Anda di halaman 1dari 15

SLUDGE

Windows User

DIAN NOVRIANA
VIRDA UTARI

UNIVERSITAS SRIWIJAYA
MODUL PENGOLAHAN LIMBAH
SLUDGE HANDLING

PERMASALAHAN YANG TELAH


SERING TERJADI
SALAH SATUNYA ADALAH :

Perusahaan Tekstil Diduga Buang Limbah ke


Waduk Saguling

REPUBLIKA.CO.ID,PADALARANG -- Warga Kampung Cibingbin, Desa


Laksanamekar, Kecamatan Padalarang, Kabupaten Bandung Barat resah dengan
dibuangnya limbah industri yang mengandung zat kimia ke genangan waduk
Saguling. Limbah tersebut diduga berasal dari dua perusahaan industri tekstil di
kawasan industri Cibingbin.

Mengalir dari bak pengolahan air limbah dan saluran pembuangan, air berwarna
ungu dan berbusa disertai lumpur yang diduga mengandung zat kimia. Lumpur
berwarna biru tersebut mengering sebagian dan tidak menyatu dengan tanah.

Ketua RW 04, Kampung Cibingbin, Rosadi Wijaya mengatakan limbah lumpur


yang dibuang seharusnya tidak semestinya disatukan dengan air. Terlebih dahulu
dikeringkan dan kemudian diambil oleh perusahaan yang sudah mendapatkan izin
dari kementerian.

"Lumpur tersebut mengandung flek-flek zat kimia yang berasal dari air limbah
industri. Pembuangan air limbah ke sungai hingga sampai terdapat endapan
lumpur menunjukan tidak ada proses pengolahan limbah," ujarnya, Jumat (8/9).

PENDIDIKAN KIMIA 2017


UNIVERSITAS SRIWIJAYA
LANJUTAN PERMASALAHAN

Menurutnya, dampak limbah yang mengandung zat kimia dibuang ke sungai


akan merusak lingkungan. Selain itu terdapat perubahan kualitas air. Dimana, sejak
dulu sudah tidak bisa digunakan oleh maayarakat karena jelek dan mengandung timbal.
Ia menuturkan, pembuangan limbah tersebut dilakukan pada malam hari secara
sembunyi-sembunyi. Pihaknya, mengaku sudah melaporkan hal tersebut ke Dinas
Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung Barat. Diharapkan ada penindakan terhadap
perusahaan yang merusak lingkungan.
Sementara itu, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung Barat,
Apung Hadiat Purwoko mengatakan pihaknya sudah menindaklanjuti terkait temuan
pembuangan limbah yang diduga dilakukan perusahaan industri tekstil.
"Kami lakukan pemanggilan dan pembinaan untuk segera menambah daya
dukung IPALnya," ungkapnya. Menurutnya, perusahaan tidak boleh membuang
limbah yang belum diolah IPAL.

JADI AKAR PERMASALAHANNYA ADALAH ,,,


PERLUNYA PENGOLAHAN LIMBAH LUMPUR
( SLUDGE HANDLING ) SEBELUM LIMBAH
TERSEBUT DIBUANG DI SUNGAI.

NAH BERIKUT AKAN DIJELASKAN SOLUSI


MENGENAI PENANGAN LIMBAH TERSEBUT 
PERHATIKANLAH 
PENJELASAN MENGENAI SLUDGE HANDLING
BERIKUT.

Lumpur adalah yang dihasilkan dalam instalasi pengolahan air limbah berasal
dari hasil pengendapan materi padatan (solids) di dalam unit-unit pengolahan.
Berdasarkan sumbernya, lumpur dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu primary
raw sludge dan waste activated sludge (WAS). Primary raw sludge berasal dari
padatan yang diendapkan pada proses pengendapan primer ( primary
sedimentation). Sementara itu, waste activated sludge ialah flok-flok yang
terbentuk dari gabungan mikroorganisme dan sebagian polutan yang teroksidasi
selama proses aerasi, yang mengendap di dalam tangki pengendapan sekunder
(secondary clarifier).
Tujuan Pengelolaan Lumpur
Lumpur yang dihasilkan dari sistem pengolahan air limbah dibedakan atas
lumpur kimia-fisika dan lumpur biologi. Lumpur kimia-fisika berasal dari pemisahan 
hasil perlakuaan proses fisika-kimia, sedangkan lumpur biologi berasal dari
perlakuan biologi. Umumnya lumpur masih memiliki kadar air yang cukup tinggi, oleh
karenanya perlu perlakuan lumpur yang merupakan bagian dari penanganan air
limbah. Kedua jenis lumpur tersebut harus dikeluarkan dan dibuang ke luar
instalasi pengolahan air limbah (IPAL), tetapi hal ini akan menimbulkan masalah bila
langsung dibuang begitu saja dalam jumlah besar ke tempat penimbunan limbah
padat. Tujuan utama pengolahan lumpur adalah mengurangi volume lumpur  dengan
cara memisahkan air dari dalam lumpur sebelum dibuang, agar mempermudah
masalah pengangkutan. Untuk itu pengurangan kandungan air dan volume lumpur
merupakan hal yang penting.
Lumpur dapat menimbulkan gangguan lingkungan yang lebih berbahaya dari air
limbah mengingat bahwa:

 lumpur mengandung pencemar yang lebih terkonsentrasi


 lumpur tetap memiliki kandungan air yang tinggi
 lumpur dapat mengandung jenis pencemar baru yang tidak terkandung
sebelumnya di dalam air limbah akibat dari penambahan bahan kimia dan dari
Lumpur yang banyak mengandung padatan diperoleh dari hasil proses pemisahan
padat-cair dari limbah yang sering disebut dengan sludge atau lumpur encer, di
dalam sludge tersebut sebagian besar mengandung air dan hanya beberapa persen
berupa zat padat. Umumnya persentase kandungan air tersebut dapat mencapai 95-
99%. Lumpur yang dihasilkan unit pengolahan air limbah dapat dikelola hingga
menjadi abu dengan kadar 0,3 % dengan melalui beberapa tahap pengolahan yang
meliputi proses pemekatan  dengan proses thickening, proses dewatering, proses
pengering dan pembakaran. Filtrat yang dihasilkan dari proses pemekatan dan
dewatering dikembalikan ke unit equalisasi (IPAL) untuk dilakukan pengolahan lebih
lanjut.

Untuk dapat mengelola lumpur secara efektif dan tepat, maka perlu mengetahui
karakteristik lumpur tersebut. Karakteristik lumpur tergantung  pada sumber
lumpur dan jenis industri penghasil air limbah serta sistem pengolahan IPAL.
Peraturan Pemerintah No. 85 Tahun 1999 memuat daftar dari berbagai jenis
industri yang menghasilkan lumpur IPAL yang dianggap sebagai Bahan Berbahaya dan
Beracun (B3).

Karakteristik dan Jumlah Lumpur


Karakteristik lumpur sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain
sumber lumpur, jenis industri penghasil air limbah, proses di IPAL, sifat fisik,
komposisi kimia serta tingkat pengolahan yang telah ditentukan. Karakteristik
lumpur sangat berbeda untuk setiap jenis lumpur, sehingga prinsip penanganannya
berbeda pula. Walaupun demikian, kebanyakan industri melakukan penanganan lumpur
yang keluar dari IPAL dalam unit pengolah yang sama. Sebagai contoh lumpur dari
industri pulp dan kertas pada umumnya tersusun dari zat berserat, hidro-gel, fines
yang non hydrous terutama yang berasal dari bahan pengisi ( filler) dan tentunya juga
air aliran, air kapiler, air adsorpsi dan air sel.

Air aliran pada lumpur dapat dihilangkan dengan cara pengentalan, sedangkan air
kapiler dihilangkan dengan cara mekanis. Untuk jenis air yang lainnya
penghilangannya dilakukan dengan metode thermal.  Lumpur yang dihasilkan oleh
suatu IPAL dapat dikelompokan dalam 2 jenis, yaitu:

1. Lumpur kimia-fisika (lumpur mineral)


Lumpur Kimia-Fisika (Lumpur Mineral)
Lumpur kimia-fisika merupakan lumpur yang dihasilkan dari proses pemisahan padatan
di unit-unit pengolahan secara fisika-kimia Karakteristik lumpur  adalah sebagai berikut:

1. Mempunyai warna sesuai dengan jenis senyawa kimia yang digunakan


2. Mempunyai kandungan padatan 2-8%,
3. Mempunyai berat jenis yang lebih besar dari lumpur biologi.

Jumlah lumpur kimia – fisika yang dihasilkan tergantung dari:

 Beban hidrolik dari unit pengolahan penghasil Lumpur


 Efektifitas koagulan dan flokulan yang digunakan
 Konsentrasi padatan tersuspensi total (TSS) yang dapat diendapkan
 Efisiensi tanki pengendap

Pemisahan air pada lumpur kimia-fisika lebih mudah dilakukan dengan cara seperti
pengentalan yang diikuti penyaringan.
Lumpur Biologi
Lumpur biologi merupakan lumpur yang dihasilkan dari proses pemisahan gumpalan
mikroba di unit pengolahan biologi. Lumpur biologi berasal dari dua bagian yaitu :

1. Mikroba yang mati


2. Organik yang tidak terdegradasi oleh mikroba

Karakteristik lumpur biologi adalah sebagai berikut:

 Mempunyai warna coklat


 Mempunyai kandungan padatan 0,5-2,5% yang artinya dalam 1 liter lumpur
mengandung air sebanyak 97,5-99,5%
 Mempunyai berat jenis yang rendah, sebesar 1,005 g/mL
 Mengandung banyak senyawa organik terurai yang mudah membusuk

Jumlah lumpur biologi yang dihasilkan tergantung dari:

 Beban hidrolis dari unit pengolahan penghasil lumpur dan beban organik.
 Kecepatan pertumbuhan mikroba yang sangat bergantung pada beberapa faktor,
antara lain kondisi proses biologi dan kondisi lingkungan
 Konsentrasi padatan tersuspensi total (TSS) yang dapat diendapkan
 Efisiensi tanki pengendap

Perlakuan lumpur pada dasarnya berupa pengurangan volume dan meningkatkan


kestabilan sifat lumpur menjadi lebih baik, agar penanganan selanjutnya tidak menimbulkan
permasalahan lingkungan.
Proses Pengolahan Lumpur
Sasaran upaya penanganan lumpur adalah menghasilkan lumpur dengan kandungan padatan
setinggi-tingginya, atau volume yang sekecil-kecilnya dan stabil serta tidak memiliki dampak
lingkungan yang lebih buruk. Peningkatan kandungan padatan (%SS) atau pengurangan kadar air
dapat dilakukan melalui beberapa cara. Umumnya upaya pengelolaan terhadap lumpur meliputi
tahap-tahap pengerjaan:

1. Pengentalan atau pemekatan lumpur (sludge thickening)


2. Stabilisasi lumpur  (sludge stabilization)
3. Pengeluaran air (sludge dewatering)
4. Pengeringan lumpur (sludge drying)

Masing-masing cara memiliki kelebihan dan kelemahannya, sehingga tidak ada satu carapun
yang dapat diterapkan untuk setiap jenis lumpur tertentu. Kecuali Tahap Stabilisasi, seluruh
tahapan lainnya lebih bertujuan untuk meningkatkan kandungan padatan atau pengurangan
kandungan air. Setelah melalui tahapan tersebut tahapan berikutnya adalah Tahap Pembuangan
Akhir.
Umumnya persentase kandungan air tersebut dapat mencapai 95-99%. Lumpur yang
dihasilkan unit pengolahan air limbah dapat diubah menjadi abu dengan kadar 0,3 %. Hal ini dapat
dilakukan melalui beberapa tahap pengolahan yang meliputi proses pemekatan dapat mengurangi
volume dari 100 % dengan proses thickening menjadi 50 %, proses dewatering menjadi 5 %,
proses pengering menjadi 1,44 %, kemudian dilakukan pembakaran sehingga dihasilkan abu
dengan kadar 0,3 %. Filtrat yang dihasilkan dari proses pemekatan dan dewatering dikembalikan
ke unit equalisasi (IPAL) untuk dilakukan pengolahan lebih lanjut.

Pengentalan Lumpur (Sludge Thickening)


Proses pengentalan lumpur bertujuan untuk meningkatkan kekentalan atau kandungan
padatan dalam lumpur dengan cara pengeluaran air. Pada umumnya lumpur yang dihasilkan dari
unit pengolahan air limbah masih encer dengan kandungan padatan antara 0,5-1,0% atau
kandungan air 99,5-99%, sehingga perlu dipekatkan secara gravitasi hingga 2-3% atau kandungan
air 97-98% dengan menggunakan thickener. Pada proses pengentalan tersebut lumpur
sebelumnya perlu dikondisikan dengan cara fisika maupun fisika-kimia, agar dapat menggumpal
sehingga air lebih mudah dipisahkan.
Pemisahan air dari lumpur kimia-fisika lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan lumpur
biologi. Hal ini disebabkan air yang terkandung dalam lumpur biologi adalah hasil perlakuan
biologi yang  80% merupakan air sel bakteri. Konsentrasi lumpur sangat mempengaruhi kinerja
alat  pengeluaran air dan kandungan air dalam lumpur pekat (cake). Seperti yang ditunjukkan
pada gambar 9.3. bahwa makin tinggi kandungan padatan dalam lumpur maka makin rendah
kadar air dalam lumpur pekat (cake).
A. Pengentalan Lumpur secara Gravitasi
Pengentalan lumpur secara gravitasi adalah salah satu metode yang umum digunakan.
Unit pengental gravitasi bekerja dengan gaya gravitasi seperti halnya dengan tangki
pengendap lainnya. Prinsip dasar dan bentuk unit ini juga menyerupai tangki pengendap yang
biasa, perbedaannya hanya pada nilai beban permukaan yang lebih rendah. Alat ini berbentuk
tangki bundar dilengkapi dengan penggaruk lumpur, seperti yang terlihat pada gambar 9.4.
adalah salah satu contoh alat thickener. Pada umumnya diameter tanki tidak lebih dari 25 m
dengan kedalaman sekitar 4 m, dengan maksimum hydraulic overflow rate antara 15,5-31
m3/m2, hari untuk lumpur kimia-fisika, sedangkan untuk lumpur biologi antara 4-8 m 3/m2,
hari, begitu pula untuk lumpur campuran kimia-fisika dengan biologi sekitar 6-12 m 3/m2,
hari.
Dari data yang diperoleh di lapangan menunjukkan bahwa dengan alat ini kepekatan
lumpur kimia-fisika dapat mencapai kadar padatan kering 5-10% atau kandungan air 90-95%,
sedangkan untuk  lumpur biologi hanya mencapai kadar padatan kering antara 2-3%
kandungan air antara 97-98%. Hasil pengentalan yang diperoleh untuk lumpur campuran dari
lumpur kimia – fisika dan lumpur biologi mencapai kepekatan dengan kadar padatan kering
2-8% atau kandungan air 92-98%,. Unit pengental gravitasi umumnya digunakan sebagai unit
pertama di dalam bagian penanganan lumpur.
Kelebihan dengan cara  ini adalah mudah dalam pengoperasian dan perawatan
(maintenance). Kelemahan dengan cara ini adalah seringkali timbul lumpur yang naik ke atas
(sludge floating) akibat dari terlalu lama lumpur berada dalam bak lumpur karena tidak cepat
dikeluarkan. Hal ini dapat menyebabkan kondisi anaerobik sehingga menghasilkan gas. Gas
tersebut akan membawa sekelompok lumpur ke permukaan. Ciri-ciri lumpur tersebut adalah
berbau dan berwarna hitam.

B.  Pemekatan Lumpur secara Flotasi (Floating Thickening)


Prinsip kerja sama dengan proses flotasi untuk pengolahan air limbah. Alat penggaruk
lumpur terdapat di sebelah atas maupun di bagian bawah. Dibandingkan dengan pemekatan
lumpur secara gravitasi, alat ini lebih sukar pengoperasiannya dan diperlukan pula
penambahan bahan kimia polimer untuk meningkatkan konsentarasi lumpur dari 85%
menjadi 98%. Dengan terkonsentrasinya lumpur dapat meningkatkan efisiensi alat.
Pemakaian bahan kimia polimer untuk memekatkan lumpur biologi sekitar 2-5 kg berat
kering polimer/ mg zatpadat. Penggunaan rasio udara-padatan sangat mempengaruhi kinerja
sistem ini, pada umumnya nilai rasio udara-padatan bervariasi, maksimum pada kisaran dari
2-4% untuk mengapungkan zat padat.
Hasil pemekatan dengan sistem ini  mencapai kadar padatan kering antara 4-6% atau
kandungan air 94-96% untuk lumpur biologi dengan penambahan bahan kimia polimer,
sedangkan tanpa penambahan bahan kimia polimer kadar padatan kering hanya mencapai 3-
5% atau kandungan air 95-97%. Kelebihan cara ini adalah waktu tinggal jauh lebih singkat
yaitu sekitar 15 – 30 menit dan hasil lumpur lebih pekat, sehingga volume lumpur lebih
sedikit. Kelemahan cara ini adalah cara pengoperasian lebih sulit, biaya operasional tinggi,
karena ada penambahan bahan kimia, biaya perawatan relatif tinggi dan penggunaan listrik
cukup besar. Sistem penyapuan lumpur (scrapper) menggunakan rantai sering bermasalah
karena terdapat bagian yang bergesekan. Permasalahan scrapper dapat diatasi dengan
mengganti rantai penggerak secara periodik.
Stabilisasi Lumpur  (sludge stabilization)
Stabilisasi lumpur merupakan upaya mengurangi kandungan senyawa organik dalam
lumpur atau mencegah aktivitas mikroorganisme. Tujuan stabilisasi lumpur adalah agar
lumpur menjadi stabil dan tidak menimbulkan bau busuk dan gangguan kesehatan saat
dilakukan proses maupun saat pembuangan ke lingkungan. Stabilisasi lumpur dapat
dilakukan dengan beberapa cara, antara lain adalah  sebagai berikut:

1. Digestasi anaerobik
Proses ini merupakan suatu proses degradasi senyawa organik dalam lumpur secara
anaerobik. Stabilisasi ini biasanya hanya untuk lumpur biologi dan dilakukan sebelum proses
pengeluaran air dari lumpur. Dengan proses digestasi ini, sekitar 50% senyawa organik dalam
lumpur dapat diubah menjadi gas bio yang tersusun dari metan (CH 4) dan CO2 apabila di
dalam senyawa organik tersebut terdapat kandungan sulfur, maka dihasilkan H 2S. Produk gas
bio ini sangat potensial untuk dimanfaatkan sebagai sumber energi, sedangkan lumpur sisa
yang diperoleh bisa dimanfaatkan sebagai pupuk. Digestasi lumpur dilakukan dalam tangki
tertutup dengan sistem pengeluaran gas dan dapat dilengkapi dengan sistem pengadukan.
Waktu retensi yang diperlukan antara 10-20 hari dengan beban padatan antara 2-4
kg/m3. Hasil pemekatan dengan sistem ini  mencapai kadar padatan kering antara 2-5% atau
kandungan air 95-98% untuk lumpur kimia-fisika, sedangkan untuk lumpur campuran kimia-
fisika-biologi kadar padatan kering hanya mencapai 1,5-4% atau kandungan air 96-
98,5%. Kelebihan sistem ini adalah pengurangan volume lumpur dengan penguraian dalam
artian pengurangan lumpur diubah menjadi gas yang dapat dimanfaatkan sebagai energi
panas. Kelemahan dari sistem ini adalah cara pengoperasiannya agak sulit.

2. Stabilisasi aerobik
Pada prinsipnya proses ini sama seperti proses lumpur aktif pada pengolahan air limbah,
yaitu degradasi senyawa organik dalam lumpur terjadi secara aerobik. Proses stabilisasi
aerobik dapat dilakukan dalam suatu tanki terbuka, sebelum ataupun setelah dilakukan proses
pengeluaran air dari dalam lumpur. Metode stabilisasi aerobik lumpur yang sudah mengalami
proses pengeluaran air merupakan bentuk pengomposan yang banyak dilakukan di industri.
Proses stabilisasi dilakukan dengan beban padatan berkisar antara 1,6-4,8 kg/m3,jam
dengan waktu retensi 10-15 hari. Udara dimasukkan ke dalam tanki untuk mensuplai oksigen,
sehingga kadar oksigen terlarut dapat diperhatikan minimal 1-2 mg/L. Dengan pengaturan
pH, kelembaban suhu dan penambahan nutrisi yang sesuai, maka lumpur hasil proses
stabilisasi dapat dimanfaatkan sebagai kompos. Hasil pemekatan dengan sistem ini  mencapai
kadar padatan kering antara 2,5-7% atau kandungan air 93-97,5% untuk lumpur kimia-fisika,
sedangkan untuk lumpur campuran kimia-fisika-biologi kadar padatan kering hanya
mencapai 1,5-4% atau kandungan air 96-98,5%. Kelebihan sistem ini adalah lebih mudah
dalam pengoperasian dan mudah dalam pengontrolan. Kelemahan dari sistem ini adalah
banyak membutuhkan energi, yaitu energi listrik untuk pembangkit oksigen.

3. Stabilisasi dengan kapur


Penambahan kapur ke dalam lumpur mengakibatkan aktifitas mikroorganisme terhenti,
tetapi tidak mempengaruhi kandungan senyawa organik dalam lumpur.  Proses stabilisasi ini
umumnya dilakukan untuk mengatasi masalah bau yang timbul. Untuk menjamin lumpur
tetap stabil, maka pH lumpur harus dipertahankan di atas pH 11,8. Metoda stabilisasi ini
perlu pengawasan pH dan juga perlakuan pencampuran bahan kimia kapur dengan lumpur
secara baik agar pH lumpur homogen. Hasil pemekatan dengan sistem ini  mencapai kadar
padatan kering antara 3-6% atau kandungan air 94-97% untuk lumpur kimia-fisika,
sedangkan untuk lumpur campuran kimia-fisika-biologi kadar padatan kering hanya
mencapai 1-1,5% atau kandungan air 98,5-99%. Kelebihan sistem ini adalah pengoperasian
mudah dan biaya operasional relatif rendah. Kelemahan sistem ini adalah tidak terjadi
pengurangan kandungan air atau volume lumpur. Pada pengoperasian sistem ini sering terjadi
perubahan nilai pH sehingga perlu dipantau terus menerus.

Pengeluaran air dari lumpur (sludge dewatering)


Tujuan proses pengeluaran air lumpur ialah menghilangkan sebanyak mungkin air yang
terkandung dalam lumpur setelah proses pengentalan. Persyaratan kadar padatan kering
lumpur yang diinginkan tergantung pada penanganan akhir yang akan dilakukan, umumnya
berkisar 30%. Proses pengeluaran air lumpur dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara
lain menggunakan alat:

A. Belt press
B. Filter press
C. Screw press
D. Drying bed
E. Centrifugal
F. Rotary drum vacuum filter

A. Belt Press
Proses pengeluaran air lumpur yang digunakan di industri antara lain belt filter press.
Tipe alat ini banyak digunakan di industri pulp dan kertas. Pengeluaran air dari lumpur yang
dapat dilakukan dengan alat ini melalui 2 tahapan, :
1. Daerah Pengeluaran Air (Draining Zone)
Pada daerah ini lumpur mengalir dan tersebar secara merata di atas lembaran wire.
Pengeluaran air dilakukan tanpa tekanan, hanya mengandalkan gravitasi sampai mencapai
kadar padatan tertentu, selanjutnya lumpur memasuki daerah pengeringan bertekanan.
2. Daerah Pengeringan Bertekanan (Pressing Zone)
Air keluar dari lumpur dengan cara dijepit di antara dua belt atau wire sambil ditekan
oleh rol secara bertahap di daerah pressing zone, dengan tekanan meningkat sejalan dengan
mengecilnya rol. Pada saat dijepit, air diperas ke luar sampai akhir daerah bertekanan, yang
selanjutnya memasuki daerah pengelupasan lumpur dari belt atau wire (share zone). Sebelum
difungsikan kembali di daerah pengeluaran air, belt atau wire perlu dicuci dahulu. Umumnya
kadar padatan kering yang bisa dicapai antara 30-40% atau kandungan air 60-70%, untuk
lumpur kimia-fisika dan 22-30% atau kandungan air 70-78%, untuk lumpur biologi.
Pengkondisian lumpur dengan menambahkan polimer perlu dilakukan untuk mempercepat
dan mempermudah pengeluaran air.
Alat pengering lumpur dirancang untuk beban 150-300 kg padatan kering/m lebar wire
per jam untuk lumpur yang sulit dipisahkan airnya, sedangkan untuk lumpur yang mudah
dipisahkan airnya 250-500 kg padatan kering/m lebar wire/jam. Belt penjepit baik bagian atas
maupun bawah, setelah melepaskan lumpur, perlu dicuci, sebelum difungsikan kembali di
daerah pengeluaran air. Kelebihan alat ini adalah kapasitas olah yang besar dan kandungan
padatan kering yang relatif tinggi. Kelemahan yaitu membutuhkan biaya operasional yang
relatif tinggi karena penggunaan bahan kimia polielektrolit yang tinggi dan kebutuhan energi
listrik yang besar. Disamping itu maintenance membutuhkan biaya yang lebih tinggi dan
operasional lebih sulit karena permasalahan di belt/wire dan tracking sistem (alat pengarah
belt/wire).

B. Filter Press
Prinsip kerja sistem ini adalah memberi tekanan pada lumpur yang berada di antara
lempengan-lempengan filter (filter plate). Tekanan diberikan melalui gaya hidrolik di kedua
sisi lempengan. Filter ini tersusun dari plate and frame  filter berjumlah banyak, dimana
bagian dalam dari frame tersebut ditarik oleh filter kain  yang bersambungan. Setelah frame
terkunci karena tekanan hidrolik atau tekanan tangan, lumpur akan tertekan masuk dari
tabung suplai ke dalam ruang filtrasi. Air yang tersaring karena tekanan itu akan jatuh dari
frame, lumpur akan mengental karena kehilangan air dan tersiasa di bagian dalam.
Penambahan tekanan berkisar antara 1-10 kgf/cm2, tetapi karena resistan tekanan yang masuk
bertambah besar, maka akan terbentuk cukup adonan di bagian dalam. Apabila sudah terjadi
kondisi seperti ini maka pengisian lumpur dihentikan. Tipe alat penyaring tekanan ini
umumnya digunakan di industri kecil, antara lain seperti industri tekstil. Kelebihan dari
sistem ini adalah sederhana dalam konstruksi dan biaya operasional yang relatif lebih rendah.
Kelemahan adalah hanya dapat digunakan untuk penanganan lumpur yang sedikit.

C. Drying Bed
Salah satu metode paling sederhana adalah drying bed atau bak pengering lumpur.
Pengeluaran air lumpur dilakukan melalui media pengering secara gravitasi dan penguapan
sinar matahari. Lumpur yang berasal dari pengolahan air limbah secara langsung tanpa proses
pemekatan terlebih dahulu dapat dikeringkan dengan drying bed. Deskripsi  bak pengering
berupa bak dangkal berisi media penyaring pasir setinggi 10-20 cm dan batu kerikil sebagai
penyangga pasir antara 20-40 cm, serta saluran air tersaring (filtrat) di bagian bawah bak.
Pada bagian dasar bak pengering dibuat saluran atau pipa pembuangan air dan di atasnya
diberi lapisan kerikil (diameter 10-30 mmÆ) setebal 20 cm dan lapisan pasir kasar (3-5
mmÆ) setebal 20-30 cm. Media penyaring merupakan bahan yang memiliki pori besar untuk
ditembus air. Pasir, ijuk dan kerikil merupakan media penyaring yang sering digunakan.
Pengisian lumpur ke bak pengering sebaiknya dilakukan 1 kali sehari dengan ketebalan
lumpur di bawah 15 cm. Mengingat keterbatasan daya tembus panas matahari, maka
kedalaman bak ikurang dari 50 cm. Jika lumpur masuk terlalu banyak, permukaan lumpur
tampak mengering tetapi lapisan bawah masih basah, sehingga pengurangan air perlu waktu
berhari-hari. Jika saringan tersumbat maka air tidak dapat keluar, sehingga pengurangan
kadar air tidak terjadi.
Pengurangan kandungan air dalam lumpur menggunakan sistem pengeringan alami
dengan matahari, maka air akan keluar melalui saringan dan penguapan. Pada mulanya
keluarnya air melalui saringan berjalan lancar dan kecepatan pengurangan air tinggi, tetapi
jika bahan penyaring (pasir) tersumbat maka proses pengurangan air hanya tergantung
kecepatan penguapan. Kecepatan pengurangan air pada bak pengering lumpur seperti ini
bergantung pada penguapan dan penyaringan, dan akan sangat dipengaruhi oleh kondisi
cuaca seperti suhu, kelembaban, kecepatan angin, sinar matahari, hujan, ketebalan lapisan
lumpur, kadar air, sifat lumpur yang masuk dan struktur kolam pengeringan. Waktu
pengeringan biasanya antara 3-5 hari.
Kelebihan sistem ini adalah pengoperasian yang sangat sederhana dan mudah, biaya
operasional relatif rendah dan hasil olahan lumpur bisa kering atau kandungan padatan yang
tinggi. Kelemahan sistem ini adalah membutuhkan lahan yang luas dan sangat tergantung
cuaca.

D. Screw Press
Screw press seperti terlihat di Gambar 9.10 menghasilkan lumpur kering (cake) dengan
kadar padatan kering 30 – 70% atau kandungan air 30-70%.  Apabila lumpur yang akan
diolah berasal dari campuran lumpur kimia-fisika dengan lumpur biologi, maka perlu
ditambahkan koagulan polimer atau polielektrolit (PE), sebaliknya apabila hanya berasal dari
lumpur kimia-fisika tanpa penambahan koagulan polimer atau polielektrolit (PE), dengan
pemakaian umumnya sekitar 1-2 ppm.
Besarnya tekanan yang dihasilkan tergantung dari pengaturan perbedaan jarak antara
puncak ulir tekan sepanjang poros dengan kekuatan tekan flange penahan yang ditentukan
oleh kondisi dan jumlah pegas yang digunakan
Alat screw press sangat hemat energi. Penggunaan alat screw press makin banyak
diterapkan di industri khususnya industri pulp dan kertas.

E. Centrifugal
Pada prinsipnya alat ini memisahkan padatan dalam lumpur dari cairan melalui proses
sedimentasi dan sentrifugasi. Ada beberapa tipe sentrifugasi tetapi yang umum digunakan
adalah tabung horizontal berbentuk kerucut-silindris yang di dalamnya dilengkapi juga
dengan screw conveyor yang dapat berputar.Kecepatan putaran conveyor ini sedikit lebih
lambat dibandingkan dengan putaran tabung horizontal.
Lumpur masuk melalui suatu tabung yang tak bergerak terletak sepanjang garis pusat
tabung, kemudian didorong keluar oleh conveyor dan didistribusikan ke bagian sisi tabung.
Lumpur mengendap dan dipadatkan oleh adanya kekuatan centrifugasi, kemudian dibawa
oleh conveyor ke daerah pengeringan dalam tabung di bagian yang runcing, cairannya yang
telah terpisah dikeluarkan di bagian yang lainnya. Pada sistem ini padatan kering mencapai
sampai 50% atau kandungan air 50%. Pengkondisian lumpur dengan menambahkan koagulan
polimer adalah untuk mempercepat dan mempermudah pengeluaran air. Pemakaian koagulan
polimer antara 2 – 6 kg/ton padatan lumpur kering.
Biaya investasi dan operasi alat sentrifugal mahal, karena diperlukan bahan kimia
pengkondisi dan konsumsi energi listrik yang tinggi. Biaya pemeliharaannya juga tinggi jika
dibandingkan dengan alat yang lain
.
F. Rotary Drum Vacuum Filter
Penyaringan terjadi pada permukaan drum yang berputar. Drum berputar ini dibagi
dalam beberapa bagian yang masing – masing berada di bawah tekanan vakum. Sekitar  20 –
40% bagian drum akan terendam lumpur dan mengambil zat padat membentuk padatan
lumpur yang menempel di permukaan karena diserap pompa vakum. Sebelum bagian drum
dengan padatan lumpur yang menempel terendam kembali, padatan tersebut akan terlepas
setelah dicuci. Lumpur kimia-fisika dapat dikeluarkan airnya sampai mencapai padatan
kering sebesar 7-9% atau kandungan air 91-93% tanpa perlu dikondisikan dahulu dengan
bahan kimia.
Lumpur biologi mencapai padatan kering sebesar 4-9% atau kandungan air 91-96%,
sedangkan     lumpur campuran mencapai padatan kering sebesar 5-9% atau kandungan air
91-95%. Beban lumpur kimia – fisika umumnya 30 kg padatan kering /m 2 jam, sedangkan
untuk lumpur biologi atau lumpur campuran bebannya lebih kecil yaitu 10 -20 kg padatan
kering/m2jam dengan hasil padatan kering sekitar 15% dan sebelumnya perlu dikondisikan
terlebih dahulu. Kelebihan dari cara ini adalah kapasitas pengolahan yang besar.
Kelemahannya adalah pencapaian padatan kering yang masih rendah dan alat ini lebih cocok
digunakan untuk lumpur yang berserat.
Pembuangan Akhir (Sludge Landfilling)
Pada tahap akhir, lumpur dibuang ke lingkungan dengan aman dan tidak menimbulkan
dampak negatif lingkungan. Pembuangan langsung ke lingkungan dapat menimbulkan
dampak lingkungan dan kesehatan manusia serta makhluk hidup lainnya. Sludge landfilling
merupakan tahap akhir dari pengelolaan lumpur. Pemerintah Republik Indonesia memiliki
peraturan tentang pembuangan lumpur B3 yang sangat ketat dengan sangsi yang berat.
Pengelompokan Lumpur B3 antara lain dilakukan berdasarkan:

 jenis senyawa kimia yang dikandungnya (sumber tidak spesifik)


 jenis industri penghasil lumpur (sumber tidak spesifik)

Pembuangan akhir limbah lumpur B3 harus dilakukan di lokasi yang ditunjuk oleh
pemerintah. Pihak industri dapat membuat fasilitas khusus, walaupun persyaratan dan
prosedur rumit. Lokasi pembuangan akhir limbah padat atau landfill merupakan lokasi
khusus yang diperuntukkan sebagai tempat penimbunan lumpur dengan desain yang
dilengkapi sistem tempat pengumpulan dan pengolahan lindi. Syarat-syarat lokasi
penimbunan cake menurut persyaratan landfill yang baik adalah:

Lokasi Landfill (Kep-01/Bapedal/09/1999)

 Daerah yang bebas dari banjir seratus tahunan


 Bukan kawasan lindung
 Sesuai Rencana Tata Ruang (RTR) ditetapkan sebagai lokasi baik untuk peruntukan
industri atau tempat penimbunan limbah, merupakan tanah kosong yang tidak subur,
tanah pertanian yang kurang subur atau lokasi bekas pertambangan yang telah tidak
berpotensi
 Nilai permeabilitas Max 10-7 cm/det
 Secara geologi dinyatakan aman-stabil tidak rawan bencana
 Bukan daerah resapan air tanah tidak tertekan
 Bukan daerah genangan air, berjarak 500 m dari aliran sungai yang mengalir
sepanjang tahun, danau, waduk untuk irigasi pertanian dan air bersih
DAFTAR PUSTAKA
Ridwan,F. 2017. Perusahaan Tekstil Diduga Buang Limbah ke Waduk Saguling. (Online).
https://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/17/09/08/ovykpm-perusahaan-
tekstil-diduga-buang-limbah-ke-waduk-saguling. (Diakses pada tanggal 3 Maret
2020).
Adrian. 2014. Pengolahan Lumpur (Sludge). (Online). http://andrian-
xr.blogspot.com/2014/07/literatur-pengelolaan-lumpur-sludge.html. (Diakses pada
tanggal 25 Februari 2020).

Anda mungkin juga menyukai