Anda di halaman 1dari 6

SELAMAT TINGGAL MASA LALU

Poppy Puspitasari Macrophylla lahir di Sumedang, 29 tahun yang lalu. Mulai


aktif menulis sejak bulan Oktober 2017 di wattpad dengan nama akun PhyPoesphyta.

Aku membuka akun SNS ku dan tidak sengaja menemukan status Kak
Denis sedang bersama kekasihnya. Deg. Hatiku langsung sakit. Ya, meskipun kami
sudah berpisah lebih dari 2 tahun, tapi perasaanku padanya tetaplah sama. Aku
penasaran kubuka komentarnya dan malah mendapatkan sesuatu yang membuat hatiku
tambah sakit.
Dulu saja, waktu masih bersama denganku Kak Denis tidak pernah
mengupload foto kami. Katanya tidak perlu diumbar ke orang lain, tapi sekarang mana
kata-kata itu? Sungguh hatiku sangat sakit.
Aku kemudian memposting foto kami dengan caption '6 tahun sudah berlalu,
semuanya berubah. Doaku selalu untukmu. Semua kenangan bersamamu takkan mudah
untuk kulupakan'. Banyak sekali komentar yang masuk, salah satunya dari sepupunya,
yang mengatakan kalau aku harus sabar.
Aku mencoba meneleponnya, bukan untuk meminta penjelasan tapi untuk
mengembalikan uang yang pernah kupinjam padanya beberapa bulan yang lalu. Aku
tidak ingin berhutang apapun padanya, meskipun dia bilang tidak apa-apa. Namun,
nomornya tak kunjung aktif. Mungkin sengaja Kak Denis tidak mengaktifkan
nomornya, agar tidak diganggu olehku.

****

Ponselku berbunyi dengan nada lagu yang berbeda, yang khusus untuknya,
untuk Kak Denis. Aku belum sempat merubahnya. Jujur, aku malas mengangkatnya,
tapi aku merindukan suaranya.
"Halo." sapaku.
"Nes, bisa kita bertemu?"
"Ada apa memangnya?"
"Ada yang ingin Kakak bicarakan padamu."
"Tentang?"
"Nanti juga kau tau sendiri."
Deg.
Kak Denis memanggilku 'kau'? Dulu, semarah apapun dia padaku, dia tidak akan
pernah memanggilku seperti itu. Sadar, Nes. Kau sekarang sudah tidak berarti lagi
untuknya. Kau sudah bukan siapa-siapa lagi baginya. Aku menahan tangisku. Aku
tidak mau terlihat lemah di depannya.
"Nes, kau masih disana?"
"Ya, Kak."
"Satu jam lagi, aku sampai di rumahmu."
Deg.
Dia memanggil dirinya dengan sebutan 'aku'? Sejak kapan? Mulai sekarang,
mungkin aku harus membiasakan diriku sendiri dengan panggilan-panggilan baru
darinya. Semoga saja, Kak Denis tidak membawa kekasihnya.
"Baiklah."

****

Benar saja Kak Denis sudah berada di rumahku. Tidak ada yang membuka
obrolan. Suasana menjadi sangat canggung. Tidak biasanya kami seperti ini.
"Kakak mau minum apa?" tanyaku memecah keheningan setelah beberapa menit
berlalu.
"Apa saja."
"Baiklah, tunggu sebentar. Akan kubuatkan green tea kesukaan Kakak." kataku
sambil berlalu ke dapur.
Biasanya Kak Denis selalu menyusulku ke dapur, tapi sekarang dia tetap
menunggu di ruang tamu. Aku tersenyum miris. Sadar Nes, dia sudah bukan siapa-
siapamu lagi. Airmataku menetes tanpa bisa kutahan. Sebelum kembali ke ruang tamu,
aku menghapus airmata di pipiku. Tapi dengan kurang ajarnya airmata ini terus turun
dari kedua mataku.
"Nes, kau kenapa?" tanya Kak Denis.
"Aku tidak apa-apa Kak. Kakak tenang saja." Jawabku sambil masih mengusap
pipiku yang basah oleh airmata. "Kakak ingin bicara apa?" tanyaku kemudian.
"Aku merindukanmu, Nes."
"Merindukanku? Jangan bohong. Kakak tidak merindukanku, tapi merindukan
tubuhku."
"Tidak, Nes. Sungguh aku merindukanmu. Tapi untuk bersamamu, rasanya tidak
mungkin."
"Kenapa? Karena orangtuaku yang tidak merestui hubungan kita?"
"Salah satunya memang itu."
"Jadi sebenarnya Kakak ingin mengatakan apa padaku? Kalau tidak ada yang
ingin Kakak  bicarakan, silakan Kakak keluar dari rumahku."
"Kau mengusirku? Kau berani mengusirku sekarang?"
"Katakan saja seperti itu."
"Nes, dengar. Kakak merindukanmu. Sangat. Tapi kalau untuk bersamamu,
Kakak tidak bisa. Maafkan Kakak." ucap Kak Denis sambil mendekatiku.
"Aku juga merindukan Kakak. Maafkan aku, Kak. Maafkan orangtua dan
keluargaku juga."
Aku tidak bisa menahan tangisanku. Aku menangis di pelukan Kak Denis.
Mungkin ini terakhir kalinya aku merasakan kehangatan pelukan Kak Denis. Mungkin
ini terakhir kalinya aku menangis di hadapan Kak Denis. Mungkin ini terakhir kalinya
Kak Denis mengelus rambutku.
"Maafkan aku Kak, maaf." ucapku di sela-sela tangisanku.
"Nes, sudah jangan menangis. Kakak masih ada di sini untukmu. Kakak tidak
akan kemana-mana."
Kami menghabiskan malam ini berdua. Setelah pergumulan panas kami di atas
sofa di ruang tamu, kami kembali melanjutkannya di kamarku. Malam ini untuk
pertama kali dan mungkin terakhir Kak Denis mengeluarkan spermanya di dalam
rahimku, tanpa ada pengaman seperti biasanya.
"Kak, maafkan aku dan keluargaku. Maafkan aku yang tidak bisa meyakinkan
mereka semua. Mungkin ini terakhir kalinya kita melakukan ini, karena aku tidak mau
menjadi penyebab hancurnya hubunganmu dengan kekasihmu. Aku akan selalu
mendoakan kebahagianmu. Mulai sekarang, jangan pernah pedulikan dan khawatirkan
aku lagi. Pedulikan dan khawatirkan saja kekasihmu. Aku tidak apa-apa. Aku akan
baik-baik saja. Kak, ajari aku untuk merelakanmu dengannya. Ajari aku untuk
membuang perasaan yang ada di hatiku ini. Ajari aku untuk melupakanmu dan ajari aku
untuk melepasmu. Terimakasih sudah mengisi hari-hari indahku. Terimakasih sudah
mewarnai hari-hariku jadi lebih berwarna. I love you." bisikku sambil menahan
tangisanku. Kak, kalau seandainya nanti ada janin yang terbentuk di rahimku, aku
berjanji padamu aku akan menjaganya dengan baik. Aku akan membesarkannya
dengan segenap kasih dan sayangku. Walaupun nanti dia tidak akan pernah tau dan
mengenal ayahnya tapi akan aku pastikan anak kita baik-baik saja.
Aku tau Kak Denis mendengarnya. Aku tau Kak Denis hanya pura-pura tertidur.
Aku mengeratkan pelukanku padanya karena aku tau, ini terakhir kalinya aku tidur
dipelukannya.
Aku bangun sekitar pukul delapan pagi. Kulihat di sekitarku sudah tidak ada
Kak Denis, bahkan pakaiannya pun sudah tidak ada. Kak Denis sudah pergi. Tidak
biasanya Kak Denis meninggalkanku seperti ini. Lagi-lagi aku tersenyum dengan miris.
Sekarang aku sudah bukan siapa-siapanya lagi, terlepas dari perbuatan kami semalam.
Di nakas tempat aku biasa menyimpan ponsel aku melihat secarik kertas putih
dan di bawahnya ada kertas berwarna pink yang kuyakini sebagai undangan. Aku buru-
buru mengambil kertas putih terlebih dahulu.

Maafkan aku, Nes. Aku pergi tanpa membangunkanmu, karena aku tau kau
pasti lelah melayaniku semalaman. Aku sudah menyiapkan sarapan untukmu. Jangan
lupa dimakan dan dihabisakan, sayang. Oh iya, tentang semalam aku memang sengaja
mengeluarkan di dalam karena aku ingin kau mengandung anakku. Kalau benar kau
mengandung anakku, aku akan membatalkan pernikahanku. Ini aku sengaja
menyimpan undangan pernikahanku, supaya kau tau kapan aku menikah. Kalau kau
mengandung anakku, kau harus bilang padaku. Karena ini mungkin satu-satunya cara
orangtuamu merestui hubungan kita. Kalau orangtuamu tetap tidak merestui, aku akan
tetap membawamu pergi dan membatalkan pernikahanku.

Love,

Cho Kyuhyun
****

Hari ini, adalah hari pernikahan Kak Denis dengan gadis bernama Yolanda. Aku
datang ke pesta pernikahannya saja. Karena aku sungguh tidak akan kuat kalau harus
datang juga ke pemberkatannya.
"Nes, kau datang?" tanya Kak Denis seolah-olah tidak percaya.
"Ya, aku datang. Bukankah Kakak yang mengundangku dua bulan yang lalu?"
tanyaku.
"Kau tau dengan pasti maksudku bukan seperti ini, Nes"
"Ya, aku tau makanya aku datang. Selamat atas pernikahanmu, Kak. Semoga
pernikahanmu selalu dilingkupi kebahagiaan. Aku akan selalu mendoakan
kebahagiaanmu dan istrimu. Semoga kau bisa menjadi panutan untuk istri dan anakmu
kelak. Dan semoga pernikahan ini menjadi pernikahan yang pertama dan terakhir
kalinya untukmu. Aku pergi."
Setelah mengucapkan itu, aku langsung pergi. Aku juga tidak menjabat tangan
pengantin wanita. Biarlah mereka mengatakan aku apa. Aku tidak peduli. Aku berlari di
dalam hotel tempat berlangsungnya acara pernikahan mereka ke arah tempat parkir.
Aku langsung masuk ke dalam mobil dengan terisak.
"Nes, lo boleh nangis sepuas lo sekarang, tapi lo jangan pernah menangisinya
lagi." ucap Lara, sahabatku. "Nes, ini sudah menjadi keputusan lo. Gue harap lo nggak
akan nyesel." lanjutnya lagi sambil memelukku.
"Gue nggak akan nyesel, Ra. Mungkin gue nggak akan bias ngelupain ayah dari
bayi yang gue kandung ini, tapi gue yakin gue bisa ngelupain rasa cinta ini untuknya."
Aku memang mengandung anak Kak Denis, tapi aku tidak memberitaunya. Aku
tidak ingin menghancurkan pernikahan mereka. Biarkan aku saja yang pergi. Biarkan
aku saja yang menanggung rasa sakit ini, karena aku tau Kak Denis sudah tidak
mencintaiku lagi. Sangat terlihat dari pancaran matanya saat menatapku. Mungkin saat
dia menulis surat itu dua bulan yang lalu, itu hanya bentuk tanggung jawabnya saja.
"Ayo antar gue ke bandara sekarang, Ra."
Aku sudah memutuskan untuk pergi dari kehidupan Kak Denis dan
meninggalkan Indonesia. Entah, aku akan kembali ke negara tempat aku dilahirkan atau
tidak. Aku akan meninggalkan semua kenanganku bersama Kak Denis di sini. Semoga
di tempat baru, di negara yang akan ku tinggali, aku bersama dengan calon baby yang
sekarang masih berada dalam rahimku akan mendapatkan kebahagiaan seperti
kebahagiaanmu, Kak.
Aku masih ingat sekali, saat dulu kau bertanya padaku siapa yang akan menikah
lebih dulu. Dan aku memilih menjawab kau. Kenapa? Karena aku ingin melihat orang
yang kucintai dan kusayangi bahagia dengan pilihannya. Setelah aku memastikan kau
bahagia, baru aku akan mencari kebahagiaanku sendiri. Dan sekarang semua itu telah
terwujud. Biarkan aku dan calon baby kita bahagia. Terimakasih sudah memberiku
penggantimu. Aku akan selalu menjaganya dengan baik, meskipun kau tidak akan
pernah tau kalau kau mempunyai anak dariku.
Nak, maafkan bunda sayang, kita harus pergi. Semoga nanti kau bisa mengerti
dan tidak menyalahkan bunda atau ayah. Bunda menyayangimu. Kasian kau, Nak. Kau
tidak akan pernah merasakan kasih sayang seorang ayah. Maafkan bunda, Nak. Maaf.
Tapi bunda berjanji, bunda akan menceritakan tentang ayahmumu yang begitu
mencintai bunda, dulu.
Selamat tinggal Jakarta,
Selamat tinggal Indonesia,
Selamat tinggal Kak Denis,
Selamat tinggal masa laluku.

Anda mungkin juga menyukai