khususnya tipe 1).
3. Teori herediter
Bell’s palsy terjadi mungkin karena kanalis fasialis yang sempit pada keturunan
atau keluarga tersebut, sehingga menyebabkan predisposisi untuk terjadinya paresis
fasialis.
4. Teori imunologi
Dikatakan bahwa Bell’s palsy terjadi akibat reaksi imunologi terhadap infeksi virus
yang timbul sebelumnya atau sebelum pemberian imunisasi.
2.3.4. Patofisiologi
Para ahli menyebutkan bahwa pada Bell’s palsy terjadi karena proses inflamasi
akut pada nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus.
Bell’s palsy hampir selalu terjadi secara unilateral. Patofisiologinya belum jelas, tetapi
salah satu teori menyebutkan terjadinya proses inflamasi pada nervus fasialis yang
menyebabkan peningkatan diameter nervus fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf
tersebut pada saat melalui tulang temporal. Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang
temporal melalui kanalis fasialis yang mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit
pada pintu keluar sebagai foramen mental. Dengan bentukan kanalis yang unik tersebut,
adanya inflamasi, demyelinisasi atau iskemik dapat menyebabkan gangguan dari
konduksi. Impuls motorik yang dihantarkan oleh nervus fasialis bisa mendapat gangguan
di lintasan supranuklear, nuklear dan infranuklear. Lesi supranuklear bisa terletak di
daerah wajah korteks motorik primer atau di jaras kortikobulbar ataupun di lintasan
asosiasi yang berhubungan dengan daerah somatotropik wajah di korteks motorik primer.
Paparan udara dingin seperti angin kencang, AC, atau mengemudi dengan kaca
jendela yang terbuka diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya Bell’s palsy. Karena
itu nervus fasialis bisa sembab, terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan
menimbulkan kelumpuhan fasialis Lower Motor Neuron (LMN). Pada lesi LMN bias
terletak di pons, di sudut serebelo-pontin, di os petrosum atau kavum timpani, di foramen
stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi nervus fasialis. Lesi di pons yang terletak di
daerah sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus longitudinalis medialis. Karena itu
paralisis fasialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan muskulus rektus lateralis atau
gerakan melirik ke arah lesi. Selain itu, paralisis nervus fasialis LMN akan timbul
bersamaan dengan tuli perseptif ipsilateral dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3
bagian depan lidah). Berdasarkan beberapa penelitian bahwa penyebab utama Bell’s palsy
adalah reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang menyerang saraf
kranialis. Terutama virus herpes zoster karena virus ini menyebar ke saraf melalui sel
satelit. Pada radang herpes zoster di ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa ikut
terlibat sehingga menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Kelumpuhan pada Bell’s palsy
akan terjadi bagian atas dan bawah dari otot wajah seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat
dikerutkan, fisura palpebra tidak dapat ditutup dan pada usaha untuk memejam mata
terlihatlah bola mata yang berbalik ke atas. Sudut mulut tidak bisa diangkat. Bibir tidak
bisa dicucurkan dan platisma tidak bisa digerakkan. Karena lagoftalmos, maka air mata
tidak bisa disalurkan secara wajar sehingga tertimbun. Gejala-gejala pengiring seperti
ageusia dan hiperakusis tidak ada karena bagian nervus fasialis yang terjepit di foramen
stilomastoideum sudah tidak mengandung lagi serabut korda timpani dan serabut yang
mensyarafi muskulus stapedius.2,3,4
2.3.8.1. Anamnesis
Berdasarkan letak lesi, manifestasi klinis Bell’s palsy dapat berbeda. Bila lesi di
foramen stylomastoid, dapat terjadi gangguan komplit yang menyebabkan paralisis
semua otot ekspresi wajah. Saat menutup kelopak mata, kedua mata melakukan rotasi ke
atas (Bell’s phenomenon). Selain itu, mata dapat terasa berair karena aliran air mata ke
sakus lakrimalis yang dibantu muskulus orbikularis okuli terganggu. Manifestasi komplit
lainnya ditunjukkan dengan makanan yang tersimpan antara gigi dan pipi akibat
1
gangguan gerakan wajah dan air liur keluar dari sudut mulut.
Lesi di kanalis fasialis (di atas persimpangan dengan korda timpani tetapi di bawah
ganglion genikulatum) akan menunjuk semua gejala seperti lesi di foramen stylomastoid
1
ditambah pengecapan menghilang pada dua per tiga anterior lidah pada sisi yang sama.
Bila lesi terdapat di saraf yang menuju ke muskulus stapedius dapat terjadi
hiperakusis (sensitivitas nyeri terhadap suara keras). Selain itu, lesi pada ganglion
genikulatum akan menimbulkan lakrimasi dan berkurangnya salivasi serta dapat
1
melibatkan saraf kedelapan.
2.3.8.2. Pemeriksaan Fisik
Paralisis fasialis mudah didiagnosis dengan pemeriksaan fisik yang lengkap untuk
menyingkirkan kelainan sepanjang perjalanan saraf dan kemungkinan penyebab lain.
Adapun pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan gerakan dan ekspresi wajah.
Pemeriksaan ini akan menemukan kelemahan pada seluruh wajah sisi yang terkena.
Kemudian, pasien diminta menutup mata dan mata pasien pada sisi yang terkena
memutar ke atas.1
Bila terdapat hiperakusis, saat stetoskop diletakkan pada telinga pasien maka
suara akan terdengar lebih jelas pada sisi cabang muskulus stapedius yang
paralisis. Tanda klinis yang membedakan Bell’s palsy dengan stroke atau kelainan yang
bersifat sentral lainnya adalah tidak terdapatnya kelainan pemeriksaan saraf kranialis
lain, motorik dan sensorik ekstremitas dalam batas normal, dan pasien tidak mampu
9
mengangkat alis dan dahi pada sisi yang lumpuh.
Gambar 9. Manifestasi klinis Bell’s palsy 9
2.3.8.3. Pemeriksaan Penunjang
Bell’s palsy merupakan diagnosis klinis sehingga pemeriksaan penunjang perlu
dilakukan untuk menyingkirkan etiologi sekunder dari paralisis saraf kranialis.
Pemeriksaan radiologis dengan CT-scan atau radiografi polos dapat dilakukan untuk
menyingkirkan fraktur, metastasis tulang, dan keterlibatan sistem saraf pusat (SSP).
Pemeriksaan MRI dilakukan pada pasien yang dicurigai neoplasma di tulang temporal,
otak, glandula parotis, atau untuk mengevaluasi sklerosis multipel. Selain itu, MRI
1
dapat memvisualisasi perjalanan dan penyengatan kontras saraf fasialis.
Pemeriksaan neurofisiologi pada Bells palsy sudah dikenal sejak tahun 1970
sebagai prediktor kesembuhan, bahkan dahulu sebagai acuan pada penentuan
kandidat tindakan dekompresi intrakanikular. Grosheva et al melaporkan
pemeriksaan elektromiografi (EMG) mempunyai nilai prognostik yang lebih baik
dibandingkan elektroneurografi (ENG). Pemeriksaan serial EMG pada penelitian tersebut
setelah hari ke-15 mempunyai positive-predictivevalue (PPV) 100% dan negative-
predictive-value (NPV) 96%. Spektrum abnormalitas yang didapatkan berupa penurunan
amplitudo Compound Motor Action Potential (CMAP), pemanjangan latensi saraf
fasialis, serta pada pemeriksaan blink reflex didapatkan pemanjangan gelombang R1
ipsilateral. Pemeriksaan blink reflex ini sangat bermanfaat karena 96% kasus didapatkan
abnormalitas hingga minggu kelima, meski demikian sensitivitas pemeriksaan ini rendah.
Abnormalitas gelombang R2 hanya ditemukan pada 15,6% kasus.
2.3.9. Penatalaksanaan
P
eran dokter umum sebagai lini terdepan pelayanan primer berupa identifikasi dini
dan merujuk ke spesialis saraf (jika tersedia) apabila terdapat kelainan lain pada
pemeriksaan neurologis yang mengarah pada penyakit yang menjadi diagnosis banding
Bell’s palsy. Jika tidak tersedia, dokter umum dapat menentukan terapi selanjutnya
setelah menyingkirkan diagnosis banding lain. Terapi yang diberikan dokter umum
dapat berupa kombinasi non-farmakologis dan farmakologis seperti dijelaskan di bawah
1
ini.
Kornea mata memiliki risiko mengering dan terpapar benda asing. Proteksinya
dapat dilakukan dengan penggunaan air mata buatan (artificial tears), pelumas (saat
tidur), kaca mata, plester mata, penjahitan kelopak mata atas, atau tarsorafi lateral
5
(penjahitan bagian lateral kelopak mata atas dan bawah). Masase dari otot yang lemah
dapat dikerjakan secara halus dengan mengangkat wajah ke atas dan membuat gerakan
melingkar. Tidak terdapat bukti adanya efektivitas dekompresi melalui pembedahan saraf
fasialis, namun tindakan ini kadang dilakukan pada kasus yang berat dalam 14 hari
1
onset.
Untuk menghilangkan penekanan, menurunkan edema akson dan kerusakan N.VII
dapat diberikan prednison (kortikosteroid) dan antiviral sesegera mungkin. Window of
opportunity untuk memulai pengobatan adalan 7 hari setelah onset. Prednison dapat
diberikan jika muncul tanda-tanda radang. Selain itu dapat pula diberi obat untuk
menghilangkan nyeri seperti gabapentin.1
- Kortikosteroid
Prednison 1 mg/kgBB/hari selama 5 hari kemudian diturunkan bertahap 10 mg/hari
dan berhenti selama 10-14 hari.
1 mg/kg atau 60 mg PO selama 7 hari diikuti
Dosis dewasa
tappering off dengan total pemakaian 10 hari.
1 mg/kg PO selama 6 hari diikuti tappering off
Dosis Anak
dengan total pemakaian 10 hari.
Hipersensitivitas, diabetes berat yang tak terkontrol,
Kontraindikasi
infeksi jamur, ulkus peptikum, TBC, osteoporosis.
Tabel 1: Dosis Kortikosteroid1
- Obat-obat antiviral
Acyclovir 400 mg dapat diberikan 5 kali perhari selama 7 hari, atau 1000 mg/hari
selama 5 hari sampai 2400 mg/hari selama 10 harijika hasil menunjukkan bahwa
Bell’s Palsy disebabkan oleh HSV, jika disebabkan oleh VZV maka diperlukan
dosis yang lebih tinggi (800 mg secara oral, 5 kali sehari).
Valacyclovir, 500 mg secara oral, 2 kali sehari selama 5 hari, juga dapat
digunakan sebagai pengganti acyclovir. Meskipun harganya mahal, efeknya jauh
lebih baik. Sama dengan acyclovir, jika Bell’s Palsy disebabkan oleh VZV maka
diperlukan dosis yang lebih tinggi (1000 mg secara oral, 3 kali sehari).
Program Psikologik
Untuk kasus-kasus tertentu dimana ada gangguan psikis amat menonjol rasa cemas sering
menyertai penderita terutama pada penderita muda wanita atau penderita yang
mempunyai profesi yang mengharuskan ia sering tampil di depan umum, maka bantuan
seorang psikolog sangat diperlukan
2.3.11. Komplikasi
Sekitar 5% pasien setelah menderita Bell’s palsy mengalami sekuele berat yang
tidak dapat diterima. Beberapa komplikasi yang sering terjadi akibat Bell’s palsy, adalah
(1) regenerasi motor inkomplit yaitu regenerasi suboptimal yang menyebabkan paresis
seluruh atau beberapa muskulus fasialis, (2) regenerasi sensorik inkomplit yang
menyebabkan disgeusia (gangguan pengecapan), ageusia (hilang pengecapan), dan
disestesia (gangguan sensasi atau sensasi yang tidak sama dengan stimuli normal), dan
1
(3) reinervasi yang salah dari saraf fasialis.
Reinervasi yang salah dari saraf fasialis dapat menyebabkan (1) sinkinesis yaitu
gerakan involunter yang mengikuti gerakan volunter yang dapat ditangani dengan efektif
melalui pemberian injeksi botulinum toxin subkutan atau intramuskular, contohnya
timbul gerakan elevasi involunter dari sudut mata, kontraksi platysma, atau pengerutan
dahi saat memejamkan mata, (2) crocodile tear phenomenon, yang timbul beberapa
bulan setelah paresis akibat regenerasi yang salah dari serabut otonom, contohnya air
mata pasien keluar pada saat mengkonsumsi makanan, dan (3) clonic facial spasm
(hemifacial spasm), yaitu timbul kedutan secara tiba-tiba (shock-like) pada wajah yang
dapat terjadi pada satu sisi wajah saja pada stadium awal, kemudian mengenai sisi
1
lainnya (lesi bilateral tidak terjadi bersamaan).
2.3.11. Prognosis
Perjalanan alamiah Bell’s palsy bervariasi dari perbaikan komplit dini sampai
cedera saraf substansial dengan sekuele permanen. Sekitar 80-90% pasien dengan Bell’s
palsy sembuh total dalam 6 bulan, bahkan pada 50-60% kasus membaik dalam 3
minggu. Sekitar 10% mengalami asimetri muskulus fasialis persisten, dan 5%
1
mengalami sekuele yang berat, serta 8% kasus dapat rekuren.
Faktor yang dapat mengarah ke prognosis buruk adalah palsi komplit (risiko
sekuele berat), riwayat rekurensi, diabetes, adanya nyeri hebat post-aurikular, gangguan
pengecapan, refleks stapedius, wanita hamil dengan Bell’s palsy, bukti denervasi mulai
setelah 10 hari (penyembuhan lambat), dan kasus dengan penyengatan kontras yang
jelas. Faktor yang dapat mendukung ke prognosis baik adalah paralisis parsial inkomplit
pada fase akut (penyembuhan total), pemberian kortikosteroid dini, penyembuhan awal
1
dan/atau perbaikan fungsi pengecapan dalam minggu pertama. Prognosis dapat diukur
1
dengan pemeriksaan neurofisiologi, House-Brackmann Facial Nerve Grading System.
Belum ada skema yang universal untuk menilai keluaran fungsional dari Bell
Palsy. Namun salah satu yang sering digunakan adalah House-Brackmann Grading
Scale. Caranya adalah dengan mengukur gerakan ke atas alis dan gerakan ke samping
dari sudut bibir. Setiap gerakan 0,25 cm diberikan 1 poin dengan maksimal penilaian 1
12,13
cm untuk masing-masing bagian. Jadi total nilai maksimalnya adalah 8.
Grade I (Normal). 8 poin, fungsi 100%, fungsi perkiraan 100%
Grade II (Slight). 7 poin, fungsi 76-99%, fungsi perkiraan 80%
Grade III (Moderate). 5-6 poin, fungsi 51-75%, fungsi perkiraan 60%
Grade IV (Moderately Severe). 3-4 poin, fungsi 26-50%, fungsi perkiraan
40%
Grade V (Severe). 1-2 poin, fungsi 1-25%, fungsi perkiraan 20%
Grade VI (Total). 0 poin, fungsi 0%, fungsi perkiraan 0%
Ugo Fisch scale bertujuan untuk pemeriksaan fungsi motorik dan mengevaluasi
kemajuan motorik otot wajah pada penderita bell’s palsy. Penilaian dilakukan pada 5
posisi, yaitu saat istirahat, mengerutkan dahi, menutup mata, tersenyum, dan bersiul. Pada
tersebut dinilai simetris atau tidaknya antara sisi sakit dengan sisi yang sehat.14
Ada 4 penilaian dalam % untuk posisi tersebut antara lain :
0% (zero) : Asimetris Komplit, tidak ada gerakan volunter sama sekali.
30% (poor): Simetris ringan, kesembuhan cenderung ke asimetris, ada
gerakan volunter.
70% (fair): Simetris sedang, kesembuhan cenderung normal.
100 % (normal): Simetris komplit (normal).
Angka prosentase masing-masing posisi harus dirubah menjadi score dengan kriteria
sebagai berikut :
Saat istirahat : 20 point
Mengerutkan dahi : 10 point
Menutup mata : 30 point
Tersenyum : 30 point
Bersiul : 10 point
Pada keadaan normal untuk jumlah kelima posisi wajah adalah 100 point. Hasil penilaian
itu diperoleh dari penilaian angka prosentase dikalikan dengan masing-masing point.
Nilai akhirnya adalah jumlah dari 5 aspek penilaian tersebut.14
2.3.12. SKDI
Kompetensi dokter umum untuk Bell’s Palsy adalah 4A, yaitu sebagai
15
berikut:
Tingkat Kemampuan 4 : Mendiagnosis, Melakukan Penatalaksanaan secara
Mandiri dan Tuntas
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan melakukan
penatalaksanaan penyakit tersebut secara mandiri dan tuntas.
4A. Kompetensi yang dicapai pada saat lulus dokter.
BAB IV
ANALISIS KASUS
Angliadi LS, Sengkey L, Gessal J, dkk. Rehabilitasi Medik Pada Bell’s Palsy.
Dalam: Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi. Manado: Bagian Ilmu
Kedokteran Fisik dan Rehabilitas BLU RSUP Prof. dr. R. D. Kandou/FK
UNSRAT, 2006: 42-49
Baugh, Reginald, Gregory J. Basura, Lisa E. Ishii, Seth R. Schwartz, Caitlin
Murray Drumheller, Rebecca Burkholder, Nathan A. Deckard,
Cindy Dawson, Colin Driscoll, M. Boyd Gillespie, Richard K.
Gurgel, Joh Halperin, Ayesha N. Khalid, Kaparaboyna Ashok Kumar,
Alan Micco, Debra Munsell, Steven Rosenbaum, dan William Vaughan.
2013. Clinical Practice Guideline: Bell’s Palsy. Otolaryngology–Head
and Neck Surgery Journal 149(3S): S1–S27.
de Almeida, John R., Gordon H. Guyatt, Sachin Sud, Joanne Dorion, Michael D.
Hill, Michael R. Kolber, Jane Lea, Sylvia Loong Reg, Balvinder K.
Somogyi, Brian D. Westerberg, Chris White, dan Joseph M. Chen. 2014.
Management of Bell Palsy: Clinical Practice Guideline. CMAJ 186(2):
917-922
Frotscher M, baehr M. Diagnosis Topik Neurologis DUUS. Edisi ke-4.Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2005148-155
Herman P, D., H., F. X., Supriyadi, A., Sujono, A., & Astuti, M. S. (t.thn.).
pengertian-fisioterapi. Dipetik Maret 2012, dari fisiosby:
http://fisiosby.com
Holland NJ, Weiner GM. 2004. Clinical review: Recent developments in Bell’s
palsy. BMJ 329:553–7.
Konsil Kedokteran Indonesia. 2012. Standar Kompetensi Dokter Indonesia. Edisi
ke-2. Penerbit Konsil Kedokteran Indonesia. Jakarta Lowis H, Gaharu
MN. 2012.“Bell’s Palsy, Diagnosis and management in Primer Care”.J
IndonMedAssoe.Volume62,No.1,http://Indonesia.digitaljournals.org/index
.php/idnmed/article/viefile/1118/1104,13 September 2015
Lumbantobing SM. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta:
Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia;2013.h.39-60
Lumbantobing, S.M., 2006 ; Neurologi klinis ; FKUI, Jakarta, hal 88-90
Mardjono, M. Sidharta, P. Nervus Fasialis dan Patologinya. Neurologi Klinis
Dasar. Edisi ke-5. Jakarta: PT Dian Rakyat, 2005.h.159-163.
Rahmawati, S. (2009, November). sekilas-tentang-fisioterapi. Dipetik Maret 2012,
dari shvoong: http://id.shvoong.com
Ramli, S. d. (2011, Juni). apakah-fisioterapi-itu. Dipetik Maret 2012, dari
infofisioterapi: http://www.infofisioterapi.co
Ramsey MJ, DerSimonian R, Holtel MR, Burgess LPA. 2000. Corticosteroid
Treatment for Idiopathic Facial Nerve Paralysis: A Meta-analysis.
Laryngoscope 110:335–341.
Setyawan, S. B. (2011, Oktober). FISIOTERAPI PADA BELL'S PALSY. Dipetik
Maret 2012, dari majalahkasih: http://majalahkasih.pantiwilasa.com
Somasundara, Dhruvashree., dan Frank Sullivan. 2017. Management of Bell’s
Palsy. Australian Prescriber 40(3): 94-96.
Sugiri, A. (2011, September). fisioterapi-pada-bell-palsy. Dipetik Maret 2012,
dari as-promedik: http://www.as-promedik.com