Anda di halaman 1dari 21

Konfusianisme dalam Dialog Antar Agama dan Budaya

Kristan, MA*

Dosen Character Building, Bina Nusantara University

“If I am walking with two other men, each of them will serve as my teacher. I will pick out
the good points of the one and imitate them, and the bad points of the other and correct
them in myself.”

Confucius

Pendahuluan

The Accountable Faith

Pada 12 Februari 2020, ketika Profesor Yudian Wahyudi yang menjabat sebagai kepala
Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) melontarkan sebuah argumen bahwa agama
adalah sebagai musuh besar Pancasila, bagi para ilmuan dan akademisi tentunya ini menjadi
sebuah tantangan menarik sebagai bahan diskursus dan pencarian pencerahan tentang
pernyataan tersebut. Jika kita melihat klarifikasinya maka secara ilmiah mungkin pernyataan
tersebut belum tentu keliru, karena dalam klarifikasi yang dikemukakan oleh Profesor Yudian
Wahyudi maksudnya ialah gerakan ekstrimisme agama yang cenderung brutal dan kasar yang
justru kita lihat dalam praktik sehari-hari sebagian besar manusia Indonesia. Praktik-praktik
ini justru jauh sekali dengan nilai-nilai universal yang diajarkan oleh semua agama yang ada
yaitu nilai-nilai cinta kasih, kemanusiaan, keadilan dan sebagainya yang memang justru
sejalan dengan nilai-nilai Pancasila. Maka seolah-olah ini memang tidak bisa disembunyikan
dari fakta bahwa, agama dengan perspektif yang selalu menyatakan sebagai pihak paling
benar cenderung ‘kebablasan” dan tanpa sadar telah kontraproduktif dengan ide-ide pancasila
soal Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan dan Keadilan Sosial. Belum lagi soal “penjajahan”
mayoritas dan minoritas dalam perspektif tiap pemeluk agama, sehingga seolah-olah ini
menjadi pembeda soal hak-hak dan kewajiban bagi para pemeluknya.

Ini adalah tantangan menarik bagi para agamawan untuk menjawab secara dewasa, jujur dan
terbuka. Hal ini sesungguhnya pernah dicatat dalam sejarah ketika agama dinyatakan sebagai
musuh terbesar bagi ilmu pengetahuan. Apakah memang demikian benar hipotesa tersebut?,
atau mungkin hanya kesimpulan yang tidak holistik dan terlalu sederhana dalam
mempertentangkan agama dengan ilmu pengetahuan atau bahkan dengan pancasila sekalipun.

Membina diri adalah merupakan pengembangan harkat kemanusiaan kita, dimulai dari diri
sendiri, lalu keluarga, meningkat pada tingkat kerabat, lalu masyarakat kemudian menuju
tingkat negara dan akhirnya seluruh dunia. Membina diri merupakan ibadah yang paling
utama dan merupakan suatu tema sentral. Karena manusia adalah makhluk sosial tidak ada
manusia yang hidup untuk dirinya sendiri saja.

Seorang manusia yang sejati/Junzi (virtous gentlemen) akan selalu peduli terhadap nasib
bangsa dan negaranya. Karena hidup beragama bukan hanya masalah kerohanian semata atau
lebih sempit pada masalah seputar ibadah saja, melainkan mencakup ajaran sosial, teologi,
filsafat, dan sebagainya. Sesuatu yang sangat luas yang harus diaplikasikan bagi dunia kita
bersama.

Dalam meyakini suatu ajaran kita sebetulnya tidak perlu mengklaim sebagai pihak yang
paling benar atau bahkan merasa sebagai satu-satunya yang paling benar. Kita sepatutnya
merasa senang apabila jalan yang ditapaki oleh pihak lain pun sama benarnya dengan kita.
Bukankah semakin banyak pihak yang menemukan jalan yang benar kita akan menjadi
semakin bergembira. Karena kita ingin agar semua manusia selamat bahkan tidak ada yang
tertinggal walaupun hanya satu orang saja.

Pada zaman dahulu semula kajian dan pengajaran suatu agama atau ajaran biasanya hanya
dilakukan oleh para rohaniwan. Tujuan pengajaran tersebut terutama untuk menanamkan
keyakinan pada orang lain akan kebenaran ajarannya. Pendekatan semacam ini sangatlah
bersifat apologetik (uraian sistematika untuk mempertahankan suatu ajaran), kadang para
rohaniwan tersebut sering kali terjebak pada upaya meyakinkan orang lain bahwa ajarannya
saja yang paling benar dan sempurna sedangkan ajaran lain keliru, tidak lengkap atau ada saja
cacat celanya.

Umumnya rohaniwan yang demikian sangatlah anti kritik, minatnya hanyalah bagaimana
menduplikasi orang lain dengan keyakinan dan prilaku yang sama dengan dirinya. Mereka
berharap agar orang lain berfikir dan berprilaku sebagaimana ia berprilaku. Tujuannya adalah
tidak lebih dari sebuah reproduksi, sikapnya sangat tidak menyukai pluralisme dan tidak
toleran sehingga selalu penuh syak wasangka. Toleransi yang hanya didasarkan pada
kesediaan menenggang pada kehadiran pihak lain adalah toleransi yang semu belaka, karena
toleransi yang sejati adalah toleransi yang mencakup kesediaan untuk mengakui validitas
pihak lain, setidaknya ada elemen kebenaran dari pihak lain. Seorang rohaniwan yang sejati
haruslah dengan bebas menerima kebenaran yang terdapat dalam pihak lain dan juga
mungkin menolak sudut pandang yang keliru yang ada dalam ajaran yang dihayati oleh
dirinya setidaknya sebagai diri pribadi.

Hakikat dari agama adalah merupakan suatu kritik. Para Nabi dan Rasul datang dengan
membawa suatu konsep masyarakat yang ideal. Maka tentu saja ada kesenjangan antara
kondisi yang aktual dan ideal, baik pada tingkat sosial maupun individual. Fungsi dari agama
adalah memperkecil kesenjangan tersebut. Agar kondisi pribadi maupun sosial mendekati
model ideal yang dimaksud dalam ajaran agama. Seorang agamawan harus terus
mengungkapkan kritik yakni menjelaskan kebenaran, karena kritik adalah merupakan
pengungkapan kebenaran bukan merupakan pengungkapan suatu kesalahan.

2
Terbongkarnya suatu kekeliruan akibat dari sampingan, sama sekali bukan tujuan karena
tujuan seorang agamawan adalah melakukan perbaikan yang nyata. Jika ia berhenti
melakukan hal-hal tersebut maka mungkin ia sudah meninggalkan misi keberagamaannya.

Confucius mengatakan bahwa manusialah yang harus mengembangkan agama, bukan


sebaliknya. Maksudnya manusia diberikan tanggung jawab untuk turut merumuskan panduan
menuju ketertiban pribadi dan masyarakat. Karena Tuhan telah memberikan kebenaran yang
telah tertanam pada fitrah manusia, aktualisasinya menjadi tugas kita sebagai manusia.

Setiap orang mendapatkan kodrat kebaikan yang menjadi mandat pribadi dari Tuhan. Oleh
karena zaman terus berkembang maka cara manusia dalam merespon perkembangan dunia
pun harus disesuaikan dari waktu ke waktu, dengan kata lain bahwa setiap individu dipanggil
untuk menjadi manusia yang berhati nurani dan bertindak akali. Maka dengan begitu agama
dipandang menjadi faktor yang dinamis/homeostatis bukan statis.

Sayang sekali para tokoh agama kadang cenderung lebih melihat organisasinya sebagai
kelompok sosial semata bukan memandangnya sebagai kelompok manusia yang beriman.
Mereka melihat umat dari agama lain sebagai objek buruan, yang biasanya diusahakan untuk
menyeberang ke dalam kelompoknya.

Umat lain dipikat, dibujuk diberi insentif, bahkan jika perlu dipaksa untuk beralih agama.
Mereka berlomba-lomba menunjukan bahwa ummatnya lebih megah dan hebat, jadi kalau
dilihat hal ini lebih mirip pada pendekatan-pendekatan yang dilakukan oleh partai politik,
dimana kegiatan dan misi penyebaran agama menjadi suatu bentuk kampanye.

Jika semua kelompok berpikiran demikian maka pantaslah bentrok dan benturan kebencian
tidak akan ada putus-putusnya. Agama adalah persoalan pengembangan batin dan kualitas
kemanusiaan. Agama adalah urusan dirimu pribadi dengan Tuhan jadi bukan merupakan
persoalan sosial apalagi politik. Dalam beragama yang terutama adalah berada pada ranah
kalbu bukan akali.

Maka dari itu seorang manusia yang unggul dan sejati akan mengetahui secara persis dengan
apa yang diyakininya (know what you believe) dan menyadari serta memahami dengan
sepenuhnya mengapa ia mempercayai sesuatu (why you believe), dengan begitu seseorang
barulah dapat menjadi individu yang matang dan independen yang dapat berinteraksi secara
arief dan cerdas, karena ia telah memiliki iman yang dapat dipertanggung jawabkan
(accountable faith).1

Ajaran Konfusianisme memang bahwa tidak seperti agama lain pada umumnya,
Konfusianisme telah kehilangan mekanisme organisasional dan institusionalnya. Namun,
organisasi dan institusi tidak pernah dianggap sebagai satu-satunya fondasi Konfusianisme.
Alih-alih, justru kekuatan Konfusianisme terletak pada nilai-nilai dan cita-citanya, yang
esensialnya dan telah menjadi bagian dari cara hidup orang Tiongkok 2. Dalam pengertian ini,

1
https://www.kupasmerdeka.com/2015/12/toleransi-agamawan-sejati/. Opini Kristan, 9 Agustus 2015
2
The concept of ‘the Chinese’ has been greatly extended by Tu Wei-ming in his theory of ‘Culture China’, in which he
proposes three categories of the Chinese: those who live in Mainland China, Taiwan, Hong Kong and Singapore; all

3
kita dapat mengatakan bahwa ajaran Konfusianisme sebagai sistem nilai masih sangat
berfungsi di dunia saat ini dan sebagai kekuatan hidup ajaran Konfusianisme tidak hanya
memegang motif integrasi sosial tetapi juga solusi dan resolusi konflik bagi kehidupan
hubungan antar agama.

Harmoni, Hubungan Manusia dengan Pencipta dan Alam Semesta.

Kontribusi apa yang dapat dilakukan oleh sistem nilai ajaran Konfusianisme terhadap dialog
antar agama? Untuk menjawab pertanyaan ini, pertama-tama kita harus memahami apa
doktrin utama dari ajaran Konfusianisme. Dengan kata lain, apa yang menjadi tema utama
dari ajaran Konfusianisme dan dengan cara apa ide yang akan diusulkan untuk mewujudkan
cita-citanya?

Tema sentral dari doktrin Konfusianisme adalah pencarian keseimbangan dan harmoni ’(zhi
zhong he). Seluruh tradisi Konfusianisme berkembang dari doktrin tentang bagaimana cara
membangun kembali harmoni dalam konflik dan kekacauan.

Bagi ajaran Konfusianisme, harmoni adalah suatu hal paling esensi dari hubungan alam
semesta dan eksistensi manusia. Harmoni dimanifestasikan pada melihat zaman kuno di
Tiongkok ketika kebajikan berlaku pada tiap sendi kehidupan didunia. Sejak saat itu, harmoni
telah tergantikan oleh kekacauan dan ketidakadilan, sebagai akibat dari merosotnya sebuah
doktrin tentang kebajikan.

Untuk membangun kembali atau memulihkan harmoni maka dari itu adalah maksud dan
tujuan dari upaya ajaran Konfusianisme dan menjadi bagian yang paling inti dari doktrin
dalam Konfusianisme. Harmoni menekankan kesatuan antara individu dan semua orang
lainnya. Dengan demikian, untuk mewujudkan keseimbangan dan harmoni dianggap sebagai
tugas masing-masing individu untuk seluruh umat manusia.

Harmoni juga merupakan kesatuan antara manusia dan alam semesta. Karena itu, untuk
membangun sebuah keharmonisan didunia adalah merupakan tanggung jawab setiap manusia
untuk kosmos. Harmoni adalah penghubung antara yang spiritual dan yang sekuler. Karena
itu, mewujudkan harmoni adalah mentransformasikannya dan melampauinya. Di satu sisi,
harmoni adalah cita-cita, yang harus diupayakan. Di sisi lain, harus selalu hadir dalam setiap
sifat karakter pribadi manusia (xing)3 dan ketika hati, pikiran dan tindakan menjadi seimbang
sempurna, maka tatanan kebahagiaan baru akan terwujud di seluruh alam semesta, sehingga
semua hal akan terpelihara dan berkembang dengan baik.4

Ketika keharmonisan tidak ada, maka bagi Konfusius adalah mencari cara untuk mengurangi
dan kemudian sepenuhnya mengelola konflik sehingga keharmonisan akan terwujud kembali.
Prinsip-prinsip Konfusianisme membalikkan sebuah keadaan dari sebuah konflik menuju

overseas Chinese and all those who have accepted the cultural tradition of China, including scholars, intellectuals, writers
and journalists (‘Culture China: the Periphery as Centre’, Daedalus,’l20.2, 1991, pp 1-132).
3
Karakter Pribadi (Xing) merupakan sifat asli manusia, watak sejati manusia yang diberikan Sang Pencipta sebagai mandat
sifat kebajikan semenjak manusia lahir, Menurut Mencius terdiri dari Cinta Kasih (ren), kebenaran (yi), kesusilaan (li) dan
kebijaksanaan (zhi)
4
The Doctrine of the Mean, in The Chinese Classics, tr. by lames Legge, second edition, Oxford University Press 1961, pp
249.

4
harmoni cukup bervariasi. Namun, itu semua pada dasarnya kembali kepada moral manusia.
Dimana, Konfusius percaya bahwa konflik dapat didamaikan atau diselesaikan melalui
pendekatan moral, dan bahwa harmoni dalam kosmik tidak akan dapat tercipta tanpa
keharmonisan sosial yang dibangun terlebih dahulu, harmoni yang pada gilirannya tidak akan
dapat dibangun, kecuali jika setiap individu telah dapat mengembangkan karakter pribadi
(xing) mereka masing-masing.

Solusi konflik bagi Konfusianisme didasarkan pada tiga keyakinan. Pertama, Konfusius
percaya bahwa konflik muncul dari karakter pribadi individu yang tidak dibina, dilatih dan
diolah, terutama bagi mereka yang memegang kekuasaan dan otoritas.5 Kedua, Konfusius
berpendapat bahwa ketika konflik muncul, pihak-pihak yang terlibat harus melihat ke dalam
untuk memeriksa diri mereka sendiri (introspeksi) untuk mencari penyebab konflik daripada
menyalahkan atau menuduh orang lain.6 Ketiga, dengan menerima secara sadar bahwa jika
setiap individu harus mau mengembangkan dan membina karakter pribadinya maka barulah
kedamaian dan harmoni akan dapat tercapai di dunia.7

Prinsip-prinsip untuk mencapai keharmonisan yang disajikan oleh ajaran Konfusianisme


sangat sejalan dengan nilai-nilai moral dari banyak tradisi agama lainnya. Namun, dari apa
yang telah dibahas di atas muncul beberapa kesulitan ketika kita menerapkan ajaran
Konfusianisme ke dalam dialog antar agama: Dapatkah Konfusianisme dapat disebut agama
atau keyakinan jika konsepnya tentang harmoni dan cara-cara mencapai harmoni berdasarkan
pada pedekatan karakter moral? Pemahaman berbeda apakah yang dimiliki Konfusianisme
tentang keyakinan/iman? Dan bagaimana tanggapan Konfusianisme terhadap konflik antar
agama? Tiga bagian berikut akan mencoba membahas tiga pertanyaan ini.

Konfusianisme dan Agama

Ada banyak upaya untuk mendefinisikan Konfusianisme. Beberapa orang mengatakan bahwa
itu hanyalah murni sebagai sistem moral saja; yang lain berpendapat bahwa Konfusianisme
adalah hanya sebagai sebuah pemahaman tentang sosial-politik. Bahkan kadang
Konfusianisme dikatakan hanya sebagai aliran filsafat; pada kesempatan lain juga
Konfusianisme didefinisikan hanya sebagai tradisi para sarjana dan sastrawan Tiongkok.
Namun ada juga yang menganggap bahwa Konfusianisme merupakan ajaran yang
berhubungan erat dengan agama, namun dalam beberapa kesempatan hubungan
Konfusianisme dengan definisi agama juga sering ditolak mentah-mentah. Ketika kita
diskusikan untuk membahas kontribusi yang mungkin diberikan oleh Konfusianisme pada isu
dialog antar agama, kita pertama-tama harus memeriksa pertanyaan apakah ajaran

5
Among the concerns Confucius always had in mind are ‘failure to cultivate virtues, inability to study thoroughly what is
taught being unable to go for what is right, and unwilling to correct the faults’ (The Analects, 7:3).
6
To urge people to examine themselves first to eliminate the cause of conflict, Confucius took archery as an example:’ln
archery we have something resembling the Way of the virtuous. When the archer misses the centre of the target, he turns
around and seeks for the cause of failure within himself’ (The Doctrine of the Mean, Chapter 14).
7
’Tzu-lu asked about the gentleman (junzi). The Master said: ‘He cultivates himself and thereby achieves reverence’… “He
cultivates himself and thereby brings peace and security to his fellow men.’…’He cultivates himself and thereby brings
peace and security to all people’ (The Analects, 14:42).

5
Konfusianisme adalah merupakan sebuah agama atau tidak?; dan jika memungkinkan untuk
menyebutnya sebagai agama, maka dalam pengertian apakah ajaran Konfusianisme tersebut?8

Untuk menjawab pertanyaan ini, sebelumnya kita harus mengklarifikasi apa itu yang
dimaksud dengan agama. Dalam beberapa dekade terakhir, konsepsi agama di barat telah
sangat berubah, dari hubungan spesifik antara Tuhan dan ciptaan-Nya yang dengan cara
menembus batas-batas kehidupan, baik secara fisik, atau moral, atau bahkan spiritual.9

Dalam menjelaskan perubahan ini, banyak filsuf, teolog dan para ahli dalam studi agama
menafsirkan kembali dan memperluas pemahaman tradisional tentang apa yang dapat
dianggap didefinisikan sebagai sebuah agama. Misalnya, Hans Kung, seorang teolog Swiss
yang mencoba merancang teori Tiga Sistem Aliran Besar Agama-Agama Dunia.10 Menurut
pemahamannya, ada tiga sistem aliran besar agama di dunia, satu berasal dari Timur Tengah,
yang lain dari India dan yang ketiga dari Tiongkok. Sistem pertama adalah dari tradisi Semit,
dari tradisi kenabian yang terdiri dari 'tiga agama Ibrahimic', Yahudi, Kristen dan Islam.
Sistem kedua adalah dari India, dengan karakter mistisisme, dan juga terdiri dari tiga agama
yang berbeda namun terkait yaitu Jainisme, Budhisme dan Hinduisme. Sistem ketiga adalah
dari Tiongkok, dengan karakter kebijakan, dan terdiri dari agama-agama kebijaksanaan,
seperti Konfusianisme dan Taoisme.

Pendapat Hans Kung kiranya menurut penulis sangat tepat ketika ia memilih salah satu
karakteristik esensial dari ajaran Konfusianisme yaitu ialah: kebijaksanaan. Karena
kebijaksanaan ajaran Konfusianisme mengembangkan doktrinnya tentang tradisi Tiongkok
kuno, kitab-kitab klasik, sistem pembelajaran dan pendidikan. Namun, kebijaksanaan
Konfusianisme tidak hanya mengajak manusia untuk menjadi seorang yang bijaksana saja.11

Kecerdasan seseorang dapat mengarah pada kebijaksanaan hanya jika digunakan sepenuhnya
untuk memahami Jalan (Dao) melalui hasil dari pengalamannya sendiri. Bagi seorang
penganut Konfusianisme, Dao bukanlah sesuatu yang diberikan dari langit atau sesuatu yang
abstrak. Hal ini adalah merupakan prinsip yang dapat ditemukan dan dibuktikan dalam sifat
karakter manusia (xing) dan hubungan antar sesama manusia. Oleh karena itu, definisi belajar
dikatakan oleh Mencius sebagai proyek untuk urusan 'mencari hati yang hilang dan tersesat'
karena Mencius percaya bahwa dengan mencari hatinya yang hilang dan tersesat, ‘maka kita
sebagai manusia akan bisa mendapatkannya; namun jika kita mengabaikannya, maka kita
akan kehilangan'.12

8
This job is necessary and urgent for many reasons, one of which is articulated by Lee H. Yearly as that ‘Confucianism is
one of the very greatest religious traditions, but it has, I believe, often been misunderstood.’ … partly because many of its
modern adherents and Western interpreters ‘have aimed to show how unreligious it is (which often translates to how sensible
it is) and have therefore distorted its character’ (Facing Our Frailty: Comparative Religious Ethics and the Confucian Death
Rituals, Valparaiso University Gross Memorial Lecture 1995, Valparaiso University Press 1996, p1).
9
John Bowker, The Sense of God: Sociological, Anthropological and Psychological Approaches to the Origin of the Sense
of God, Clarendon Press, Oxford 1973, p. viii.
10
Hans Kung and Julia Ching, Christianity and Chinese Religions, Doubleday 1989, pp. xi-xix. As Hans Kung himself
admits that these three systems are not totally exclusive and each can be said to contain all the qualities of others.
11
Being wise (zhi) is only one side of wisdom, and the more important side of it is called ren, virtue and love. In this sense,
the Confucian understanding is similar to that of Augustine when he says that wisdom is the bridge of love (agape) and
knowledge.
12
The Book of Mencius, 7A:3

6
Yang pertama yang memungkinkan Jalan Surga (Dao) untuk dapat dimanifestasikan dalam
mengembangkan karakter sifat manusia sendiri yang bermoral (xing), sedangkan yang
terakhir membawa seseorang untuk turun terdegradasi menjadi memiliki sifat seperti hewan
atau binatang buas. Dalam hal ini, pembelajaran bagi Konfusianisme bukanlah hanya sebagai
sebuah studi akademis murni. Hal ini bertujuan lebih untuk meraih sebuah Jalan Surga (Dao)
dibandingkan hanya mendapatkan pengetahuan dari alam semesta.

Proses pembelajaran dalam Konfusianisme juga berbeda dari tradisi meditasi dalam Taoisme
atau Budhisme. Meskipun beberapa penganut Konfusianisme menekankan pentingnya peran
dari meditasi, bagi Konfusianisme hanya dengan merenung atau percaya dan keyakinan
begitu saja tidaklah memungkinkan bagi seseorang untuk berada pada “Jalan Surga (Dao)”.
Yang lebih penting adalah melakukan tindakan nyata, berpartisipasi, dan berlatih. Dalam
pengertian ini, menurut Zhong Xinyao ajaran Konfusianisme dapat dikatakan sebagai doktrin
agama yang bertujuan pada transformasi pribadi dan kolektif, atau seperti yang disebut
sebagai sebuah agama humanistik yang berfokus pada transformasi diri dan transendensi
diri.13

Sebagai agama humanistik, Konfusianisme berbeda dari jenis agama lain. Bagi agama teistik,
manusia hanya bisa diselamatkan oleh rahmat Tuhan atau wujud manusia yang Nabi. Bagi
agama naturalistik, manusia tidak bisa menggapai keabadian menuju Jalan Surga (Dao)
kecuali bagi mereka yang mengikuti cara natural dan menyatu dengan alam semesta.

Konfusianisme bagaimanapun percaya bahwa kemajuan transendensi manusia adalah sebagai


sebuah proses pengembangan karakter pribadi dengan kultivasi diri atau transformasi diri
melalui upaya manusia dalam keluarga berlanjut kepada komunitas dan masyarakat, melalui
ritual, etika dan politik, mengikuti garis pedoman ajaran kitab klasik yang mengungkapkan
bagi manusia tentang pentingnya prinsip proses yang konstan dan terus menerus dalam
mengubah keadaan yang lebih baik.14

Kombinasi kesatuan antara pengetahuan dan kebajikan, identifikasi antara pengembangan


karakter diri melalui kultivasi diri dan transendensi menyimpulkan bahwa harmoni adalah
tema sentral dalam ajaran Konfusianisme. Dalam pengertian inilah Konfusianisme juga
disebut sebagai agama harmoni. Konfusianisme menekankan persatuan antara hubungan yang
transenden dan manusia dibanding sebagai sebuah pemisahan diantara mereka, karena
diyakini bahwa Sang Pencipta (Tian) dan manusia adalah sebagai satu kesatuan.

Untuk mencapai kesatuan antara Pencipta dan manusia, seseorang harus berusaha untuk
mencapai perdamaian dan harmoni sosial dan politik melalui keterlibatan dan kultivasi diri
pribadi. Agama yang harmonis pada dasarnya berkaitan dengan masalah moral dan politik.
Namun, Konfusianisme lebih dari sekadar ajaran moral. Menurut Henri Maspero bahwa

13
Xinzhong Yao: Confucianism and Christianity, Sussex Academic Press, 1996, pp.5-12. Unlike Buddhist transcendence
which is the end of one’s physical life (zuo hua) and Taoist transcendence (yu hua) which is the turning point from a mortal
to an immortal, the Confucian process of human transcendence (hua) is: that in which cultivation (yang and xiu) and
transformation (bian) have become a gradually but constantly value-added progression in one’s life.
14
The Chinese word for Classics, jing, means constancy, that is, what is immutable and invariable. It is derived from the
‘warp of fabrics’. However, the warp cannot make cloth unless they are woven with the ‘woof’. The former is constant
principles while the latter temporary events.

7
adalah sebuah kesimpulan yang tidak akurat dan menyesatkan dengan mengatakan bahwa
Konfusianisme hanyalah sebuah sistem moralitas semata.15 Sifat moralitas ajaran
Konfusianisme adalah berkaitan dengan antara kesatuan antara Tuhan yang transendental,
alam semesta dan manusia, antara masa lalu dan masa depan, antara leluhur dan keturunan,
dan antara yang suci dan yang sekuler.

Kesatuan ini harus dicapai dalam komunikasi dan saling berketergantungan (interdepedensi)
diantara mereka. Diyakini bahwa apa yang dilakukan oleh manusia juga memiliki pengaruh
yang besar terhadap alam semesta, sementara sebaliknya perubahan yang terjadi pada alam
semesta juga berpengaruh pada segala urusan dan nasib manusia. Dengan demikian, upaya
manusia dalam membangun perdamaian dan harmoni di antara mereka sendiri telah
memperoleh makna serta nilai-nilai ritual keagamaan dan harmoni sosial melalui kultivasi
diri pribadi telah berfungsi sebagai jalan menuju transendensi yang spiritual.

Harmoni adalah merupakan inti doktrin dari Konfusianisme, tidak hanya mendasari nilai-nilai
ajaran Konfusianisme tetapi juga itu menentukan sifat religiusitasnya. “The Great Harmony”
disebut sebagai Jalan (Dao)’.16 Dengan mengidentifikasi harmoni dengan Jalan (Dao),
Konfusianisme menjadikan hal duniawi sebagai suatu hal yang sakral dan suci. Upaya
mewujudkan kerukunan pada masing-masing individu maupun di dunia menjadi bagian
penting bagi kegiatan yang religius.

Melalui pedekatan belajar dan pendidikan adalah merupakan cara yang digunakan untuk
mentransmisikan nilai-nilai dari ajaran Konfusianisme, yang harus dilalui sebagai jalan
tertinggi, Jalan Surga (Dao) dipahami sebagai dimana sifat karakter manusia (xing)
dikembangkan sehingga takdir manusia terpenuhi. Karena itu pembelajaran dan pendidikan
sangat terkait dengan transendensi manusia, ajaran Konfusianisme bukan hanya sekadar
tradisi budaya. Faktanya telah diamati dan diteliti bahwa tradisi Konfusianisme memiliki
fungsi sama dengan institusi keagamaan dari tradisi agama lain.17

Yang dimaksud dengan belajar dan pendidikan mungkin berbeda dari waktu ke waktu.
Namun, tujuan mereka adalah sama yaitu keharmonisan dalam diri pribadi dan keharmonisan
didunia. Secara tradisional, isi dari pembelajaran dan pendidikan adalah apa yang disebut
dengan memahami keahlian dari enam seni, di mana puisi, musik dan ritual (li) menjadi hal
yang utama. Konfusius menegaskan bahwa harmoni tidak dapat dicapai kecuali dengan puisi,

15
’The central problem of the Doctrine of the Literati in all ages was one of ethics; and that is probably what has so often led
to the judgement that Confucianism was above all a morality, which is far from accurate … It is indeed a matter of a very
particular ethics, quite different from what we generally understand by this word, and that is probably why it is so often
omitted from Western accounts of Confucianism. In reality, the problem is the effect which the good of bad acts of man (and
especially the governmental acts of a sovereign, representing humanity) have upon the orderly progress of natural
phenomenon (the progress of stars, eclipses, earthquakes, floods, etc.) and upon human affairs (the deaths of sovereigns,
revolts, overthrow of dynasties, etc.)’ (Henri Maspero, Taoism and Chinese religion, tr. Frank A Kierman, Jr., University of
Massachussets Press, Amherst 1981, p 71).
16
A Source Book in Chinese Philosophy, ed. Wing-tsit Chan, Princeton University Press 1963, p 500.
17
Matteo Ricci first noticed that these Confucian schools (shu yuan) were equivalent to Christian preaching houses and the
Confucians were also ‘impressed by the resemblances between the (Jesuit) preaching houses and their own traditional
academies (shu yuan). E Zurcher also observed that ‘the atmosphere of shu yuan did have something solemn and almost
holy’: each meeting began with a ceremony in honour of the founder and Confucius; the rules of conduct were codified
according to a convention, which often included pious hymns sung by the choirs of young boys. See Jacques Cernet: China
and the Christian Impact – a Conflict of Cultures, tr. Janet Lloyd, Cambridge University Press 1985, p 17f.

8
ritual dan musik yang diaplikasikan dengan secara baik melalui ketulusan hati dan pikiran.18
Baik di tingkat diri pribadi ataupun pada tingkat sosial, ‘berkembang berasal dari [belajar]
puisi; menetapkan hasil dengan ritual [yang berkinerja baik]; dan dalam menyelesaikannya
harus dicapai dengan musik.19

Diyakini bahwa ‘Musik dapat mengekspresikan keharmonisan alam semesta [Surga (Langit)
dan Bumi], sementara ritual dapat mengekspresikan keteraturan ketertiban dalam alam
semesta. Melalui keharmonisan, semua hal saling mempengaruhi, dan melalui ketertiban,
semua hal memiliki tempat yang layak sesuai pada posisi dan tugasnya masing-masing’.20

Pada bagian permukaan ajaran Konfusianisme tampaknya terlalu menekankan fungsi untuk
membatasi li (ritual, kode moral atau sopan santun). Namun, ritual/ritus adalah hanya
merupakan sebuah sarana, bukan merupakan suatu tujuan. Nilai ritual tidak lain adalah untuk
mencapai atau mempertahankan harmoni: Pencapaian harmoni ini adalah sebuah fungsi dari
ritual yang paling berharga. Inilah yang hal paling indah di dalam Jalan Surga (Dao) bagi
siapapun manusia di bumi yang dimanifestasikan dalam semua hal yang makro dan mikro'.21

Keyakinan (Iman) dalam Konfusianisme dan Pemahamannya

Konfusianisme sebagai suatu tradisi keyakinan dicirikan oleh sifat kebijaksanaannya, oleh
pendekatan humanistiknya terhadap transformasi manusia dan oleh pemusatan perhatian pada
harmoni. Ketiga karakter ini secara tegas mendefinisikan isi dari iman keyakinan dalam
Konfusianisme. Iman Konfusianisme terdiri dari lima keyakinan, yang saling terkait dalam
suksesi siklus yang melingkar: (1) bahwa Jalan (Dao) adalah dasar dari gerakan kosmik alam
semesta serta keberadaan manusia dan kehidupan individu; (2) harmoni yang pernah berlaku
di dunia ketika Jalan (Dao) dipahami, diikuti dan dipraktikan oleh para Raja dan Nabi kuno;
(3) bahwa esensi Jalan (Dao) telah tercatat dalam kitab klasik; (4) bahwa Jalan (Dao) yang
dibawakan oleh kitab klasik tidak dapat diungkapkan dengan baik, kecuali melalui proses
pembelajaran dan pendidikan; dan (5) bahwa dunia akan kembali dalam kedamaian dan
keharmonisan ketika Jalan (Dao) sepenuhnya diterapkan pada kehidupan kita sehari-hari.

Untuk menerapkan Jalan (Dao) kepada dunia, seseorang tidak dapat melanjutkannya dengan
cara menghadapi kekuatan melawan kekuatan. Ajaran Konfusianisme memiliki
ketidaksetujuan mendalam terhadap tindakan militer dan mengutuk kekerasan militer.
Menggunakan cara militer boleh dibenarkan jika hanya dalam kasus menentang rezim yang
menindas dan menentang agresi asing. Menyadarkan orang lain baik dalam hal kebajikan
moral atau dalam kesadaran diri sendiri sangat dianjurkan dan didalam memaksakan sebuah
nilai keyakinan atau kepercayaan seseorang pada orang lain yang dilakukan secara terus-

18
Music and ritual are credited with great significance in Confucian education: ‘The process of education was built around
training in music and dance: the idealized education institutions of such texts are presided over by music masters, and the
curricula consist largely of graduated courses in ceremonial dance’ (Robert Eno, The Confucian Creation of heaven –
Philosophy and the Defense of Ritual Mastery. State University of New York Press 1993, p 196).
19
The Analects, 8:8.
20
The Wisdom of Confucius, tr. Lin Yu-tang, Zhengzhong Shuju, Taipei 1994, p 571.
21
The Analects, 1:12.

9
menerus untuk diperdebatkan dianggap sebagai tindakan yang tidak berguna dan
kontraproduktif.22

Dengan demikian, inti dari doktrin Konfusianisme terletak pada kebajikan dan kesadaran
moral daripada sebuah tindakan kekerasan atau militer.23 Karena hal inilah mungkin sebagai
salah satu alasan paling utama mengapa ajaran Konfusianisme tidak pernah dapat
berkembang menjadi sebuah agama yang bersifat misionaris dan tidak pernah ingin
menggunakan pendekatan misionaris dalam penyebarannya.24

Untuk agama yang tidak memiliki sifat non misionaris seperti Konfusianisme, keyakinan
iman tidak diarahkan kepada satu objek pemujaan yang dapat menjadikan para penganutnya
untuk percaya begitu saja dengan keyakinan absolut tanpa kecerdasan spiritual. Secara
tradisional, ada lima hal yang terkait yang dianggap suci yaitu Sang Pencipta (Tuhan), Alam
Semesta, Leluhur, Orang Tua dan Konfusius sebagai pembawa berita mandat Tuhan
(Tianming). Dua yang pertama mewakili sisi spiritual seseorang, dari mana kehidupan datang
dan dari mana sifat seseorang terbentuk, dan tiga yang terakhir mengacu pada apa yang
membentuk sisi sosial dan moral seseorang, yang melaluinya sifat seseorang diolah, dibina
dan mencapai sebuah transformasi yang lebih baik. Oleh karena itu, isu-isu penting bagi
Konfusius bukanlah apa yang harus dipercayai dan apa manfaat dalam kehidupan lain (after
life) yang bisa diperoleh seseorang dari sebuah keyakinan iman, melainkan yang terpenting
adalah bagaimana berperilaku dan bagaimana menggambarkan dan menjalankan kebajikan
yang diberikan oleh Sang Pencipta dalam kehidupan sehari-hari.

Sebagai tradisi yang berorientasi pada pembelajaran dan pendidikan, Konfusianisme tidak
menganggap keyakinan iman sebagai sesuatu yang hanya didasarkan pada wahyu dari Tuhan
saja, melainkan juga sebuah pencapaian berdasarkan pengalaman spiritualitas individu itu
sendiri. Jalan Surga (Dao) meliputi segala hal dan urusan hubungan manusia dan alam
semesta serta merupakan tanggung jawab setiap individu untuk menemukan dan
mendapatkannya dan dengan demikian hidup sesuai dengan Jalan-Nya.

Karena itu, apa yang diyakini oleh seseorang adalah apa yang dipahami dan apa yang
diperoleh. Tidak ada kebutuhan untuk sikap yang ‘over acting’ terhadap Konfusius dan Sang

22
’The three armies can be deprived of their commander, but even a commoner cannot be deprived of his will’ (The
Analects, 9:26).
23
’The Chinese have always praised and prized civilian virtues above military ones … proverbs like “you don’t make good
iron into nails, nor good men into soldiers” indicate an attitude to military virtues … This attitude may be connected with a
prejudice against the use of force which runs throughout Chinese history … There have also, of course, been many armed
rebellions, but the tendency to rely on persuasion and mediation has persisted’ (Joseph Needham, ‘China and the West’ in
China and the West: Mankind Evolving, 1970, p 22). This results partly from the Confucian understanding of competition
and contention: ‘A gentleman never goes to contentions. If he cannot avoid them, this is perhaps in archery. In archery, he
bows to his competitor and yields him the way as they ascend (to the pavilion) and coming down they drink together. Even
in his contention, he is still a gentleman’ (The Analects, 3:7).
24
’Confucianism is not a missionary religion … No religious persecutions comparable to those which have sometimes
defaced the history of Christianity can be laid at the door of the Confucians. Temples have occasionally been destroyed,
monastic establishment broken up, endowments appropriated by the state, and monks and nuns forced back into secular life,
but the Confucians have made few martyrs’ John K Shryock, The Origins and Development of the State Cult of Confucius,
The Century Company, New York 1932, Paragon Book Reprint Corp. 1966, p 226). In modern times, there has been an
effort in establishing Confucianism as a missionary religion, which is seen in various organisations of Confucian churches in
Hong Kong, Taiwan and among the Chinese communities in the South East Asia. However, they are more or less the
imitation of Christianity and they do not represent the mainstream of Confucian development in modern times.

10
Pencipta. Inilah yang menjelaskan mengapa dalam tradisi Konfusianisme, sosok Konfusius
dapat dianggap sebagai manusia suci atau hanya sebagai manusia yang agung, dan Pencipta
dapat ditafsirkan sebagai pribadi atau sebagai kekuatan yang impersonal.

Seseorang bisa disebut sebagai penganut Konfusianisme ialah bukan karena seseorang telah
mengambil pemujaan yang berlebihan terhadap Konfusius, melainkan karena seseorang
tersebut telah bersedia untuk mempelajari ajaran-ajaran orang bijak dan menjadikannya
sebagai teladan bagi perilaku mereka. Misalnya, ‘tidak akan pernah ada pertanyaan kepada
seseorang apakah dia percaya pada Konfusius. Hal ini hanya akan menguji apakah seseorang
mengetahui hal-hal yang menurut Konfusius harus diketahuinya, dan melakukan hal-hal yang
menurut Konfusius harus dia lakukan.25 Seseorang dapat dianggap sebagai seorang penganut
Konfusianisme, bukan karena apa yang ia yakini atau seberapa teraturnya seseorang
menyembah dan memuja Sang Pencipta, melainkan karena apa yang telah ia lakukan dengan
baik dalam mewujudkan kehendak Sang Pencipta (Tianming) dalam hidupnya sesuai yang
dianugerahkan oleh Sang Pencipta yaitu karakter pribadinya (xing) yang penuh moral
kebajikan.

Sebagai agama yang tidak memiliki sifat non-misionaris, Konfusianisme memungkinkan


setiap pengikutnya untuk mengejar keyakinan mereka dengan cara mereka sendiri. Pada
tahap selanjutnya, ada beberapa doktrin dasar yang diharapkan telah diterima oleh pengikut
Konfusianisme, seperti sifat moral alam semesta, kebaikan sifat karakter manusia (xing) yang
berasal dari Pencipta, dan perlunya kultivasi membina diri sendiri untuk mengembangkan
xing..

Namun, doktrin ini jarang diambil secara dogmatis. Dalam batas-batas tertentu, seseorang
diberikan kebebasan dalam apa yang harus dipercaya dan bagaimana memahami keyakinan
ini. Sebagai contoh, proses belajar adalah proses mencari pengetahuan untuk mendukung
proses kultivasi diri bagi aliran Neo-Konfusianisme Rasionalistik, belajar dan kultivasi diri
dianggap sebagai pendekatan terbaik, sementara itu praktik pendekatan meditasi diyakini
oleh aliran Neo Konfusianisme Idealistik sebagai pendekatan terbaik untuk melakukan
pembinaan dan kultivasi diri.

Sebagai hasil dari doktrin-doktrin nondogmatik dari sifat agama yang non misionaris, sudah
tentu ajaran Konfusianisme memiliki ukuran pencapaian yang berbeda dengan agama yang
memiliki sifat misonaris lainnya. Inti dari agama yang memiliki sifat misionaris menurut
Joseph Needham adalah adanya kecenderungan perasaan superioritas spiritual atau
'kesombongan spiritual'26 yang tidak dapat dipenuhi kecuali dengan orang yang telah
melakukan sebuah pertobatan.

Namun, inti dari sebuah agama kebijaksanaan dan harmoni adalah kenikmatan yang
dihasilkan dari kultivasi diri seseorang yang mau belajar terus memperbaiki diri dari hari ke
hari dari tempat yang rendah terus maju menuju tinggi menggapai Jalan Kebenaran (Dao),
seperti yang diyakini oleh Mencius bahwa 'Tidak ada kebahagiaan yang lebih besar daripada

25
Shryock, p225.
26
Joseph Needham, Within the Four Seas – the Dialogue or East and West, George Alien & Unwin Ltd, London 1969, p 11f.

11
menyadari sebuah ketulusan hati dan pikiran (cheng) dalam pembinaan dan kultivasi diri'27
proses pembinaan dan kultivasi diri tidak hanya membawa pada keadaan pikiran dan hati
yang memuaskan diri pribadi, tetapi juga membangun sebuah identitas universal di mana
seorang individu dan alam semesta dapat menjadi sebuah satu kesatuan: 'Surga adalah ayahku
dan Bumi adalah ibuku ... semua manusia adalah saudara, dan semua hal adalah teman dan
sahabat yang baik bagi diri saya'.28

Pencerahan (ming) dengan demikian berasal dari cheng yang pada gilirannya merupakan
hasil dari proses menyelaraskan satu dan yang lainnya. Oleh karena itu, menjadi tulus
terhadap kodrat diri sendiri dan menumbuhkan karakter pribadinya sebagai manusia (xing)
sama saja dengan berbelas kasih kepada semua manusia di seluruh dunia: 'Mewujudkan
karakter pribadinya yang jelas berarti mewujudkan substansi pada keadaan membentuk satu
tubuh menyatu dengan Sang Pencipta, Bumi, dan segala hal yang ada dalam alam semesta,
sedangkan mencintai orang lain adalah menjalankan fungsi universal dari keadaan
membentuk satu kesatuan. Karenanya mewujudkan karakter sifat manusia (xing) yang utama
adalah terdiri dari mencintai sesama manusia, dan mencintai orang lain (ren) adalah cara
untuk memanifestasikan karakter diri pribadi (xing) secara benar'.29

Konfusianisme dan Konflik Antar Agama

Banyak permasalahan di seluruh dunia dianggap dan dituduh oleh disebabkannya pandangan
yang bertentangan dari agama-agama misionaris, walaupun hal ini tentunya tidak sepenuhnya
benar, anggapan akibat oleh praktik-praktik mereka yang memaksakan pandangan mereka
sendiri kepada orang lain. Keyakinan gaya misionaris ditambah pikiran ekstremis akan
menghasilkan dorongan yang sangat kuat sehingga menutup mata pada pandangan berbeda
dari pemahaman orang lain, tradisi lain, dan kepercayaan lain.

Doktrin agama yang sifatnya non-misionaris jauh lebih kecil kemungkinannya untuk
menghasilkan pandangan yang demikian. Sebab ia hanya mengandalkan kultivasi diri dan
kemudian pencerahan diri untuk mempertahankan keyakinannya dan menekankan pada
pembelajaran dan pendidikan dalam menyebarkan ajarannya, yang seringkali memungkinkan
orang-orang percaya untuk memahami dan menyelesaikan konflik antar agama dengan
mengikuti prinsip-prinsip yang lebih terbuka.

Dalam berurusan dengan tradisi dan aliran lain, mayoritas penganut Konfusianisme berpijak
pada tiga prinsip, (1) bahwa berbagai agama hidup berdampingan secara baik dan hanya
dilihat sebagai pemahaman yang berbeda tentang Jalan (Dao), (2) bahwa nilai-nilai setiap
tradisi adalah untuk menyadarkan transformasi manusia kearah yang lebih baik dan (3)
bahwa tujuan akhir semua agama adalah sama, yaitu untuk mencapai keharmonisan.

27
The Book of Mencius, 7A: 4.
28
Chang Tsai,’The Western Inscription’, in A Source Book in Chinese Philosophy, p 497.
29
Instructions for Practical Living and other Neo-Confucian Writings, by Wang Yang-ming, translated with notes by Wing-
tsit Chan, Columbia University Press, New York 1963, p 273. Wang continued with ‘Only when I love my father, the fathers
of others, and the fathers of all men can my humanity (ren) really form one body with my father, the fathers of others, and
the fathers of all men … Only when 1 love my brother, the brothers of others, and the brothers of all men can my humanity
(ren) really form one body with my brother, the brothers of others, and the brothers of all men’.

12
Mengikuti ketiga prinsip ini, para penganut Konfusianisme mencoba mencari jalan tengah
antara eksklusivisme absolut dengan inklusivisme tanpa syarat. Mengikuti jalan tengah
(zhong), mungkin tetap ditemukan ungkapan, ajaran, dan doktrin yang berbeda. Beberapa
dari mereka mungkin benar dan yang lain mungkin tidak tepat; beberapa mungkin benar dan
yang lain mungkin keliru; dan beberapa mungkin berfungsi dengan baik dan yang lain
berfungsi dengan buruk. Namun, masing-masing dari mereka adalah upaya untuk memahami
Kebenaran dan karenanya merupakan cara menuju Jalan (Dao).

Dianggap tidak pantas untuk mendefinisikan hal ini sebagai yang baik dan yang jahat, atau
ini sebagai yang diselamatkan dan yang dikutuk. Oleh karena itu, cara yang lebih baik untuk
mengklarifikasi mana yang lebih diinginkan adalah dengan dialog dan diskusi akademik
(belajar), bukan dengan diadili pada pengadilan hukum agama atau institusi serupa lainnya.30

Berdasarkan prinsip-prinsip ini, Konfusianisme mendorong dialog antara agama yang


berbeda dan antara aliran yang berbeda dari dirinya sendiri, dan mendorong untuk
mendapatkan pembelajaran yang sungguh-sungguh dari tradisi lain. Dalam pengertian ini,
Konfusianisme dapat dikatakan telah menjadikan ide dengan tradisi berdialog:
Konfusianisme dibentuk dan dimeriahkan dalam dialog dan argumen yang konstan, berdialog
dalam diri mereka sendiri, dengan Taoisme, dengan Buddhisme, dengan agama Kristen, dan
mungkin bahkan dengan konsep yang terbaru (dengan cara yang tenang) yaitu dialog dengan
Marxisme. Selama sebagian besar sejarahnya, Konfusianisme membuka pintu bagi tradisi dan
aliran lain, yang dengannya prinsip-prinsipnya menjadi semakin sinkretis dan doktrinnya
justru semakin diperkaya.

Praktik Konfusianisme aktual dalam menangani konflik antar agama dapat dilihat dalam dua
aspek. Dari sudut pandang doktrinal, sejarah Konfusianisme menunjukkan bahwa semakin
banyak pertukaran dialog yang dilakukan dengan tradisi lain, semakin energik dan
berkembang. Kontak antara Konfusianisme dan Taoisme, dan argumen antara penguasa
Konfusianisme dan Mohisme, Legalisme dan pengikut Yang Zi (440-360 SM) pada periode
Musim Semi dan Musim Gugur (770-481 SM) dan Negara-negara Berperang ( 480-223 SM),
memperkaya doktrin Konfusianisme tentang kodrat dan takdir manusia serta memperkuat
ajarannya sendiri seperti apa yang disaksikan oleh Mencius bahwa 'Mereka yang
meninggalkan sekolah Mohisme pasti akan beralih ke ajaran Yang Zi; dan mereka yang
meninggalkan ajaran Yang Zi pasti akan beralih ke ajaran Konfusianisme. Ketika mereka
berpaling kepada kami, kami dengan senang hati menerima mereka.31

Pada masa awal dinasti Han Barat (206 SM-25 M), Konfusianisme menyerap sejumlah besar
ide dan konsep dari ajaran Taoisme, Mohisme, Legalisme, dan aliran lainnya. dari ajaran
Yin-Yang dan Lima Elemen. Dengan cara ini Konfusianisme menjadi lebih mampu melayani
kebutuhan sosial politik masyarakat dan pemerintah.

30
In the later part of dynastic history, China was full of political mischiefs called wen zi yu (literary inquisition), in which
many authors were imprisoned or executed for writing something considered offensive by the imperial court. However, these
cases were basically of a political nature concerning such matters as the regime or individual emperors’ merits, and the
blame should not laid at the door of Confucianism. In fact, very few cases were involved with Confucian doctrines at all.
31
The Book of Mencius, 7B: 26.

13
Karena itu, tidak mengejutkan bahwa doktrin sinkretis semacam itu dipromosikan sebagai
ideologi negara pada masa pemerintahan Han Wu Di (memerintah 140-87 SM). Kemudian,
agama Buddha diperkenalkan ke Tiongkok. Untuk waktu yang lama Buddhisme dan Taoisme
yang bersaing satu sama lain untuk memahami pikiran Tiongkok dan berusaha mendominasi
dalam kehidupan masyarakat Tiongkok.

Namun, Konfusianisme juga mendapat manfaat dari interaksinya sendiri dengan Taoisme dan
Buddhisme, yang pada akhirnya membawa kebangkitan penuhnya dalam Dinasti Song (960-
1162) dan Dinasti Ming (1368-1644). Pertemuan awal antara Konfusianisme dan Kristen
selama abad ke-16 dan 18 dimulai dengan perasaan saling niat baik satu sama lain. Banyak
cendekiawan Konfusian berdamai dengan Kekristenan dan mengagumi para misionaris
Kristen karena integritas dan kecerdasan mereka. Hubungan yang sehat ini merangsang
Konfusianisme untuk memikirkan dunia yang lebih luas dan merenungkan banyak pertanyaan
metafisik.

Sayangnya, niat baik itu tidak bertahan lama. Dalam beberapa hal, Konfusianisme tidak
bertanggung jawab atas kemunduran hubungan mereka. Sebaliknya, sikap yang tak kenal
kompromi dari pihak Katoliklah yang merusak kerja sama dan koeksistensi mereka. Terakhir
kita melihat bahwa Komunisme masuk. Komunisme, bersama dengan kaum nasionalis
radikal, menganggap Konfusianisme bertanggung jawab atas kelemahan dan penghinaan
yang dialami Tiongkok.

Konfusianisme kehilangan hak istimewa dan dominasinya. Namun, hal ini tidak pernah dapat
padam. Hal ini terus berkembang dengan cara yang sesuai dengan posisinya di Tiongkok:
sebagai warisan budaya dan gudang nilai-nilai tradisional Tiongkok.

Dilaporkan baru-baru ini bahwa nilai-nilai Konfusianisme telah mulai diadopsi ke dalam
ideologi sosialis dan bahkan sebagian telah dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah. Ini
adalah pencapaian yang luar biasa, terutama mengingat bahwa Konfusianisme dahulu telah
diserang dan dikritik dengan keras selama bertahun-tahun dan telah disalahkan atas semua
penyakit dan kejahatan feodal kaum tuan tanah yang berkuasa selama dua ribu tahun.

Ada banyak faktor dari peristiwa kebangkitan baru ini. Salah satunya yang tidak diragukan
lagi adalah bahwa Konfusianisme telah menyesuaikan diri dengan kehidupan modern abad
kedua puluh satu dengan mengguncang dogma-dogma usang dan memasukkan unsur-unsur
yang berguna dan berharga ke dalam dirinya dari tradisi dan doktrin lain.

Sikap positif dan terbuka Konfusianisme dalam dialog antar agama seperti yang telah kami
sajikan, tentu saja, hanya satu cerita. Ada pihak lain yang menunjukkan bahwa
Konfusianisme sangat menentang, dan bahkan mendorong penganiayaan terhadap, tradisi dan
aliran lain. Dalam sejarah, untuk mempertahankan diri atau untuk mempertahankan
otoritasnya, para penganut Konfusianisme akan menggunakan cara-cara radikal untuk
menegur dan menekan doktrin, teori, dan praktik non-Konfusianisme yang tidak lazim.

14
Sebagai contoh, Mencius menyerukan untuk ‘mengusir doktrin Yang Zi dan Mohisme dan
membuang pandangan yang berlebihan terhadap aliran lain sehingga para pendukung ajaran
lain tidak akan bisa bangkit'.32;

Dong Zhongshu (179? -104? SM) mengusulkan untuk 'membuang seratus aliran dan hanya
menghargai dan memakai doktrin Konfusianisme'; Han Yu (768-824) pada zaman dinasti
Tang dengan ganas menyerang praktik-praktik ibadah relik Buddhisme, yang bahkan
menghabiskan karirnya sendiri.

Namun, ini tidak berarti bahwa Konfusianisme pada dasarnya eksklusif dan tidak toleran.
Dua fakta ini harus diperhitungkan. Salah satunya adalah bahwa penindasan agama lain
dalam sejarah adalah kombinasi dari prinsip-prinsip Konfusianisme dan permainan politik.
Sistem politik Tiongkok pada saat itu adalah kombinasi dari banyak aliran yang berbeda,
tidak hanya Konfusianisme yang berorientasi pada ritual, tetapi juga pada aliran Legalisme
yang otoriter.

Ajaran Konfusianisme sering digunakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan-tujuan politik
tertentu. Sebagai pengikut tradisi yang berorientasi politik, Konfusianisme mengambil bagian
aktif dalam pemerintahan karena mereka percaya bahwa perdamaian dan harmoni tidak dapat
dicapai kecuali orang-orang yang berbudi luhur dan berkemampuan bertugas menjabat pada
bidang pemerintahan dan hanya berpatokan dengan ajaran Konfusianisme sajalah yang akan
dianut oleh semua orang. Harapan ini sering dimanipulasi sebagai alasan untuk menekan
doktrin yang bukan Konfusianisme.33 Dalam sejarah memang tidak mungkin memisahkan
kedua sisi ini. Namun, hari ini ketika kombinasi ini tidak ada lagi, akan terlalu tergesa-gesa
untuk mengatakan bahwa Konfusianisme harus bertanggung jawab atas semua kebijakan
keras terhadap tradisi lain.

Fakta kedua adalah bahwa untuk waktu yang lama Konfusianisme sendiri menjadi sasaran
penindasan semacam itu, yang menjelaskan bahwa tindakan Konfusianisme mengamankan
posisinya dari ajaran lain. Aliansi antara Konfusianisme dan pemerintahan berbagai dinasti di
Tiongkok tidak selalu dalam posisi yang kuat. Sejauh menyangkut hubungan antara
Konfusianisme dan negara, 400 tahun pertama perkembangan Konfusianisme sejak masa
Konfusius (551-479 SM) hingga kemenangan Dong Zhongshu dalam melihat kegagalan
Konfusianisme di bidang politik, baik yang diabaikan atau dianiaya; satu milenium
setelahnya adalah periode di mana sebagian besar Konfusianisme mempertahankan gelar
negara ortodoks tetapi harus melepaskan klaimnya atas kehidupan beragama dengan imbalan
kelangsungan hidup. Status eksklusif Konfusianisme sebagai kultus negara dimulai pada
jaman Dinasti Song. Namun, dalam banyak hal kultus ini hanya secara bertahap tumbuh
menjadi dewasa dan sampai jaman dinasti Ming. Status yang tinggi ini di satu sisi membanjiri
semua pemikiran dan tradisi lain dan membantu menyebarkan dirinya ke bagian lain di Asia
Timur.

32
30. Ibid., 3B: 9.
33
’The history of Confucianism illustrates the price which must be paid by a man whose doctrines are adopted by the state.
A simple and unassuming man, Confucius became the center of an elaborate cult which would be repugnant to
him…Though he was fearless in his denunciation of political unrighteousness, his name was used to bolster corrupt
government. Though he was a great thinker, his doctrines were used to suppress thought’ (Shryock, p 233).

15
Pengaruh doktrin Konfusianisme memiliki efek tertentu pada pendekatan pluralistik
Tiongkok terhadap hubungan antar agama. Terminologi San Jiao, tiga ajaran atau doktrin
atau tiga agama, menjadi sangat populer dan masih menarik bagi pikiran masyarakat
Tiongkok. Upaya untuk menyelaraskan Konfusianisme, Budhisme dan Taoisme dibuat tidak
hanya oleh para sarjana dan intelektual tetapi juga dilakukan oleh masyarakat umum,
sehingga kesatuan tiga doktrin tersebut tidak dalam hanya prinsip teoretis tetapi juga untuk
cara hidup yang praktis.

Untuk waktu yang lama, mereka yang telah memeluk agama Buddha juga akan mendukung
Konfusianisme dan Taoisme. Di bawah pengaruh sikap sinkretis, sekolah-sekolah dan sekte-
sekte keagamaan berdasarkan kesatuan tiga doktrin ini didirikan, menekankan bahwa ajaran
Konfusius, Lao Tzu dan Buddha pada dasarnya adalah sama dan bahwa seharusnya tidak ada
konflik di antara mereka. Gagasan-gagasan ini terus bertahan dan menembus kehidupan
religius orang-orang Tionghoa dan mengarah pada kultus-kultus di mana Konfusius, Lao Tzu
dan Buddha muncul bersama di altar yang sama atau di kuil yang sama, dan disembah
bersama.

Kesimpulan

Sejarah adalah cermin dari nilai-nilai sekarang dan tradisional yang sangat mungkin masih
dapat berguna sebagai solusi untuk menyelesaikan masalah pada masa sekarang. Untuk
mendamaikannya, alih-alih meningkatkan ketegangan antara tradisi agama yang berbeda,
Konfusianisme menghadirkan caranya sendiri untuk dialog antar agama, di bawah panduan
prinsip-prinsip kesetaraan, berdialog secara damai dengan orang lain, bukannya memaksakan
pandangan sendiri pada orang lain, mengakui perbedaan daripada secara sewenang-wenang
menghilangkan peranan mereka.

Untuk mengakhiri diskusi ini tentang tanggapan Konfusianisme terhadap dialog antar agama,
maka kita perlu melihat pada argumen pada abad ke lima dan keenam. Menurut argumen ini,
semua agama pada dasarnya sama, dan perbedaannya, jika ada, tidak mendasar. Mereka
disebabkan oleh ruang dan waktu, 'seperti burung, terbang di atas berbagai negara dapat
disebut dengan nama berbeda di masing-masing'. Wajar memiliki keyakinan yang berbeda.
Sebuah kapal berlayar di atas air, sementara kereta berjalan di darat, namun keduanya adalah
kendaraan untuk bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Kesamaan pemahaman iman
menuntut kita untuk menghormati mereka secara setara, sementara perbedaan mereka
memungkinkan mereka untuk mempraktikkan dengan cara yang berbeda oleh orang yang
berbeda. Mereka yang hidup di tepi air akan menggunakan perahu, sementara mereka yang
tinggal di pedalaman menggunakan kereta. Karena itu, kehidupan yang damai tidak
bergantung pada pemaksaan kepada setiap orang untuk menggunakan kendaraan yang sama,
dan kerukunan beragama tidak dapat datang dengan menghilangkan perbedaan antara agama
yang berbeda. Argumen ini, dengan jelas memberi kita tanggapan yang tepat dari para
pengikut Konfusius terhadap dialog antar agama.

16
Notes

1. https://www.kupasmerdeka.com/2015/12/toleransi-agamawan-sejati/. Opini Kristan, 9


Agustus 2015

2. The concept of ‘the Chinese’ has been greatly extended by Tu Wei-ming in his theory of
‘Culture China’, in which he proposes three categories of the Chinese: those who live in Mainland
China, Taiwan, Hong Kong and Singapore; all overseas Chinese and all those who have accepted
the cultural tradition of China, including scholars, intellectuals, writers and journalists (‘Culture
China: the Periphery as Centre’, Daedalus,’l20.2, 1991, pp 1-132).

3. Sishu, Mengzi , MATAKIN, 2000 Karakter Pribadi (Xing) merupakan sifat asli manusia, watak
sejati manusia yang diberikan Sang Pencipta sebagai mandat sifat kebajikan semenjak manusia
lahir, Menurut Mencius terdiri dari Cinta Kasih (ren), kebenaran (yi), kesusilaan (li) dan
kebijaksanaan (zhi).

4. The Doctrine of the Mean, in The Chinese Classics, tr. by lames Legge, second edition, Oxford
University Press 1961, pp 249ff.

5. Among the concerns Confucius always had in mind are ‘failure to cultivate virtues, inability to
study thoroughly what is taught being unable to go for what is right, and unwilling to correct the
faults’ (The Analects, 7:3).

6. To urge people to examine themselves first to eliminate the cause of conflict, Confucius took
archery as an example:’ln archery we have something resembling the Way of the virtuous. When
the archer misses the centre of the target, he turns around and seeks for the cause of failure
within himself’ (The Doctrine of the Mean, Chapter 14).

7. ’Tzu-lu asked about the gentleman (junzi). The Master said: ‘He cultivates himself and
thereby achieves reverence’… “He cultivates himself and thereby brings peace and security to
his fellow men.’…’He cultivates himself and thereby brings peace and security to all people’ (The
Analects, 14:42).

8. This job is necessary and urgent for many reasons, one of which is articulated by Lee H.
Yearly as that ‘Confucianism is one of the very greatest religious traditions, but it has, I
believe, often been misunderstood.’ … partly because many of its modern adherents and
Western interpreters ‘have aimed to show how unreligious it is (which often translates to how
sensible it is) and have therefore distorted its character’ (Facing Our Frailty: Comparative
Religious Ethics and the Confucian Death Rituals, Valparaiso University Gross Memorial Lecture
1995, Valparaiso University Press 1996, p1).

17
9. John Bowker, The Sense of God: Sociological, Anthropological and Psychological Approaches
to the Origin of the Sense of God, Clarendon Press, Oxford 1973, p. viii.

10. Hans Kung and Julia Ching, Christianity and Chinese Religions, Doubleday 1989, pp. xi-xix. As
Hans Kung himself admits that these three systems are not totally exclusive and each can be
said to contain all the qualities of others.

11. Being wise (zhi) is only one side of wisdom, and the more important side of it is called ren,
virtue and love. In this sense, the Confucian understanding is similar to that of Augustine when
he says that wisdom is the bridge of love (agape) and knowledge.

12. The Book of Mencius, 7A:3.

13. Xinzhong Yao: Confucianism and Christianity, Sussex Academic Press, 1996, pp.5-12. Unlike
Buddhist transcendence which is the end of one’s physical life (zuo hua) and Taoist
transcendence (yu hua) which is the turning point from a mortal to an immortal, the Confucian
process of human transcendence (hua) is: that in which cultivation (yang and xiu) and
transformation (bian) have become a gradually but constantly value-added progression in one’s
life.

14. The Chinese word for Classics, jing, means constancy, that is, what is immutable and
invariable. It is derived from the ‘warp of fabrics’. However, the warp cannot make cloth unless
they are woven with the ‘woof’. The former is constant principles while the latter temporary
events.

15.’The central problem of the Doctrine of the Literati in all ages was one of ethics; and that is
probably what has so often led to the judgement that Confucianism was above all a morality,
which is far from accurate … It is indeed a matter of a very particular ethics, quite different
from what we generally understand by this word, and that is probably why it is so often omitted
from Western accounts of Confucianism. In reality, the problem is the effect which the good of
bad acts of man (and especially the governmental acts of a sovereign, representing humanity)
have upon the orderly progress of natural phenomenon (the progress of stars, eclipses,
earthquakes, floods, etc.) and upon human affairs (the deaths of sovereigns, revolts, overthrow
of dynasties, etc.)’ (Henri Maspero, Taoism and Chinese religion, tr. Frank A Kierman, Jr.,
University of Massachussets Press, Amherst 1981, p 71).

16. A Source Book in Chinese Philosophy, ed. Wing-tsit Chan, Princeton University Press 1963, p
500.

17. Matteo Ricci first noticed that these Confucian schools (shu yuan) were equivalent to
Christian preaching houses and the Confucians were also ‘impressed by the resemblances
between the (Jesuit) preaching houses and their own traditional academies (shu yuan). E
Zurcher also observed that ‘the atmosphere of shu yuan did have something solemn and almost
holy’: each meeting began with a ceremony in honour of the founder and Confucius; the rules of
conduct were codified according to a convention, which often included pious hymns sung by the

18
choirs of young boys. See Jacques Cernet: China and the Christian Impact – a Conflict of
Cultures, tr. Janet Lloyd, Cambridge University Press 1985, p 17f.

18. Music and ritual are credited with great significance in Confucian education: ‘The process of
education was built around training in music and dance: the idealized education institutions of
such texts are presided over by music masters, and the curricula consist largely of graduated
courses in ceremonial dance’ (Robert Eno, The Confucian Creation of heaven – Philosophy and the
Defense of Ritual Mastery. State University of New York Press 1993, p 196).

19. The Analects, 8:8.

20. The Wisdom of Confucius, tr. Lin Yu-tang, Zhengzhong Shuju, Taipei 1994, p 571.

21. The Analects, 1:12.

22.’The three armies can be deprived of their commander, but even a commoner cannot be
deprived of his will’ (The Analects, 9:26).

23.’The Chinese have always praised and prized civilian virtues above military ones … proverbs
like “you don’t make good iron into nails, nor good men into soldiers” indicate an attitude to
military virtues … This attitude may be connected with a prejudice against the use of force
which runs throughout Chinese history … There have also, of course, been many armed
rebellions, but the tendency to rely on persuasion and mediation has persisted’ (Joseph
Needham, ‘China and the West’ in China and the West: Mankind Evolving, 1970, p 22). This
results partly from the Confucian understanding of competition and contention: ‘A gentleman
never goes to contentions. If he cannot avoid them, this is perhaps in archery. In archery, he
bows to his competitor and yields him the way as they ascend (to the pavilion) and coming down
they drink together. Even in his contention, he is still a gentleman’ (The Analects, 3:7).

24.’Confucianism is not a missionary religion … No religious persecutions comparable to those


which have sometimes defaced the history of Christianity can be laid at the door of the
Confucians. Temples have occasionally been destroyed, monastic establishment broken up,
endowments appropriated by the state, and monks and nuns forced back into secular life, but
the Confucians have made few martyrs’ John K Shryock, The Origins and Development of the
State Cult of Confucius, The Century Company, New York 1932, Paragon Book Reprint Corp.
1966, p 226). In modern times, there has been an effort in establishing Confucianism as a
missionary religion, which is seen in various organisations of Confucian churches in Hong Kong,
Taiwan and among the Chinese communities in the South East Asia. However, they are more or
less the imitation of Christianity and they do not represent the mainstream of Confucian
development in modern times.

25. Shryock, p225.

26. Joseph Needham, Within the Four Seas – the Dialogue or East and West, George Alien &
Unwin Ltd, London 1969, p 11f.

27. The Book of Mencius, 7A: 4.

19
28. Chang Tsai,’The Western Inscription’, in A Source Book in Chinese Philosophy, p 497.

29. Instructions for Practical Living and other Neo-Confucian Writings, by Wang Yang-ming,
translated with notes by Wing-tsit Chan, Columbia University Press, New York 1963, p 273.
Wang continued with ‘Only when I love my father, the fathers of others, and the fathers of all
men can my humanity (ren) really form one body with my father, the fathers of others, and the
fathers of all men … Only when 1 love my brother, the brothers of others, and the brothers of
all men can my humanity (ren) really form one body with my brother, the brothers of others, and
the brothers of all men’.

30. In the later part of dynastic history, China was full of political mischiefs called wen zi yu
(literary inquisition), in which many authors were imprisoned or executed for writing something
considered offensive by the imperial court. However, these cases were basically of a political
nature concerning such matters as the regime or individual emperors’ merits, and the blame
should not laid at the door of Confucianism. In fact, very few cases were involved with Confucian
doctrines at all.

31. The Book of Mencius, 7B: 26.

32. Ibid., 3B: 9.

33.’The history of Confucianism illustrates the price which must be paid by a man whose
doctrines are adopted by the state. A simple and unassuming man, Confucius became the center
of an elaborate cult which would be repugnant to him…Though he was fearless in his denunciation
of political unrighteousness, his name was used to bolster corrupt government. Though he was a
great thinker, his doctrines were used to suppress thought’ (Shryock, p 233).

20
* Kristan holds a Masters degree in Comparative Religion from the Faculty of Ushuluddin,
Syarif Hidayatullah State Islamic University, Jakarta. Currently he works as a lecturer in
Character Building at Bina Nusantara University and lecturer in Confucianism at various
universities in Indonesia.

Kristan is very committed to promoting interreligion and intercultural dialogue. In 2009,


Kristan represented the Republic of Indonesia from the Indonesia Youth Confucian
Generation delegation in the 5th Regional Interfaith Dialogue Forum Leading Leaders of the
Future Faith: Regional Challenges and Collaboration 'in Perth, Western Australia.

Kristan also as Alumni Fellowship of King Abdulah Bin Abdul Aziz International Centre of
Interreligious and Intercultural Dialogue (KAICIID) 2016-2017, Vienna, Austria and
Mindanao Peace Building Institute (MPI) Alumni 2016 Davao City, Philippines. In 2019
Kristan attended the International Conference on Cohesive Societies (ICCS) in Singapore.

Today Kristan as Founder of Central Board Indonesia Youth Confucian Generation (GEMAKU).
Kristan also a master in Qigong (Chikung) and Confucian Meditation

21

Anda mungkin juga menyukai