Penulis
1
Daftar Isi
KATA PENGANTAR...............................................................................................................1
Daftar Isi.....................................................................................................................................2
BAB I.........................................................................................................................................3
PENDAHULUAN......................................................................................................................3
A. Latar Belakang................................................................................................................3
B. Rumusan Masalah...........................................................................................................3
C. Tujuan.............................................................................................................................4
BAB II........................................................................................................................................5
PEMBAHASAN........................................................................................................................5
E. Membuat interaksi guru dan siswa yang kondusif menurut psikososial Erickson........13
BAB III.....................................................................................................................................17
PENUTUP................................................................................................................................17
A. Kesimpulan......................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................18
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada mulanya, teori psikososial Erikson merupakan adaptasi dari teori Freud
tentang psikoseksual. Namun Erikson lebih terfokus pada proses diri dengan
lingkungan, bukan libido. Teori ini masuk ke dalam psikologi kepribadian dan juga
perkembangan, disebabkan Erikson menjelaskan manusia dalam beberapa tahap
menurut kategori usia. Namun, pada kenyataannya teori psikososial ini juga dapat
dikembangkan dalam dunia pendidikan. Sebagaimana contoh guru dapat memberikan
edukasi kepada murid sesuai dengan jenjang usia yang tepat. Jadi, perlakuan guru
dalam proses pembelajaran harus disesuaikan dengan jenjang usia murid atau siswa.
Dalam sudut pandang siswa, teori psikososial dapat dijadikan pegangan dalam
proses pembelajaran terutama dalam motivasi. Dimana seorang siswa harus bisa
memotivasi dirinya sendiri agar tidak menyontek dan bersikap sportif dalam sistem
pembelajaran. Dalam makalah ini akan dijelaskan beberapa tahapan perkembangan
psikososial yang digunakan dalam metode pembelajaran psikologi belajar.
Dalam makalah ini juga menjelaskan pentingnya siswa dalam belajar
meregulasikan diri yang baik. Peran guru dalam membantu siswa belajar
meregulasikan diri sangat penting karena berdampak pada perkembangan kognitif dan
sosialnya. Regulasi diri menjadi sangat dibutuhkan siswadan guru juga harus
menguasai dan memahami
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perilaku belajar terjadi menurut teori psikososial Erikson?
2. Bagaimana cara memotivasi belajar siswa menurut teori psikososial Erikson?
3. Bagaimana membuat kompetisi yang kondusif bagi siswa menurut teori
psikososial Erikson?
4. Bagaimana membuat siswa menjadi self-regulated menurut teori psikososial
Erikson?
5. Bagaimana membangun interaksi guru-siswa yang kondusif menurut teori
psikososial Erikson?
6. Bagaimana membuat siswa tidak suka mencontek menurut teori psikososial
Erikson?
C. Tujuan
1. Agar mengetahui perilaku belajar yang terjadi menurut teori psikososial
Erikson
3
2. Agar mengetahui cara memotivasi belajar siswa menurut teori psikososial
Erikson
3. Agar memahami cara membuat kompetisi yang kondusif bagi siswa menurut
teori psikososial Erikson
4. Agar memahami cara membuat siswa menjadi self regulated menurut teori
psikososial Erikson
5. Agar mengetahui cara membangun interaksi guru-siswa yang kondusif
menurut teori psikososial Erikson
6. Agar mengetahui cara membuat siswa tidak suka mencontek menurut teori
psikososial Erikson
4
BAB II
PEMBAHASAN
1
Robert E. Slavin,Psikologi Pendidikan : Teori dan Praktik,(Jakarta: PT Indeks, 2011), hlm.63.
2
Alwisol, Psikologi Kepribadian, (Malang: UMM Press, 2009),hlm.86.
5
tidak menyerah justru akan bereaksi dengan konsep dirinya serta peluang yang ada di
sekitar. Ego yang sempurna digambarkan menjadi tiga dimensi yakni :
a) Faktualitas : berisi fakta dan data hasil interaksi dengan
b) Universalitas : kesadaran dengan kenyataan (sense of reality)
c) Aktualitas : Ego merupakan realitas masa kini yang terus berkembang
dalam memecahkan masalah kehidupan.
Sumber dan dasar teori Erikson adalah latar belakang keluarga, pendidikan,
agama, kebangsaan serta profesi yang sempat mengacaukan identitasnya, yang
kemudian berhasil mendorong Erikson menciptakan formulasi konseptual tentang
terjadinya identitas. Setiap orang belajar melalui orang-orang yang berpengaruh atas
dirinya melalui peran relasi-relasi sosial yang terjadi secara terus-menerus.3
Dalam teorinya, Erikson menjelaskan bahwa perkembangan seseorang dibagi
dalam delapan tahapan. Adapun penjelasan tahap-tahap perkembangan pribadi dan
sosial menurut Erikson adalah sebagai berikut :
a) Fase Bayi (0-1 Tahun) – Trust vs Mistrust
Pada fase awal ini, kegiatan yang dilakukan bayi tidak hanya berkaitan dengan
mulut akan tetapi tentang semua yang termasuk pengindraan.
- Pada tahap sensori oral yang ditandai dengan dua inkoporasi receiving
(memperoleh sesuatu tanpa ada yang memberi, bernafas atau menerima
stimulus tanpa kehadiran orang lain) dan accepting (memperoleh sesuatu
melalui konteks sosial). Hal ini akan menjadi pembelajaran mengenai
hubungan antar pribadi, belajar memberi dan menerima.4
- Krisis psikososial : Pada tahun pertama kehidupan, bayi menghabiskan
sebagian besar waktunya untuk makan, eliminsi, dan tidur.
Apabila pola inkorporasi sesuai dengan perlakuan lingkungan kulturalnya,
bayi akan mengembangkan kepercayaan dasar. Sebaliknya, apabila tidak
sesuai dengan pola lingkungannya maka akan timbul ketidak percayaan dasar.5
- Fase Trust vs Mistrust : output dari hasil pembelajaran yang baik dari tahap ini
adalah berupa kepercayaan diri dan sikap optimis dalam diri individu.
b) Fase Anak-Anak (1-3 Tahun) – Autonomy vs Shame & Doubt
- Pada fase ini anak tidak hanya mengontrol proses defikasi dalam dirinya, akan
tetapi juga mengontrol fungsi tubuh yang lain. Dari hal tersebut dapat
dikembangkan melalui hubungan interpersonal sehingga anak juga mengalami
keraguan dan malu. Anak akan menyadari bahwa belajar merupakan usaha
yang memiliki dua kemungkinan, yakni berhasil dan gagal.
- Pada fase anak-anak, individu belajar untuk cenderung keras kepala dan
lembut, obsesif kompulsif, menjadi senang bekerjasama dan benci.
- Perkembangan secara fisik berupa latihan berbicara dan memahami bahasa-
bahasa yang digunakan di lingkungan sekitar. Apabila anak mendapat
pengajaran dari orang tua dan orang di lingkungan sekitar secara interaktif dan
3
https://initentangpsikologi.blogspot.com/2019/09/teori-psikososial-erikson.html
4
Ibd,hlm.91
5
Ibid.
6
komunikatif, anak akan lebih memahami cara berbahasa. Sebaliknya, apabila
lingkungan sekitar jarang memberikan stimulus untuk berkomunikasi, anak
akan cenderung menjadi pribadi yang pasif.
- Fase ini menekankan pada pengendalian diri. Dimana anak akan dihadapkan
dengan situasi atas otonomi diri dan perasaaan yang ragu-ragu. Apabila
anakdapat melewati fase belajar ini dengan baik, anak akan memiliki tigkat
pengendalian diri yang baik, begitu pun sebaliknya.
c) Usia Bermain (3-6 Tahun) – Initiative vs Guilt
- Selama periode ini, kemampuan motorik dan Bahasa anak‐anak yang terus
mengalami kematangan memungkinkan mereka makin agresif dan kuat untuk
penjajakan lingkungan sosial maupun fisik mereka. Anak‐anak yang berusia
tiga tahun mempunyai rasa inisiatif yang makin besar, yang dapat di dorong
oleh orang tua, anggota keluarga lain, dan pengasuh lain yang memungkinkan
anakanak berlari, melompat, bermain, meluncur, dan melempar. ʺKarena
benarbenar yakin bahwa dia adalah orang pada dirinya, anak itu sekarang
harus mengalami menjadi orang seperti apa diaʺ (Erikson, 1968, hal. 115).6
- Tahap ini akan menghadapkan anak dengan yang namanya hak dan kewajiban
serta pembatasan tingkah laku. Individu juga mulai belajar mengontrol diri
sendiri dan menerima kontrol dari orang lain.
6
http://digilib.uinsby.ac.id/20023/1/Psikologi%20Pendidikan.pdf, hlm.71.
7
Ibid,hlm.72.
8
Ibid.
7
-Orang dewasa awal siap membentuk hubungan kepercayaan dan keintiman
baru dengan orang lain, ʺmitra persahabatan, seks, persaingan, dan kerja
samaʺ. Hubungan ini semestinya meningkatkan identitas kedua mitra tanpa
melumpuhkan pertumbuhan keduanya. Orang dewasa awal yang tidak mencari
keintiman seperti itu atau yang upayanya yang sudah berulang‐ulang
mengalami kegagalan mungkin akan menarik diri ke dalam keterasingan.9
g) Dewasa (30-60 Tahun) – Generativity vs Stagnation
- Lazimnya, orang memeroleh daya regenerasi dengan membesarkan anak‐
anaknya sendiri. Namun, krisis tahap ini juga dapat berhasil diatasi melalui
bentuk produktivitas dan kreativitas lain, seperti mengajar. Selama tahap ini,
orang mestinya terus bertumbuh; apabila dia tidak tumbuh, rasa ʺstagnasi dan
kemiskinan hubungan antar‐pribadiʺ terbentuk, yang mengakibatkan
penyibukan diri atau pemuasan diri (Erikson, 1980, hal. 103).10
h) Usia Tua (>65 Tahun) – Ego-integrity vs Despair
- Dalam tahap terakhir perkembangan psikososial, orang melihat kembali
seluruh masa hidupnya dan mengatasi krisis identitas terakhir mereka.
Penerimaan akan pencapaian, kegagalan dan keterbatasan terkinggi membawa
Serta rasa integritas atau keutuhan; kesadaran bahwa kehidupan seseorang
telah menjadi tanggung jawab diri seseorang. Titik akhir berupa kematian juga
harus dihadapi dan diterima. Keputusasaan dapat terjadi dalam diri orang yang
menyesali cara mereka telah menjalani kehidupannya atau cara telah
berlangsungnya kehidupannya.11
9
Ibid,hlm.73.
10
Ibid.
11
Ibid,hlm.74.
8
dengan baik. Penanaman sikap jujur sebagai landasan dalam berperilaku, serta
optimisme atas semua pencapaian dengan versi maksimal diri sendiri akan berdampak
pada terbentuknya konsep diri yang positif. Hal ini akan menjadi bekal pokok dalam
pembelajaran anak. Lingkungan belajar dengan suasana nyaman dan memotivasi yang
diciptakan sejak awal akan sangat mendukung lahirnya sikap belajar dan motivasi
siswa yang positif.
12
Mutia Ratnasari, Perkembangan Kepribadian Pada Tokoh Utama Dalam Novelet Babalik Pikir Karya
Samsoed, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjajaran, Bandung
9
sepanjang hidupnya, selalu meyakinkan dirinya bahwa orang lain berusaha
mengambil keuntungan dari dirinya.13
Jadi pada tahap ini guru dapat memberikan kepercayaan kepada siswa
sehingga siswa mempunyai rasa aman dan di lindungi ketika belajar dalam
kelas. Jika guru berhasil menumbuhkan kepercayaan guru kepada siswa maka
siswa akan lebih nyaman karena sifat guru yang melindungi dan memberi
kepercayaan kepada siswanya sehingga jika guru berhasil memenuhi
kebutuhan siswa maka proses pembelajaran lebih kondusif karena siswa diberi
rasa aman oleh guru. Jika guru gagal memberikan rasa aman kepada siswa
maka siswa akan kesulitan dalam menumbuhkan kepercayaan kepada guru
sehingga siswa akan menganggap bahwa proses belajar tersebut tidak akan
menumbuhkan rasa aman.
b) Autonomy versus Shame and Doubt
Dalam tahap ini, anak akan belajar bahwa dirinya memiliki kontrol atas
tubuhnya. Orang tua seharusnya menuntun anaknya, mengajarkannya untuk
mengontrol keinginan atau impuls-impulsnya, namun tidak dengan perlakuan
yang kasar. Mereka melatih kehendak mereka, tepatnya otonomi. Harapan
idealnya, anak bisa belajar menyesuaikan diri dengan aturan-aturan sosial
tanpa banyak kehilangan pemahaman awal mereka mengenai otonomi, inilah
resolusi yang diharapkan.14
Pada teori ini Erikson menjelaskan sesungguhnya siswa dapat mengontrol diri
mereka dan menyesuaikan diri terhadap persaingan dalam kelas, sebisa
mungkin guru membuat kompetisi dalam kelas yang kondusif dengan cara
memberikan kegiatan kepada siswa dan mengontrolnya. Semisal memberikan
kuis kepada siswa dengan tujuan pendekatan sosial akan tetapi guru juga
memberi batasan agar tidak terjadi kesenjangan antara siswa dengan siswa
atau siswa dengan guru. Dalam kurikulum tiga belas siswa dituntut untuk lebih
aktif mencari ilmu dan lebih bebas untuk mengemukakan pendapatnya, dan
peran guru adalah sebagai pengontrol atau pagar pemikiran siswa sehingga
siswa tidak terlalu kompleks dalam menentukan jalan pikiannya. Guru juga
harus memberi arahan kepada siswa agar hubungan antara guru bisa lebih
baik.
c) Initiative versus Guilt
Pada periode inilah anak belajar bagaimana merencanakan dan melaksanakan
tindakannya. Resolusi yang tidak berhasil dari tahapan ini akan membuat sang
anak takut mengambil inisiatif atau membuat keputusan karena takut berbuat
salah. Anak memiliki rasa percaya diri yang rendah dan tidak mau
mengembangkan harapan harapan ketika ia dewasa. Bila anak berhasil
melewati masa ini dengan baik, maka keterampilanego yang diperoleh adalah
memiliki tujuan dalam hidupnya.15
13
Scania Riendravi, PERKEMBANGAN PSIKOSOSIAL ANAK,(Denpasar: SMF Psikiatri Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana),hlm.3
14
Ibid.
15
Ibid.
10
Setelah siswa dapat melakukan otonomi yang baik pada dirinya seorang guru
dapat mengarahkan siswa agar lebih berani dalam bertindak atau mengambil
keputusan dan mengajarkan trial and error. Karena dalam proses belajar ada
kalanya berhasil karena kegagalan dari sinilah guru mengajarkan siswa supaya
tidak takut dan berani dalam mengemukakan pendapatnya. Guru juga memberi
dukungan supaya siswa berani menentukan pilihannya seperti memberikan
soal ulangan harian, siswa dituntut untuk jujur dalam mengerjakan soal dan
guru juga memberikan arahan kepada siswa jika ia salah jangan menyerah
karena proses penyimpanan dalam memori dapat terbentuk dan teringat
melalui kesalahan.
16
Seto Mulyadi, Heru Basuki, Wahyu Raharjo, Psikologi Pendidikan (Depok : Raja Grafindo Persada, 2017), hlm.
221
17
Anggi Puspitasari, Edy Purwanto, Dyah Indah Noviyani SELF REGULATED LEARNING DITINJAU DARI GOAL
ORIENTATION, ( Semarang : Educational Journal Psychology UNNES), hlm.2.
11
sejalan dengan tahapan perkembangan dan mendorong peningkatan kemampuan
berperilaku sesuai dengan nilai agama dan budaya yang diyakini.
Pola asuh demokratis adalah salah satu gaya pengasuhan yang
memperlihatkan pengawasan ekstra ketat terhadap tingkah laku anak-anak, tetapi
mereka juga bersikap responsif. Orang tua yang demokratis memandang sama
kewajiban dan hak antara anak dan orang tua. Secara bertahap orang tua memberikan
tanggung jawab bagi anak anaknya terhadap segala sesuatu yang diperbuatnya sampai
mereka dewasa. Orang tua yang demokratis memperlakukan anak sesuai dengan
tingkat-tingkat perkembangan anak dan dapat memperhatikan serta
mempertimbangkan keinginan anak. Pola asuh yang ideal atau pola asuh yang baik
adalah pola asuh demokratis dimana anak mempunyai hak untuk mengetahui
mengapa peraturan-peraturan dibuat dan memperoleh kesempatan mengemukakan
pendapatnya sendiri bila ia menganggap bahwa peraturan itu tidak adil. Dampak
perkembangan psikologi anak dengan pola asuh demokratis yaitu rasa harga diri yang
tinggi, memiliki moral yang standar, kematangan psikologisosial, kemandirian dan
mampu bergaul dengan teman sebayanya.18
Dari teori perkembangan inilah siswa dapat belajar bahwa peraturan yang
ditetapkan oleh orang tua itu setara dengan kemampuan yang dapat ia kerjakan. Orang
tua juga memberikan aturan yang sepadan atau aturan yang tidak melampaui batas
kerja anak. Selain itu orang tua juga memberikan pengawasan ekstra terhadap anak
sehingga dalam melakukan tanggung jawabnya ia sangat bersungguh – sungguh.
Anak juga diberikan hak – haknya dalam kehidupan sehari – hari sehingga dampak
dari perkembangan anak tersebut dapat membuat kontrol diri yang baik pada diri
mereka. Hasil dari pola asuh ini siswa lebih menekankan pada harga diri mereka,
memiliki moral yang baik dan tentunya mempunyai regulasi diri yang baik.
Anak memperoleh nilai-nilai moral dari lingkungan dan orang tuanya. Melalui
pengalamannya berinteraksi dengan orang lain, anak belajar memahami tentang
perilaku yang buruk yang tidak boleh dikerjakan. Berikut beberapa sikap orang tua
sehubungan dengan perkembangan moral anak:
- Konsistensi dalam mendidik anak. Kedua orang tua harus memiliki sikap
dan perlakuan yang sama dalam melarang atau memperbolehkan tingkah
laku tertentu kepada anak. Suatu tingkah laku anak yang dilarang oleh
orang tua pada suatu waktu, harus juga dilarang apabila dilakukan kembali
pada waktu lain.
- Sikap orang tua dalam keluarga.Secara tidak langsungsikap orang tua
terhadap anak dapat mempengaruhi perkembangan moral anak yaitu
melalui proses peniruan. Sikap orang tua yang keras cenderung melahirkan
sikap disiplin semu pada anak. Adapun sikap acuh tak acuh atau sikap
masa bodoh cenderung mengembangkan sikap kurang bertanggung jawab
dan kurang memperdulikan norma pada diri anak. Sikap yang sebaiknya
dimiliki oleh orang tua yaitu sikap kasih saying, keterbukaan, musyawarah
dan konsisten.
18
Scania Riendravi, PERKEMBANGAN PSIKOSOSIAL ANAK,(Denpasar: SMF Psikiatri Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana), hlm.8
12
- Penghayatan dan pengalaman agama yang dianut. Orang tua merupakan
teladan bagi anak, termasuk dalam mengamalkan ajaran agama. Orang tua
yang menciptakan iklim yang religious (agamais) dengan cara memberikan
ajaran atau bimbingan tentang nilai-nilai agama kepada anak, maka anak
akan mengalami perkembangan moral yang baik.
E. Membuat interaksi guru dan siswa yang kondusif menurut psikososial Erickson
Figur guru merupakan pribadi kunci dalam pembelajaran. Gurulah panutan
utama bagi anak didik. Semua sikap dan perilaku guru akan dilihat, didengar, dan
ditiru oleh anak didik. Guru mempunyai wewenang dan tanggung jawab untuk
mendidikkan anak didik. Guru mempunyai hak otoritas untuk membimbing dan
mengarahkan anak didik agar menjadi menusia yang berilmu pengetahuan dimasa
depan.19
Guru juga merupakan salah satu unsur manusia dalam proses pendidikan.
Unsur manusiawi lainnya adalah anak didik. Guru dan anak didik berada dalam suatu
relasi kejiwaan. Keduanya berada dalam proses interaksi edukatif dengan tugas dan
peranan yang berbeda. Guru yang mengajar dan mendidik, anak didik yang belajar
dengan menerima bahan pelajaran dari guru dikelas. Guru dan anak didik berada
dalam koridor kebaikan. Oleh karena itu, walaupun mereka berlainan secara fisik dan
mental, tetapi mereka tetap seiring dan memiliki suatu tujuan untuk mencapai
kebaikan akhlak, kebaikan moral, kebaikan hukum, kebaikan sosial, dan sebagainya. 20
Erickson dalam teori psikososialnya membagi dalam tahapan-tahapan:
a. Kepercayaan Vs. Kecurigaan
Kepercayaan vs. Kecurigaan merupakan tahap pertama yang dimulai ketika
manusia berumur 0-1 atau 1 setengah tahun. Erikson percaya bahwa tingkatan
dasar dalam hidup dapat terjadi mulai dari manusia lahir sampai berumur satu
tahun. Dimana tahapan pada tahap ini adalah menumbuhkan dan
mengembangkan kepercayaan tanpa harus ada penekanan terhadap
kemampuan untuk hadirnya suatu ketidakpercayaan. Kepercayaan ini akan
terbina dengan baik apabila dorongan oralis pada masa bayi terpuaskan,
misalnya untuk tidur tenang, menyantap makanan dengan rasa nyaman dan
tepat waktu, dan dapat membuang kotoran dengan sepuasnya.
Pada tahap ini bayi pun mengalami ritualisasi dimana terjalin hubungan antara
ibu dan bayi dianggap sebagai sesatu yang keramat (numinous). Jika
hubungan tersebut akan terjalin dengan baik, maka bayi akan mengalami
kepuasan dan kesenangan tersendiri.
b. Otonomi Vs. Rasa Malu dan Ragu-ragu
Otonomi vs rasa malu dan keragu-raguan terjadi pada umur 1-3 tahun pada
manusia. Dimana dalam tahap ini anak harus menghadapi krisis antara
kemandirian (otonomi) sekaligus dapat memperkecil perasaan malu dan ragu-
19
Syaiful Bahri Djamarah, Psikologi Belajar, (Jakarta: PT RINEKA CIPTA, 2015), hlm.105.
20
Ibid, hlm.107.
13
ragu. Apabila dalam menjalin suatu relasi antara anak dan orang tuanya
terdapat suatu sikap atau tindakan yang baik, maka dapat menghasilkan suatu
kemandirian. Namun, sebaliknya jika orang tua bersikap salah dalam
mengasuh anaknya, maka dalam perkembangan anaknya akan mengalami
sikap malu dan ragu-ragu. Jika dalam mengasuh anaknya, orangtua sangat
memperhatikan dalam aspek-aspek tertentu misalnya mengizinkan seorang
anak yang menginjak usia balita untuk dapat mengerksplorasikan dan
mengubah lingkungannya, anak tersebut bisa mengembangkan rasa mandiri
dan ketidakketergantungan.
c. Inisiatif Vs. Rasa Bersalah
Krisis psikososial pada tahap ini merupakan krisis antara inisiatif dan rasa
bersalah (guilt) yang biasanya terjadi pada manusia pada usia bermain, yaitu
tiga sampai 6 tahun. Menurut Erikson pada teori ini seorang anak biasanya
mulai belajar terhadap tantangan-tantangan dunia luar melalui kegiatan
bermain, eksplorasi lingkungan sekitarnya, serta interaksi sosial.
Dalam hal ini guru dapat menjadi fasilitator terhadap anak didik agar anak
didik lebih tertantang untuk mengetahui dan mengeksplorasi tantangan-
tantangan disekitarnya.
d. Krisis ketekunan Vs. inferior
Pada tahap ini biasanya terjadi pada usia sekolah (6-12 tahun) seorang
manusia. Menurut Erikson ruang lingkup sosial anak telah meluas keluar
dari dunia keluarga dan masuk pada dunia sekolah. Orang tua, guru,
dan teman memiliki perananan yang sangat penting dalam tahapan ini.
Dalam hal ini guru harus memberikan pengarahan yang tepat kepada anak
didik, agar anak didik berhasil mencapai keberhasilan dalam kegiatan yang
positif dan menimbulkan sikap tekun dan dapat berkompetisi secara sehat.
e. Identitas Vs. Kebingungan Peran
Krisis antara identitas dan kekacauan identitas biasanya terjadi pada usia
remaja (12-20 tahun) pada manusia. Menurut Erikson (1950), tahap ini
merupakan tahap paling penting dalam perkembangan karakter manusia,
karena ditahap ini manusia dihadapkan dengan berbagai macam peran
dan harus dapat menemukan jati dirinya atau yang dimaksud dengan
identitas ego, sehingga manusia tersebut dapat menyesuaikan diri ketika
terjun ke tengah masyarakat nantinya. Remaja pada tahap ini sering
mencoba menunjukan identitas diri atau ciri khasnya yang dianggap unik
secara ekstrim atau berlebihan sehingga memicu pandangan
lingkungannya sebagai suatu penyimpangan atau kenakalan.
Dalam fase ini guru harus bisa mengarahkan kepada perkembangan karakter
dimana peran ego lebih dominan. Agar kemampuan hidup berdasarkan standar
yang berlaku ditengah masyarakat terlepas dari segala kekurangan, kelemahan
dan ketidakkonsistennya.
f. Intimacy (Keakraban) Vs. Isolasi
Krisis yang akan dihadapi dalam tahapan ini adalah intimacy (keakraban)
dan isolasi. Menurut Erikson (1950) dalam Hapsari (2016), keakraban
14
(intimacy) adalah kemampuan untuk menyatukan identitas diri yang telah
diperoleh pada tahapan sebelumnya, dengan identitas orang lain tanpa
takut kehilangan identitas diri itu sendiri. Intimacy dapat dicapai jika
seseorang telah mendapatkan ego yang stabil, sehingga dari pencapaian
itu manusia dapat menemukan nilai positif dalam tahapan ini, yaitu, cinta
(love). Nilai cinta itu sendiri tidak hanya dibatasi oleh cinta terhadap
kekasih, namun bisa juga cinta terhadap orang tua, sahabat, dan lain-
lain.
g. Daya Regenerasi Vs. Penyibukan diri
Dalam masa dewasa tengah ini ditempati oleh orang-orang berusia sekitar 30-
60 tahun. Apabila pada tahap pertama sampai dengan tahap keenam terdapat
tugas untuk dicapai, demikian pula pada masa ini dan salah satu tugas untuk
dicapai ialah dapat mengabdikan diri guna keseimbangan antara sifat
melahirkan sesuatu (generativitas) dengan tidak berbuat apa-apa(stagnasi).
Lazimnya, orang memperoleh daya regenerasi dengan membesarkan anak-
anaknya sendiri. Namun, krisis pada tahap ini juga dapat berhasil diatasi
melalui bentuk produktivitas dan kreativitas lain, seperti mengajar. Selama
tahap ini orang mestinya terus bertumbuh, apabila dia tidak tumbuh, rasa
stagnasi dan kemiskinan hubungan antar-pribadi, yang mengakibatkan
penyibukan diri atau pemuasan diri.
h. Integritas Vs. Keputusasaan
Dalam tahap terakhir ini atau tahap usia senja, yang berusia sekitar 60 atau 65
keatas. Dimana orang melihat kembali seluruh masa hidupnya dan mengatasi
krisis identitas terakhir mereka. Penerimaan atau pencapaian, kegagalan dan
keterbatasan tertinggi membawa serta rasa integritas atau keutuhan, kesadaran
bahwa kehidupan seseorang telah menjadi tanggung jawab diri seseorang.
Titik akhir berupa kematian juga harus dihadapi dan diterima. Keputusasaan
dapat terjadi dalam diri orang yang menyesali cara mereka telah menjalani
kehidupannya atau cara telah berlangsungnya kehidupannya.21
15
mencontek, peran ego dalam mengendalikan diri akan cenderung mempertimbangkan
bahwa mencontek bukanlah hal yang diperbolehkan dan melanggar norma sosial yang
berlaku dilingkungannya.
Contoh riil-nya, apabila siswa dihadapkan dengan situasi dimana ia berada di
lingkungan yang terbiasa dengan budaya mencontek, sekalipun pengaruh ini besar
akan tetapi apabila konsep diri individu sudah teguh dan dibiasakan untuk sportif dan
jujur, maka individu akan tetap mempertahankan konsep dirinya. Begitu pula apabila
dihadapkan dengan kondisi lingkungan yang terbiasa sportif dalam berkompetisi,
individu tersebut akan mendapat dukungan berupa respon lingkungan yang sama
dengan kondisinya.
Pusat dari teori Erikson mengenai perkembangan ego merupakan sebuah
asumsi tentang perkembangan setiap individu yang merupakan suatu tahap yang telah
ditetapkan secara universal dalam kehidupan setiap manusia. Erikson menekankan
kesadaran individu untuk menyesuaikan diri dengan pengaruh sosial yang berpusat
pada perhatian psikologi ego adalah kemasakan ego yang sehat. Erikson menganggap
ego merupakan sumber kesadaran diri seseorang. Selama menyesuaikan diri dengan
realita lingkungan, ego mengembangkan perasaan keberlanjutan diri dengan masa lalu
dan masa yang akan datang. Seperti yang dijelaskan Erikson dalam tahapan-tahapan
perkembangannya, pada masa Initiative vs guilt, anak sudah mulai melakukan
pemikiran logis dan anak sudah bersekolah. Oleh karena itu, tuntutan dari dalam
dirinya sendiri maupun dari luar sudah semakin luas.23
Dapat disimpulkan bahwa menurut teori psiko-sosial erikson, perkembangan
kehidupan seseorang secara khusus melalui tahap-tahap dari lahir sampai mati yang
dibentuk oleh pengaruh-pengaruh sosial dan lingkungan yang berinteraksi dengan
individu tersebut. Dimana dalam teori Erikson lebih ditekankan pada ego yang lebih
dominan dari pada id maupun superego, maka dampingan dan didikan orang tua dan
lingkungan sekitar dari kecillah yang akan membentuk perilaku individu. Apabila dari
kecil orang tuanya sudah mengajarkan kejujuran dan sifat sportif, maka individu
tersebut akan menanamkan kejujuran dalam dirinya, begitupun sebaliknya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Teori psikososial Erikson Erikson mengatakan bahwa kepribadian merupakan wujud
dari proses interaksi antara kebutuhan biologis dan perilaku sosial. Dimana ego
23
file:///E:/jurnal%20psi%20belajar/Materi%20Psikososial%20erikson.pdf
16
digambarkan sebagai sejumlah kualitas. Dalam kata lain ego menempati posisi lebih
tinggi dibandingkan id dan superego.
Dalam teori Erikson menjelaskan bahwa perkembangan seseorang dibagi
dalam delapan tahapan.
Fase Bayi (0-1 Tahun) – Trust vs Mistrust
Fase Anak-Anak (1-3 Tahun) – Autonomy vs Shame & Doubt
Usia Bermain (3-6 Tahun) – Initiative vs Guilt
Usia Sekolah (6-12 Tahun) – Industry vs Inferiority
Adolesen (12-20 Tahun) – Identity vs Role Confusion
Dewasa Awal (20-30 Tahun) – Intimacy vs Isolation
Dewasa (30-60 Tahun) – Generativity vs Stagnation
Usia Tua (>65 Tahun) – Ego-integrity vs Despair
Motivasi belajar menurut Psikososial Erikson didasarkan pada konsep
kesadaran diri atas tanggungjawab terhadap tantangan-tantangan dan didukung oleh
kondisi lingkungan yang positif dan suportif.
DAFTAR PUSTAKA
Hosnan , M., Psikologi Perkembangan Peserta Didik, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2016)
17
Mulyadi , Seto, Heru Basuki, Wahyu Raharjo, Psikologi Pendidikan (Depok : Raja Grafindo
Persada, 2017)
Puspitasari , Anggi, Edy Purwanto, Dyah Indah Noviyani SELF REGULATED LEARNING
DITINJAU DARI GOAL ORIENTATION, ( Semarang : Educational Journal Psychology
UNNES)
Ratnasari , Mutia, Perkembangan Kepribadian Pada Tokoh Utama Dalam Novelet Babalik
Pikir Karya Samsoed, (Bandung : Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjajaran, 2017)
Slavin , Robert E., Psikologi Pendidikan : Teori dan Praktik, (Jakarta: PT Indeks, 2011)
Alwisol, Psikologi Kepribadian, (Malang: UMM Press, 2009)
file:///E:/jurnal%20psi%20belajar/Materi%20Psikososial%20erikson.pdf
http://digilib.uinsby.ac.id/20023/1/Psikologi%20Pendidikan.pdf
https://initentangpsikologi.blogspot.com/2019/09/teori-psikososial-erikson.html
18