Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

UNCLOS 82 SEBAGAI DASAR PENGATURAN


ALKI DI INDONESIA
MATA KULIAH : UNDANG –UNDANG PELAYARAN DAN
KONVENSI INTERNASIONAL
DOSEN PENGAMPU : Capt. TJAHYOWILLIS GERILYANTO.MH

Disusun oleh:
1. Alvin Dwiyantoro
2. Jason Fransciscus Zain
3. Kevin Permana Immanuel Simanjuntak
4. Reza Samuel D. Simangunsong
Pengantar
Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “ UNCLOS 82
SEBAGAI DASAR PENGATURAN ALKI DI INDONESIA” ini tepat pada
waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Capt.
TJAHYOWILLIS GERILYANTO.MH pada mata kuliah “UNDANG –UNDANG
PELAYARAN DAN KONVENSI INTERNASIONAL” Selain itu, makalah ini juga
bertujuan untuk menambah wawasan tentang undang – undang yang berlaku dilaut
bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Saya mengucapkan terima kasih kepada Capt. Tjahyowillis Gerilyanto.MH  yang


telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan
sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.

Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.

Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan
makalah ini.

02 April 2020

 
Daftar isi
Bab I : Pendahuluan....................................................................................................... 1
a. Latar Belakang .................................................................................................................... 1
b. Rumusan Masalah................................................................................................................ 1
c. Tujuan Masalah.................................................................................................................... 1

Bab II : Pembahasan...................................................................................................... 2

a. Hukum Laut dan Konvensi Internasional................................................................ 2


b. Hukum Maritim................................................................................................. 5
c. Negara Pantai..................................................................................................... 6
d. Perikanan dan Migas Lepas Pantai......................................................................... 7
e. Kapal Volga....................................................................................................... 8
Bab III : Penutup.......................................................................................................... 13

a. Saran............................................................................................................ 13

b. Kesimpulan.................................................................................................. 13
Bab I
Pendahuluan

a. Latar Belakang

 Mengapa kamu membahas topik tersebut?


 Untuk apa kamu melakukan penelitian tersebut?
 Apa yang membuatmu ingin menyelesaikan masalah tersebut?

b. Rumusan Masalah
 Untuk siapa saja undang – undang tersebut berlaku ?
 Apa devinisi undang – undang pelayaran dan konvensi internasional ?
 Apa kaitan UNCLOS 82 terhadap pengaturan ALKI di Indonesia ?

c. Tujuan Masalah
 Mengetahui pemberlakuan Undang – undang
 Mendefinisikan Undang – undang pelayaran dan konvensi internasional
 Mengetahui hubugan UNCLOS 82 terhadap pengaturan ALKI di Indonesia.
Bab II
PEMBAHASAN

a. Hukum Laut dan Konvensi Internasional


Di dalam UNCLOS 1982, dikenal dua jenis negara, yaitu negara pantai (coastal state) dan
negara kepulauan (archipelagic state). Diakuinya konsepsi Negara Kepulauan adalah hasil
perjuangan Indonesia sejak Deklarasi Djuanda tahun 1957.

Secara sistematika, ketentuan tentang Negara Kepulauan di dalam UNCLOS 1982 berada
pada Bab IV, mulai pasal 46 hingga pasal 54. Di dalam Bab tersebut, terdapat atas tiga istilah yang
menjadi khas negara kepulauan, yaitu: Garis Pangkal Kepulauan, Perairan Kepulauan, dan Alur Laut
Kepulauan. Tulisan singkat ini mencoba menjelaskan secara sederhana tentang Garis Pangkal
Kepulauan (archipelagic baseline) sebagai dasar penetapan zona kelautan pada Negara Kepulauan.

Apa itu Garis Pangkal Kepulauan?, yaitu Garis yang menghubungkan titik-titik terluar dari
pulau-pulau terluar sebuah negara kepulauan
Pengakuan konsepsi Negara Kepulauan sangat penting karena berkaitan dengan cara
penetapan zona kelautan, dimana tata cara penetapan terhadap negara kepulauan berbeda dibanding
terhadap negara pantai.
Apa perbedaannya?. Penetapan zona kelautan (zona maritim) untuk negara pantai didasarkan
pada garis pangkal pantai (coastal baseline), sementara pada negara kepulauan seperti Indonesia,
penetapan zona kelautan didasarkan pada Garis Pangkal Kepulauan (archipelagic baseline).

Zona kelautan yang dimaksud di atas adalah Perairan Dalam, Laut Teritorial, Zona
Tambahan, ZEE, dan Laut Bebas . Zona Kelautan yang paling utama adalah Laut Teritorial, dimana
sebuah negara memiliki kedaulatan penuh terhadap pemukaan laut, kolom air, ruang udara di atas
laut, serta dasar laut dan lapisan tanah di bawahnya.

Jenis Garis Pangkal (Baseline)

Garis pangkal (baseline) sangat penting sehingga UNCLOS 1982 sudah mengaturnya secara
terperinci. Terdapat tiga jenis baseline, yaitu normal baseline, straight baseline dan archipelagic
baseline. Penerapan masing-masing jenis baseline tersebut tergantung pada kondisi geografis tiap
negara.

Normal baseline adalah jenis baseline dimana cara penarikan garis mengikuti kontur pantai dengan
kondisi wajar. Sedangkan straight baseline digunakan oleh negara yang kontur pantainya berbentuk
“zig-zag” (banyak teluk dan tanjung), atau terdapat banyak pulau di sepanjang pantainya
Archipelagic baseline, yang dibahas pada tulisan ini, hanya boleh digunakan oleh negara
yang memenuhi kriteria sebagai negara kepulauan, misalnya Indonesia, Filipina, dan negara
kepulauan lainnya.

Garis Pangkal Kepulauan Indonesia

Sebagai Negara Kepulauan, Indonesia berhak menarik garis pangkal kepulauan, yang
menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau terluar yang dimiliki Indonesia. Dengan
demikian, garis pangkal kepulauan mempersatukan wilayah Indonesia yang terdiri atas beribu-ribu
pulau, sesuai dengan doktrin Deklarasi Djuanda 1957.

Dengan demikian, zona kelautan Indonesia menjadi: (1) Laut Teritorial, Zona Tambahan, dan
ZEE berada pada sisi luar Garis Pangkal Kepulauan. (2) Perairan Dalam dan Perairan Kepulauan
yang berada di sisi dalam Garis Pangkal Kepulauan.

Alur Laut Kepulauan Indonesia

Alur Laut Kepulauan Indoneaia atau biasa disebut sebagai ALKI adalah alur laut yang ditetapkan
sebagai alur untuk pelaksanaan Hak Lintas Alur
Laut Kepulauan berdasarkan konvensi hukum laut internasional
ALKI ditetapkan untuk menghubungkan dua perairan bebas yaitu Samudra Hindia dan Samudra
Pasifik
Adapun alur laut kepulauan Indonesia adalah sebagai berikut
1. ALKI I:Selat Sunda; Selat Karimata; Laut Natuna: Laut Cina Selatan
ALKI II:Selat Lombok;Selat Makassar;Laut Sulawesi
ALKI IIIA: Laut Sawu;Selat Ombai;Laut Banda;Laut Seram;Laut Maluku; Samudra Pasifik
ALKI IIIB: Laut Timor;Selat Leti;Laut Banda:Laut Seram ;Laut Maluku;Samudra
Pasifik
ALKI IIIC: Laut Arafuru;Laut Banda;Laut Seram;Laut Maluku;Samudra Pasifik
Traffic Seperation Scheme (TSS) Indonesia < Malaysia Dan Singapore memiliki laut
TSS untuk kedepan Indonesia akan memiliki TSS yang berada di ALKI I, ALKI II
Indonesia Negara Kepulauan seperti halnya Fiji;Papua Nugini; Bahama; dan Filipina
Terkait ALKI merupakan alur laut diwilayah perairan Indonesia yang bebas dilayari oleh
kapal - kapal Internasional (Freedomtopassage) Kewajiban pemerintah negara pantai seperti
Indonesia harus melaksanakan antara lain melakukan pemenuhan sarana prasarana penunjang
keselamatan pelayaran di area TSS yang telah ditetapkan meliputi Vessel Traffic Services (VTS)
Stasiun Radio
Pantai (SROP), sarana bantu navigasi pelayaran (SBNP), SDM pengelola VTS dan menjamin
operasi perangkat penunjang keselamatan pelayaran tersebut selama 7 hari x 24 jam kerja radio.
Menilik Alur Laut Kepulauan Indonesia II
Salah satu yang khas dari negara kepulauan adalah adanya Perairan Kepulauan, yaitu
perairan yang berada di sisi dalam dari Garis Pangkal Kepulauan. Laut Jawa, Laut Banda, Selat
Makassar adalah contoh dari Perairan Kepulauan. Statusnya sama dengan Laut Teritorial, yaitu
Indonesia memiliki kedaulatan secara penuh.

Walau memiliki kedaulatan penuh pada perairan kepulauan, UNCLOS 1982 mewajibkan
Negara Kepulauan untuk memberi hak lintas damai dan hak lintas alur kepulauan. Inilah ketentuan
yang ‘memaksa’ Indonesia menetapkan Alur Laut Kepulauan (Designated Sea Lane) atau lazim kita
sebut Alur Laut Kepulauan (ALKI 1, 2, dan 3). Kapal asing dapat berlayar secara damai melalui rute
ALKI 1,2,3 tanpa memerlukan ijin terlebih dahulu. Tentu saja dengan berbagai ketentuan yang juga
sudah diatur di dalam UNCLOS 1982.

Pengakuan terhadap konsepsi negara kepulauan melahirkan Garis Pangkal Kepulauan, dan
darinya Indonesia ‘memperoleh’ Perairan Kepulauan. Namun di sisi lain, Indonesia wajib
‘menyediakan’ Alur Laut Kepulauan. Ini semacam take and give, karena pada dasarnya sebuah
konvensi internasional seperti UNCLOS adalah kumpulan dari kesepakatan-kesepakatan.

Lahirnya Konvensi ke-3 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai hukum laut (United
Nation Convention on the Law of the Sea/UNCLOS), 10 Desember 1982, menjadi awal lahirnya
hukum laut yang mengakui adanya konsep Negara Kepulauan. Pemerintah Republik Indonesia (RI)
kemudian meratifikasi konvensi tersebut dengan Undang-Undang (UU) No. 17 Tahun 1985. Sejak
tahun 1994, Hukum Laut Internasional resmi berlaku dan mulai saat itu pula bangsa Indonesia
mempunyai hak berdaulat untuk memanfaatkan sumber daya alam, termasuk yang ada di dasar laut
dan di bawahnya. Pasal 49 UNCLOS 1982 menyatakan kedaulatan dari negara kepulauan meliputi
perairan-perairan yang tertutup oleh garis pangkal demikian pula wilayah udara di atasnya dan dasar
laut serta tanah di bawahnya.

Tahun 1996, Pemerintah Indonesia mengusulkan kepada International Maritime Organization


(IMO) tentang penetapan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) beserta cabang-cabangnya di
perairan Indonesia. Sesuai dengan Pasal 1 ayat 8 UU No. 6/ 1996 tentang Perairan Indonesia, Alur
Laut Kepulauan adalah alur laut yang dilalui oleh kapal atau pesawat udara asing di atas alur
tersebut, untuk melaksanakan pelayaran dan penerbangan dengan cara normal semata-mata untuk
transit yang terus menerus, langsung, dan secepat mungkin serta tidak terhalang melalui atau di atas
perairan kepulauan dan laut teritorial yang berdampingan antara satu bagian laut lepas atau Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia dan di bagian laut lepas atau Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
lainnya.
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 37 tahun 2002, tentang Alur Laut Kepulauan
Indonesia, terdapat 3 (tiga) ALKI beserta cabang-cabangnya. Pertama, jalur pada ALKI I yang
difungsikan untuk pelayaran dari Laut Cina Selatan melintasi Laut Natuna, Selat Karimata, Laut
Jawa, dan Selat Sunda ke Samudera Hindia, dan sebaliknya; dan untuk pelayaran dari Selat
Singapura melalui Laut Natuna dan sebaliknya (Alur Laut Cabang I A). Kedua, jalur pada ALKI II
yang difungsikan untuk pelayaran dari Laut Sulawesi melintasi Selat Makasar, Laut Flores, dan Selat
Lombok ke Samudera Hindia, dan sebaliknya. Ketiga, jalur pada ALKI-III-A yang difungsikan
untuk pelayaran dari Samudera Pasifik melintasi Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda, Selat
Ombai, dan Laut Sawu.

ALKI III-A sendiri mempunyai 4 cabang, yaitu ALKI Cabang III B: untuk pelayaran dari
Samudera Pasifik melintasi Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda, dan Selat Leti ke Samudera
Hindia dan sebaliknya; ALKI Cabang III C: untuk pelayaran dari Samudera Pasifik melintasi Laut
Maluku, Laut Seram, Laut Banda ke Laut Arafura dan sebaliknya; ALKI Cabang III D: untuk
pelayaran dari Samudera Pasifik melintasi Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda, Selat Ombai, dan
Laut Sawu ke Samudera Hindia dan sebaliknya; ALKI Cabang III E: untuk pelayaran dari Samudera
Hindia melintasi Laut Sawu, Selat Ombai, Laut Banda, Laut Seram, dan Laut Maluku.

Masing-masing ALKI mempunyai potensi ancaman yang dinilai relevan dan membutuhkan
koordinasi yang lebih serius. Berdasarkan wawancara penulis dengan narasumber dari Badan
Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla), masing-masing ALKI mempunyai potensi ancaman yang
berbeda-beda. Potensi ancaman di ALKI I terkait imbas konflik klaim wilayah atas kepulauan
Spratly dan Paracel di Laut Cina Selatan, seperti digunakannya wilayah ALKI I untuk kegiatan
manuver angkatan perang negara yang terlibat. Di samping itu, imbas kepadatan lalu lintas pelayaran
di Selat Malaka, seperti digunakannya wilayah ALKI I oleh perompak untuk menghindari kejaran
aparat keamanan Indonesia dan aparat keamanan gabungan (Indonesia, Malaysia, dan Singapura)
atau penyelundupan.

Imbas dari pusat pertumbuhan dan perekonomian Asia dan Asia Tenggara di Republik
Rakyat Cina (RRC) dan Singapura, seperti penyelundupan barang-barang ilegal dan juga
perdagangan manusia, turut menjadi potensi ancaman di ALKI I, termasuk imbas bahaya ancaman
bencana alam dan tsunami di Selat Sunda, seperti ancaman gempa vulkanik/erupsi gunung berapi
(anak Krakatau) dan imbas politik ekspansional Malaysia, seperti kemungkinan klaim wilayah
teritorial baru.
Untuk ALKI II, potensi ancaman berasal dari imbas konflik Blok Ambalat, seperti
digunakannya wilayah ALKI II untuk manuver angkatan perang negara tetangga dan imbas lepasnya
pulau Sipadan dan Ligitan, seperti penangkapan ikan dan sumber daya alam lainnya secara ilegal. Di
samping itu, imbas dari pusat pariwisata dunia di Bali, seperti penyelundupan barang secara ilegal
dan perdagangan manusia, serta terorisme dan imbas politik ekspansional Malaysia, seperti
kemungkinan baru klaim wilayah teritorial setelah berhasil menguasai pulau Sipadan dan Ligitan,
serta provokasi atas wilayah Blok Ambalat, juga merupakan potensi ancaman bagi ALKI II.

Sementara itu, untuk ALKI III, potensi ancaman berasal dari imbas konflik internal negara
tetangga di utara (Filipina) dan selatan (Timor Leste), seperti dijadikannya wilayah ALKI IIIA
sebagai sarana pelarian atau kegiatan lain yang membahayakan keamanan laut serta imbas dari
lepasnya Timor Timur menjadi negara berdaulat (Timor Leste) terkait dengan blok migas di sebelah
selatan pulau Timor, seperti pelanggaran wilayah, penyelundupan, dan klaim teritorial. Di samping
itu, imbas konflik internal seperti separatisme Republik Maluku Selatan (RMS) di Maluku dan dan
Gerakan Papua Merdeka (GPM) di Papua serta imbas politik luar negeri Australia, seperti pelebaran
pengaruh Australia terhadap wilayah sekitar di utara (Indonesia, Timor Leste, dan Papua New
Guinea) serta dukungannya terhadap gerakan separatisme dan juga imbas potensi sumber kekayaan
alam melimpah yang belum terkelola, seperti pencurian ikan dan pencurian kekayaan alam lainnya,
juga merupakan potensi ancaman tersendiri bagi ALKI III.

Diantara ALKI I, II, dan III, ALKI II merupakan lintasan laut dalam yang ekonomis dan
aman untuk dilalui. ALKI II yang melewati Selat Makassar-Selat Lombok membelah sisi Indonesia
Bagian Barat dan Indonesia Bagian Timur. Lebih jauh, pendangkalan yang terjadi akhir-akhir ini di
Selat Malaka menyebabkan kapal-kapal besar, terutama kapal tangki, memindahkan trayek
pelayarannya melalui Selat Lombok-Selat Makassar. Sebagai jalur perdagangan dan pelayaran
internasional, ALKI II memiliki nilai strategis. ALKI II yang mencakup Selat Lombok, Selat
Makassar, dan Laut Sulawesi menjadi penting dalam posisinya sebagai jalur pendukung utama dari
Selat Malaka yang sudah amat padat.

Rahardjo Adisasmita, yang dikenal dengan konsep ”Kawasan Pembangunan SEMEJA”-nya,


mengemukakan bahwa di masa depan Selat Lombok-Selat Makassar memegang peran kunci sebagai
jalur pelayaran dunia, di mana jika garis jalur pelayaran vertikal dan garis jalur pelayaran horizontal
ditarik pada bola dunia akan beririsan pada titik yang berada tepat di Selat Makassar. “Kawasan
Pembangunan SEMEJA” adalah konsep yang khas dan diformulasikan untuk kawasan kepulauan.

Konsep pengembangan SEMEJA ini dapat berbentuk selat, teluk, dan laut yang berfungsi
untuk memfasilitasi berkembangnya kegiatan perdagangan dan transportasi antar daerah yang berada
di sekelilingnya dengan berdasar pada prinsip saling membutuhkan, saling melengkapi, dan saling
menguntungkan, di mana kota yang lebih kuat, besar, dan maju wajib mendorong dan menarik kota
yang lebih “kecil” (Rahardjo Adisasmita, 2008). Adisasmita juga menyatakan bahwa Selat
Makassar–Selat Lombok yang memotong Laut Jawa–Banda–Arafura menjadi penghubung dari
Utara (Filipina) ke arah Selatan (Samudera Hindia) adalah sebagai alur utama transportasi laut
internasional (international sea transportation highway).

Pada dasarnya, negara-negara di dunia sebagai pengguna jalur pelayaran dapat memilih jalur
yang paling aman dan ekonomis dengan mematuhi ketentuan dalam UNCLOS 1982. Sebaliknya,
negara yang dilalui seperti Indonesia, harus menjamin keamanan dan keselamatan alur laut tersebut
di samping memanfaatkan peluang ekonomi dan meminimalkan kendala dari pilihan jalur tersebut
(Hasim Djalal, 1995). Untuk itu, ALKI II sebagai jalur pelayaran dunia yang potensial di masa
mendatang perlu mendapat perhatian terkait hal ini.

Ada beberapa hal yang perlu dilakukan. Pertama, peningkatan pertahanan-keamanan di


wilayah ALKI II mengingat potensi ancaman yang dimiliki sebagaimana telah diuraikan
sebelumnya, baik dari negara tetangga maupun kapal-kapal asing, terutama potensi ancaman
keamanan nontradisional. Peningkatan pertahanan-keamanan ini bisa dilakukan melalui peningkatan
personel dan peralatan yang dimiliki TNI Angkatan Laut kita, maupun koordinasi keamanan laut
yang efektif di bawah Bakorkamla. Kedua, perubahan paradigma lama dari continental-based
development menjadi maritime/sea-based development sudah saatnya dilaksanakan secara konsisten,
sehingga pemanfaatan ALKI II ini harus ditarik ke arah pertumbuhan ekonomi kawasan dan
pembangunan wilayah. Peningkatan ekonomi di kawasan pesisir tentu diharapkan akan berkorelasi
positif dengan pengurangan gangguan keamanan di laut. Ketiga, perlunya kajian komprehensif
mengenai ALKI II, baik dari aspek pertahanan-keamanan, ekonomi, dan sosial-budaya sehingga
mendapat pemetaan yang jelas mengenai potensi ancaman dan potensi ekonomi yang bisa
dikembangkan masyarakat pesisir, terutama mendukung maritime/sea-based development.
b. Hukum Maritim
Hukum yang mengatur pelayaran dalam arti pengangkutan barang dan orang melalui laut ,kegiatan
perikanan,pertambangan dilaut ,kegiatan kenavigasian dan perkapalan sebagai sarana/moda
transportasi laut termasuk aspek keselamatan maupun kegiatan-kegiatan yang terkait langsung
dengan perdagangan melalui laut yang diatur dalam hukum perdata/dagang maupun hukum publik.
Hukum maritim adalah himpunan peraturan-peraturan termasuk perintah- perintah dan larangan-
larangan yang bersangkut paut dengan lingkungan maritim dalam arti luas, yang mengurus tata tertib
dalam masyarakat maritim dan oleh karena itu harus ditaati oleh masyarakat itu (Jordan
Eerton,2004).
Tahun 1966 Negara Indonesia telah mempunyai Departemen Maritim dimana didalamnya terdapat
fungsi perhubungan laut, fungsi industri maritim dan fungsi pengelolaan sumber daya kelautan,
yang mengatur dan mengurus perhubungan laut, industri perkapalan dan industri perikanan serta
beberapa kegiatan yang terkait dengan kelautan. Negara kita sering disebut negara maritim, karena
secara geografis Indonesia mempunyai wilayah perairan lebih luas dari wilayah daratan dan terletak
pada posisi yang menghadap dua samudra yaitu samudra Hindia dan samudra Pasifik.

Hukum Laut Dalam arti sempit yaitu yang terbatas pada ketentuan ketentuan yang tercantum
dalam Buku II KUHD dengan judul Hak-hak dan Kewajiban-kewajiban yang terbit dari pelayaran ,
dengan penekanan dalam hukum yang mengatur mengenai pengangkutan barang dan orang melalui
laut. Jadi hukum laut ini adalah hukum laut yang termasuk bidang hukum dagang sebagai aturan
yang merupakan bagian dari hukum perdata.

Hukum Laut adalah hukum yang mengatur laut sebagai obyek yang diatur dengan
mempertimbangkan seluruh aspek kehidupan dan kepentingan seluruh negara termasuk negara yang
tidak berbatasan dengan laut secara fisik ( guna pemanfaatan laut dengan seluruh potensi
yang terkandung didalamnya bagi umat manusia sebagaimana yang tercantum dalam UNCLOS
1982, beserta konvensi-konvensi Internatioanal yang terkait langsung dengan nya.

Hukum maritim adalah hukum yang mengatur pelayaran dalam arti pengangkutan barang dan
orang melalui laut, kegiatan kenavigasian, dan perkapalan sebagai sarana / moda transportasi laut
termasuk aspek keselamatan maupun kegiatan yang terkait langsung dengan perdagangan melalui
laut yang diatur dalam hukum perdata / dagang maupun yang diatur dalam hukum publik.
Namun bukan berarti tidak ada kaitan sama sekali antara hukum maritim dengan hukum laut dalam
arti the Law of the Sea sebab beberapa pasal dari the Law of the Sea seperti pasal 91, 92 dan pasal
94 berkaitan dengan hukum yang mengenai kebangsaan kapal, pendaftaran kapal dan kewajiban
negara bendera untuk mengawasi kapal-kapal yang mengibarkan bendera negara tersebut, adalah
termasuk dalam hukum maritim
c. Negara Pantai
Konvensi III PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982) membagi laut dalam tiga bagian. Pertama,
laut yang merupakan bagian dari wilayah kedaulatan sebuah negara (laut teritorial dan laut
pedalaman);
Kedua, laut yang bukan merupakan wilayah kedaulatan sebuah negara namun negara tersebut
memiliki sejumlah hak dan yurisdiksi terhadap aktifitas tertentu (zona tambahan dan zona ekonomi
eksklusif);
Ketiga, laut yang bukan merupakan wilayah kedaulatan dan bukan merupakan hak/yurisdiksi negara
manapun, yaitu laut bebas. Zona ekonomi eksklusif (ZEE) adalah salah satu fitur paling revolusioner
dari UNCLOS 1982 dan memberi dampak yang signifikan pada pengelolaan dan konservasi sumber
daya laut. Rezim ZEE menertibkan klaim-klaim sepihak (unilateral) atas perairan oleh negara-negara
di masa sebelumnya, dengan memberi hak kepada Negara pantai untuk eksplorasi dan eksploitasi,
pengelolaan dan konservasi sumber daya alam hayati dan non hayati dari dasar laut dan tanah di
bawahnya serta air di atasnya dan kegiatan- kegiatan lainnya untuk eksplorasi dan eksploitasi
ekonomis zona tersebut, seperti pembangkitan energi dari air, arus laut dan angin.
Perairan kepulauan dan laut teritorial yang berdampingan antara satu bagian laut lepas atau Zona
Ekonomi Eksklusif lainnya.
Konvensi United Nations of the Law of the Sea Tahun 1982, sebagaimana telah dratifikasi
dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang
Pengesahan United Nations of the Law of the Sea
( Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut ).

Hak eksklusif di ZEE disertai tanggung jawab dan kewajiban. Sebagai contoh, UNCLOS 1982
mendorong pemanfaatan stok ikan secara optimal. Di ZEE-nya, setiap Negara pantai harus
menentukan total tangkapan yang diperbolehkan untuk setiap spesies ikan, dan memperkirakan
kapasitas penangkapannya.
Negara pantai berkewajiban untuk memberi akses kepada Negara lain, khususnya negara tetangga
dan negara yang tanpa laut (landlock states), terhadap surplus hasil tangkapan yang diizinkan. Akses
tersebut harus diberikan sesuai dengan upaya konservasi yang ditetapkan oleh peraturan Negara
pantai. Selain itu, negara pantai memiliki kewajiban tertentu lainnya, seperti upaya pencegahan
polusi dan memfasilitasi penelitian ilmiah kelautan di ZEE mereka.

ZEE diatur pada Bab V dari UNCLOS 1982. Terdiri atas 21 pasal, dari pasal 55 hingga pasal 75.
Pasal 55 UNCLOS 1982 mendefinisikan ZEE sebagai perairan (laut) yang terletak di luar dan
berbatasan dengan laut teritorial, tunduk pada rezim hukum khusus (speciallegalregime) yang
ditetapkan dalam Bab V ini berdasarkan hak-hak dan yurisdiksi negara pantai, hak-hak, serta
kebebasan-kebebasan negara lain.
Area ZEE didefinisikan “Bagian perairan (laut) yang terletak di luar dari dan berbatasan dengan laut
teritorial selebar 200 (dua ratus) mil laut diukur dari garis pangkal darimana lebar laut teritorial
diukur”. Lebar ZEE bagi setiap negara pantai tidak lebih dari 200 mil sebagaimana ditegaskan dalam
Pasal 57 UNCLOS 1982 yang berbunyi “the exclusive economic zone shall not extend beyond 200
nautical miles from the baseline from which the breadth of territorial sea is measured”
Bab III
PENUTUP

a. Saran

b. Kesimpulan

19
20

Anda mungkin juga menyukai